• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stres

Mendefinisikan dan mengidentifikasi stres adalah langkah pertama dalam memahami konsekuensi dari stres kerja. Stres itu sendiri memiliki arti yang berbeda pada tiap individu tergantung pada bagaimana individu tersebut merespon masalah yang dihadapi baik berkaitan dengan beban kerja maupun lingkungan kerja. Banyak definisi dari stres yang berkaitan dengan ilmu kesehatan mental dan fisik. Menurut Bruno (1991) stres adalah suatu tingkat kesedihan dari suatu individu. Selye (1956, 1976) mendefinisikan stres sebagai penjumlahan dari seluruh perubahan tidak spesifik yang disebabkan oleh fungsi atau kerusakan. Dari sisi kesehatan, hal ini terkait dengan respon tubuh terhadap perubahan psikologi yang berhubungan dengan sindrom “perlawanan” (Selye, 1976).

Menurut Bowes et al (1999) stres adalah tekanan dari luar maupun dalam yang menyebabkan tubuh merespon dengan mengaktifkan suatu sistem yang rumit untuk menghasilkan hormon dan neurotransmitter yang membantu jantung dan otak bekerja untuk menanggapinya. Herbert (1997) mendefinisikan stres sebagai suatu permintaan baik secara fisik maupun mental yang keluar dari norma sewajarnya, stres tersebut biasanya memberikan tanda perbedaan antara apa yang seharusnya optimal dan apa yang sudah ada.

Mason (2001) mendefinisikan stres sebagai reaksi dari tubuh terhadap pengaruh yang negatif. Penelitiannya menunjukan bahwa stres dapat berarti negatif atau positif, contohnya : kesenangan, tantangan, perceraian dan tanggung jawab pekerjaan.

Miller (1998) mendefinisikan stres sebagai perasaan sedih terhadap suatu trauma hidup dan akumulasi dari kejadian di masa lalu. Mereka membagi stres menjadi 2(dua) konstruk : event stress dan added stress. Event stress adalah reaksi yang berhubungan langsung dengan suatu kejadian, sementara added stress adalah permasalahan yang dihadapi seiring dengan kejadian utama yang dapat menyebabkan stres.

Bowes et al (1999) memperingatkan bahwa dalam jangka panjang, stres dapat menyebabkan tubuh bereaksi seperti karet gelang. Setelah renggang akibat

(2)

stres, tubuh tidak dapat kembali ke keadaan semula dengan cepat. Semakin lama mengalami stres, akan semakin berbahaya kerusakannya. Kerusakan ini dapat berupa kemarahan, sakit jantung, tidak berfungsinya kekebalan tubuh, depresi, dan gejala penyakit tubuh lainnya.

Phillips (1995) menggambarkan 4 (empat) jenis stres dalam sebuah matriks 2 x 2 (Gambar 1). Empat jenis stres tersebut adalah: stres sehat, stres tidak produktif, sedikit stres dan situasi stres tidak sehat (healthy stress, unproductive stress, too little stress and unhealthy stress situations).

Gambar 1 Siklus stres (Phillips, 1995)

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan kondisi yang timbul akibat akumulasi ketidakseimbangan pada tubuh karena kejadian atau pengalamanan di masa lalu yang dapat berpengaruh pada tindakan individu saat ini maupun masa yang akan datang. Kondisi tubuh yang tidak seimbang dapat berpengaruh pada kondisi fisik maupun mental dan akan sangat berbahaya jika dibiarkan berkepanjangan.

(3)

2.1.1 Sumber-Sumber Penyebab Terjadinya Stres Kerja

Menurut Parkinson (1995) berbagai masalah yang menimbulkan stres dapat muncul setiap saat di tempat kerja dan sudah merupakan hal yang umum. Dalam lingkungan kerja tidak mungkin diciptakan suatu kondisi yang mutlak mencegah perbedaan pendapat diantara pegawainya. Sebagai contoh, dua orang pegawai yang bekerja berdampingan, dapat berbeda pendapat mengenai prisip hidup, pendapat politik maupun agama. Hal ini pasti menimbulkan stres dan tentu saja jika pada frekuensi dan jumlah yang tidak dapat ditoleransikan lagi akan berdampak negatif. Faktor-faktor lainnya dapat berupa beban kerja yang terlalu banyak, pekerjaan terlalu sedikit, hubungan atasan dan bawahan kurang serasi, peranan tidak jelas dan sebagainya. Istilah penyebab stres digunakan untuk semua pengalaman fisik atau mental yang tidak menyenangkan tersebut.

Beberapa penyebab stres kerja, menurut Hurrel et al. (1998), Losyk (2005), Robbins (2003) dan Robbins dan Judge (2008) ditunjukan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Penyebab stres kerja

No. Penyebab Stres Kerja Sumber

1. Faktor-faktor yang intrinsik di dalam penugasan, peran dalam organisasi, hubungan antar pribadi di tempat kerja, pengembangan karir, struktur dan iklim organisasi

Hurrel et al. (1998) 2. Kualitas supervisi, beban kerja yang berlebihan tekanan

dan desakan waktu, konflik peran, perubahan kemajuan teknologi, hubungan dengan rekan kerja, kondsi fisik lingkungan kerja dan tidak adanya peluang dan kesempatan

Losyk (2005)

3. Faktor lingkungan (ketidakpastian ekonomi,

ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi), faktor organisasi (tuntutan tugas, tuntutan sarana, tuntutan antar-pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan tahap perkembangan organisasil), faktor individu (masalah keluarga, masalah ekonomi, dan kepribadian)

Robbins (2003)

4. Faktor-faktor lingkungan (ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi), faktor-faktor organisasional (tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan antarpersonal), faktor-faktor personal ( persoalan keluarga, persoalan ekonomi, dan kepribadian)

Robbins dan Judge (2008)

.

Penyebab stres kerja yang dapat disimpulkan dari beberapa penelitian diatas dapat berasal dari dalam maupun dari luar individu. Faktor dari dalam berupa faktor-faktor personal seperti: kepribadian, persoalan ekonomi, konflik peran dan hubungan interpersonal. Sementara faktor dari luar berupa faktor

(4)

lingkungan seperti: ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, perubahan teknologi, kondisi lingkungan kerja, iklim organisasi dan masih banyak lagi.

2.1.2 Strategi Coping

Herbert (1997) mendefinisikan coping sebagai suatu proses mengenali, mengevaluasi dan beradaptasi terhadap stres. Davison dan Neale (2001) mendefinisikan konsep coping sebagai suatu proses bagaimana individu mencoba untuk menghadapi permasalahan atau emosi yang dihasilkan akibat permasalahan tersebut.

Strategi coping dapat dikategorikan pada 2 (dua) dimensi, yaitu: fokus pada permasalahan (problem-focused coping) dan fokus pada emosi ( emotion-focused coping). Problem-focused lebih kepada tindakan apa yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan sementara emotion-focused lebih melihat pada bagaimana usaha individu untuk mengurangi emosi negatifnya terhadap stres (Lazarus dan Folkman, 1984)

Strategi yang sering dianggap lebih efektif adalah dengan menggunakan

problem-focused coping, dimana strategi ini bertujuan untuk menghilangkan pemicu stres, bukan hanya memodifikasi efek negatif stres seperti dalam emotion-focused (Lazarus & Folkman, 1984; Endler & Parker, 1990). Sumber mengatasi stres didapat dari dukungan sosial keluarga, atasan di tempat kerja, dan rekan kerja, sehingga memiliki potensi untuk memperbaiki beberapa efek negatif dari stres (Patterson, 2003;. Thompson et al, 2005).

Berdasarkan uraian tersebut maka strategi coping lebih fokus pada mencari solusi permasalahan melalui mekanisme kendali emosi. Emosi yang terkendali diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan timbulnya stres terutama stres di tempat kerja.

2.1.3 Manajemen Stres

Untuk menjamin kelangsungan hidup organisasi dengan meningkatkan produktivitas organisasi, maka organisasi sangat perlu untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sehingga mampu memberikan kepuasan kerja pada setiap anggota organisasi. Oleh karena itu organisasi harus berusaha untuk

(5)

mengelola setiap kegiatan dengan baik, yaitu meminimumkan lingkungan kerja yang menimbulkan stres kerja melalui program-program berikut (Ivancevich and Matesson, 1997).

1) Memaksimalkan kecocokan antara individu dan lingkungan (Maximizing person-Envinronment Fit), yaitu merupakan pendekatan yang menfokuskan pada dua dimensi memajukan penghargaan secara formal maupun informal untuk menyelaraskan dengan kebutuhan individu dan memajukan keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang dimiliki pegawai selaras dengan permintaan dan keperluan pegawai.

2) Program pencegahan dan pengelolaan stres organisasi (Organizational stres and management program), yaitu meliputi (a) employee assistance program (EAPs) merupakan program yang didesain untuk memperlebar jangkauan penanganan masalah yang berhubungan dengan stres, pekerjaan dan hal lain di luar perkerjaan termasuk masalah perilaku, emosi, keluarga, perkawinan dan berbagai masalah pribadi, dan (b) health promotions program, yaitu program yang difokuskan pada masalah kesehatan fisik dan mental pegawai.

3) Pendekatan individu terhadap pencegahan dan pengelolaan stres (Individual approach to stres prevention and management), yaitu merupakan teknik atau pendekatan yang biasa dilakukan melalui program yang meliputi (a) congnitive technique yaitu respon seseorang terhadap pemicu stres yang ada melalui proses kognitif. Asumsi yang mendasari teknik ini adalah pemikiran individu, dalam bentuk ekspektasi, kepercayaan dan asumsi yang semuanya merupakan label seseorang dalam merespon situasi, (b) relaxation training yaitu berupa latihan pernafasan, relaksasi otot-otot sehingga meningkatkan kesehatan fisiologi maupun psikologi, dan (c) biofeedback yaitu teknik yang digunakan untuk mengkontrol proses yang terjadi dalam tubuh seseorang.

Menurut Sudarmono dan Sudita (2000) cara mengatasi stress kerja dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan individu dan organisasi. Bagi individu pentingnya dilakukan penanggulangan stres karena stres mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas dan penghasilan. Sedangkan bagi organisasi

(6)

bukan karena alasan kemanusiaan tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi dan efektifitas organisasi secara keseluruhan. Perbedaan penanggulangan stres antara pendekatan individu dan pendekatan organisasi tidak dibedakan secara tegas. Pengurangan stres dapat dilakukan pada tingkat individu, organisasi maupun keduanya. Secara keseluruhan penanggulangan stres secara individual dan organisasi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Penanggulangan stres secara individual dan organisasi

Secara Individual Secara Organisasi

1. Meningkatkan keimanan

2. Melakukan meditasi dan pernafasan 3. Melakukan kegiatan olah raga

4. Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga

5. Melakukan rileksasi

6. Menghindari kebiasaan rutin yang membosankan

1. Melakuan perbaikan iklim organisasi 2. Melakukan perbaikan terhadap lingkungan

fisik

3. Menyediakan sarana olah raga

4. Melakukan analisis dan kejelasan tugas 5. Mengubah struktur dan proses organisasi 6. Meningkatkan partisipasi dalam proses

pengambilan keputusan 7. Melakukan restrukturisasi tugas

8. Menerapkan konsep manajemen berbasis sasaran

Sumber : Sudarmono dan Sudita (2000)

Berdasarkan uraian tersebut maka manajemen stres lebih ditekankan pada pengelolaan emosi dengan melakukan pekerjaan atau tindakan yang bermanfaat bagi individu tersebut. Selain itu manajemen stres juga ditekankan pada perbaikan fisik dan mental individu baik dari dalam maupun luar. Kombinasi perbaikan kondisi tersebut akan semakin menjauhkan individu dari gejala timbulnya stres

2.1.4 Identifikasi Stres dan Pemodelan Manajemen Stres

Identifikasi stres dan pemodelan manajemen stres yang tepat dan sesuai terus dikembangkan oleh para peneliti dalam upaya penanggulangan stres baik pada individu maupun kelompok. Ada beberapa tinjauan literatur yang berkaitan dengan identifikasi stres dan aplikasi pemodelan manajemen stres yang dapat digunakan dalam upaya mendefinisikan dan menjelaskan hubungan sebab-akibat antara penyebab stres pada individu maupun kelompok, baik yang berasal dari psikologis ataupun lingkungan.

Dari beberapa penelitian yang telah dikembangkan oleh peneliti-peneliti terdahulu didapatkan diantaranya 10 (sepuluh) model pengukuran yang berhasil dalam mengembangkan model coping strategy, salah satunya model pengukuran

(7)

dari Epstein (1986) yaitu Constructive Thinking Inventory(CTI) yang digunakan dalam penelitian saat ini, lebih lengkap beberapa model pengukuran yang ada terangkum dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Model Pengukuran Identifikasi dan Manajemen Stres (Coping Strategy)

Peneliti Tahun Model Keterangan

Derogatis 1986 Derogatis Stress Profile Menguji dan menggambarkan

tingkat stres dalam 3 bagian

Noland 1986 PERSONALYSIS Mengukur perbedaan

karakteristik personal individu Adams 1989 Understanding and

Managing Stress

Kumpulan tes yang menguji tingkat stres dan hubungannya dengan kesehatan

Faulkner and

Anderson 1993

Stress Indicator and Health Planner (SIPH)

Mengidentifikasi masalah kesehatan sekaligus merencanakan perbaikan kesehatan dan produktifitas Bar-On 1997 BarOn Emotional Quotient

Inventory (EQ-i)

Mengidentifikasi tingkat kecerdasan emosi individu Nelson, Schmidt

and Nelson 1985

Stress Analysis System

(SAS)

Mengidentifikasi potensi penyebab stres dan kemampuan mengenali gejala stres

Peterson 1987 Stress Management

Questionnaire (SMQ)

Mengidentifikasi bagaimana individu merespon stressor dan mengatasinya

Crosby, Scherer

and Crosby 1985

People Performance Profile (PPP)

Mengukur bagaimana karyawan mempersepsikan perusahaan, tim dan dirinya

Kindler 1993

Personal Stress Assessment Inventory

(PSAI)

Mengidentifikasi individu yang mendapatkan keuntungan dalam pelatihan manajemen stres Epstein 1986 Constructive Thinking

Inventory (CTI)

Mengukur karakteristik pikiran dari suatu sistem pengalaman Secara garis besar seluruh penelitian tersebut difokuskan pada dua hal, pertama: mencari tahu atau mengidentifikasi potensi penyebab stres dan kedua: mencari solusi dalam menanggulangi stres. Penanggulangan stres berupa mengukur sejauh mana tingkat kecerdasan emosi atau karakteristik apa yang harus dimiliki individu dalam menghadapi stres.

