• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORMULASI KEBIJAKAN KENAIKAN TARIF PROGRESIF PAJAK KENDARAAN BERMOTOR PADA PERATURAN DAERAH NO 8 TAHUN 2010 DI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FORMULASI KEBIJAKAN KENAIKAN TARIF PROGRESIF PAJAK KENDARAAN BERMOTOR PADA PERATURAN DAERAH NO 8 TAHUN 2010 DI DKI JAKARTA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI KEBIJAKAN KENAIKAN TARIF PROGRESIF PAJAK

KENDARAAN BERMOTOR PADA PERATURAN DAERAH NO 8

TAHUN 2010 DI DKI JAKARTA

Irfan Alifakhri Ramadhan1 dan Inayati2

1. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

irfan.alifakhri@gmail.com, inayati.hifni01@gmail.com

ABSTRAK

Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta yang tinggi tentu memiliki dampak negatif, sehingga Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor perlu di revisi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses formulasi kebijakan kenaikan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan termasuk dalam penelitian cross sectional dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan wawancara. Data tersebut dianalisis menggunakan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tujuan utama dalam menaikan tarif progresif pada Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor adalah untuk memperkuat fungsi regulerend guna mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh dampak negatif kendaraan bermotor.

Kata kunci: Formulasi kebijakan, tarif progresif, Pajak Kendaraan Bermotor, alternatif kebijakan

Policy Formulation of increase progressive tariff Motor Vehicle Tax on Local Regulation No 8 Year of 2010 in DKI Jakarta

ABSTRACT

The growth of motor vehicle in DKI Jakarta is certainly have many negative effect, so the local regulations No. 8 Year of 2010 about Motor Vehicle Tax need to be revised. This research purposed to know how the formulation of increase progressive tariff Motor Vehicle Tax in DKI Jakarta. The research was conducted by a qualitative approach and cross-sectional research with data collection techniques as literature study and interview. The data is analyzed by qualitative data analysis techniques. The result of this research shows that major considerations of increased progressive tariff of local regulations No. 8 Year of 2010 about Motor Vehicle Tax are to strengthen the regulerend fungtions to solve the problems due to negative effect from motor vehicle.

Keyword: Policy Formulation, progressive tax, motor vehicle tax, policy alternative

Pendahuluan

DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia dimana DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian memiliki tingkat aktivitas ekonomi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat mobilitas warganya yang sangat tinggi setiap harinya. DKI Jakarta juga merupakan salah satu kota

(2)

dengan tingkat populasi terpadat di Indonesia. Padatnya jumlah penduduk yang ada di DKI Jakarta dikarenakan bahwa DKI Jakarta masih menjadi magnet bagi warganya untuk mencari pekerjaan. Saat ini DKI Jakarta sudah digolongkan menjadi kota megapolitan dimana pusat perekonomian ada disini. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan tingkat mobilitas yang ada semakin meningkat. Untuk menunjang mobilitas yang semakin meningkat maka diperlukanlah kendaraan bermotor sebagai sarana untuk menunjang warga masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan kendaraan bermotor yang ada di DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan baik untuk kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang sangat pesat ini sayangnya tidak diimbangi dengan perluasan jalan yang ada di Ibukota sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan kendaraan di jalan raya.

Berdasarkan data kendaraan yang dikeluarkan oleh Dinas Komunikasi dan Informasi (DISKOMINFO) Provinsi DKI Jakarta terlihat bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor baik itu roda dua maupun roda empat sangat tinggi. Pertumbuhan kendaraan bermotor untuk roda dua pada tahun 2011 mencapai 474.010 unit kendaraan per tahunnya atau sekitar 11,25% per tahun. Sementara untuk kendaraan roda empat pertumbuhannya per tahunnya mencapai 109.777 unit kendaraan atau sekitar 6,42% per tahun. Jumlah ini mengalami peningkatan di tahun 2012 dimana tercatat pertumbuhan kendaraan bermotor untuk roda dua meningkat menjadi 604.939 unit kendaraan per tahun atau 12,9% per tahun. Sama halnya dengan kendaraan roda dua, kendaraan roda empat pun pertumbuhannya sangat singnifikan yaitu mencapai 300.953 unit per tahun atau 16,54% per tahun.

Untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang timbul karena adanya peningkatan jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat misalnya kemacetan, pencemaran udara, hingga masalah kesehatan untuk itu Pemprov DKI Jakarta menerapkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). PKB ini dimaksudkan sebagai fungsi regulerend dimana PKB ini di buat dengan maksud untuk menekan jumlah populasi kendaraan bermotor yang ada khususnya di wilayah DKI Jakarta. Selain itu PKB juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi budgetair yang mana hasil dari PKB akan masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta. (www.indopos.co.id, 2014)

Dalam Raperda Perubahan Nomor 8 Tahun 2010 tentang pajak kendaraan bermotor akan ada kenaikan tarif pajak kendaraan bermotor sebesar 2% dari 1,5% pada kepemilikan kendaraan bermotor pertama. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua, tarif progresif pajak kendaraan bermotor meningkat dari 2% menjadi 4%. Bagi kendaraan bermotor ketiga,

