1 BAB I
PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
Kasus kekerasan seksual terhadap wanita merupakan salah satu bentuk kekerasan yang sebenarnya berat dan mendasar namun jarang dikenal masyarakat. Kekerasan terhadap wanita ini meliputi kekerasan fisik, seksual, psikologis serta kekerasan ekonomi. Kekerasan ini lebih sering disebut sebagai kekerasan dengan alasan jenis kelamin dimana hal ini seringkali berkaitan dengan subordinasi status wanita. Banyak budaya yang memiliki kepercayaan, norma dan kondisi sosial yang tidak melarang kekerasan terhadap wanita. Kekerasan terhadap wanita adalah perwujudan dari ketidaksetaraan antara riwayat hubungan-hubungan antara kaum laki-laki dan wanita, yang mengakibatkan dominasi laki-laki terhadap wanita (Heise et al., 1999).
Secara epidemiologi, angka kekerasan terhadap wanita di dunia masih terbilang tinggi. Data yang diperoleh dari WHO pada tahun 2013, satu dari tiga wanita di seluruh dunia menjadi korban kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual. WHO menyebutkan bahwa 30%
2 kekerasan yang dialami oleh wanita di seluruh dunia terutama dilakukan oleh mitra terdekat dari korban. Mitra yang dimaksud adalah suami, pacar, atau sanak keluarganya (Fulu et al., 2013).
Di Indonesia sendiri terdapat peningkatan tren jumlah kekerasan terhadap wanita. Data yang berhasil dihimpun Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komisi Nasional Wanita (Komnas Wanita) dari tahun 2004 hingga 2014 menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun. Tren peningkatan kasus kekerasan terhadap wanita ini bahkan dikatakan telah berada pada situasi darurat kekerasan terhadap wanita. Data tersebut diperoleh dari data yang ditangani oleh Pengadilan Agama, laporan lembaga swadaya masyarakat, serta aduan lain. Hasil laporan dari CATAHU ini menggambarkan fenomena “puncak gunung es” yakni masih banyak wanita yang tidak mampu atau tidak berani menceritakan pengalaman kekerasan yang dialaminya atau bahkan melaporkan kekerasan yang dialami. Hal ini disebabkan adanya banyak stigma negatif yang berkembang di masyarakat terkait wanita yang mengalami kekerasan. Masyarakat cenderung menilai wanita yang mengalami kekerasan ini berada pada pihak yang salah yang
3 seharusnya memang patut mendapat kekerasan (Hakimi et al., 2001). Stigma ini menjadi halangan besar bagi para korban untuk menceritakan pengalaman atau melaporkan kekerasan yang dialami. Di sisi lain, layanan bantuan untuk korban kekerasan di Indonesia juga kurang memadai. Keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan dana, kurangnya dukungan dari masyarakat, serta kurangnya fasilitas dari pemerintah menjadikan layanan untuk membantu korban kekerasan ini tidak berfungsi secara optimal (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Wanita, 2015)
Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan tren peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia:
Gambar 1. Jumlah kasus kekerasan terhadap wanita di Indonesia tahun 2004-2014 yang dihimpun oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Wanita (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Wanita, 2015)
4 Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kejadian kekerasan terhadap wanita juga menunjukkan angka yang cukup tinggi. Data yang berhasil dihimpun oleh berbagai lembaga penyedia layanan bagi wanita korban kekerasan di Indonesia khusus untuk wilayah sekitar DIY ditemukan lebih dari 944 kasus dari tahun 1994 hingga 2000 (Hakimi et al., 2001). Data lebih baru dari Rifka Annisa Women Crisis Center, kejadian kekerasan terhadap wanita di wilayah DIY pada bulan Juli hingga Oktober 2011 yang dihimpun dari berbagai berita yang diambil dari publikasi koran Kedaulatan Rakyat dan Radar Jogja, ditemukan 223 berita dan 174 artikel mengenai kekerasan terhadap wanita pada masing-masing koran tersebut (Rifka Annisa Women Crisis Center, 2011).
Kasus kekerasan terhadap wanita ini bukanlah tidak mungkin untuk dicegah. Permasalahan yang dihadapi adalah banyak kasus kekerasan terhadap wanita yang terlewat karena tidak adanya keterbukaan korban mengenai kejadian yang dialami. Masyarakat Indonesia cenderung menganggap kekerasan seksual terhadap wanita, khususnya yang terjadi dalam ranah keluarga, merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Korban tindak
5 kekerasan atau sekarang lebih populer disebut penyintas kekerasan, merasa bahwa kekerasan yang dialaminya merupakan hal pribadi dan merupakan aib yang tidak seharusnya dibicarakan dengan orang lain. Ini merupakan stigma yang menjadi halangan terungkapnya kasus kekerasan terhadap wanita yang menyebabkan korban disiksa dalam kurun waktu panjang tanpa adanya bantuan dari pihak luar.
Petugas kesehatan memiliki peran yang krusial dalam mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita. Di banyak negara, layanan kesehatan adalah satu-satunya institusi yang yang berinteraksi dengan hampir seluruh wanita paling tidak sekali dalam hidupnya. Oleh karena itu, layanan kesehatan ini merupakan tempat strategis dalam mengidentifikasi atau menskrining kekerasan terhadap wanita (Heise et al., 1999). Petugas kesehatan khususnya dokter memiliki hubungan yang unik dengan pasien. Dokter terutama pada fasilitas layanan primer adalah tempat pertama pasien bertemu dengan layanan kesehatan. Dokter diharapkan tidak hanya menjadi agen kuratif, namun juga memiliki fungsi pencegahan dan rehabilitasi. Salah satu fungsi pencegahan adalah dengan melakukan deteksi dini
6 terhadap adanya kekerasan yang dialami pasien (AAFP, 2011).
Merujuk dari Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), pada bagian kedokteran masyarakat/kedokteran pencegahan, pada kompetensi nomor 13 dan 14 terdapat butir kompetensi mengenai penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap wanita dan anak. Kompetensi ini wajib dimiliki oleh seorang lulusan dokter (SKDI, 2012).
Studi di Indonesia mengenai kekerasan lebih banyak meneliti mengenai korban kekerasan dan jarang sekali yang meneliti mengenai sejauh mana dokter melakukan identifikasi dini, pencegahan, dan penanggulangan kekerasan terhadap wanita. Studi terkait hal ini, dilakukan di Malaysia dan disebutkan bahwa masih ada petugas kesehatan yang tidak menyadari adanya masalah kekerasan yang dihadapi pasien serta tidak menggali lebih lanjut hal tersebut kepada pasien. Selain itu juga disebutkan bahwa hanya 20% dokter yang pernah mendapatkan pelatihan mengenai kekerasan terhadap wanita ini (Othman dan Mat Adnan, 2008). Dibutuhkan pelatihan mengenai kekerasan terhadap wanita dengan fokus pelatihan adalah kebutuhan korban, memperkuat
7 kondisi korban, bagaimana petugas kesehatan dapat memenuhi kebutuhan korban dengan baik serta keterampilan berkomunikasi mendengarkan dan berempati (Colombini et al., 2013).
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimanakah pengaruh pelatihan terhadap keterampilan mahasiswa kedokteran tingkat profesi dalam melakukan skrining kekerasan seksual pada wanita?”
I.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan mengoptimalkan peran tenaga medis dalam penanganan kekerasan wanita. Adapun tujuan khusus adalah sebagai berikut:
1. Mengukur keterampilan mahasiswa kedokteran tingkat profesi dalam melakukan skrining kekerasan seksual pada wanita.
2. Menentukan pengaruh pelatihan terhadap keterampilan mahasiswa kedokteran tingkat profesi dalam melakukan skrining kekerasan seksual pada wanita.
8 I.4. Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti yang hampir sama dan berhubungan dengan penelitian ini, diantaranya;
1. Penelitian yang di lakukan oleh Rahyani (2004) berjudul “Efektivitas Pelatihan terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Bidan Mengkaji Kekerasan pada Ibu Hamil yang Antenatal Care di Puskesmas se-Kabupaten Badung dan Kota Denpasar”. Penelitian in bertujuan untuk melihat pengaruh dari pelatihan terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku bidan mengkaji kekerasan pada ibu hamil yang melakukan perawatan antenatal di puskesmas. Hasil dari penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa pelatihan menggunakan pendekatan pembelajaran orang dewasa efektif meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku bidan tentang kekerasan seksual terhadap wanita. Perbedaan dari penelitian ini adalah subjek penelitian dan juga lokasi dilakukannya penelitian.
2. Penelitian mengenai “Midwives’ perception and Experience of Routine Enquity for Domestic Violance” yang dilakukan pada tahun 2003 di Guy’s and St Thomas’ NHS Hospital Trust, Inggris.
9 Penelitian ini melihat persepsi bidan dan pengalaman bidan dalam melakukan penggalian informasi terkait kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Penelitian ini merupakan penelitiaan kualitatif dengan menggunakan desain
focus frous dan semi-structured interview. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa bidan merasa kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan isu yang penting namun dalam praktiknya masih banyak kesulitan, diantaranya disebabkan karena keterbatasan waktu, isu keamanan, serta kurangnya petugas yang berpengalaman menghadapi kasus kekerasan. Selain itu disebutkan bahwa skrining kekerasan dalam rumah tangga ini tidak bisa diimplementasikan secara efektif tanpa adanya pelatihan yang mendalam (Mazey et al., 2003). 3. Penelitian berjudul “Physicians’ Screening
Practices for Female Partner Abuse During Prenatal Visits” yang menggunakan sampel dokter yang berpraktek di wilayah Alaska. Tujuan penelitian ini ingin melihat apakah dokter di wilayah Alaska tersebut melakukan praktik skrining kekerasan terhadap wanita selama kunjungan antenal dan melihat pemahaman mereka mengenai kekerasan
10 terhadap wanita. Diperoleh hasil bahwa hanya 17% dari seluruh responden yang melakukan pemeriksaan skrining kekerasan terhadap wanita pada kunjungan antenatal (Chamberlain et al., 2000). Perbedaan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian, lokasi penelitian, serta metode penelitian yang digunakan.
4. Penelitian mengenai “Silence for the Sake of Harmony” yang dilakukan di Jawa Tengah yang berhasil menemukan bahwa kejadian kekerasan rumah tangga di Jawa Tengah merupakan bentuk kekerasan yang paling serius dan membutuhkan perhatian menyeluruh dan serius. Penelitian dilakukan di wilayah Purworejo dari tahun 1996 hingga 1998 dengan metode cross-sectional survey. Perbedaan dari penelitian ini adalah lokasi, subjek, tujuan dan metode penelitian.
Semua penelitian di atas memiliki bentuk penelitian yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pelatihan penanganan kekerasan wanita dengan subjek adalah mahasiswa tingkat profesi di RSUP Sarjito Yogyakarta.
11 I.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, dapat meningkatkan pengetahuan mengenai kekerasan seksual terhadap wanita, meningkatkan kemampuan dalam melakukan skrining kekerasanseksual pada wanita, serta melihat pengaruh pelatihan dengan kemampuan dalam melakukan skrining kekerasan seksual terhadap wanita.
2. Bagi institusi, dapat digunakan sebagai masukkan data dan informasi mengenai pengaruh pengetahuan dengan kemampuan skrining kekerasan seksual terhadap wanita pada mahasiswa rotasi klinik, serta memberi peluang untuk penelitian selanjutnya pada subjek penelitian lain misalnya mahasiswa pendidikan kedokteran ataupun residen spesialisasi obstetri dan ginekologi.
3. Bagi masyarakat umum, dapat memberikan informasi mengenai tindak kekerasan terhadap wanita, pencegahan, serta hal-hal yang bisa dilakukan apabila mendapati adanya tindak kekerasan tersebut.