2.2 Teori Pemikiran Konstruktif (Constructive Thinking Theory).

Constructive Thinking Theory telah dipelajari pada beberapa penelitian dengan jenis populasi yang berbeda. Beberapa penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir konstruktif dengan kesehatan fisik maupun mental (Epstein, 1992; Epstein dan Katz, 1992; Hoyer, et al., 1998; Katz dan Epstein, 1991; Park, et al., 1997; Scheuer dan Epstein, 1997).

(8)

Penelitian lain juga mengungkapkan adanya hubungan antara kemampuan berpikir konstruktif dengan sosialisasi di tempat kerja (Epstein, 1990, 1991; Epstein dan Meier, 1989; Katz dan Epstein, 1991).

Epstein mengembangkan Constructive Thinking Theory (CT) sejak tahun 1986. Epstein mendefinisikan Constructive Thinking sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sehari-hari dengan meminimalkan tingkat stres atau suatu tingkatan dimana seseorang mampu berpikir secara otomatis dalam memecahkan suatu masalah. Epstein menemukan bahwa ada 2 (dua) bentuk kecerdasan : kecerdasan rasional, diukur melalui uji kecerdasan dan kecerdasan pengalaman, termasuk kecerdasan secara praktis dan emosi. Kecerdasan pengalaman bekerja dengan cepat, efisien dan mendukung tindakan dari sudut pandang menyeluruh. Sementara kecerdasan rasional bekerja melalui proses analisis dan terencana. Sebagai contoh keputusan seorang pemimpin berhubungan dengan kecerdasan pengalaman, sedangkan dalam memecahkan persoalan matematika memerlukan kecerdasan rasional.

Penelitian Epstein (1990) menyatakan ada 2 (dua) dimensi dari pikiran yaitu isi dan proses. Isi lebih pada komponen yang spesifik dari kenyataan (contoh: individu akan mudah dipercaya atau tidak). Proses menyangkut bagaimana suatu sistem bekerja. Epstein menggambarkan 2 (dua) dimensi ini sebagai berikut: sebuah pernyataan seperti “Ketika saya gagal dalam ujian, saya merasa benar-benar gagal dan saya tidak akan pernah mencoba lagi”, ini adalah respon yang negatif baik secara isi maupun proses. Isinya menyatakan perasaan pesimis, sementara prosesnya terlalu mengeneralisasi keadaan. Jika responnya seperti “Ketika saya mampu mengerjakan ujian, saya merasa sukses dan saya akan sukses di setiap ujian”, isinya positif namun prosesnya juga terlalu mengeneralisasi keadaan. Sedangkan respon yang konstruktif untuk pernyataan tersebut adalah “Ketika saya gagal pada sebuah ujian, saya menyadari bahwa ini hanya terjadi pada ujian ini dan saya akan belajar dari pengalaman ini untuk tidak kecewa”.

Katz dan Epstein (1991) melakukan penelitian tentang bagaimana seorang pemikir konstruktif bereaksi terhadap stres dan perasaan khawatir. Hasilnya adalah seseorang yang tidak berpikiran konstruktif akan mengalami tingkatan

(9)

stres yang lebih tinggi dibandingkan yang berpikiran konstruktif. Ini menjadi bukti adanya perbedaan reaksi antara pemikir konstruktif dan tidak terhadap suatu obyek atau kejadian yang sama (menunjukkan isi dan proses yang positif).

Manzo (1998) mengembangkan definisi pemikiran konstruktif yang di dalamnya mencakup pemikiran kritis dan proses intelektual yang kreatif,

Constructive Thinking diilustrasikan sebagai sebuah komposisi dan alat dari pemecahan solusi yang di dalamnya dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan untuk pemecahan solusi permasalahan yang terjadi.

Menurut Epstein (1998) individu yang memiliki kontrol terhadap stressor

akan bereaksi berbeda. Stres akan dialami oleh mereka yang tidak berpikir konstruktif dan biasanya berpengaruh terhadap hubungannya dengan sesama rekan dan cenderung bermasalah di tempat kerja. Ada 3 (tiga) alasan utama mengapa pemikir konstruktif yang baik mengalami stres lebih ringan dibandingkan dengan pemikir non konstruktif :

1. Individu tersebut lebih efektif menggunakan strategi coping dalam menghadapi keadaan stres.

2. Individu tersebut menginterpretasikan keadaan stres dengan cara yang berbeda, yaitu menganggap kejadian itu sebagai tantangan dibandingkan dengan sebuah ancaman. Mereka menganggap situasi buruk itu sebagai sebuah keadaan sementara bukan permanen dan tidak bereaksi negatif terhadap hal itu.

