• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP. peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP. peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP

Dalam melakukan penelitian yang bersifat ilmiah, tentunya tidak terlepas dari peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam memecahkan permasalahan yang diangkat.

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini akan dikemukakan sebagai berikut:

1. Tesis Chris Koelbleitner yang berjudul Frankenstein and Great Expectations: The Romantic Child and The Victorian Adult (1997). Pada penelitian tersebut dibahas interaksi antara diskursus Sastra Romantik dan Sastra Victorian terhadap penokohan Pip dalam novel Great Expectations karya Charles Dickens, sekaligus membandingkannya dengan penokohan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Pip diceritakan mengalami diskriminasi sosial dan terpaksa harus mengorbankan kebahagiaan masa kecilnya sebagai buruh pabrik. Ketika dewasa, Pip berhasil menyusun strategi dan merongrong kekuasaan yang telah memanipulasi dirinya.

(2)

Berbeda dengan hasil penelitian di atas, penulis membahas penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton, dan Sang Monster sebagai penyebab sekaligus penanggung derita diskriminasi sosial yang diciptakannya sendiri.

2. Tesis Jonathan Darren yang berjudul Literary Studies: Analyzing the Psychology of the Split Personality in Dr. Jekyll and Mr. Hyde by Robert Louis Stevenson (2000). Penelitian ini menganalisis unsur-unsur kepribadian ganda atau dikenal sebagai Disosiatif Identity Disorder (DID) terhadap penokohan Dr Jekyll dan Mr Hyde. Dr Jekyll dan Mr, Hyde secara efektif mewakili sisi baik dan jahat dari sifat manusia.

Berbeda dengan penelitian di atas, penulis menegaskan bahwa perilaku Byronic Hero tidak lah sama dengan kegilaan mental penokohan yang disebutkan sebelumnya. Byronic Hero adalah gejala neurosis yang dipicu oleh sikap depresi terhadap ketidakadilan sosial.

3. Penelitian essay Nova Dahlén yang berjudul Severus Snape and the Concept of the Outsider: Aspects of Good and Evil in the Harry Potter Series (2009). Pada penelitian tersebut dibahas karakter dinamis Severus Snape yang bersifat kompleks, dan memfokuskan tokoh sebagai orang buangan.

Yang menjadi perbedaan antara penelitian di atas dengan penelitian yang diangkat penulis adalah penokohan Severus Snape tidak diposisikan sebagai tokoh utama penggerak jalan cerita seperti halnya Victor Frankenstein, sehingga peran penokohan tersebut tidak dirasakan pengaruhnya.

(3)

4. Penelitian essay Charlotta Wendick yang berjudul Happiness?: A Psychoanalytic Reading of the character Bill Maplewood in Todd Solondz’s film, Happiness (2008). Pada penelitian tersebut dibahas tentang suatu psikoanalisis menyeluruh terhadap karakter Bill Maplewood, yang mana berisi analisis konflik batin tokoh sebagai reaksi sadar dan tidak sadarnya. Berbeda dengan penelitian di atas, peneliti membahas konflik batin yang dirasakan Victor Frankenstein sebagai akibat dari ambisinya, bukan gejala kegilaan yang terjadi secara alami.

Peneliti juga mengaplikasikan teori-teori yang relevan mengenai pembahasan Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan hubungannya dengan konsep monster dari buku-buku karya Fred Botting, antara lain: Gothic Romanced: Consumption, Gender and Technology in Contemporary Fictions (2008), dan Making Monstrous: Frankenstein, Criticism, Theory (1991); juga teori-teori tentang konsep Byronic Hero dari buku karya Peter L. Thorslev Jr., yakni: The Byronic Hero: Types and Prototypes (1962) sebagai suatu pijakan untuk menganalisis penokohan Victor Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Selain itu, perlu diketahui bahwa pembahasan tentang penelitian yang diangkat penulis masih bersifat sangat baru dan sangat kekinian, terutama di Indonesia. Sebagai akibatnya, sumber referensi yang tersedia dirasakan masih sangat terbatas jumlahnya.

(4)

2.2 Landasan Teoretis

Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu memecahkan masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan pembatasan dalam rangka menjawab setiap permasalahan yang timbul. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.

Sesuai dengan format penelitian yang dibuat dalam desain deskriptif-kualitatif, maka digunakan beberapa teori yang dimaksudkan sebagai pijakan.

2.2.1 Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan yang terkait dengan pemikiran dan perasaan pengarang dalam menciptakan karyanya. Selain terkait dengan narasi dalam substansi karakter tokoh, psikologi sastra juga terkait erat dengan realitas kehidupan sosial masyarakat. Oleh sebab itu, dalam pembahasannya digunakan sekaligus pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Hal tersebut dijelaskan oleh Roekhan (dalam Endraswara, 2008: 97-98) bahwa pendekatan psikologi sastra terdiri atas tiga pendekatan sekaligus, yakni: (1) tekstual, yang mengkaji aspek psikologis karya sastra. (2) reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca akibat pengaruh karya yang dibacanya. (3) ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis, baik sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya.

(5)

Psikologi dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikosastra dapat menjelaskan proses kreatif pengarang, yakni menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel, karena secara disadari atau tidak, pengarang cenderung ikut memasukan teori psikologi yang dianutnya, yang mana juga memiliki daya psikologis terhadap pembacanya. Oleh sebab itu maka karya sastra dapat dianggap sebagai cerminan psikologis pengarangnya.

Dikaitkan dengan objek penelitian, maka psikologi Mary Shelley sebagai pengarang dalam hal pencitraan Byronic Hero merupakan sebuah potret perlawanan manusia terhadap era Absolutisme, Pencerahan, dan Revolusi Industri.

2.2.2 Pendekatan Arketaipal

Menurut Scott (1963), pendekatan arketaipal adalah sebuah pendekatan yang bertumpu pada analisis yang bersifat mengkaji tindak tanduk manusia, bukan untuk mengkaji unsur estetik dan instrinsik sebuah karya sastra. Pendekatan ini erat hubungannya dengan psikologi manusia karena setiap perilaku manusia dalam berkebudayaan dan berkesenian tidak dapat dipisahkan dengan zaman di mana manusia hidup.

Pendekatan ini menegaskan bahwa di dalam karya sastra terdapat suatu kumpulan simbol, gambar, karakter, dan motif yang pada dasarnya akan membangkitkan respon yang sama terhadap semua orang. Menurut psikolog Carl Gustav Jung (1875-1961), arketaipal berhubungan erat dengan alam bawah sadar

(6)

manusia. Pendekatan Arketaipal mengidentifikasi pola-pola dasar yang dimaksud dan menjelaskan bagaimana hal-hal tersebut difungsikan dalam karya sastra.

Dalam hal ini, psikoanalisis Jung membahas tentang proses ketidaksadaran kolektif (yang disebut juga sebagai kritik tipikal). Ketidaksadaran kolektif adalah simbolisasi persepsi yang dipicu oleh sejumlah pikiran bawaan, perasaan, naluri, dan kenangan yang berada dalam ketidaksadaran semua manusia, yakni serangkaian pengalaman yang datang dengan sendirinya seperti takdir.

Data elemen arketaipal, secara relatif, dimanfaatkan sebagai sarana untuk memahami konsep pemikiran, watak, aspirasi, harapan masyarakat, serta nilai-nilai yang diharapkan oleh pencipta karyanya. Data elemen arketaipal dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi: (1) tokoh, (2) situasi, dan (3) pencitraan arketaipal. Data tokoh arketaipal merupakan tokoh legenda yang memiliki sifat tipikal, misalnya: pahlawan, monster, robot, penguasa, budak, dsb. Situasi arketipal berkenaan dengan peristiwa-peristiwa esensial dan tipikal dalam alur cerita, misalnya: pencarian, pelarian, petualangan, pelayaran, pengasingan, diskriminasi, dsb. Pencitraan arketaipal berupa imagi-imagi tipikal yang menimbulkan asosiasi pada makna tertentu, antara lain: gejala alam, pergantian musim, nama tumbuhan, nama hewan, warna, dsb.

Salah satu kegunaan pendekatan ini adalah sebagai pendekatan universal yang menyoroti hal-hal apa saja yang menjadi penyebab sebuah karya sastra dapat bertahan begitu lama. Di lain sisi, Pendekatan Arketaipal cenderung mengabaikan unsur seni

(7)

dalam karya sastra, dan lebih menyoroti hal-hal simbolis dalam cerita, yang mana biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia.

2.2.3 Metode Hermeneutika

Hermeneutika berkaitan erat dengan bahasa dan semua aspek kebahasaan dalam kehidupan manusia. Istilah ‘hermeneutik’ berasal dari Bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’; dan hermeneia, yang secara harafiah dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang penafsiran atau interpretasi tentang isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks; dan menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (Palmer, 2003).

Metode hermeneutika melakukan penafsiran terhadap bahasa melalui dua cara; yakni penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis (Bleicher, 2003). Penafsiran gramatikal adalah cara bagaimana orang menggunakan bahasa berdasarkan situasi (di mana dan bagaimana bahasa itu digunakan). Sedangkan penafsiran psikologis adalah apa yang dapat ditangkap dari makna yang terkandung dalam setiap pembahasan itu (Bungin, 2007a).

Dalam meneliti suatu karya sastra, hermeneutika digunakan untuk memahami makna sastra yang terdapat di balik struktur. Sastra dipandang sebagai simbol dan teks dimana pada teks terdapat konteks yang bersifat polisemi sehingga teks harus dihubungkan dengan konteks.

(8)

Menurut Sumaryono (1993), Habermas membedakan antara penjelasan dengan pemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat menginterpretasi fakta secara tuntas. Fakta yang disampaikan melalui formasi diskursif dan diwacanakan secara terus menerus, akhirnya akan diterima sebagai sesuatu yang benar (Bleicher, 2003).

Dalam melakukan penafsiran, Endraswara (2008) mengemukakan empat langkah utama, yaitu: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu menjelaskan arti-arti implisit, (3) menentukan tema, (4) memperjelas arti-arti simbolik dalam teks. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti akan mempergunakan teori ini untuk menafsirkan makna bahasa yang diungkapkan dalam novel Mary Shelley Frankenstein.

2.2.4 Teori Dekonstruksi

Teori Dekonstruksi diperkenalkan oleh Jacques Derrida (1930-2004) pada tahun 1967 dan mulai digunakan dalam seni dan sastra pada tahun 1970an (Muhadjir, 2001: 203). Dekonstruksi merupakan gebrakan posmoderenisme yang bersifat fungsionalis, strukturalis, dan pragmatis. Dalam sudut pandang posmoderen, karya seni tidak dapat dilepaskan dari isu sosial dan politik serta menentang pemilahan antara seni yang memiliki legitimasi dengan budaya populer. Dalam hal ini, maka pemaknaan terkait erat dengan diskursus.

(9)

Menurut teori dekonstruksi yang didasarkan pada pandangan teori konflik, kajian realitas sosial telah dijabarkan oleh Derrida dan Habermas dalam kajian dekonstruksi sosial. Kajian dekonstruksi sosial menempatkan konstruksi sosial sebagai obyek yang didekonstruksi. Lebih lanjut, Bungin (2007a) menjelaskan pandangan Karl Heinrich Marx (1818-1883) tentang realitas kehidupan sosial budaya masyarakat ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas (sesuai dengan pandangan teori konflik).

Dalam pengkajian teks (bahasa), terutama terhadap karya sastra, dekonstruksi dilakukan dengan cara memfokuskan permasalahan di dalam teks, memahami makna jelas di dalam teks, mencari pernyataan yang saling berlawanan (oposisi biner), dan membiarkan teks tersebut membentuk makna-makna yang disembunyikan oleh penulisnya. Hal tersebut merupakan akibat dari pembentukan pernyataan-pernyataan yang sebelumnya saling bertentangan; yang mana pada dasarnya mengandung penundaan makna.

Jika dibandingkan dengan sudut pandang Strukturalisme yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), maka makna (petanda) selalu dihasilkan berdasarkan adanya penanda; di mana makna merupakan hasil artikulasi dari lambang-lambang. Eagleton (1984) menjelaskan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarkis berfungsi untuk memberikan kedudukan yang lebih utama terhadap kaum laki-laki; yang mana dengan sendirinya memberikan kedudukan yang lebih rendah terhadap perempuan. Ia menjadi perempuan karena ia

(10)

demikian, maka laki-laki di sini merupakan prinsip utama, sedangkan perempuan merupakan prinsip kedua (subordinat).

Konsep oposisi biner versi Strukturalisme menunjukkan keterkaitan hubungan antara signifiant (penanda atau bunyi) dan signifie (petanda atau konsep); langue (bahasa atau sistem yang dimiliki bersama) dan parole (ucapan, realisasi individual). Salah satu kekurangan dalam pendekatan Strukturalisme adalah adanya konsep-konsep dikotomis yang mengandung ketidakstabilan makna dan bersifat kabur. Lebih lanjut, Lechte (2001) menjelaskan bahwa teori Saussurean dan teori linguistik Strukturalis kemudian disempurnakan oleh kelompok postrukturalis dengan penyertaan konsep Differance atau penundaan makna, yang diperkenalkan oleh Derrida pada tahun 1968.

2.3 Konsep

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam penelitian, antara lain: (1) Representasi, (2) Byronic Hero, dan (3) Postrukturalisme.

2.3.1 Representasi

Representasi secara harafiah berarti penampilan atau perwakilan wilayah studi kultural tempat dikonstruksi dan ditampilkannya berbagai fakta sosial. Representasi berfungsi mengubah obyek kebudayaan menjadi obyek kultural. Istilah tertua dari representasi adalah mimesis, yakni suatu konsep hasil debat antara Plato dan Aristoteles. Mimesis adalah peniruan terhadap dunia empiris melalui kata-kata, bunyi,

(11)

pikiran, tingkah laku, dan berbagai perwujudan aktivitas kultural. Maka dapat disimpulkan bahwa dunia empiris tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya..

Representasi merupakan salah satu fokus permasalahan yang sangat penting dalam teori-teori postruktural. Representasi memberi makna khusus pada tanda terhadap proses dan hasilnya. Melalui representasi, ide-ide ideologis dan abstrak diberi bentuk konkritnya (Sardar, van Loon, 2001). Lebih lanjut, Perbedaan antara representasi dengan teks dijabarkan, sebagai berikut:

Sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda dan lambang, yang secara definitif berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti obyek faktual. Perbedaannya, apabila simbol lebih bersifat arbitrer, representasi lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis. Menurut Hutcheon (2004: 4), semua bentuk representasi, baik literal, visual, dan aural, maupun kultural pada umumnya, baik budaya tinggi maupun budaya masaa, didasarkan atas pesan ideologi tertentu sehingga tidak mungkin lepas dari masalah sosial politis (Ratna, 2008: 123).

Berdasarkan keterangan di atas, maka novel Mary Shelley Frankenstein diketahui sebagai produk kreatif pengarangnya, yang dapat dikonstruksi secara sosial dengan penggunaan bahasa sebagai medianya. Sehingga dapat dikatakan bahwa teks dalam novel berkaitan erat dengan makna dan representasi. Ratna (2008: 125) menjelaskan bahwa di dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer yang lain; yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok seperti: pesan, tema, dan pandangan dunia.

(12)

2.3.2 Byronic Hero

Istilah Byronic Hero pertama kali dipopulerkan oleh Lord Byron (1788-1824) dalam karya-karyanya pada era Romantik di Inggris dan negara Eropa lainnya (romantic movement). Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuluan, Byronic Hero adalah suatu penokohan yang bersifat kompleks dan banyak mengalami perubahan suasana hati (mood), juga cenderung kontroversial. Dalam realisasinya, tokoh Byronic banyak digambarkan pengarang sebagai tokoh yang semula dianggap antagonis, antara lain: setan, vampir, monster, ataupun tokoh kontroversial lainnya; namun pada akhirnya diketahui bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan perilaku seorang pahlawan.

Ciri tokoh Byronic sangat khas. Menurut Thorslev Jr. (1962: 7), Tokoh ini sering juga disebut sebagai villainous hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga sebagai ‘algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka, rasa cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menggunakan konsep Byronic Hero untuk menemukan ciri-ciri perilaku yang digambarkan oleh penokohan Victor Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Penelitian akan menjelaskan tentang hal apa saja kah yang melatarbelakangi perilaku tersebut, hal apa sajakah yang menjadi motivasi perilaku tersebut, dan bagaimana kah perilaku tersebut digambarkan dalam novel.

(13)

2.3.3 Postrukturalisme

Kemunculan aliran Postrukruralisme merupakan reaksi penyempurnaan sekaligus penentangan terhadap aliran Strukturalisme. Aliran tersebut dipopulerkan Jacques Derrida pada awal abad ke-20 (1980an) di Perancis dan Amerika. Postrukturalisme merupakan sebuah aliran yang sangat berkembang dan mutakhir, terutama dalam kajian sastra dan kritik sastra. Menurut pandangan Derrida, kekurangan pendekatan Strukturalisme (linguistik) terletak pada pengandalan anggapan-anggapan (pre-supposition) yang tidak pernah dipertanyakan lagi, dan menggunakan konteks sains terlalu sempit. Derrida menentang hal tersebut dengan konsepsinya mengenai desain sebagai suatu penyingkapan (design as a closure), yang dilakukan dengan dekonstruksi (deconstruction).

Lebih lanjut, kelemahan Strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut: (a) model analisis Strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata berdasarkan kepada struktur dan sistem tertentu; (b) strukturalisme terlalu memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan pengarang dan pembaca sebagai subyek manusianya; (c) hasil analisis Strukturalisme seolah-oleh difungsikan untuk karya sastra itu sendiri (intrinsik), bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas (ekstrinsik).

Secara definitif, Strukturalisme berarti suatu paham mengenai unsur-unsur, yakni struktur dengan mekanisme antarhubungan. Sebagai akibatnya, Strukturalisme

(14)

24

kemudian direvisi oleh Postrukturalisme, yang mana mengakibatkan pergeseran estetika produksi ke arah estetika konsumsi: yakni menyamakan letak penerima (pembaca) sebagai pencipta (pengarang). Postrukturalisme menganggap bahwa makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan melalui partisipasi aktif. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna tekstual berkaitan erat dengan konteks.

Postrukturalisme beranggapan bahwa bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif belaka, melainkan terpisah sifatnya dari subyek sebagai penyampai pernyataan. Subyek di sini diartikan sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Oleh karena itu, Postrukturalisme meletakkan dekonstruksi sebagai elemen yang sangat penting dalam pengungkapan makna yang disembunyikan penulisnya (hidden meanings).

Referensi

Dokumen terkait

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Anggota direksi juga dapat diberhentikan sementara oleh dewan komisaris. Kewenangan dewan komisaris ini didasarkan pada rasio bahwa pemberhentian anggota direksi oleh

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi