BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
1. Konsep Penyembuhan Luka
a. Pengertian Penyembuhan Luka
Penyembuhan adalah proses, cara, perbuatan menyembuhkan, pemulihan. Luka adalah belah (pecah, cidera, lecet) pada kulit karena kena benda yang tajam. Jadi penyembuhan luka adalah panjang waktu proses pemulihan pada kulit karena adanya kerusakan atau disintegritas jaringan kulit (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010).
b. Fase – Fase Penyembuhan Luka
Fase – fase penyembuhan luka menurut Smeltzer (2002) adalah sebagai berikut :
1) Fase Inflamasi, berlangsung selama 1 sampai 4 hari.
Respons vaskular dan selular terjadi ketika jaringan teropong atau mengalami cedera. Vasokonstriksi pembuluh
terjadi dan bekuan fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk
mengontrol pendarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai 10 menit dan diikuti oleh vasodilatasi venula.
10 10
Mikrosirkulasi kehilangan kemampuan vasokonstriksinya
karena norepinefrin dirusak oleh enzim intraselular. Juga,
histamin dilepaskan, yang meningkatkan permeabilitas kapiler.
Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah
seperti antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus spasium vaskular selama 2 sampai 3 hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemerahan dan nyeri. 2) Fase Proliferatif, berlangsung 5 sampai 20 hari.
Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk
kuncup pada pinggiran luka; kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan granulasi yang baru.
Setelah 2 minggu, luka hanya memiliki 3 % sampai 5% dari kekuatan aslinya. Sampai akhir bulan, hanya 35% sampai 59% kekuatan luka tercapai. Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak vitamin, terutama vitamin C, membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.
3) Fase Maturasi, berlangsung 21 hari sampai sebulan atau bahkan tahunan.
Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblast mulai
meninggalkan luka. Jaringan parut tampak besar, sampai fibril
kolagen menyusun kedalam posisi yang lebih padat. Hal ini,
sejalan dengan dehidrasi, mengurangi jaringan parut tetapi meningkatkan kekuatannya. Maturasi jaringan seperti ini terus berlanjut dan mencapai kekuatan maksimum dalam 10 atau 12 minggu, tetapi tidak pernah mencapai kekuatan asalnya dari jaringan sebelum luka.
c. Bentuk-bentuk Penyembuhan Luka
Dalam penatalaksanaan bedah penyembuhan luka, luka digambarkan sebagai penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga. Penyembuhan melalui Intensi Pertama
(Penyatuan Primer). Luka dibuat secara aseptik, dengan
pengrusakan jaringan minimum, dan penutupan dengan baik, seperti dengan suture, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
Pada luka dimana terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu lebih lama.
2) Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder).
Jika luka dalam baik yang belum disuture atau terlepas dan kemudian disuture kembali nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas.
d. Faktor–Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Penyembuhan
Luka
1) Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana ibu akan selalu merasa mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat–nasihat khususnya orang tua dalam merawat kebersihan pasca persalinan.
2) Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca persalinan masih banyak digunakan, meskipun oleh kalangan masyarakat modern. Misalnya untuk perawatan kebersihan genital, masyarakat tradisional
menggunakan daun sirih yang direbus dengan air kemudian dipakai untuk cebok.
3) Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan sangat menentukan lama penyembuhan luka perineum. Apabila pengetahuan ibu kurang telebih masalah kebersihan maka penyembuhan lukapun akan berlangsung lama.
4) Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama penyebuhan perineum adalah keadaan fisik dan mental ibu dalam melakukan aktifitas sehari-hari pasca persalinan. Jika ibu memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, bisa jadi penyembuhan luka perineum berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam merawat diri.
5) Penanganan petugas
Pada saat persalinan, pembersihannya harus dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama penyembuhan luka perineum.
6) Kondisi pasien
Kondisi kesehatan pasien baik secara fisik maupun mental, dapat menyebabkan lama penyembuhan. Jika kondisi ibu sehat, maka ibu dapat merawat diri dengan baik.
