• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS MUSLIMIN S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS MUSLIMIN S"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA

BEBERAPA SPESIES TIKUS

MUSLIMIN S

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Muslimin S

(4)

RINGKASAN

MUSLIMIN S. Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus. Dibimbing oleh NINA MARYANA dan SWASTIKO PRIYAMBODO.

Tikus berperan penting sebagai hama di lingkungan pertanian sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomis, demikian juga pada kesehatan manusia dan hewan di perkotaan. Pada tubuh tikus terdapat arthropoda yang dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit yang hidup pada tubuh tikus mempunyai hubungan yang erat dengan inangnya. Ektoparasit menyukai inang tertentu, inang pilihan, atau inang kesukaan. Pada tubuh tikus ditemukan berbagai jenis ektoparasit yaitu kutu, pinjal, tungau, dan caplak. Seringkali ektoparasit tersebut ditemukan pada waktu yang bersamaan dan dikenal sebagai poliparasit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keanekaragaman ektoparasit pada berbagai spesies tikus dan habitatnya. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baru tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang, baik untuk pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan.

Penangkapan tikus dilakukan pada habitat rumah, kebun, sawah, dan got (saluran air). Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap hidup tikus dengan umpan ikan kering, tulang ayam, dan ubi jalar. Tikus yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi tikus. Ektoparasit diambil dari tubuh tikus yang tertangkap dan dijadikan sebagai sampel, kemudian dilakukan identifikasi terhadap ektoparasit. Keanekaragaman ektoparasit dianalisis dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Weaver. Analisis kesamaan dilakukan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi komposisi jenis ektoparasit antara tikus dengan membandingkan kuantitas dan keanekaragaman ektoparasit masing-masing kelompok tikus. Analisis dilanjutkan dengan uji-t (α = 0.05).

Sebanyak 87 ekor tikus tertangkap selama penelitian di empat habitat tikus yang berbeda. Jenis tikus diidentifikasi sebagai Rattus rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus. Sebanyak 2 548 individu ektoparasit yang ditemukan pada tubuh tikus terdiri dari lima spesies ektoparasit yaitu, Hoplopluera pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst dan L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae).

H. pacifica dan P. spinulosa ditemukan lebih banyak dari pada ektoparasit lainnya. Pada tubuh tikus yang ditangkap, H. pacifica ditemukan sebanyak 1 383 individu (1 001 jantan dan 382 betina), P. spinulosa sebanyak 685 individu (155 jantan dan 530 betina), X. cheopis sebanyak 16 individu (9 jantan dan 7 betina), L. nuttalli sebanyak 174 individu (61 jantan dan 113 betina), dan L. echidninus

sebanyak 290 individu (91 jantan dan 199 betina).

H. pacifica mempunyai ciri-ciri antara lain berukuran sedang sampai besar dengan bentuk tubuh agak membulat. Lempeng paratergal (paratergal plate)

(5)

membesar dan pada bagian posterior melebar atau masing-masing sisi memiliki cuping. Lempeng sternal (sternal plate) pada abdomen ruas ke-3 memanjang sampai pada lempeng paratergal dan memiliki dua pasang seta yang kokoh pada lempeng sternal. Bentuk lempeng sternal pada toraks meruncing pada bagian posterior.

P. spinulosa mempunyai ciri-ciri tubuh berukuran kecil sampai sedang dan berbentuk langsing. Tiap sisi dari lempeng sternal pada abdomen tidak pernah mencapai sisi dari lempeng paratergal dan tidak terdapat seta yang kokoh pada lempeng sternal. Lempeng sternal toraks berbentuk pentagonal.

Ciri-ciri yang dimiliki X. cheopis antara lain yaitu tidak memiliki pronotal combs dan genal combs. Setiap ruas abdomen memiliki satu baris seta. Ketiga ruas toraks mempunyai panjang yang sama dengan abdomen ruas pertama. Terdapat seta (ocular bristle) yang kokoh dekat mata.

L. nuttalli mempunyai ciri-ciri antara lain ukuran tubuh sedang berbentuk oval. Lempeng anal terpisah dari lempeng genito-ventral, sisi bagian anterior lurus dengan anterior lateral.

L. echidninus memiliki ciri-ciri antara lain tubuh berukuran besar hingga mencapai 2 mm pada tungau betina. Lempeng anal berhubungan dengan lempeng genito-ventral. Lempeng anal membulat pada bagian depan dan mencapai bagian cekungan dari lempeng genito-ventral.

Prevalensi rata-rata infestasi semua spesies ektoparasit pada tubuh tikus sebesar 76.75%. Pravalensi ektoparasit pada tubuh R. norvegicus sebesar 88.9%, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada ketiga spesies tikus lainnya. Tingkat persentase prevalensi ektoparasit pada masing-masing tikus relatif tinggi.

Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit relatif tinggi pada tikus betina dari spesies R. rattus diardii yaitu 0.525. Berdasarkan hasil uji-t pada taraf 5% semua indeks keanekaragaman pada empat spesies tikus tidak berbeda secara nyata.

Kata kunci: Hoplopleura pacifica, Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Rattus, Xenopsylla cheopis

(6)

SUMMARY

MUSLIMIN S. The Diversity of Ectoparasites on Some Species of Rats. Supervised by NINA MARYANA and SWASTIKO PRIYAMBODO.

The rats are pests in agricultural environment which cause economic losses and harm for human and animal health in urban areas. The rats were parasitized by ectoparasitic arthropods which have a close relationship with rats as their specific host. Various types of ectoparasites (polyparasites) such as lice, mites, fleas, and ticks, are frequently found in the rat's body at the same time. The aim of this research was to observe the diversity of ectoparasites on different species of rats on their habitats. The research will be useful as new information about the specifications of the host and the tolerance of ectoparasites on the host's environmentfor controlling ectoparasites as borne diseases or pests. This research will also be used by the further scientific researcher as a reference.

The rats were captured in four habitats such as house, garden, rice field, and water sewage by using live traps with bait of dried fish, chicken bones, and sweet potato. The rats were put into a labeled plastic bag, then taken to laboratory to be identified. The ectoparasite sampels were collected from the bodies of rats that were caughtand identified. The ectoparasite diversity index was analyzed by using existing diversity formula from Shannon-Weaver. The similarity analysis was conducted to know the difference or similarity of various composition of ectoparasites by comparing quantity and diversity of ectoparasites on each group of rats using t-test (α = 5%).

There were 87 rats caught from all the habitats (house, garden, rice field, and sewage water). The four rat species trapped from four habitats were Rattus rattus diardii, R. tiomanicus, R. argentiventer, and R. norvegicus. The total number of 2 548 ectoparasites were collected from the rats of Hoplopluera pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst and L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae). H. pacifica were collected as many as 1.383 consist of 1 001 males and 382 females), P. spinulosa species were 685 (155 male and 530 female), L. echidninus were 290 (91 male and 199 female), L. nuttalli were 174 (61 male and 113 female), and X. cheopis were 16 (9 male and 7 female).

H. pacifica was in medium to large size and rounded. Posterior margins of paratergal plates were broad or with pointed lobe on each side. First sternite of the third abdominal segment was extended laterally with its corresponding paratergal plate, this sternite bearing two groups of two or three stout setae. Sternal plate of thorax was usually pointed posterior.

P. spinulosa was slim small to medium size. First sternite of the third abdominal segment was never articulating with paratergal plate. Sternal plate of thorax was usually pointed posterior or truncate, which were always associated with a huge enlargement of the first antennal segment. The third to fifth paratergal plates were only dorsal apical angle produced into a point.

(7)

X. cheopis with out pronotal and genal combs. Front margin of head rounded. Ocular bristle in front of eye present. Three thoracic tergites together was longer than first abdominal tergite.

L. nuttalli was medium size in average of 0.5-1 mm length, oval, separated anal plate from genito-ventral plate, and straight anterior margin almost with definite anterior-lateral corners. The characteristics of L. echidninus were large size in average of 1-2 mm length, oval, anal plate being contiguous with the genito-ventral plate, anterior margin rounded and fittet into a strong concavity in genito-ventral plate.

The average prevalence of ectoparasite species of the rats captured revealed that species of R. norvegicus were predominant (88.9%) followed by R. rattus diardii (88.75%), R. argentiventer (83.35%), and R. tiomanicus (46%). Diversity index of ectoparasites on the bodies of R. rattus diardii was predominant (0.525). Statistical analysis with t-tests (α = 5%) of all index diversity between male and female rodents infested with ectoparasites was not significantly different.

Keywords: Hoplopleura pacifica, Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Rattus, Xenopsylla cheopis

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA

BEBERAPA SPESIES TIKUS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

MUSLIMIN S

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis. Tesis ini adalah laporan hasil penelitian dengan judul “Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr Ir Nina Maryana, MSi sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, serta bantuan dengan penuh keikhlasan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sepe Nada dan Ibunda Datti dan saudara-saudaraku yang kucintai disampaikan terima kasih yang dalam karena berkat doa dan dukungan merekalah penulis dapat melaksanakan penulisan tesis. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan kebaikan yang tak terhingga.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman dari Program Studi Entomologi 2012, serta semua pihak yang telah membantu kelancaran studi penulis, mulai dari pendanaan sampai kepada pelaksanaan penelitian dan selesainya studi magister penulis. Kepada Bapak Muh. Mansyur dan Bapak Tedi, terima kasih atas semua bantuan dan fasilitas pelaksanaan penelitian.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan dunia pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Saran dan kritik sangat diharapkan dalam perbaikan tesis ini.

Bogor, Januari 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Interaksi Ektoparasit dengan Tikus 3

Spesies Tikus 3

Jenis Ektoparasit pada Tikus 5

BAHAN DAN METODE 10

Tempat dan Waktu 10

Bahan dan Alat 10

Metode 11

Analisis Data 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Spesies Tikus dan Persentase Terinfestasi Ektoparasit 15

Prevalensi Infestasi Ektoparasit pada Tikus 16

Ektoparasit yang Menginfestasi Tikus 17 Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Habitat Tikus 18 Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Spesies Tikus 20

Karakter Spesies Ektoparasit 22

Indeks Keanekaragaman Spesies Ektoparasit pada Tubuh Tikus 33

SIMPULAN 35

DAFTAR PUSTAKA 36

(14)

DAFTAR TABEL

1 Sebaran empat spesies tikus dan persentase tikus yang terinfestasi

ektoparasit pada empat habitat penangkapan 15

2 Jumlah individu masing-masing spesies ektoparasit yang menginfestasi

tikus 18

3 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit berdasarkan habitat tempat penangkapan dan jenis kelamin tikus 19 4 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit

berdasarkan spesies dan jenis kelamin tikus 21

5 Perbandingan spesies H. pacifica dan P. spinulosa dari hasil penelitian 26 6 Perbandingan spesies tungau L. nuttalli dan L. echidninus dari hasil

penelitian 32

7 Indeks keanekaragaman ektoparasit pada R. rattus diardii,

R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus 33

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi Hoplopleura pacifica 6

2 Morfologi Polyplaxspinulosa 6

3 Morfologi Xenopsylla cheopis 7

4 Morfologi Laelaps echidninus 8

5 Morfologi Ixodes sp. 9

6 Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga 10

7 Perangkap hidup tikus 11

8 Prevalensi total infestasi pada R. rattus diardii, R. argentiventer,

R.tiomanicus, dan R. norvegicus 17

9 Hoplopleura pacifica 23

10 Polyplax spinulosa 25

11 Xenopsylla cheopis 27

12 Alat reproduksi Xenopsylla spp. 28

13 Laelaps nuttalli 29

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tikus berperan penting sebagai hama di lingkungan pertanian dan perkotaan yang menyebabkan kerugian secara ekonomis. Tikus tersebut beserta ektoparasitnya juga berperan dalam kesehatan manusia dan hewan (Walsh et al. 1993; Mayer et al. 1995; Singleton et al. 2003). Arthropoda ektoparasit pada hewan pengerat merupakan vektor penting dari mikroorganisme patogen dan parasit zoonosis seperti leptospirosis yang dapat berakibat fatal bagi manusia (Singleton et al. 2003), sehingga selalu menjadi perhatian kalangan peneliti secara luas. Hasil-hasil penelitian telah banyak dilaporkan dari kawasan tropik misalnya dari Thailand oleh Johnson (1959), India oleh Mitchell (1966), Malaysia oleh Lim (1970), dan Myanmar oleh King (1980). Di Indonesia penelitian pada ektoparasit tikus telah dilakukan oleh Thompson (1938), Lim et al. (1980), Williams et al. (1980), Hartini (1985), Kadarsan et al. (1986), dan Ristiyanto et al. (2004).

Ektoparasit pada hewan pengerat berdasarkan tempat hidupnya terdapat di permukaan luar tubuh inang, termasuk di ruang telinga luar (Ristiyanto et al. 2004). Kelompok parasit ini juga meliputi parasit yang sifatnya tidak menetap pada tubuh inang, tetapi datang dan pergi di tubuh inang. Seperti parasit lainnya, ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan, atau inang kesukaan.

Proses preferensi ektoparasit terhadap inang antara lain melalui fenomena adaptasi, baik adaptasi morfologis maupun biologis yang kompleks. Proses ini dapat diawali dari nenek moyang jenis ektoparasit tersebut, kemudian diturunkan kepada keturunannya. Menurut teori heterogenitas, ektoparasit dan inang adalah dua individu yang berbeda jenis dan asal usulnya (Brotowidjoyo 1987). Walaupun ektoparasit memilih inang tertentu untuk kelangsungan hidupnya, namun bukan berarti pada tubuh inang tersebut hanya terdapat kelompok ektoparasit yang sejenis. Paramasvaran et al. (2009), mengungkapkan bahwa ektoparasit pada hewan pengerat diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama yaitu, Phthiraptera (kutu), Siphonaptera (pinjal), Acariformes (tungau), dan Parasitiformes (caplak). Hasil penelitian Ristiyanto et al. (2004) menunjukkan bahwa kelompok tungau dan kutu menyukai dan menetap di punggung dan perut, caplak di leher, larva tungau di dalam ruang telinga dan pangkal ekor, sedangkan pinjal terdistribusi di seluruh tubuh, kecuali ekor.

Menurut Brotowidjoyo (1987), bila pada satu inang misalnya tikus ditemukan berbagai jenis ektoparasit pada waktu yang bersamaan, maka hal tersebut dikenal sebagai poliparasit. Parasitisme seperti ini biasanya disebabkan oleh adanya lingkungan inang yang serasi dengan ektoparasit tersebut.

Ektoparasit pada hewan pengerat secara umum memiliki hubungan yang erat dengan berbagai jenis tikus sebagai inangnya. Perpaduan kuantitas dan kelimpahan relatif ektoparasit pada berbagai jenis tikus merupakan suatu indikator keanekaragaman jenis ektoparasit yang dapat menggambarkan spesifikasi inang terhadap jenis-jenis ektoparasit dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inangnya. Informasi tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang sangat berguna, baik untuk pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Namun penelitian keanekaragaman ektoparasit pada beberapa

(16)

2

spesies tikus dan habitatnya di wilayah Indonesia masih sangat jarang. Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk mengungkap data tentang keanekaragaman ektoparasit pada berbagai spesies tikus di habitat yang berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keanekaragaman ektoparasit pada beberapa spesies tikus dari berbagai habitat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baru tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang. Selanjutnya dapat digunakan dalam pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Jenis tikus dan habitatnya juga berpengaruh pada kelimpahan keanekaragaman spesies ektoparasit. Pengetahuan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya mengelola habitat atau lingkungan untuk mengurangi populasi tikus dan ektoparasitnya.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan adalah ditemukan keanekaragaman ektoparasit pada tubuh tikus yang berbeda berdasarkan spesies tikus dan habitatnya.

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Interaksi Ektoparasit dengan Tikus

Interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan dalam suatu ekosistem. Interaksi bisa dikelompokkan berdasarkan untung dan rugi antara spesies-spesies yang berinteraksi (Diba 2009). Prawasti (2011) mengungkapkan bahwa salah satu cara mengkategorikan keragaman interaksi antar individu adalah dengan mengamati pengaruh suatu individu terhadap kehidupan individu lain. Pada kasus parasitisme, suatu individu parasit diuntungkan oleh interaksi yang terjadi dan individu yang lain (inang) dirugikan. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup, parasit tidak membunuh inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan bahwa parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan makanan serta perlindungan dari spesies yang ditumpanginya.

Kehadiran ektoparasit pada tubuh tikus dipengaruhi oleh lingkungan meliputi habitat dan lingkungan tikus serta kesediaan makanan yang cukup bagi tikus untuk menunjang kehidupan ektoparasit. Newey et al. (2005) menyatakan bahwa inang berperan penting di alam dalam penentuan kehadiran parasit. Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu jenis parasit pada satu atau beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan ekologi yang sempit pada inangnya saja. Parasit selain mengganggu kehidupan inang, juga berperan sebagai pengontrol dinamika produksi inang.

Tikus merupakan inang yang cocok bagi beberapa spesies ektoparasit seperti kutu, pinjal, tungau, dan caplak. Tikus dapat terinfestasi oleh ektoparasit karena adanya interaksi fisik inang; interaksi dapat berupa kontak seksual, perkelahian atau karena hidup bersama dalam satu sarang (Rivera et al. 2003

dalam Prawasti 2011). Brown et al. (1995) melaporkan bahwa aktivitas seksual menaikkan resiko inang tertular ektoparasit. Kadarsan et al. (1986) mengemukakan bahwa kelompok kutu menetap pada bagian tubuh tertentu seperti kepala dan punggung, pinjal ditemukan dekat dengan inang, baik rambut-rambut maupun sarang inang, sedangkan tungau menyukai daerah punggung dan perut.

Prevalensi merupakan persentase spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus. Prevalensi berhubungan dengan habitat dan penyebaran inang (Pramiati 2002). Diba (2009) mengungkapkan bahwa intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi inang. Prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang merupakan suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi. Prevalensi infestasi tungau pada inang tidak selalu berkorelasi positif dengan intensitas infestasi (Prawasti 2011).

Spesies Tikus

Tikus adalah satwa liar yang sangat sering berhubungan dengan kehidupan manusia. Keberadaan tikus di muka bumi sudah jauh lebih tua daripada usia peradaban manusia. Kehidupan tikus (untuk jenis tertentu) sudah sangat tergantung pada kehidupan manusia. Dengan demikian, tikus merupakan hewan liar yang sudah sangat beradaptasi dengan kehidupan manusia. Hubungan antara tikus dengan manusia seringkali bersifat parasit, tikus mendapat keuntungan sedangkan manusia sebaliknya, atau kleptoparasitik yaitu tikus memarasit manusia dengan mencuri sumberdaya yang berharga. Tikus sering menimbulkan

(18)

4

gangguan dalam bidang pertanian, peternakan, permukiman, dan kesehatan (Priyambodo 2006).

Tikus termasuk ke dalam Ordo Rodentia, Subordo Myormorpha, Famili Muridae. Famili Muridae merupakan famili yang dominan dari Ordo Rodentia. Anggota famili ini mempunyai daya reproduksi yang tinggi, pemakan segala macam makanan (omnivorus) dan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang dibuat oleh manusia. Anggota Genus Rattus yang diidentifikasi di Indonesia sebanyak 32 spesies, sedangkan di Jawa hanya ditemukan 5 spesies. Jenis tikus yang sering ditemukan di habitat lingkungan manusia adalah Rattus rattus diardii, R. tiomanicus, R. argentiventer, dan R. norvegicus (Suyanto 2006).

Rattus rattus diardii Temminck, 1844

R. rattus diardii memiliki tekstur rambut agak kasar, warna permukaan bawah tubuh coklat kemerahan sampai abu-abu kehitaman, permukaan atas tubuh coklat kekuningan, bentuk hidung kerucut, bentuk tubuh silindris (Priyambodo 2006; Suyanto 2006). Tikus rumah ini mempunyai bobot tubuh 60-300 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 220-460 mm, panjang kepala dan badan 100-210 mm, panjang ekor 120-250 mm, kaki belakang 30-37 mm, lebar daun telinga 19-23 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 2+3 = 10 (dua pasang di bagian dada dan tiga pasang di perut) (Priyambodo 2006). Tikus ini banyak dijumpai di rumah bagian atap, kamar, dapur, gudang, dan kadang-kadang juga ditemukan di kebun sekitar rumah.

R. rattus diardii mempunyai penyebaran geografi di seluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan kosmopolit. Selain itu, spesies ini juga merupakan rodens komensial yang artinya berbagi meja, yaitu hewan yang sudah beradaptasi dengan baik pada aktivitas manusia, serta menggantungkan hidupnya (pakan dan tempat tinggal) pada kehidupan manusia (Priyambodo 2006).

Rattus tiomanicus Miller, 1900

R. tiomanicus memiliki tekstur rambut agak kasar, warna permukaan bawah tubuh putih bersih, adakalanya putih kehitaman, permukaan atas tubuh coklat, hitam kekuningan, bentuk hidung kerucut, bentuk tubuh silindris, ekor seragam dan umumnya panjang, meskipun adakalanya pendek. Tikus pohon ini mempunyai bobot tubuh 55-300 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 310-450 mm, panjang kepala dan badan 130-200 mm, panjang ekor 180-250 mm, kaki belakang 32-39 mm, lebar daun telinga 20-23 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 2+3 = 10. Habitat tikus ini adalah perkebunan, hutan sekunder, semak belukar, dan pekarangan (Priyambodo 2006).

Menurut Priyambodo (2006), R. tiomanicus termasuk hewan arboreal (tetumbuhan), yaitu hewan yang pandai memanjat, yang dicirikan dengan ekor yang relatif panjang, serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan permukaannya kasar. Kaki depan tikus dilengkapi dengan cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat untuk menjaga keseimbangan pada saat memanjat.

(19)

5 Rattus argentiventer Robinson & Kloss, 1916

R. argentiventer memiliki ukuran sedang, ekor pendek, warna permukaan bawah tubuh putih perak, permukaan atas tubuh campuran coklat dan kuning (Suyanto 2006; Taggart et al. 2000). Tikus sawah ini mempunyai bobot tubuh 70-300 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 240-370 mm, panjang kepala dan badan 130-210 mm, panjang ekor 110-160 mm, kaki belakang 32-39 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 3+3 = 12. Menurut (Priyambodo 2006), tikus ini banyak dijumpai di pertanaman padi dan tebu pada ketinggian <1.500 m dpl.

R. argentiventer termasuk hewan terestrial (tanah), yaitu hewan yang pandai menggali tanah, yang dicirikan dengan ekor yang relatif pendek terhadap kepala dan badan. Kaki jenis tikus ini memiliki tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan permukaannya halus (Priyambodo 2006).

Rattus norvegicus Berkenhout, 1769

R. norvegicus termasuk tikus berukuran besar, tekstur rambut kasar dan agak panjang, warna rambut bagian dorsal coklat hitam kelabu dan ventral coklat kelabu, warna rambut pada ekor bagian ventral lebih terang daripada bagian dorsal, rambut punggung halus, rambut di bagian posterior pendek dan halus, bentuk hidung kerucut terpotong, bentuk tubuh silindris agak membesar ke belakang dan berekor pendek (Priyambodo 2006; Suyanto 2006). Tikus got ini mempunyai bobot tubuh 150-600 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 310-460 mm, panjang kepala dan badan 150-250 mm, panjang ekor 160-210 mm, kaki belakang 40-47 mm, lebar daun telinga 18-24 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3.5 mm dan mempunyai rumus puting susu 3+3 = 12. Tikus ini banyak dijumpai di seluran air/got di daerah permukiman kota dan pasar (Priyambodo 2006).

R. norvegicus termasuk tikus yang menghuni selokan (got), baik selokan kecil yang berada di sekitar perumahan, maupun selokan besar yang berada di bawah tanah di daerah perkotaan. Jika jenis ini tidak ada di suatu wilayah, maka tikus rumah yang menggantikannya (Priyambodo 2006).

Jenis Ektoparasit pada Tikus

Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari permukaan tubuh inangnya. Ektoparasit yang dapat menginfestasi berbagai jenis tikus meliputi: 1) Kutu (lice); Polyplax spinulosa dan Hoplopleura pacifica, 2) Pinjal (flea); Xenopsylla cheopis, 3) Tungau (mite); Laelaps echidninus, 4) Caplak (tick); Ixodes sp. (Hartini 1985; Kadarsan et al. 1986). Sebagai hewan parasit, kutu, pinjal, tungau, dan caplak dapat menularkan berbagai macam organisme penyebab penyakit (Haryono et al. 2008).

Hoplopleura pacifica Ewing, 1924

H. pacifica (Gambar 1) merupakan kutu dari Subordo Anoplura. Berdasarkan klasifikasinya, H. pacifica tergolong ke dalam Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Phthiraptera, Subordo Anoplura, Famili Hoplopleuridae, Genus Hoplopleura, dan Spesies H. pacifica Ewing (Ewing 1935; Voss 1966). H. pacifica pertama kali ditemukan pada Rattus exulans di

(20)

6

Gambar 1 Morfologi Hoplopleura pacifica (ventral), (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Emerson 2002).

kepulauan Hawaii. H. pacifica adalah parasit umum genus Rattus dan merupakan salah satu kutu yang paling banyak ditemukan di wilayah Asia-Pasifik seperti Laos, Malaya, Filipina, Thailand, dan Vietnam (Voss 1966). Jenis kutu ini mengalami proses metamorfosis tidak sempurna, yaitu telur-nimfa-imago. Seluruh siklus hidupnya terjadi di tubuh induk inang. Telur kutu akan menempel pada rambut-rambut inang dengan bantuan zat perekat yang dihasilkannya (Haryono et al. 2008).

Polyplax spinulosa Burmeister, 1839

P. spinulosa (Gambar 2) (syn. Haematopinus spinulosus Denny, 1842) adalah kutu yang termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Phthiraptera, Subordo Anoplura, Famili Polyplacidae, Genus Polyplax, Spesies P. spinulosa, dan merupakan ektoparasit pada Rattus (Pratt et al. 1966).

Gambar 2 Morfologi Polyplax spinulosa (ventral), (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Shirazi et al. 2013). a b c a b c

(21)

7

P. spinulosa termasuk ke dalam daftar 31 spesies dari Phthiraptera yang baru untuk daerah Eropa (alien spesies) dan dianggap penting bagi keanekaragaman hayati hewan (Kenis & Roques 2010). P. spinulosa merupakan jenis kutu pada tikus yang dapat menyebabkan iritasi, gatal-gatal, anemia, lemah, kehilangan berat badan dan bahkan kematian pada inang karena infeksi yang terlalu parah (Shirazi

et al. 2013). Selain itu, kutu ini juga memiliki peran sebagai vektor dari bakteri

Haemobartonell sp. Rata-rata siklus hidup kutu ini adalah 13 hari, berukuran kecil, yaitu mulai 1-10 mm, metamorfosis bertahap (paurometabola), tipe alat mulut menusuk dan mengisap (Calaby & Murray 1996; Shirazi et al. 2013). Xenopsylla cheopisRothschild, 1903

X. cheopis (Gambar 3), secara sistematika pinjal ini termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Siphonaptera, Famili Pulicidae, Genus Xenopsylla, Spesies X. cheopis (Noble & Noble 1989). X. cheopis adalah ektoparasit dari hewan pengerat, terutama dari Genus Rattus, dan merupakan vektor untuk penyakit pes dan murine tifus. Hal ini terjadi ketika pinjal menggigit hewan pengerat yang terinfeksi dan kemudian menggigit manusia. Pinjal tikus oriental terkenal memberikan kontribusi bagi black death (Sekra et al. 2010). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan pinjal dapat menularkan bakteri

Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan et al. 1986). Siklus hidup jenis pinjal ini mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur-larva-pupa-imago. Larva yang baru menetas tidak memiliki tungkai. X. cheopis

mempunyai bentuk tubuh pipih bilateral, berukuran 3 mm. Seluruh tubuh tertutup rambut-rambut, tipe alat mulut berupa penusuk dan pengisap. Tungkai ke-3 berukuran lebih besar dan lebih panjang dari pada dua pasang tungkai lainnya sehingga memungkinkannya untuk melompat. Lompatannya sangat jauh dan tinggi dibandingkan dengan ukuran tubuhnya (Haryono et al. 2008).

Gambar 3

Morfologi Xenopsylla cheopis, (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Trivedi 2003).

(22)

8

Laelaps echidninus Berlese, 1887

L. echidninus (Gambar 4) termasuk kelompok tungau dari Ordo Acariformes, Famili Laelapidae, Genus Laelaps, dan Spesies L. echidninus

(Noble & Noble 1989). Kelompok tungau ini berukuran relatif kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang 7 mm. L. echidninus memiliki gnathosoma terdiri dari epistoma, tritosternum (berfungsi dalam transport cairan tubuh), palpus yang beruas-ruas, kelisera, kornikuli, dan hipostoma berseta yang masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya tergantung pada kelompoknya. Kelisera pada L. echidninus teradaptasi untuk menusuk, mengisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh dorsal shield/scutum. L. echidninus memiliki stigma (alat pertukaran O2 dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal tungkai/koksa ke-2 dan ke-3, di sebelah koksa ke-3 atau di antara kelisera. Letak stigma menjadi kunci penting untuk membedakan ordo tungau (Haryono et al. 2008).

Gambar 4

Morfologi Laelaps echidninus (ventral), (a) keliseral, (b) peritreme, (c) anus, (d) seta (Abbott et al. 2004).

Ixodes sp. Latreille, 1795

Ixodes sp. (Gambar 5) termasuk kelompok Acarina dari Famili Ixodidae. Di Indonesia genus Ixodes dilaporkan hanya terdiri dari 4 spesies yaitu I. granulatus,

I. spinicoxalis, I. werneri, dan I. kopsteini. Tiga spesies pertama adalah parasit pada tikus, sedangkan yang terakhir pada kelelawar (Kadarsan 1983). Caplak adalah ektoparasit pengisap darah pada hewan vertebrata. Memiliki ukuran lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh antara 2 sampai 30 mm. Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak stigma yang berada di bawah koksa (pangkal tungkai) ke-4. Caplak juga memiliki karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma, memiliki oseli/mata, tetapi tidak memiliki epistoma, corniculi, dan tritosternum (Haryono et al. 2008).

a

c b

(23)

9

Gambar 5

Morfologi Ixodes sp. (dorsal), (a) gnathosoma, (b) idiosoma, (c) tungkai (Dwibadra 2008).

a

b

(24)

10

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2013 sampai April 2014. Penangkapan tikus dilakukan di empat habitat yang berbeda, yaitu rumah, sawah, kebun, dan saluran air (got). Lokasi penangkapan tikus tersaji pada Gambar 6. Identifikasi jenis tikus dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi morfologi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor.

Gambar 6 Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga Ket: Kecamatan Sukamandi, Kabupaten Subang.

Kecamatan Dramaga (Cibanteng, Situ Burung, dan Daerah sekitar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) Kabupaten Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, alkohol (50, 80, 95, dan 100%), KOH 10%, canada balsam/entelan, larutan hoyer, chloroform, ikan kering, tulang ayam, ubi jalar, kertas label, dan tikus serta ektoparasit hasil tangkapan. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkap tikus, kantung plastik, sikat, sisir, nampan putih, pinset, jarum, botol koleksi, gelas obyek, gelas penutup, mikroskop compound OLYMPUS CX21, kamera Dino-eye AM4234, dan penggaris.

(25)

11 Metode

Penangkapan Tikus

Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap hidup (live trap) tikus (Gambar 7) dengan umpan ikan kering, tulang ayam, dan ubi jalar. Penangkapan dilakukan di habitat rumah, sawah, kebun, dan got. Perangkap hidup tikus dipasang pada sore hari pukul 15.00-17.30 WIB kemudian diambil keesokan harinya pukul 06.00-08.00 WIB. Hewan yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik ukuran 30 cm x 40 cm, kemudian diberi label (tanggal, habitat, dan kode lokasi), selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diamati.

Gambar 7 Perangkap hidup (live trap) tikus, A. Multiple trap untuk tikus di habitat sawah, B. Multiple trap untuk tikus di habitat rumah, dan C. Single trap untuk tikus di habitat got dan rumah.

A

B

(26)

12

Identifikasi Tikus

Identifikasi terhadap tikus dilakukan dengan mengamati dan mengukur karakter kualitatif dan kuantitatif morfologi tikus. Acuan yang digunakan adalah kunci deskripsi yang dikembangkan oleh Cunningham dan Moors (1996), Priyambodo (2006), dan Suyanto (2006).

Dalam pengamatan karakter kualitatif morfologi tikus, yang perlu diperhatikan adalah warna. Warna yang diamati pada tikus adalah warna rambut. Pengamatan terhadap warna dapat dibagi dua yaitu warna dorsal dan ventral. Untuk warna dorsal juga dibagi dua yaitu warna badan dan ekor, demikian juga untuk bagian ventralnya. Bentuk hidung (moncong) tikus secara umum terbagi menjadi dua yaitu kerucut terpotong yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan kerucut yang biasanya terdapat pada tikus berukuran sedang dan kecil. Bentuk badan tikus secara umum juga terbagi dua yaitu silindris membesar ke belakang yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan silindris yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran sedang dan kecil. Tekstur rambut berkolerasi dengan ukuran tubuhnya. Tikus yang berukuran besar mempunyai tekstur rambut yang kasar dan ukuran rambut yang panjang. Tikus yang berukuran kecil mempunyai tekstur rambut yang lembut/halus dan ukuran rambut pendek. Tikus berukuran sedang berada di antaranya.

Dalam Pengamatan karakter kuantitatif morfologi tikus, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bobot tubuh (weight = W). Pengukuran bobot tubuh ini dilakukan pada saat tikus tidak aktif, yaitu dalam keadaan mati atau dibius. Bobot tubuh dinyatakan dalam satuan gram (g). Ukuran panjang kepala dan badan (head

and body = HB). Satuan pengukuran yang digunakan adalah millimeter (mm). Pengukuran ini dilakukan pada tikus dalam keadaan terlentang, dimulai dari ujung hidung (moncong) sampai pangkal ekor yang biasanya ditandai dengan adanya lubang anus. Ukuran panjang ekor (tail = T) dimulai dari pangkal ekor (lubang anus) sampai ujung ekor, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran panjang total (total length = TL) merupakan penjumlahan dari ukuran panjang kepala dan badan ditambah panjang ekor. Ukuran lebar daun telinga (ear = E) adalah ukuran dari lubang telinga sampai ujung daun telinga yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Pengukuran panjang telapak kaki belakang (hind foot = HF) dilakukan dari tumit sampai ujung kuku yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran lebar sepasang gigi pengerat rahang atas (incicors = I) adalah ukuran lebar bagian tengah dari sepasang gigi pengerat, dinyatakan dalam satuan mm. Jumlah puting susu (mammary formula = MF) ditentukan dengan menghitung jumlah putting susu di bagian dada (pektoral) dan di bagian perut (inguinal), dinyatakan dalam satuan pasang.

Pengambilan Sampel Ektoparasit

Tikus yang berada di dalam kantung plastik dimatikan dengan menggunakan chloroform. Tikus yang sudah mati disikat rambut-rambut tubuhnya di atas nampan putih, lalu diperiksa telinga, hidung, dan pangkal ekornya. Ektoparasit yang terjatuh di nampan diambil dengan pinset, sedangkan ektoparasit yang menempel di telinga, hidung, dan pangkal ekor diambil dengan jarum atau pinset. Ektoparasit kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi alkohol 70% dan diberi label (kode lokasi dan nomor inang).

(27)

13 Pembuatan Preparat Ektoparasit

Pembuatan preparat slide ektoparasit yang berdinding tubuh lunak seperti kutu mengacu pada Krantz (1978). Ektoparasit dipanaskan di dalam alkohol 95% selama 3 menit, kemudian bagian abdomen ditusuk. Spesimen dipanaskan di dalam KOH 10% hingga transparan, dan isi tubuh dibuang. Spesimen kemudian dicuci dengan akuades sebanyak 2 kali, direndam di dalam alkohol berturut-turut yaitu dimulai dari konsentrasi 50, 80, 95% dan selanjutnya alkohol absolut (100%) masing-masing selama 10 menit. Tahap selanjutnya mounting dengan media canada balsam atau entelan. Ektoparasit diletakkan secara hati-hati di atas gelas obyek yang sudah diberi media. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga bagian ventral menghadap ke bawah, tungkai terentang. Dengan jarum halus, ektoparasit tersebut ditekan secara perlahan-lahan sampai ke dasar kaca objek dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian preparat dikeringkan di atas elemen pengering selama 4-7 hari.

Pembuatan preparat slide untuk ektoparasit yang berdinding tubuh keras seperti pinjal, mengacuh pada Bahmanyar dan Cavanaugh (1976). Spesimen direndam di dalam larutan KOH 10% selama 24 jam. Selanjutnya spesimen dipindahkan ke dalam akuades selama 5 menit, kemudian ke dalam asam asetat selama 30 menit. Pinjal yang telah terlihat transparan diambil dan diletakkan di atas kaca objek. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga terlihat bagian lateral, tungkai mengarah ke bawah dan kepala ke sebelah kiri. Spesimen kemudian ditetesi canada balsam secukupnya dan ditutup kaca penutup. Preparat kemudian dikeringkan di atas elemen pengering selama 10-14 hari.

Identifikasi Ektoparasit

Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop kompoun OLYMPUS CX21 dengan kamera Dino-eye AM4234 yang dihubungkan langsung dengan komputer. Identifikasi mengacu pada kunci identifikasi yang disusun oleh Ewing (1935), Jordan (1957), Baker dan Wharton (1960), Pratt et al. (1966), Voss (1966), Boror

et al. (1996), dan Montasser (2006).

Perhitungan dan Pengamatan Terhadap Ektoprasit dan Tikus Perhitungan dan pengamatan dilakukan untuk mengetahui:

1 Jumlah individu setiap spesies tikus yang tertangkap di setiap habitat penangkapan.

2 Jumlah tikus yang diinfestasi ektoparasit.

3 Jumlah setiap spesies ektoparasit yang mengenfestasi setiap individu tikus. 4 Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit pada setiap spesies tikus

berdasarkan jenis kelamin tikus.

5 Spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus. Perhitungan Prevalensi Ektoparasit

Prevalensi atau frekuensi kejadian adalah besarnya persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit dari tikus sampel yang diperiksa. Prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(28)

14

Prevalensi = × 100%

Analisis Data

Analisis keanekaragaman ektoparasit dihitung dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Weaver (Magnussen & Boyle 1995). Analisis kesamaan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi komposisi jenis ektoparasit antar tikus dilakukan dengan membandingkan kuantitas dan keanekaragaman ektoparasit masing-masing kelompok tikus menggunakan uji-t (α = 0.05).

Keterangan :

Hᵢ : Indeks keanekaragaman

S : Jumlah total jenis ektoparasit sampel

Pᵢ : Jumlah individu per jenis ektoparasit per ekor spesies tikus dibagi jumlah total individu jenis ektoparasit per ekor spesies tikus sampel.

Jumlah tikus yang terserang Jumlah tikus yang diperiksa

(29)

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Spesies Tikus dan Persentase Terinfestasi Ektoparasit

Selama penelitian, telah ditangkap sebanyak 87 ekor tikus dari 4 habitat yang berbeda (rumah, sawah, kebun, dan got). Spesies tikus yang tertangkap diidentifikasi sebagai Rattus rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus. Persentase infestasi ektoparasit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Sebaran empat spesies tikus dan persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit pada empat habitat penangkapan

Jenis tikus Jenis kelamin

Jumlah tikus tertangkap (ekor) Persentase terinfestasi ektoparasit (%) R S K G R S K G R. rattus diardii Jantan 10 0 0 0 90.0 0 0 0 Betina 15 1 0 0 86.7 100 0 0 R. argentiventer Jantan 0 5 0 0 0 80 0 0 Betina 0 15 0 0 0 86.7 0 0 R. tiomanicus Jantan 0 5 11 0 0 60.0 54.5 0 Betina 0 3 11 0 0 66.7 27.3 0 R. norvegicus Jantan 0 0 0 2 0 0 0 100 Betina 0 0 0 9 0 0 0 77.8 Ket. R: Rumah, S: Sawah, K: Kebun, G: Got.

R. rattus diardii yang tertangkap sebanyak 26 ekor terdiri dari 10 jantan dan 16 betina. Bobot R. rattus diardii berkisar antara 76.41 sampai 151.65 g. Tikus jantan relatif lebih banyak terinfestasi ektoparasit (90.0%) dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Tingkat persentase infestasi ektoparasit pada R. rattus diardii lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketiga spesies tikus lainnya. Turner

et al. (2012) melaporkan bahwa pada habitat rumah di Jawa Tengah jumlah persentase R. rattus diardii terinfestasi ektoparasit sebanyak 96.2% dengan tingkat infestasi pinjal sebanyak 63.3%. Kadarsan el at. (1986) melaporkan pola kandungan parasit pada tikus yaitu, perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit yang cara penularannya melalui kontak.

R. argentiventer yang tertangkap sebanyak 20 ekor (5 jantan dan 15 betina). Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih rendah (80.0%) jika dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Bobot R. argentiventer berkisar antara 52.29 sampai 184.48 g. Persentase infestasi ektoparasit pada R. argentiventer pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan Paramasvaran et al. (2009). Paramasvaran et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat persentase infestasi tungau sebesar 22.6% dan caplak sebesar 6.45%. Persentase

(30)

16

infestasi ektoparasit pada R. argentiventer jantan maupun betina tidak terlalu berbeda, hal ini dapat terjadi karena kedua jenis kelamin tikus ini memiliki daya jelajah yang hampir sama yaitu, sarang sebagai tempat berlindung dan sawah sebagai tempat untuk mencari sumber makanan.

R. tiomanicus terperangkap di dua habitat yang berbeda yaitu di habitat sawah dan kebun. Di sawah ditangkap sebanyak 8 ekor (5 jantan dan 3 betina) dengan pola infestasi berturut-turut yaitu 60.0% dan 66.7%. R. tiomanicus yang tertangkap di habitat kebun sebanyak 22 ekor (11 jantan dan 11 betina) dengan pola infestasi berurut-turut yaitu 54.5% dan 27.3% lebih rendah dibandingkan dengan tikus pohon yang tertangkap di habitat sawah. Bobot R. tiomanicus

berkisar antara 72.9 sampai 202.28 g. R. tiomanicus jantan pada habitat kebun memiliki persentase infestasi ektoparasit yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit dengan cara penularan melalui kontak. Kadarsan el at. (1986) melaporkan bahwa perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Mobilitas tikus memegang peranan cukup penting dan menentukan pola infestasi parasit. R. tiomanicus diketahui mempunyai habitat yang lebih luas daripada tikus lainnya.

R. norvegicus yang tertangkap sebanyak 11 ekor (2 jantan dan 9 betina). Bobot R. norvegicus berkisar antara 68.2 sampai 185.45 g. Semua jenis tikus got yang tertangkap masih tergolong pradewasa. Hal ini ditandai dari ukuran, bobot, dan morfologi tikus yang belum berkembang sempurna seperti rambut-rambut pada tubuh tikus masih jarang dan pendek, dan pada tikus betina belum muncul puting susu. Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan tikus betina (77.8%). Persentase infestasi ektoparasit pada R. norvegicus cukup tinggi, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wen-Ge et al. (2009) bahwa tingkat persentase infestasi ektoparasit pada tubuh R. norvegicus sebanyak 71% dengan persentase infestasi spesies P. spinulosa mencapai 97.26%.

Prevalensi Infestasi Ektoparasit pada Tikus

Prevalensi infestasi ektoparasit ditentukan pada empat spesies tikus dari empat habitat penangkapan. Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit (Gambar 8).

Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit. Pada tikus jantan, prevalensi infestasi ektoparasit pada R. norvegicus

paling tinggi (100%) dan terendah dijumpai pada R. tiomanicus (56.3%). Pada tikus betina, prevalensi infestasi tertinggi dijumpai pada R. rattus diardii (87.5%) dan terendah pada R. tiomanicus (35.7%).

Tingkat prevalensi infestasi ektoparasit pada tikus jantan lebih tinggi diduga karena daya jelajah tikus jantan lebih luas dibandingkan dengan tikus betina, sehingga peluangnya lebih besar terinfestasi ektoparasit. Menurut Hadi et al. (1982), tikus yang mempunyai pergerakan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dalam upaya mencari makan, tempat berlindung dan bersarang

(31)

17 cenderung banyak terinfestasi beragam parasit. Tikus ini dapat terinfestasi secara alami, yaitu ektoprasit yang menempel pada tumbuhan, tanah, dan tanah berair

Gambar 8

Prevalensi total infestasi pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tio-manicus, dan R. norvegicus

(sawah dan rawa-rawa), maupun terinfestasi parasit karena mempertahankan kehidupannya (survival), seperti persentuhan dan perkelahian.

Ektoparasit yang Menginfestasi Tikus

Lima spesies ektoparasit yang ditemukan menginfestasi empat spesies tikus selama penelitian tergolong ke dalam tiga ordo. Kelima spesies ektoparasit tersebut adalah Hoplopleura pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae),

Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera, Anoplura: Polyplacidae), Xenopsylla

cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst dan

L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae) (Tabel 2). Ada hubungan antara jenis kelamin tikus dengan tingkat populasi spesies ektoparasit pada tubuh tikus. Hal ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009) bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok ektoparasit (kutu, pinjal, tungau, dan caplak) yang ditemukan pada tubuh tikus di empat habitat yang berbeda yaitu perkotaan, hutan, sawah, dan pesisir pantai.

Jumlah individu ektoparasit yang ditemukan sebanyak 2 548. H. pacifica

pada tikus jantan dan betina ditemukan sebanyak 1 001 dan 382 (1383 individu).

P. spinulosa ditemukan sebanyak 685 individu (155 jantan dan 530 betina), X. cheopis sebanyak 16 individu (9 jantan dan 7 betina), L. nuttalli sebanyak 174 individu (61 jantan dan 113 betina), dan L. echidninus sebanyak 290 individu (91 jantan dan 199 betina). Kadarsan et al. (1986) melaporkan ada tiga kelompok ektoparasit pada tubuh tikus yang terdiri dari Anoplura, Siphonaptera, dan Mesostigmata. Paramasvaran et al. (2009) melaporkan setidaknya ada 10 spesies ektoparasit yang bias ditemukan pada tubuh tikus yang meliputi; H. pacifica, P.

90 87.5 80 86.7 56.3 35.7 100 77.8 0 20 40 60 80 100 120

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina R. rattus diardii R. argentiventer R. tiomanicus R. norvegicus

P re va lensi (% )

(32)

18

spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, L. echidninus, Ornithonyssus bacoti Hirst (Acariformes: Macronyssidae), Ascoschoengastia indica Hirst, Leptotrombidium

Tabel 2 Jumlah individu masing-masing spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus

Jenis tikus Jenis kelamin

Jumlah individu spesies ektoparasit

H. pacifica P. spinulosa X. cheopis L. nuttalli L. echidninus Sub Total R. rattus diardii Jantan 922 143 4 3 67 1 139 Betina 224 490 5 17 142 878 R. argentiventer Jantan 16 5 0 39 13 73 Betina 140 32 0 54 41 267 R. tiomanicus Jantan 45 6 5 15 11 82 Betina 8 0 2 7 11 28 R. norvegicus Jantan 18 1 0 4 0 23 Betina 10 8 0 35 5 58 Total Jantan 1 001 155 9 61 91 1 317 Betina 382 530 7 113 199 1 231

deliense Nagayo, dan Walchiella oudemansi Womersley (Acariformes: Trombiculidae) serta Amblyomma sp. Neumann (Acarina: Ixodidae).

Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Habitat Tikus Intensitas infestasi masing-masing spesies ektoparasit (H. pacifica, P. spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, dan L. echidninus) pada tubuh tikus berdasarkan habitat penangkapan (rumah, sawah, kebun, dan got) tertera pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa ada perbedaan infestasi spesies ektoparasit pada habitat rumah, sawah, dan kebun jika dibandingkan dengan pola infestasi berdasarkan spesies tikus.

Habitat Rumah

Sebanyak 25 tikus yang tertangkap di habitat rumah hanya terdiri dari tikus rumah (R. rattus diardii). Tikus betina (15 ekor) yang tertangkap di habitat rumah lebih banyak dibandingkan dengan tikus jantan (10 ekor). H. pacifica pada tikus betina memiliki infestasi yang jauh lebih tinggi (86.7%) jika dibandingkan dengan spesies-spesies ektoparasit lainnya. Infestasi ektoparasit terendah terjadi pada

L. nuttalli yaitu 13.3%. Hal ini terjadi karena seluruh aktivitas dari anggota Anoplura berada pada tubuh tikus.

Empat spesies ektoparasit pada tikus rumah (P. spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, dan L. echidninus) memiliki pola infestasi yang lebih tinggi pada tikus jantan dengan persentase berturut-turut 60%, 40%, 30%, dan 80% jika dibandingkan pada persentase infestasi pada tikus betina masing-masing 46.7%, 20%, 13%, dan 73.3%. Hal ini terjadi karena mobilitas tikus jantan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tikus betina.

(33)

19 Pada habitat sawah, tikus yang tertangkap terdiri dari 3 jenis tikus yaitu R. argentiventer (5 ekor jantan dan 15 ekor betina), R. tiomanicus (5 ekor jantan dan Tabel 3 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit

berdasarkan habitat tempat penangkapan dan jenis kelamin tikus (%) Habitat Jenis

kelamin

Jumlah tikus

Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit (%) H. Pacifica P. spinulosa X. cheopis L. nuttalli L. echidninus Rumah Jantan 10 6 (60) 6 (60) 4 (40) 3 (30) 8 (80) Betina 15 13 (86.7) 7 (46.7) 3 (20) 2 (13.3) 11 (73.3) Sawah Jantan 10 7 (70) 5 (50) 0 (0) 5 (50) 5 (50) Betina 19 12 (63.2) 8 (42.1) 0 (0) 7 (36.8) 7 (36.8) Kebun Jantan 11 0 (0) 0 (0) 2 (18.2) 3 (27.3) 5 (45.5) Betina 11 0 (0) 0 (0) 1 (9.1) 0 (0) 3 (27.3) Got Jantan 2 2 (100) 1 (50) 0 (0) 2 (100) 0 (0) Betina 9 2 (22.2) 3 (33.3) 0 (0) 4 (44.4) 1 (11.1) Total Jantan 33 15 (45.5) 12 (36.4) 6 (18.2) 13 (39.4) 18 (54.5) Betina 54 27 (50) 18 (33.3) 4 (7.4) 13 (24.1) 22 (40.7) (angka di dalam kurung): persentase infestasi spesies ektoparasit dinyatakan dalam satuan % 3 betina), dan R. rattus diardii (1 ekor betina) (Tabel 1). Penangkapan berbagai jenis tikus di habitat sawah dapat terjadi karena saat penelitian tanaman padi memasuki fase generatif, sehingga habitat sawah menyediakan sumber pakan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan habitat tikus lainnya.

Persentase terinfestasi ektoparasit pada tubuh tikus di habitat sawah memperlihatkan bahwa tikus jantan jauh lebih rentan terinfestasi ektoparasit dibandingkan tikus betina. H. pacifica (70%) adalah ektoparasit yang dominan ditemukan pada tikus jantan diikuti oleh P. spinilosa, L. nuttalli, dan L. echidninus yang memiliki persentase infestasi yang sama (50%). Pada tikus betina

H. pacifica (63.2%) juga memperlihatkan nilai infestasi yang tinggi diikuti oleh P. spinulosa (42.1%), L. nuttalli (36.8%), dan L. echidninus (36.8%). Di habitat sawah tidak ditemukan X. cheopis baik pada tikus jantan maupun tikus betina. Menurut Hartini (1985), Fenomena ini kemungkinan terjadi karena prevalensi ektoparasit kelompok ini diduga erat berhubungan dengan habitat yang harus sesuai untuk kelangsungan hidupnya.

Habitat Kebun

Sebanyak 22 ekor tikus (11 jantan dan 11 betina) yang tertangkap di habitat kebun semuanya adalah R. tiomanicus. Baik H. pacifica dan P. spinulosa tidak ditemukan pada R. tiomanicus di habitat ini dan berbeda dari ketiga habitat

(34)

20

lainnya. Hal ini bisa terjadi karena anggota Anoplura merupakan ektoparasit yang umumnya diketahui melakukan aktivitas hidup pada tubuh inang yang dekat dengan aktivitas manusia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paramasvaran et al. (2009). Dari total 51 tikus yang diperiksa, 45.1% terinfestasi oleh tungau dan 35.3% oleh caplak, akan tetapi tidak ditemukan anggota Anoplura pada tikus di habitat hutan.

Penangkapan 22 ekor R. tiomanicus dilakukan di dua tempat yaitu habitat yang jauh dan dekat dengan permukiman warga. Sebanyak 13 ekor ditangkap di habitat jauh dari permukiman dan 9 ekor di dekat permukiman warga. Dari 13 ekor tikus yang diperiksa dari habitat jauh dari permukiman tidak ditemukan ektoparasit. Hal ini berbeda pada R. tiomanicus yang tertangkap dekat dengan permukiman dan yang tertangkap pada habitat sawah (Tabel 1). Survei ektoparasit pada tikus di hutan yang dilakukan oleh Chulan et al. (2005) menunjukkan bahwa beberapa spesies hewan pengerat yang diperiksa ditemukan spesies ektoparasit yang berbeda dari tungau, caplak, kutu, dan pinjal, tetapi tidak ditemukan ektoparasit dari Anoplura dan Siphonaptera.

Habitat Got (Saluran Air)

Hasil tangkapan tikus got (R. norvegicus) sebanyak 11 ekor tikus (2 jantan dan 9 betina). Hasil pemeriksaan kedua tikus jantan memperlihatkan bahwa ditemukan tiga spesies ektoparasit ditubuhnya yang terdiri dari H. pacifica, P. spinulosa, dan L. nuttalli dengan persentase terinfestasi berturut-turut 100%, 50%, dan 100%. Pada tikus betina, dari hasil pemeriksaan 9 ekor tikus didapatkan

empat spesies ektoparasit yaitu H. pacifica, P. spunulosa, L. nuttalli, dan

L. echidninus dengan masing-masing persentase terinfestasi berturut-turut 22.2%, 33.3%, 44.4%, dan 11.1%.

Ektoparasit dari spesies X. cheopis tidak ditemukan sama sekali pada R. norvegicus baik pada tikus jantan maupun tikus betina. Hal ini kemungkinan terjadi karena tikus yang diperiksa (jantan maupun betina) masih berumur pra dewasa. Mobilitas tikus relatif belum maksimal dan rambut rambut pada tubuhnya belum memenuhi standar untuk tempat hidup ektoparasit ini. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa X. cheopis merupakan ektoparasit yang sifatnya kosmopolitan dan tidak terlalu terikat pada jenis-jenis tikus inang tertentu. Prevalensi X. cheopis

pada tikus dewasa lebih tinggi dari pada tikus muda. Demikian juga pada tikus dewasa betina (31.7%) lebih tinggi dari pada tikus jantan (Hartini 1985).