3. Individu tersebut berlatih untuk menghadapi stres dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbiasa berada dalam situasi sulit baik di tempat kerja maupun di rumah.

Secara keseluruhan hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa seorang pemikir konstruktif akan lebih berpengalaman dalam menghadapi stres sehingga dapat tetap bekerja dengan baik dan menganggap situasi sulit sebagai sebuah tantangan. Epstein (1998) menyatakan lebih lanjut bahwa di tempat kerja, pemikir konstruktif yang baik akan menggunakan komunikasi yang jelas untuk memecahkan masalah mereka tanpa menunjukkan kemarahan, kebencian, kekecewaan ataupun putus asa, sehingga kondisi tersebut dapat mengurangi tekanan yang terjadi dan terhindar dari stres kerja.

(10)

Sementara itu hasil penelitian lanjutan dari Epstein (1998) menunjukkan bahwa pemikir konstruktif yang buruk atau disebut pemikir destruktif memiliki tingkat stress yang lebih tinggi. Pemikir destruktif memilki perasaan cemas dan khawatir yang berlebihan baik sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan ataupun tindakan, mereka cenderung menghindari kegagalan daripada menerimanya sebagai tantangan.

Berdasarkan uraian itu, pemikiran konstruktif erat kaitannya dengan cara individu dalam menanggulangi stres. Individu yang mampu mengembangkan pemikiran konstruktif akan cenderung mampu mengontrol emosi sehingga terhindar dari stres.

2.3 Konsep Constructive Thinking Inventory

Epstein mengembangkan pemodelan Constructive Thinking Inventory

(CTI) sejak tahun 1986. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi stres dan mendapatkan strategi manajemen stres (coping strategy) yang didasarkan pada teori berpikir konstruktif Epstein. Constructive Thinking Inventory didasarkan pada teori Cognitive-Experiential Self Dr Epstein. Menurut teori ini, seseorang memiliki dua sistem adaptif yang mendasar yaitu sebuah "sistem pengalaman" yang secara otomatis belajar dari pengalaman hidup, dan "rasional/sistem intelektual" yang berdasarkan penalaran.

Constructive Thinking Inventory ini akan mengukur kemampuan individu untuk memecahkan masalah sehari-hari dengan meminimalkan kondisi stres yang dialaminya dengan kata lain mengukur sejauh mana individu dapat berpikir konstruktif atau destruktif dalam memecahkan masalah. Constructive Thinking

diukur dengan menggunakan 1 (satu) Global Constructive Thinking (GCT) scale

dan 6 (enam) sub-scales yaitu Behavioral Coping (BC), Emotional Coping (EC),

Personal Superstitious Thinking (PST), Categorical Thinking (CaT), Esoteric Thinking (ET) dan Naive Optimism (NaO) dari Constructive Thinking Inventory

(CTI).

Untuk menguji faktor-faktor tersebut, Epstein (1986) menggunakan kuesioner yang berisi 108 (seratus delapan) pernyataan yang membutuhkan jawaban dari individu/responden berdasarkan pada skala Likert dengan 5 (lima)

(11)

pilihan sikap alternatif yaitu "sangat tidak setuju" hingga "sangat setuju".

Constructive Thinking Inventory (CTI) ini dimaksudkan untuk mendapatkan skor individu/responden pada enam sub-skala dan skala global secara keseluruhan. Dari nilai ini, didapatkan hasil tingkat berpikir responden yang mengarah pada identifikasi coping strategi yang diharapkan.

Constructive Thinking Inventory yang dikembangkan Epstein (1986) selain digunakan untuk mengukur pemikiran konstruktif dan destruktif dari seseorang atau kelompok, digunakan juga untuk memprediksi berbagai kemampuan yang diinginkan, termasuk kinerja kerja, keterampilan sosial, emosional dan kesejahteraan fisik. Constructive Thinking Inventory telah banyak digunakan oleh banyak peneliti lainnya untuk mengukur kemampuan lain yang dikembangkan sesuai kebutuhan dari seseorang ataupun kelompok.

Berdasarkan uraian tersebut Constructive Thinking Inventory merupakan kumpulan pernyataan untuk menguji sejauh mana individu telah berpikiran konstruktif. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner tersebut akan menunjukkan kearah mana individu tersebut cenderung berpikir atau bertindak dalam merespon kondisi yang terjadi di sekitarnya.

