• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Medication Error

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Medication Error"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Obat adalah suatu bahan kimia yang dapat mempengaruhi organisme hidup dan dipergunakan untuk keperluan diagnosis, pencegahan, dan pengobatan suatu penyakit (Sumardjo, 2008). Keberhasilan dari sistem pengendalian obat tergantung dari ketaatan pada kebijakan dan prosedur. Pentingnya suatu kebijakan dan panduan prosedur yang mutakhir untuk pengendalian obat tidak dapat dianggap berlebihan (Siregar, 2003).

Rumah sakit mempunyai proses untuk mengidentifikasi dan melaporkan kesalahan obat (medication error). Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien mulai dari produksi dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan monitoring pasien (Cohen, 1999).

Kesalahan pengobatan (Medication error) adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah (Kepmenkes, 2004). Kesalahan pengobatan dapat terjadi dalam menentukan obat dan regimen dosis antara lain kesalahan dalam peresepan, penulisan resep, manufaktur dalam formulasi, kesalahan memformulasi, pemberian atau pengambilan obat (Aronson, 2009).

(2)

BAB II ISI 2.1 Pengertian Medication Error

Penggunaan obat yang semakin pesat telah meningkatkan bahaya kesalahan obat yang mungkin terjadi. Perawat harus dapat bekerjasama dengan dokter, apoteker dan pimpinan rumah sakit dalam memeriksa dan menyempurnakan sistem untuk memastikan bahwa proses pengobatan berlangsung dengan aman.

Ditinjau dari asal katanya, error adalah kesalahan pada perencanaan untuk mencapai tujuan (error pada perencanaan) atau kegagalan dari sesuatu yang telah direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan tujuan (error pada pelaksanaan). Suatu error dapat terjadi karena hasil dari kepercayaan atau pengabaian (The Institute of Medicine, 2004). Medication error adalah error yang terjadi pada saat proses penggunaan obat. Misalnya seperti kesalahan pemberian dosis pada resep, kesalahan pada saat pemberian obat oleh orang yang berwenang memberikan obat atau kesalahan pasien sendiri pada saat pengobatan.

Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers, 1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.

2.2 Kategori Medication Error

(3)

Error Kategori Hasil

No error A Kejadian atau yang berpotensi untuk terjadinya kesalahan Error ,

no harm

B Terjadi kesalahan sebelum obat mencapai pasien

C Terjadi kesalahan dan obat sudah diminum/digunakan pasien tetapi tidak membahayakan pasien

D Terjadinya kesalahan, sehingga monitoring ketat harus dilakukan tetapi tidak membahayakan pasien

Error, harm E Terjadi kesalahan, hingga terapi dan intervensi lanjut diperlukan dan kesalahan ini memberikan efek yang buruk yang sifatnya sementara

F Terjadi kesalahan dan mengakibatkan pasien harus dirawat lebih lama di rumah sakit serta memberikan efek buruk yang sifatnya sementara

G Terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek buruk yang bersifat permanen

H Terjadi kesalahan dan hampir merenggut nyawa pasien contoh syok anafilaktik

Error, death

I Terjadi kesalahan dan pasien meninggal dunia

Timbulnya kejadian yang tidak sesuai dengan tujuan (incidence/hazard) dikatakan sebagai drug misadventuring, terdiri dari medication errors dan adverse drug reaction. Ada beberapa pengelompokan medication error sesuai dengan dampak dan proses. Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai dasar analisa dan intervensi yang tepat.

Medication Error adalah kejadian yang dapat dicegah akibat penggunaan obat, yang menyebabkan cedera. Contohnya adalah peresepan obat yang tidak rasional. Kesalahan perhitungan dosis pada peracikan. Ketidakpatuhan pasien

(4)

sehingga terjadi dosis berlebih. Indeks medication errors untuk kategorisasi errors (berdasarkan dampak).

Jenis-jenis medication errors (berdasarkan alur proses pengobatan)

Tipe Medication Errors Keterangan

Unauthorized drug Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien padahal diresepkan oleh bukan dokter yang berwenang

Improper dose/quantity Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak sesuai dengan yang dimaskud dalam resep

Wrong dose preparation method Penyiapan/ formulasi atau pencampuran obat yang tidak sesuai

Wrong dose form Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara pemberian yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan di dalam resep

Wrong patient Obat diserahkan atau diberikan pada pasien yang keliru yang tidak sesuai dengan yang tertera di resep Omission error Gagal dalam memberikan dosis sesuai permintaan,

mengabaikan penolakan pasien atau keputusan klinik yang mengisyaratkan untuk tidak diberikan obat yang bersangkutan

Extra dose Memberikan duplikasi obat pada waktu yang berbeda

Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah diberikan secara lisan atau diresepkan oleh dokter yang tidak berkompeten

Wrong administration technique Menggunakan cara pemberian yang keliru termasuk misalnya menyiapkan obat dengan teknik yang tidak

(5)

Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal pemberian atau diluar jadwal yang ditetapkan

2.3 Bentuk Kejadian Medication Error

Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error antara lain:

a. Fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep, meliputi obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai.

b. Fase transcribing adalah error yang terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas, misalnya Losec® (omeprazole) dibaca Lasix® (furosemide), aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet terbaca 3 kali sehari 1 tablet. Salah dalam menerjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada kasus ini.

c. Fase dispensing ialah error yang terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam memberikan informasi.

d. Fase administrasi adalah error yang terjadi pada proses penggunaan obat, yaitu proses yang dimana terjadi saat obat diberikan dari petugas apotek ke pasien

atau dari petugas apotek kepala keluarga pasien. Dan pada proses ini juga meliputi fase digunakannya obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya. Biasanya pada fase ini ketidaklengkapan yang terjadi yaitu salah pemberian informasi tentang penggunaan obat. Error yang terjadi misalnya salah menggunakan suppositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan

(6)

bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan.

2.4 Obat LASA (Look Alike Sound Alike)

Dari pembagian fase diatas, LASA (Look Alike Sound Alike) berada di fase dispensing. Apa itu Lasa ? Lasa adalah obat-obat dengan nama generik maupun merek dagang (paten) yang rupanya atau (bunyinya) hampir sama dengan obat lain. Dalam fase dispensing, tenaga kefarmasian melakukan screening terhadap kelengkapan dan kelayakan obat, membaca resep, membungkus serta menempelkan etiket yang berisi aturan pakai, nama pasien, jumlah obat, dan keterangan lain.

Sesuai dengan prosedur standar bahwa resep yang dinyatakan lengkap dan layak selanjutnya akan dibungkus sesuai dengan permintaan yang tertulis dalam resep. Tenaga kefarmasian yang mengambil obat dari lemari obat mungkin saja melakukan kesalahan dalam pengambilan sediaan farmasi.

Umumnya lemari penyimpanan obat di instalasi farmasi RS maupun apotek memiliki aturan tersendiri dalam penyusunannya. Umumnya disusun berdasarkan abjad dan dipisahkan dalam beberapa kelompok. Misalnya untuk obat golongan narkotika maka dipisahkan dan disimpan pada lemari khusus, obat psikotropika juga dipisahkan penyimpannya. Selanjutnya, obat dapat dikelompokkan berdasarkan kelas terapinya ataupun menurut abjad saja.

Beberapa sediaan farmasi yang memiliki lebih dari satu kekuatan tidak diletakkan bersebelahan. Sediaan farmasi yang memiliki kemiripan nama tidak diletakkan berdekatan.

2.5 Penggolongan obat LASA

Obat Look Alike Sound Alike (LASA) yang ditetapkan dalam kebijakan pengelolaan obat Look Alike Sound Alike adalah:

(7)

N O

KEMASAN MIRIP

1. Bio Atp Tab Pehavral Tab

2. Histapan Tab Heptasan Tab

3. Urdahex Tab Longcef Tab

4. Ubesco Tab Imesco Tab

5. Tomit Tab Trifed Tab

6. Brainact Tab Spirola Tab

7. Tilflam Tab Vaclo Tab

8. Rhinos Syrup Rhinofed Syrup

9. Ikalep Tab Depakote 250 mg

10. Blopres Tab Candesartan 16mg

11. dst

NAMA OBAT SAMA KEKUATAN BEDA

1. Amlodipin 5mg Tab Amlodipin 10mg Tab

2. Glimipiride 1mg Tab Glimipiride 2mg Tab,

Glimepiride4 mg

3. Acyclovir 200mg Tab Acyclovir 400mg Tab

4. Neurotam 1200mg Tab Neurotam 800 Tab

5. Polycrol Forte Tab Polycrol 400 Gell Tab

6. Somerol 16mg Tab Somerol 4mg Tab

7. Ludiomil 10mg Tab Ludiomil 50mg Tab

8. Flamar 25mg Tab Flamar 50mg Tab

(8)

10. Lyrica 50mg Tab Lyrica 75mg Tab

11. Cefadroxil 250mg Tab Cefadroxil 500mg Tab

12 dst

NAMA OBAT MIRIP UCAPAN

1. Ximesco Tab Imesco Tab

2. Ethidan Tab Fucoidan Tab

3. Cetrizine Tab Ketricin Tab

4. Bucain inj Decain inj

5. Folamil Tab Folavit Tab

6. Ephedrine Inj Eprineprine Inj

(9)

2.6 Penyebab terjadinya Medication Error

Dari penelitian yang telah dilakukan, prescribing error dapat terjadi selain dari faktor individual penulis resep juga melibatkan fakor-faktor lainnya.Faktor individual misalnya kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai obat dan pasiennya, serta kesehatan mental dan fisik penulis resep. Faktor lainnya turut berperan adalah beban kerja tinggi, komunikasi tidak berjalan dengan baik, pengawasan terhadap jalannya pengobatan yang kurang, sistem kerja dan sarana yang tidak mendukung, kurangnya pelatihan, belum menganggap proses peresepan sebagai proses yang penting, hierarki dalam tim medis, dan kewaspadaan terhadap prescribing error masih rendah (Cahyono, 2008).

(10)

Menurut Kepmenkes 2004 faktor-faktor lain yang berkontribusi pada medication error antara lain:

1. Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)

Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat lainnya dikomunikasikan.Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas.Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang beresiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.

2. Kondisi lingkungan

Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperature yang nyaman.Selain itu, area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan.Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.

3. Gangguan/ interupsi pada saat bekerja

Gangguan/ interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon.

4. Beban bekerja

Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.

(11)

5. Edukasi staf

Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam system menurunkan insiden/kesalahan.

Adanya undang-undang Kesehatan No 23 tahun 1992 serta undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 yang menjamin hak-hak konsumen (pasien) dalam mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, menyebabkan penyedia jasa tenaga kesehatan (dokter maupun farmasis) harus waspada, karena adanya penyimpangan pelayanan dari ketentuan yang ada akan membuka celah bagi konsumen (pasien) dalam melakukan gugatan.

2.6 Jenis-jenis Kesalahan Obat (Medication Error)

Menurut Charles (2005, hal 383-386) jenis dari kesalahan obat dan masalah yang berkaitan dengan obat ialah sebagai berikut:

1. Kesalahan resep

Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu obat yang disorder atau diotorisasikan oleh dokter (atau penulis lain yang sah) yang tidak benar; resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan yang sampai pada pasien.

Contoh :

Pasien berusia 42 tahun yang memiliki riwayat gangguan jantung diperiksa oleh kardiologis. Pasien tersebut diberi Isordil untuk heart pain. Resep tersebut menginstruksikan bahwa obat harus dikonsumsi sebanyak 20 mg, 4 kali sehari. Ketika pasien membawa resep tersebut dibawa ke apotek untuk ditebus, apoteker

(12)

membaca Isordil sebagai Plendil. Obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Walaupun dosis maksimum sehari Plendil yang direkomendasikan adalah 10 mg, tetapi apoteker tetap memberikan obat tersebut sesuai dengan dosis yang diresepkan oleh dokter, yaitu 20 mg.

Jadi, pasien tersebut tidak hanya menerima obat yang salah, tapi dia juga harus mengkonsumsi obat dengan dosis maksimum perhari 8 kali lebih besar dibandingkan dengan dosis maksimum yang direkomendasikan. Setelah meminum beberapa dosis, pasien tersebut jatuh sakit dan dibawa ke UGD dimana dokter yang memeriksanya menyatakan bahwa pasien terkena serangan jantung. Pasien tersebut meninggal dua minggu kemudian.

2. Kesalahan karena lalai memberikan obat

Gagal memberikan satu dosis, sebelum dosis terjadwal berikutnya. Jika pasien menolak mengkonsumsi obat atau jika obat tidak dikonsumsi karena kontraindikasi, maka hal tersebut bukan kesalahan.

Contoh :

Perawat atau apoteker lupa memberikan obat pada pasien rawat inap. 3. Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru

Pemberian obat diluar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari jadwal waktu pemberian obat.

Contoh :

a. Jadwal obat lebih atau kurang dari 30 menit

b. Furosemid diminum malam hari, seharusnya pagi hari

(13)

4. Kesalahan obat karena obat yang tidak diotorisasi

Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis, maupun dosis yang diberikan di luar pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan.

Contoh :

Seorang perawat memberikan 300 mg morfin yang seharusnya diresepkan untuk pasien yang sedang terkena kanker kepada pasien lain yang berusia 77 tahun yang sedang dirawat akibat emfisema parah dan pneumoconiosis . Kira-kira 11 jam setelah pemberian morfin, pasien tersebut ditemukan dalam keadaan kolaps dan koma. Paramedis kemudian memberikan naloxone dan pasien dapat tersadar. Namun, pasien tersebut akhirnya mengalami kejang-kejang dan kemudian meninggal dunia. 5. Kesalahan obat karena dosis tidak benar

Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis obat yang diorder.

Contoh :

Pihak Polres Bangka Tengah akhirnya menetapkan Mon, oknum perawat di RSUD Bangka Tengah (Bateng), menjadi tersangka lantaran diduga kuat lalai dalam menjalankan tugas hingga menyebabkan pasiennya, Jibran meninggal dunia beberapa waktu lalu.

Pada Juli 2009 lalu, Jibran yang baru berusia 13 bulan, anak ketiga pasangan Mustar (40) dan Hidayati (35), warga Desa Nibung Kecamatan Koba, menjalani perawatan di RSUD Bangka Tengah karena menderita malaria. Saat itu, Mon sempat memberikan obat malaria jenis klorokuin kepada Jibran. Namun beberapa saat kemudian, sakit Jibran malah bertambah parah dan akhirnya meninggal dunia.

(14)

Kapolres Bangka Tengah AKBP Asep Ahdiatna membenarkan bahwa pihaknya telah menetapkan Mon sebagai tersangka. “Hasil pemeriksaan dalam sepekan ini, dia (Mon--red) kita tetapkan sebagai tersangka. Ia ditetapkan sebagai tersangka seminggu yang lalu,” kata Asep Ahdiatna saat dikonfirmasi Bangka Pos Group melalui ponsel, Minggu (17/1) sore.

Sebelumnya, kata Asep Ahdiatna, hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik (Labfor) Palembang Sumsel terhadap sampel organ tubuh Jibran menunjukkan bahwa klorokuin yang diberikan Mon kepada pasiennya itu melampaui dosis. “Ia memberikan obat malaria klorokuin dengan dosis yang tidak semestinya,” ungkap Asep Ahdiatna.

Selain itu, pihak Polres Bangka Tengah juga sudah mendapatkan keterangan saksi ahli dokter forensik, dr. Budi dari Rumah Sakit Serang Banten untuk mengungkapkan kasus tersebut.

Dihubungi secara terpisah, Kasat Reskrim Polres Bangka Tengah, AKP Dolly Gumara seizin Kapolres Bangka Tengah AKBP Asep Ahdiatna, mengatakan, Mon secara resmi ditetapkan menjadi tersangka pada Senin (11/1) lalu.

“Kelalaiannya memberikan klorokuin melebihi dosis yang sebenarnya. Jadi, peranan dia di situ,” kata Dolly kepada Bangka Pos Group, Minggu (17/1) sore. Atas kelalaiannya itu, lanjut Dolly Gumara, tersangka terancam hukuman lima tahun penjara.

Namun demikian, tersangka sejauh ini tidak ditahan di Mapolres Bangka Tengah mengingat yang bersangkutan masih bertugas di RSUD setempat dan selama ini dinilai kooperatif memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan. “Dia dikenakan penahanan rumah. Dia perawat yang masih berstatus honorer di RSUD Bangka Tengah,” imbuh Dolly Gumara. Lebih lanjut ia mengatakan, kasus ini masih terus dikembangkan dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lainnya yang diduga juga terlibat atas kematian Jibran.

(15)

6. Kesalahan obat karena bentuk sediaan

Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang diorder oleh dokter.

Contoh :

a. Keliru penggunaan salep mata, apabila yang diorder suatu larutan untuk mata b. Penggerusan tablet lepas lambat

7. Kesalahan obat karena pembuatan atau penyiapan obat yang keliru

Sediaan obat diformulasi atau disiapkan secara tidak benar sebelum pemberian. Contoh :

a. Pengenceran atau rekonstitusi suatu sediaan yang tidak benar b. Tidak mengocok suspensi

c. Mencampur obat-obat yang secara fisik atau kimia dapat berinteraksi d. Penggunaan obat kadaluarsa

e. Tidak melindungi obat terhadap pemaparan cahaya 8. Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru

Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian suatu obat yang dapat mencakup kesalahan karena rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis, melalui rute yang benar tetapi tempat yang keliru, maupun kesalahan karena kecepatan pemberian yang keliru.

Contoh :

Anak laki-laki berusia 16 tahun dengan leukemia menerima kemoterapi berupa injeksi intravena vinkristin dan intratekal metotreksat. Tusukan pada lumbalis akan dilakukan oleh seorang dokter junior. Dokter tersebut menyerahkan dua jarum suntik pada temannya, dan temannya menyuntikkan isi kedua jarum tersebut secara intratekal tanpa diperiksa. Anak tersebut pada akhirnya terkena arachnoiditis yang menyakitkan yang mana didiagnosa setelah dua hari diberikan prosedur yang salah. Dan pada akhirnya, ia meninggal dunia.

(16)

9. Kesalahan karena pemberian obat yang rusak

Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia bentuk sediaan telah membahayakan, termasuk obat-obat yang disimpan secara tidak tepat. Contoh :

Bisnis Indonesia, Kamis 18 Mei 2006 hal. 8---Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk (RS PIK), Jakarta dilaporkan keluarga pasien almarhum Paulus Famiardjo ke Menteri Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berkaitan dugaan pemberian obat kadaluarsa.

"Saat datang ke rumah sakit, ayah klien kami masih dalam keadaan baik. Tapi 12 jam setelah diberikan obat kadaluarsa, dia meninggal," kata John H. Waliry, kuasa hukum Luna Famiardjo (anak kandung Paulus Famiardjo) yang akan menuntut secara pidana dan perdata RS itu, di Jakarta, kemarin.

Pada 9 Maret lalu, Paulus datang ke RS PIK dan menjalani pengobatan kanker paru-paru hingga 20 Maret. Untuk membunuh sel kankernya, pada 22 Maret Paulus datang lagi dan diberikan obat gemzar yang berfungsi membunuh sel kanker. Mengembalikan kondisi kesehatan yang melemah, pihak RS memberikan obat berupa cairan infus lipovenous. Namun cairan obat itu ternyata kadaluarsa 10 Maret 2006. Ia mengungkapkan pihak RS memang sudah menyampaikan permintaan maafnya. Kepala Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Legal RS PIK, Rizal, mengatakan tidak ingin menutup-nutupi permasalahan tersebut. "Tapi, bicara kasusnya saya no comment."

10. Kesalahan karena pemantauan yang keliru

Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan pendeteksian masalah, atau gagal menggunakan data klinik atau data laboratorium untuk pengkajian respon pasien yang memadai terhadap terapi yang ditulis.

(17)

Seorang laki-laki berusia 33 tahun meninggal 6 bulan setelah dia menderita henti jantung selama operasi retinal detachment. Henti jantung tersebut diakibatkan hipoksia yang terjadi ketika saluran endotrakeal pasien tidak terhubung dengan sumber oksigen. Anestesis menyadari masalah tersebut hanya ketika alarm tekanan darah berbunyi 4,5 menit setelah sumber oksigen gagal terhubung ke saluran andotrakeal pasien. Pertama-tama dia yakin bahwa terjadi kesalahan pada mesin tekanan darah; tetapi salah satu dokter bedah menyadari adanya bradikardi, sianosis, dan terputusnya hubungan antara saluran endotrakeal pasien dengan sumber oksigen. 11. Kesalahan karena tidak patuh

Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada suatu regimen obat yang ditulis. Contoh paling umum adalah ketidakpatuhan pasien penderita hipertensi menggunakan terapi obat antihipertensi

Contoh :

a. Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat mengenai ketidakpatuhan terhadap aturan pemakaian obat selayaknya menjadi perhatian. Pemakaian antibiotik, misalnya harus diberikan dalam waktu tertentu untuk menghindari timbulnya resistensi. Tetapi sering terjadi bahwa pemakaian dihentikan karena merasa gejala sakit mulai berkurang. Akibatnya bila orang tersebut menderita sakit yang serupa, terapi yang sama tidak akan berhasil.

b. Pengobatan TB seharusnya menggunakan kombinasi obat-obat anti-TB sehingga dapat membunuh kuman TB dengan tuntas. WHO merekomendasi kombinasi obat-obat tersebut: Isonizid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z), Ethambutol (E) dan Streptomycine (S), dengan dosis dan durasi pengobatan yang telah ditetapkan. Kenyataan di lapangan misalnya pasien tidak menebus dan meminum semua obat yang sudah diresepkan sampai batas waktu yang ditetapkan. Ketidakpatuhan pasien, baik dalam meminum jumlah dan macam obat, ketidakteraturan serta tidak tuntasnya pengobatan dari yang dianjurkan merupakan pemicu terjadinya resistansi ganda TB.

(18)

12. Kesalahan karena rute pemberian yang tidak benar

Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter, termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada tempat yang keliru

Contoh :

a.Vaginal suppositoria yang seharusnya diberikan melalui vagina tetapi diberikan lewat dubur/rektal

b. Pemberian obat suppositoria yang digunakan melalui dubur tetapi diberi lewat oral

c. Pemberian tablet sublingual tetapi diberikan langsung ditelan d. Pemberian tablet hisap tetapi diberikan langsung ditelan e. Pemberian obat injeksi subkutan tetapi diberikan intra vena

f. Pemberian tetes mata pada mata sebelah kiri yang seharusnya sebelah kanan

13. Kesalahan karena kecepatan yang keliru

Pemberian suatu obat dengan kecepatan yang keliru. Kecepatan yang benar ditetapkan dokter dalam order atau ditetapkan dalam kebijakan prosedur rumah sakit. Contoh :

Setelah melakukan penyelidikan secara mendalam termasuk mendengarkan keterangan saksi ahli, Satreskrim Polres Sidoarjo menetapkan dokter berinisial WPA (29) yang menangani Dava Chayanata Oktavianto (3,5) saat berobat hingga tewas di rumah sakit Krian Husada sebagai tersangka.

Surat penetapan tersangka yang dikeluarkan penyidik Polres Sidoarjo tak hanya kepada WPA, melainkan juga kepada SM (25) yang berprofesi sebagai perawat di rumah sakit tersebut.

(19)

merawat korban saat dirawat inap di rumah sakit Krian Husada," ujarnya, Selasa (3/8/2010).

Dari hasil pemeriksaan, ada tindakan medis yang tidak sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP) dalam penanganan korban. Mulanya korban kembung, setelah dilaporkan pihak dokter (WPA, red) langsung memberikan resep kalium.

Dari saksi ahli dokter spesialis anak, ada resep yang masuk dalam kategori drug abuse (penyalahgunaan obat). Dalam resep disebutkan bahwa pasien harus diberi kalium secara terus menerus selama 45 menit. Padahal sesuai SOP, pemberian kalium untuk anak 3,5 tahun maksimal 30 menit. "Batasan maksimal inilah yang dilanggar," terang mantan Kasatreskrim Polres Gresik itu.

Ernesto juga menerangkan, pemberian obat secara terus menerus selama 45 menit dibolehkan, asalkan korban dirawat di ruang ICU. Kenyatannya Dava hanya dirawat di ruang perawatan biasa sehingga tidak benar jika menggunakan jangka waktu 45 menit.

Sementara itu, SM ditetapkan sebagai tersangka karena menyerahkan proses penyuntikan obat itu kepada mahasiswa magang yang belum punya lisensi mengambil tindakan medis. Saat mahasiswa itu tanya tentang cara penyuntikan, SM menjawab seperti biasanya. Setelah disuntikkan melalui infus, beberapa detik kemudian Dava kejang-kejang dan langsung tewas. SM juga tidak mau tanya ke dokter dan memberikan saran sekenanya yang berakibat korban meninggal.

"Kedua tersangka itu dijerat dengan pasal 361 KUHP yakni melakukan tindak pidana yang terkait dengan jabatan sehingga menyebabkan orang meninggal dunia serta pasal 359 yang menyatakan bahwa kesalahan yang menyebabkan orang meninggal dunia," pungkasnya.

14. Kesalahan karena indikasi tidak diobati

Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi tidak menerima suatu obat untuk indikasi tersebut.

(20)

Contoh :

a.Pasien yang mengeluh sakit kepala dan setelah dilakukan cek laboratorium menandakan adanya hipertensi dan kolesterol. Tetapi hanya diberikan obat pusingnya saja

b.Pasien mengeluh sakit batuk pilek tetapi yang diberikan hanya obat batuknya saja

15. Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan

Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medik yang tidak memerlukan terapi obat.

Contoh:

Seorang pasien mengalami keluhan kepala pusing, mual, dan keringat dingin. Dokter memberi berbagai macam obat untuk pusing, mual, demam dan kembung. Ternyata setelah ditelusuri pasien hanya terkena maag, seharusnya hanya diberi obat maag.

16. Kesalahan karena gagal menerima obat

Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan farmasetik, psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima/tidak menggunakan obat.

Contoh :

Ketidakpatuhan menjalani terapi hipertensi, diabetes, atau terapi dengan antibiotik.

17. Kesalahan karena reaksi obat merugikan (ROM)

Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek samping. Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam akibat penggunaan

(21)

a. Efek samping batuk pada penggunaan kaptopril b. Nyeri lambung setelah mengkonsumsi aspirin.

c.Terbentuknya batu asam urat pada penggunaan probenesid d. Reaksi alergi pada pemberian antibiotik golongan penisilin Contoh kasus:

Wanita muda dengan sindrom Guillian-Barre (kondisi yang dapat menyebabkan badan menjadi lemah atau paralisis) hendak menjalani prosedur operasi, tetapi kemudian secara tiba-tiba dia meninggal dunia. Suaminya pergi ke seorang pengacara untuk mengungkapkan penyebab kematian istrinya.

Seseorang dengan sindrom Guillian Barre tidak boleh diberikan obat anestesi yang disebut suksinil kolin karena dapat mengakibatkan reaksi yang mematikan. Dan ternyata wanita tersebut diberi obat ini dan inilah yang menyebabkan ia meninggal dunia.

18. Kesalahan karena interaksi obat

Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat, obat-makanan, atau obat-prosedur laboratorium.

Contoh :

a. Inkompatibilitas intravena, seperti nutrisi parenteral lengkap atau campuran sediaan intravena

b. Penggunaan bersamaan dua obat yang bekerja di SSP (misal: antidepressant dan antihistamin) menyebabkan rasa kantuk yang berlebihan

c. Pemberian penghambat MAO bersama dengan tiramin/keju menghasilkan penumpukkan amin di ujung saraf adrenergik

d. Vitamin B6 meningkatkan aktivitas enzim yang memetabolisme levodopa sehingga efek levodopa menurun

e. Penggunaan kaptopril bersamaan dengan spironolakton dapat menyebabkan hiperkalemia

f. Tetrasiklin dengan makanan kaya kalsium dapat membentuk kelat sehingga absorpsinya terganggu

(22)

19. Kesalahan obat lain

Setiap kesalahan yang tidak dicakup salah satu dari ketegori tersebut di atas. 2.7 Upaya menurunkan Medication Error

Pencegahan medication errors dapat dilakukan dengan upaya-upaya di bawah ini antara lain:

1. Adanya pemahaman yang baik pada setiap individu bahwa medication errors dapat terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja terutama yang berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, apoteker, asisten apoteker, dan perawat.

2. Apoteker wajib menerapkan sistem distribusi obat yang tepat untuk pasien di suatu rumah sakit, agar dapat memenuhi persyaratan penyampaian obat yang baik, yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat jadwal, tanggal, waktu, dan metode pemberian, tepat informasi untuk pasien dan untuk perawat pemberi obat kepada pasien.

3. Sistem penulisan resep yang terkomputerisasi pada instalasi farmasi yang memudahkan pengecekan otomatis untuk dosis, terapi duplikasi, interaksi obat, dan aspek penggunaan lain.

4. Desain ulang sistem yang ada, jika terbukti kejadian medication error bersumber dari sistem, sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahan yang akan datang. 5. Instalasi farmasi harus memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dalam

proses prescribing, transcribing, dispensing, dan administering untuk meminimalkan resiko terjadinya medication errors.

6. Apoteker harus mengikuti pengetahuan mutakhir melalui kebiasaan membaca pustaka, berkonsultasi dengan rekan sejawat dan pelaku pelayan kesehatan lain. Oleh karena itu, sumber informasi obat yang memadai harus tersedia bagi semua pelaku pelayan kesehatan dalam proses penggunaan obat.

7. Adanya daftar singkatan baku standar yang disetujui untuk digunakan dalam peresepan obat.

(23)

dilakukan yang berpotensi menimbulkan medication errors. Dengan demikian, petugas diharapkan tidak mengulangi hal yang sama dikemudian hari.

9. Lingkungan kerja yang nyaman untuk pembuatan sediaan obat. Sumber kesalahan yang dapat terjadi di lingkungan kerja yaitu ketidakfokusan pada pekerjaan yang sedang dilakukan.

Langkah-langkah pengelolaan medication errors : 1. Klasifikasikan jenis medication errors yang terjadi. 2. Tentukan penyebab terjadinya medication errors.

3. Medication errors harus didokumentasikan dan dilaporkan segera kepada dokter, perawat, dan kepala IFRS.

4. Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta dan investigasi harus segera dimulai. Fakta yang harus ditetapkan dan didokumentasikan termasuk apa yang terjadi, di mana peristiwa terjadi, mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi, siapa yang terlibat. Bukti produk (misal etiket dan kemasan) harus dicari dan disimpan untuk acuan di kemudian hari.

5. Identifikasikan langkah-langkah yang akan dilakukan dengan benar dan dokumentasikan

6. Terapi perbaikan dan terapi suportif harus diberikan kepada pasien.

7. Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah sakit untuk kepentingan perbaikan mutu, peningkatan keamanan pasien untuk pencegahan kesalahan yang akan datang.

Respon setelah terjadi medication error :

1. Meminimalisasi efek dari kesalahan medikasi pada pasien 2. Berikan pasien perhatian penuh

3. Pindahkan pasien ke tempat terpisah jika memungkinkan 4. Cari penyebab terjadinya kesalahan medikasi

5. Meminta maaf kepada pasien dan jelaskan kesalahan yang telah terjadi 6. Perbaiki kesalahan yang terjadi

(24)

7. Catat segala tindakan yang dilakukan BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Medication errors menjadi 'musuh' perawat sehingga diperlukan pelayanan terbaik dan profesional untuk mengurangi kesalahan pengobatan. Selain menjaga kualitas sistem pelayanan kesehatan, pelayanan terbaik mencegah kompleksitas keadaan memburuknya pasien dan peningkatan biaya kesehatan serta mencegah anggapan ketidak profesionalan kerja dan menumbuhkan kepercayaan diri. Di USA, dari tahun 1993 medication errors memberikan kerugian rumah sakit 10% sampai 18%, selain itu pasien meninggal karena medication errors berjumlah 7391 dan lama perawatan pasien meningkat 4-6 hari dengan peningkatan biaya $4685 setiap pasien.

Sulit membaca tulisan dokter, kesalahan penafsiran resep dokter, pembagian obat, perhitungan obat, pengawasan obat dan administrasi berimplikasi pada

peningkatan medication errors. Hal ini membutuhkan peran serta semua pihak untuk mencegah kesalahan-kesalahan yang dimungkinkan terjadi. Di USA seorang pasien dapat menerima 18 resep setiap hari dan seorang perawat memberikan 50 resep setiap shift, hal ini menempatkan perawat di garis depan dalam menjaga akuntabilitas administrasi dan paling berpotensi melakukan medication errors.

Pengaruh negatif dan trauma psikologis adalah dampak negatif bagi perawat ketika melakukan medication errors, merasa marah, bersalah dan takut serta

mengalami kehilangan kepercayaan diri dalam kemampuan praktek klinis. Penelitian Hume et al. di USA, menunjukan sebagian besar perawat tidak melaporkan

medication errors secara sistematis menggunakan form insident reports sehingga berdampak pada beragamnya interpretasi laporan setiap kasus dan memberikan

(25)

informasi yang minim sehingga berdampak pada kualitas sistem pelayanan dalam mengambil solusi untuk menghindari risiko.

Kualitas laporan medication errors tergantung perawat mengenali kesalahan, yakin akan kesalahan dan kesediaan mengatasi rasa malu dan siap tidak melakukan kesalahan yang sama. Menurut Osborne et al. hanya 25% dari semua medication errors dilaporkan menggunakan form insident reports. Laporan yang minim karena perawat menganggap pasien tidak dirugikan dalam situasi ini, selain itu perawat takut tindakan disipliner punishment, takut kehilangan pekerjaan, takut diberi label perawat yang membuat kesalahan dan takut akan memburuknya reputasi unit. Selain itu menurut Osborne et al . perawat mempunyai beragam definisi medication errors dan pentingnya laporan

3.2 SARAN

Diperlukan kesamaan persepsi dalam sebuah sistem pelayanan dalam mengidentifikasi dan melaporkan medication errors, ini membutuhkan kesamaan persepsi dan teknik penulisan laporan. Perawat sudah harus bisa mengidentifikasi medication errors, kapan dilaporkan dan kepada siapa laporannya disampaikan. Di setiap pelayanan kesehatan diperlukan unit mutu dan keselamatan pasien dalam mengontrol, mengawasi dan mengintervensi terkait medication errors sehingga meminimalisir kelalaian dalam pembuatan insident report secara sistematik.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktek Kedoketran. Cetakan ke V. Yogyakarta: Kanisius

(26)

Damin, Sumardjo. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: EGC

Direktorat Jendral Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar Pelayanan Kefaramasian di Apotek No 1027/MENKES/SK/IX/2004. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Mukhtar, Ansari dan Sen Abhishek. 2013. Evaluation of Look-Alike and Sound-Alike Medicines and Diapensing Errors In A Tertiary Care Hospital Pharmacy of Eastern. Nepal: International Journal Pharmacy

Presiden Republik Indonesia. 1992. Undang-undang No. 23 Tentang Kesehatan. Jakarta

Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia No 8 Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta

Siregar, Charles J.P. 2003. Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC Windarti, M.I. 2008. “Strategi Mencapai Keamanan Pemberian Obat” Dalam Buku

Suharjo dan Cahyono. Yogyakarta: Ikappi.

Astuti, N. Y. 2009. Kajian peresepan berdasarkan keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 pada resep pasien rawat jalan di instalasi farmasi rumah sakit umum daerah Kajen kabupaten Pekalongan bulan Juli 2008. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Azzopardi, Lillian M. (2010). Lecture Notes in Pharmacy Practice. Illinois: Pharmaceutical Press. Hal. 25-27.

Ferner, R. (2000). Medication error that have led to manslaughter charges. BMJ , 321, 1212-1216.

(27)

Hicks, R. W., Becker, S. C., & Jackson, D. G. (2008). Case Involving a Urinary Catheter Implicated in a Wrong Route Error: Definition of Medication Error. September 9, 2010, from http://www.medscape.com/viewarticle/586738_3

Ismail, M. (2010, Agustus 3). September 18, 2010. http://www.beritajatim.com

O'shea, Ellen. (1998). Factors contributing to medication errors: a literature review. Journal of Clinical Nursing, 8, 496-504.

Pramana, B. (2010, Februari 12). September 18, 2010. http://basukipramana.blogspot.com/2010/02/pasien-tidak-sembuh.html

Siregar, C.J.P. dan Kumolosasi, Endang. (2005). Farmasi Klinik : Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC. Hal.408-411.

Tozer, J. (2008, September 30). September 18, 2010. http://www.dailymail.co.uk/news/article/-1064506/Widow-given-fatal-painkiller-dose-after-nurse-mixed-up-two-patients.html

Wahyuni, T. (2009, Agustus). September 15, 2010. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=233013

Welle, D. (2006, Juni 22). September 18, 2010. http://www.dw-world.de.dw.article/0,,2064242,00.html

WHO. (1998). September 18, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui DRPs yang terjadi pada pasien DBD meliputi obat salah, dosis kurang, dosis lebih, terapi tanpa indikasi, indikasi

Ketepatan terapi dinilai dari kerasionalan pemberian obat pada pasien berdasarkan evaluasi 4T (tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis). Tepat indikasi adalah

Berdasarkan penjelasan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah DRPs kategori Indikasi tanpa obat, terapi obat tanpa indikasi, obat salah, dosis

Tepat indikasi berarti obat yang digunakan sesuai dengan indikasi dan diagnosa pasien, artinya keputusan peresepan obat didasarkan indikasi medis yang ditemukan pada pasien

Setiap obat baru yang diusulkan untuk masuk formularium harus dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi, indikasi terapi, bentuk sediaan dan kekuatan,

Terdapat perbedaan signifikan pada prevalensi dan jenis DRPs kategori indikasi tanpa terapi, dosis obat terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi dan reaksi obat

Setiap obat baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium harus dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi, indikasi terapi, bentuk sediaan dan

Kesalahan penulisan resep didefinisikan sebagai kesalahan dalam pemilihan obat, seperti kesalahan dalam dosis, jumlah, indikasi, dan kontraindikasi dari pengobatan.4 Kesalahan penulisan