PROPOSAL PENELITIAN DOKTOR BARU
DANA ITS TAHUN 2020
PEMETA Optimalisasi Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Menggunakan Data Envelopment Analysis dan Value Proposition Design Industri Kreatif Di Jawa Timur
Tim Peneliti:
Ketua: Dr.oec. HSG. Syarifa Hanoum, S.T., M.T., CSEP (Manajemen Bisnis/FDKBD) Anggota 1: Geodita Woro Bramanti, S.T., M.Eng.Sc (Manajemen Bisnis/FDKBD)
Anggota 2: Bahalwan Apriyansyah, S.T., MBA. (Manajemen Bisnis/FDKBD) Anggota 3: Anandita Ade Putri, S.T., MBA. (Manajemen Bisnis/FDKBD)
Anggota 4: Siti Lailatul Mukaromah
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
▸ Baca selengkapnya: proposal tahun baru doc
(2)DI JAWA TMBANGA
HALAMAN PENGESAHAN
PROPOSAL PENELITIAN DOKTOR MUDA
DANA LOKAL ITS TAHUN 2020
1. Judul Penelitian : Optimalisasi Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Menggunakan Data Envelopment Analysis dan Value Proposition Design Industri Kreatif di Jawa Timur
2. Ketua Tim
a. Nama : Dr.oec. HSG. Syarifa Hanoum, S.T., M.T., CSEP
b. NIP : 198001062005012005
c. Pangkat/Golongan : Penata / 3D d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Departemen : Manajemen Bisnis
f. Fakultas : Fakultas Desain Kreatif dan Bisnis Digital
g. Laboratorium : Kewirausahaan dan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah h. Alamat Kantor : Departemen Manajemen Bisnis Kampus ITS Sukolilo Surabaya i. Telp /HP /Fax : 031-5994251-55 Ext 1072
3. Jumlah Anggota : 3 orang 4. Jumlah mahasiswa yang terlibat : 1 orang
5. Sumber dan jumlah dana penelitian yang diusulkan a. Dana ITS Tahnu 2020 Rp 50.000.000,-
b. Sumber lain Rp ---
Jumlah Rp 50.000.000,-
Menyetujui Surabaya, 06 Maret 2020
Kepala Departemen Manajemen Bisnis Ketua Tim Peneliti
Dr.oec HSG. Syarifa Hanoum, S.T., M.T Dr.oec HSG. Syarifa Hanoum, S.T., M.T
NIP.198001062005012005 NIP.198001062005012005
Mengesahkan,
Direktur DRPM ITS Ketua Pusat Unggulan ITS Desain
Agus Muhamad Hatta S.T, M.Si, Ph.D Dr. Ir. Bambang Iskandriawan, M.Eng.
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... i
DAFTAR ISI... ii
Ringkasan ... iv
BAB I LATAR BELAKANG ... 1
1.1 Rumusan Masalah ... 1
1.2 Tujuan dan Tahapan Metode Penelitian ... 2
1.3 Urgensi dan Target Luaran Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4
2.1 Industri Kreatif ... 4
2.1.1 Subsektor dalam Industri Kreatif ... 5
2.2 Kontribusi Industri Kreatif Terhadap Peningkatan Ekonomi Daerah ... 7
2.3 Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur ... 8
2.3.1 Permasalahan dalam Pengembangan Industri Kreatif ... 9
2.3.2 Program dan Kegiatan Pengembangan Ekonomi Kreatif 2014-2018 ... 9
2.4 Data Envelopment Analysis (DEA) ... 10
2.4.1 Model DEA CCR (Charnes-Cooper-Rhodes) ... 11
2.4.2 Model DEA BCC (Banker-Charnes-Cooper) dan Scale Efficiency ... 14
2.4.3 Peer Groups ... 15
2.5 Value Proposition Design ... 16
2.5.1 Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) ... 16
2.6 State of Art (Kajian Penelitian Terdahulu) ... 18
2.7 Research Gap ... 21
BAB III METODE ... 23
3.1 Tahap Persiapan ... 24
3.2 Tahap Spesifikasi Model ... 24
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data ... 24
3.2.2 Spesifikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA) ... 24
3.2.3 Spesifikasi Pendekatan Value Proposition Design ... 26
3.3 Implementasi Model ... 27
3.3.2 Penentuan Hasil Analisa SWOT dalam Pendekatan Value Proposition Design ... 30
3.4 Tahap Analisis dan Kesimpulan ... 30
3.4.1 Tahap Analisis Data ... 30
BAB V JADWAL ... 31
5.1 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 31
5.2 Organisasi Tim Peniliti ... 32
REFERENSI ... 33
Lampiran ... 35
Ringkasan
Perekonomian di Provinsi Jawa Timur menunjukkan perkembangan yang positif, ditinjau dari pertumbuhan PDRB hingga tahun 2018. Industri kreatif merupakan salah satu sektor yang berperan aktif dalam membentuk PDRB Jawa Timur. Oleh sebab itu, optimalisasi kinerja industri di berbagai daerah harus selalu menjadi fokus utama bagi pemerintah. Setiap kota/kabupaten memiliki potensi ekonomi yang dapat ditingkatkan melalui pengembangan ekonomi lokal. Pemetaan potensi sektor perekonomian per daerah untuk optimalisasi pembangunan berbasis potensi yang dimiliki perlu dilakukan. Dengan demikian, peningkatan kemampuan daya saing dapat tercapai terutama pada daerah yang memiliki kontribusi PDRB kecil melalui optimalisasi kinerja. Hasilnya adalah untuk mengetahui lokasi industri kreatif yang paling efisien diantara berbagai wilayah di Jawa Timur. Selanjutnya, akan dilakukan perancangan Value Proposition Design (VPD) untuk UMKM Industri Kreatif, khususnya di Jawa Timur. Value Proposisition adalah satu nilai atau konsep yang ditetapkan untuk sebuah usaha berbeda atau memiliki nilai lebih dibanding usaha yang sama. Namun, masih banyak UMKM yang belum memahami pentingnya hal ini. Value Proposition tidak bisa berubah-ubah apabila usaha atau produk kita sudah diterima pasar. Merberubah-ubah value proposition akan membuat segmen pasar kita juga bisa berubah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan potensi sektor-sektor ekonomi industri kreatif di Jawa Timur untuk mencapai keunggulan bersaing. Metode yang digunakan yaitu Data Envelopment Analysis (DEA) dan dilanjutkan dengan perancangan Value Proposition Design dengan penekanan pada lima elemen penting antara lain
fungsionalitas, emosi, ekonomi, simbolis dan nilai akhir. Penelitian ini berfokus pada potensi dan
kinerja tiga subsektor industri kreatif, yaitu kuliner, kriya dan fashion, serta menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik dan Bekraf pada periode tahun 2011-2015. Data dpenunjang lainnya iambil dari studi literatur, penelitian terdahulu dan beberapa sumber data lainnya. Hasil dari penelitian ini adalah pemerataan potensi kinerja industri kreatif dengan Data Envelopment Analysis serta panduan optimalisasi model bisnis dengan menerapkan Value Proposition Design pada pengembangan ekonomi lokal di Jawa Timur.
Kata Kunci : Industri Kreatif; Jawa Timur; Data Envelopment Analysis; Value Proposition Design; Ekonomi Lokal
BAB I
LATAR BELAKANG
Pada bab ini akan dijelaskan uraian latar belakang dan permasalahan yang diteliti, tujuan dan tahapan metode penelitian serta urgensi dan target luaran penelitian.
1.1 Rumusan Masalah
Saat ini pemerintah sedang fokus dalam membuat kebijakan di beberapa sektor yang menyumbang kontribusi besar bagi perekonomian nasional, dengan harapan hal tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang akan berdampak pula pada kesejahteraan masyarakat. Salah satu sektornya adalah industri kreatif sebagai penyumbang Rp 642 triliun atau 7,05% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui Badan Ekonomi Kreatif terus melakukan berbagai upaya peningkatan inovasi bidang perekonomian, (Müller et al., 2009). Salah satu caranya yaitu dengan memperluas pasar produk-produk kreatif Indonesia, baik domestik maupun dengan melakukan penetrasi ke pasar internasional (Febrianto, 2016).