2.4 Hubungan Stres dan Pekerjaan

Minirth et al. (1997) mengkategorikan stres manjadi 2(dua) jenis, baik dan buruk. Stres yang baik berhubungan dengan kejadian yang membahagiakan atau kepuasan sedangkan stres yang buruk berakibat pada suatu tindakan yang negatif.

Cooper (2001) menyatakan bahwa stres juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari agar individu selalu belajar dan berkembang. Dalam organisasi stres membantu pegawai menjadi efektif dan memiliki kemampuan dalam mengatasi permasalahan pekerjaan.

Menurut penelitian Atkinson (2000), beberapa aspek dalam pekerjaan dapat menyebabkan stres jika tidak ditangani dengan baik, termasuk diantaranya di bidang pekerjaan (jam kerja, kurangnya kontrol dan beban kerja), gaya kepemimpinan (kurangnya komunikasi dan partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan) dan hubungan personal (tidak ada dukungan dari atasan, gap dengan atasan). Meningkatnya stres kerja juga berhubungan dengan peran pekerja

(12)

(konflik pekerjaan), karir (terbatasnya pengembangan karir) dan kondisi lingkungan (kondisi lingkungan yang berbahaya) seringkali terjadi di banyak organisasi.

Moses (1998) mengungkapkan bahwa suatu pendekatan untuk mengelola stres harus terkonsentrasi pada individu. Penelitiannya menunjukkan bahwa stres kerja merupakan hasil dari berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi dan demografi yang dialami oleh individu di tempat kerja.

Stres kerja adalah bentuk stres yang diakibatkan oleh suatu pekerjaannya, yang ditandai oleh perubahan dalam diri orang tersebut yang menyebabkan penyimpangan perilaku dari fungsi yang normal (Soewondo, 1993). Stres tidak sendirinya harus buruk, walaupun stres lazimnya dibahas dalam konteks negatif, stres juga memiliki nilai positif. Stres yang terlalu berat dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, akibatnya pada pegawai berkembang berbagai macam jenis gejala stres yang dapat menganggu kinerjanya. Sementara itu dalam penelitian Yulianti (2000) dikemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, respon dan stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada lingkungan. Losyk (2005) mengatakan bahwa stres kerja terjadi ketika seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan atau kebutuhan dari pekerjaannya, dimana terlalu banyak yang harus dilakukan, kurangnya waktu dan kurangnya tenaga kerja untuk menuntaskan pekerjaanya.

Stres ditempat kerja merupakan ancaman yang serius, baik bagi keamanan pegawai, maupun bagi kelangsungan organisasi (Hurrel et al, 1998) dimana setiap individu yang bekerja dalam suatu organisasi mengalami tekanan dalam upayanya membentuk identitasnya sesuai dengan harapan-harapan yang normatif. Harapan-harapan tersebut berkaitan dengan peran dalam organisasi, yakni peran yang diinginkan oleh individu sendiri, peran yang diinginkan oleh orang lain bagi individu tersebut, serta peran yang dituntut dari individu dalam kaitannya dengan pekerjaan di dalam organisasi.

Ivancevich dan Matesson (1997) merumuskan stres kerja sebagai suatu tanggapan penyesuaian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan individu atau proses psikologis yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan dari luar lingkungan,

(13)

situasi dan peristiwa yang menimbulkan kondisi fisik yang berlebihan pada seseorang. Sementara menurut Newman dan Beehr (1979) stres kerja ditinjau dari sudut interaksi antara individu dan lingkungan, kondisi dimana terdapat interaksi antara individu dan pekerjaannya dan dikarakterisasikan oleh perubahan di dalam diri individu yang memaksa untuk menyimpang.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa stres kerja sangat erat kaitannya dengan kondisi pekerjaan yang dilakukan baik oleh individu maupun kelompok. Kondisi tersebut lebih ditekankan pada interaksi antar sesama pegawai, anggota kelompok, atasan dan bawahan, juga beban kerja yang diberikan.

2.5 Dampak dari faktor Demografi terhadap Stres Kerja

Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor demografi dengan stres kerja. Dalam penelitian ini faktor demografi yang diteliti adalah perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Berikut akan dijabarkan beberapa hasil penelitian atau teori yang berhasil ditemukan berkaitan dengan faktor demografi (jenis kelamin, usia dan pendidikan) dengan stres kerja. Teori-teori yang dijabarkan tersebut akan menjadi dasar dalam menganalisa perbedaan karakteristik demografi dalam rangka menanggulangi stres kerja.

2.5.1 Perbedaan Jenis Kelamin dalam Menanggulangi Stres Kerja

Perbedaan jenis kelamin dapat sangat berdampak pada penelitian yang berbasis peran, seperti yang banyak dibuktikan oleh banyak penelitian dengan banyak perilaku peran atau yang lebih dikenal “gender”. Penelitian yang terus dilakukan membuktikan adanya hasil pengukuran varian yang disebabkan oleh perbedaan gender (Goleman, 1998; Liem dan Teo, 1996; Burke, 1996).

