• Tidak ada hasil yang ditemukan

No. Title Page 1 Formation of Colonial Society in the Philippine Islands until the end of the 19th Century

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "No. Title Page 1 Formation of Colonial Society in the Philippine Islands until the end of the 19th Century"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Table of Contents

No. Title Page

1 Formation of Colonial Society in the Philippine Islands until the end of the 19th Century

100 - 114

2 Cancellation of Lease Land In Vorstenlanden 1823: Case Cons Lex Rei Sitae 115 - 125

3 On the Symbolic meanings remains of inscription Sriwijaya in Palembang 126 - 136

4 Javanese Muslims, City People: Cultural Values ​​in Education Javanese Muslim Family In Surabaya Post-Colonial

137 - 151

5 Constructing national identity in Indonesia – experience for Europe 152 - 166 6 The Contestation on Political and Social Context of Post-Soeharto’s

Indonesian Film Industry

167 - 181

7 GENDER REPRESENTATION Tales INDONESIAN CHILD WORKS AUTHOR SERIES KKPK

182 - 197

8 MODEL DEVELOPMENT POTENTIAL OF COMMUNITY-BASED ECOTOURISM rural

198 - 207

9 RELATIONS AND FUNCTIONAL ANALYSIS OF EFFECT ON ANTARFAKTOR acquisition ENGLISH COMPETENCE OF SECONDARY SCHOOL TEACHERS Mathematics in international STATE EAST JAVA

(3)

Vol. 14 - No. 2 / 2014-01 TOC : 3, and page : 126 - 136

On the Symbolic meanings remains of inscription Sriwijaya in Palembang Pemaknaan Simbolik Atas Tinggalan Prasasti Sriwijaya Di Palembang

Author :

Dedi Irwanto Muhammad Santun | Fakultas Ilmu Budaya

Abstract

This paper attempts to look up the meaning of semiotics remains Srivijaya inscriptions in the city of Fo-shih, Musi, Wijaya, Palembang today. The question of what the meaning of the inscription is the main town of Palembang to study study symbolic. Based on that, the three inscriptions in the city of Fo-shih shows the emergence of a variety of the city's symbol of that era. Interpretan concept as reference gate sign of rebirth based on the form of inscriptions Kedukan symbol indicates Bukit City of Commerce, City of Religion and students to the city visited by many people. Interpretan concept of sign (sign) as a reference for policy reflection rule based on the form of inscriptions Telaga Batu city symbol indicates a clean government. And the concept of justice based interpretan inscription form Gutters Tuwo symbol denotes a prosperous tourism city and lucky. With all the praise like this, it can be said that the City of Fo-shih as the capital of Srivijaya was a metropolis.

Keyword : inscriptions, , city, semiotics, ,

Daftar Pustaka :

1. Boechari, (1979). “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)―. Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta : Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

(4)

PENGANTAR

Selama perjalananku kulewati seribu satu tahapan, Benang halus kesedihan menjerat pikiranku beratus kali. O mengapa kaubiarkan hanya bayangan tubuhku Sendirian...

(sajak I-tsing ketika memutuskan untuk mengunjungi “pohon pencerahan” di India, yang sempat singgah pada sebuah kota di Pulau Laut Selatan, dikutip dalam Vlekke, 2008: 29)

Kota-kota di Pulau Laut Selatan yang dikunjungi I-tsing tersebut dipercaya oleh banyak ahli sejarah terletak di Palembang ibu kota Kerajaan Sriwijaya. Sebenarnya, catatan I-tsing tanpa menyebutkan nama kota tersebut, telah menimbulkan sebuah “peraguan”, kalau tidak sebuah “keraguan”, gara-gara ia menyebutkan tanda kota tersebut terletak dibawah bayangan cakrawala, jika orang berdiri tegak, pada tengah hari dibawah sinar matahari, tidak mempunyai bayang-bayang. Berdasarkan catatan tersebut, beberapa ahli menyempulkan bahwa kota PEMAKNAAN SIMBOLIK ATAS TINGGALAN PRASASTI

SRIWIJAYA DI PALEMBANG Dedi Irwanto Muhammad Santun*)

Abstract

This paper attempts to look up the meaning of semiotics remains Srivijaya inscriptions in the city of Fo-shih, Musi, Wijaya, Palembang today. The question of what the meaning of the inscription is the main town of Palembang to study study symbolic. Based on that, the three inscriptions in the city of Fo-shih shows the emergence of a variety of the city’s symbol of that era. Interpretan concept as reference gate sign of rebirth based on the form of inscriptions Kedukan symbol indicates Bukit City of Commerce, City of Religion and students to the city visited by many people. Interpretan concept of sign (sign) as a reference for policy reflection rule based on the form of inscriptions Telaga Batu city symbol indicates a clean government. And the concept of justice based interpretan inscription form Gutters Tuwo symbol denotes a prosperous tourism city and lucky. With all the praise like this, it can be said that the City of Fo-shih as the capital of Srivijaya was a metropolis.

Key Words: inscriptions, city, semiotics, interpretan, signs, references Abstrak

Tulisan ini mencoba melihat pemaknaan semiotika atas prasasti-prasasti tinggalan Sriwijaya yang ada di Kota Fo-shih, Musi, Wijaya, Palembang sekarang ini. Pertanyaan tentang apa makna prasasti tersebut bagi ota Palembang menjadiK telaah utama kajian simboliknya. Berdasarkan itu, maka tiga prasasti yang ada di Kota Fo-shih ini memperlihatkan timbulnya berbagai simbol kota ini di masa itu. Interpretan konsep tanda gerbang sebagai acuan dari kelahiran kembali berdasar bentuk prasasti Kedukan Bukit menandakan simbol Kota Dagang, Kota Agama dan Kota Pelajarnya yang dikunjungi banyak orang. Interpretan konsep tanda (sign) kebijakan sebagai acuan refleksi aturan berdasar bentuk prasasti Telaga Batu menandakan simbol Kota Pemerintahan yang bersih. Serta interpretan konsep keadilan berdasar bentuk prasasti Talang Tuwo menandakan simbol Kota Wisata yang makmur dan beruntung. Dengan segala pujian seperti ini, dapat dikatakan bahwa Kota Fo-shih sebagai ibu kota Sriwijaya adalah kota metropolis.

Kata Kunci: prasasti, ota, emiotika, nterpretan, anda, cuank s i t a

(5)

tanpa nama dalam catatan I-tsing ini merupakan kota yang terletak d garisi equator katulistiwa, dan Palembang tidak terletak di sana.

Boleh dikatakan bahwa hampir dari semua referensi sumber asing tidak pernah disebutkan nama kota, lebih tepatnya ibu kota Sriwijaya. Sumber asing yang didapat lebih banyak menyebutkan nama Sriwijaya itu sendiri sebagai sebuah kerajaan. Catatan Arab yang terkenal yang dihubungkan dengan eksistensi Sriwijaya adalah yang dituturkan oleh seorang pedagang bernama Sulayman pada tahun 851 dan dikenali melalui tulisan ahli bumi bernama Abu Zayd Hasan tahun 916, memulai dengan kata:

Raja kota ini dikenal dengan gelar maharaja (raja besar). Konon luasnya (luas wilayah tempat kota ini berdiri sebagai ibukota) mencapai 900 parasang (persegi). Maharaja juga memerintah sejumlah besar pulau yang tersebar hingga sejauh 1.000 parasang atau lebih. Di antara pulau-pulau tersebut terdapat pulau bernama Sribuza yang konon luasnya mencapai 400 parasang dan pulau bernama Rami yang konon luasnya mencapai 800 parasang. Di Pulau Rami terdapat perkebunan kayu brasil, kapur barus, dan minyak-minyak lainnya. Maharaja juga menguasai tanah maritim Kalah yang terletak pada pertengahan Cina dan Arab.

Demikian catatan Arab tersebut, yang dari awal hingga akhir tulisan singkat tersebut yang dimuat dalam tulisan Ferrand (1922) dan dipopulerkan kembali oleh Reid (1995) dikutipkan tanpa menyebutkan nama kotanya itu sama sekali. Selain catatan perjalanan pengelana I-tsing dan sumber Arab tersebut, sumber asing lain didapat misi pengiriman upeti ke Cina dari sebuah kerajaan bernama “sanfotsi”. Jadi, berdasar sumber-sumber asing dapat disimpulkan yang tertulis adalah kata-kata She-li-fo-she, Shih-li-fo-shih, San-fo-ts’i, sanfotsi, Sribuza, Zabag yang semuanya diterjemahkan sebagai padanan kata dari Sriwijaya, dan jarang sekali menyebut

nama ibu kota dari kerajaan Sriwijaya tersebut.

Selain itu, hal menarik lain tentang Sriwijaya adalah kenyataan historisnya, bahwa kerajaan ini merupakan salah satu “kerajaan tertua” di Nusantara serta salah satu kerajaan terbesar yang pernah hadir secara politis di tanah air. Namun, sebetulnya Kerajaan Sriwijaya justru “kerajaan termuda” di Nusantara secara penemuannya. Ketika kerajaan-kerajaan kuno di Jawa sudah dikenal jauh sebelumnya bersamaan misalnya dengan tinggalan yang ada dalam babad-babad yang seumur dengan kerajaan tersebut, nama erajaan K Sriwijaya baru “tergali” kepermukaan barusan saja di sekitar awal abad ke-20. Adalah Coedes, sarjana Perancis yang dalam buku legendarisnya,

Le Royaume de Crivijaya, pada tahun

1918 memperkenalkan nama Sriwijaya. Walaupun catatan perjalanan I-tsing yang sudah diterjemahkan oleh Chavanes pada tahun 1894 dan dua tahun kemudian oleh Takakusu tahun 1896, nama

Shih-li-fo-shih yang ejaan dalam Bahasa Perancis

disebut Che-li-fo-che, tetapi dalam interpretasinya dikenal justru sebagai nama kerajaan Sribhoja, belum Sriwijaya, dan letaknya masih diperkirakan di daerah Negara Kamboja sekarang ini.

Hal yang sama dengan terjemahan tersebut adalah realitas historisnya, bahwa sekali lagi untuk penyebutan ibu kota, pusat dari kerajaan tersebut dalam terjemahan Chavanes dan Takakusu, bahwa sama dengan catatan di atas, I-tsing cuma menyebutkan kata Fo-shih sebagai singkatan dari Shih-li-fo-shih untuk menyebut negara, ibukota pusat kerajaan, dan sungai yang muaranya sebagai pelabuhan kerajaan. Sebagai entitas dari sebuah pusat ibu kota Sriwijaya, berdasar sumber asing, yang tidak pernah menyebutkan nama kotanya, kecuali catatan I-tsing yang diterjemahkan Chavanes dan Takakusu dengan kata

Fo-shih, maka kemudian sangat wajar, apabila

pusat lokasi ibu kota Sriwijaya mengalami berbagai distorsi.

Namun, sekali lagi atas jasa

127

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2

(6)

Coedeslah, yang berkat penemuan dan terjemahan Kern (1913) atas inskripsi prasasti pertama penemuan tentang bukti tertulis Sriwijaya, prasasti Kota Kapur di Bangka, dikalaborasikannya dengan catatan I-tsing, Coedes berkesimpulan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah negara dan kerajaan di Sumatera Selatan. Coedes pun tidak berhenti pada penemuan itu saja, ia berusaha pula menetapkan letak ibukotanya di Palembang berdasarkan anggapan Groeneveldt (1876), dalam karangannya, Notes on the Malay

Archipelago and Malacca Compiled from,

Chinese Sources, yang menyatakan bahwa Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i adalah Palembang.

Realitas historis, dengan kota tanpa nama dalam catatan sumber asing tentang ibu kota Sriwijaya, kemudian mengalami “penguatan” ketika bukti arkeologis tertemukan di Palembang. Kota tanpa nama dalam berbagai sumber asing tersebut, semakin kuat ke Kota Palembang ketika Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh Betenburg pada tahun 1920 yang semula digunakan sebagai alat ikat dalam prosesi ritual mencari kemenangan dalam lomba perahu bidar di Sungai Musi, Pada tahun yang sama 1920 Residen Palembang L.C. Westenenk menemukan Prasasti Talang Tuwo, di daerah Talang Tuwo bagian utara Palembang, Prasasti Telaga Batu diketemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu daerah sekitar pemakaman raja-raja Palembang di Sabokingking, 2 Ilir Palembang. Namun sekali lagi yang menariknya, dalam prasasti-prasasti tersebut tidak disebutkan sama sekali nama kotanya, termasuk Prasasti Kedukan Bukit yang hanya sampai pada kata wanua lalu tergores pada bagian, sambungan ini.

Jika demikian, dapat dikatakan bahwa ibu kota, pusatnya Kerajaan Sriwijaya tersebut, tidaklah bernama Palembang. Nama pertama yang memiliki acuan Palembang adalah kata Kien-Kiang yang baru lahir pada sekitar tahun 1400, ketika seorang pemimpin Cina yang telah melalang di lautan selama bertahun-tahun

merebut kekuasaan atas kota tersebut, setelah kejatuhan Sriwijaya. Nama lain Palembang sebagai transkripan dari

Po-lin-pang baru muncul pada abad ke-13

dalam kronik Chu-fan-chi dan sejarah Ming. Seperti disinggung dalam tulisan Ying-yang-sheng-lan tahun 1419 Masehi dengan ejaan chiu –chiang atau Po-lin-pang. Nama-nama inilah yang kemudian

berkembang menjadi kata Palembang, selain tentunya kata-kata lain berdasar mitos dan legenda setempat, seperti

me-limbang. Berdasar catatan I-tsing dalam

tulisan ini, nama lama ibu kota Sriwijaya tentunya merujuk dari kata Fo-shih, nama ini berasal dari aliran sungai di daerah tersebut dan sekarang menjadi Musi, kalau diartikan Sungai Musi adalah Sungai Wijaya. Sekali lagi keyakinan inlah yang memperkuat bukti bahwa ibu kota Sriwijaya adalah Palembang.

Lebih jauh yang ingin dilihat dalam tulisan ini adalah pemaknaan atas bentuk kotanya. Sebab ini menarik, interpretasi atas bentuk kota Sriwijaya belum banyak dilakukan ahli sejarah. Interpretasi tersebut dilakukan dengan menggunakan pisau analisis berdasar semiotika, interpretasi teks atas teks, interpretasi antara teks yang sudah ada, dan ini dibebankan pada tinggalan prasasti Sriwijaya yang terdapat di Kota Palembang. Semiotika bentuk kota tersebut lebih jauh akan dapat juga melihat simbol kebudayaan dan peradaban (civilitation) ibu kota Sriwijaya tersebut. Semiotika sebagai sebuah metode kajian (decoding) menurut Piliang (2004) didefenisikan sebagai ilmu yang mengkaji tanda (sign) sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit, semiotika sangat menyandarkan diri pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Elemen dasar dalam semiotika adalah tanda (penanda/petanda), aksis tanda (sintagma/sistem), tingkatan tanda (denotasi/konotasi) serta relasi tanda (metafora/metonomi). Dalam Semiotika, tanda senantiasa memiliki trikotomi, tiga

(7)

dimensi yang saling terkait yakni representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsikan (perceptible), Objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referential), dan interpretan (I) sesuatu y a n g d a p a t d i i n t e r p r e t a s i k a n (interpretable). Semiotika yang digambarkan dalam tulisan ini tidak akan lebih luas dijabarkan karena fengefektifan bahasan makalah ini.

SIMBOL KOTA DAGANG, KOTA AGAMA DAN KOTA PELAJAR:

SEMIOTIKA ATAS PRASASTI

KEDUKAN UKITB

Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka (682 M) dan merupakan prasasti berangka tahun yang tertua di Indonesia. Terdiri atas sepuluh baris, tertulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno, masing-masing baris berbunyi sebagai berikut:

…. (1) bahagia! Pada tahun saka 605 hari kesebelas, (2) dari bulan terang bulan waisakha dapunta hyang naik (3) di perahu melakukan shiddhayatra. Pada hari ketujuh bulan terang (4) b u la n J y e ts h a d a p u n t a h y a n g berangkat dari minanga (5) tma membawa tentara dua laksa orang (6) dua ratus orang di perahu yang berjalan seribu (7) 312 banyaknya datang di matada… (8) dengan senang hati pada hari kelima dari terang bulan (asada) (9) dengan lega gembira datang membuat wanua (10) sriwijaya m e la k u ka n p er j a l a n a n d e n g a n lengkap…

Sebelum berbicara mengenai makna isi prasasti sebagai sebuah tanda, maka hal pertama yang ingin diuraikan adalah tanda (sign) dari bentuk rupa prasasti ini, prasasti ini bentuknya tidak istimewa, bulat lonjong tanpa ukiran dan ornamen mencolok lainnya. Pemaknaan prasasti Kedukan Bukit melalui proses semiosis dibuat dalam figur dibawah.

Trikotomi pada tataran 1 yang menjadikan tanda adalah ilustrasi bulat lonjong seperti bentuk fisik Prasasti Kedukan Bukit. Tanda ini mempunyai pertalian berupa ikon dengan acuannya, yakni fisik bulat lonjong dalam kenyataannya. Interpretan adalah konsep atau makna bulat lonjong, interpretan itu dapat berkembang menjadi tanda baru pada trikotomi tataran kedua. Pada tataran kedua itu konsep bulat lonjong menjadi tanda baru yang acuannya adalah benda yang bulat lonjong. Pertalian tanda dan acuan merupakan indeks, dengan demikian benda berbentuk bulat lonjong berkembang lagi pemaknaannya menjadi tanda baru pada trikotomi tataran ketiga.

Pada tataran ketiga itu benda berbentuk bulat lonjong merupakan tanda yang acuannya sebuah manikam dalam agama Buddha sebagai reinkarnasi atau kelahiran kembali yang disimbolkan telur. Telur adalah simbol dari dimulainya suatu kehidupan, kehidupan yang berjalan terus menerus. Interpretan telur dapat menjadi tanda baru bagi trikotomi tataran empat. Tanda baru itu acuannya adalah refleksi

129

Acuan Acuan Acuan Acuan Acuan

“Benda” Fisik Fisik Repleksi Gerbang berbentuk berbentuk Telur Lahir

bulat lonjong bulat lonjong

Ikon ndeks Simbol Simbol SimbolI

1 2 3 4 5

Tanda interpretan interpretan interpretan interpretan interpretan

Bentuk fisik konsep berbentuk konsep fisik konsep konsep konsep Bulat lonjong bulat lonjong berbentuk bulat lonjong telur repleksi kelahiran gerbang

tanda tanda tanda tanda tanda

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2

(8)

lahir. Antara tanda dan acuan terjadi hubungan simbol, bahwa bentuk telur merupakan sebuah simbol dari refleksi kelahiran.

Berdasar konsep itulah interpretan pada tataran empat, yakni kelahiran dalam ajaran Buddha memainkan peranan penting, kelahiranlah yang menentukan hidup manusia di muka bumi. Ajaran utama Buddha terletak dalam kewajiban seseorang menjadi Boddhi, maka kewajiban seorang Buddha adalah menjadi Boddhi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam ajaran Buddha ada konsep

samsara dan moksha, hidup itu adalah

samsara, menderita, sehingga manusia

cenderung menjahui sifat keduniawian, untuk itu ia diharuskan menempuh

moksha, hidup di dunia dalam penyiksaan

menjauhi semua kemewahan godaan duniawi. Maka gambaran seorang Buddha hidup dalam biara berkepala gundul, dengan pakaian jubah tanpa jahitan, hidup dengan alat berbentuk tongkat dan piring dengan mencari makan secara mengemis. Jika ia tidak bisa melakukan moksha, ia tidak dapat dapat dan tidak pernah menjadi

Boddhi, yang artinya tidak akan mati

menuju Nirwana, surga adalah pilihan utama. Selama kematian tidak dapat menuntun ia ke Nirwana, ia akan terus berreinkarnasi. Jika dalam kehiduapan duniawi ia bersifat tamak dan rakus, mati dan menemupuh reinkarnasi dalam bentuk lain yang lebih hina, ia hidup kembali dalam wujud binatang tikus, anjing, babi dan binatang hina lainnya. Begitulah seterusnya, sampai ia dapat menjadi seorang .Boddhi

Interpretan keempat dapat menjadi tanda baru bagi trikotomi pada tataran lima. Acuan dari tanda itu adalah gerbang, antara tanda dan acuan terjadi hubungan simbol. Refleksi kelahiran kembali merupakan simbol dari gerbang, maka interpretan dari acuan itu adalah gerbang. Gerbang ini adalah simbol dari kehidupan atau kelahiran manusia di muka bumi menuju kehidupan sorgawi. Interpretan konsep gerbang, dapat dihubungkan dengan tafsir atas materi teks yang ada

dalam Prasasti Kedukan Bukit. Menurut Kurnia Sholhiat (1983), Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah.

Beberapa tafsir lainnya, seperti tafsir tentang proklamasi Sriwijaya berdasar Prasasti Kedukan Bukit oleh Boechari (1979) yang memberikan penafsiran berbeda, bahwa pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga yang terletak di Batang Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri, dengan alasan minanga

= muara = kuala = kuantan. Lalu pada

tahun 682 Dapunta Hyang menyerang Palembang dan membuat kota yang kemudian dijadikan ibukota kerajaannya yang baru. Jadi, pada tahun 682 terjadi perpindahan ibukota Sriwijaya dari Minanga ke Palembang.

K e m u d i a n , M u l y a n a ( 1 9 8 1 ) berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya selamanya beribukota di Palembang dan tidak pernah berpindah-pindah. Isi prasasti Kedukan Bukit tidak ada hubungannya dengan pembuatan Kota Sriwijaya, dan Minanga yang disebutkan dalam prasasti itu hanyalah sebuah daerah taklukan Sriwijaya. Slamet Mulyana melokasikan Minanga di Binanga, yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur.

Ya n g b e r h u b u n g a n d e n g a n interpretan teks penanda di atas, bukan berhubungan dengan kata Minanga, tetapi lebih jauh pada tafsir tentang kata atau ungkapan “marwuat wanua” pada prasasti Kedukan Bukit dengan “membuat kota”, sehingga timbul anggapan bahwa pada tahun 682 Dapunta Hyang datang ke Palemb an g un tuk m emb uat ko ta Sriwijaya. Padahal menurut Pelliot (1934), pada tahun 671 I-tsing telah singgah di Sriwijaya. Ditambahkan olehnya bahwa menurut Hsin-T’ang-shu

(9)

(Sejarah Baru Dinasti Tang), Sriwijaya telah mengirimkan utusan ke Cina pada periode 670-673. Ini artinya, peristiwa “marwuat wanua” tahun 682 itu bukanlah meny at ak an pemben tuk an neger i Sriwijaya.

Kata wanua memiliki arti ganda y a k n i k o t a ( n e g e r i ) d a n r u m a h (bangunan). Dalam beberapa bahasa daerah di Sumatera bagian selatan, sampai sekarang kata wanua berarti “rumah”, sering disingkat menjadi nua atau nuo. Coedes, memberikan arti: wanua pays,=

royaume, forteresse (kota, kerajaan,

rumah pertahanan). Van Ronkel yang mula-mula menerjemahkan prasasti Kedukan Bukit mengartikan wanua dengan fortress (rumah pertahanan).Jadi, kalimat “marwuat wanua” dapat berarti "membuat kota" atau "membuat rumah". Jika kita artikan membuat kota, kita terbentur pada kenyataan bahwa Kota Sriwijaya sudah ada pada tahun 671. Maka s a t u - s a t u n y a p i l i h a n a d a l a h mengartikannya membuat rumah. Pada pecahan prasasti nomor D.161 yang ditemukan di Palembang, de Casparis (1956) yang isinya serupa dengan isi prasasti Kedukan Bukit, tertulis: ... wihara

ini, di wanua ini. Jelaslah bahwa wanua

(rumah) yang dibuat Dapunta Hyang tahun 682 adalah sebuah wihara (rumah peribadatan).

Oleh karena itu, interpretan konsep gerbang dalam pemaknaan bentuk fisik bulat lonjong dari Prasasti Kedukan Bukit, memiliki simbol bagaimana bentuk kota ini pada masa tersebut. Prasasti Kedukan Bukit adalah monumen yang ditempatkan pada pintu gerbang untuk masuk pada bagian ruang utama kota, artinya setiap orang asing yang datang di kota ini disambut dengan monumen gerbang ucapan peringatan akan pembuatan kota ini. Monumen ini diletakkan pada daerah sentra muara Sungai Kedukan yang menghubungkan daratan Bukit Siguntang dan dataran lereng sekitarnya dengan urat nadi utama transportasi, Sungai Musi.

Bukit Siguntang adalah wilayah suci, tempat berdirinya wihara, yang

tertinggal dalam berbentuk bata candi, tinggalan patung, dan arca penanda pentingnya daerah ini pada masa itu. Pada abad ke-9, Bukit Siguntang merupakan pusat belajar agama para pendeta Buddha. Pendeta-pendeta dari Asia berguru ke sini k e p a d a m a h a g u r u S u v a r n a d v i p a Dharmakirti. Daerah lerengnya, mulai dari Padang Kapas hingga Kambang Unglen adalah daerah produksi industri Sriwijaya dengan diketemukannya berbagai macam pecahan prasasti, arca dan keramik.

Prasasti Kedukan Bukit sebagai interpretan atas konsep gerbang kota adalah pengingat bahwa masuk ke kota ini merupakan refleksi atas sebuah kelahiran. Berguru agama ada di Bukit Siguntang dan berdagang di daerah lereng sekitar Bukit Siguntang dari Padang Kapas hingga Kambang Unglen. Setelah masuk ke wilayah ini, mereka seperti dilahirkan kembali, baik sebagai pedagang, tentunya ekonom yang tidak terlalu mementingkan dunia, maupun sebagai pelajar yang mendalami agama Buddha atau keduanya, pedagang yang sambil belajar agama Buddha sekaligus. Lebih jauh dari tafsir semiotika ini, dapat dikatakan Kota

Fo-shih, untuk menyebut Palembang pada

waktu itu, adalah simbol Kota Dagang, Kota Agama dan Kota Pelajar.

SIMBOL KOTA PEMERINTAHAN, KOTA OLITIK SEMIOTIKA ATASP : PRASASTI ELAGA ATUT B

Prasasti Telaga Batu isinya banyak bermuatan persumpahan. Prasasti Telaga Batu, Sabokiking, 2 Ilir, Palembang, menurut F. M. Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-10 Masehi, namun menurut J.F. de Casparis berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Tampaknya, kalau melihat dekonstruksi ini, lebih mendekati ke pendapat Casparis. Hal ini diperkuat oleh pendapat Muljana, yang lebih condong menyebut piagam ini berasal dari abad ke-7. Sabokingking, di mana Telaga Batu terletak menurut Muljana berasal dari kata Sambhongin, artinya tempat yang penuh dengan kesenangan.

131

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2

(10)

Om! Semoga berhasil... kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja..., bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin...(?), kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, k u m a r a m a t y a , c a t a b h a t a , adhikarana...(?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin...(?), dan kamu tukang cuci raja dan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang...(?)...

Tanda (sign) dari bentuk rupa prasasti Telaga Batu dianggap yang paling istimewa bentuk fisiknya. Bentuk fisik prasasti Telaga Batu ini berbentuk telapak kaki di bagian atasnya dihiasi tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan mahkota berupa permata bulat. Lehernya mengembang dengan hiasan kalung. Hiasan ular kobra ini menyatu dengan bidang datar di bagian belakang. Di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat yang biasa dijumpai pada yoni. Pemaknaan Prasasti Telaga Batu melalui proses semiosis dibuat dalam figur di bawah ini:

Trikotomi pada tataran 1 yang menjadikan tanda adalah ilustrasi telapak kaki berhias mahkota tujuh kepala ular kobra dengan ceret bagian bawah seperti bentuk fisik Prasasti Telaga Batu. Tanda ini mempunyai pertalian berupa ikon dengan acuannya, yakni fisik telapak kaki berhias mahkota tujuh kepala ular kobra dengan ceret bagian bawah dalam kenyataannya. Interpretan adalah konsep atau makna telapak kaki berhias mahkota tujuh kepala ular kobra dengan ceret bagian bawah, interpretan itu dapat berkembang menjadi tanda baru pada trikotomi tataran kedua. Pada tataran kedua itu konsep telapak kaki berhias mahkota tujuh kepala ular kobra dengan ceret bagian bawah menjadi tanda baru yang acuannya adalah benda yang piph berbentuk telapak kaki. Pertalian tanda dan acuan merupakan indeks, dengan demikian benda berbentuk pipih telapak kaki berhias mahkota tujuh kepala ular kobra dengan ceret bagian bawah berkembang lagi pemaknaannya menjadi tanda baru pada trikotomi tataran ketiga.

Pada tataran ketiga itu benda berbentuk telapak kaki berhias mahkota tujuh kepala ular kobra dengan ceret bagian bawah merupakan tanda yang Acuan Acuan Acuan Acuan Acuan

“Benda” Fisik Fisik Repleksi kebijakan berbentuk berbentuk telapak pasuh/mangkok wadah

telapak kaki berhias kaki berhias mahkota Tujuh kepala ular Tujuh kepala ular Kobra dengan ceret Kobra dengan ceret bagian bawah bagian bawah

Ikon Indeks Simbol Simbol Simbol 1 2 3 4 5

Tanda interpretan interpretan interpretan interpretan interpretan

Bentuk fisik konsep berbentuk konsep fisik konsep konsep konsep Telapak kaki telapak kaki berhias pasuh pensucian repleksi aturan kebijakan Tujuh kepala ular Tujuh kepala ular

Kobra dengan ceret Kobra dengan ceret Bagian bawah bagian bawah

tanda tanda tanda tanda tanda

(11)

acuannya yang disimbolkan sebuah jejak yang dimuat dan termuat dalam bentuk pasuh atau mangkok. Pasuh atau mangkok adalah simbol dari dimulainya suatu ritual meminum air suci, air yang disucikan. Interpretan pasuh atau mangkok dapat menjadi tanda baru bagi trikotomi tataran empat. Tanda baru itu acuannya adalah refleksi kalaborasi budaya lokal setempat dengan ajaran Buddha. Antara tanda dan acuan terjadi hubungan simbol, bahwa bentuk pasuh atau mangkok merupakan sebuah simbol dari pensucian diri.

Berdasar konsep itulah interpretan pada tataran empat, yakni pensucian diri sebagai manisfetasi dalam ajaran Buddha yang dilakukan dengan budaya setempat memainkan peranan penting, meminum air suci yang diambil dari tetesan tujuh kepala ular kobra, jelas menimbulkan interpresai makna yang luar biasa. Ular kobra adalah binatang melata yang terdapat di Asia, paling banyak ada di India. Ular kobra dalam terminologi budaya setempat, masyarakat Sriwijaya pada waktu itu adalah simbol konstitutif y a n g t e r b e n t u k s e b a g a i s i m b o l kepercayaan-kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari sistem religi yang akhirnya menjadi simbol kognitif dan penilaian moral, pembentuk pengetahuan dan pencipta nilai dan aturan. Kalau kita lihat, ilustrasi purba dari tinggalan megalit di Pasemah, manusia dililit ular, adalah simbol dari konstitutif, kognitif dan penilaian moral seperti itu yang ditafsirkan oleh Munandar (2009) sebagai tanda simbol kejahatan yang harus dihindari.

Interpretan keempat dapat menjadi tanda baru bagi trikotomi pada tataran lima. Acuan dari tanda itu adalah kebijakan atau kebajikan, antara tanda dan acuan terjadi hubungan simbol. Refleksi pensucian diri merupakan simbol dari kebijakan/kebajikan, maka interpretan dari acuan itu adalah kebijakan/kebajikan. Kebijakan/kebajikan ini adalah simbol dari pengolaan hidup manusia di muka bumi dalam rangka persiapan dalam kehidupan sorgawi. Interpretan konsep kebijakan/kebajikan, dapat dihubungkan

dengan tafsir atas materi teks yang ada d a l a m P r a s a s t i T e l a g a B a t u . Kebijakan/kebajikan dalam pengelolahan kehidupan manusia harus diawali dengan keterbentukan lewat sebuah proses kesadaran, dan bukan ketidaksadaran. Ini menjadi penting kalau dikoneksikan dengan persoalan aturan, aturan jelas disusun berdasar kesadaran bersama dalam sebuah gelangang politik yang harus ditegakkan dan dipatuhi bersama. Dalam dunia modern, aturan seperti itu kalau tertulis dikitabkan dalam sebuah undang-undang. Pada masyarakat Sriwijaya waktu itu, kitab undang-undang ini lebih terakumulatif dalam bentuk persumpahan yang berbau magis kutukan.

Menurut rekaan de Casparis dalam Mulyana (1960), ia meragukan kalau Palembang ibukota Sriwijaya, sebab dapatkah masuk akal bahwa kutukan-kutukan ancaman sangat diabadikan justru di ibukota, mungkinkah warga ibu kota sendiri diancam sedemikian oleh rajanya. Tetapi, pada hematnya kutukan dalam bait Prasasti Telaga Batu sebenarnya lebih tepat sebagai bentuk aturan, undang-u n d a n g undang-u n t undang-u k m e n c i p t a k a n kebijakan/kebajikan dalam pengelolaan masyarakat Sriwijaya waktu itu. Selain jalan Buddha lewat pensucian, ritual tradisional lokal sangat kental dalam batu aturan tersebut. Seseorang yang mendapat mandat untuk membuat kebijakan menjadi pemimpin jelaslah harus mensucikan diri lewat ritual minum air dari “pasuh” atau “mangkok”, maka putra raja, bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan raja, hakim, para pemimpin, kepala para buruh, pengawas kasta rendah,

vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana, semuanya harus melewati

ritual minum air suci sebagai bentuk sumpah jabatan dalam mengambil setiap kebijakan seperti dunia modern sekarang ini. Demikian juga pada tingkat bawahan pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, dan para tukang cuci raja dan budak raja semuanya harus mensucikan diri dalam mengambil kebajikan bersama.

Prasasti Telaga Batu sebagai i n t e r p r e t a n a t a s k o n s e p

133

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2

(12)

kebijakan/kebajikan para pemimpin dan yang dipimpin di kota Fo-shih adalah sebagai bentuk monumen aturan yang harus dipatuhi bersama. Landscape Telaga Batu di Sambhongin sebagai sebuah tempat yang penuh dengan kesenangan menggambarkan bagaimana tata kelola sistem pemerintahan kota waktu itu. Boleh dikatakan, tidak ada bukti tentang olusik dan orupsi di pemerintahan Sriwijaya,k sebagai sebuah negara Sriwijaya dapat bertahan cukup lama dan merupakan negara makmur sejahtera, sehingga menjadi pendorong utama Cola dan Majapahit menyerang Sriwijaya. Berdasar tafsir semiotika atas Prasasti Telaga Batu tersebut, Fo-shih, atau Kota Palembang adalah Kota Pemerintahan, ota PolitikK yang bebas dari olusi dan orupsi.k k Komposisi kota masa lampau yang luar biasa seperti itu dapat dilihat juga dari tinggalan di masa kini, dimana pada situs Telaga Batu ditemukannya tinggalan arkeologi berupa struktur bangunan yang dikelilingi oleh parit yang salah satu salurannya bermuara di Sungai Musi. SI M B O L KO T A WI S A T A:

SEMIOTIKA ATAS PRASASTI

TALANG UWOT

Prasasti Talang Tuwo, ditemukan

Prasasti Talang Tuwo oleh pejabat Belanda L.C. Westenenk pada tanggal 17 November 1920 di daerah Talang Tuwo, suatu daerah di ujung sungai Sekanak, di muara sungai Lambidaro utara kota

Fo-shih, sekarang masuk dalam Kecamatan

Talang Kelapa saat itu.

(1) Kebahagiaan! Tahun Saka 606, pada hari kedua bulan terang Caitra, itulah waktu taman Srikestra ini dibuat, (2) milik Dapunta Hyang Srijayanaga. Inilah pesan Dapunta Hyang semuanya yang ditanam di sini, nyiur, pinang, enau, rum (3) bia dan lainnya pohon-pohon itu dimakan buahnya demikian juga tanaman-tanaman lainnya bambu aur, wuluh dan pattum (4) tebat dan telaga yang kubuat semua itu dimaksudkan demi kebahagiaan segenap makhluk, baik yang bergerak maupun tidak bergerak...

Tanda (sign) dari bentuk prasasti Talang Tuwo berbentuk datar segi empat. Pemaknaan Prasasti Telaga Batu melalui proses semiosis dibuat dalam figur dibawah ini:

Acuan Acuan Acuan Acuan Acuan

“Benda” Fisik Fisik Repleksi keadilan berbentuk berbentuk buku/kitab pembelajaran

segi empat segi empat diri

Ikon Indeks Simbol Simbol Simbol 1 2 3 4 5

Tanda interpretan interpretan interpretan interpretan interpretan

Bentuk fisik konsep berbentuk konsep fisik konsep konsep konsep Datar segi empat segi empat berbentuk segi empat buku/kitab repleksi pembelajaran keadilan

diri

tanda tanda tanda tanda tanda

(13)

Trikotomi pada tataran 1 yang menjadikan tanda adalah ilustrasi fisik benda berbentuk datar segi empat. Interpretan itu dapat berkembang menjadi tanda baru pada trikotomi tataran kedua yang memiliki interpretan yang sama dengan trikotomi tataran 1. Pertalian tanda dan acuan merupakan indeks, dengan demikian makna fisik benda ini akan memiliki makna yang sama pada benda yang berbeda, sehingga menjadi tanda baru pada trikotomi tataran ketiga. Pada tataran ketiga itu benda tersebut memiliki acuan simbol dalam bentuk kitab atau buku. Interpretan kitab atau buku dapat menjadi tanda baru bagi trikotomi tataran empat. Tanda baru itu acuannya adalah r e f l e k s i p e m b e l a j a r a n diri/pelajaran/kemuliaan.

Berdasar konsep itulah interpretan pada tataran empat, yakni pembelajaran diri sebagai manisfetasi dalam ajaran B u d d h a s e b a g a i a r e a i l u m i n a s i , pengasingan diri, yoga, dan daerah yang dipilih adalah di daerah yang tenang, tamannya Sriksetra. Interpretan keempat dapat menjadi tanda baru bagi trikotomi pada tataran lima. Acuan dari tanda itu adalah keadilan, antara tanda dan acuan terjadi hubungan simbol. Refleksi pembelajaran diri merupakan simbol dari keadilan. Keadilan ini adalah simbol tertinggi dalam kehidupan manusia Buddha, baik terhadap diri sendiri, orang yang menggantungkan dengan dirinya, atau pun orang lain. Keadilan lebih pada pemenuhan kepentingan orang banyak, di luar kepentingannya sendiri. Interpretan konsep keadilan, dapat dihubungkan dengan tafsir atas materi teks yang ada dalam Prasasti Talang Tuwo.

Keadilan dalam bentuk pemberian materi untuk kesejahteraan orang banyak, membuat gembira banyak orang, diejawantakan dengan pendirian taman dengan segala bentuk doa dan pujian untuk banyak orang. Raja/pembesar yang dapat membangun fasilitas umum untuk b a n y a k o r a n g a d a l a h l a m b a n g kemakmuran dan keberuntungan, taman ini bukan saja untuk dirinya sendiri,

namun terbuka untuk semua orang, bahkan semua makhluk, seperti salah satu bait prasasti ini.. dan semua amal yang“ saya berikan, dapat dipergunakan oleh semua makhluk. Yang dapat pindah” tempat dan tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagian. Piagam Talang Tuwo ini adalah piagam “pranindhana”, piagam pemberian suatu hadiah oleh raja kepada masyarakatnya. Dengan kata lain, Prasasti Talang Tuwo adalah simbol kemakmuran kota Fo-shihsekaligus simbol kota wisata. SIMPULAN

Berdasarkan pemaknaan semiotika atas prasasti-prasasti dari tinggalan arkeologis Kerajaan Sriwijaya, tidak ada yang dapat membantah tentang lokasi pusat, ibu kota Sriwijaya, yakni ada di Kota Fo-shih, Musi, Wijaya, Palembang sekarang ini.

Tiga prasasti yang ada di Kota

Fo-shih ini memperlihatkan timbulnya

berbagai simbol kota ini di masa itu. Interpretan konsep tanda gerbang sebagai acuan dari kelahiran kembali berdasar b e n t u k p r a s a s t i K e d u k a n B u k i t menandakan simbol Kota Dagang, Kota Agama dan Kota Pelajarnya yang dikunjungi banyak orang. Interpretan konsep tanda (sign) kebijakan sebagai acuan refleksi aturan berdasar bentuk prasasti Telaga Batu menandakan simbol Kota Pemerintahan yang bersih. Serta interpretan konsep keadilan berdasar bentuk prasasti Talang Tuwo menandakan simbol Kota Wisata yang makmur dan beruntung. Dengan segala pujian seperti ini, dapat dikatakan bahwa Kota Fo-shih sebagai ibu kota Sriwijaya adalah kota m e t r o p o l i s . A k h i r k a ta , s e mo g a Palembang tetap Jaya, dari masa lampau hingga sekarang.

135

MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2

(14)

DAFTAR USTAKAP

Boechari. 1979. “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”. Pra

Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat

P e n e l i t i a n P u r b a k a l a d a n Peninggalan Nasional, Jakarta. Coedes, George. 1919. “le Royaume de

Crivijaya”,. .B.E.F.E.O. XVIII

Termuat juga dalam Kumpulan Coedes dan L. Ch. Damais. 1989. t e r j . “ K e d a t u a n S r i w i j a y a : Penelitian Tentang Sriwijaya”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ferrand, Grabiel. 1922. L’empire

Sumatranais de Crivijaya. Paris:

Imprimerie Nationale.

Groeneveldt, W.P. 1876. “Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources”,

VBG XXXIX, 1876.

Kern, H. 1913. “Insripties van de Indischen Archipel, Verspeide

Geschriften VI, VII, ’s Gravenhage.

Kurnia Sholihat, Nia. 1983. Kerajaan

Sriwijaya: Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya. Bandung:

Girimukti Pasaka.

Muljana, Slamet. 1960. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS.

Muljana, Slamet. 1981. Kuntala,

Sriwijaya dan Suwarnabhumi.

Jakarta: Yayasan Idayu.

Munandar, Agus Aris. 2007. Simbolisme“ Kepurbakalaan Megalit di Wilayah Pagar Alam, Sumatera Selatan.”

M a k a l a h S e m i n a r N a s i o n a l Peradaban Basemah sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya.

Pagar Alam, Sumatera Selatan. 27 Februari- 1 Maret 2007.

Pilliang, Yasraf Amir. 2004. Semiotika sebagai Metode dalam Penelitian Desain”, dalam Semiotika Budaya. J a k a r t a : P P K B U n i v e r s i t a s Indonesia.

Reid, Anthony. 1995. Wittnesses to

Sumatra: A Travellers Anthology.

New York : Oxford University Press.

Vlekke, Bernard. 2008. Nusantara: A

History of Indonesia. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Surveying the information of total building area of 34 plot of residential districts by the field surveying is used for inversion modelling built from shadow to the total

Melihat dari hasil observasi pada minggu pertama masih kurang baik sehingga perlu dilakukan pengulangan beberapa kali dan setelah dilakukan penggulangan, guru

Pimpinan per usahan dapat mew akilkan kehadir annya selama pr oses pembuktian kualifikasi kepada pengur us per usahaan yang namanya ter cantum dalam akte pendir ian/ per ubahan

Larutan stok dari amlodipine besylate dan atorvastatin kalsium disiapkan setiap hari dengan melarutkan jumlah yang sesuai standar obat pada fase gerak.. untuk menghasilkan

Istana Deli Kejayaan (Honda IDK) Medan Promosi penjualan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan volume penjualan pada PT. Istana Deli Kejayaan (Honda

Menurut Jamilah (1992) , kemiskinan adalah satu sindrom yang melibatkan orang dalam situasi yang dicirikan oleh kekurangan zat makanan dan standard kesihatan

The hypothesis testing is aimed at revealing whether the students who are given teacher‟s written feedback and conference on their writing class will have better writing

Sedangkan menurut Mudjiman ( 1989 ) dan Mai Soni ( 2004 ), dalam Atdjas., C., (2011), jika kondisi media perairan normal dengan salinitas yang rendah < 60 ppt dan