Ditinjau dari nilai ekspor, Jawa Timur merupakan penyumbang tertinggi kedua bagi perekonomian nasional, yaitu sebesar 20,85%. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa potensi bisnis pada industry kreatif masih sangat terbuka lebar bagi pelaku usaha di Jawa Timur. Namun industri kreatif tidak akan bisa berkembang tanpa adanya strategi bisnis yang diterapkan dalam menghadapi para pesaing. Adanya integrase ekonomi melalui free trade area dan mobilitas informasi diseluruh dunia, menjadikan derajat globalisasi yang cukup tinggi dan menyebabkan persaingan bisnis semakin ketat (Yasar, 2010). Salah satu strategi yang harus dipahami dan diterapkan adalah dengan menciptakan produk inovatif yang mudah diterima oleh masyarakat karena adanya daya tarik atau value proposition disbanding produk-produk lainnya. Para pelaku industri kreatif di Jawa Timur dapat melakukan inovasi secara optimal dan dapat mendayagunakan seluruh kemampuan serta keahlian mereka dalam menghasilkan karya baru yang memenuhi kebutuhan masyarakat.
Subsektor industri kreatif terbesar di Jawa Timur didominasi oleh kuliner sebesar 63,99 persen, kriya sebesar 19,87 persen dan fashion sebesar 7,53 persen. Selaras dengan itu, hingga tahun 2016 tercatat bahwa subsektor industri kreatif di Indonesia pun didominasi oleh tiga
subsektor yang sama, yaitu kuliner sebesar 41,40 persen, fashion sebesar 18,01 persen dan kriya sebesar 15,40 persen (Badan Ekonomi Kreatif, 2017b).
Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan potensi industri kreatif di Jawa Timur melalui pemerataan potensi, optimalisasi kinerja industri dan perancangan value proposition. Permasalahan yang timbul adalah belum meratanya potensi sektor perekonomian masing-masing daerah sehingga masih ada beberapa daerah yang memiliki kontribusi PDRB kecil. Oleh karena itu, optimalisasi kinerja per sektor daerah harus ditingkatkan berdasarkan tingkat potensi lokasi di seluruh daerah Jawa Timur dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Value proposition atau nilai manfaat produk atau layanan merupakan acuan pada pernyataan bisnis atau pemasaran yang digunakan pelaku usaha untuk memberikan alasan atau meringkas alasan mengapa konsumen harus membeli produk atau menggunakan pelayanan jasa. Nilai yang kita tawarkan kepada calon pelanggan harus relevan untuk menjelaskan mengapa merek, produk, dan layanan yang kita tawarkan dapat menjadi solusi untuk permasalahan dari calon pelanggan. Value proposition merupakan cara baru dalam memenuhi kebutuhan pelanggan dengan memiliki nilai tambahan dari produk maupun layanan yang ditawarkan kepada pelanggan. Mengapa konsumen harus membeli dan menggunakan produk kita, sedangkan ada banyak sekali produk sejenis di pasaran. Secara praktis value proposition dapat diterapkan dalam membentuk harga yang kompetitif, kualitas produk, menciptakan loyalitas pelanggan dan lain sebagainya. Dengan value proposition yang disediakan, tentu saja kita harus memberikan nilai tambah atau product uniqueness kepada target pelanggan yang tepat.
1.2 Tujuan dan Tahapan Metode Penelitian
Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
Tingkat potensi industri kreatif berdasarkan lokasi seluruh daerah kota/kabupaten di Jawa Timur
Pengaruh pendekatan Value Proposition Design pada industri kreatif terhadap keunggulan kompetitif
Adapun tahapan metode penelitian yang akan dilakukan antara lain sebagai berikut:
Penggunaan model Data Envelopment Analysis (DEA) dengan orientasi input dan output. Merancang Value Proposition Design sebagai pendekatan dalam optimalisasi pengembangan
bisnis industri kreatif di jawa Timur, dengan lima elemen nilai penting antara lain: a. Fungsionalitas
b. Emosi c. Ekonomi d. Simbolis e. Nilai akhir
Data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu data pokok dari badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur dalam rentang waktu tahun 2011-2015 serta data pendukung dari jurnal ilmiah, buku, artikel, penelitian terdahulu, yang berkaitan dengan penelitian ini. Data statistic yang dihimpun oleh bekraf melalui survei kerjasama dengan BPS berupa Survei Khusus Ekonomi Kreatif (SKEK) juga termasuk dalam sumber data sekunder pendukung penelitian ini.
1.3 Urgensi dan Target Luaran Penelitian
Penelitian ini memiliki tingkat urgensi yang relative tinggi mengacu pada beberapa hal berikut, antara lain:
a. Permasalahan dalam pengembangan industri kreatif, berdasarkan Biro Administrasi Perekonomian Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur (2014)
b. Program dan Kegiatan Pengembangan Ekonomi Kreatif 2014-2018
Adapun target luaran penelitian ini adalah publikasi pada jurnal internasional terindeks Scopus berkategori minimal Q2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mencakup tentang uraian konsep dan teori-teori yang menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian. Konsep dasar yang digunakan sebagai kerangka teoritis dalam penelitian ini terkait dengan industri kreatif beserta kontribusinya terhadap pengembangan ekonomi lokal. Metode utama yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA) dan Value Proposition Design (VPD).
2.1 Industri Kreatif
Ada beberapa definisi terkait industri kreatif, diantaranya adalah: a. Menurut Departemen Perdagangan RI (Pangestu, 2008)
Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
b. Menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD, 2008) Industri kreatif merupakan 1) siklus kreasi, produksi, dan distribusi dari barang dan jasa yang menggunakan modal kreatifitas dan intelektual sebagai input utamanya; 2) bagian dari serangkaian aktivitas berbasis pengetahuan, berfokus pada seni, yang berpotensi mendatangkan pendapatan dari perdagangan dan hak atas kekayaan intelektual; 3) terdiri dari produk-produk yang dapat disentuh dan intelektual yang tidak dapat disentuh atau jasa-jasa artistik dengan muatan kreatif, nilai ekonomis, dan tujuan pasar; 4) bersifat lintas sektor antara seni, jasa, dan industri; dan 5) bagian dari suatu sektor dinamis baru dalam dunia perdagangan.
c. Menurut Simatupang (Suryana, 2013)
Industri kreatif adalah industri yang mengandalkan talenta, keterampilan dan kreativitas yang merupakan elemen dasar setiap individu. Unsur utama industri kreatif adalah kreativitas, keahlian dan talenta yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan melalui penawaran kreasi intelektual.
Istilah ekonomi kreatif juga pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama John Howkins yang menulis sebuah buku berjudul, “Creative Economy, How People Make Money from Ideas”. Diungkapkan bahwa ekonomi kreatif dalah kegiatan ekonomi dimana input dan
outputnya adalah sebuah ide/gagasan. Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa industri kreatif adalah sebuah industri yang berasal dari pemanfaatan sebuah kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Di Indonesia, ekonomi kreatif muncul pada tahun 2006 diikuti dengan perkembangan pertumbuhan industri kreatif. Menteri Perdagangan Republik Indonesia tahun 2006 yaitu Dr. Mari Elka Pangestu meluncurkan sebuah program yang bernama Indonesia Design Power (IDP). Program yang digagas ini memiliki tujuan dalam meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar domestik maupun ekspor.
Pada tahun 2008 diterbitkan sebuah buku studi pemetaan industri kreatif di Indonesia. Buku tersebut membahas mengenai potensi dan pemetaan sektor industri kreatif di Indonesia. Tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan sebagai Tahun Indonesia Kreatif dengan penyelenggaraan pameran virus kreatif sebagai salah satu perhelatan acaranya. Pameran virus kreatif ini mencakup keempat belas subsektor industri kreatif, diantaranya adalah periklanan (advertising), arsitektur, pasar barang seni, kerajinan (craft), desain, fesyen (fashion), video film dan fotografi, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak (software), televisi dan radio (broadcasting), riset dan pengembangan (R&D).
Pada tahun 2010, dibuatlah sebuah platform digital untuk para pelaku industri kreatif Indonesia yaitu industrikreatif.net. Platform digital yang dibentuk oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) ini bertujuan untuk mewadahi masyarakat Indonesia sehingga masyarakat dapat turut andil dalam mengetahui perkembangan serta mensukseskan industri kreatif di Indonesia. Tidak hanya itu, pemerintah juga mulai rajin dalam pekerjaan pembuatan data eksportir, importir, para pengusaha, kalangan asosiasi dan para pelaku industri kreatif serta lembaga pendidikan formal dan non-formal. Sekaligus pembuatan cetak biru “Rencana Pengembangan Industri Kreatif Nasional 2025”.
2.1.1 Subsektor dalam Industri Kreatif
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif, subsektor industri kreatif diklasifikasi ulang menjadi 16 subsektor. Definisi dari 16 subsektor tersebut mengacu pada publikasi “Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025, Rencan Aksi Jangka
Menengah 2015-2019, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi”. Klasifikasi 16 subsektor industri kreatif menurut (Badan Ekonomi Kreatif, 2017a), terdiri dari: 1) aplikasi dan game, 2) arsitektur, 3) desain interior, 4) desain komunikasi visual, 5) desain produk, 6) fashion, 7) film, animasi, dan video, 8) fotografi, 9) kriya, 10) kuliner, 11) musik, 12) penerbitan, 13) periklanan, 14) seni pertunjukkan, 15) seni rupa, serta 16) televisi dan radio.
Tabel 3.1 Klasifikasi Subsektor Industri Kreatif Menurut KBLI 2015
No Subsektor industri kreatif Uraian
1 Aplikasi dan Game Suatu media atau aktivitas yang memungkinkan tindakan bermain berumpan balik dan memiliki karakteristik setidaknya berupa tujuan (objective) dan aturan (rules).
2 Arsitektur Wujud hasil penerapan pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni secara utuh dalam mengubah lingkungan binaan dan ruang, sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia, sehingga dapat menyatu dengan keseluruhan lingkungan ruang.
3 Desain interior Kegiatan yang memecahkan masalah fungsi dan kualitas interior; menyediakan layanan terkait ruang interior untuk meningkatkan kualitas hidup; dan memenuhi aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan publik.
4 Desain komunikasi visual Suatu bentuk komunikasi visual yang menggunakan gambar untuk menyampaikan informasi atau pesan seefektif mungkin.
5 Desain produk Layanan profesional yang menciptakan dan mengembangkan konsep dan spesifikasi yang mengoptimalkan fungsi, nilai, dan penampilan suatu produk
6 Fashion Gaya hidup dalam berpenampilan yang mencerminkan identitas diri atau kelompok
7 Film, Animasi, dan Video a. Film
Karya seni gambar bergerak yang memuat berbagai ide atau gagasan dalam bentuk audiovisual, serta dalam proses pembuatannya menggunakan kaidah-kaidah sinematografi.
b. Perfilman
Segala elemen infrastruktur dan suprastruktur yang melingkupi dan berhubungan dengan proses produksi, distribusi, ekshibisi, apresiasi, pendidikan film dan pengarsipan.
c. Animasi
Tampilan frame ke frame dalam urutan waktu untuk menciptakan ilusi gerakan yang berkelanjutan sehingga tampilan terlihat seolah-olah hidup atau mempunyai nyawa.
d. Video
Sebuah aktivitas kreatif, berupa eksplorasi dan inovasi dalam cara merekam (capture) atau membuat gambar bergerak, yang ditampilkan melalui media presentasi, yang mampu
memberikan karya gambar bergerak alternatif yang berdaya saing dan memberikan nilai tambah budaya, sosial, dan ekonomi.
8 Fotografi Sebuah industri yang mendorong penggunaan kreativitas individu dalam memproduksi citra dari suatu objek foto dengan menggunakan perangkat fotografi. 9 Kriya Kerajinan (kriya) merupakan bagian dari seni rupa
terapan yang merupakan titik temu antara seni dan disain yang bersumber dari warisan tradisi atau ide kontemporer.
10 Kuliner Kegiatan persiapan, pengolahan, penyajian produk makanan dan minuman yang menjadikan unsur kreativitas, estetika, tradisi, dan/ atau kearifan lokal 11 Musik Segala jenis usaha dan kegiatan kreatif yang berkaitan
dengan pendidikan, kreasi/komposisi, rekaman, promosi, distribusi, penjualan, dan pertunjukan karya seni musik
12 Penerbitan Daya imajinasi untuk membuat konten kreatif yang memiliki keunikan tertentu, dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar dan/atau audio ataupun kombinasinya. 13 Periklanan Bentuk komunikasi melalui media tentang produk
dan/atau merek kepada khalayak sasarannya agar memberikan tanggapan sesuai tujuan pemrakarsa. 14 Seni pertunjukan Cabang kesenian yang melibatkan perancang, pekerja
teknis dan penampil (performers), yang mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu gagasan kepada penonton (audiences); baik dalam bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan tubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live) di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini (hic et nunc).
15 Seni rupa Penciptaan karya dan saling berbagi pengetahuan yang merupakan manifestasi intelektual dan keahlian kreatif, yang mendorong terjadinya perkembangan budaya dan perkembangan industri dengan nilai ekonomi untuk keberlanjutan ekosistemnya.
16 Televisi dan Radio a. Televisi
Kegiatan kreatif yang meliputi proses pengemasan gagasan dan informasi secara berkualitas kepada penikmatnya dalam format suara dan gambar yang disiarkan kepada publik dalam bentuk virtual secara teratur dan berkesinambungan.
b. Radio
Kegiatan kreatif yang meliputi proses pengemasan gagasan dan informasi secara berkualitas kepada penikmatnya dalam format suara yang disiarkan ke pada publik dalam bentuk virtual secara teratur dan berkesinambungan.
Sumber: (Badan Ekonomi Kreatif, 2017a)
2.2 Kontribusi Industri Kreatif Terhadap Peningkatan Ekonomi Daerah
Industri kreatif ini dapat memberikan kontribusi di beberapa aspek kehidupan, tidak hanya ditinjau dari sudut pandang ekonomi semata, tetapi juga dapat memberikan dampak positif
kepada aspek lainnya (Pangestu, 2008). Beberapa kontribusi positif yang diberikan oleh industri kreatif terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain adalah:
1. Kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2. Menciptakan lapangan pekerjaan
3. Meningkatkan ekspor 4. Meningkatkan iklim bisnis
5. Menciptakan inovasi dan kreativitas
6. Berdampak terhadap pertumbuhan sektor industri lain 7. Berdampak terhadap aspek sosial
8. Berdampak terhadap pelestarian budaya
Oleh karena itu, perlu adanya rangsangan untuk memperkuat jaringan nilai dan hubungan antara faktor sosial dan kelembagaan, serta untuk mempromosikan kebijakan pembangunan lokal berdasarkan pada paradigma baru dengan berfokus pada peningkatan modal sosial kolektivitas manusia, yang terletak di wilayah tertentu.
2.3 Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Timur
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur; serta Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 77 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas dan Fungsi Asisten, Biro, Bagian dan Sub Bagian Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengemban dua peran utama untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Jawa Timur sebagai pelaksana program, yaitu:
a. Berkomitmen untuk membuat program pengembangan, melalui kegiatan-kegiatan dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.
b. Sebagai fasilitator atau koordinator, yaitu perangkat pemerintah daerah yang memfasilitasi perangkat pemerintah lain, pelaku usaha ataupun cendekiawan secara bersama-sama, berkolaborasi dan bersinergi mengembangkan ekonomi kreatif di Jawa Timur.
2.3.1 Permasalahan dalam Pengembangan Industri Kreatif
Dalam mengembangkan industri kreatif, ditemukan beberapa hal yang dapat menghambat dan menjadi masalah, antara lain:
1. Pengembangan industri kreatif belum optimal karena kurangnya daya tarik industri bagi pelaku usaha kreatif, model bisnis yang belum matang serta besarnya risiko persaingan bisnis
2. Kurangnya perluasan dan penetrasi pasar bagi produk kreatif dan apresiasi terhadap kreativitas lokal.
3. Penggunaan teknologi dalam bisnis seperti pembuatan konten digital belum maksimal. Salah satu faktor penyebabnya yaitu tingginya biaya dan minimnya pengetahuan sumber daya manusia terhadap hal tersebut
4. Perlindungan hokum bagi para pelaku bisnis kreatif belum kuat, sehingga masih sering terjadi pembajakan
5. Pengembangan sumberdaya ekonomi kreatif belum optimal, antara lain kelangkaan bahan baku, kurangnya riset, kesenjangan pendidikan dan industri, serta standarisasi atau sertifikasi yang belum merata
6. Minimnya akses pembiayaan pelaku sektor ekonomi kreatif karena masih banyak pelaku bisnis kreatif yang belum bankable, high risk return dan lain lain. (Biro Administrasi Perekonomian Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, 2014).
2.3.2 Program dan Kegiatan Pengembangan Ekonomi Kreatif 2014-2018
Berdasarkan Biro Administrasi Perekonomian Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur (2014), akan dilakukan beberapa tahapan utama agar kegiatan bisnis industri kreatif berjalan secara terarah dan mencapai sasaran, antara lain sebagai berikut:
1. Good Data and Information
Fokus kegiatan adalah kepada penyempurnaan kualitas dan diseminasi informasi mengenai industri kreatif. Maka yang perlu dilakukan adalah kajian komprehensif, pembangunan database, serta sistem informasi yang memadai
2. Service Excellence
Setelah sistem informasi telah dikembangkan, maka keberhasilan pelayanan yang sempurna dapat diberikan dengan standard operating procedure yang disosialisasikan
secara berkelanjutan kepada pemangku kepentingan serta dukungan adanya peraturan-peraturan daerah dalam pertumbuhan industri kreatif.
3. High Productivity
Kegiatan ini berfokus pada terciptanya stabilitas permintaan pasar, peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha.
4. Branding and Design Excellence
Fokus kegiatan ini adalah menciptakan inovasi produk dengan desain-desain baru. Serta agar produk industri kreatif Jawa Timur selalu diminati oleh masyarakat, perlu dilakukan branding secara intensif. Fungsinya agar terbentuk keunggulan produk dibanding produk pesaing, salah satunya dengan adanya value proposition.
2.4 Data Envelopment Analysis (DEA)
DEA merupakan metodologi non-parametrik yang didasarkan pada linear programming dan digunakan untuk menganalisa fungsi produksi melalui suatu pemetaan frontier produksi (Andersen & Petersen, 1993). Aplikasi model DEA sering digunakan pada pengukuran berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan berbagai kegiatan operasional (Cooper et al, 2002).
Pertama kali dikenalkan oleh Charnes et al, (1978), model DEA telah banyak dikutip dalam berbagai tulisan, salah satunya Bowlin (1999) dengan kondisi return to scale yang berasumsi bahwa setiap DMUs telah beroperasi pada skala optimal. Metode ini didesain untuk mengevaluasi performansi relatif antar Decision Making Units (DMUs). DMU merupakan unit-unit analisis sebagai entitas yang bertanggungjawab mentransformasikan input menjadi output (Hanoum, 2004).
Penggunaan model DEA sebagai peringkat untuk mengukur efisiensi kinerja memiliki beberapa keunggulan dibandingkan model lainnya (Bhat, 1997), antara lain:
1. Dapat mengakomodasi banyak input dan output
2. Tidak memerlukan asumsi dari bentuk fungsional tertentu dalam hubungan input dan output
3. Mengakomodasikan input dan output dalam banyak dimensi yang berbeda
4. Melakukan perhitungan efisiensi untuk tiap unit organisasi. Untuk metode parametrik dengan rataan statistik dari semua unit
Terdapat beberapa istilah yang terkait dengan DEA, antara lain: (Rickard, 2003) a. Decision Making Units (DMUs)
DMUs biasanya berupa cabang perusahaan, kantor bisnis, divisi perusahaan, kelompok produk, anak perusahaan, tim kerja, dan sebagainya. Asumsi dasar terhadap DMU yang tidak efisien bergantung pada keputusan yang diambil dari unit itu sendiri. Perlu dilakukan perhitungan terhadap seseorang efisiensi koefisien untuk setiap DMU yang diselidiki. Koefisien ini mewakili jumlah output tertimbang DMU relatif terhadap input tertimbangnya. Itu koefisien efisiensi memiliki nilai antara nol dan satu.
Dengan menggunakan model optimasi pembobotan variable dapat menghasilkan koefisien efisiensi setinggi mungkin untuk masing-masing DMUs. DMUs yang paling efisien adalah unit optimal sesuai dengan kriteria Pareto-Koopmans. Oleh karena itu, DMUs paling efisien berfungsi sebagai standar perbandingan atau tolok ukur untuk DMU lainnya.
b. Efisiensi Teknis
Efisiensi teknis berhubungan dengan produktivitas. Selain itu, berkaitan pula dengan input dan output. Efisiensi teknis menunjukkan ada atau tidaknya pemborosan faktor input (yaitu DMU menghasilkan terlalu sedikit output untuk jumlah input yang diberikan). Jika ditemukan adanya pemborosan input, maka dilihat sejauh mana pemborosan tersebut dilakukan. DMUs dapat dikatakan efisien secara teknis, jika dapat mencapai tingkat output yang diharapkan dengan jumlah input yang lebih kecil. c. Slacks
Istilah ini artinya membandingkan nilai efisiensi teknis dari berbagai DMU dengan mengungkapkan dua aspek, baik input yang berlebihan maupun produksi yang kurang. Slacks berkaitan dengan DMUs yang tidak efisien. Dengan demikian, slacks menunjukkan peningkatan potensial.
2.4.1 Model DEA CCR (Charnes-Cooper-Rhodes)
Model CCR ini pertama kalinya ditemukan oleh Charnes et al. (1978). Pada model ini diperkenalkan suatu ukuran efisiensi untuk masing-masing decision making unit (DMU) yang merupakan rasio maksimum antara output yang terbobot dengan input yang terbobot. Masing-masing nilai bobot yang digunakan dalam rasio tersebut ditentukan dengan batasan bahwa rasio
yang sama untuk tiap DMU harus memiliki nilai yang kurang dari atau sama dengan satu. Dengan demikian akan mereduksi multiple inputs dan multiple outputs ke dalam satu virtual input dan virtual output tanpa membutuhkan penentuan awal nilai bobot. Oleh karena itu ukuran efisiensi merupakan suatu fungsi nilai bobot dari kombinasi virtual input dan virtual output.
Model primal DEA yang pertama digunakan, dikenal dengan model constant return to scale (CRS) yang berasumsi bahwa setiap DMUs telah beroperasi pada skala optimal Charnes et al. (1978). Model awal yang digunakan, dikenal dengan rasio CCR, merupakan persamaan non linier (2.2) : Max
i i in j jn j n vx y u h s.t (3.1) Notasi yang umum digunakan dalam model DEA adalah :Indeks :
n = DMUs, n = 1, . . ., N j = output, j = 1, . . ., J i = input, i = 1, . . ., I Data :
yjn = nilai dari output ke-j dari DMU ke n
xin = nilai dari input ke-i dari DMU ke n
= angka positif yang kecil Variabel :
uj , vi = bobot untuk output j, input i ( )
Hn = efisiensi relatif DMUn
Persamaan (2.2) merupakan persamaan non linear atau persamaan linear fraksional, yang kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk linear sehingga dapat diaplikasikan dalam persamaan linear (2.3) : Max
j j jn n u y h 1
i i in j j jn x v y u i j v u ,s.t.
i in ix v 1 (3.2) Sasaran persamaan (3.1) dan (3.2) adalah untuk menemukan jumlah terbesar dari output yang dibobotkan dari DMUn, dengan menjaga jumlah dari input yang dibobotkan pada suatu nilai dan agar rasio antara output yang dibobotkan dengan input yang dibobotkan, dari semua DMUs, kurang dari atau sama dengan satu.Nilai efisiensi teknis dalam DEA tidak hanya mengidentifikasi unit yang tidak efisien, tapi juga derajat ketidakefisiensiannya. Analisis ini menjelaskan bagaimana unit yang tidak efisien agar menjadi efisien dengan memberikan presentase penurunan input (input-oriented DEA) untuk memproduksi output yang sama atau memberikan presentase penambahan output (output-oriented DEA) untuk sejumlah input yang sama seperti pada persamaan 3.3.
Input-Oriented Output-Oriented Min s.t. (2.4) Max s.t. (3.3) Variabel :
θn = efisiensi relatif DMUn
ISi , OS j = slack dari input i, output j ( 0)
n = bobot DMUn ( 0) thd DMU yg dievaluasi
DMUs dikatakan tidak efisien apabilai nilai n kurang dari satu dan salah satu nilai slack
mungkin positif. DEA mengidentifikasi peer groups untuk DMUs yang tidak efisien dengan tujuan meningkatkan produktivitasnya (Avkiran N. K., 2000). Peer groups dari DMUs yang tidak efisien didefinisikan sebagai kumpulan DMUs yang akan mencapai total skor 1 bila menggunakan resources dengan bobot yang sama.
Beberapa studi yang menggunakan pendekatan DEA, memanfaatkan indikator peer groups untuk menentukan obyek benchmarking operasionalisasi program-program peningkatan efisiensi, salah satunya kasus produktivitas 10 Bank di Australia (Avkiran, 2000). Semakin besar
n jo j n jn OS y y 0
n io i n n in x IS x 0 , , i j n IS OS
i i j j n ( IS OS ) 0 0
n jo j n jn n OS y y
n io i n in IS x x 0
i j j i n ( IS OS ) 0 , , i j n IS OS 0
i in i j jn jy vx u i j v u ,bobot peer, semakin besar prioritas preferensi memilih peer tersebut sebagai obyek benchmarking karena memiliki karakteristik operasional yang hampir sama.
Selain rekomendasi peer groups, Output-Oriented DEA memberikan estimasi target peningkatan efisiensi untuk DMUs yang tidak efisien berupa nilai peningkatan output yang secara matematis dirumuskan pada persamaan berikut:
i ino ino x IS x' (3.4) j jno jno
y
OS
y
' *
(3.5)Sedangkan pendekatan lainnya, yaitu Input-Oriented DEA memberikan target berupa nilai penurunan input.
2.4.2 Model DEA BCC (Banker-Charnes-Cooper) dan Scale Efficiency
Menurut Singh et al. (2000), model constant return to scale (CRS) memiliki asumsi bahwa semua DMUs beroperasi pada skala optimal. Namun, kompetisi yang tidak sempurna, keterbatasan dana, dan sebagainya menyebabkan DMUs tidak dapat berkompetisi pada skala optimal. Sehingga, Banker et al. (1984) menyarankan pengembangan model DEA-CRS dalam situasi variable return to scale (VRS). Agar variabel return terskala, maka perlu ditambahkan kondisi convexity bagi nilai-nilai bobot λ, yaitu dengan memasukan dalam model di atas batasan berikut:
n
n 1
(3.6)Penggunaan spesifikasi CRS dimana DMUs sebenarnya tidak beroperasi pada skala optimal, akan mengakibatkan ukuran technical efficiency (TE) dikalahkan oleh scale efficiency (SE). Dengan kata lain, nilai technical efficiency (TE) yang diperoleh dari formulasi DEA-CRS (TECRS) dapat didekomposisikan ke dalam dua komponen, yaitu: ‘pure’ technical efficiency (TEVRS) dan scale efficiency (SE).
Nilai-nilai efisiensi pengukuran kinerja BCC disebut nilai efisiensi teknis murni (pure technical efficiency), hal ini terkait dengan nilai-nilai yang diperoleh dari model yang memperbolehkan variabel return terskala, sehingga skala yang ada dapat tereliminasi. Secara umum nilai efisiensi CCR untuk tiap DMU tidak akan melebihi nilai efisiensi BCC, yang
memang telah jelas secara intuitif karena model BCC menganalisis tiap DMU secara lokal daripada secara global.
Sumber: (Hanoum, 2002)
Gambar 3.1 mengilustrasikan contoh 1 input dan 1 output dan penggambaran pembatas CRS dan VRS. Nilai TECRS ditunjukkan oleh jarak APC, sedangkan TEVRS ditunjukkan oleh jarak APV.
Perbedaan PPC dan PPV dinyatakan sebagai SE = APC/APV, sehingga dapat diekspresikan ke dalam persamaan matematis ini:
VRS CRS
TE TE
SE (3.7)
Apabila nilai TECRS sama dengan nilai TEVRS maka nilai SE akan sama dengan satu. Namun jika nilai SE lebih dari satu, hal itu merupakan indikasi bahwa DMU tersebut mempunyai scale inefficiency. Apabila TEVRS > SE maka perubahan efisiensi (baik peningkatan maupun penurunan) dipengaruhi oleh efisiensi teknis murni. Namun, apabila TEVRS < SE maka perubahan efisiensi lebih disebabkan oleh perkembangan scale efficiency (Worthington A. , 1999).
2.4.3 Peer Groups
Menurut Nugroho et al., (2011), peer group digunakan untuk menentukan DMU yang akan menjadi acuan bagi DMU yang tidak efisien dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensinya (perbaikan efisiensinya). Beberapa DMUs dengan tingkat efisiensinya masih relatif rendah dapat diperbaiki dengan mengacu pada DMUs lainnya yang relatif lebih efisien. Penetapan target input
y 0 x P PC PV A CRS VRS
maupun output perbaikan dapat dihitung dengan mengalikan bobot peer group dengan input maupun output DMU yang dijadikan acuan.
2.5 Value Proposition Design
Menurut Osterwalder dan Pigneur (2010), proposisi nilai diartikan sebagai kumpulan produk dan jasa yang memberikan nilai kepada segmen pelanggan yang spesifik. Desain proposisi nilai merupakan penerapan dari value proposition canvas yang merupakan alat untuk membantu menciptakan value untuk pelanggan. Elemen ini merupakan bagian dari Business Model Vanvas. Terdapat sebelas elemen dalam pembuatan value proposition, yaitu newness, performance, customization, getting the job done, design, branding, price, cost reduction, risk reduction, accessibility dan convenience/usability.
Lund and Nielsen (2014) mengatakan bahwa bisnis start-up sering memiliki gambaran yang sangat buruk terhadap hubungan antara kegiatan yang dilakukan, sumber daya yang diperlukan, dan cara melibatkan mitra dalam model bisnis mereka serta dalam penetapan value proposition. Oleh karenanya, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut terhadap perancangan value proposition bagi pengembangan model bisnis industri kreatif di Jawa Timur.
2.5.1 Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)
Evaluasi yang akan dilakukan menggunakan pendekatan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) agar dapat mengidentifikasi berbagai faktor berdasarkan logika untuk memaksimalkan kekuatan dan peluang. Secara bersamaan, hal ini juga dapat meminimalisir kelemahan dan ancaman (Rangkuti, 2015).
Pendekatan SWOT pada value proposition memungkinkan penilaian dan evaluasi yang terfokus (Osterwalder dan Pigneur, 2010). Hasil evaluasi diharapkan mampu meningkatkan kekuatan kompetitif bagi perkembangan dan optimalisasi industri kreatif di Jawa Timur.
Osterwalder dan Pigneur (2010) menggunakan analisis SWOT pada elemen value proposition untuk melakukan penilaian dan evaluasi yang terfokus pada aspek berikut ini:
a. Strength atau kekuatan
Value proposition produk dan model bisnis selaras dengan kebutuhan pelanggan Value proposition bisnis memiliki dampak jaringan yang luas
b. Weakness atau kelemahan
Value proposition produk dan model bisnis tidak sejalan dengan kebutuhan pelanggan Value proposition bisnis tidak memiliki dampak jaringan yang luas
Pemilik bisnis sering menerima keluhan c. Opportunity atau peluang
Bisnis dapat menghasilkan pendapatan berulang Bisnis dapat menentukan kebutuhan pelanggan
Bisnis dapat menentukan pelengkap atau perluasan nilai d. Threat atau ancaman
Ketersediaan produk substitusi
Pesaing menawarkan ancaman dengan harga atau nilai yang lebih baik
Analisis SWOT dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif melalui matrix. Analisis SWOT merupakan suatu metode untuk melihat kinerja usaha dengan menentukan kombinasi faktor internal dan eksternal. Analisis SWOT dengan pendekatan kuantitatif menggunakan tiga langkah perhitungan (Rangkuti, 2006), yaitu pemberian skor pada masing-masing faktor, dilanjutkan dengan pembobotan faktor-faktor tersebut dengan urutan berdasarkan tingkatan. Langkah kedua melakukan pengurangan pada faktor internal yaitu total strength dikurangi total weakness (d = S – W), kemudian dilakukan pengurangan pada faktor eksternal yaitu total Opportunity dikurangi jumlah total Threat (e = O – T).
Perolehan angka (d = x) selanjutnya menjadi titik sumbu X, selanjutnya perolehan angka (e = y) menjadi titik sumbu y. Langkah terakhir yaitu mencari titik sumbu (X,Y) pada kuadran SWOT sebagai berikut:
Untuk analisis SWOT dengan pendekatan kualitatif menggunakan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dimasukkan kedalam matriks yang disebut matriks faktor IFAS (Internal Strategic Factor Analysis Summary). Faktor eksternal dimasukkan kedalam matriks yang dinamakan matriks faktor eksternal atau EFAS (External Strategic Factor Analysis Summary). Setelah matriks faktor strategi internal dan eksternal disusun, hasilnya dimasukkan kedalam model kualitatif yaitu matriks SWOT. Tujuannya adalah untuk merumuskan strategi kompetitif bisnis.
2.6 State of Art (Kajian Penelitian Terdahulu)
Pada sub bab ini akan dilakukan review terhadap beberapa penelitian sebelumnya untuk perspektif penelitian ini selain dari kajian teori yang telah dijelaskan. Keterkaitan penelitian terdahulu dengan penelitian ini akan disampaikan dalam tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2 Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu
Referensi Tujuan Penelitian Metode Analisis Data Hasil Penelitian Keterkaitan dengan Penelitian ini Gunawan, A., Katili,
P. B., dan Lestari, M. (2017). Pemetaan potensi industri kreatif unggulan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Studi kasus industri kreatif di Kota Cilegon). Industrial Services Vol. 1 No. 1b
Melakukan pemetaan (roadmap) terhadap industri kreatif berdasar ke 15 subsektor yang telah ditentukan Departemen Perdagangan Republik Indonesia dan memetakan industri kreatif yang diunggulkan di kota Cilegon untuk memaksimalkan potensi industri kreatif dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota Cilegon.
Data Envelopment Analysis (DEA) dan Shift-share
Pertumbuhan ekonomi kota Cilegon lebih cepat dibanding provinsi Banten, industri kreatif memiliki kontribusi nyata dan signifikan. Berdasar tingkat efisie nsinya subsektor industri kreatif yang diunggulkan di kota Cilegon adalah kerajinan dan
fashion.
Mengambil objek penelitian yang sama. Sehingga, variabel
input dan output yang digunakan hampir sama. Namun, pada penelitian ini ditambahkan satu variabel
input (biaya tenaga kerja) yang
menjadi pembeda.
Atmanti, H. D. (2004). Analisis Efisiensi dan Keunggulan
Kompetitif Sektor Industri Manufaktur di Jawa Tengah Sebelum dan Selama Krisis.
Dinamika
Pembangunan Vol. 1 No.1/Juli , 1-16.
Menganalisis efisiensi industri manufaktur di Jawa Tengah dan menganalisis keunggulan kompetitif dari suatu wilayah
Data Envelopment Analysis (DEA) dan Shift-share
Sebagian besar industri manufaktur di Jawa Tengah adalah efisien. Tetapi masih terdapat dua industri manufaktur yang belum efisien, yaitu pengolahan kayu, bambu, rotan, termasuk mebel dan pengolahan bahan kimia. minyak, batubara, karet, dan produk plastik.
Menggunakan enam variabel biaya input yang sama, sedangkan terdapat perbedaan pada variabel output yang digunakan dalam model DEA (dapat dilihat dari sub bab selanjutnya terkait variabel yang digunakan).
Pada penelitian ini, menganalisis efisiensi kinerja pada sektor industri kreatif.
Tabel 3.2 Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu
Referensi Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian Keterkaitan dengan Penelitian ini Müller, K., Rammer, C.,
& Trüby, J. (2009). The role of creative industries in industrial innovation. Innovation, 11 (2), 148-168.
Lund, M. & Nielsen, C. 2014. The Evolution of Network-based Business Models Illustrated
Through the Case Study of an Entrepreneurship Project. Journal of Business Models, 105– 121.
Menganalisa peran industri kreatif dan hubungannya terhadap optimalisasi dalam inovasi untuk mengusung peningkatan ekonomi lokal
Membuat framework untuk memahami dan menganalisa value configuration dan struktur kemitraan antara lain network-based business model serta dalam penetapan value proposition. Pendekatan Value Proposition Design Pendekatan Value Proposition pada penerapan Network Based Business Model.
Hasil survei dari lebih 2000 industri kreatif bahwa sektor tersebut yang paling inovatif dalam perekonomian, dari beberapa aspek seperti creative inputs
seperti ideas for new products, supplementary products and service of marketing support for product innovations.
Network-Based Business Model dan
struktur relasi yang memiliki dampak terhadap pengembangan mitra bisnis.
Melakukan berbagai upaya peningkatan inovasi di bidang perekonomian nasional
Melakukan evaluasi lebih lanjut terhadap perancangan value proposition bagi pengembangan model bisnis industri kreatif
2.7 Research Gap
Beberapa penelitian terdahulu telah membahas potensi sektor ekonomi dan kinerja industri memiliki persamaan dan perbedaan yang mendasari dasar penelitian ini. Pada penelitian sebelumnya, terdapat dua penelitian yang menggunakan metode analisis Data Envelopment Analysis (DEA) untuk mengukur efisiensi kinerja suatu industri di Indonesia yang dilakukan oleh Gunawan et al., (2017) dan Atmanti (2004) yang dijadikan referensi untuk penelitian ini. Kemudian, beberapa penelitian terdahulu dengan penggunaan pendekatan Value Proposition untuk meningkatkan nilai tambah produk industri kreatif oleh Müller, K., Rammer, C., & Trüby, J. (2009). dan Lund, M. & Nielsen, C. (2014).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Gunawan et al., (2017) adalah tujuannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi kinerja industri kreatif di berbagai daerah (Kota/Kabupaten) di Jawa Timur. Perbedaan dengan penelitian Atmanti (2004) sebelumnya terdapat pada fokus objek penelitian yang dipilih yaitu industri kreatif di Jawa Timur. Penelitian ini berfokus pada pemetaan potensi sektor unggulan dan efisiensi kinerja industri kreatif di Provinsi Jawa Timur karena tingkat potensi sektor unggulan dan tingkat efisiensi kinerja akan berbeda antar daerah dilihat dari kondisi dan karakteristik masing-masing daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi lokal Jawa Timur.
Gunawan et al., (2017)
Pemetaan potensi industri kreatif untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Studi kasus industri kreatif
di Kota Cilegon)
Atmanti H.D., (2004) Analisis Efisiensi dan Keunggulan Kompetitif Sektor Industri Manufaktur
di Jawa Tengah (Sebelum dan Selama Krisis)
Müller, K., Rammer, C., & Trüby, J. (2009). Analisis peran industri kreatif dan hubungannya terhadap optimalisasi dalam inovasi untuk mengusung peningkatan ekonomi lokal
Lund, M. & Nielsen, C. 2014.
Rancangan framework untuk memahami dan menganalisis value configuration dan struktur
kemitraan antara lain network-based business model serta dalam
penetapan value proposition.
Penelitian ini:
Optimalisasi Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Menggunakan Data
Envelopment Analysis dan Value Proposition Design Industri Kreatif
Di Jawa Timur
BAB III METODE
Penelitian ini dilakukan berdasarkan empat tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap spesifikasi model, tahap implementasi model, serta tahap analisis dan kesimpulan (Lihat Gambar 4.1.)
Gambar 4.1 Flowchart TAHAP SPESIFIKASI MODEL TAHAP ANALISIS DAN KESIMPULAN TAHAP IMPLEMENTASI MODEL Pengumpulan data
Value Proposition Design
- Analisis SWOT
Model DEA
- Penentuan DMUs - Penentuan variabel
input dan output
- Penentuan TE dan SE
Interpretasi dan analisis data
Kesimpulan Saran Selesai Identifikasi dan perumusan masalah Studi literatur Tujuan penelitian Mulai TAHAP PERSIAPAN Tidak - Analisis SWOT - Rancangan VPD - Perhitungan TE (CRS dan VRS) - Perhitungan Penentuan efisiensi DMUs Penentuan Peer Groups Penentuan target peningkatan Optimalisasi Potensi Kinerja Tiap
Daerah (Kota/Kabupaten) Industri Kreatif
3.1 Tahap Persiapan
Pada tahap ini, dilakukan identifikasi dari permasalahan yang ada dan merumuskannya menjadi sebuah pokok permasalahan penelitian. Beberapa studi literatur juga dikaji untuk mendefinisikan tujuan penelitian dengan tepat dan sesuai konteks keilmuan, yang berkaitan dengan pengembangan potensi industri kreatif dan optimalisasi ekonomi lokal di Jawa Timur. Tujuan penelitian diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dan penelitian terdahulu yang sudah dijelaskan pada rumusan masalah.
Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan output-oriented DEA yang mengukur efisiensi teknis sebagai peningkatan proporsi potensi industri (output). Lalu dilanjutkan dengan metode pendekatan Value Proposition dengan analisa SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threats) yang mengacu pada Business Model Canvas. Diharapkan hasil akhir dari keduanya menjadi suatu rekomendasi yang relevan.
3.2 Tahap Spesifikasi Model
Pada tahap ini, dilakukan penyesuaian model penelitian serta membahas teknik pengumpulan data, yaitu Data Envelopment Analysis (DEA) dan Value Proposition Design (VPD).
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang berasal dari jurnal, buku, majalah, artikel dan data lain-lain yang telah dipublikasikan, yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder terbagi menjadi dua, terdiri dari data pokok dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2015 dan Badan Ekonomi Kreatif. Kemudian, ditambahkan lagi dengan data pendukung dari referensi lainnya, termasuk Survei Khusus Ekonomi Kreatif (SKEK) dan sumber data ilmiah lain-lainnya.
3.2.2 Spesifikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA)
Sesuai dengan orientasinya, model DEA terklasifikasi menjadi dua, yaitu orientasi input dan orientasi output. Orientasi ini tergantung pada control manajemen atau pengguna model DEA, baik dari segi input atau output yang dimiliki unit tersebut. Berorientasi pada input apabila manajemen memiliki keterbatasan control pada output atau tidak ada keterkaitan sama sekali antara input dan outputnya. Sedangkan, akan berorientasi pada output apabila unit telah memiliki input yang memadai, sehingga manajemen unit tersebut hanya akan focus pada output dan strategi pengembangannya. Apabila sebuah organisasi secara teknis tidak efisien dari perspektif yang berorientasi pada input, maka juga akan tidak efisien dari perspektif yang berorientasi output.
Gambar 4.2 Klasifikasi Model DEA Sumber: (Ozcan, 2014)
Model CRS (Constant Returns to Scale) yang dikemukakan oleh Charnes et al. (1978) serta model VRS (Variable Returns to Scale) yang dikembangkan oleh Banker et al. (1984) dari model pendahulunya merupakan dasar hubungan antara variabel input dan output. Model CRS diartikan bahwa penambahan terhadap faktor produksi (input) tidak berdampak pada tambahan produksi (output). Sedangkan model VRS akan memperlihatkan bahwa penambahan faktor produksi (input) akan memberikan peningkatan ataupun penurunan kapasitas produksi (output).
Faktor-faktor yang akan digunakan dalam perhitungan analisis model DEA adalah variabel output dan input, serta Decision Making Units (DMUs). Langkah-langkah awal yang dapat dilakukan adalah mendefinisikan konsep variabel input, output dan DMUs.
1. Penentuan Decision Making Units (DMUs)
Yang dimaksud dengan Decision Making Unit (DMUs) adalah semua unit yang akan dianalisis pada penelitian ini. Penentuannya berdasarkan jumlah subsektor industri pengolahan yang berfokus pada tiga subsektor industri dengan kontribusi dominan di Jawa Timur, yaitu kuliner, fashion dan kriya
2. Menentukan variabel input dan output a. Variabel input
Untuk menghasilkan suatu output, diperlukan variabel input sebagai besaran sumber daya. Penelitian ini menggunakan empat variabel input, meliputi jumlah usaha, jumlah tenaga kerja, biaya input dan biaya tenaga kerja. Dalam penelitian ini, variabel input ditentukan berdasarkan komponen penting statistik Industri Besar dan Sedang (IBS) menurut KBLI 2 Digit di Jawa Timur pada tahun 2011-2015. b. Variabel output Orientation Input Output CCR [CRS] CCR [CRS] BCC [VRS] BCC [VRS] CCR Input CCR Output BCC Input BCC Output
Variabel output penelitian ini yaitu PDRB industri kreatif Provinsi Jawa Timur. PDRB digunakan sebagai variabel output karena PDRB menjadi salah satu indicator pengukuran kegiatan ekonomi suatu wilayah. PDRB harga berlaku menunjukkan kemampuan sumber daya yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya yang besar, begitu juga sebaliknya (Badan Pusat Statistika, 2018).
Ketersediaan data sangat menentukan pemilihan variabel input dan output dalam DEA (Alfonso, 1981). Selain itu, tidak ada aturan baku dalam menentukan input dan output dalam menggunakan DEA.
3.2.3 Spesifikasi Pendekatan Value Proposition Design
Value Proposition atau nilai tambah dari suatu produk atau jasa dilakukan sebagai strategi optimalisasi potensi industri kreatif di Jawa Timur, dengan penekanan bahwa setiap produk atau jasa yang diberikan kepada pelanggan haruslah memiliki keunikan dan keunggulan yang dapat diterima oleh masyarakat.
Menurut Kerin et al. (2013), value proposition dapat memberikan manfaat dan menciptakan nilai untuk pembeli yang ditargetkan. Elemen-elemen penting yang mampu mendorong terciptanya value proposition dijelaskan pada Tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1 Elemen-Elemen Value Proposition
Analisis SWOT pada elemen value proposition adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui faktor internal (kekuatan dan kelemahan), serta faktor eksternal (peluang dan ancaman) pada value proposition yang didapat dari hasil identifikasi internal. Kecocokan tersebut akan diklarifikasikan menjadi empat jenis yaitu strength, weakness, opportunity, dan threat.
3.3 Implementasi Model
Pada tahap ini akan dilakukan pengolahan data terhadap struktur model yang digunakan dalam penelitian (DEA dan VPD).
3.3.1 Benchmarking dengan Data Envelopment Analysis (DEA)
Perhitungan efisiensi kinerja industri kreatif dalam perekonomian daerah Provinsi Jawa Timur menggunakan model Output-Oriented DEA. Model ini berfungsi untuk mengukur efisiensi teknis dalam peningkatan proporsi terhadap output.
a. Technical Efficiency (TE)
Nilai efisiensi (Technical Efficiency,TE) dihitung dengan model matematis DEA berdasarkan constant return to scale (TECRS) dengan asumsi bahwa semua DMUs beroperasi dalam skala optimal (optimal scale). Setelah dilakukan perhitungan efisiensi, maka akan diketahui DMU mana yang dianggap efisien maupun inefisien, dengan nilai output TECRS memiliki aturan berupa:
- Jika efisiensi DMU = 1, maka DMU tersebut dinyatakan efisien
- Jika efisiensi DMU > 1, maka DMU tersebut dinyatakan tidak efisien
DMUs yang inefisien akan dicari peer groups-nya untuk kemudian dilakukan perhitungan target penambahan output untuk menjadi efisien.
Evaluasi produktivitas kinerja industri kreatif di seluruh daerah Jawa Timur dimodelkan berdasarkan output-oriented DEA secara matematis pada persamaan (2.5) yang mengukur efisiensi teknis sebagai peningkatan proporsional terhadap output. Maka, struktur formulasi dimodelkan secara matematis pada persamaan (3.2) berikut: Fungsi obyektif:
Max
Fungsi pembatas:
(1) Output 1 : PDRB Jawa Timur
∑ 𝑦 𝜆 𝜃 𝑥 𝐼𝑆 0
(2) Input 1 : Jumlah Perusahaan
∑ 𝑋 𝜆
𝐼𝑆 𝑋(3) Input 2 : Tenaga Kerja
∑ 𝑋 𝜆 𝐼𝑆 𝑋
(4) Input 3 : Biaya Input atau Biaya Antara
∑ 𝑋 𝜆 𝐼𝑆 𝑋
(5) Input 4 : Biaya Tenaga Kerja
∑ 𝑋 𝜆 𝐼𝑆 𝑋 (3.2)
i j j i n ( IS OS ) Indeks :
n = DMUs, n = 1,..,17; j = output, j = 1,...,5; i = input, i = 1,..., 4 Data :
yjn = nilai dari output ke-j dari DMU ke n
xin = nilai dari input ke-i dari DMU ke n
= angka positif yang kecil (10-6)
yjo dan xio merupakan nilai output dan input DMU yang sedang diobservasi.
Variabel :
θn = efisiensi relatif DMUn
ISi , OS j = slack dari input i, output j ( 0)
n = bobot DMUn ( 0) terhadap DMU yang dievaluasi
b. Scale Efficiency (SE)
Efisiensi teknis dihitung berdasarkan formulasi variable return to scale (TEVRS) dengan asumsi bahwa (bisa jadi) kondisi optimal tidak terjadi sehingga DMUs tidak dapat beroperasi dalam optimal scale. Output TEVRS berupa nilai efisiensi teknis (murni) dan tidak mengandung nilai efisiensi skala (Scale Efficiency, SE) sebagaimana pada DEA-CRS.
Perbedaan output efisiensi teknis TECRS dan TEVRS menunjukkan nilai scale efficiency (SE). Apabila output TECRS dan TEVRS sama, dengan kata lain SE=1, maka DMU tersebut dikatakan telah beroperasi secara optimal.
Analisis dengan benchmarking model DEA ini bertujuan untuk mengetahui nilai optimal yang seharusnya dicapai oleh DMU inefisien agar menjadi efisien. Dasar dalam analisis benchmarking adalah menggunakan bobot DMU yang tidak efisien terhadap DMU yang menjadi acuan.
Dalam rangka peningkatan efisiensi kinerja industri kreatif pada beberapa daerah terkait (DMUs) yang pada periode terakhir masih berstatus inefficient, diberikan Peer groups sebagai obyek benchmarking operasionalisasi usaha peningkatan efisiensi serta target penambahan output sebagai sasaran realistis di masa mendatang. Penetapan target perbaikan bagi DMUs ineffiecient dapat dicapai melalui perhitungan slack variabel juga nilai proportionate yang mengacu pada weak projection dan strong projection. Selanjutnya, pengolahan dan perhitungan
data model DEA dalam penelitian ini diselesaikan dengan menggunakan software MaxDEA 7 Basic.
3.3.2 Penentuan Hasil Analisa SWOT dalam Pendekatan Value Proposition Design
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 3.5.1 diatas, ada beberapa aspek penting yang akan dilakukan penilaian serta evaluasi saat menentukan analisis SWOT pada sektor industri kreatif di Jawa Timur. Melalui hasil identifikasi internal yang dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang ada, maka akan didapatkan suatu kesimpulan mengenai keunggulan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh pelaku bisnis selama ini.
Untuk menyelesaikan permasalahan dari hasil tersebut, dirancang Value Proposition Design sebagai langkah strategis optimalisasi kinerja industri kreatif di Jawa Timur. Terdapat 11 elemen penting yang mendasari penentuan Value Proposition dalam penelitian ini (terdapat pada Tabel 4.1).
3.4 Tahap Analisis dan Kesimpulan
Tahap ini merupakan akhir dari penelitian yang berisi hasil pengolahan data beserta analisis dan rekomendasi, serta kesimpulan dan saran bagi penelitian berikutnya.
3.4.1 Tahap Analisis Data
Pada tahap ini, dijawab tujuan penelitian berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, yaitu:
1. Tingkat potensi industri kreatif berdasarkan lokasi seluruh daerah kota/kabupaten di Jawa Timur
2. Pengaruh pendekatan Value Proposition Design pada industri kreatif terhadap keunggulan kompetitif
BAB V
JADWAL
5.1 Jadwal Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan utama: (1) Tahap perancangan model konseptual; (2) Survey indikator kinerja industri kreatif; (3) Evaluasi kinerja industri dan penentuan sub-sektor prioritas; (4) Perancangan Value Proposition Diagram; (5) Pendokumentasi kegiatan dan publikasi penelitian. Jadwal pelaksanaan tiap-tiap tahapan penelitian seperti tertera pada Tabel 3 dibawah.
Tabel 1.1 Jadwal Kegiatan Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Kick off meeting, studi literatur 2 Penyiapan instrumen survey 3 Perekrutan surveyor 4 Pendefinisian indikator kinerja industri 5 Pengumpulan data sekunder 6 Survey UKM Kreatif 7 Rekapitulasi hasil survey awal 8 Pengolahan data kinerja dengan data envelopment analysis 9 Penentuan sub‐sektor UKM Kreatif prioritas 10 Survey design thinking 11 Wawancara/FGD stakeholder 12 Rekapitulasi hasil wawancara/FGD 13 Perancangan Value Proposition Diagram industri kreatif 14 Penyusunan laporan akhir 15 Penyusunan laporan keuangan 16 Seminar hasil penelitian 17 Publikasi di jurnal internasional Evaluasi kinerja industri dan penentuan sub‐sektor prioritas Pendokumentasi kegiatan dan publikasi penelitian BULAN 7 BULAN 8 AKTIVITAS BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Tahap Perancangan Model Konseptual
Survey indikator kinerja industri kreatif
5.2 Organisasi Tim Peneliti
Nama Ketua Tim Peneliti: -Dr.oec.HSG. Syarifa Hanoum, S.T., M.T Nama AnggotaPeneliti :
Geodita Woro Bramanti, S.T., M.Eng.Sc Bahalwan Apriyansyah, S.T., MBA. Anandita Ade Putri, S.T., MBA. Anggota Mahasiswa
Siti Lailatul Mukaromah
Pada Tabel 5.2 dibawah terpetakan detil dari rincian anggaran biaya penelitian sebagai berikut:
Tabel 2.2 Rincian Anggaran Biaya
Jenis Pengeluaran Satuan Volume Jumlah (Rp) Total (Rp)
1. HR industri kreatif (@Rp 100.000,‐) orang‐hari 40 4,000,000 10 lokasi x 2 hari x 2 orang 2. HR Analis Bisnis (@Rp 100.000,‐) orang‐hari 20 2,000,000 3. HR tenaga akuntansi (@Rp 100.000,‐) orang‐hari 10 1,000,000 1. Software MaxDEA paket 1 16,000,000 2. Penggadaan kuesioner survey dan laporan lumpsum 1 500,000 1. Konsumsi kegiatan 1 500,000 2. Seminar Internasional Luar Asia kegiatan 1 26,000,000
Honorarium untuk pelaksana, petugas laboratorium pengumpul data, pengolah data, penganalisis data, honor operator, dan honor pembuat sistem., dsb.
Pembelian bahan habis pakai untuk ATK, fotocopy, surat menyurat, penyusunan laporan, cetak, penjilidan laporan, publikasi, bahan laboratorium, komponen prototype, dsb.
Perjalanan untuk biaya survei/sampling data, seminar/workshop, biaya akomodasi-konsumsi, perdiem/lumpsum, transport, dsb. Total Usulan Anggaran 50,000,000 7,000,000 16,500,000 26,500,000
REFERENSI
Alfonso, R. (1981). Instructional Supervision: A. Behavior System. Boston: Allyn & Bacon, Inc. Andersen, P., & Petersen, N. C. (1993). A Procedure for Ranking Efficient Units in Data
Envelopment Analysis. Management Science , 39, 1261-1264.
Atmanti, H. D. (2004). Analisis Efisiensi dan Keunggulan Kompetitif Sektor Industri Manufaktur di Jawa Tengah Sebelum dan Selama Krisis. Dinamika Pembangunan Vol. 1 No.1/Juli , 1-16.
Avkiran, N. K. (2000). Decomposing The Technical Efficiency of Trading Banks in The Deregulated Period. Australia: The University of Queensland.
Badan Ekonomi Kreatif. (2017a). Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I). Retrieved February 27, 2019, from https://kotakreatif.id/5-proses
Badan Ekonomi Kreatif. (2017b). Rencana Strategis Badan Ekonomi Kreatif 2015-2019. Jakarta Banker, R., Charnes, A., & Cooper, W. (1984). Some Models for Estimating Technical and Scale
Inefficiencies in Data Envelopment Analysis. Management Science , 30.
Bhat, R. (1997). Methodology note: Data Envelopment Analysis (DEA). Washington DC: IIM Ahmedabad India.
Biro Administrasi Perekonomian Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur. (2014). Roadmap Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Timur 2014- 2018. Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Bowlin, W. F. (1999). Measuring Performance: An Intoduction to Data Envelopment Analysis (DEA).
Charnes, A., Cooper, W., & Rhodes, E. (1978). Measuring the Efficiency of Decision Making Units. European Journal of Operations , 429-444
Cooper, W, W., Seiford, M. L., & Tone, K. (2002). Data Envelopment Analysis: a Comprehensive Text with Models, Aplications, References & DEA-Solver Software, 3rd Edition. Boston: Kluwer Academic.
Febrianto, V. (2016). Bekraf akan perluas pasar produk kreatif. Antara News. Retrieved from
https://www.antaranews.com/berita/552782/bekraf-akan-perluaspasar-produk-kreatif
Kerin, R.A. et al. 2013. Marketing. New York: McGraw-Hill Education.
Gunawan, A., Katili, P. B., & Lestari, M. (2017). Pemetaan potensi industri kreatif unggulan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Studi kasus industri kreatif di Kota Cilegon). Industrial Services Vol. 1 No. 1b .
Hanoum, S. (2002). Evaluasi Produktivitas Program Studi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dengan Pendekatan Data Envelopment Analysis. Institut