Sementara itu menurut Anisman dan Merali (1999) bahwa interaksi kelenjar fisik dapat menyebabkan perbedaan reaksi gender yang seringkali dapat terlihat dalam gangguan perilaku seperti salah satu contohnya adalah gangguan suasana hati (mood disorders), reaksi yang timbul akan berbeda antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut sangat berdampak pada perilaku mereka di tempat kerja. Peneliti lain yaitu Schwartz (1992) menemukan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah lebih berpontesi membawa konflik stres ke tempat bekerja

(14)

setiap harinya, kecenderungan ini tidak hanya berasal dari bagaimana cara pandang perempuan terhadap pekerjaan itu melainkan pada bagaimana budaya masyarakat memandang perempuan yang bekerja.

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Lim dan Teo (1996) menemukan adanya perbedaan dan persamaan dalam respon stres kerja dan strategi penanggulangan stres kerja antara laki-laki dan perempuan, dimana pegawai perempuan sangat signifikan mempunyai skor stres yang tinggi akibat faktor intrisik pada pekerjaan mereka yaitu peran manajerial yang diterimanya dibandingkan pada pegawai laki-laki, sedangkan kebutuhan pergi dari rumah untuk bekerja antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Sementara itu perbedaan lain yang terlihat adalah cara dalam menanggulangi stres (coping strategy) dimana pegawai perempuan cenderung menggunakan emosi mereka dengan mencari dukungan sosial dan berbicara kepada orang lain yang dipercayanya tentang kesulitan mereka, sedangkan pegawai laki-laki mengatasi stres mereka secara logis dan tidak emosional.

Dalam studi lanjutannya, Lim dan Teo (1996) menemukan perbedaan kehidupan profesional akademik yaitu pada jaringan kerja dan pengembangan karir antara laki-laki dan perempuan, dimana untuk laki-laki kesempatan mendapatkan jaringan kerja yang lebih luas dan pengembangan karir lebih diutamakan daripada pegawai perempuan. Sejalan dengan penelitian Lim dan Teo, Schwartz (1992) menemukan bahwa pegawai perempuan selalu mendapatkan posisi yang tidak aman dalam pekerjaan baik dalam memperluas jaringan kerja maupun kesempatan mengembangkan karir.

Penelitian Wang dan Paten (2001) menemukan bahwa penyebab stres kerja berbeda berdasarkan gender. Pada perempuan, stres lebih disebabkan oleh keadaan fisik, sedangkan laki-laki pada keadaan psikologi. Sejalan dengan Wang dan Paten, penelitian Goleman (1998) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama dapat meningkatkan kecerdasan emosi, perempuan cenderung lebih kuat pada kemampuan berempati dan hubungan sosial, sedangkan laki-laki pada aturan dan hukum.

Perbedaan pandangan antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan dalam cara menanggulagi stres. Umumnya wanita mengalami stres lebih

(15)

disebabkan karena faktor fisik karena wanita memiliki peran ganda dalam keluarga, sedangkan pada pria didominasi oleh faktor psikologi dimana pria merupakan tulang punggung keluarga.

2.5.2 Perbedaan Usia dalam Menanggulangi Stres Kerja

Park et al. (1997) menemukan bahwa usia berhubungan dengan tingkatan pemahaman terhadap pemikiran konstruktif. Timbulnya hubungan ini disebabkan oleh tingkat harapan hidup yang semakin meningkat dari generasi ke generasi sehingga membuat individu belajar lebih banyak cara menghadapi stres.

Epstein (1998) mengungkapkan bahwa Constructive Thinking berkembang sejalan dengan bertambahnya usia. Perkembangan ini berhubungan dengan proses

maturity yang dialami individu, semakin bertambah usia, individu akan semakin bijaksana dalam menghadapi persoalan. Namun demikian hal ini tidak dapat digeneralisasi pada setiap individu kecuali individu tersebut mampu memanfaatkan proses ini dengan baik.

Siebert (1996) menemukan bahwa ada hubungan langsung antara stres dengan usia pekerja. Sebagai contoh, perubahan sistem komputerisasi pada suatu perusahaan dapat menyebabkan stres bagi pekerja berusia tua dan justru kesenangan bagi pekerja berusia muda. Berbeda jika terjadi permasalahan yang cukup sulit, pekerja berusia tua akan cenderung lebih berpengalaman menghadapinya dan pekerja berusia muda dapat mengalami stres.