(3)

tarif progresif pajak kendaraan bermotor menjadi sebesar 6% dari 2,5%. Sementara itu, kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan seterusnya, tarif progresif pajak kendaraan bermotor mengalami kenaikan 6% dari semula 4% menjadi 10%. (www.bisnis.com, 2014)

Tinjauan Teoritis

Terdapat beberapa konsep yang membentuk kerangka berpikir yaitu kebijakan publik, formulasi kebijakan, pajak kendaraan bermotor, dan tarif pajak. Carl I. Friedrick dalam Nugroho menjelaskan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Senada dengan hal diatas Dye dalam Widodo mengemukakan bahwa dalam sistem kebijakan terdapat tiga elemen yaitu “(a) stakeholders kebijakan, (b) pelaku kebijakan (policy contents), dan (c) lingkungan kebijakan (policy environtment) (Widodo, 13).

Formulasi kebijakan publik adalah sebuah rangkaian proses perumusan kebijakan yang dilakukan oleh policy maker (pembuat kebijakan) sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan dan diimplementasikan (Abidin, 35). Proses perumusan ini merupakan proses yang paling penting dalam agenda kebijakan karena dengan perumusan yang tepat maka akan menciptakan kebijakan yang tepat. Pada tahap formulasi kebijakan, terdapat empat macam kegiatan atau tahapan yang harus dilalui yaitu pemahaman masalah, agenda setting, policy problem formulation, dan policy design. pemahaman masalah termasuk masalah yang dihadapi organisasi publik senantiasa diawali dengan adanya kejadian-kejadian yang muncul di masyarakat. Pemahaman masalah yang terkait dengan tahapan formulasi kebijakan publik yaitu berangkat dari masalah publik yang ada di masyarakat. Kegiatan membuat masalah publik menjadi masalah kebijakan sering disebut dengan penyusunan agenda (agenda setting). Dengan demikian policy agenda akan membuat masalah kebijakan yang perlu direspon oleh sistem politik yang bersumber dari lingkungan. Berdasarkan masalah kebijakan yang telah dirumuskan kemudian dicarikan solusi berupa kebijakan publik apa yang perlu diambil. Untuk menemukan kebijakan apa yang sebaiknya diambil perlu dilakukan analisis terhadap masalah kebijakan tersebut.

Untuk melaksanakan kegiatan di daerah dan juga meningkatkan pertumbuhan di suatu daerah diperlukan adanya dana. Dana tersebut salah satunya dapat bersumber dari Pendapatan

(4)

Asli Daerah (PAD) dimana salah satunya berasal dari pajak daerah. Pajak daerah yang memberikan kontribusi penerimaan yang cukup besar salah satunya adalah Pajak Kendaraan Bermotor. Pajak Kendaraan Bermotor merupakan salah satu jenis pajak daerah (Nurmantu, 2003, 61) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) termasuk kedalam pajak provinsi (Kurniawan dan Purwanto, 53). Untuk memungut suatu jenis pajak daerah dalam hal ini adalah PKB diperlukan suatu Peraturan Daerah (Perda) dimana Perda tersebut dijadikan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pemungutan PKB. Salah satu alas an teoritis pemugutan PKB adalah penggunaan jalan raya yang merupakan salah satu barang publik (public good). Penggunaan jalan raya menimbulkan eksternalitas-eksternalitas negatif seperti kerusakan jalan raya, polusi udara, hingga kemacetan lalu lintas. Dampak-dampak negative itu akan menimbulkan biaya-biaya bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya memerlukan dana untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan dari kendaraan bermotor tersebut. Terdapat dua pendekatan dalam menetapkan besarnya pembebanan biaya jalan raya kepada pemakai jalan raya yang biasa digunakan dan merupakan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (DPPKB), yaitu benefit received dan cost of service.

Konsep terakhir adalah mengenai tarif pajak progresif pada Pajak Kendaraan Bermotor. Tarif pajak progresif adalah in contrast to a regressive tax, a tax is progressive if it exacts a greater proportion of tax on income as increases. Under a progressive tax system theoretically, a greater tax burden is placed on high income earners (Cassidy, 10). Definisi lain mengenai tarif pajak progresif menyebutkan bahwa tarif progresif adalah suatu tarif yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang harus dikenakan pajak semakin besar (Mardiasmo, 9). Suatu pajak disebut pajak progresif apabila persentase tarif yang dikenakan makin lama makin tinggi apabila objek pajaknya makin lama makin tinggi pula (Nurmantu, 67).