7) Gizi
Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan menyebabkan ibu dalam keadaan sehat dan segar. Dan akan mempercepat masa penyembuhan luka perineum (Smeltzer, 2002).
e. Faktor – Faktor Internal yang Mempengaruhi Penyembuhan
Luka 1) Usia
Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda dari pada orang tua. Orang yang sudah lanjut usianya tidak dapat mentolerir stress seperti trauma jaringan atau infeksi.
2) Penanganan jaringan
Penanganan yang kasar menyebabkan cedera dan memperlambat penyembuhan.
3) Hemoragi
Akumulasi darah menciptakan ruang rugi juga sel-sel mati yang harus disingkirkan. Area menjadi pertumbuhan untuk infeksi.
4) Hipovolemia
Volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada vasokonstriksi dan penurunan oksigen dan nutrient yang tersedia utuk penyembuhan luka.
5) Faktor lokal Edema
Penurunan suplai oksigen melalui gerakan meningkatkan tekanan interstisial pada pembuluh.
6) Defisit nutrisi
Sekresi insulin dapat dihambat, sehingga menyebabkan glukosa darah meningkat. Dapat terjadi penipisan protein-kalori.
7) Personal hygiene
Personal hygiene (kebersihan diri) dapat memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya benda asing seperti debu dan kuman.
8) Defisit oksigen
a) Insufisien oksigenasi jaringan : Oksigen yang tidak memadai dapat diakibatkan tidak adekuatnya fungsi paru dan kardiovaskular juga vasokonstriksi setempat.
b) Penumpukan drainase : Sekresi yang menumpuk menggangu proses penyembuhan.
9) Medikasi
a) Steroid : Dapat menyamarkan adanya infeksi dengan menggangu respon inflamasi normal.
b) Antikoagulan :Dapat menyebabkan hemoragi.
c) Antibiotik spektrum luas / spesifik : Efektif bila diberikan segera sebelum pembedahan untuk patolagi spesifik atau kontaminasi bakteri. Jika diberikan setelah luka ditutup, tidak efektif karena koagulasi intrvaskular.
10) Overaktivitas
Menghambat perapatan tepi luka. Mengganggu penyembuhan yang diinginkan (Smelzer, 2002 : 493).
2. Apendiksitis
a. Definisi Apendiksitis
Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks yang terletak pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen (Smeltzer & Bare, 2002). Apendiks menjadi meradang akibat invasi bakteri pada dindingnya, biasanya didistal dari obstruksi lumennya. Obstruksi dapat disebabkan oleh fekolit, biji-bijian atau cacing dalam lumen (Cook et al, 1995).
Apendisitis merupakan penyebab terbanyak dari suatu penyakit abdomen. Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi paling banyak ditemukan pada usia 20-30 tahun, walaupun jarang ditemui diatas 65 tahun tetapi sering berakibat pada apendisitis perforasi. Resiko seseorang terkena apendisitis sepanjang hidupnya sekitar 6-9% (Andersson, 2012), dimana di negara barat 7% dari penduduknya menderita apendisitis dan memerlukan intervensi bedah (Craiq, 2005; Soybel, 2010).
b. Patofisiologi Apendiksitis
Apendisitis mula-mula disebabkan oleh sumbatan lumen. Penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa menyebabkan feses mengalami penyerapan air dan terbentuk fekolit yang merupakan kausa sumbatan. Sumbatan lumen apendiks menyebabkan keluhan sakit di sekitar umbilikus dan epigastrium, mual dan muntah (Reksoprodjo, 2010).
Apendisitis dimulai dimukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Untuk membatasi proses peradangan pertahanan tubuh menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa peraiapendikuler. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melekat
dengan jaringan sekitarnya, sehingga dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Jika organ ini meradang akut kembali maka akan mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, 2010).
c. Etiologi Apendiksitis
4 Faktor pencetus terjadinya apendisitis akut disamping Sumbatan lumen karena hiperplasia jaringan limfe, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula karena infeksi bakteria. Selain itu juga erosi mukosa karena parasit seperti E.histolytica. Konstipasi akan
menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2010).
d. Diagnosis Apendiksitis
Diagnosa apendisitis didasarkan pada anamnesa tentang perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan abdomen. Sakit perut yang menjadi gejala utama pada apendisitis akut bermula di daerah sekitar umbilicus yang kemudian setelah beberapa jam akan berpindah ke daerah perut kanan bawah (Mantu, 1994).
Selain itu, Anoreksia menjadi tanda pertama pada pasien apendisitis (Mowschenson, 1990). Pasien juga mengalami mual,
muntah dan demam. Tanda yang terpenting adalah nyeri tekan yang progresif dengan rigiditas setempat difosa iliaka kanan (Cook et al,
1995). Pemeriksaan laboratorium minimal (hitung darah lengkap dengan hitung jenis, analisis urin) atau pemeriksaan radiografis (radiogram dada dan/atau abdomen) diperlukan untuk mendukung atau menyingkirkan diagnosis apendisitis akut (Cameron, 1997). e. Klasifikasi Apendiksitis
Klasifikasi apendisitis dapat dibagi menjadi lima berdasarkan gejala dan penyebab. Klasifikasinya yaitu apendisitis akut, apendisitis perforata, apendisitis rekurens, apendisitis kronik, dan mukokel apendiks (Sjamsuhidayat, 2010).
1) Apendisitis akut terjadi karena peradangan mendadak pada umbai
cacing yang memberikan tanda setempat. Gejalanya nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney, disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat. Sering disertai mual, muntah dan nafsu makan berkurang.
2) Apendistis Perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah
gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
3) Apendisitis rekurens dapat didiagnosa jika adanya riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Pada apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena penderita sering mengalami serangan akut.
4) Apendisitis kronik dapat menegakkan diagnosa jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik.
5) Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi
musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjangdiregio iliaka kanan.
f. Manifestasi Klinik
Berikut ini dijelaskan manifestasi klinik appendiksitis dari beberapa pendapat sebagai berikut :
1) Menurut (Betz & Cecily, 2000) :
a) Sakit, kram di daerah periumbilikus menjalar ke kuadran kanan bawah. Ini merupakan rasa nyeri yang dirasakan akibat terjadinya radang pada appendik yang mengakibatkan adanya stimulus syaraf yang memberikan isyarat nyeri yang menjalar.
b) Anoreksia : Suatu keadaan dimana hilangnya nafsu makan, akibat rasa nyeri yang dirasakan, karena fokus pada hilang timbulnya nyeri pada periumbilikus.
c) Mual : Munculnya keadaan rasa mual akibat reaksi peristaltik usus yang tidak stabil karena rangsangan nyeri yang dirasakan.
d) Muntah, (tanda awal yang umum, kurang umum pada anak yang lebih besar) : Keadaan ini terjadi akibat lanjutan dari rasa mual yang tak tertahankan akibat reaksi peristaltik usus yang tidak stabil mengakibatkan terjadinya muntah.
e) Demam ringan di awal penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.
f) Nyeri lepas : Keadaan ini dirasakan pada saat daerah yang dicurigai atau bagian yang dekat dengan posisi appendiksitis apabila dipegang dan dilepaskan akan terasa nyeri yang berlebih.
g) Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali, yaitu keadaan menurunnya bising usus dan hampir tak dapat dideteksi dengan stetoskope, ini akibat rangsangan syaraf hanya berpusat pada nyeri pada bagian appendik yang terjadi peradangan.
h) Konstipasi : Akibat berkurang dan hilangnya peristaltik usus mengakibatkan tidak adanya gerakan peristaltik usus dalam melakukan defekasi pada sistem pencernaan sehingga mengakibatkan terjadinya konstipasi.
i) Diare : Akibat peristaltik usus yang tidak sempurna mengakibatkan pencernaan tidak sempurna sehingga bias terjadi diare.
j) Disuria : Dapat saja terjadi karena tahanan rangsangan nyeri akibat peradangan pada appendik mengakibatkan adanya Disuria.
k) Iritabilitas : Hal ini bias saja terjadi karena efek nyeri yang ditahan yang terkadang membuat mudah tersinggung atau iritababilitas pada penderita.
l) Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah munculnya gejala pertama.
2) Menurut (Mansjoer, 2000) :
Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan denghan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturatorpositif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
g. Komplikasi
1) Menurut Hartman, dikutip dari Nelson, 1994 :
a) Perforasi : Setiap organ pencernaan yang berongga bias mengalami perforasi, dimana isi pencernaan akan keluar pada tempat yang tidak seharusnya ini bias diakibatkan karena peradangan yang dimungkinkan oleh appendiksitis.
b) Peritonitis : Biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum). Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya appendiksitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi pascaoperasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
c) Infeksi luka : adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit pada daerah yang luka (Potter & Perry, 2005).
d) Abses intra abdomen : Abses merupakan kumpulan pus (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi. Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain. Abses intra abdomen yaitu sekumpulan pus yang terdapat di rongga peritoneal yang disebabkan oleh peradangan appendiksitis, abses abdomen (abses perut) itu sendiri dapat terbentuk di bawah diafragma, di pertengahan perut, di rongga panggul atau dibelakang rongga perut.
e) Obstruksi intestinum : adalah terjadinya sumbatan pada saluran cerna. Berdasarkan etiologinya, obstruksi dapat disebabkan oleh
kelainan mekanis dan ileus (tidak ada kelainan organik yang nyata). Secara umum gejala dari obstruksi usus halus adalah nyeri abdominal periumbilikal, muntah (berwarna hijau apabila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, berwarna gelap jika obstruksi terjadi di bagian bawah distal usus halus), konstipasi/diare, serta kembung.
2) Menurut Mansjoer, 2000 :
Apendiksitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium,
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal
sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
h. Pemeriksaan
Pemeriksaan menurut (Betz, 2002), antara lain : 1) Anamnesa
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah :
a) Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
b) Muntah oleh karena nyeri viseral.
c) Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
d) Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
i. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
j. Laboratorium
Pemeriksaan darah : lekosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih dari 13000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya lekositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri. Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat lekosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
k. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan apendiksitis menurut (Mansjoer, 2000) : 1) Sebelum operasi
a) Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi b) Pemasangan kateter untuk control produksi urin. c) Rehidrasi
d) Antibiotik dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
e) Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
f) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi. 2) Operasi
a) Apendiktomi.
b) Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
c) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
3) Pasca operasi a) Observasi TTV.
b) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
d) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuasakan.
e) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
f) Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
g) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2×30 menit.
h) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. i) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan
pulang.
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai dengan :
a) Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
b) Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis
c) Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan :
a. Umumnya klien berusia 5 tahun atau lebih.
b. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi.
c. Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.
d. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.
Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih-lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau tanpa peritonitis umum.
l. Apendiktomi
Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang meradang. Apendiktomi diindikasikan untuk semua kasus apendisitis akut yang ditemukan dalam 72 jam pertama, tetapi tidak pada anak-anak. Sesudah 72 jam mungkin terdapat massa peradangan sehingga apendiktomi dilakukan kira-kira 6 minggu kemudian (Smeltzer & Bare, 2002).
Secara keseluruhan insidens infeksi luka pasca bedah dilaporkan 7,5% dalam penyelidikan nasional. Angka kejadian bervariasi tergantung ahli bedah, 6 rumah sakit dan tindakan psikologis sepsis luka pasca bedah menurut metode pencegahan yang digunakan. Infeksi pada Luka Bedah menurut Sabiston dalam (Andri, 2012), yaitu :
1) Luka bersih (Kelas I)
Infeksi disebabkan karena bakteri aerob endogen seperti stafilokos dan infeksi terjadi pada waktu pembedahan sedang berlangsung. Angka kejadian kurang dari 2 persen.
2) Luka bersih terkontaminasi (Kelas II)
Infeksi disebabkan mikroflora endogen dari organ yang telah direseksi dan menginfeksi selama operasi berlangsung. Risiko
infeksi lebih tinggi dibandingkan pembedahan bersih yaitu mencapai 5-10%.
3) Luka terkontaminasi (Kelas III)
Infeksi pada kasus ini terutama disebabkan oleh bakteri endogen dan angka kejadian sekitar 20%.
4) Luka Kotor (Kelas IV)
Infeksi berhubungan dengan mikroflora endogen organ yang terlibat. Angka infeksi dilaporkan sekitar 40%.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka post op Appendiksitis
a. Faktor Umur
Gustia (2010), dalam detikhealth.com, menjelaskan penelitian terbaru yang menyebutkan bahwa seseorang berhenti menjadi muda di usia 35 tahun dan mulai masuk kategori tua saat usia 58 tahun. Pengkategorian usia ini sangat penting untuk mengklasifikasikan gaya hidup yang sesuai untuk usia seseorang.
Semakin tua atau semakin meningkatnya usia, dihubungkan dengan lambatnya pemulihan dan menurunnya kemampuan penyembuhan jaringan. Menurut Butler (2006), usia tua akan berhubungan dengan perubahan pada penyembuhan luka yang berkaitan dengan penurunan respon inflamasi, angiogenesis yang
tertunda, penurunan sintesis dan degradasi kolagen serta penurunan kecepatan epitelisasi.
Hal ini juga didukung penelitian mengenai hubungan antara usia dengan masa penyembuhan luka yang dipaparkan oleh Valencia (2013), pada usia tua dan muda (dewasa, remaja, dan anak). Penelitian tersebut menyatakan bahwa semakin tua usia pasien maka angka ke-morbiditasannya akan meningkat. Respon terhadap fase inflamasi, fase proliferasi dan maturasi mengalami perubahan dengan pengaruh usia. Pada proses penyembuhan luka akanlebih lambat dibanding dengan usia muda, usia yang mempengaruhi proses lambatnya penyembuhan luka lebih kurang dimulai pada usia 38 tahun keatas karena pada perode ini sudah mulai memperlihatkan kemunduran atau perlambatan metabolisme tubuh yang berkaitan dengan sirkulasi organ-organ tubuh dalam bekerja secara fisiologis sudah mulai menurun, termasuk dalam proses kerapatan jaringan seperti proses penyembuhan luka.
b. Faktor Mobilisasi Dini
Mobilisasi adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Potter dan Perry, 2006). Menurut Carpenito
(2000), mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis. Mobilisasi dini yang dapat dilakukan yaitu ROM, napas dalam dimana tujuannya adalah untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular. Masih banyak pasien yang mempunyai kekhawatiran jika tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca operasi akan mempengaruhi luka operasi yang belum sembuh. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini dikhawatirkan, bahkan justru hampir semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan badan sedini mungkin. Asalkan rasa nyeri dapat ditoleransi dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi gangguan, dengan bergerak, masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Hal ini tentunya akan mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan pembiayaan serta juga dapat mengurangi stress psikis (Majid, 2011).
Dengan bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki metabolisme, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya akan mempercepat proses penyembuhan luka (Majid, 2011).
Menggerakkan badan atau melatih otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain akan menyehatkan pikiran dan mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja berpengaruh baik terhadap pemulihan fisik. Hasil penelitian mengatakan bahwa keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya mempercepat proses pemulihan luka pasca pembedahan namun juga mempercepat pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan (Akhrita, 2011).
Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan, tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan kembali setelah dilakukan pembiusan regional. Pada saat awal pergerakan fisik bias dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau miring ke kanan.
Pada 12 jam sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan. Di hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di
kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, seharusnya sudah biasa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga.
Bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di sekitar lokasi operasi, bisa juga oleh karena beberapa selang yang berhubungan dengan tubuh, seperti infuse, kateter, pipa
nasogastrik (nasogastric tube), selang drainase, kabel monitor, dan
lain-lain. Perangkat ini pastilah berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak dokter bedah akan menginstruksi perawat untuk membuka atau melepas perangkat itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini.
Operasi yang dilakukan di daerah abdomen, tidak ada alasan untuk berlama-lama berbaring di tempat tidur. Perlu diperhatikan kapan diet makanan mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang menyentuh saluran pencernaan, yang luka operasinya melibatkan saluran kemih dengan pemasangan kateter dan atau pipa drainase sudah akan memberikan keleluasaan untuk bergerak sejak dua kali 24 jam pasca operasi (Majid, 2011).
c. Perawatan Luka
Fokus perawatan luka adalah mempercepat penyembuhan luka dan meminimalkan komplikasi, lama perawatan dan biaya perawatan. Manajemen luka pada ruang perawatan meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan. Umumnya luka jahitan pada kulit dilepaskan tiga sampai lima hari pasca operasi. Idealnya balutan luka diganti setiap hari dan diganti menggunakan bahan hidrasi yang baik. Pembersihan yang sering harus dihindari, karena hal tersebut menyebabkan jaringan vital terganggu dan memperlambat penyembuhan dan memperpanjang perawatan di rumah sakit (Majid, 2011).
Perawatan luka appendiksitis adalah tindakan pemberian keperawatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pada klien post op appendiksitis yang telah disusun. Setiap tindakan keperawatan yang dilaksanakan dicatat dalam catatan keperawatan, agar tindakan keperawatan terhadap klien berkelanjutan. Prinsip dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu cara pendekatan pada klien efektif, tehnik komunikasi terapeutik serta penjelasan untuk setiap tindakan yang diberikan kepada klien. Dalam melakukan tindakan keperawatan menggunakan tiga tahap, yaitu : independen, dependen dan interdependen (Majid, 2011).
Tindakan keperawatan secara independen adalah suatu tindakan yang di laksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Interdependen adalah tindakan keperawatan yang menjelaskan suatu kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi dan dokter. Sedangkan tindakan dependen adalah tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Keterampilan yang harus dimiliki oleh perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu kognitif, sikap dan psikomotor. Dalam melakukan tindakan keperawatan khususnya klien dengan appendiktomi yang harus diperhatikan adalah penanganan terhadap nyeri dengan melakukan tehnik relaksasi napas dalam dan distraksi, mengobservasi keadaan cairan, meningkatkan masukan cairan, perawatan luka dengan cara ganti balutan, serta melakukan tindakan dengan tehnik septik dan antiseptik. (Istianah, 2011).
Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam perawatan luka appendiktomi adalah :
1) Pengertian
Suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka, mengangkat jahitan, menutup dan membalut luka sehinga dapat membantu proses penyembuhan luka.
2) Tujuan
a) Mencegah terjadinya infeksi.
b) Mempercepat proses penyembuhan luka.
c) Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis. 3) Persiapan
a) Verifikasi data, cocokan dengan gelang identitas pasien b) Persiapan alat: Troly atau nampan berisi :
(1) Set ganti balut
(2) Kasa steril dalam tempatnya, kapas lidi steril
(3) Cairan pembersih luka dalam botol spray (Nacl 9% atau Water steril, sesuai advis dokter).
(4) Obat-obat luka sesuai keadaan luka dan advis dokter (5) Plester dan gunting
(6) Zeil pengalas
(7) Bengkok dan kantong plastik (8) Sarung tangan bersih dan steril (9) Cairan handrub
4) Pelaksanaan a) Berikan salam b) Perkenalkan diri
c) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan kepada pasien dan keluarga.
d) Tanyakan kesiapan pasien e) Cuci tangan
f) Dekatkan peralatan g) Pasang pengalas
h) Pakai sarung tangan bersih kemudian buka balutan i) Masukan bekas balutan kedalam plastik
j) Dekatkan bengkok ke daerah luka
k) Ganti sarung tangan steril dan bersihkan luka deangan Nacl 0,9% atau water steril.
l) Keringkan luka dengan kasa steril
m) Berikan obat sesuai advis dokter (betadine sol)
n) Tutup luka dengan kasa steril, kemudian diplester atau opsite 0) Rapikan kembali pasien senyaman mungkin
p) Bereskan alat-alat dan peralatan bekas pakai direndam dengan cairan desinfektan
q) Lepas sarung tangan, cuci tangan
r) Lakukan evaluasi tindakan yang dilakukan s) Jelaskan rencana tidak lanjut
u) Cuci tangan
v) Dokumentasikan semua kegiatan yang dilakukan dan kondisi lukanya.
5) Penampilan :
a) Ketenangan selama melakukan tindakan b) Lakukan komunikasi terapeutik
c) Ketelitian selama melakukan tindakan
d) Keamanan kenyamanan klien selama tindakan (Istianah, 2011).
4. Penelitian Terkait
a. Penelitian Sutriyani (2010), di RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu, dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhan luka post op appendiksitis di Rumah Sakit Dr. M. Yunus Bengkulu” dengan sampel sebanyak 100 orang penderita appendiksitis yang dirawat diruang rawat inap bedah RS Dr.M.Yunus Bengkulu. Hasil penelitian mengatakan bahwa ada hubungan faktor umur, mobilisasi dini dan keterampilan perawat diruang bedah dalam melakukan perawatan luka pada luka post op appendiksitis pada penderita, terhadap kecepatan sembuhnya luka post op appendiksitis, dengan P value = 0,001 yang menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara variabel independent dengan variabel dependent.
b. Penelitian Ni Ketut Kusmarjathi (2009), di RSUD Sanjiwani Gianyar pada tahun 2006, dengan judul : Hubungan pengetahuan dan sikap perawat terhadap proses penyembuhan luka post op appendiksitis di ruang rawat inap bedah RSUD Sanjiwani Gianyar Tahun 2009. Hasil penelitian terdapat hubungan antara pengetahuan perawat dan sikap perawat dalam proses penyembuhan luka post op appendiksitis dengan P value = 0,002 terdapat sebanyak 94 perawat mempunyai sikap yang kurang baik terhadap penyembuhan luka pasien dan 70 perawat memiliki pengetahuan rendah terhadap post op appendiksitis.
B. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka yang memuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang diteliti. (Notoatmodjo, 2010). Adapun kerangka teori pada penelitian ini sebagai berikut :
Skema 2.1 Kerangka Teori
Sumber:FKUI,2008 (Modifikasi)
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyembuhan Appendiktomi (pasien) :
1. Pengetahuan
2. Mobilisasi Dini
3. Kepatuhan klien dalam perawatan
4. Umur
Faktor-yang mempengaruhi Proses penyembuhan Appendiktomi (Perawat) :
1. Perawatan Luka
2. Perhatian perawat
Faktor-yang mempengaruhi Proses penyembuhan Appendiktomi (Medis) :
1. Pengobatan luka dengan therapy dokter
Kesembuhan Luka post op appendiktomi
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau di ukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan. (Notoadmodjo, 2005). Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen Variabel Dependen
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas penelitian yang telah dirumuskan. Adapun hipotesis yang digunakan dalam penilitian ini adalah hipotesis alternatif atau hipotesis kerja.
Ha : 1. Ada hubungan antara faktor umur pasien dengan penyembuhan luka post op appendiksitis.
2. Ada hubungan antara faktor mobilisasi dini pasien dengan penyembuhan luka post op appendiksitis.
3. Ada hubungan antara faktor perawatan luka pasien dengan penyembuhan luka post op appendiksitis.
Faktor-faktor yang berhubungan penyembuhan Luka Post Op Appendiksitis :
1. Faktor Umur Pasien 2. Faktor Mobilisasi Dini 3. Faktor Perawatan Luka
Kesembuhan Luka post op appendiktomi