Anisman dan Merali (1999), menyatakan bahwa bertambahnya pengalaman hidup yang dialami individu seiring dengan bertambahnya usia, membuat individu tersebut mampu mengidentifikasi dan menghadapi berbagai macam stressor. Lebih lanjut penelitian Kogan (2001) membuktikan bahwa manajer perusahaan seringkali merekrut karyawan dari generasi yang berbeda karena percaya bahwa hal ini dapat menjadi aset bagi perusahaan. Namun demikian pada beberapa kasus juga membuktikan bahwa perusahaan kesulitan dalam menangani karyawan dengan perbedaan usia yang cukup besar karena memiliki perbedaan dalam kebutuhan, motivasi dan cara berpikir, karena perbedaan yang cukup besar ini dapat memicu timbulnya stres kerja.

Perbedaan generasi menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap kemajuan teknologi maupun kemampuan berkomunikasi. Hal ini sering menjadi

(16)

pemicu timbulnya stres di kalangan pegawai berbeda usia. Selain itu perbedaan cara pandang terhadap suatu masalah dan perbedaan kebutuhan juga dapat menjadi pemicu timbulnya stres kerja pada pegawai di berbagai tingkatan usia.

2.5.3 Perbedaan Tingkat Pendidikan dalam Menanggulangi Stres Kerja

Individu yang memperoleh pendidikan lebih tingi cenderung memperoleh kemampuan lebih baik dalam mengontrol emosi (Mirowsky dan Ross, 1989). Kemampuan ini dapat membantu individu dalam mengatasi stres yang dialami di tempat kerja. Ketika mendapatkan permasalahan di tempat kerja, individu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mampu dalam mencari solusi permasalahan.

Mone (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan formal memberikan bekal yang berguna bagi individu agar mampu berkompetisi di dunia pekerjaan dengan baik. Pekerja yang memiliki kompetensi lebih tinggi akan cepat beradaptasi dengan pekerjaan sehingga terhindar dari stres di tempat kerja.

Berdasarkan penelitian Bergeijik dan Mensink (1997), karyawan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memperoleh kesempatan lebih besar untuk mendapatkan promosi pada jenis pekerjaan spesifik dibandingkan pekerja dengan tingkat pendidikan dibawahnya. Selain itu pekerja dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih sulit memahami pekerjaan tertentu dan membutuhkan bantuan atasan. Hal ini dapat menimbulkan stres baik bagi pekerja tersebut maupun atasannya.

Park et al. (1997) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dapat memahami srategi coping untuk mengatasi stres dengan lebih baik. Pemahaman akan strategi coping yang lebih baik akan membantu individu mencari solusi dalam menghadapi permasalahan atau tekanan di tempat kerja.

Tobias (1999) menyatakan bahwa setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda. Gaya ini didasarkan pada persepsi individu dan kemampuan

ordering. Individu dapat mempersepsikan sesuatu dengan dua cara : sesuatu yang konkrit (terlihat seperti apa adanya) atau sesuatu yang abstrak (tidak selalu terlihat seperti apa adanya). Cara individu dalam menggunakan informasi yang mereka persepsikan disebut “ordering”. Ordering terjadi dalam 2 (dua) cara : sequential

(17)

matriks 2 x 2, maka diperoleh 4 (empat) gaya belajar dominan, yaitu : (1)

Concrete Sequential (CS), (2) Abstract Sequential (AS), (3) Abstract Random

(AS) dan Concrete Random (CR).

Dengan menemukan gaya belajar dominan dari pekerja dapat meningkatkan produktifitas dalam suatu tim untuk mencapai tujuan organisasi. Atasan dan bawahan yang saling mengerti gaya pembelajarannya masing-masing akan berkontribusi secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Pekerja pada kondisi ini dapat mengidentifikasi penyebab stres dan mengatasinya dengan cara yang lebih produktif, sehingga pada saat pekerja mengalami stres akan lebih mudah mengatasinya dengan pola-pola pembelajaran yang telah mereka miliki.

Perbedaan latar belakang pendidikan seringkali menyebabkan terdapatnya perbedaan dalam cara berpikir dan penanganan masalah. Selain itu juga masih ditemukan pembedaan dalam hal kesempatan untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu. Hal ini dapat menjadi potensi pemicu stres kerja, sehingga terdapat perbedaan pandangan antara pegawai di berbagai tingkatan pendidikan dalam menanggulangi stres kerja.

Gambar

Tabel 1 Penyebab stres kerja
Tabel 2  Penanggulangan stres secara individual dan organisasi
Tabel 3  Model Pengukuran Identifikasi dan Manajemen Stres (Coping Strategy)

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada

Good comparison testing is the key to a good translation. The purpose of this test is to see whether or not the translation is understood correctly by

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Berdasarkan analisis regresi faktor abiotik terhadap keanekaragaman, kemerataan dan kekayaan jenis Collembola pada perkebunan apel didapatkan hasil bahwa faktor abiotik

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Setelah 4-5 jam dalam pelayarannya kapal mengalami cuaca buruk dan ombak besar, Saksi melaporkan kepada Tersangkut Nakhoda bahwa kapal bocor dan diperintahkan

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena