• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGEMASAN ATMOSFER TERMODIFIKASI PADA FILLET IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus) DALAM PENYIMPANAN SUHU RUANG DAN SUHU DINGIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENGEMASAN ATMOSFER TERMODIFIKASI PADA FILLET IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus) DALAM PENYIMPANAN SUHU RUANG DAN SUHU DINGIN"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGEMASAN ATMOSFER TERMODIFIKASI

PADA FILLET IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus)

DALAM PENYIMPANAN SUHU RUANG DAN SUHU DINGIN

ERDITA HASIAN SIANIPAR

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

RINGKASAN

ERDITA HASIAN SIANIPAR. C34050024. Pengaruh Pengemasan Atmosfer Termodifikasi pada Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) dalam Penyimpanan Suhu Ruang dan Suhu Dingin. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan DADI SUKARSA.

Peningkatan jumlah produksi ikan patin dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap ikan dari tahun ke tahun mendorong inovasi untuk mengemas ikan sehingga konsumen mendapatkan ikan dalam bentuk yang segar dengan daya awet lebih lama, tanpa bahan pengawet sehingga tidak berbahaya dan tentunya dalam bentuk yang mudah dikonsumsi, misalnya dalam bentuk fillet. Salah satu bentuk inovasi pengemasan ini adalah Modified Atmosphere Packaging (MAP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengkomposisian gas CO2 dan N2 terhadap aspek mikrobiologi, kimiawi dan sensori fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus) dalam MAP dengan penyimpanan pada suhu 5oC dan suhu ruang serta melihat komposisi gas mana yang paling optimum mempertahankan daya awet fillet ikan patin.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai bulan Desember 2009. Laboratorium yang digunakan antara lain Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian; Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Laboratorium Karakteristik dan Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) berukuran satu kg/ekor, gas CO2 dan N2.

Perlakuan komposisi gas pada fillet ikan Patin adalah 40% CO2+60% N2, 60% CO2+40% N2, 80% CO2+20% N2,, kemasan vakum, dan udara biasa sebagai kontrol. Fillet disimpan selama 20 jam dalam suhu ruang, pengamatan dilakukan pada jam ke-0, 5, 10, 15 dan 20. Sedangkan untuk penyimpanan suhu dingin, fillet disimpan selama 16 hari dengan pengamatan pada hari ke-0, 4, 8, 12 dan 16. Analisis yang dilakukan antara lain analisis proksimat, nilai pH, Total Volatile Base nitrogen (TVBN), Total Plate Count (TPC), Thiobarbituric Acid (TBA) dan uji organoleptik.

Kemasan yang terbaik pada penyimpanan suhu ruang adalah fillet ikan dengan komposisi gas 60% CO2/40% N2 bertahan rata-rata sampai dengan jam ke-15 atau menambah masa simpan 1-4 jam dibandingkan dengan udara biasa dengan nilai rata-rata pH pada akhir masa simpan 6,02; nilai TVBN sebesar 19,22; nilai TPC sebesar 5,8 x 107 CFU/g; kisaran nilai organoleptik sebesar 3,5-4,6. Sedangkan pada suhu dingin adalah fillet dengan komposisi gas 80% CO2/20% N2 bertahan rata-rata sampai dengan hari ke-10 menambah masa simpan 3-7 hari dengan nilai rata-rata pH pada akhir masa simpan 6,30; nilai TVBN sebesar 17,47; nilai TPC sebesar 5,75 x 108 CFU/g; kisaran nilai organoleptik sebesar 2-3,8. Komposisi gas memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada uji organoleptik untuk penyimpanan pada suhu dingin.

(3)

PENGARUH PENGEMASAN ATMOSFER TERMODIFIKASI

PADA FILLET IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus)

DALAM PENYIMPANAN SUHU RUANG DAN SUHU DINGIN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Oleh

ERDITA HASIAN SIANIPAR

C34050024

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(4)

Judul Skripsi : Pengaruh Pengemasan Atmosfer Termodifikasi Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) dalam Penyimpanan Suhu Ruang dan Suhu Dingin

Nama : Erdita Hasian Sianipar NRP : C34050024

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr.Ir. Bustami Ibrahim, MSc) (Ir. Dadi R. Sukarsa) NIP: 19611101 198703 1 002 NIP: 19460831 197402 1 001

Mengetahui Ketua Departemen

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.) NIP: 19580511 198503 1 002 Tanggal Lulus :

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Pengemasan Atmosfer Termodifikasi pada Fillet Ikan Patin (Pangasius

hypopthalmus) dalam Penyimpanan Suhu Ruang dan Suhu Dingin” adalah

karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2010

Erdita Hasian Sianipar NRP C34050024

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas kasih dan anugrah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Pengemasan Atmosfer Termodifikasi pada Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) dalam Penyimpanan Suhu Ruang dan Suhu Dingin” dengan baik.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Bapak Ir. Dadi R. Sukarsa selaku dosen pembimbing, yang telah menyisihkan waktu, tenaga, memberikan arahan dan masukan kepada penulis.

2. Ibu Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS selaku dosen penguji, yang telah memberikan banyak saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Ir. Joko Poernomo, B.Sc selaku dosen pembimbing akademik, atas

segala bimbingan, nasehat, dukungan dan pengarahan yang diberikan.

4. Bapak Dr. Ir. Agoes M Jacoeb, Dipl. Biol, selaku komisi pendidikan, atas segala bantuan dan pengarahan yang diberikan.

5. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill, selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

6. Seluruh Dosen Teknologi Hasil Perairan (THP) yang mengabdikan hidup untuk tetap setia membimbing mahasiswa mengenal dunia perikanan.

7. Papa (dr. Salmon R. Sianipar) dan Mama (Mientje N. Simanjuntak) yang selalu setia dalam segala hal, memberikan semangat, memanjatkan doa dan memberikan kasih sayang selalu. Kaka (Rebeka Sianipar) dan Ito (Romon Sianipar), terima kasih banyak atas dukungannya (dan omelannya).

8. Ibu Emma, Mas Saeful, Lala, Pak Sugi (TIN), Pak Sulyaden (TEP) dan Pak Wasjan (BDP) atas setiap bantuannya selama penelitian di laboratorium. 9. Seluruh Staf TU THP (Mas Mail, Pak Ade, Pak Tatang, dan juga Umi) atas

(7)

10. Semua teman-teman THP Angkatan 42 (tidak terkecuali), terima kasih buat kebersamaan yang kita semua alami yang membuat kita bertumbuh semakin dewasa, terima kasih buat tawa, canda, nasehat, share yang pernah kita semua jalani. Terutama buat Junide Mastuty Hutapea sebagai teman seperjuangan dalam penelitian, terima kasih kalau kita boleh jadi teman yang saling mendukung dan membangun.

11. Kakak kelas THP 40 dan 41, terima kasih atas persahabatan dan kebersamaannya dan juga untuk THP 43 atas keceriaannya.

12. Nupay (Goldie) dan Inggie (Hinggie Binggie) yang menjadi temen seperjuangan dari TPB, temen makan bareng, jalan bareng dan berbagi mimpi. 13. Youth of Nations Ministry, terima kasih telah menjadi rumah, tempat belajar dan bertumbuh, menerima penulis apa adanya, menjadi tempat untuk memberi dan menerima. Terima kasih banyak buat Bang Dar, Mas Tera, Mas Elles, Ka Sher, Ka Azis, Mb Ida, Ka Agustinus, Ka Agus Bali, Ka Prawira, Mb Titis, Ka Bagus, Nupay, Margie, Verjun, Deslie, Idacute, Niko, Data, Buyung, Lenny, Febrong, Gledek, Sanfitob, Seriul, Iluy, Cit2, Amer Greeny, Fankezton, Ronce, Bacin (Mellisa), Nova, Lisa, Sandro, Zeny, Nge, Susi Similikiti, Ira, Rifal, Pipit, Hadasa, Dumas, Nael, Dara, Dedew dan buat semua Anak 46 yang tidak bisa disebut satu persatu. Fast Breakers dan GKKD-ers, terima kasih telah menjadi komunitas yang membangun dan selalu mendukung penulis untuk hidup dalam panggilan.

14. Anak-anak kostan GP (Dita, Vyta, Echa, Putri, Herlince)

15. Semua pihak yang telah memberi masukan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, hingga tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Mei 2010

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rantau pada tanggal 12 Agustus 1987 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, Ayah dr. Salmon Sianipar dan Ibu Mientje Simanjuntak. Pendidikan penulis secara formal dimulai di TK Swasta Kristen Immanuel Medan (1992-1994), lalu melanjutkan ke SD Swasta Kristen Immanuel Medan (1994-1999), SMP Swasta Kristen Immanuel Medan (1999-2002) kemudian ke SMA RK Swasta St. Thomas 1 Medan (2002-2005). Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2006 penulis diterima di Mayor Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan. Kegiatan kepanitiaan yang pernah diikuti diantaranya Sarana Temu Akrab Insan THP (SANITASI) 2008. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Avertebrata Air tahun 2007/2008, Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan (TPTHP) tahun 2008/2009. Penulis pernah mengikuti berbagai seminar dan pelatihan. Selain itu penulis juga aktif dalam YoNM (Youth of Nations Ministry).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pengemasan Atmosfer Termodifikasi pada Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) dalam Penyimpanan Suhu Ruang dan Suhu Dingin” dibawah bimbingan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ir. Dadi Sukarsa.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Biologi Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) ... 3

2.2 Kemunduran Mutu Ikan ... 5

2.2.1 Pre-rigor ... 5

2.2.2 Rigor Mortis………... . 5

2.2.3 Kerusakan secara biokimiawi……….. 5

2.2.4 Kerusakan secara mikrobiologi ... 6

2.3 Modified Atmosphere Packaging (MAP) ... 7

2.4 Gas dalam Modified Atmosphere Packaging (MAP) ... 9

2.4.1 Karbondioksida (CO2) ... 9

2.4.2 Nitrogen (N2) ... 10

2.4.3 Oksigen (O2) ... 10

2.5 Komposisi Gas dalam Modified Atmosphere Packaging (MAP) ... 11

2.6 Wadah Kemasan ... 12

3. METODOLOGI ... 14

3.1 Waktu dan Tempat ... 14

3.2 Bahan dan Alat ... 14

3.3 Metode Penelitian ... 15

3.4 Metode ... 17

3.4.1 Analisis Proksimat ... 17

3.4.2 Nilai pH (Sudarmadji et al. 1984) ... 20

3.4.3 Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) (AOAC 1995) ... 20

3.4.4 Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) ... 20

3.4.5 Analisis bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) metode Tarladgis (Apriyantono et al. 1987) ... 21

3.4.6 Uji Organoleptik (Soekarto 1985) ... 22

(10)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Komposisi Kimia Daging Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) ... 25

4.2 Modified Atmosphere Packaging (MAP) ... 25

4.2.1 Derajat Keasaman (pH) ... 26

4.2.2 Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) ... 29

4.2.3 Total Plate Count (TPC) ... 32

4.2.4 Thiobarbituric Acid (TBA) ... 35

4.2.5 Organoleptik ... 37

4.2.5.1 Warna ... 37

4.2.5.2 Penampakan ... 39

4.2.5.3 Bau ... 41

4.2.5.4 Tekstur ... 44

4.3 Hubungan antara Parameter Kesegaran Fillet Ikan………... 46

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi kimia ikan patin (Pangasius hypopthalmus) ... 4 2. Impor ikan patin oleh Amerika Serikat pada tahun 2005-2009

(dalam ton) ... 4 3. Kelebihan dan kekurangan Modified Atmosphere Packaging (MAP) 8 4. Permeabilitas Beberapa Kemasan Plastik ... 13 5. Proksimat daging ikan Patin Segar ... 25

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Lembar penilaian organoleptik untuk fillet ikan Patin ... 54 2. Rekapitulasi data kadar air, abu, protein, lemak, dan pH Patin ... 55 3. Data nilai pH fillet ikan patin pada penyimpanan suhu ruang ... 55 3a Analisis ragam pH fillet ikan patin pada penyimpanan suhu ruang… 55 3b Uji lanjut Duncan pengaruh interaksi gas dan masa simpan terhadap

pH fillet ikan patin pada penyimpanan suhu ruang ... 56 4. Data nilai pH fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin ... 57 4a Analisis ragam pH fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin ... 57 4b Uji lanjut Duncan pengaruh interaksi gas dan masa simpan

terhadap pH fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin ... 58 5. Data nilai TVBN (mg N/100g) fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang………..………. 59 5a Analisis ragam TVBN fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 59 5b Uji lanjut Duncan pengaruh masa simpan terhadap TVBN fillet

ikan patin pada penyimpanan suhu ruang ... 60 6. Data nilai TVBN (mg N/100g) fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 60 6a Analisis ragam TVBN fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 61 6b Uji lanjut Duncan pengaruh gas dan masa simpan terhadap

TVBN fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin ... 61 7. Data nilai TPC (CFU/g) fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 61 7a Analisis ragam TPC fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 61 7b Uji lanjut Duncan interaksi pengaruh gas dan masa simpan terhadap

TPC fillet ikan patin pada penyimpanan suhu ruang... 61 8. Data nilai TPC (CFU/g) fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 62 8a Analisis ragam TPC fillet ikan patin pada penyimpanan

Suhu dingin ... 62 8b Uji lanjut Duncan interaksi pengaruh gas dan masa simpan terhadap

(13)

9. Data nilai TBA (mg MDA/kg) fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin ... 63 9a Analisis ragam TBA fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin . 64 9b Uji lanjut Duncan pengaruh interaksi gas dan masa simpan

terhadap TBA fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin... 64 10. Data nilai organoleptik warna fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 65 10a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai

organoleptik warna fillet ikan patin pada penyimpanan suhu ruang ... 66 11. Data nilai organoleptik warna fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 67 11a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai

organoleptik warna fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin .... 68 12. Data nilai organoleptik penampakan fillet ikan patin pada

penyimpanan suhu ruang ... 70 12a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai

organoleptik penampakan fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 72 13. Data nilai organoleptik penampakan fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin ... 73 13a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai

organoleptik penampakan fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 75 14. Data nilai organoleptik bau fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 76 14a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai

organoleptik bau fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 78 15. Data nilai organoleptik bau fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 79 15a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai

organoleptik bau fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 81 16. Data nilai organoleptik tekstur fillet ikan patin pada penyimpanan suhu ruang ... 83 16a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai

organoleptik tekstur fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu ruang ... 82 17. Data nilai organoleptik tekstur fillet ikan patin pada penyimpanan suhu dingin ... 85

(14)

17a Hasil uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Multiple comparison nilai organoleptik tekstur fillet ikan patin pada penyimpanan

suhu dingin ... 87

18. Foto Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) yang dikemas dalam kemasan atmosfer termodifikasi ... 88

19. Foto Pengerjaan Pengemasan Atmosfer Termodifikasi Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) ... 89

20. Foto Cosmotector XP-314 ... 89

21. Foto Flowmeter ... 90

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) ... 3

2. Diagram alir prosedur metode penelitian ... 16

3. Diagram batang nilai rata-rata pH pada penyimpanan suhu ruang ... 26

4. Diagram batang nilai rata-rata pH pada penyimpanan suhu dingin ... 28

5. Diagram batang nilai rata-rata TVBN pada penyimpanan suhu ruang 29

6. Diagram batang nilai rata-rata TVBN pada penyimpanan suhu dingin 30

7. Grafik nilai log TPC pada penyimpanan suhu ruang ... 33

8. Grafik nilai log TPC pada penyimpanan suhu dingin ... 34

9. Diagram batang nilai rata-rata TBA pada penyimpanan suhu dingin .. 35

10. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik warna fillet ikan patin selama penyimpanan suhu ruang………... 37

11. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik warna fillet ikan patin selama penyimpanan suhu dingin………. 38

12. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik penampakan fillet ikan patin selama penyimpanan suhu ruang………. . 40

13. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik penampakan fillet ikan patin selama penyimpanan suhu dingin ... 41

14. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik bau fillet ikan patin selama penyimpanan suhu ruang ... 41

15. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik bau fillet ikan patin selama penyimpanan suhu dingin ... 42

16. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik tekstur fillet ikan patin selama penyimpanan suhu ruang ... 43

17. Grafik nilai rata-rata uji organoleptik tekstur fillet ikan patin selama penyimpanan suhu dingin ... 44

18. Hubungan antara parameter kesegaran fillet ikan Patin pada penyimpanan suhu ruang………... 45

19. Hubungan antara parameter kesegaran fillet ikan Patin pada penyimpanan suhu dingin ... 46

(16)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu potensi perikanan yang saat ini menjadi primadona karena permintaannya yang meningkat. Persentase kenaikan produksi ikan patin di Indonesia cukup pesat, pada tahun 2004-2007 sebesar 22,86% sedangkan persentase kenaikan produksi ikan patin tahun 2007-2008 adalah 38,52% dari 37.878 ton pada tahun 2007 meningkat menjadi 52.470 ton tahun 2008 (DKP 2009). Peningkatan ini cukup siginifikan terkait erat dengan perkembangan tren pasar di masyarakat. Konsumsi ikan tahun 2008 sebesar 29,98 kg per kapita per tahun, meningkat dari tahun 2007 yang mencapai 25 kg, sedangkan pada tahun 2004 hanya 22,58 kg (DKP 2009).

Ikan sangat rentan terhadap kerusakan akibat pertumbuhan mikroba paska kematian dan kinerja biokimia yang terdapat dalam tubuh ikan. Hal ini disebabkan karena daging ikan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Daging ikan menyediakan sumber zat makanan makromolekul dan mikromolekul yang secara langsung dapat digunakan mikroba (Hadiwiyoto 1993). Efek dari aktivitas mikroba pada protein ikan adalah off-flavor dan off-odor (Reddy et al. 1994). Glikogen dalam tubuh ikan diubah menjadi asam laktat akibat bekerjanya autolisis (Hadiwiyoto 1993). Secara komersial, hal ini menjadi suatu tantangan bagi transportasi dan pemasaran ikan (Regenstein 2006).

Belakangan ini telah berkembang suatu tren permintaan terhadap produk makanan yang didinginkan dengan umur simpan yang lebih panjang. Konsumen lebih memilih produk yang segar, mudah untuk dikonsumsi dan tidak menggunakan bahan tambahan pangan. Hal ini telah mendorong pertumbuhan teknologi alternatif untuk pengemasan bahan pangan, distribusi dan penyimpanan, yaitu modified atmosphere packaging (MAP), yang menghasilkan produk yang mempunyai umur simpan yang lebih panjang dan kualitas yang lebih baik (Sivertsvik et al. 2002).

Modified Atmosphere Packaging (MAP) adalah suatu teknologi memperpanjang umur simpan produk dengan menggantikan udara yang ada di dalam kemasan dengan campuran gas yang relatif lebih murni atau steril dan

(17)

terhitung rasio kandungannya (Sivertsvik et al. 2002). Pengemasan atmosfer termodifikasi dengan kandungan gas karbondioksida dalam kemasannya dapat memperpanjang umur simpan dari produk dengan memperpanjang lag phase dari bakteri aerobik pembusuk (Statham 1984; Farber 1991 dalam Reddy et al. 1994). Bila dibandingkan dengan pendinginan, pengemasan atmosfer termodifikasi telah memperpanjang umur simpan sampai dua kali lipat terhadap produk perikanan segar dan produk olah minimal (Statham 1984; Reddy et al. 1992 dalam Reddy et al. 1994) serta mempunyai potensi untuk digunakan pada level eceran atau retail.

Efektifitas MAP dalam memperpanjang umur simpan tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis makanan, kualitas dari bahan makanan (raw material), komposisi gas, suhu penyimpanan, higiene selama penanganan dan pengemasan, rasio antara volume gas dan produk, permeabilitas dari kemasan. Konsentrasi CO2 pada MAP tergantung pada spesies ikan (Soccol & Otterrer 2003) dan perbedaan komposisi gas telah digunakan untuk berbagai produk ikan. Karena faktor ini, maka perlu juga dilakukan penelitian pengaruh MAP terhadap fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus).

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah

1) Mengetahui bagaimana pengaruh pengkomposisian gas CO2 dan N2 terhadap aspek mikrobiologi, kimiawi dan sensori fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus) dalam MAP dengan penyimpanan pada suhu 5oC dan suhu ruang.

2) Mengetahui komposisi gas yang paling optimum untuk memperpanjang umur simpan fillet segar ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) pada MAP dengan penyimpanan pada suhu 5oC dan suhu ruang.

(18)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus)

Klasifikasi ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypopthalmus

Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto & Amri 2001).

Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya, jari-jari lunak sirip punggung berjumlah 6-7 buah. Pada punggung terdapat sirip lemak yang berukuran kecil sekali. Sirip ekornya membentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip duburnya panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak, sedangkan sirip perutnya memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari –jari keras yang berubah menjadi patil.

Gambar 1. Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) Sumber : Dokumentasi Penelitian

(19)

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan sehubungan dengan ikan patin. Komposisi kima ikan patin oleh berbagai sumber dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia ikan patin (Pangasius hypopthalmus)

Analisis Jumlah (%) (a) (b) (c) Air 82,22 81,31 80,14 Protein 14,53 16,05 12,65 Lemak 1,09 1,09 1,11 Abu 0,74 1,10 1,03

Sumber : (a) Direktorat Jendral Perikanan (1990) dalam Sari (2009) (b) Swasono (2007)

(c) Orban et. al. (2008)

Ikan patin merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomis tinggi. Pangasius hypopthalmus yang juga dikenal dengan nama Tra Catfish adalah ikan budidaya komersial utama di Delta Mekong, Vietnam. Vietnam merupakan negara pengekspor ikan patin dengan total ekspor sebesar 334.000 ton pada delapan bulan pertama tahun 2009 yang bernilai sekitar 737 juta USD. Jenis produk yang diekspor biasanya adalah dalam bentuk utuh beku, fillet beku dan fillet segar (Globefish 2009). Jumlah impor ikan patin oleh Amerika Serikat selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Impor ikan patin oleh Amerika Serikat pada tahun 2005-2009 (dalam 1000 ton)

Negara pengekspor Tahun Produksi (bulan Januari-Juni)

2005 2006 2007 2008 2009 Vietnam 3,6 3,4 7,3 12,5 16,4 China 0,8 1,9 7,8 9,2 4,3 Thailand 0,0 1,5 2,9 3,5 3,5 Malaysia 0,0 1,4 0,5 0,5 0,1 Indonesia 0,0 0,0 0,4 0,4 0,2 Lainnya 0,7 0,6 0,3 0,7 0,9 Total 5,1 8,7 19,1 26,8 25,4 Sumber : Globefish (2009)

(20)

2.2 Kemunduran Mutu Ikan

Sesudah dipanen dan mati, secara keseluruhan ikan akan mengalami proses penurunan mutu, baik disebabkan oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal yang akhirnya mengarah pada proses pembusukan (Ilyas 1983). Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim, mikroorganisme dan kimiawi. Penurunan tingkat kesegaran ikan tersebut dapat terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan meliputi pre-rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi (Junianto 2003).

2.2.1 Fase Pre-Rigor

Fase ini merupakan perubahan yang pertama yang terjadi setelah ikan mati. Pada fase pre-rigor, jaringan otot ikan lunak dan lentur, dan karakterisasi biokimiawinya adalah rendahnya level ATP dan kreatin fosfat (Eskin et al. 1971). Pada fase ini terjadi peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri.

2.2.2 Fase Rigor Mortis

Kondisi yang kaku dan keras dikenal dengan fase rigor mortis. Ikan biasanya memiliki periode fase rigor mortis yang lebih pendek sekitar 1-7 jam setelah kematian, dengan banyak faktor yang mempengaruhi lamanya fase tersebut (Eskin et al. 1971). Pada kondisi rigor mortis ini daging menjadi keras dan kaku. Biasanya proses ini berlangsung selama lima jam. Selama berada dalam fase ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar. Ini berarti apabila rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama, maka proses pembusukan dapat ditekan. Nilai pH ikan hidup bernilai sekitar 7,0. Pada fase rigor mortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2 (Ilyas 1983).

2.2.3 Kerusakan secara biokimiawi

Kerusakan biokimiawi termasuk pada perubahan di fase post-rigor. Hal ini disebabkan oleh adanya enzim-enzim dan reaksi-reaksi biokimiawi yang masih

(21)

berlangsung pada tubuh ikan. Kerusakan biokimiawi ini sering kali disebut autolisis, artinya kerusakan yang disebabkan oleh dirinya sendiri (Hadiwiyoto 1993). Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri. Pasalnya semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (Junianto 2003).

Pada waktu ikan masih hidup, enzim-enzim aktif bekerja dalam metabolisme komponen-komponen organik seperti metabolisme protein dan komponen-komponennya, metabolisme lemak, metabolisme karbohidrat dan lainnya, yang kesemuanya merupakan rangkaian reaksi yang terjadi dalam kehidupan. Enzim-enzim ini lebih bersifat membentuk, mengadakan sintesa, dan membangun. Namun, segera setelah pemasokan oksigen pada darah berhenti maka enzim-enzim tersebut kehilangan salah satu bahan untuk menjalankan perannya. Sehingga enzim tersebut kemudian membongkar senyawa makromolekul menjadi senyawa yang lebih sederhana sampai pada akhirnya terjadi berbagai senyawa yang mudah menguap dan menghasilkan bau yang tidak sedap (Hadiwiyoto 1993).

2.2.4 Kerusakan secara mikrobiologi

Kerusakan secara mikrobiologi termasuk pada fase post rigor. Diketahui bahwa produk ikan segar sangat rentan dengan pertumbuhan mikroorganisme post mortem. Karena rentannya ikan terhadap mikroorganisme, hanya sedikit yang diperdagangkan dalam bentuk segar (Skinner & Reddy 2006). Pada waktu hidup, bakteri tidak dapat menyerang daging ikan karena ikan mempunyai ketahanan. Tetapi setelah ikan mati, daging ikan kehilangan ketahanannya sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dengan memperoleh substrat dari daging (Hadiwiyoto 1993).

Daging ikan merupakan substrat yang baik untuk bakteri karena dapat menyediakan senyawa-senyawa yang dapat menjadi sumber nitrogen, karbon dan kebutuhan nutrien lainnya. Meskipun senyawa pada ikan dalam bentuk makromolekul seperti protein, lemak, karbohidrat, bakteri dapat menguraikannya

(22)

terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih sederhana. Terjadinya autolisa membantu menyediakan kebutuhan bakteri (Hadiwiyoto 1993).

Sivertsvik et al. (2002) menginformasikan bahwa penyimpanan produk dalam MAP tidak menaikkan resiko dari patogen seperti Salmonella, Staphylococcus, Clostridium perfringens, Enterococcus bila dibandingkan dengan produk dikemas dengan udara biasa. Patogen utama yang diperhatikan pada saat pengemasan ikan dalam kondisi anaerobik adalah Clostridium botulinum. Pengemasan atmosfer termodifikasi yang mengandung CO2 tinggi efektif menghambat pertumbuhan Aeromonas hydrophila pada suhu yang rendah (Ingham 1990, Davies & Slade 1995, Devlieghere et al. 2000 dalam Sankar et al. 2008).

2.3 Modified Atmosphere Packaging (MAP)

Modified Atmosphere Packaging dapat didefenisikan sebagai proses dimana produk yang mudah rusak (perishable food) ditempatkan pada suatu kemasan/film dengan barrier, udaranya dikeluarkan dengan vakum atau semburan, dan kemasan diisi dengan gas yang ditentukan atau komposisi gas yang berbeda dengan udara biasa, diikuti dengan menutup kemasan (Kroft 2004, Rao & Sachindra 2002 dalam Sebranek & Houser 2006). Ada dua metode pengemasan dengan mengubah komposisi atmosfer, yaitu pengemasan atmosfer termodifikasi (modified atmosphere packaging) dan pengemasan dengan kontrol atmosfer terkendali (controlled atmosphere storage). Baik sistem MAP ataupun CAS, komposisi udara sekeliling produk diatur sesuai yang diinginkan. Dalam CAS, komposisi udara dikontrol atau dikendalikan setiap saat dalam penyimpanan, pengontrolan demikian hanya mungkin dilakukan pada unit penyimpanan yang besar (bulk) dan tidak bisa pada kemasan-kemasan yang kecil. Sedangkan pada MAP, komposisi udara tidak dikendalikan selama penyimpanan, tetapi berubah melalui permeabilitas kemasan (Cann 1988 dalam Norhayani 2003).

Modified Atmosphere Packaging juga sering disebut sebagai „gas packaging’ (pengemasan gas) atau „gas exchange packaging’ (pengemasan pertukaran gas), tetapi hal ini tidak direkomendasikan pada label pengemasan karena konsumen sering mengasumsikan gas sebagai hal yang negatif.

(23)

Belakangan ini, MAP juga sering disebut juga sebagai protective atmosphere packaging (pengemasan atmosfer terlindungi) atau apabila digunakan pada label, ‘Packaged in a protective atmosphere’ (dikemasan dalam atmosfer yang terlindungi). Pengemasan vakum secara umum tidak termasuk MAP karena atmosfernya tidak digunakan tetapi hanya dikeluarkan dari kemasan (Sivertsvik et al. 2002).

Kelebihan MAP yang paling menonjol adalah dapat mencapai umur simpan yang lebih lama, tetapi MAP juga mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan yang disajikan pada Tabel 3. Efektivitas MAP dalam memperpanjang umur simpan tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis makanan, kualitas dari bahan makanan (raw material), komposisi gas, suhu penyimpanan, higiene selama penanganan dan pengemasan, rasio antara volume gas dan produk, permeabilitas dari kemasan.

Tabel 3. Kelebihan dan kekurangan Modified Atmosphere Packaging (MAP)

Kelebihan Kekurangan

1) Memperpanjang umur simpan sampai sekitar 50-400%

2) Mengurangi kerugian ekonomi karena umur simpan yang lebih panjang 3) Mengurangi biaya distribusi, jarak

distribusi yang lebih jauh

4) Menghasilkan produk dengan kualitas tinggi

5) Pemisahan yang lebih mudah pada produk yang diiris

6) Bagian-bagian dapat dikontrol 7) Presentasi produk yang lebih

terimprovisasi dan penampakan jelas dari produk karena kemasan yang transparan

8) Sedikit atau tidak membutuhkan bahan tambahan pangan kimia

9) Kemasan yang tertutup, penghalang untuk rekontaminasi produk

10) Tidak berbau dan merupakan kemasan yang praktis

1) Penambahan biaya

2) Membutuhkan pengontrolan suhu 3) Formulasi gas yang berbeda untuk

setiap jenis produk

4) Menggunakan peralatan yang spesial dan adanya latihan

5) Memerlukan keamanan pangan 6) Memperbesar volume

kemasan-mempengaruhi biaya transport dan memperbesar tempat untuk display 7) Kerugian apabila kemasan telah

terbuka atau rusak

8) Penyerapan CO2 ke dalam makanan dapat menyebabkan kemasan pecah.

(24)

2.4 Gas dalam Modified Atmosphere Packaging (MAP)

Ada tiga gas utama yang yang digunakan pada MAP yaitu oksigen (O2), nitrogen (N2) dan karbondioksida (CO2). Untuk hampir semua jenis produk, kombinasi dari dua atau tiga jenis gas ini digunakan, dipilih berdasarkan kebutuhan dari spesifik produk. Biasanya untuk produk yang tidak berespirasi, dimana pertumbuhan mikroba adalah parameter perusak utama, penggunaan 30-60% CO2 digunakan, sisanya adalah N2 (untuk produk yang sensitif dengan O2) atau kombinasi dari N2 dan O2 (Sivertsvik et al. 2002).

Selain itu, gas seperti CO dan Ar (karbon monoksida dan argon) dapat menjadi pilihan. Penggunaan gas Ar sama seperti N2 yang merupakan gas inert. Perannya adalah sebagai pengisi dalam total volume gas sehingga tidak diisi oleh gas aktif seperti O2. Juga, gas ini dapat digunakan untuk menciptakan kondisi anaerobik, memang dalam kenyataanya bukan kondisi anaerobik sempurna tapi kondisi mikroaerofilik yang tercipta dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme aerobik. Tetapi, penggunaan gas Ar ini membutuhkan biaya yang lebih besar. Karbon monoksida (CO) juga kadang digunakan pada MAP. Molekul CO “memperbaiki” warna pigmen darah hemoglobin dan pigmen otot mioglobin. Namun, penggunaannya secara langsung pada ikan segar merupakan kontroversi walaupun CO merupakan komponen aktif pada pengasapan cair yang dipergunakan untuk memperbaiki warna ikan tuna dan tilapia (Regenstein 2006). Pada pengemasan vakum, jumlah gas yang berada dalam kemasan sangat rendah yang menyebabkan perubahan lebih cepat, baik negatif ataupun positif. Pada MAP, gas yang terdapat dalam kemasan dapat menjadi lapisan pelindung (insulating layer) yang mempersulit perubahan suhu. Apabila terjadi perubahan suhu ekstrim, menyimpan produk dalam kemasan vakum pada suhu yang dingin lebih mudah, tetapi suhu produk juga akan cepat naik. Maka untuk MAP, perlu untuk menggunakan ikan yang dingin sebelum dikemas (Regenstein 2006).

