• Tidak ada hasil yang ditemukan

KTI - Model Konstruktivisme Pada Pembelajaran Matematika Di SD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KTI - Model Konstruktivisme Pada Pembelajaran Matematika Di SD"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembaharuan dalam strategi, metode, dan pendekatan dalam

proses belajar mengajar seyogianya terus dilakukan guna mendapatkan

strategi, metode, dan pendekatan yang efektif. Ini dimaksudkan untuk

lebih memberikan bobot serta makna yang dalam agar peserta didik dapat

mencapai tujuan pembelajaran serta berdampak pada perubahan tingkah

laku baik menyangkut unsur kognitif, afektif maupun psikomotor. Dalam

UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 35 ayat (1) diungkapkan

bahwa: “Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses

kompetensi lulusan, tenaga kependidikan yang seyogianya ditingkatkan

secara berencana dan berkala”.

Ditinjau dari hakekat pendidikan secara umum, pendidikan menurut

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional diungkapkan bahwa :

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak

mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara”.

(2)

yaitu moral, etika, dan spiritual yang dituntut untuk mengimbangi

perkembangan iptek pada diri peserta didik.

Dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional diungkapkan bahwa tujuan yang hendak dicapai

dalam pendidikan nasional adalah sumber daya manusia yang memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, dan negara. Lebih jelas lagi pada pasal 3 Undang-undang RI

No. 20 Tahun 2003 diungkapkan bahwa :

“Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Berdasarkan uraian di atas, pendidikan mengemban tugas dan

tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas,

terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang makin

berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri

dan professional pada bidangnya masing-masing.

(3)

B. Masalah

Adapun masalah yang hendak dikaji dalam makalah ini adalah

sebagai berikut:

1.

Bagaimana konsep pendekatan konstruktivisme pada

pembelajaran matematika di sekolah dasar?

2.

Bagaimana penerapan pendekatan konstruktivisme pada

pembelajaran matematika di sekolah dasar?

C. Prosedur Pemecahan Masalah

Untuk mengatasi permasalahan yang timbul digunakan prosedur

pemecahan masalah dengan studi literatur berupa menelaah dan

mengkaji berdasarkan literature dan referensi yang berupa buku, karya

ilmiah, dan hasil penelitian.

D. Sistematika Penulisan

(4)

BAB II

MODEL KONSTRUKTIVISME PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR

A. Model Konstruktivisme

Ada beberapan pendapat mengenai pengertian model konstruktivisme

yang diberikan oleh para ahli, diantaranya adalah :

Model konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri. Dan pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Bell, 1993;24, Driver & Leach, 1993:104 (Karli, 2004:2).

Suparno, (2006: 85), mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang secara ringkas menjelaskan bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi seseorang. Orang membentuk pengetahuannya lewat interaksi dengan lingkungannya. Sebagai filsafat pengetahuan, konstruktivisme membatasi diri pada bagaimana pengetahuan itu dibentuk dan bagaimana pengetahuan itu dianggap benar. Pengetahuan dibentuk oleh pengamat dari abstraksi terhadap pengalamannya baik fisik maupun mental. Pengetahuan dibentuk itu dibenarkan bila pengetahuan itu dapat digunakan untuk menghadapi persoalan yang sejenis.

Sedangkan menurut Piaget, 1971 (Paul Suparno, 2006:30), konstruktivisme adalah suatu teori pengetahuan yang pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya. Menurut Piaget ada empat tahapan proses seseorang mencapai pengertian diantaranya: a). Skema/skemata, b). Asimilasi, c). Akomodasi, dan d). equilibration

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

adalah merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut peserta

didik setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi

skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus,

(5)

Yang sangat penting dalam pembelajaran kontrukstivisme adalah bahwa

dalam proses pembelajaran peserta didiklah yang harus mendapatkan tekanan.

Mereka yang harus aktif mengembangkan pengetahuannya, bukan guru ataupun

orang lain.

Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang

telah dimiliki peserta didik dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan

begitu saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif (skemata)

untuk mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan

selama peserta didik menerima pengetahuan baru

Perolehan pengetahuan peserta didik diawali dengan diadopsinya hal

baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut

dibandingkan dengan konsepsi awal yang telah dimilikinya sebelumnya. Jika hal

baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal peserta didik, maka akan terjadi

konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur

kognisinya. Melalui proses akomodasi dalam kegiatan pembelajaran, peserta

didik dapat memodifikasi struktur kognisinya menuju keseimbangan sehingga

terjadi asimilasi. Namun tidak menutup kemungkinan peserta didik mengalami

“jalan buntu” (tidak mengerti) karena ketidakmampuan berakomodasi. Pada

kondisi ini diperlukan alternatif strategis lain untuk mengatasinya.

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model

konstruktivisme dalam proses pembelajaran adalah suatu proses belajar

mengajar dimana peserta didik sendiri aktif secara mental membangun

pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimilikinya.

Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.

(6)

didik mengorganisasi pengalaman mereka, bukan ketepatan peserta didik dalam

melakukan replikasi atas apa yang dilakukan pendidik.

Secara rinci dapat dikemukakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar

yang mengacu pada model konstruktivisme seorang pendidik harus

memperhatikan hal sebagai berikut:

a. Mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki peserta didik melalui pengalaman sebelumnya.

b. Menekankan pada kemampuan minds-on dan hands-on.

c. Mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual.

d. Mengakui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif. e. Mengutamakan terjadinya interaksi sosial.

Implikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran

meliputi 4 tahapan yaitu: (1) Apersepsi, (2) Eksplorasi, (3) Diskusi dan penjelasan

konsep, (4) Pengembangan dan aplikasi

Tahap-tahap pembelajaran tersebut dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Diagram

Alur Model Pembelajaran Akon

Mengungkapkan konsepsi awal

Membangkitkan motivasi

Eksplorasi

Diskusi dan penjelasan konsep

(7)

Tahap pertama, peserta didik didorong agar mengemukakan

pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu pendidik

memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang

fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan

dibahas. Peserta didik diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan,

mengilustrasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.

Tahap kedua, peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan

menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan

penginterprestasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang pendidik.

Kemudian secara berkelompok didiskusikan dengan kelompok lain. Secara

keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan peserta didik tentang

fenomena alam di sekelilingnya.

Tahap ketiga, saat peserta didik memberikan penjelasan dan solusi yang

didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan pendidik, maka

peserta didik membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang

dipelajari. Hal ini menjadikan peserta didik tidak ragu-ragu lagi tentang

konsepsinya.

Tahap keempat, pendidik berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang

memungkinkan peserta didik dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya,

baik melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang

berkaitan dengan isu-isu dilingkungannya.

B. Model Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika berdasarkan pandangan konstruktivisme

(8)

didik dapat membangun pengetahuan sendiri berdasarkan pengealaman yang

sudah dimiliki, dan dapat mengembangkan matematika berdasarkan pada

skemata yang terbentuk pada peserta didik terus-menerus mengalami

perubahan menuju pada proses kebenaran sesuai dengan kebenaran yang

dimiliki oleh ilmuwan, sehingga skema yang dimiliki dapat dipergunakan untuk

menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya.

Model pembelajaran konstruktivisme berpandangan bahwa belajar

merupakan proses aktif peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya, dimana

peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Proses konstruksi ini

dilakukan secara pribadi atau sosial.

Dua aliran pemikiran tentang kostruktivisme yang dipergunakan yaitu

konstruktivisme Piaget dan konstruktivisme Vigotsky. Konstruktivisme Piaget

memandang bahwa pembelajaran berlangsung dalam situasi kolaborasi yang

difasilitasi oleh konflik kognitif secara kontinu diantara bentuk-bentuk berpikir

antagonis. Konstruktivisme Vigotsky memandang bahwa pengetahuan

dikonstruksi secara kolaboratif antara individu dan selanjutnya keadaan tersebut

dapat disesuaikan oleh individu. Proses penyesuaian itu ekuivalen dengan

pengkonstruksian intraindividual.

Model pembelajaran konstruktivisme yang dikembangkan dalam

penelitian ini berpijak pada kedua aliran tersebut, yaitu aliran konstruktivisme

personal dan sosial. Cobb (Suparno, 2006:47) menyatakan bahwa

konstruktivisme personal lebih menekankan pada keaktifan secara individual dan

konstruktivisme sosiokultural lebih menekankan pentingnya lingkungan sosial

kultural, sehingga dalam pendidikan matematika disarankan bahwa

(9)

aliran ini saling melengkapi, yaitu belajar matematika harus dilihat sebagai suatu

pembentukan individual yang aktif dan proses inkulturasi dalam praktek

masyarakat yang lebih luas. (Rahayu, 2006:35)

Guru yang konstruktivis diharapkan mampu dan mengerti proses belajar

yang baik, dan perlu membiarkan peserta didiknya untuk menemukan sendiri

cara yang paling sesuai dan menyenangkan dalam memecahkan persoalan, hal

ini penting agar peserta didik memperoleh hasil yang maksimal. Karena melalui

interaksi itu pengetahuan baru diharapkan dapat berkonsiliasi dengan

pengetahuan sebelumnya. Proses rekonsiliasi ini mungkin melibatkan penolakan

terhadap beberapa konsep peserta didik yang sudah dimiiliki. Mengajar bukanlah

kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta didik, melainkan suatu

kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri

pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam

membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis,

dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.

Bettencourt, 1989 (Suparno, 2006:65).

Strategi yang digunakan dalam mengajar menurut Driver dan Oldham

(Suparno, 2006:69) adalah sebagai berikut:

1. Orientasi. Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan

motivasi dalam mempelajari pokok bahasan, dan peserta didik diberi

kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap apa yang akan

dipelajari dalam proses pembelajaran.

2. Elicitasi. Peserta didik dibantu untuk mengungkapkan idenya secara

jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain.

(10)

mendiskusikan apa yang telah diobservasikan, baik berupa tulisan,

gambar ataupun poster.

3. Restruktukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal yaitu:

a. Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain

atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide.

Berhadapan dengan ide-ide orang lain, seseorang dapat

terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok

atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok

b. Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu

idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman.

c. Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau

dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu

diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru.

4. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang

telah dibentuk oleh peserta didik perlu diaplikasikan pada

bermacam-macam situasi yang dihadapi, supaya dapat membantu pengetahuan

peserta didik yang lebih lengkap dan lebih rinci dengan segala

pengecualiannya.

5. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam

aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari,

seseorang perlu merivisi gagasannya entah dengan menambahkan

suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi

(11)

Dalam pembelajaran model konstruktivisme guru berperan sebagai

moderator dan fasilitator yang membantu agar proses pembelajaran dapat

berjalan dengan baik. Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal

maka perlu disusun dan direncanakan beberapa kegiatan yang dituangkan ke

dalam rencana pembelajaran dengan menggunakan satuan pelajaran dan

dilengkapi dengan lembar kegiatan peserta didik

Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan awal

Guru mengadakan apersepsi untuk menggali pengetahuan

sebagai prasyarat yang harus dimiliki peserta didik dan

membangkitkan motivasi belajar peserta didik dengan

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat problematik dan guru tidak langsung

memberikan jawaban benar atau menyalahkan jawaban peserta didik

apabila jawabannya kurang tepat.

b. Kegiatan inti

Guru membimbing peserta didik untuk mengkonstruksi ide-idenya

secara dengan bantuan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) tentang materi

bilangan pecahan. Pada tahap ini peserta didik diberi kesempatan

menemukan gagasan-gagasan tentang bilangan dengan operasi

penjumlahan dan perkalian dengan cara membaca bahan

kajian/buku, dengan diskusi kelas, mencoba-coba sampai

menemukan jawabannya. Kemudian masing-masing menuliskan

jawaban tersebut di papan tulis dan dijelaskan dihadapan

(12)

penjelasan tersebut berupa pertanyaan atau menambahkan

ide-idenya yang sesuai.

Dengan bimbingan guru, siswa dibantu untuk membuat

kesimpulan dan hasil kesimpulannya dituliskan di papan tulis.

Sebelumnya peserta didik diberi kesempatan untuk bertanya apabila

ada yang belum dipahami dengan kata lain dilakukan diskusi secara

klasikal.

c. Penerapan dan aplikasi konsep

Untuk tahap penerapan dan aplikasi, guru memantapkan materi

yang baru diperoleh dengan cara memberikan soal-soal latihan dan

soal-soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari tentang

bilangan pecahan. Latihan tersebut dikerjakan melalui diskusi kelas,

kemudian dibahas bersama guru, dan guru memberikan nilainya.

d. Kegiatan akhir

Pada kegiatan ini peserta didik membuat rangkuman/menulis

hal-hal yang dianggap penting. Guru memberikan tugas pekerjaan rumah

yang dikerjakan secara individual, dikumpulkan dan dinilai oleh guru,

untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman peserta didik.

Contoh Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme

Berikut ini adalah contoh pembelajaran pengurangan dasar bilangan

seperti 13–7. Alternatif rancangan proses pembelajaran ini dapat saja

disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi daerah dan keadaan siswa

dikelas Bapak dan Ibu Guru. Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah

(13)

1. Pada tahap Pendahuluan, Guru mengajukan masalah seperti berikut di

papan tulis, di transparansi, ataupun di kertas peraga.

2. Guru bertanya kepada para siswa, berapa kelereng yang dimiliki Anto pada

awalnya? Jawaban yang diinginkan adalah 12. Guru lalu menggambar di

papan tulis, 12 buah kelereng seperti gambar di bawah ini dengan

[image:13.595.215.425.603.697.2]

menekankan bahwa 12 bernilai 1 puluhan dan 2 satuan atau 12 = 10 + 2.

Gambar 2.1 Penjumlahan

3. Guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan

benda-benda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan 12 kelereng

yang dimiliki Anto.

4. Guru bertanya kepada siswa, berapa butir kelereng yang diberikan kepada

adiknya dan berapa sisa kelereng yang dimiliki Anto sekarang? Biarkan siswa

bekerja sendiri-sendiri atau bekerja di kelompoknya untuk menjawab soal

tersebut.

5. Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswa, seperti yang

terlihat pada gambar di bawah ini. Pada waktu diskusi kelompok, Bapak atau

Ibu Guru sebaiknya menawarkan alternatif kedua ini kepada beberapa

kelompok.

Gambar 2.2 Penjumlahan

Anto memiliki 12 kelereng.

9 kelereng diberikan kepada adiknya.

Berapa kelereng yang dimiliki Anto

sekarang?

12 = 10 + 2

(14)

6. Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan

cara mereka mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua

cara tersebut yang lebih mudah digunakan.

7. Guru memberi soal tambahan seperti 13–9 dan 12–8. Para siswa masih

boleh menggunakan benda-benda konkret. Bagi siswa yang masih

menggunakan alternatif pertama, sarankan untuk mencoba alternatif kedua

dalam proses menjawab dua soal di atas.

8. Guru memberi soal tambahan seperti 14–9 dan 13–8. Bagi siswa atau

kelompok siswa yang sudah dapat menyelesaikan soal ini tanpa

menggunakan benda konkret dapat mengerjakan soal-soal yang ada di

buku.

Belajar Arti Konstruktivisme dari Contoh di Atas

Dari contoh proses pembelajaran pengurangan di atas dapat

dikemukakan beberapa hal berikut:

1. Peran guru sebagai fasilitator dalam membantu siswanya dapat dengan

mudah melakukan operasi pengurangan dasar bilangan. Dengan cara

seperti ini, pengetahuan diharapkan dapat dengan mudah terkonstruksi atau

terbangun di dalam pikiran siswanya.

2. Dengan alternatif rancangan pembelajaran seperti itu, para siswa sendirilah

yang harus membangun pengetahuan bahwa 12 – 9 = 2 + 1, 13 – 9 = 3 + 1,

12 – 8 = 2 +2, 14 – 9 = 4 + 1, dan seterusnya.

3. Para siswa juga dibimbing gurunya untuk secara demokratis menentukan

pilihan-pilihan, dan secara dini belajar untuk menghargai pendapat teman

lainnya meskipun berbeda dengan pendapatnya sendiri.

4. Dengan alternatif rancangan pembelajaran seperti itu, ketika para siswa

diminta menentukan hasil dari 15 – 8 misalnya, di dalam pikiran siswa akan

(15)

sejumlah 1 puluhan dan 5 satuan yang jika diambil 8 akan menghasilkan 5 +

2 = 7.

5. Pengalaman belajar yang dirancamg ini tidak akan berhasil jika siswa tidak

atau kurang terampil menentukan hasil 10 – 9 = 1, 10 – 8 = 2, 10 – 7 = 3 dan

seterusnya. Hal ini menunjukkan benarnya pendapat Ausubel, penggagas

belajar bermakna (meaningful learning) yang menyatakan hal berikut

sebagaimana dikutip Orton (1987:34): If I had to reduce all of educational

psychology to just one principle, I would say this: The most important single

factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this

and teach him accordingly.” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah

dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses

pembelajaran.

6. Proses pembelajaran ini sesungguhnya didasarkan pada suatu keyakinan

dari para penganut konstruktivisme yang menyatakan bahwa suatu

pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari otak seorang guru dengan begitu

saja ke dalam otak siswa. Siswa sendirilah, yang dengan bantuan guru, akan

dapat menemukan kembali pengetahuan yang sudah ditemukan para ahli

matematika.

7. Dengan fasilitasi dari para guru matematika sebagaimana dinyatakan para

pakar pendidikan matematika, prosedur pengurangan dasar bilangan seperti

12–9 maupun 13–8 ditemukan kembali (guided re-invention) si pembelajar

seperti ketika para siswa menemukan kembali rumus, konsep, ataupun

prinsip seperti yang ditemukan para matematikawan.

Implikasinya pada Pembelajaran

(16)

mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka kognitif yang

sudah ada di dalam pikirannya, sebagaimana dinyatakan Bodner (1986:873): “…

knowledge is constructed as the learner strives to organize his or her experience

in terms of preexisting mental structures”. Dengan demikian, belajar matematika

merupakan proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan

oleh siswa sendiri melalui transformasi pengalaman individu siswa. Di samping

itu, pentingnya kemampuan memecahkan masalah, terutama di saat para siswa

sudah bekerja atau di saat mempelajari materi lain, akan menuntut adanya

perubahan proses pembelajaran di kelas-kelas, termasuk di Sekolah dasar di

seluruh Indonesia.

Berdasar penjelasan dan contoh di atas, implikasi konstruktivisme pada

pembelajaran di antaranya adalah:

1. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak mesti diikuti dengan hasil

yang bagus pada siswanya. Setiap siswa SD harus mengkonstruksi

(membangun) pengetahuan matematika di dalam benaknya masing-masing

berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam benaknya.

Karenanya, hanya dengan usaha keras para siswa sendirilah para siswa

akan betul-betul memahami Matematika. Setiap guru

2. matematika SD tentunya sudah mengalami bahwa meskipun suatu materi

telah dibahas dengan sejelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswanya

yang belum ataupun tidak mengerti materi yang diajarkannya. Hal ini telah

menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada

siswanya dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar

sama sekali.

3. Tugas setiap guru adalah memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan

(17)

ditanamkan oleh para guru. Para siswa harus dapat secara aktif

mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam

kerangka kognitifnya. Karenanya, pembelajaran matematika akan menjadi

lebih efektif bila guru membantu siswa menemukan dan memecahkan

masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna.

4. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental

yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran

yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk mendukung

model-model itu. Karenanya, para guru harus mau bertanya dan mau mengamati

pekerjaan siswanya. Setiap kesalahan siswa harus menjadi umpan balik

dalam proses penyempurnaan rancangan proses pembelajaran berikutnya. 5. Pada konstruktivisme, siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka

sendiri untuk masing-masing konsep matematika sehingga peranan guru

dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya

sejenis untuk memindahkan pengetahuan matematika pada siswa tetapi

menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka

membuat konstruksi-kontruksi mental yang diperlukan.

C. Dasar Pelaksanaan Model Pembelajaran Konstruktivisme

Fokus tujuan pendidikan di Indonesia adalah terwujudnya sumber daya

manusia yang berkualitas yang mampu menghadapi tantangan hidup dalam

dunia yang makin kompetitif serta dapat memilih dan mengolah informasi untuk

digunakan dalam mengambil keputusan, sekaligus mampu menyesuaikan diri

dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di lingkungan sekitarnya.

Dari hasil observasi di lapangan diperoleh gambaran bahwa proses

pembelajaran belum secara optimal mempertimbangkan karakteristik anak serta

(18)

2004. proses pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metoda

ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk berinteraksi langsung kepada benda-benda konkrit ataupun

model artifisial. Seorang guru perlu memperhatikan konsepsi awal peserta didik

sebelum pelajaran. Jika tidak demikian seorang pendidik tidak akan berhasil

menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan

belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan

pendidik pada peserta didik, melainkan sebagai proses mengubah

konsepsi-konsepsi peserta didik yang sudah ada dan mungkin salah. Salah satu caranya

adalah dengan merancang pembelajaran yang dapat membentuk peserta didik

membangun sendiri pengetahuannya, sedangkan peranan pendidik sebagai

motivator dan fasilitator.

Siswa TK, SD, SMP rata-rata berusia antara 5-15 tahun. Secara psikolog

masih memerlukan bimbingan, dukungan dan pengakuan sehingga seorang

pendidik yang berhasil adalah pendidik yang “power-for” terhadap peserta didik

daripada pendidik yang “power-off”. Bell, 1993 (Margaretha & Karli, 2004:6).

Pendidik yang “power-off” digambarkan sebagai pendidik yang selalu “di atas”

peserta didik sehingga tidak memandang peserta didik sebagai individu yang

mempunyai potensi. Sedangkan pendidik yang “power-for” digambarkan sebagai

pendidik yang memperhatikan peningkatan proses belajar peserta didik dan

selalu berusaha menyediakan kegiatan-kegiatan yang relevan, membimbing,

mengarahkan serta memotivasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Dalam

upaya meningkatkan iklim pembelajaran di sekolah untuk memperoleh hasil yang

maksimal maka penerapan model pembelajaran techer-centered yang

(19)

peserta didik, beralih menuju model pembelajaran studen-centered yang

menekankan bahwa dalam pembelajaran, peserta didik sendirilah yang akan

membangun pengetahuannya.

Ausubel mengatakan bahwa faktor yang paling penting yang

mempengaruhi belajar peserta didik adalah apa yang telah diketahui peserta

didik atau konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan

konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Selain itu pakar

John Dewey mengatakan bahwa “learning by doing” artinya pengalaman

seseorang diperoleh melalui bekerja yang merupakan hasil belajar yang tidak

mudah dilupakan. “I see I forget; I hear Iremember; I do I understand”.

D. Keuntungan, Kelemahan Model Pembelajaran Konstruktivisme dan cara mengatasinya

Model pembelajaran konstruktivisme ini akan memberikan keuntungan

kepada peserta didik yaitu dapat membiasakan belajar mandiri dalam

memecahkan masalah, menciptakan kreativitas untuk belajar sehingga tercipta

suasana kelas yang lebih nyaman dan kreatif, terjalinnya kerja sama sesama

peserta didik, dan peserta didik terlibat langsung dalam melakukan kegiatan, dan

dapat menciptakan pembelajaran menjadi lebih bermakna karena timbulnya

kebanggaan peserta didik menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari

dan peserta didik akan bangga dengan hasil temuannya, serta melatih peserta

didik berpikir kritis dan kreatif. Sedangkan kelemahannya adalah peserta didik

dalam mengkonstruksi pengetahuannya, tidak jarang bahwa hasil konstruksi

peserta didik tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli matematika, hal ini

(20)

Model pembelajaran kkonstruktivisme menekankan agar peserta didik

membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang

lama dan setiap peserta didik memerlukan penanganan yang berbeda-beda,

apalagi bila guru berhadapan dengan kurikulum yang sudah baku, yang

menuntut agar materi harus terselesaikan. Sedangkan dalam pengertian

konstruktivisme penekanannya pada pengertian dan pembangunan sistem

berpikir peserta didik. Sistem berpikir inilah yang nantinya harus dikembangkan

sendiri dalam hidup mereka.

Model pembelajaran konstruktivisme menuntut guru harus berpikiran luas

dan mendalam serta peka terhadap gagasan-gagasan yang berbeda dari peserta

didik. Guru yang hanya berorientasi pada penyampaian materi agak sulit

menerima pendapat dari peserta didik, sehingga dapat terjadi peserta didik

pandai dan kreatif dengan bermacam-macam gagasan dianggap sebagai

penghambat. Guru yang demikian membatasi peserta didik berpikir dan

mengembangkan kreativitasnya.

Cara mengatasi kelemahan model pembelajaran ini adalah sebaiknya

guru dalam merencanakan program pembelajaran harus matang dengan

memperhatikan kemampuan berpikir peserta didik secara individu, dan kesiapan

(21)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut :

1. Pembelajaran adalah merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses

tersebut peserta didik setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi

dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses

yang terus-menerus, tidak berkesudahan (kontinyu).

2. Model konstruktivisme dalam proses pembelajaran adalah suatu proses

belajar mengajar dimana peserta didik sendiri aktif secara mental

membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang

telah dimilikinya. Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator

pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus pada

suksesnya peserta didik mengorganisasi pengalaman mereka, bukan

ketepatan peserta didik dalam melakukan replikasi atas apa yang dilakukan

pendidik.

3. Implikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi

4 tahapan yaitu: (1) Apersepsi, (2) Eksplorasi, (3) Diskusi dan penjelasan

konsep, (4) Pengembangan dan aplikasi

4. Pembelajaran matematika berdasarkan pandangan konstruktivisme

mengarahkan peserta didik untuk membangun pemahaman, sehingga

peserta didik dapat membangun pengetahuan sendiri berdasarkan

pengealaman yang sudah dimiliki, dan dapat mengembangkan matematika

(22)

terus-menerus mengalami perubahan menuju pada proses kebenaran sesuai

dengan kebenaran yang dimiliki oleh ilmuwan, sehingga skema yang dimiliki

dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya.

5. Dalam pembelajaran model konstruktivisme guru berperan sebagai

moderator dan fasilitator yang membantu agar proses pembelajaran dapat

berjalan dengan baik. Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan

optimal maka perlu disusun dan direncanakan beberapa kegiatan yang

dituangkan ke dalam rencana pembelajaran dengan menggunakan satuan

pelajaran dan dilengkapi dengan lembar kegiatan peserta didik

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian, berikut diajukan beberapa saran diantaranya:

1. Model konstruktivisme dapat dijadikan salah satu alternatif pilihan

pembelajaran matematika di sekolah dalam meningkatkan hasil belajar siswa

sehingga siswa menjadi lebih aktif dan guru berperan sebagai fasilitator dan

motivator.

2. Meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan meningkatkan

kompetensi serta profesionalisme adalah suatu tuntutan yang tidak bisa

dihindari oleh semua kalangan pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan

penerapan multi metode, strategi, pendekatan, dan penerapan media alat

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Bird, John. (2004). Matematika Dasar Teori-teori dan Aplikasi Praktis. Jakarta: PT. Erlangga.

Dimyati. (1992/1993). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Depdikbud.

Gulo. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Karli, H. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Model-model Pembelajaran. Bandung: CV. Bina Media Informasi.

Sujana, N. (1989). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar baru Algesindo.

Negoro. (2003). Encyklopedia Matematika. Jakarta. PT. Ghalia Indonesia.

Nasution, S. (1982). Didaktki Azas-azas Mengajar. Bandung: CV. Jemmars.

Rustiyah. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini. Seri ke-6. Bandung: PT. Tarsito.

_________. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: PT. Tarsito.

_________. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud

Slamento. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Suparno, p. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta. Kanisius

Gambar

Gambar 2.1Penjumlahan

Referensi

Dokumen terkait

Persaingan usaha adalah kondisi dimana terdapat dua pihk (pelaku usaha) atau lebih berusaha untuk saling menungguli dalam mencapai tujuan yang sama alam suatu usaha

Kajian Strategis IPB, Direktur Sumberdaya Manusia IPB, Ketua Tim Penilai Angka Kredit (TPAK) Pustakawan IPB, Ketua TPAK Arsiparis IPB dan Pejabat Struktural di lingkup

Skema ini mengacu pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor

Data validasi terhadap desain pengembangan perangkat pembelajaran geografi di kawasan Kampung Batu Malaksari sebagai sumber belajar geografi, dengan produk

Seiring perkembangan jaman dalam era komputerisasi saat ini dibutuhkan aplikasi untuk mempercepat proses informasi antara sekolah dan orang tua dalam hal ketertiban

Mengingat besarnya ketiga variabel bebas tersebut hanya berpengaruh nilai R squares (R 2 ) sebesar 0,401, nilai tersebut menunjukkan bahwa 40,1% varians yang terjadi terhadap

Yang dapat diharapkan dari diskursus terbuka tersebut adalah “kesamaan persepsi” bahwa politik modern tidak lagi bersandar pada kebenaran keunggulan moral suatu agama, melainkan