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dimana peneliti menggunakan suatu teori sesuai dengan makna yang ada dan menggunakan kriteria-kriteria yang tersedia dalam teori tersebut untuk melakukan penelitian (Creswell, 18). Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif dengan manfaat yang bersifat murni tanpa disponsori pihak manapun dan berdasarkan keinginan peneliti untuk melakukan penelitian sejak Ferbruari 2014 hingga Desember 2014

(5)

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, baik informasi dari bahan cetak maupun bahan non-cetak dan wawancara mendalam. Adapun pihak-pihak yang peneliti wawancara terdiri dari SAMSAT DKI JAKARTA, Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta, GAIKINDO, serta akademisi perpajakan. Teknik pengolahan dan analisis dalam penelitian ini dilakukan teknik analisis data kualitatif dengan cara mengorganisasi data, mengkategorisasi data, mencari eksplanatif data, dan menulis laporan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bagian ini akan diuraikan hasil temuan penelitian beserta analisa permasalahan penelitian, yaitu formulasi kebijakan kenaikan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor pada Peraturan Daerah No 8 Tahun 2010 di DKI Jakarta dengan menggunakan formulasi kebijakan yang dikemukakan oleh Joko Widodo. Adapun dalam menganalisis mengenai formulasi kebijakan kenaikan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor pada Peraturan Daerah No 8 Tahun 2010 di DKI Jakarta digunakan 4 dimensi yaitu pemahaman masalah, agenda setting, policy problem formulation, dan policy design.

Analisis Dimensi Pemahaman Masalah

Tahapan pertama dalam perumusan suatu kebijakan adalah pemahaman masalah. Dalam melakukan perencanaan harus mengetahui dahulu permasalahan yang ada. Denga memahami masalah yang ada, maka perencanaan akan lebih fokus dalam mengatasi permasalahan yang ada. Identifikasi masalah dilakukan dengan tujuan untuk mencari jalan keluar atau solusi dalam menjawab permasalahan yang ada. Untuk itu tim perumus dalam suatu kebijakan perlu mengidentifikasi masalah dengan tepat dan benar sehingga dalam pelaksanaannya dapat mudah berjalan.

Ide atau wacana untuk merevisi tarif progresif pada Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor muncul pertama kali pada tahun 2013 ketika Gubernur saat itu Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta pada saat itu melihat bahwa sudah seharusnya DKI Jakarta membenahi masalah kendaraan bermotor yang ada di DKI Jakarta. Kemudian Gubernur DKI Jakarta meminta DPP DKI Jakarta untuk melakukan kajian. Hasilnya adalah rencana menaikan tarif progresif itu dapat dilaksanakan karena bagus dari kedua aspek yakni

(6)

menyetujuinya, lalu dibawa ke lembaga legistatif yaitu DPRD DKI Jakarta untuk dilakukan pembahasan.

Permasalahan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sebenarnya berasal dari pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa dengan memiliki kendaraan bermotor dapat menaikan status sosial mereka. Tingkat pengukuran seseorang terbilang sukses atau berhasil dapat dilihat dari kepemilikan kebutuhan tertier ini. Padahal seharusnya pemikiran ini harus diubah. Akan tetapi ini sulit dilakukan ketika moda transportasi umum belum diperbaiki. Pola hidup akan kendaraan bermotor di DKI Jakarta juga sangat konsumtif hal ini dapat dilihat dari jumlah kepemilikan kendaraan bermotor dalam satu keluarga. Dalam satu keluarga yang dapat dibilang menengah ke atas ini dapat memiliki kendaraan lebih dari dua.

Permasalahan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sebenarnya berasal dari pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa dengan memiliki kendaraan bermotor dapat menaikan status sosial mereka. Tingkat pengukuran seseorang terbilang sukses atau berhasil dapat dilihat dari kepemilikan kebutuhan tertier ini. Padahal seharusnya pemikiran ini harus diubah. Akan tetapi ini sulit dilakukan ketika moda transportasi umum belum diperbaiki. Pola hidup akan kendaraan bermotor di DKI Jakarta juga sangat konsumtif hal ini dapat dilihat dari jumlah kepemilikan kendaraan bermotor dalam satu keluarga. Dalam satu keluarga yang dapat dibilang menengah ke atas ini dapat memiliki kendaraan lebih dari dua.

Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang ada di DKI Jakarta faktanya selalu mengalami peningkatan. Belum lagi masalah penghindaran tarif progresif ini. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Kendaraan Bermotor ini dikenakan berdasarkan nama dan/atau alamat yang sama. masalah akan muncul ketika masih berdasarkan nama dan/atau alamat yang sama. Ketika satu keluarga memiliki anggota keluarga lebih dari tiga orang misalnya dan memiliki kendaraan bermotor masing-masing dengan nama kepemilikan yang berbeda-beda, maka tidak dikenakan tarif progresif. Begitu pula dengan alamat. Hal ini yang harus disempurnakan oleh Pemda jika tidak ingin terjadi potential tax loss. Dengan meminimalisir adanya potential tax loss tersebut maka secara otomatis dari sisi budgeting akan meningkatkan penerimaan Pemprov DKI Jakarta. Kemudian ketika ingin mengoptimalkan fungsi regulerend maka jangan hanya menaikan tarif saja, tetapi perlu juga untuk memperbaiki sarana transportasi umum yang ada di DKI Jakarta. Ketika transportasi umum sudah dirasakan sangat nyaman, maka secara tidak langsung akan menyebabkan pola perilaku masyarakat di DKI Jakarta khususnya akan berubah yang tadinya tidak mau menggunakan kendaraan umum akan beralih menggunakan kendaraan umum ketimbang harus membeli kendaraan pribadi.

(7)

Berbicara mengenai kendaraan bermotor tentu tidak lepas dengan adanya eksternalitas negatif yang ditimbulkan seperti kerusakan jalan raya, polusi udara, kemacetan, dan sebagainya. Berawal dari filosofi tersebut maka sudah sepatutnya Pemprov DKI Jakarta melakukan kajian mengenai tarif progresif ini apakah tarif yang awalnya sebesar 1,5 % untuk kendaraan pertama, 2 % untuk kendaraan kedua, 2,5 % untuk kendaraan ketiga, dan 4 % untuk kendaraan keempat dan seterusnya sudah maksimal dalam menangani dampak negatif yang ditimbulkan dari kendaraan bermotor tersebut. Pada kenyataannya tarif tersebut masih dinilai kurang dalam menerapkan fungsi regulerend dari Pajak Kendaraan Bermotor itu sendiri.

Sebenarnya tujuan utama dari pajak progresif pada kendaraan bermotor awalnya bukan sebagai regulerend dalam hal ini sebagai alat atau wadah untuk membatasi kepemilikan kendaraan bermotor. Yang menjadi prioritas utama Pemprov DKI Jakarta untuk membatasi kepemilikan kendaraan bermotor adalah Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB). Hal ini dikarenakan bahwa tarif pajak progresif untuk kendaraan bermotor pribadi sangat kecil yaitu 1,5% untuk kendaraan pertama, 2% untuk kendaraan kedua, 2,5% untuk kendaraan ketiga, dan 4% untuk kendaraan keempat dan seterusnya. Tarif tersebut dinilai masih terlalu minim untuk membuat masyarakat DKI Jakarta khususnya berpikir ulang untuk memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu. awalnya pada tahun 2010 Pemprov DKI Jakarta mulai menerapkan fungsi regulerend yang ada pada Pajak Kendaraan Bermotor itu melalui dua jalan yaitu dengan menerapkan BBN-KB yang tinggi dan PKB yang tinggi. Untuk PKB sendiri awalnya ditetapkan keseragaman di setiap daerah dengan tarif 1,5% , 2%, 2,5%, 4%. Akan tetapi selama kurang lebih 4 tahun berjalan Pemprov DKI Jakarta mengevaluasi bahwa fungsi regulerend yang ada didalam PKB ini kurang begitu signifikan karena tarifnya yang kecil, maka dari itu tahun 2014 ini Pemprov DKI Jakarta merevisi tarif yang ada di Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor.

Pertimbangan yang kedua dalam merevisi Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor ini adalah dari sisi budgetair dimana Pajak Kendaraan Bermotor berfunssi sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta. Seperti yang kita ketahui jumlah kendaraan yang ada di DKI Jakarta sudah sangat banyak terlebih lagi kendaraan pribadi maka dari itu dengan menaikan tarif progresif untuk kendaraan bermotor pribadi akan meningkatkan penerimaan untuk DKI Jakarta. Ketika Pemprov DKI Jakarta ingin menaikan tarif progresif pada Pajak Kendaraan Bermotor otomatis secara tidak langsung akan menaikan penerimaan terhadap PAD Jakarta dikarenakan semakin tinggi tarif yang dikenakan maka semakin besar pula penerimaan yang di dapat.

(8)

Alasan lain mengapa Pemprov DKI Jakarta menaikkan tarif progresif pada kendaraan bermotor salah satunya adalah sesuai dengan konsep revenue productivity. Konsep revenue productivity merupakan asas yang lebih menyangkut kepada kepentingan pemerintah, sehingga asas ini menjadi sangat penting perananannya bagi pemerintah. Seperti yang kita ketahui bahwa pajak mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai kegiatan pemerintah, baik untuk pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Pemprov DKI Jakarta menilai bahwa tarif progresif PKB layak untuk dinaikan karena jumlah kendaraan bermotor yang ada di DKI Jakarta selalu meningkat. Dengan menaikan tarif progresif ini penerimaan yang di dapat dari PKB akan meningkat pula dan berdampak kepada naiknya PAD DKI Jakarta. Sebenarnya pada awalnya Pemprov DKI Jakarta ingin menaikan tarif BBN-KB menjadi 15% yang tadinya sebesar 10%, namun kebijakan ini ditolak dengan alasan seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa yang seharusnya perlu dinaikan tarifnya itu adalah PKB karena berdasarkan konsep revenue productivity dengan menaikan tarif progresif PKB Pemprov akan mendapat dana setiap tahunnya dari pembayaran PKB itu dibandingkan apabila menaikan tarif BBN-KB yang hanya dibayarkan satu kali pada saat pembelian kendaraan bermotor.

Setelah mengetahui bahwa masalah utama dari permasalahan kendaraan bermotor seperti itu, Dinas Pelayan Pajak DKI Jakarta mengusulkan kepada Gubernur pada saat itu yaitu Joko Widodo untuk merevisi tarif yang ada dalam Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bemotor. Dengan rincian perubahan untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama dikenakan 2%, untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dikenakan tarif progresif 4%, untuk kepemilikan kendaraan bermotor ketiga dikenakan tarif progresif 6%, dan untuk kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan seterusnya dikenakan tarif 10%.

