• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Harga Diri, Citra Tubuh, dan Dukungan Teman Sebaya terhadap Perilaku Konsumtif pada Mahasiswa Konsumen Klinik Perawatan Kecantikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Antara Harga Diri, Citra Tubuh, dan Dukungan Teman Sebaya terhadap Perilaku Konsumtif pada Mahasiswa Konsumen Klinik Perawatan Kecantikan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI, CITRA TUBUH, DAN

DUKUNGAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU

KONSUMTIF PADA MAHASISWA KONSUMEN KLINIK

PERAWATAN KECANTIKAN

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II pada Jurusan Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh KHUMAIRA S 300 160 006

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

(2)
(3)
(4)
(5)

1

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI, CITRA TUBUH, DAN DUKUNGAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF

PADA MAHASISWA KONSUMEN KLINIK PERAWATAN KECANTIKAN

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan: (1) antara harga diri, citra tubuh dan dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (2) antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (3) antara citra tubuh dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (4) antara dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan. Penelitian dilakukan di lima klinik perawatan kecantikan di kota Surakarta dengan jumlah sampel 173. Instrumen penelitian menggunakan skala harga diri, citra tubuh, dukungan teman sebaya dan perilaku konsumtif. Analisis data menggunakan regresi. Kesimpulan hasil penelitian: (1) terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri, citra tubuh dan dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (2) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (3) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara citra tubuh, (4) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan. Total sumbangan efektif ketiga variabel sebesar 69,2% sehingga masih terdapat 30,8% dipengaruhi oleh variabel lain.

Kata kunci : Harga Diri, Citra Tubuh, Dukungan Teman Sebaya, Perilaku Konsumtif dan Perawatan Kecantikan

Abstract

This research is aimed to investigate the correlation (1) between self-esteem, body image, peer support and consumptive behavior among college students of skincare clinic consumer, (2) between self-esteem and consumptive behavior among college students of skincare clinic consumer, (3) between body image and consumptive behavior among college students of skincare clinic consumer and (4) between peer support and consumptive behavior among college students of skincare clinic consumer. Sampling technique used in this research is incidental sampling with total sample of 173 students. Research instrument were self-esteem scale, body image scale, peer support scale and consumptive behavior scale. The data were analyzed using regression. Result of the research are: (1) There is a significant correlation between self-esteem, body image, peer support and consumptive behavior among students of skincare clinic consumer, (2) there is significant negative correlation between self-esteem and consumptive behavior among students of skincare clinic consumer, (3) there is significant negative

(6)

2

correlation between body image and consumptive behavior among students of skincare clinic consumer, and (4) there is significant negative correlation between peer support and consumptive behavior among students of skincare clinic consumer. The total of effective contribution of three variables are 69,2 % so there are 30,8% influenced by another factors.

Keywords : body image, peer support, self-esteem, skincare clinic consumer, consumptive behavior

1. PENDAHULUAN

Memiliki penampilan menarik merupakan kebutuhan setiap manusia, utamanya bagi wanita. Memiliki penampilan yang sempurna tak hanya dalam hal berpakaian, namun juga pada fisik, terutama wajah dan tubuh. Umumnya wanita lebih sering dianggap ingin memiliki penampilan menarik dibandingkan pria. Wanita cenderung ingin tampil menarik dan mempesona di hadapan orang lain terutama lawan jenisnya (Melliana, 2006). Penampilan menarik pada wanita sering dihubungkan dengan nilai estetika diri yaitu cantik.

Munculnya kebutuhan seseorang untuk memiliki penampilan cantik dan menarik dapat dilihat pula dari pertumbuhan layanan jasa perawatan diri. Penyedia layanan jasa ini berupa klinik dan salon kecantikan. Hasil studi menyebutkan bahwa perkembangan klinik dan salon kecantikan banyak terjadi di kota-kota besar seperti Surabaya (Monica, 2016), Bandung (Nursukmawati, 2013) dan Yogyakarta (Oktavia, 2016). Selain itu, perkembangan klinik dan salon kecantikan juga terjadi di kota Surakarta yang notabene termasuk kota berkembang (Nursukmawati, 2015). Data dari Dinas kesehatan Surakarta tahun 2016 terdapat 43 klinik perawatan kecantikan yang terdaftar.

Dewasa ini, ragam produk perawatan diri dan layanan kecantikan tak hanya dinikmati oleh kalangan dewasa dan pekerja, para pelajar dan mahasiswa juga termasuk dari bagian konsumennya (Kartikasari, 2011). Fenomena tren perawatan kecantikan bahkan sudah menjamur di kalangan mahasiswa (Febriana, 2016). Bertambahnya kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan produk dan layanan kecantikan memicu timbulnya perilaku konsumtif. Produk dan layanan perawatan diri sebenarnya termasuk golongan kebutuhan tersier, akan tetapi bergeser menjadi kebutuhan primer individu termasuk mahasiswa. Munculnya klinik

(7)

3

perawatan kecantikan di berbagai kota membuat mahasiswa mudah untuk melakukan perawatan kecantikan maupun membeli produk perawatan kecantikan. Hasil dari beberapa penelitian bahwa mahasiswa menjadi konsumen aktif dari produk dan layanan perawatan diri dan memiliki kecenderungan untuk berperilaku konsumtif.

Penelitian Fitriandari (2015) kepada mahasiswa pengguna produk perawatan kecantikan di Surakarta, menemukan bahwa 62,5% subjek memiliki tingkat perilaku konsumtif tinggi. Kokoi (2011) pada penelitiannya pada wanita usia 17 hingga 40 tahun menemukan bahwa wanita kalangan mahasiswa memiliki tingkat perilaku konsumtif paling tinggi dibandingkan dengan wanita bekerja dan wanita yang tidak bekerja. Kusuma (2016) meneliti mahasiswa pengguna produk kecantikan, mengutarakan bahwa 57% subjek memiliki perilaku konsumtif kategori tinggi. Octaviani & Kartasasmita (2017) meneliti perilaku konsumtif pada wanita dewasa awal, 62,8% subjek memiliki perilaku konsumtif yang tinggi terhadap produk kecantikan.

Wawancara peneliti terhadap pengelola satu klinik kecantikan dan satu salon kecantikan di Surakarta menyebutkan bahwa 40-60% pelanggan aktif nya adalah dari kalangan mahasiswa.Hasil angket peneliti tentang jumlah uang saku bulanan dan prosentase penggunaan untuk perwatan kecantikan diketahui bahwa dari 55 mahasiswa 2 mahasiswa menggunakan <30% uang saku bulanan untuk perawatan kecantikan, 23 mahasiswa menggunaan 30-50% uang saku bulanan untuk perawatan kecantikan, 17 lainnya menggunakan lebih dari 50% uang saku bulanan untuk memenuhi kebutuhan perawatan kecantikan, 3 yang lain bahkan menyiapkan dana khusus untuk perawatan kecantikan.

Data tersebut memberikan gambaran bahwa pengeluaran mahasiswa untuk keperluan perawatan kecantikan tergolong tinggi. Mahasiswa harus mengalokasikan uang sakunya secara khusus untuk melakukan perawatan kecantikan. Mahasiswa secara umum masih mendapatkan uang saku dari orangtua setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mengingat sebagian besar mahasiswa pasti belum bekerja. Alasan untuk mencapai tujuan cantik yang

(8)

4

dididam-idamkan setelah melakukan perawatan membuat mahasiswa tersebut rela menggunakan uang sakunya bahkan hingga di atas 50%.

Hal yang harus dihadapi oleh mahasiswa yang menjadi konsumen klinik perawatan kecantikan adalah perawatan tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan. Perawatan harus tetap dilakukan untuk mendapatkan wajah dan kulit cantik secara maksimal. Prinsipnya perawatan tersebut harus tetap dilakukan agar kulit konsumen tidak lagi bermasalah seperti sebelum melakukan perawatan. Dokter FA dari klinik A menjelaskan bahwa rata-rata setiap konsumen memerlukan perawatan 5-6 kali untuk bisa melihat hasil perawatan secara nyata. Apabila kondisi kulit sudah membaik maka konsumen tetap harus melakukan perawatan untuk mempertahankan kondisi kulit yang sudah membaik. Perawatan yang dilakukan tentu berbeda dengan perawatan saat kulit masih bermasalah. Keinginan untuk menjadi cantik menjadi alasan mahasiswa untuk menyediakan anggaran khusus untuk melakukan perawatan kecantikan. Padahal hal tersebut bukan merupakan kebutuhan pokok dari mahasiswa namun usaha untuk memuaskan diri dengan memperoleh target kecantikan yang diinginkan. Konsumsi yang dilakukan bukan lagi untuk tujuan memenuhi kebutuhan melainkan sebagai alat pemuas diri, peningkatan status, membuat penampilan lebih menarik, prestise atau gengsi melalui konsumsi merupakan kriteria dari sebuah perilaku konsumtif (Lubis dalam Sumartono, 2002).

Perilaku konsumtif adalah perilaku mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan, mendahulukan keinginan daripada kebutuhan (Marliani, 2015). Perilaku konsumtif juga bisa diartikan mengkonsumsi barang yang kurang atau tidak diperlukan dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kebutuhan biasanya cenderung berlebihan untuk mencapai kepuasan. Terdapat tiga aspek dari perilaku konsumtif yaitu pembelian impusif, pemborosan dan mencari kesenangan (Lina & Rasyid, 1997).

Hasil penelitian dari Arndt, Solomon, Kasser & Sheldon (2004) menyebutkan bahwa harga diri merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumtif. Kepemilikan akan suatu barang tertentu dipercaya dapat menaikkan harga diri seseorang sehingga orang tersebut akan mengkonsumsi

(9)

5

barang tersebut secara impulsif. Semakin tinggi harga diri yang dimiliki seseorang maka semakin rendah perilaku konsumtif sebaliknya semakin rendah harga diri seseorang maka semakin tinggi pula perilaku konsumtif.

Individu dengan harga diri tinggi akan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, penghargaan diri yang baik, merasa yakin dengan kemapuan dirinya serta memiliki perasaan berguna dan yakin bahwa kehadirannya diperlukan di dunia (Wardhani, 2009). Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung merasa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Individu yang memiliki harga diri rendah akan terlibat dalam berbagai upaya untuk meningkatkan keberhargaan dirinya (Crocker & Park, 2004).

Penelitian lain oleh Isaken & Ropper (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku konsumtif. Hasil penelitian mengungkap bahwa remaja yang gagal dalam mengikuti trend konsumsi yang dilakukan teman sebayanya akan mengalami pengucilan sosial dan penilaian negatif yang berdampak pada harga diri mereka. Alhasil remaja yang merasa harga dirinya rendah akan cenderung berperilaku konsumtif terhadap barang-barang yang menjadi trend di kalangan sebaya nya utamanya barang-barang bermerk yang mahal. Mereka percaya bahwa dengan melakukan hal tersebut dirinya akan mendapatkan pengakuan sosial, penerimaan dalam pertemanan serta menjaga hubungan pertemanan tersebut sehingga dirinya lebih merasa berharga karena diakui oleh orang sekitarnya.

Senada dengan pernyataan sebelumnya Townsend & Sood (2012) pada penelitiannya terhadap 159 mahasiswa di Colombia menyebutkan bahwa individu dengan harga diri rendah karena menilai dirinya berpenampilan tidak menarik cenderung mengkonsumsi produk kecantikan secara impulsif. Penggunaan produk kecantikan secara impulsif diharapkan bisa memperbaiki penampilannya dan membuat dirinya merasa lebih berharga.

Amalia (2016) juga mengutarakan hal yang sama bahwa harga diri memiliki korelasi negatif dengan perilaku konsumtif. Individu dengan harga diri yang rendah cenderung berperilaku konsumtif terhadap produk kosmetik. Harga diri seseorang dipengaruhi oleh kepercayaan diri. Kepercayaan diri termasuk harga

(10)

6

diri dipengaruhi pula oleh perasaan atas penampilan yang dimiliki. Penggunaan produk kosmetik dianggap dapat memperbaiki penampilan sehingga meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri. Penggunaan suatu barang untuk menjaga penampilan diri termasuk indikator dari perilaku konsumtif (Lubis dalam Sumartono, 2002) dan menjadi bagian dari aspek perilaku konsumtif yaitu mencari kesenangan (Lina & Rasyid, 1997).

Faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif adalah citra tubuh. Eisend & Moller (2007) dalam penelitiannya pada 241 mahasiswa laki-laki dan perempuan menyebutkan bahwa penilaian negatif pada tubuh menyebabkan mahasiswa meningkatkan kecenderungan perilaku pembelian impulsif yang mengarah pada perilaku konsumtif. Citra tubuh merupakan pandangan atau penilaian seseorang atas tubuhnya sendiri. Individu yang memiliki citra tubuh rendah memiliki pandangan atau penilaian negatif pada dirinya sendiri sehingga memunculkan usaha untuk memperbaikinya menjadi positif termasuk didalamnya berperilaku konsumtif.

Utami (2014) dalam penelitiannya pada kelompok mahasiswa bahwa citra tubuh berkorelasi negatif yang signifikan terhadap perilaku konsumtif. Hal senada dikemukakan Ichsani (2016) pada penelitiannya terhadap 414 wanita di Indonesia bahwa citra tubuh memiliki hubungan negatif dengan intensitas pembelian impulsif. Individu yang memandang dirinya positif akan menerima segala bentuk kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki. Individu dengan karakteristik tersebut adalah individu dengan citra tubuh yang positif atau tinggi. Sedangkan, individu yang yang tidak bisa menerima kekurangan yang dimiliki sehingga tidak puas terhadap tubuhnya termasuk dari individu dengan citra tubuh negatif atau rendah. Individu dengan citra tubuh negatif cenderung terdorong untuk menutupi kekurangan dan memperbaiki penampilan agar dirinya merasa lebih menarik dengan melakukan perawatan kecantikan.

Souiden, M’Saad & Pons (2011) dalam penelitiannya menyebutkan pula bahwa individu dengan citra tubuh negatif cenderung untuk berperilaku konsumtif dalam rangka memperbaiki penampilannya. Penggunaan produk perawatan kecantikan diyakini mampu memperbaiki penampilan sehingga mengubah pandangan negatif

(11)

7

menjadi positif. Individu dengan citra tubuh rendah memiliki pandangan negatif terhadap tubuhnya, dalam hal bentuk, ukuran dan penampilan. Individu tersebut merasa bahwa kekurangan fisik yang dimiliki lebih besar daripada kelebihannya. Cara pandang negatif ini membuat individu tidak puas dengan tubuhnya karena keinginan yang ingin dicapai tidak sesuai dengan kondisi nyata yang dimiliki. Misalnya, ingin memiliki kulit putih tetapi kenyataannya berkulit sawo matang. Salah satu aspek dari citra tubuh adalah kepuasan pada tubuh. Kepuasan pada bagian tubuh adalah bagaimana seseorang merasa puas dengan bagian tubuh tertentu atau secara keseluruhan. Seseorang yang merasa tidak puas atas kondisi anggota tubuh yang dimiliki memiliki citra tubuh yang rendah atau negatif. Perasaaan tidak puas tersebut mendorong individu untuk memperbaiki keadaan tubuhnya yaitu dengan melakukan perawatan kecantikan. Koyuncu, Tok, Canpolat & Catikkas (2010) pada penelitiannya terhadap 173 mahasiswa perempuan menyebutkan bahwa mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap tubuhnya memiliki kecenderungan untuk memperbaiki penampilan tubuhnya dengan melakukan pembelian impulsif dari produk kecantikan daripada dengan rutin berolahraga.

Aspek lain dari citra tubuh adalah orientasi penampilan. Orientasi penampilan adalah gambaran penampilan dengan kriteria tertentu yang diinginkan dicapai oleh individu. Keberadaan figur yang ditampilkan oleh media dapat mempengaruhi orientasi penampilan. Penggunaan produk karena mengikuti figur di media serta untuk menjaga penampilan merupakan indikator dari perilaku konsumtif (Lubis dalam Sumartono, 2002). Penelitian lain oleh Perloff (2014) menyatakan pula bahwa orientasi citra tubuh terbentuk dari media secara langsung mempengaruhi pula kecenderungan untuk berperilaku konsumtif.

Brsitol & Manglebrug (2005) pada penelitiannya mengutarakan bahwa perolehan dukungan sosial mempengaruhi tingkat perilaku konsumtif seseorang. Dukungan sosial adalah dukungan sosial adalah penerimaan dari individu atau kelompok terhadap seseorang yang menimbulkan persepsi bahwa individu tersebut diperhatikan, disayangi, dihargai dan ditolong oleh orang lain di lingkungannya (Sarafino, 2011). Wirtz (2016) mendefinisikan dukungan sosial sebagai bantuan

(12)

8

dari orang lain yang memiliki kedekatan emosi dengan individu yang dirasakan ada dan diterima individu ketika dukungan tersebut dibutuhkan.

Dukungan teman sebaya diartikan sebagai dukungan yang diterima individu dari kelompok sebayanya dalam bentuk dukungan, perhatian, penghargaan maupun bantuan. Dukungan tersebut muncul disaat individu membutuhkannya, misal ketika individu berada dalam masalah dan menemui kesulitan. Dukungan sosial positif yang diberikan oleh teman sebaya menjadi bukti pula bahwa individu tersebut diterima dalam kelompok pertemanan sebaya sesuai dengan norma dan nilai yang dianut dalam kelompok tersebut.

Hidayatun (2015) pada penelitiannya menyebutkan bahwa dukungan sosial memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perilaku konsumtif. Sumbangan dari dukungan sosial terhadap perilaku konsumtif cukup besar yaitu 22,5%. Perilaku konsumtif muncul karena siswa merasa dirinya kurang mendapatkan dukungan sosial. Patricia (2010) menjelaskan bahwa perasaan kurang menerima perhatian, bantuan serta penghargaan membuat seseorang merasa dirinya tidak memperoleh dukungan sosial yang tinggi. Alasan tersebut membuat siswa mencari sumber dukungan sosial salah satunya dengan berusaha untuk membuat penampilannya menjadi menarik.

Dukungan sosial yang diperoleh seseorang dipengaruhi beragam faktor dimana diantaranya adalah penampilan juga barang yang dimiliki (Hurlock, 2006). Mahasiswa meyakini bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial tinggi adalah individu yang memiliki penampilan menarik. Hal tersebut mengakibatkan mahasiswa yang merasa mendapat dukungan teman sebaya yang rendah disebabkan oleh penampilan dirinya yang tidak menarik. Langkah yang dilakukan adalah memperbaiki penampilan agar menarik, salah satunya adalah melakukan perawatan kecantikan. Harapan setelah melakukan perawatan kecantikan adalah memiliki penampilan menarik sehingga memperoleh dukungan teman sebaya yang tinggi.

Hasil penelitian dari Kusuma (2016) pada mahasiswa bahwa perasaan perolehan dukungan dari teman sebaya memiliki hubungan negatif dengan perilaku konsumtif. Mahasiswa yang merasa mendapatkan dukungan teman sebaya yang

(13)

9

rendah cenderung untuk berperilaku konsumtif terhadap kosmetik. Mahasiswa meyakini bahwa memiliki penampilan menarik merupakan salah satu sumber dukungan sosial sehingga individu yang memiliki penampilan kurang menarik merasa bahwa dirinya memperoleh dukungan sosial dari teman sebaya yang rendah. Penilaian tersebut mengarah pada keyakinan bahwa dengan memiliki penampilan menarik akan diakui dan diterima dalam kelompok. Bentuk penerimaan dan pengakuan dari kelompok tersebut merupakan bagian dari dukungan emosional. Mahasiswa akan mendapatkan pujian dan sanjungan dari teman sebaya nya bila mampu tampil menarik dan cantik yang mana merupakan bentuk dari dukungan penghargaan dari teman sebaya.

Ibrahim (2002) menyebutkan pula bahwa kepemilikan atas barang-barang tertentu serta jumlah nominal uang yang dibelanjakan menjadi salah satu sumber dukungan sosial dari teman sebaya. Selain itu, Townsend & Sood (2012) pada penelitiannya menyebutkan bahwa individu yang merasa dirinya kurang mendapatkan dukungan penghargaan berusaha untuk menggunakan produk perawatan kecantikan secara banyak. Semakin banyak produk perawatan kecantikan yang digunakan diharapkan akan membuat dirinya mendapatkan penghargaan dari orang sekitar.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji hubungan: (1) antara harga diri, citra tubuh dan dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (2) antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (3) antara citra tubuh dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan, (4) antara dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan

2. METODE

Penelitian ini ditujukan kepada mahasiswa usia 17-24 tahun yang menjadi konsumen dari perawatan kecantikan. Populasi subjek adalah mahasiswa yang menjadi konsumen klinik perawatan kecantikan yang ada di Surakarta.. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah incidental

(14)

10

sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi dengan program analisis data SPSS.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah skala perilaku konsumtif, skala harga diri, skala citra tubuh dan skala dukungan teman sebaya. Skala perilaku konsumtif yang digunakan skala yang disusun oleh Fitriandari (2015). Hasil uji diperoleh koefisien item-total correlation sebesar 0,389 hingga 0,792. Pada uji reliabilitas didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,914. Skala variabel harga diri digunakan skala yang dibuat oleh Fitriandari (2015). Hasil uji diperoleh koefisien item-total correlation sebesar 0,361 sampai 0,889 dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil uji korelasi reliabilitas sebesar 0,871. Skala citra tubuh yang digunakan adalah skala yang disusun oleh Fitriandari (2015). Diketahui hasil uji bahwa koefisien koefisien item-total correlation sebesar 0,352 sampai 0,752 dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil uji korelasi reliabilitas skala tersebut sebesar 0,888. Skala dukungan teman sebaya digunakan skala yang disusun oleh Kusuma (2016). Diperoleh koefisien item-total correlation sebesar 0,252 sampai 0,782 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,944.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat lima klinik yang digunakan sebagai lokasi pengampilan sampel. Klinik tersebut adalah klinik N di Surakarta bagian selatan, klinik RCT di Surakarta bagian barat, klinik E di Surakarta bagian Utara, klinik A di Surakarta bagian timur dan klinik B di Surakarta bagian tengah. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan dari 17 Oktober hingga 17 Desember 2017. Terdapat 173 skala yang layak diukur dari total 200 skala yang disebar pada subjek.

Tabel 1. Demografi data penelitian

Asal Klinik N 42 subjek

RCT 30 subjek

E 39 subjek

A 31 subjek

(15)

11

Jenis Perawatan 1 klinik 53 subjek

Lebih dari 1 klinik 33 subjek Klinik dan Produk non

klinik (produk lokal)

19 subjek

Klinik dan produk non klinik (produk Korea)

61 subjek

Klinik dan produk non klinik (produk non lokal selain Korea)

7 subjek

Lama Penggunaan <1 tahun 134 subjek

1-2 tahun 29 subjek

>2 tahun 10 subjek

Jenis Kelamin Laki-laki 27 subjek

Perempuan 146 subjek

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat diketahui bahwa variabel harga diri, citra tubuh dan dukungan teman sebaya memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan variabel perilaku konsumtif. Kesimpulan tersebut berdasarkan analisa dari hasil uji regresi yang menghasilkan R= 0,959, F sebesar 652,617 dengan (p) = 0,000 (p<0,01). Hasil dari penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perilaku konsumtif dipengaruhi oleh harga diri (Matic & Puh, 2016) , citra tubuh (Souiden, M’Saad & Pons, 2011) dan dukungan teman sebaya (Bristol & Manglebrug, 2005).

Hasil analisis korelasi antara variabel harga diri dengan variabel perilaku konsumtif diperoleh nilai rx1y sebesar -0,327 p = 0,000 (p<0,01). Hal tersebut menunjukkan ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan perilaku konsumtif. Semakin tinggi harga diri yang dimiliki mahasiswa makin rendah perilaku konsumtif. Sebaliknya semakin rendah harga diri yang dimiliki maka semakin tinggi perilaku konsumtif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Isaken & Ropper (2012) bahwa individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan perilaku konsumtif. Diperkuat pula oleh

(16)

12

hasil penelitian dari Amalia (2016) pada 100 mahasiswa pengguna kosmetik bahwa harga diri memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan perilaku konsumtif.

Individu dengan harga diri tinggi akan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, penghargaan diri yang baik, merasa yakin dengan kemapuan dirinya serta memiliki perasaan berguna dan yakin bahwa kehadirannya diperlukan di dunia (Wardhani, 2009). Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung merasa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Individu yang memiliki harga diri rendah akan terlibat dalam berbagai upaya untuk meningkatkan keberhargaan dirinya (Crocker & Park, 2004).

Sumbangan efektif variabel harga diri terhadap variabel perilaku konsumtif sebesar 10,7%. Hal tersebut berarti harga diri cukup berpengaruh terhadap munculnya perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan. Harga diri adalah pendapat seseorang terhadap dirinya sendiri, bagaimana individu memandang nilai dirinya kepada lingkungan sekitarnya dan bagaimana individu berpikir bahwa dirinya bernilai dan berharga bari orang lain.

Harga diri merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumtif. Arndt, Solomon, Kasser & Sheldon (2004) menyebutkan bahwa pada riset perilaku konsumen diketahui bahwa harga diri merupakan hal yang mempengaruhi faktor pembelian. Kepemilikan akan suatu barang tertentu dipercaya dapat menaikkan harga diri seseorang sehingga orang tersebut akan mengkonsumsi barang tersebut secara impulsif.

Aspek dari harga diri menurut Coopersmith (1981) adalah self values, leadership popularity, family parents dan achievement. Self values merupakan penilaian individu atas dirinya berdasarkan nilai-nilai yang diyakini paling sesuai dengan dirinya. Penilaian yang positif membuat seseorang merasa dirinya berharga, sebaliknya penilaian negatif membuat dirinya merasa tidak berharga.

Salah satu bentuk penilaian diri adalah penilaian terhadap penampilan yang dimiliki. Resse (2011) menyebutkan bahwa penilaian penampilan mempengaruhi tingkat harga diri.seseorang yang menilai baik penampilan yang dimiliki maka dia memiliki harga diri yang tinggi, sebaliknya penilaian bahwa penampilan tidak

(17)

13

baik maka memunculkan harga diri yang rendah. Penilaian bahwa penampilan tidak baik mendorong seseorang untuk memperbaiki penampilannya salah satunya dengan perawatan kecantikan.

Individu tersebut meyakini bahwa dengan memperbaiki penampilan maka dirinya akan merasa lebih berharga. Townsend & Sood (2012) pada penelitiannya terhadap 159 mahasiswa di Colombia menyebutkan bahwa individu dengan harga diri rendah karena menilai dirinya berpenampilan tidak menarik cenderung mengkonsumsi produk kecantikan secara impulsif. Penggunaan produk kecantikan secara impulsif diharapkan bisa memperbaiki penampilannya dan membuat dirinya merasa lebih berharga.

Senada dengan pernyataan sebelumnya Febriana (2015) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa penilaian tidak baik atas penampilan memunculkan harga diri yang rendah. Individu dengan harga diri rendah berusaha untuk memperbaiki penampilannya dengan menggunakan produk kecantikan secara impulsif. Penggunaan secara impulsif menuruti kepuasan dan kemauan diri bukan atas dasar kebutuhan yang mana termasuk aspek dari perilaku konsumtif. Tujuan penggunaan barang untuk memperbaiki penampilan diri juga merupakan karakteristik dari perilaku konsumtif.

Kepercayaan diri menjadi salah satu faktor psikologis yang mempengaruhi harga diri. Individu yang percaya diri akan menilai bahwa dirinya berharga, sebaliknya individu yang tidak percaya diri akan merasa bahwa dirinya tidak berharga. Perasaan tidak percaya diri dan tidak berharga mendorong individu untuk membuat dirinya merasa berharga dengan menggunakan barang tertentu. Crocker & Park (2004) serta Ferraro, Shiv & Bettman (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa individu dengan harga diri rendah berusaha untuk menggunakan merk tertentu secara impulsif. Keyakinan lain yang muncul bahwa semakin mahal barang yang digunakan semakin meningkatkan harga dirinya. Keyakinan serta pola konsumsi demikian termasuk dalam karakteristik dari perilaku konsumtif yaitu penilaian bahwa penggunaan suatu barang untuk meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri.

(18)

14

Truong & McColl (2011) meneliti 587 konsumen dari produk kecantikan kategori harga mahal menemukan bahwa keadaan konsumen dengan harga diri rendah menjadi alasan kuat untuk mengkonsumsi barang dengan harga yang mahal. Penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa individu cenderung berperilaku konsumtif terhadap barang-barang mewah ketika merasa harga dirinya rendah (Chang & Arkin, 2002; Kasser, 2001). Perilaku mengkonsumsi barang dengan harga mahal untuk tujuan meningkatkan harga diri menjadi salah satu karakteristik dari perilaku konsumtif.

Secara umum kategorisasi harga diri subjek penelitian tergolong rendah (46%). Individu yang memiliki harga diri rendah merasa bahwa dirinya tidak berharga bila dibandingkan dengan orang lain. Adanya dukungan dari orang di sekitar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri (Monks, 2004). Individu akan merasa bahwa dirinya berharga bagi orang di sekitarnya ditandai dengan terjalinnya persahabatan, kerukunan, popularitas dan keberhasilan. Sebaliknya hilangnya dukungan ditandai dengan adanya penghinaan, dibenci, dikucilkan akan menyebabkan turunnya harga diri. Individu dengan harga diri yang rendah akan berusaha untuk mendapatkan sumber harga diri sehingga dirinya merasa lebih berharga.

Hasil penelitian Ohmura, Kojima, Nakata dan Sawamiya (2015) menyebutkan bahwa perilaku membandingkan penampilan diri sendiri dengan orang lain terutama pada bagian wajah dan tubuh dapat menurunkan harga diri yang dimiliki seseorang. Hal tersebut terjadi karena individu menilai bahwa dirinya lebih buruk daripada orang lain dalam hal berpenampilan. Individu kemudian berusaha untuk mencari sumber harga diri yang dapat meningkatkan status harga dirinya. Salah usaha yang dilakukan adalah memperbaiki penampilan melalui perawatan kecantikan agar memiliki penampilan yang sama menarik seperti orang lain yang dijadikan pembanding.

Hasil analisis korelasi antara variabel citra tubuh dengan variabel perilaku konsumtif diperoleh nilai rx2y sebesar -0,420 p = 0,004 (p<0,01). Hal tersebut menunjukkan ada hubungan negatif yang signifikan antara citra tubuh dengan perilaku konsumtif. Semakin tinggi citra tubuh yang dimiliki mahasiswa maka

(19)

15

rendah perilaku konsumtif. Sebaliknya semakin rendah citra tubuh yang dimiliki maka semakin tinggi perilaku konsumtif. Hal tersebut sesuai dengan temuan pada penelitian Souiden, M’Saad & Pons (2011) yang menyebutkan bahwa individu dengan citra tubuh yang rendah cenderung berusaha untuk menggunakan produk tertentu untuk membuat penampilannya semakin menarik.

Individu yang memandang dirinya positif akan menerima segala bentuk kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki. Individu dengan karakteristik tersebut adalah individu dengan citra tubuh yang positif atau tinggi. Sedangkan, individu yang yang tidak bisa menerima kekurangan yang dimiliki sehingga tidak puas terhadap tubuhnya termasuk dari individu dengan citra tubuh negatif atau rendah. Individu dengan citra tubuh negatif cenderung terdorong untuk menutupi kekurangan dan memperbaiki penampilan agar dirinya merasa lebih menarik dengan melakukan perawatan kecantikan. Diungkapkan oleh Utami (2014) dalam penelitiannya pada kelompok mahasiswa bahwa citra tubuh berkorelasi negatif yang signifikan terhadap perilaku konsumtif. Hal senada dikemukakan Ichsani (2016) pada penelitiannya terhadap 414 wanita di Indonesia bahwa citra tubuh memiliki hubungan negatif dengan intensitas pembelian impulsif.

Individu dengan citra tubuh rendah memiliki pandangan negatif terhadap tubuhnya, dalam hal bentuk, ukuran dan penampilan. Individu tersebut merasa bahwa kekurangan fisik yang dimiliki lebih besar daripada kelebihannya. Cara pandang negatif ini membuat individu tidak puas dengan tubuhnya karena keinginan yang ingin dicapai tidak sesuai dengan kondisi nyata yang dimiliki. Misalnya, ingin memiliki kulit putih tetapi kenyataannya berkulit sawo matang. Koyuncu, Tok, Canpolat & Catikkas (2010) pada penelitiannya menyebutkan pula bahwa individu yang merasa tidak puas pada tubuhnya pada bagian tertentu maupun keseluruhan memiliki citra tubuh yang negatif.

Sumbangan efektif citra tubuh terhadap perilaku konsumtif sebesar 17,6%. Hal tersebut berarti citra tubuh cukup berpengaruh terhadap munculnya perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan. Citra tubuh merupakan pandangan atau penilaian seseorang atas tubuhnya sendiri. Individu yang memiliki citra tubuh rendah memiliki pandangan atau penilaian negatif pada

(20)

16

dirinya sendiri sehingga memunculkan usaha untuk memperbaikinya menjadi positif termasuk didalamnya berperilaku konsumtif. Souiden, M’Saad & Pons (2011) dalam penelitiannya menyebutkan pula bahwa individu dengan citra tubuh negatif cenderung untuk berperilaku konsumtif dalam rangka memperbaiki penampilannya. Penggunaan produk perawatan kecantikan diyakini mampu memperbaiki penampilan sehingga mengubah pandangan negatif menjadi positif. Perilaku konsumtif dipengaruhi salah satunya oleh faktor internal individu yaitu citra tubuh. Eisend & Moller (2007) dalam penelitiannya pada 241 mahasiswa laki-laki dan perempuan menyebutkan bahwa penilaian negatif pada tubuh menyebabkan mahasiswa meningkatkan kecenderungan perilaku pembelian impulsif yang mengarah pada perilaku konsumtif. Citra tubuh yang positif maupun negatif mempengaruhi intensitas pembelian impulsif yang dilakukan para mahasiswa tersebut.

Aspek dalam citra tubuh antara lain adalah evaluasi penampilan, orientasi penampilan, kepuasan bagian tubuh, kecemasan pada kegemukan dan pengkategorian ukuran tubuh. Evaluasi penampilan sebagaimana disebutkan sebelumnya individu yang mengevaluasi tubuhnya dan merasa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan akan memiliki citra tubuh rendah sehingga menilai tubuhnya negatif. Penilaian negatif ini membuat individu berusaha untuk memperbaiki penampilannya sehingga bisa menilai dengan positif.

Citra tubuh yang dimiliki subjek penelitian memiliki kategorisasi tergolong rendah (48%). Seseorang yang dengan nilai citra tubuh yang tinggi akan memandang dan menilai dirinya positif serta menerima keadaan dirinya. Penilaian serta evaluasi negatif atas kondisi diri mengarah pada rendahnya nilai citra tubuh seseorang. Penilaian positif pada citra tubuh ditandai dengan penerimaan atas keadaan dirinya serta tidak menggunakan patokan penampilan orang lain sebagai orientasi penampilan.

Kepuasan pada bagian tubuh adalah bagaimana seseorang merasa puas dengan bagian tubuh tertentu atau secara keseluruhan. Seseorang yang merasa tidak puas atas kondisi anggota tubuh yang dimiliki memiliki citra tubuh yang rendah atau negatif. Perasaaan tidak puas tersebut mendorong individu untuk memperbaiki

(21)

17

keadaan tubuhnya yaitu dengan melakukan perawatan kecantikan. Koyuncu, Tok, Canpolat & Catikkas (2010) pada penelitiannya terhadap 173 mahasiswa perempuan menyebutkan bahwa mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap tubuhnya memiliki kecenderungan untuk memperbaiki penampilan tubuhnya dengan melakukan pembelian impulsif dari produk kecantikan daripada dengan rutin berolahraga.

Orientasi penampilan turut pula mempengaruhi citra tubuh seseorang. Yamamiya, dkk (2005) menyebutkan bahwa keberadaan figur dalam media infromasi mempengaruhi citra tubuh seseorang. Seseorang akan cenderung menjadikan figur tersebut menjadi orientasi penilaian dari penampilannya sesuai standar kecantikan atau ketampanan yang ditampilkan. Apabila banyak didapati kesamaan maka penilaiannya positif sebaliknya bila banyak ketidaksamaan maka dinilai negatif. Seseorang yang mendapati dirinya tidak sesuai dengan figur yang ditampilkan akan berusaha menyamakan penampilannya seperti figur tersebut.

Keinginan untuk memiliki penampilan menarik, cantik atau tampan seperti orientasi yang diinginkan dilakukan dengan menggunakan produk-produk perawatan kecantikan secara impulsif. Penggunaan produk karena mengikuti figur di media serta untuk menjaga penampilan merupakan indikator dari perilaku konsumtif (Lubis dalam Sumartono, 2002). Perloff (2014) menyatakan pula bahwa orientasi citra tubuh terbentuk dari media secara langsung mempengaruhi pula kecenderungan untuk berperilaku konsumtif.

Dua aspek lain dari citra tubuh adalah kecemasan pada kegemukan dan pengkategorian ukuran tubuh. Dua aspek tersebut berkaitan dengan ukuran bentuk tubuh yang mana tidak tercakup pada perawatan kecantikan yang dilakukan di klinik perawatan kecantikan. Mahasiswa yang mencemaskan bentuk ukuran tubuh cenderung melakukan diet atau latihan fisik untuk memperbaiki penampilannya. (Koyuncu, Tok, Canpolat & Catikkas (2010) pada penelitiannya menyebutkan bahwa kecemasan pada kegemukan yang terjadi pada mahasiswa cenderung diatasi dengan rutin melakukan olahraga dan latihan fisik

Hasil analisis korelasi antara variabel dukungan teman sebaya dengan variabel perilaku konsumtif diperoleh nilai rx3y sebesar -0,640 p = 0,000 (p<0,01). Hal

(22)

18

tersebut menunjukkan ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif. Semakin tinggi dukungan teman sebaya yang diperoleh mahasiswa maka rendah perilaku konsumtif. Sebaliknya semakin rendah dukungan dari teman sebaya maka semakin tinggi perilaku konsumtif. Pernyataan tersebut sesuai dengan teori dari Hidayatun (2015) bahwa dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif memiliki hubungan negatif yang signifikan. Senada dengan hal tersebut Bristol & Manglebrug (2005) juga menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara perolehan dukungan sosial individu dengan perilaku konsumtif. Individu yang merasa memperoleh dukungan sosial yang rendah cenderung berperilaku konsumtif.

Sumbangan efektif dukungan teman sebaya terhadap perilaku konsumtif sebesar 40,96%. Dukungan teman sebaya memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku konsumtif dibandingkan dua variabel lainnya. Dukungan sosial adalah dukungan sosial adalah penerimaan dari individu atau kelompok terhadap seseorang yang menimbulkan persepsi bahwa individu tersebut diperhatikan, disayangi, dihargai dan ditolong oleh orang lain di lingkungannya (Sarafino, 2011).

Hasil kategorisasi diketahui bahwa secara umum dukungan teman sebaya subjek penelitian tergolong sedang (35%). Aspek dukungan sosial antara lain adalah dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasi. Perasaaan kurangnya dukungan dari aspek-aspek tersebut membuat individu merasa dirinya tidak terdukung dengan baik (House, 1988). Hal paling mendasar yang mempengaruhi dukungan sosial adalah; a) jumlah dukungan sosial yang tersedia, meliputi persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan (persepsi kuantitas) dan b) tingkat kepuasan akan dukungan sosial yang diterima yaitu persepsi individu bahwa kebutannya akan terpenuhi (persepsi kualitas).

Perlunya perolehan dukungan sosial bagi seseorang dipengaruhi salah satunya oleh budaya. Kim (2008) menyebutkan bahwa individu yang tinggal di lingkungan dengan budaya individualis kurang memperhatikan perolehan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Beda dengan individu yang tinggal dalam

(23)

19

budaya kolektivis yang sangat peduli dengan perolehan dukungan sosial. Individu yang hidup di Indonesia sangat memperhatikan bagaimana dukungan sosial yang diterima nya. Seseorang akan merasa memperoleh dukungan sosial yang tinggi bila dirinya merasa diperhatikan, disayangi, dihargai dan ditolong oleh orang lain dalam lingkungannya.

Brsitol & Manglebrug (2005) pada penelitiannya mengutarakan bahwa perolehan dukungan sosial mempengaruhi tingkat perilaku konsumtif seseorang. Hasil penelitiannya ditemukan bahwa mahasiswa yang memperoleh dukungan sosial rendah dari keluarga maupun teman sebaya nya cenderung berperilaku konsumtif untuk mendapatkan perhatian. Ketika berperilaku konsumtif orang tua akan lebih memperhatikan kebutuhan anak terutama kebutuhan finansial sehingga anak merasa mendapatkan dukungan. Rendahnya dukungan sosial yang diperoleh dari pertemanan sebaya membuat mahasiswa berusaha agar dirinya diperhatikan dengan membeli barang yang tidak diperlukan supaya berpenampilan menarik dan diperhatikan. Perolehan perhatian, popularitas serta penghargaan merupakan bentuk dukungan sosial yang diharapkan.

Dukungan sosial yang diperoleh seseorang dipengaruhi beragam faktor dimana diantaranya adalah penampilan juga barang yang dimiliki (Hurlock, 2006). Kebutuhan memiliki penampilan yang menarik tidak lepas dari kebutuhan mendapat dukungan dari lingkungan sosial dimana mahasiswa berada, yaitu dalam pertemanan sebaya antar mahasiswa. Mahasiswa meyakini bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial tinggi adalah individu yang memiliki penampilan menarik. Hal tersebut mengakibatkan mahasiswa yang merasa mendapat dukungan teman sebaya yang rendah disebabkan oleh penampilan dirinya yang tidak menarik. Langkah yang dilakukan adalah memperbaiki penampilan agar menarik, salah satunya adalah melakukan perawatan kecantikan. Harapan setelah melakukan perawatan kecantikan adalah memiliki penampilan menarik sehingga memperoleh dukungan teman sebaya yang tinggi.

Patricia (2010) menjelaskan bahwa perasaan kurang menerima perhatian, bantuan serta penghargaan membuat seseorang merasa dirinya tidak memperoleh dukungan sosial yang tinggi. Alasan tersebut membuat siswa mencari sumber

(24)

20

dukungan sosial salah satunya dengan berusaha untuk membuat penampilannya menjadi menarik

Hasil penelitian dari Kusuma (2016) bahwa dukungan sosial berkorelasi negatif dengan perilaku konsumtif. Mahasiswa cenderung lebih konsumtif terhadap kosmetik karena merasa kurang mendapatkan dukungan dari teman sebayanya. Mahasiswa meyakini bahwa memiliki penampilan menarik merupakan salah satu sumber dukungan sosial sehingga individu yang memiliki penampilan kurang menarik merasa bahwa dirinya memperoleh dukungan sosial dari teman sebaya yang rendah. Penilaian tersebut mengarah pada keyakinan bahwa dengan memiliki penampilan menarik akan diakui dan diterima dalam kelompok. Bentuk penerimaan dan pengakuan dari kelompok tersebut merupakan bagian dari dukungan emosional. Mahasiswa akan mendapatkan pujian dan sanjungan dari teman sebaya nya bila mampu tampil menarik dan cantik yang mana merupakan bentuk dari dukungan penghargaan dari teman sebaya.

Ibrahim (2002) menyebutkan pula bahwa kepemilikan atas barang-barang tertentu serta jumlah nominal uang yang dibelanjakan menjadi salah satu sumber dukungan sosial dari teman sebaya. Individu yang merasa dirinya memperoleh dukungan sosial yang rendah berusaha untuk mencapai dukungan sosial yang tinggi melalui cara tersebut. Pembelian barang yang sebenarnya tidak diperlukan namun dibeli karena untuk menjaga penampilan serta keyakinan bahwa pembelian barang dengan harga mahal merupakan salah satu kriteria dari perilaku konsumtif. Senada dengan hal tersebut, Townsend & Sood (2012) pada penelitiannya menyebutkan bahwa individu yang merasa dirinya kurang mendapatkan dukungan penghargaan berusaha untuk menggunakan produk perawatan kecantikan secara impulsif. Semakin banyak produk perawatan kecantikan yang digunakan diharapkan akan membuat dirinya mendapatkan penghargaan dan perhatian dari orang sekitar. Penggunaan produk secara impulsif merupakan ciri dari perilaku konsumtif. Daya tarik fisik yang disimbolkan dengan penampilan menarik dinilai sebagai sumber dukungan sosial. Disebutkan pula selain dukungan sosial, daya tarik fisik juga ditujukan untuk mendapatkan popularitas, pertemanan, pasangan serta menunjang karir.

(25)

21

Temuan lain pada penelitian ini adalah 43 subjek menggunakan lebih dari satu jenis klinik perawatan kecantikan dan sebanyak 33 subjek lainnya selain menggunakan perawatan kecantikan dari klinik juga masih menggunakan produk perawatan kecantikan non-klinik. Hal tersebut tentu menjadi perhatian khusus mengingat semakin banyak produk yang digunakan maka semakin menambah pos pengeluaran mahasiswa. Sebagaimana diketahui dari data bahwa 159 dari 173 subjek pada penelitian ini mengaku belum memiliki penghasilan sehingga masih bergantung pada uang saku orang tua untuk memenuhi kebutuhan harian.

Hasil penghitungan kategorisasi diperoleh rerata empirik perilaku konsumtif sebesar 82,1 sehingga secara umum perilaku konsumtif subjek pada penelitian ini tergolong tinggi (51%). Perilaku konsumtif memberikan kenikmatan dan kepuasan baik secara fisik maupun psikologis, namun memberikan dampak tidak baik bagi keuangan. Kemampuan daya beli yang tinggi membuat perilaku konsumtif sebagai hal yang mengasyikkan karena seseorang mampu membeli barang yang dibutuhkan namun juga diinginkan. Perilaku konsumtif yang terus menerus dilakukan secara tidak sadar akan menggiring pada budaya hedonis. Temuan lain dalam penelitian ini adalah adanya konsumen perawatan kecantikan yang menjadi konsumen aktif lebih dari satu perawatan kecantikan. Terdapat 33 subjek adalah konsumen aktif lebih dari satu klinik perawatan kecantikan. Terdapat pula 87 subjek dari total 173 merupakan konsumen klinik perawatan kecantikan dan produk perawatan kecantikan yang dibeli diluar klinik. Hasil pengkategorian merk produk perawatan kecantikan non-klinik didapati 61 subjek menggunakan produk perawatan kecantikan yang berasal dari negara Korea. 4. PENUTUP

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah terdapat adanya hubungan antara harga diri, citra tubuh dan dukungan teman sebaya terhadap perilaku konsumtif. Dapat diartikan bahwa harga diri, citra tubuh dan dukungan teman sebaya dapat dijadikan sebagai prediktor untuk memprediksi perilaku konsumtif. Ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan. Ada hubungan negatif antara citra tubuh dengan perilaku konsumtif pada mahsiswa konsumen perawatan

(26)

22

kecantikan. Ada hubungan negatif antara dukungan teman sebaya dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa konsumen perawatan kecantikan. Sumbangan efektif ketiga variabel tersebut adalah 69,2% sehingga masih terdapat 30,8% variabel lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif.

Saran bagi mahasiswa adalah untuk memilah lingkungan pertemanan yang baik sehingga mahasiswa dapat memperoleh dukungan sosial yang tinggi pula. Mahasiswa harus bisa memandang dirinya lebih baik lagi serta memahami bahwa penilaian harga diri tidak hanya ditentukan dari penampilan maupun kepemilikan atas barang tertentu. Pemahaman diri bahwa setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing akan membawa pada penghargaan diri yang baik dan kepercayaan diri yang tinggi. Selanjutnya, mahasiswa juga harus bisa menerima kondisi fisiknya dengan baik sehingga memiliki nilai citra tubuh yang tinggi. Setiap individu unik, diciptakan dengan ciri khas fisik masing-masing sehingga tidak bisa disamakan atau dibanding-bandingkan dengan individu lainnya.

Saran bagi peneliti lain adalah ditemukannya banyak mahasiswa (35%) yang menggunakan produk perawatan kecantikan non klinik yang berasa dari negara Korea menarik untuk dijadikan topik penelitian selanjutnya. Konsumen klinik perawatan kecantikan dari kalangan selain mahasiswa yaitu dari kalangan pelajar, pekerja maupun ibu rumah tangga perlu untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan subjek penelitian selanjutnya untuk memperkaya data.

Terdapat beberapa kelemahan pada penelitian ini. Pertama, instrumen yang digunakan untuk mengukur masing-masing variabel menggunakan instrumen adopsi dengan pertimbangan terdapat persamaan karakteristik dari subjek penelitian. Kenyatannya ditemukan beberapa aitem dari skala adopsi yang kurang dapat mengukur dengan baik masing-masing aspek dari variabel. Kedua, subjek penelitian dipilih dari kalangan mahasiswa sementara konsumen dari perawatan kecantikan tidak hanya kalangan mahasiswa namun ada dari kalangan lain seperti pelajar, pekerja juga ibu rumah tangga yang mana bisa dijadikan variasi data bila dijadikan subjek penelitian. Pemilihan subjek mahasiswa dikarenakan jumlah konsumen mahasiswa paling banyak daripada kalangan lainnya.

(27)

23 DAFTAR PUSTAKA

Arndt, J., Solomon, S., Kasser, T., Sheldon, K.M., 2004. The urge to splurge: a terror management account of materialism and consumer behavior. Journal of Consumer Psychology 14 (3), 198–212.

Amalia, N. (2016). Hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada mahasiswi. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Bristol, T. & Magleburg, T.F. (2005). Not telling the whole story : teen deception in purchasing. Journal of Academic Marketing Science Vol 33 No 1 page 79-95.

Chang, L.C., Arkin, R., 2002. Materialism as an attempt to cope with uncertainty. Psychology and Marketing 19 (May), 389–406.

Crocker, J. & Park, L.E. (2004). The costly pursuit of self-esteem. Psycho Bull

2004 May; 130(3); 392-414 DOI:10.1037/0033-2909.130.3.392

Eisend, M. & Moller, J. (2007). The influence of tv viewing on consumers’ body images and related consumption behavior. Marketing Letters February 2007 DOI: 10.1007/s11002-006-9004-8

Febriana, G. (2016). Hubungan antara Harga Diri dengan Kepercayaan Diri Mahasiswa Fakultas psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

(Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ferraro, R., Shiv, B., Bettman, J.R., 2005. Let us eat and drink, for tomorrow we shall die: effects of mortality salience and self-esteem on self-regulation in consumer choice. Journal of Consumer Research 32 (1), 65–75.

Handono, T & Bashori, K. (2013). Hubungan antara penyesuaian diri dan dukungan sosial terhadap stres lingkungan pada santri baru. Empathy Jurnal Fakultas Psikologi Vol. 1 No. 2.

Hidayatun. (2015). Pengaruh intensitas penggunaan media sosial dan dukungan teman sebaya terhadap perilaku konsumtif pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta.(Skripsi tidak diterbitkan)

House, J.S. (1981). Work Stress and Social Support. Addison-Wesley: Reading, Mass.

Hurlock, EB. (2006). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa : Wasana. Jakarta : Erlangga.

Ibrahim, Z. (2002). Psikologi Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.

Ichsani, R. (2016). Consumer’s perception of attractiveness, purchase intention

and body image among Indonesian women. (Tesis tidak diterbitkan). Faculty of Behavioral Science Marketing Communication University of Twente.

(28)

24

Isaken, K.J. & Roper, S. (2012). The commodification of self esteem: branding and British teenager. Psychology and Marketing Vol 29(3) 117-135 March 2012 doi:10.1002/mar.20509

Kartikasari, D., D. (2011). Trend Perawatan Kecantikan Perempuan (Studi Fenomenologi Pemaknaan Kecantikan pada Konsumen Perempuan di Klinik Kecantikan Natasha Skin Care Kota Madiun). (Skripsi tidak diterbitkan).

Kasser, T., 2001. The High Price of Materialism. MIT Press, MA, USA.

Kim, HS., Sherman, DK & Taylor, SE. (2008). Culture and Social Support.american Psychologist Vol. 63 No 6, 518-526 DOI: 10.1037/0003-066X

Kokoi, I. (2011). Female buying behavior related to facial skin care products. (Tesis tidak diterbitkan). University of Applied Science.

Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi & Kontrol. Jakarta: Penerbit Indeks.

Koyuncu, M., Tok s., Canpolat AM. & Catikkas, F. (2010). Body image satisfaction and dissatisfaction, social physique anxiety, self-esteem, and body fat ratio in female exercisers and nonexecisers. Social Behavior and Personality : An International Journal Vol 38

Kusuma, WBS. (2016). Budaya Konsumerisme Mahasiswi di Yogyakarta terhadap Produk Kosmetik Jepang (Studi Kasus pada Mahasiswi Pengguna Produk Kosmetik jepang di Yogyakarta). (Skripsi tidak diterbitkan). Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada.

Lina & Rosyid, HF. (1997). Perilaku konsumtif berdasarkan locus of control pada remaja putri. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, (4), 5-13.

Matic,M. & Puh, B. (2016). Consumer’s purchase intentions towards natural cosmetic. Ekonomski Vjesnik/ Econviews Volume XXIX No 1 2016 53-64. Melliana, Anastasia. 2006. Menjelajah tubuh perempuan dan mitos kecantikan.

Yogyakarta: LKS.

Monica, E. (2016). Perilaku Konsumtif Mahasiswa Perkotaan dalam Penggunaan Produk Perawatan Wajah di Klinik Kecantikan. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Nursukmawati, R. (2013). Pengaruh Worth of Mouth Communication terhadap Kepuasan Pembelian. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Indonesia.

Octaviani, C & Kartasasmita, S. (2017). Pengaruh Konsep Diri terhadap Perilaku Konsumtif pembelian produk Kosmetik pada Wanita Dewasa Awal. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni Vol. 1, No. 2, halaman 126-133.

(29)

25

Ohmura, M., Kojima, Y., Nakata, Y. & Sawamiya, Y. (2015). Beautiful skin hides all faults – effect of body satisfaction on self-esteem and shyness in japanesse female youths. International Journal of Psychology and Counselling Vol. 7 No. 3 April 2015 doi: 10.5897/IJPC2014.0299

Oktavia, L.F. (2016). Pengaruh Brand Image, Vanity Seeking, Materialism dan Kelompok Acuan pada Minat Beli Ulang Jasa Klinik Kecantikan. (Tesis tidak diterbitkan). Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Padilla, P. (2017). The role of social support in adolescents: are you helping me or stressing me out?. International Journal of Adolescent and Youth Vol 22, 2017 Issue 2.

Patricia Obst, J. S. (2010). Online psychological sense of community and social support found through membership in disability-specific websites promotes well-being for people living with a physical disabilty. Journal of Community & Applied Social Psychology, 6(20), 525–531.

Perloff, R.M. (2014). Social media effect on young women’s body image concerns: theoretical prespectives and an agenda for research. Springer Science and Business Media New York. Doi : 10.1007/s11199-014-0384-6 Purnomo, S. (2011). Pandangan Masyarakat Indonesia terhadap Mahasiswa.

Jakarta: Erlangga.

Rutjee. (2009). Seputar tentang Kehidupan Mahasiswa. Jakarta: Erlangga

Reese, S. (2010). Factors Affecting Self-Esteem. 2010 Southeastern InfORMS Conference Proceedings.

Sarafino, Edward P., Timothy W. Smith. 2011. Health Psychology Biopsychosocial Interactions Seventh edition. United States of America. Sofianita, S. & Harti. (2013). Pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap

imitation behavior pembelian aksesoris pada remaja (studi pada siswi SMA Negeri 11 Surabaya). (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Negeri Surabaya.

Souiden, N., M'Saad, B., & Pons, F. (2011). A cross-cultural analysis of consumers' conspicuous consumption of branded fashion accessories.

Journal of International Consumer Marketing, 23(5), 329-343. DOI : http://dx.doi.org/10.1080/08961530.2011.602951

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam Iklan (Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi). Bandung : Alfabeta.

Townsend, C. & Sood, S. (2012). Self-affirmation through the choice of highly aesthetic product. Journal of Consumer Research, 39 Agustus 2012.

Truong, Y. & McColl, R. (2011). Intrinsic motivation, self-esteem and luxury good consumption.Journal of Retailing and Consumer Services 18.

(30)

26

Utami, W. T. Hubungan antara Citra Tubuh dengan Perilaku Konsumtif Kosmetik Make Up Wajah pada Mahasiswi. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wardhani, MD. (2009). Hubungan antara Konformitas dan Harga Diri dengan Perilaku Konsumtif pada Remaja Putri.(Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Yamamiya, Y. Cash, T.F., Melnyk, S.E., Posavac, H.D. & Posavac, S.S. (2005). Women’s exposure to thin-and-beautiful media images : body image effects of media-ideal internalization and impact-reduction interventions. Body Image 2 74-80 DOI : 10.1016/j.bodyim.2004.11.0014.11.001

Referensi

Dokumen terkait

m enyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Analisis Pengaruh Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja, dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Pegawai Melalui

Semestinya, dengan sejumlah potensi yang diberikan oleh Allah pada diri kita dan kesediaan kita untuk selalu berlatih untuk menjadi yang terbaik, setiap Muslim — dengan

Secara kultur teknis, pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah menanam jeruk di atas gundukan-gundukan setinggi 20 – 25 cm, tetapi tanaman tidak dibumbun

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perbandingan yang dilakukan antara Frekuensi gerak dan teknik pada sistem rally point dengan Frekuensi gerak dan

Kisaran jumlah jenis lumut epifit per plot maupun per pohon menunjukkan bahwa hutan primer di Mandalawangi dan Gunung Bunder memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi

Data yang digunakan dalam penelitian berupa kata, frasa, paragraf, dan kalimat yang mengandung aspek religius dalam novel Mahabbah Rindu karya Abidah El Khalieqy. Sumber data

Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas XI pada Materi Kesetimbangan Kimia Berdasarkan Tingkatan Sekolah .... Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas XI pada Materi

The body types of senior and junior elite female triathletes differed in muscle mass, sum. of skinfolds and the percentage of adipose mass in relation to total