Paramasvaran et al. (2009) mengungkapkan bahwa tidak ditemukannya pinjal pada tikus sampel mungkin karena tingkat infestasi rendah atau lingkungan tidak cocok untuk kelangsungan hidup pinjal. Temuan hewan pengerat perkotaan terutama R. rattus diardii dan R. norvegicus yang terinfestasi dengan pinjal jarang dilaporkan dalam literatur. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa X. cheopis

jarang ditemukan di daerah ladang pada ketinggian lebih dari 1 000 meter di atas permukaan laut.

Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Spesies Tikus Intensitas infestasi spesies ektoparasit L. echidninus pada tikus jantan memiliki pola infestasi yang lebih tinggi yaitu 54.5% dibandingkan dengan intensitas infestasi spesies ektoparasit lainnya (Tabel 4). Spesies X. cheopis

(35)

21 memiliki intensitas infestasi yang jauh lebih rendah baik pada tikus jantan maupun tikus betina dibandingkan keempat spesies ektoparasit lainnya.

Rendahnya intensitas infestasi X. cheopis diduga karena lingkungan habitat penangkapan tikus kurang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Selain faktor habitat tempat penangkapan tikus dan lingkungan yang kurang mendukung, juga diduga karena siklus hidup dan perilaku X. cheopis yang berbeda dengan ektoparasit lainnya. Pada fase telur, larva, dan pupa X. cheopis hidup bebas di luar tubuh inang dan setelah memasuki fase dewasa pinjal ini aktif mencari inang. Noble dan Noble (1989) menduga bahwa sebagian besar pinjal jantan mati Tabel 4 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit

berdasarkan spesies dan jenis kelamin tikus (%) Jenis tikusᵇ Jenis kelamin Jumlah tikus

Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit (%) H. pacifica P. spinulosa X. cheopis L. nuttalli L. echidninus Rr Jantan 10 6 (60) 6 (60) 4 (40) 3 (30) 8 (80) Betina 16 14 (87.5) 8 (50) 3 (18.8) 2 (12.5) 10 (62.5) Ra Jantan 5 4 (80) 3 (60) 0 (0) 3 (60) 3 (60) Betina 15 10 (66.7) 7 (46.7) 0 (0) 6 (40) 6 (40) Rt Jantan 16 3 (18.8) 2 (12.5) 2 (12.5) 5 (31.3) 7 (43.8) Betina 14 1 (7.1) 0 (0) 1 (7.1) 1 (7.1) 4 (28.6) Rn Jantan 2 2 (100) 1 (50) 0 (0) 2 (100) 0 (0) Betina 9 2 (22.2) 3 (33.3) 0 (0) 4 (44.4) 1 (11.1) Total Jantan 33 15 (45.5) 12 (36.4) 6 (18.2) 13 (39.4) 18 (54.5) Betina 54 27 (50) 18 (33.3) 4 (7.4) 13 (24.1) 22 (40.7) ª (angka di dalam kurung): persentase infestasi spesies ektoparasit dinyatakan dalam satuan %. ᵇ Rr: R. rattus diardii, Ra: R. argentiventer, Rt: R. tiomanicus, Rn: R. norvegicus

segera setelah kopulasi. Perubahan musiman terhadap cuaca mempengaruhi jumlah telur yang diletakkan dan stadium larva. Kelembaban bagi larva merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kelangsungan hidupnya. Masing-masing kelompok ektoparasit menunjukkan pola infestasi yang berbeda-beda. Yang menarik adalah sifat dan bentuk hubungan yang terjalin antara masing-masing kelompok ektoparasit dengan tikus.

Ordo Phthiraptera

H. pacifica dan P. spinulosa dari Subordo Anoplura adalah ektoparasit yang paling sering ditemukan pada tubuh tikus. Hopkins (1949 dalam Hartini 1985) menyatakan bahwa kedua jenis ektoparasit ini memiliki sifat kosmopolitan dengan penyebaran yang sangat luas di setiap inangnya. Pada penelitian ini tingkat

(36)

22

prevalensi infestasi H. pacifica dan P. spinulosa pada tikus jantan berturut-turut 45.5% dan 36.4%, sedangkan pada tikus betina berturut-turut 50% dan 33.3%. Tingkat infestasi dari kedua anggota Anoplura ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009), yaitu rata-rata tingkat infestasi Anoplura pada empat habitat penangkapan tikus sekitar 11.9% dan pada habitat hutan serta sawah tidak ditemukan Anoplura.

H. pacifica dan P. spinulosa tidak ditemukan pada tubuh R. tiomanicus di habitat kebun, akan tetapi kedua spesies ini ditemukan di tubuh R. tiomanicus

pada habitat sawah kecuali P. spinulosa pada tikus betina. Hartini (1985) mengungkapkan bahwa komposisi kandungan ektoparasit pada tubuh tikus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada jenis inang dan perbedaan habitat inang. Ada kemungkinan terjadi perpindahan silang ektoparasit di setiap jenis tikus.

Ordo Siphonaptera

Tingkat infestasi X. cheopis pada tikus jantan (18.2%) lebih besar dibandingkan pada tikus betina (7.4%). Hasil ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009), yaitu tingkat rata-rata infestasi pinjal pada tiga spesies tikus (R. rattus diardii, R. norvegicus, dan R. exulans) di empat habitat penangkapan yang berbeda sekitar 12,4%. Ristiyanto et al. (2004) melaporkan hal yang berbeda, yaitu jumlah total X. cheopis yang berhasil diperoleh sebanyak 69 individu pada 121 ekor tikus yang tertangkap atau sekitar 57.02%.

Diperolehnya X. cheopis dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan keempat jenis ektoparasit lainnya serta hanya ditemukan pada R. rattus diardii dan R. tiomanicus menjadi hal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan Lim et al. (1980) bahwa X. cheopis

ditemukan dengan mudah pada R. tiomanicus di tempat-tempat pada ketinggian 1 000 m di atas permukaan laut. Hadi et al. (1982) mengungkapkan bahwa X. cheopis dapat dijumpai pada berbagai jenis Rattus.

Ordo Acariformes

Persentase Infestasi Mesostigmata dari spesies L. nuttalli dan L. echidninus

pada tikus relatif tinggi pada tikus jantan berturut-turut yaitu (39.4%) dan (54.5%) dibanding dengan tikus betina dengan infestasi masing-masing (24.1%) dan (40.7%). Hal ini diduga disebabkan tikus jantan lebih aktif mobilitasnya (pergerakannya) dibandingkan dengan tikus betina, sehingga kemungkinan adanya kontak dengan individu lain lebih besar. Hartini (1985) mengungkapkan bahwa kelompok Akarina dan Anoplura sangat bergantung pada cara pergerakan inang untuk mendapatkan induk sebagai inang baru.

Karakter Spesies Ektoparasit

Spesies ektoparasit yang diperoleh dari tubuh tikus memiliki beberapa karakter yang spesifik. Karakter penting lima spesies ektoparasit yang dijumpai selama pengamatan diuraikan sebagai berikut.

Gambar

Gambar  1    Morfologi  Hoplopleura  pacifica  (ventral),  (a)  kepala,  (b)  toraks,         (c) abdomen (Emerson 2002)
Gambar 6  Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga  Ket:    Kecamatan Sukamandi, Kabupaten Subang
Gambar  7  Perangkap  hidup  (live  trap)  tikus,  A.  Multiple  trap  untuk  tikus  di  habitat  sawah,  B
Tabel  1  Sebaran  empat  spesies  tikus  dan  persentase  tikus  yang  terinfestasi  ektoparasit pada empat habitat penangkapan
+4

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan di atas maka penulis memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul “ Perbandingan Tindak Tutur

Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka pengenalan Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka

Dari hasil penilaian status gizi pasien, tidak terdapat hubungan bermakna antara perlakuan HD dengan penurunan kadar albumin serum (50%) pada minggu pertama dan minggu

Menyatakan bahwa “Skripsi” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Perubahan parameter proses pemesinan yang terjadi diidentifikasi dengan perubahan harga korelasi yang merupakan perbandingan gradient antara persamaan garis gaya

Pada siklus II yang telah dilaksanakan, Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran Matematika pada materi Aljabar dapat meningkatkan rata-rata aktivitas

Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat akhir

Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif yang baik lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian ASI eksklusif yang tidak baik, lebih dari