Analisis Dimensi Agenda Setting

Tahap agenda setting menjadi tahap selanjutnya dalam proses formulasi kebijakan. Permasalahan-permasalahan yang sudah diidentifikasi dalam tahap identifikasi masalah dimasukkan ke dalam agenda pemerintah yaitu suatu kesepakatan umum tentang adanya suatu masalah publik yang perlu dicarikan solusi melalui kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selaku pihak yang berwenang atau memiliki otoritas dalam menyusun dan mengeluarkan suatu kebijakan. Pada poin pertama dalam bagian isu dinilai penting dan membawa dampak besar bagi banyak orang apabila dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang ada pada tahap perumusan masalah memiliki hubungan yang sinergis. Permasalahan pertama, eksternalitas negatif yang ada dalam kendaraan bermotor. Seperti yang kita ketahui bahwa

(9)

kendaraan bermotor memiliki efek negatif. Kebijakan yang menyangkut dengan kendaraan bermotor berangkat dari masalah publik karena kendaraan bermotor memiliki eksternalitas negatif sehingga harus berangkat dari fungsi regulerend dari Pajak Kendaraan Bermotor dimana fungsinya untuk membatasi jumlah kepemilikan kendaraan bermotor. Poin kedua menyebutkan bahwa isu ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah selaku policy maker

dikarenakan solusi dari permasalahan-permasalahan ini adalah sebuah instrument kebijakan yang nantinya dapat diterapkan dan dapat mengakomodir permasalahan-permasalahan yang ada. Tentu langkah-langkah dalam perumusan kebijakan ini harus berlandaskan hukum yang disahkan oleh pihak yang memiliki wewenang atau legitimasi sehingga dapat diterima sebagai suatu kesepakatan untuk dilaksanakan bersama-sama.

Poin ketiga adalah sesuai dengan platform politik. Isu ini sesuai dengan platform politik secara keseluruhan karena menyangkut pembuatan kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah. Semua pihak yang terkait mendapat kepercayaan dari rakyat sebagai pemimpin-pemimpin di pemerintahan yang memiliki kekuasaan untuk mencari solusi yang tepat dalam memecahkan masalah. Poin keempat, permasalahan-permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan yang masih dalam tataran rasional untuk dipecahkan dan dicarikan solusi atas permasalahan tersebut, bukan masalah yang kompleks dan sistemik maupun masalah absurd yang jauh dari feasibilitas untuk dicari solusinya. Pada poin ini artinya permasalahan-permasalahan yang terjadi dapat dijadikan landasan dalam perumusan kebijakan kenaikan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor merupakan masalah publik yang dapat terpecahkan melalui penyusunan desain kebijakan yang tepat dan menyentuh pemasalahan yang sebenarnya. Keempat poin yang sudah dijelaskan diatas, menjadi kepastian atau justifikaso bahwa masalah tersebut dapat dipecahkan melalui penyusunan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait selaku pihak yang memiliki otoritas dalam menyusun dan mengeluarkan kebijakan. Permasalahan tersebut akan menjadi agenda pemerintah daerah melalui langkah strategis yaitu menyusun dan mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan tarif progresif untuk Pajak Kendaraan Bermotor dalam rangka mengatasi dampak eskternalitas negatif yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor.

Analisis Dimensi Policy Problem Formulation

Setelah dirumuskan bahwa permasalahan yang terkait dengan kebijakan kenaikan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta adalah yang pertama adalah eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor berdampak diberbagai aspek seperti kemacetan lalu lintas, kesehatan akibat polusi udara, serta kerusakan jalan raya. Selain itu

(10)

permasalahn yang kedua adalah pola konsumsi masyarakat DKI Jakarta akan kendaraan bermotor sangat tinggi. dalam tahapan ini mencakup pula alternatif yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Dalam hal ini perumusan alternatif kebijakan akan sangat membantu isi substansi dari suatu keibjakan.

Seperti yang kita tahu bahwa implementasi dari tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor ini masih belum optimal untuk mengatasi problema yang ada di DKI Jakarta seperti kerusakan jalan raya, emisi gas buang kendaraan bermotor yang menyebabkan polusi udara, hingga permasalahan kemacetan. Untuk itu diperlukan suatu alternatif lain mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kendaraan bermotor. Salah satu instrument fiskal yang dapat menunjang kebijakan kenaikan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor adalah penerapan kilometer tax. Kilometer tax ini adalah suatu kebijakan pajak dimana pajak dikenakan berdasarkan kilometer atau jarak yang kita tempuh. Artinya setiap kilometer yang kita tempuh dikenakan tarif sesuai dengan yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Kebijakan ini jika dilihat secara konsep memang sangat bagus untuk mengatasi permasalahan kemacetan yang ada di DKI Jakarta, dengan adanya kebijakan ini masayarakat yang hendak menggunakan kendaraan pribadi akan berpikir bahwa apabila mereka ingin berpergian jauh maka semakin besar pajak yang harus dibayarkan. Konsep kebijakan

kilometer tax ini sudah banyak diterapkan di negara-negara maju, salah satunya adalah di Swedia. Terdapat hal menarik ketika berbicara mengenai kilometer tax. Ketika kilometer tax

diterapkan anggaplah tarif per kilometernya sama. Apakah adil ketika kendaraan berat seperti truk besar yang mempunyai tingkat eksternalitas negatif yang tinggi terhadap jalan raya dikenakan tarif yang sama dengan mobil kecil yang tingkat eksternalitasnya lebih rendah pada saat mereka menempuh jarak yang sama. Pada dasarnya kebijakan ini baru bisa diterapkan oleh negara-negara maju dimana sistem dan teknologi sudah maju. Untuk negara berkembang sendiri masih terasa sulit untuk diterapkan sehingga perlu dilakukan kajian lebih untuk penerapan kilometer tax ini.

Instrument pajak lainnya yang dapat menunjang kenaikan tarif progresif guna mengatasi permasalahan akibat kendaraan bermotor di DKI Jakarta adalah menaikan tarif PBB-KB. Menaikan tarif PBB-KB yang tadinya 5% menjadi 10% misalnya merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan. Tarif yang naik ini nantinya akan berdampak kepada naiknya harga BBM yang memungkinkan untuk membuat masyarakat khususnya DKI Jakarta mengurangi pemakaian BBM sehingga akan membuat masyarakat beralih menggunakan kendaraan umum. Akan tetapi ketika ingin menaikan tarif PBB-KB harus dilihat juga dengan kondisi masyarakat saat ini. Kenaikan harga BBM belum lama ini mendapat protes keras dari

(11)

masyarakat karena masyarakat kelas menengah kebawah menilai bahwa dengan naiknya harga BBM akan berdampak ke sektor lain sehingga ketika Pemprov DKI Jakarta ingin menaikan tarif PBB-KB perlu mempertimbangkan masyarakat DKI Jakarta juga tidak hanya mementingkan sisi penerimaan saja.

Instrumen non fiskal yang dapat membantu untuk mengatasi permasalahan akibat kendaraan bermotor adalah memperbaiki sarana dan prasaran transportasi umum. Mengatasi permasalah seperti misalnya kemacetan yang ditimbulkan akibat jumlah kendaraan bermotor melebihi kapasitas jalan raya maka harus mengubah pola perilaku masyarakat terlebih dahulu. Artinya ketika Pemprov DKI Jakarta ingin masyarakat DKI Jakarta beralih dari menggunakan kendaraan pribadi menjadi menggunakan kendaraan umum maka perlu memperbaiki dahulu sarana dan prasarana transportasi umum yang ada di DKI Jakarta. Permasalahannya adalah ketika Pemprov menaikan tarif progresif kendaraan bermotor pribadi dengan tujuan agar masyarakat tidak lagi membeli kendaraan bermotor lebih dari dua dan ingin masyarakat DKI Jakarta naik kendaraan umum, Pemprov DKI Jakarta belum melakukan perbaikan-perbaikan dari sisi transportasi umumya. Seharusnya dengan earmark tax DKI Jakarta yang mencapai 20% dapat digunakan untuk memperbaikan sarana dan prasarana.

Ketidakjelasan dalam pembagian dana 20% ke pos-pos mana saja membuat masalah transportasi umum yang ada di DKI Jakarta menjadi tidak terselesaikan. Ketika muncul transportasi umum seperti Busway yang diharapkan dapat mengurangi kemacetan yang ada di DKI Jakarta masih belum terlihat jelas. Kondisi bus yang seharusnya dapat menjadi alat untuk membuat masyarakat beralih menggunakan kendaraan pribadi kenyataannya sangat memprihatinkan. Sudah banyak busway yang ada di Jakarta ini kondisinya sudah tidak layak. Padahal dengan adanya earmark tax tersebut Pemprov DKI Jakarta seharusnya dapat merawat busway yang ada DKI Jakarta atau menambah jumlah busway yang ada. Karena kenyataannya bahwa jumlah busway yang ada di Jakarta ini masih kurang untuk menampung penumpang sehingga sering terjadi desak-desakan yang mengakibatkan penumpang merasa tidak nyaman. Belum lagi masalah kriminalitas yang sering terjadi di busway seperti copet dan pelecehan seksual menambah rasa tidak nyaman bagi penumpang.

Berbicara mengenai transportasi umum, Pemprov DKI Jakarta juga menyiapkan kebijakan dalam membatasi umur kendaraan bermotor khususnya untuk kendaraan umum. Rencananya ke depan Pemprov DKI Jakarta mulai mengatur kendaraan umum yang ada di DKI Jakarta dalam urusan umur kendaraan tersebut. Umur angkutan umum yang ada di Jakarta ini sudah cukup tua, hal tersebut dilihat dari kondisi angkutan umum yang banyak karatan, belum lagi emisi gas buang yang semakin ngebul yang dapat menyababkan polusi

(12)

udara. Wacana mengenai kebijakan merupakan salah satu upaya yang diambil oleh Pemprov DKI Jakarta dalam meningkatkan kualitas transportasi umum yang ada di Jakarta. Dengan meremajakan angkutan umum diharapkan akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat sehingga masyarakat akan senang menggunakan angkutan umum. Alasan lain yang melatarbelakangi Pemprov ingin menerapkan kebijakan ini adalah untuk mengurangi pencemaran udara akibat asap angkutan umum yang sangat ngebul. Seperti yang kita tahu bahwa emisi gas buang angkutan umum khususnya bus kota seperti metromini, kopaja, dan sebagainya memang sangat parah. Jika tidak dibenahi atau diatur maka akan mengganggu kesehatan juga. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan umur untuk angkutan umum dengan catatan harus diganti dengan kendaraan yang lebih baru. Jangan sampai membatasi umur tetapi tidak diganti dengan yang baru.

Salah satu alternatif non fiskal lain dalam mengatasi permasalahan akibat banyaknya jumlah kendaraan bermotor adalah dengan memberlakukannya Electronic Road Pricing

(ERP). Dengan adanya ERP ini setidaknya dapat mengurangi kemacetan dibeberapa titik jalan raya yang ada di Jakarta. ERP merupakan salah satu terobosan baru yang akan diterapkan Pemprov DKI Jakarta dalam mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang melewati jalan tertentu. Rencananya mulai tahun 2015 Pemprov DKI Jakarta akan memberlakukan sistem ini dibeberapa titik jalan di Jakarta yang sering terjadi kepadatan. Uji coba ERP di Jakarta sudah dilakukan pada bulan Juli 2014.

Uji coba dimulai dengan sinkronisasi gerbang elektronik terhadap alat on board unit

(OBU) yang dipasang di mobil sampel milik Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Untuk tahap awal, gerbang elektronik ini akan dipasang di jalan sudirman dengan uji coba bertahap selama tiga bulan. Dengan adanya ERP ini diharapkan akan mengurangi jumlah kemacetan yang ada di ruas jalan tertentu. Permasalahan ERP ini akan muncul apabila banyak kendaraan yang dari luar daerah Jakarta yang melintas jalan yang telah dipasang gerbang elektronik. Ketika kendaraan yang tidak memilki OBU, maka kendaraan tersebut tidak akan terkena ERP. Selain itu masih terdapat celah dalam sistem ERP ini, ketika orang tidak mau terkena biaya dari ERP ini maka orang masih bisa untuk memutar jalan dengan resiko jarak tempuh yang semakin jauh. Sebenarnya kebijakan untuk menerapkan ERP ini cukup baik dalam mengatasi kemacetan walaupun ruang lingkupnya hanya diruas jalan tertentu saja tetapi kebijakan ERP ini harus disempurnkan terlebih dahulu sebelum diterapkan sehingga tujuan utama untuk mengatasi permasalahan kemacetan akibat padatnya kendaraan bermotor dapat menjadi lebih optimal.

(13)

Analisis Dimensi Policy Design

Tahapan ini proses yang telah dilalui dalam rangka menghasilkan kebijakan yang komprehensif dengan pendekatan holistic karena sebelumnya telah melalui serangkaian proses yang substansial. Tahapan policy design memiliki beberapa substansi, pertama pengkajian persoalan, yaitu menemukan dan memahami hakekat dari permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. Hal ini telah dilakukan dimana pada tahapan identifikasi pemahaman dan perumusan masalah telah ditemukan masalah-masalah yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Akibat yang ditimbulkan juga telah dijelaskan pada tahapan agenda setting dengan keempat poin didalamnya untuk melihat apakah perlu permasalahan publik ini dijadikan sebuah kebijakan sebagai langkah solutif dalam memecahkan masalah yang terjadi pada saat ini. Kedua, penetapan tujuan dan sasaran, yaitu akibat yang secara sada ingin dicapai atau dihindari. Pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini telah menentukan tujuan dalam proses formulasi kebijakan. Tujuan tersebut dipergunakan untuk merevisi Peraturan Daerah DKI Jakarta no. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh Pemprov DKI Jakarta yaitu fungsi regulerend, artinya Pemprov DKI Jakarta ingin memaksimalkan fungsi regulerend yang ada pada Pajak Kendaraan Bermotor antara lain untuk membatasi jumlah kepemilkan kendaraan bermotor sehingga dapat mengurangi dampak negatif seperti kemacetan lalu lintas, kerusakan jalan raya, hingga masalah pencemaran udara. Fungsi budgetair, tujuan Pemprov DKI Jakarta lainnya adalah untuk meningkatkan penerimaan. Dengan menaikan tarif progresif menjadi lebih maksimum ini diharapkan akan meningkatkan penerimaan untuk DKI Jakarta itu sendiri.

Selanjutnya perumusan alternatif, yaitu sejumlah cara atau alat-alat yang digunakan untuk mencapai langsung atau tidak sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Alternatif-alternatif yang akan dikerluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta diantaranya adalah memperbaiki sarana dan prasarana transportasi umum seperti meningkatkan kualiatas dan kuantitas busway dan juga APTB. Kemudian peremajaan angkutan umum dengan menerapkan pembatasan usia untuk angkutan umum. Penerapan sistem ERP juga menjadi salah satu alternatif kebijakan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Penyusunan model, yaitu penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi dalam hubungan kausal atau fungsional. Kebijakan publik pada dasarnya diawali dengan adalanya permasalahan-permasalahan yang memiliki dampak luas bagi banyak orang sehingga untuk perlu mendapat perhatian dari pejabat-pejabat publik yang berwenang sehingga perlu dicarikan sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Solusi ini dapat berupa kebijakan yang dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai

(14)

pejabat yang memiliki kewenangan dengan melibatkan berbagai pihak-pihak yang terlibat didalamnya sehingga tercipta sebuah kebijakan yang komprehensif. Penentuan kriteria untuk menilai alternatif. Penilaian alternatif untuk mendapat gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan feasibility. Perumusan rekomendasi, yaitu saran-saran alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan optimum. Rekomendasi ini diawali pada tahap evaluasi untuk melihat kekurangan-kekurangan atau kelemahan yang ada pada kebijakan tersebut yang membuat kebijakan tersebut tidak dapat teralisasi dengan baik. Evaluasi ini melibatkan pihak-pihak yang terkena dampak langsung sehingga dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan yang telah dicapai sejauh ini pada kebijakan yang lama dengan begitu dapat diketahui apakah kebijakan lama ini perlu direvisi atau tidak demi menghasilkan suatu kebijakan yang lebih baik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kesimpulan

Setelah dilakukannya analisis terhadap formulasi kebijakan kenaikan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu kebijakan kenaikan tarif progresif pada Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dimulai pada tahun 2013 dengan inisiatif dari eksekutif dalam hal ini adalah Gubernur DKI Jakarta. Tujuan utama dari direvisinya Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor adalah untuk mengoptimalkan kedua fungsi dari Pajak Kendaraan Bermotor itu sendiri yaitu fungsi regulerend dan fungsi budgetair. Berlandaskan filosofi tersebut maka Pemprov DKI Jakarta merevisi tarif progresif PKB untuk kendaraan pribadi menjadi 2% untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama, 4% untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua, 6% untuk kepemilikan kendaraan bermotor ketiga, dan 10% untuk kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan seterusnya. Proses formulasi ini melalui tahapan awal berupa pengidentifikasian masalah yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, kemudian setelah itu dilakukan pembahasan didalam lembaga legislatif yakni DPRD DKI Jakarta. Setelah disahkan oleh DPRD DKI Jakarta kemudian di bawa ke Kemendagri dan Kemenkeu untuk di evaluasi. Sampai saat ini revisi Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor masih dalam tahap evaluasi di Kemendagri. Rencananya kebijakan ini baru selesai pada akhir tahun ini dan dapat diimplementasikan pada awal tahun 2015.

(15)

Saran

Saran yang dapat diambil dari hasil analisis pada Bab sebelumnya adalah dalam merevisi tarif progresif pada Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor harus benar-benar serius dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Artinya fungsi regulerend harus menjadi fokus utama dibandingkan fungsi budgetair. Sistem yang ada juga harus disempurnakan seperti penggunan basis dasar pengenaan nama dan/atau alamat yang sama sehingga tidak terjadi potential tax loss. Untuk mengoptimalkan Pajak Kendaraan Bermotor ini harus banyak yang mesti disempurnakan. Koordinasi dengan dinas-dinas lain seperti Dinas Perhubungan dalam rangka memperbaiki transportasi umum perlu berjalan dengan baik. Adanya dana yang diperoleh dari hasil earmark tax Pajak Kendaraan Bermotor harus benar-benar dimanfaatkan untuk memperbaiki transportasi umum. Karena dengan transportasi umum yang baik dan nyaman masyarakat akan beralih untuk menggunakan transportasi umum. Penerapan alternatif kebijakan fiskal dalam hal ini adalah kilometer tax

sebetulnya sangat bagus dalam mengatasi permasalahan ini akan tetapi perlu dikaji lebih lanjut agar dapat menjadi optimal mulai dari kesiapan sumber daya manusianya maupun sarana dan prasarannya.

Referensi

A.G. Subarsono. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Creswell, John W. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks, California, USA: Sage Publication, 1994.

Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan Edisi Ketiga. Jakarta: Granit, 2005. Nugroho, Riant. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009.

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

Wibawa, Samudra. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994 Widodo, Joko. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Bayumedia, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

3) Sport Promotion / promosi olahraga, segmen ini dapat berupa barang dagangan seperti kaos, atau baju yang berlogo, media cetak atau elektronika, sport marketing,

Guru harus mampu menjalankan tugasnya sebagai pendidik, yang membimbing peserta didiknya menuju masa depan. Dalam hal ini kompetensi yang harus dimiliki guru agar

Keuntungan dari menggunakan efek fotovoltaik ( Photovoltaic/PV ) untuk menghasilkan energi listrik adalah bersih, tidak menimbulkan suara/hening, usia pakai lama dan

Menurut Susilo (2003), bukti-bukti fisik itu antara lain: 1) bukti perkem- bangan sebagai seorang pembelajar, 2) bukti keteladanan yang menunjukkan bah- wa kriteria keberhasilan

Kemudian dari data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis menggunakan Miles, Huberman dan Saldana (Kriyantono, 2020)yaitu data terkait strategi produksi film dan konten

Perbedaan fenotipe antar populasi udang galah terekspresikan dari ukuran-ukuran badan, yang diperkuat dengan terbentuknya dendrogram menjadi dua kelompok yaitu Bone dan

Kuda yang digunakan untuk bermain polo adalah kuda poni Argentina atau yang juga disebut sebagai kuda poni polo, merupakan hasil persilangan antara kuda