• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 K E S I M P U L A N. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis sebagaimana dipaparkan di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 6 K E S I M P U L A N. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis sebagaimana dipaparkan di"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

228

K E S I M P U L A N

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis sebagaimana dipaparkan di dalam Bab 4, dan pembahasan hasil penelitian dalam Bab 5, maka dalam Bab 6 ini ada 2 (dua) hal pokok yang dapat disimpulkan. Pertama, adalah kesimpulan umum yang merupakan temuan empirik sebagai hasil pengujian hipotesis untuk menjawab pertanyaan penelitian; sedangkan hal kedua, merupakan saran-saran untuk tindak lanjut.

Sesuai dengan permasalahan, teori yang membingkai penelitian ini, hipotesis, dan hasil pembahaan yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya, maka simpulan yang dapat ditarik dari temuan empirik di lapangan adalah sebagai berikut :

1. Bahwa faktor pendidikan individu TKW, ternyata berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi secara legal, tetapi hal ini tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi bagi TKW kategori ilegal (karena dibantu sepenuhnya oleh Calo TKI) .

(2)

2. Faktor luas pemilikan lahan pertanian di desa asalnya, ternyata tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi, dan hal ini berlaku baik bagi TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal. 3. Faktor pendapatan rendah keluarga di desa asalnya, ternyata

berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi, dan kenyataan ini terbukti berlaku baik untuk TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal.

4. Faktor perolehan pekerjaan di desa asal, ternyata tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi untuk TKW kategori legal, tetapi kenyataan ini terbukti berpengaruh untuk TKW kategori ilegal. 5. Bahwa, faktor dorongan keluarga, terbukti berpengaruh terhadap

pengambilan keputusan bermigrasi, dan kenyataan ini berlaku baik untuk TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal.

6. Faktor lingkungan TKW, yakni sukses migram ‘lama’ di luar negeri, terbukti berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi, dan kenyataan ini berlaku baik untuk TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal.

7. Faktor peran jaringan migrasi juga terbukti berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi, dan kenyataan ini hanya belaku untuk TKW kategori legal, sedangkan untuk TKW kategori ilegal, faktor ini tidak terbukti berpengaruh.

(3)

8. Faktor hambatan migrasi terbukti tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi untuk TKW kategori legal, sedangkan untuk TKW kategori ilegal, faktor ini terbukti berpengaruh. 9. Bahwa, keputusan TKW untuk bermigrasi ke luar negeri baik secara

legal maupun ilegal terbukti berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi keluarga migran di daerah asal.

Selanjutnya, ada perbedaan resionalitas antara TKW yang memilih bermigrasi secara legal dengan TKW yang memilih bermigrasi secara ilegal. Ada dua faktor yang mendasari rasionalitas TKW bermigrasi secara legal ke luar negeri. Rasionalitas yang mendasari TKW memilih cara bermigrasi legal ke luar negeri, dapat dibedakan menjadi internal dan eksternal. Faktor internal itu antara lain ; TKW yang memiliki ciri-ciri usia lebih muda, lebih terdidik, belum menikah dan relatif lebih kaya, akhirnya memutuskan bermigrasi sementara ke luar negeri secara legal (untuk meningkatkan pendapatan keluarganya). Dasar rasionalitas yang ke dua adalah bahwa, meraka tidak ingin mendapat masalah di negara tujuan karena melawan hukum. Konsekuensi dari pilihan migrasi legal seperti itu adalah, bahwa ia harus memenuhi persyaratan kerja di luar negeri dan mengikuti semua proses, prosedur dan aturan hukum keemigrasian, memiliki visa kerja, mengikuti pelatihan keterampilan kerja, serta membayar biaya migrasi. Sementara itu, dorongan keluarga, peran jaringan migrasi internasional,

(4)

serta keinginan yang kuat untuk mengatasi kemiskinannya telah ikut mempengaruhi keputusannya untuk memilih cara migrasi legal ke luar negeri.

Sebaliknya, TKW yang memiliki cirri-ciri; usia lebih tua, kurang terdidik, sudah menikah dan relatif lebih miskin, dan tidak memiliki penghasilan, telah memilih cara bermigrasi ilegal ke luar negeri untuk meraih tujuannya. Pemilihan cara migrasi ilegal ini didasari oleh rasionalitas bahwa, tidak mungkin mereka bisa memenuhi syarat minimal pendidikan (SLTP) yang ditentukan oleh Depnakertrans RI dalam waktu singkat, juga karena tidak mampu membayar biaya pelatihan, biaya migrasi, dan memiliki skill, tetapi keinginan kuat untuk merubah “nasib” telah didukung oleh kondisi yang bersifat situasional seperti; gencarnya promosi dan rayuan para Teikong, atau calo TKI dan atau saudara yang membawanya ke luar negeri—serta pengaruh sukses TKW yang mudik dari luar negeri. Peran pihak kedua ini ternyata amat besar dalam membantu TKW hingga yang bersangkutan dapat berangkat dan bekerja di luar negeri, tetapi dengan cara ilegal. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa secara empirik pertanyaan – pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini telah dapat dijawab.

(5)

Dari uraian panjang sebagaimana di paparkan di dalam butir 6.1 di atas, secara ringkas sebenarnya ada 5 (lima) implikasi penting yang dapat ditarik dari analisis penelitian dan kesimpulan di atas.

Pertama, dorongan keluarga atau kerabat migran sebagai sub sistem sosial ditingkat lokal, ternyata memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan migrasi bagi wanita pedesaan - ke luar negeri. Kedua, jaringan migrasi internasional memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan migrasi wanita secara legal ke luar negeri. Sebaliknya , Teikong dan Calo TKI tidak resmi memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan migrasi ilegal di pedesaan.

Ketiga, basis ekonomi wanita migran cenderung mengubah posisi tawarnya di dalam pengambilan keputusan-keputusan penting keluarganya. Semakin besar penghasilan wanita migran, semakin diperhitungkan ia dalam proses pengambilan keputusan penting keluarganya .

Keempat, dampak penting dari migrasi wanita ke luar negeri adalah melemahnya otoritas suami dalam keluarga. Kekuatan otoritas suami berbanding terbalik dengan bargaining position istri dalam keluarga migran. Bahwa sudah ada kecenderungan di antara wanita migran untuk berani mengambil inisiatif bercerai dengan suaminya. Kenyataan

(6)

yang disebutkan dalam butir tiga dan empat di atas dikonsepsikan sebagai ” Otoritas lokal yang terbeli”

Kelima, pergeseran struktur hubungan kekuasaan antara laki-laki dan wanita di pedesaan, akibat migrasi internasional -- tidak lagi merupakan sebuah kemungkinan, akan tetapi sudah merupakan konsekuensi logis dari perubahan peran wanita sebagai pencari ”nafkah utama” di luar lingkup domestiknya.

6.2. Saran-Saran.

Menyadari bahwa, studi yang dilaksanakan ini tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan , maka dalam kesempatan ini disarankan kepada pihak yang berkompeten, untuk mengkaji lebih seksama beberapa pokok persoalan yang ternyata luput dari kerangka pemikiran studi ini. Beberapa keterbatasan itu antara lain; (1) perubahan pola konsumsi keluarga migran (internasional) hubungannya dengan mobilitas vertikal. Gaya hidup keluarga migran yang berubah seketika, dan cenderung konsumtif. Setelah uang habis, dapat dipastikan para TKW ini akan kembali lagi ke luar negeri. (2) rekonstruksi sosial tentang status wanita migran ke luar negeri hubungannya dengan perubahan nilai kodrat wanita dan peran domestiknya dalam keluarga petani di pedesaan; dan (3) kesadaran hukum wanita akan kewajibannya sebagai tenaga kerja asing di luar negeri. TKW

(7)

ilegal cenderung menganggap bahwa bekerja di negara lain sama saja dengan bekerja di negara sendiri. Oleh karena itu, mereka cenderung menganggap remeh, dan mengabaikan kewajibannya untuk memenuhi segala persyaratan sebagai tenaga kerja asing di luar negeri. Kondisi ini telah “diperburuk” lagi oleh rayuan gencar para Calo tenaga kerja yang menawarkan kesempatan kerja, keberangkatan dan mendapatkan pekerjaan serba instant, di luar negeri; tetapi melanggar ketentuan hukum di negara tujuan . Jika terjadi masalah, para Calo lebih banyak yang “lempar batu-sembunyi tangan”

Oleh karena itu, untuk menekan terulangnya kasus yang memilukan dan merugikan calon TKI (seperti kasus penipuan TKI oleh Nyonya Lamretta Situmeang, SH di Surabaya, lihat : Jawa Pos, 7 Oktober 2006) juga di luar negeri, maka studi ini merekomendasikan sebagai berikut :

(1) Pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dirjen PPTKLN), perlu segera menciptakan sistem informasi audio visual, bagi para calon TKW di pedesaan. Sistem informasi audio visual ini dapat dikemas ke dalam keping VCD yang memuat segala hal (life) tentang proses dan prosedur yang benar dan wajib diikuti, jika ingin menjadi tenaga kerja asing di luar negeri. Informasi ini juga harus memuat; (a) rekaman lengkap tentang kondisi dan situasi kerja di luar negeri (negara tujuan), (b) juga

(8)

daftar nama PJTKI atau Agen resmi yang memiliki SIUP PPTKLN yang dapat diakses, dan (c) Daftar nama Bank penyedia dana yang dapat diakses berikut mekanismenya (d) kewajiban mengikuti asuransi jiwa dan asuransi kesehatan. Semua informasi ini dapat di tayangkan secara “ life” melalui bantuan perangkat DVD player dan TV monitor yang dimiliki keluarga calon TKW atau tetangga TKW di rumahnya. Tujuannya agar dapat ditonton berulang-ulang oleh calon TKI dalam kelompok – keluarga di pedesaan. Dengan bantuan audio visual dan Pendampingan dari PL, diharapkan pemahaman dan kesadaran hukum calon TKI akan semakin baik.

(2) Sejalan dengan kian meningkatnya pemahaman dan kesadaran hukum calon TKI, pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten / kota seyogyanya mengambil peran proaktif sebagai “Instutional Supporting System” bagi para calon TKI, dan PJTKI yang sah, dengan mekanisme “one gate service”. Sebagai Institutional Supporting System, pihak Disnakertrans dan DPRD di kabupaten /kota perlu segera menerapkan Perda wajib daftar Perusahaan bagi PJTKI untuk keperluan penyusunan “base line data” (Computerized) yang lengkap. Di dalam base-line data itu, harus terdapat sekurang-kurangnya informasi, baik yang berhubungan dengan informasi jenis pekerjaan di luar negeri, kondisi dan syarat-syarat kerja, (kualitas

(9)

dan kuantitas) yang diperlukan, akses pelatihan keterampilan, pengurusan dokumen, informasi PJTKI yang sah , pasar kerja di luar negeri , asuransi jiwa dan kesehatan -- maupun akses biaya migrasi, seperti informasi yang dimuat dalam system audio visual di atas. Dengan posisi seperti ini, pihak Dinas Tenaga Kerja setempat akan memiliki base line data yang lengkap dan memiliki kemudahan di dalam melakukan monitoring, evaluasi dan PENGAWASAN terhadap kinerja PJTKI jika terjadi masalah yang menyangkut TKI di daerahnya. Hal yang tidak kalah penting untuk dibenahi kedepan adalah, masalah SDM baik Dinas maupun calon TKI. Di tingkat pelaksana Dinas, prinsip “the right man on the right place” harus segera diterapkan dengan program (misalnya) “lelang jabatan” yang transparan dan akuntabel. Sementara di kalangan calon TKI dan ulah Calo TKI, perlu pengawasan ekstra ketat menyangkut kualitas SDM yang dikirim ke luar negeri.

Di luar negeri, untuk menghindari benturan dengan Konvensi Genewa soal praktek hukum negara asing, maka Pemerintah (c.q Dirjen PPTKLN) perlu menempatkan agen-agennya untuk melindungi TKI dari perlakuan tidak adil atau tindakan pelanggaran hukum dan HAM lainnya di luar negeri lewat MoU Government to Government. Akan lebih baik lagi jika pihak Disnakertrans Pusat dan di kabupaten/kota menjalin kerjasama dengan pihak PT. Telkom untuk menerapkan sistem “central point” atau

(10)

informasi “on-line” yang terprogram, seperti yang dilakukan oleh Operator telephon seluler kepada para pelanggannya melalui nomor “888”. Usulan ini diajukan mengingat teknologi (hardware dan software) nya tersedia dan terjangkau. Dengan mekanisme semacam ini, kasus-kasus permasalahan TKI yang terjadi selama ini, diharapkan akan dapat direduksi, atau diminimalkan, bahkan mungkin dihapus sama sekali. Untuk semuanya itu, tentu tidak hanya dibutuhkan perangkat lunak dan piranti keras semata, akan tetapi yang lebih penting adalah, perbaikan sistem kinerja, pembenahan SDM, komitmen, kerjasama , KOORDINASI dan insentif yang baik dan layak serta niat baik (good will) semua pihak yang kompeten atau terlibat langsung dalam program ini.

Meskipun tidak mudah untuk melaksanakan semua usulan ini, akan tetapi mutlak harus dimulai, jika tidak ingin harkat dan harga diri “Pahlawan Devisa” ini tertindas oleh bangsanya sendiri maupun oleh bangsa asing di luar negeri.

Referensi

Dokumen terkait

Diantara pemikirannya adalah mengenai konsep falah, hayyah thayyibah, dan tantangan ekonomi umat Islam, kebijakan moneter, lembaga keuangan syariah yang lebih ditekankan kepada

Melalui temuan dan analisis data di atas dapat dilihat bahwa adanya pembongkaran representasi kulit hitam dalam aspek kepemimpinan dan heroisme. Namun pembongkaran itu

Kadar lemak keripik pisang raja nangka yang paling rendah pada keripik pisang raja nangka dengan lama pengeringan 2 jam dengan cara penirisan menggunakan media tissue,

• Sebanyak 57,53% dari 166 Ibu Melahirkan di Kecamatan Tappalang Barat DITOLONG oleh BUKAN BIDAN, DOKTER ATAU PERAWAT. • Sebanyak 32,53% dari 259 Ibu Melahirkan di Kecamatan Kalumpang

Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara model empirik dan model teoritik pada variabel laten dependen afek positif dan afek negatif atau dapat dikatakan bahwa faktor-

Diovan dan Bisoprolol keduanya meningkatkan serum potasium Letonal dan Bisoprolol keduanya meningkatkan serum potasium Metformin menurunkan efek Furosemid Mayor Minor

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dua siklus, dengan menggunakan media animasi pada anak kelompok B TK Merpati Pos Surakarta

Untuk menumbuhkan minat dan motivasi mahasiswa, dosen dapat memberi rangsangan dan dukungan moral dalam belajar writing dengan bantuan media internet yaitu Facebook