1 1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal oleh masyarakat luas memiliki beragam kebudayaan luhur. Salah satu yang menonjol adalah kesenian wayang. Tidak mengherankan
jika UNESCO menjadikan wayang sebagai salah satu masterpiece1 dunia karena
karya seni dalam wayang mengandung beragam nilai, filsafah hidup, etika moral, spiritual, musik gamelan dan gending, hingga seni pahat. Wayang sebagai seni kreatif bermutu tinggi, bukan hanya sekadar tontonan hiburan belaka, melainkan juga sebuah tuntunan hidup yang mengajarkan untuk memahami alam semesta dan sekaligus sebagai kerangka acuan untuk menyeimbangkan ekspresi moral, seni, religius, dan hiburan yang begitu elegan (Sudjarwo,dkk., 2010: xxxiii).
Wayang dapat diartikan sebagai bayangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1271) menjelaskan bahwa wayang adalah sesuatu yang dimainkan oleh seorang dalang. Wayang berupa gambaran pahatan dari kulit binatang yang melambangkan watak-watak manusia. Wayang merupakan sebuah seni pertunjukan kebudayaan Jawa yang sering diartikan sebagai bayangan atau samar-samar, yang bergerak sesuai lakon keinginan dalang. Wayang adalah unsur penting dari unsur kebudayaan.
1
Menurut Soekanto (1992:1) seni pertunjukan wayang memiliki banyak fungsi yang dapat mempengaruhi watak dan karakter manusia. Wayang berfungsi sebagai media pendidikan, dapat dilihat dari segi amanat cerita, yang memberikan ajaran-ajaran kepada manusia, baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Pendidikan dalam pewayangan paling utama adalah pendidikan budi pekerti. Wayang sebagai seni dekoratif merupakan ekspresi kebudayaan nasional. Dalam media informasi, wayang dapat digunakan untuk memahami suatu tradisi dan alat pendekatan kepada masyarakat yaitu melalui masalah-masalah sosial dan segala seluk-beluk kehidupan. Sebagai media hiburan, wayang dipakai untuk pertunjukan di berbagai keperluan hiburan. Selain itu, pertunjukan wayang juga memberikan kekayaan spiritual pada penonton.
Wayang dapat dibagi menjadi bermacam-macam jenis, misalnya wayang
kulit, wayang golek, wayang suket2, wayang beber, wayang madya, wayang klitik,
wayang orang, hingga banyak kreasi yang ditampilkan dalam sebuah pewayangan. Sebuah pertunjukan wayang biasanya memiliki ciri khas dari
masing-masing daerah yang biasa disebut sebagai gagrag. Setiap daerah memiliki
gaya dalam permainan wayang, misalnya saja dengan gaya Yogyakartan, Surakartan, Sundanan, Banyumasan, Balian, Jawa Timuran dan masih banyak lagi gaya dalam pewayangan. Perbedaan gaya wayang dapat dilihat dari aspek seni
pertunjukan, bentuk boneka wayang, termasuk dari wanda3 wayang, dari tata
pakeliran atau urutan alurnya, segi peralatan musik pengiring vokal, dan
2
Suket : rumput
3
instrumentalnya, seperti bentuk dan isi lagunya, kandha4, sulukan5, pocapan6, janturan7, dan sejenisnya (Kayam, 2001:81).
Beralih pada cerita wayang yang dijadikan sebagai bahan penelitian yaitu
sebuah rangkaian cerita dari warisan sumber lisan mengenai balungan lakon
wayang purwa gaya Jawa Timuran. Balungan lakon wayang purwa yang diolah kembali oleh para dalang Jawa Timuran masih merupakan bagian terkecil dari sumber lisan cerita pedalangan dalam cerita Ramayana. Cerita besar dalam balungan lakon wayang purwa, yakni Layang Kandha Kelir dimulai dari cerita Ramayana, diawali dengan cerita kelahiran Rahwana hingga gugurnya Patih
Suwanda dan Prabu Arjuna Wijaya. Hasil cerita pedalangan Layang Kandha Kelir
dicapai dengan beberapa tahun mendengarkan, menghafalkan, serta mencatat dari sekian banyak sumber warisan senior dalam lakon Ramayana gaya pedalangan
Jawa Timuran yang masih murni tergelar di dalam pakeliran(Surwedi, 2007: vi).
Layang Kandha Kelir menceritakan kisah tentang kelahiran Rahwana, sang angkara murka, hingga cerita kepahlawanan Patih Suwanda atau biasa disebut Bambang Sumantri. Bambang Sumantri dikenal lantaran keberaniannya berperang melawan Raja Alengka. Ia seorang tokoh yang diteladani, karena keberaniannya dalam membela negara dan kesetiaannya terhadap junjungannya. Jika sedikit menoleh ke belakang, proses pencapaian Bambang Sumantri untuk mencapai
4
Kandha : cerita dalam pertunjukan wayang kulit.
5
Sulukan : adalah semua lagu dalang yang berwujud lagon, kawin, ada-ada, sendhon dan lain sebagainya. Yang dilakukan setelah gamelan suwuk untuk mengungkapkan rasa peristiwa dalam adegan yang sedang dimainkan. (Mudjanattistomo, 1977 : 97)
6
Pocapan: percakapan, bercakap-cakap
7
Janturan: cerita di pewayangan saat keluar, kandha yang biasanya digunakan di dalam gendhing yang dikecilkan suaranya (biasanya disebut gendhing kajantur)
posisi pengabdian, Sumantri memiliki sikap kurang bermoral karena membunuh adiknya, Bambang Sanepa. Hal itu dilakukan Bambang Sumantri karena ia malu mengabdi bersama dengan Bambang Sanepa yang buruk rupa.
Suatu hari Nalendra Dipa meminta Sumantri untuk memindahkan taman Gumbira Laya dari Sela Perwata ke Maespati seperti keinginan Dewi Citrawati tanpa kurang suatu apapun. Bambang Sumantri dengan berat hati menerima tugas dari Prabu Nalendra Dipa. Sumantri pergi ke hutan dengan berputus asa karena syarat yang diajukan oleh Prabu Nalendra Dipa sangat sulit untuk dilakukan. Bambang Sumantri teringat Bambang Sanepa dan segera mendatangi Bambang Sanepa untuk meminta bantuan memindahkan taman Gumbira Laya ke Maespati.
Bambang Sanepa mau membantu dengan satu syarat, yaitu: diperbolehkan
ikut bersama Kakang8 Sumantri mengabdi kepada Prabu Nalendra Dipa.
Akhirnya, taman Gumbira Laya dapat dipindahkan ke Maespati oleh Bambang Sanepa. Kemudian ia menagih janji kepada Sumantri untuk menghadap Prabu Nalendra Dipa. Akan tetapi, Sumantri malu melihat Bambang Sanepa yang
berbentuk buta bajang9. Bambang Sumantri membujuk Bambang Sanepa agar
kembali ke Pertapaan Jati Srana dengan iming-iming akan diberi harta kekayaan. Bambang Sanepa menolak dan tetap pada kemauannya ikut mengabdi kepada Prabu Nalendra Dipa. Sumantri marah dan mengeluarkan senjata pamungkasnya untuk menakut-nakuti Bambang Sanepa, tanpa sengaja panah meluncur ke arah Bambang Sanepa dan mengenai dadanya hingga tewas seketika. Rasa penyesalan
8
Kakang : Sebutan untuk kakak laki-laki dalam bahasa jawa 9
melanda perasaan Bambang Sumantri saat melihat Bambang Sanepa sudah tak bernyawa. Ketika hendak dipeluk tubuh Bambang Sanepa tiba-tiba hilang, dari angkasa terdengar suara Bambang Sanepa mengucapkan sumpah :
“Mbesuk yen perang brubuh ing Ngalengka, patine Sumantri merga kena siyunge Prabu Dasamuka”
‘Besuk jika terjadi perang besar di Ngalengka, kematian Sumantri karena gigitan Prabu Dasamuka’.
Bambang Sumantri sangat menyesali kematian Bambang Sanepa. Kematian Bambang Sanepa merupakan awal dari kehancuran Bambang Sumantri
di masa mendatang. Cerita di atas memiliki kesamaan cerita dengan Pejahipun
Patih Suwanda karya Raden Ngabehi Sindusastra. Berawal dari versi cerita tentang Patih Suwanda yang berbeda, maka penulisan ini akan membandingkan
antara versi Layang Kandha Kelir (yang selanjutnya disingkat menjadi LKK)
dengan Pejahipun Patih Suwanda (yang disingkat menjadi PPS).
Penulis LKK adalah Ki Surwedi dari Sidoarjo. Ki Surwedi adalah dalang kelahiran tahun 1964 yang saat ini bertempat tinggal di Dusun Plumpung, Desa Bakung Pringgodani, Kecamatan Balung Bendo, Kabupaten Sidoarjo. Bapak satu anak ini mendalami dunia pedalangan sejak tahun 1985. Beliau belajar dengan
cara nyantrik10 kepada Ki Suleman, seorang dalang yang digemari masyarakat
pewaris tradisi pedalangan Jawa Timuran. Ki Surwedi telah memprakarsai
penulisan tentang Balungan lakon wayang purwa gaya Jawa Timuran. Pada
penulisan LKK Ki Surwedi didukung oleh beberapa dalang Jawa Timuran yang
memiliki niat untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi pedalangan Jawa
10
Timuran. Ia tergabung dalam Forladaja (Forum Latihan Dalang Jawa Timuran) yang merupakan forum bentukan Ki Surwedi sebagai wadah paguyuban dalang Jawa Timuran. Selain tergabung dalam Forladaja, Ki Surwedi juga tergabung dalam wadah yang lebih besar, yaitu Paguyuban Dalang Wetanan (PADATAN) yang sebelumnya tergabung dalam PARIPUJA yaitu Paguyuban Ringgit Purwa Jawa Timuran (Surwedi, 2007: vi)
Ki Surwedi pernah menjadi anggota tim penyusun dan penulisan beberapa buku lewat proyek-proyek pemerintahan daerah dalam bidang
pedalangan Jawa Timuran. Beberapa karya tulis Surwedi selain LKK diantaranya
adalah penulisan Lakon Pedalangan Gaya Jawa Timuran yang diterbitkan oleh
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Propinsi Jawa Timur tahun 1994. Dalang satu ini, selain menghasilkan karya sastra tulis juga memperhatikan potensi waranggana dan panjak dalam pagelaran yang sesuai dengan kesenangan masyarakat Jawa Timuran. Pagelarannya tidak lupa ia masukkan gending-gending
karawitan Jawa Timuran serta Gending Jula-Jali, Samirah, Cokronegara,
1.2 Rumusan Masalah
LKK dan PPS adalah salah satu lakon wayang purwa yang
menceritakan perjalan hidup Patih Suwanda, seorang patih yang setia dan memiliki sikap kepahlawanan dalam membela negaranya. Cerita tentang Patih Suwanda ini menimbulkan banyak versi cerita yang muncul. Berikut ini merupakan rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini:
1. Bagaimana unsur-unsur pembentuk cerita dalam LKK yang
meliputi fakta cerita (penokohan, alur, dan latar), tema, dan pemberi amanat?
2. Bagaimana perbandingan cerita antara LKK dengan PPS?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menjelaskan kepada pembaca agar memahami tokoh Sumantri yang memiliki tingkah laku kurang terpuji hingga menjadi seorang tokoh yang patut diteladani dengan kematiannya dalam membela negara.
Selain itu, untuk mengungkapkan persamaan dan perbedaan dari karya sastra LKK
dengan PPS. Karya sastra LKK dan PPS merupakan bentuk apresiasi terhadap
seni pewayangan dalam cerita sehingga memudahkan pembaca dalam memahami isi cerita.
1.4 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dilakukan untuk mengetahui penelitian serta tulisan- tulisan yang berhubungan dengan bahan yang sedang diteliti, serta untuk menunjukan bahwa belum ada penelitian dengan bahan serta analisis yang sama. Penulisan tentang Suwanda atau Sumantri pernah dilakukan sebelumnya yaitu
oleh Parwatri Wahjono dalam judul Dharma Ksatria seperti yang diajarkan oleh
Patih Suwanda dalam Kakawin Arjunawijaya dan Transformasinya ke dalam Sastra Jawa Klasik Serat Arjunasasrabahu, makalah dalam Seminar Internasional Jawa Kuna mengenang Jasa-jasa Prof. Dr. P. J. Zoetmulder S. J, Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Kuna, Juli 2005.
Manu Jayaatmaja dan Dhiyan Prasetyo pada tahun 2007, dalam karya tulis
yang berjudul Yajna Didaktik dan Bhakti bagi Maespati: Suvandha sebagai
Refleksi Dikdaktik-Moralistik dari Serat Purwakandha (W.16) Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Makalah dalam panitia sarasehan dan pagelaran wayang, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sri Mulyana dalam bukunya yang berjudul Wayang dan Karakter, dalam
paparan Sumantri, yang mengejar pangkat dan jabatan hingga lupa diri sebab memiliki pemikiran tentang harta, tahta, wanita. Terbit pada tahun 1989.
Dimas Hendri dalam bukunya Serat Tripama pada tahun 2008 menulis
tentang ajaran luhur keprajuritan, kebangsaan, dan keteladanan. Dimas menuliskan pujian Sri Mangkunegara IV terhadap Patih Suwanda dalam tembang macapat dhandhanggula yang Sri Mangkunegara ciptakan. Beliau menceritakan
tokoh Patih Suwanda sebagai sumber inspirasi suri tauladan terhadap kesetiaannya dengan mengorbankan jiwa dan raganya dalam membela negara.
Purnamawati, Agustin, 2008. Perbandingan cerita tentang latar Pengging dalam Babad Demak dan Babad Jaka Tingkir. Penelitian yang dilakukan oleh Agustin adalah membandingkan cerita Pengging dalam model babad dan cerita. Penelitian tersebut menggunakan analisis struktural untuk mengetahui pemaparan cerita Pengging kemudian dibandingkan ceritanya.
1.5 Landasan Teori
Sebuah penelitian memerlukan landasan teori yang sesuai dengan obyek
dan tujuan agar mendapatkan hasil yang maksimal. Penelitian LKK dan PPS
menggunakan analisis struktural untuk melihat unsur fakta cerita, tema dan
amanat yang terdapat di dalam cerita LKK. Selanjutnya dari analisis struktural
akan dicari perbandingan dari kedua karya sastra.
Menurut Nurgiantoro (1995:37) Analisis struktural adalah karya sastra, dalam hal fiksi, dapat dilakukan dengan identifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi, dan hubungan antara unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, mengenai, alur, latar, penokohan, tema dan amanat. Sementara itu, Robert Stanton (2007:20-23) membagi unsur-unsur pembentuk karya cerita menjadi fakta cerita, tema, dan sarana. Fakta cerita meliputi penokohan, alur, dan latar. Elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Semua elemen tersebut dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita.
Sebuah analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi antarteks, antara satu dengan keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual menurut Hartono dan Rahmanto yang dikutip oleh Nurgiantoro (1995:38). Analisis satu keseluruhan wacana dapat berupa analisis bab per bab, atau secara keseluruhan seperti dibicarakan di atas. Analisis relasi intertekstual berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode maupun dalam periode-periode yang berbeda (Nurgiantoro, 1995:38). Menurut Riffaterre (Sangidu, 2004:26) mengemukakan bahwa di dalam prinsip intertekstual diperlukan suatu metode perbandingan dengan membandingkan unsur-unsur struktur secara menyeluruh yang terdapat di dalam kedua teks sastra atau lebih dari dua teks sastra yang diteliti.
Hal ini membuktikan bahwa analisis struktural adalah mengkaji karya sastra ke dalam unsur-unsur intrinsik berupa tema, latar, penokohan, dan alur. Kemudian karya sastra tersebut direlasikan ke dalam antar teks dan direlasikan secara intertekstual. Karya sastra tersebut direlasikan untuk mengetahui perbedaan dan
persamaan yang terdapat pada LKK dan PPS.
1.6 Metode penelitian
Metode berasal dari kata methodos, bahasa latin, yang berasal dari akar kata
meta dan hodos. Meta berarti ‘menuju, melalui, mengikuti, dan sesudah’,
sedangkan hodos berarti ‘jalan, cara, arah’ (Ratna, 2007:34). Dengan kata lain,
metode merupakan cara kerja yang bersistem untuk memulai pelaksanaan suatu kegiatan penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditentukan (Sangidu, 2004:13) metode atau cara kerja dalam penulisan skripsi ini mengunakan metode sebagai berikut.
Tahap awal yang dilakukan adalah pencarian data di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, sehingga ditemukan kedua karya sastra Layang Kandha Kelir dan Pejahipun Patih Suwanda milik Ki Surwedi dan Raden Ngabehi Sindusastra. Langkah kedua melakukan pengumpulan data pada sumber lain yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. Langkah ketiga merumuskan permasalahan dari kedua karya sastra tersebut. Selanjutnya membuat sinopsis dari kedua buku yang digunakan sebagai objek penelitian. Langkah berikutnya kedua karya dianalisis menggunakan analisis struktural. Metode struktural digunakan
untuk memahami semua unsur-unsur pembangun keseluruhan cerita.
Menganalisis fakta cerita (alur, tokoh, latar), tema dan amanat yang terdapat di kedua sumber penelitian. Pada tahap terakhir, dari hasil analisis struktural akan diolah dengan menggunakan metode perbandingan yang dapat dilakukan dengan membandingkan unsur-unsur struktur secara menyeluruh yang terdapat di dalam kedua karya sastra yang akan diperbandingkan.
Kutipan bahasa Jawa akan diterjemahkan menggunakan teori terjemahan teks dari Nababan (2013:30-46). Menurut Nababan terjemahan teks dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu: teori pernerjemahan secara kata demi kata, terjemahan bebas, terjemahan harfiah, terjemahan dinamik, terjemahan
estetik dan puitk, dll. Penelitian dalam LKK dan PPS menggunakan
penerjemahan secara bebas. Terjemahan bebas adalah Jenis penerjemahan yang biasanya terjadi pada tataran frasa, klausa, atau kalimat. Jenis penerjemahan ini tidak sama dengan penyaduran karena pesan yang terkandung dalam bahasa sumber haruslah sama dengan yang terkandung dalam bahasa sasaran. Sementara
itu terjemahan kutipan kata dibantuan dengan menggunakan kamus Baoesastra Djawa karya W. J. S Poerwadarminta dan kamus pendukung lainnya.
1.7Sistematika penulisan
Sistematika penyajian dalam penelitian Layang Kandha Kelir dan
Pejahipun Patih Suwanda akan diuraikan dalam lima bab yaitu: Bab I adalah pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjuan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang deskripsi kedua karya sastra dan sinopsis kedua
karya sastra Layang Kandha Kelir dan Pejahipun Patih Suwanda. Bab III memuat
uraian tentang analisis struktural mengenai tema, penokohan, latar, alur, dan amanat. Dilanjutkan dengan hubungan antar unsur cerita. Bab IV adalah
perbandingan dan persamaan antara LKK dan PPS. Bab V dilanjutkan dengan