2.4.1 Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida merupakan gas yang paling penting pada MAP, karena sifat bakteriostatik dan fungistatiknya. Karbondioksida (CO2) menghambat pertumbuhan banyak jenis dari bakteri perusak dan tingkat penghambatannya

(25)

semakin tinggi sejalan dengan konsentrasi CO2 yang semakin besar dalam kemasan. Karbondioksida (CO2) dapat larut dalam air dan lemak, dan kelarutannya semakin meningkat dengan menurunnya suhu (Sivertsvik et al. 2002). Kelarutan CO2 dalam air pada 0oC dan 1 atm adalah 3,38g CO2/kg H2O, tetapi pada 20oC kelarutannya menurun menjadi 1,73g CO2/kg H2O (Knoche 1980 dalam Sivertsvik et al. 2002).

Karbondioksida berfungsi mempertahankan oxyomyoglobin (warna merah) pada daging segar. Karbondioksida menghambat aktivitas mikroorganisme dengan 2 cara yaitu (a) larut dalam air dan minyak yang terkandung dalam makanan kemudian membentuk asam karbonat sehingga menurunkan pH, dan (b) mempunyai pengaruh negatif terhadap enzim dan aktivitas biokimia dalam sel, baik pada mikroorganisme maupun makanan.

2.4.2 Nitrogen (N2)

Nitrogen merupakan gas yang digunakan dalam MAP sebagai gas pengisi karena kelarutannya yang rendah. Nitrogen tidak larut dalam air dan lemak dan tidak terserap dalam produk. Nitrogen digunakan untuk menggantikan O2 dalam kemasan yang produknya sensitif terhadap O2, menunda ketengikan, sebagai alternatif kemasan vakum dan menghambat pertumbuhan bakteri aerobik (Sivertsvik et al. 2002).

Menurut Fey & Regenstein (1982) dalam Norhayani (2003), gas N2 pengaruhnya tidak berarti terhadap pertumbuhan bakteri dan daya awet makanan dari daging. Gas ini hanya berfungsi sebagai pengisi udara bagian dalam kemasan untuk mencapai kesetimbangan campuran gas (Cann 1988; Steck 1991 dalam Norhayani 2003).

2.4.3 Oksigen (O2)

Umur simpan dari produk yang mudah rusak seperti daging, telur, ikan, daging unggas, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan yang telah dimasak, dipengaruhi oleh adanya oksigen dan dikondisikan pada tiga faktor yang penting : i) reaksi dengan oksigen, ii) pertumbuhan mikroorganisme aerobik perusak, iii) serangan serangga. Setiap faktor ini, atau kombinasi dari faktor ini, mengarah

(26)

pada penurunan mutu dalam warna, rasa dan aroma dari makanan (Smith et al. 1987 dalam Soccol 2003).

Sebenarnya, O2 diperkenalkan dalam pengemasan atmosfer dari beberapa jenis produk adalah untuk mengurangi resiko dari pertumbuhan bakteri patogen, tetapi saat ini proses ini telah diragukan (ACMSF 1992 dalam Sivertsvik et al. 2002).

2.5 Komposisi Gas dalam Modified Atmosphere Packaging (MAP)

Ikan dan kerang-kerangan adalah produk yang mudah rusak, karena aw yang tinggi, pH netral dan adanya enzim autolitik yang menyebabkan perkembangan yang cepat pada rasa dan bau yang tidak diinginkan. Ikan secara normal mengandung banyak jenis mikroba karena metode penangkapannya, transportasi, metode pemotongan, pemisahan dengan kulitnya selama pada pengemasan retail.

Komposisi gas yang mengandung 40-60% CO2, 40-60% N2 dan tidak ada O2 direkomendasikan untuk produk ikan yang berlemak, karena ketengikan dari lemak tak jenuh pada ikan berlemak menyerang bau dan rasa, selain dari kerusakan akibat mikroba. Pengemasan vakum juga bisa menjadi alternatif selain MAP untuk ikan berlemak seperti salmon, menghasilkan hasil sensori umur simpan yang mirip dimana parameter perusak sensori yang utama adalah ketengikan (Rosnes et al. 1997; Randell et al. 1999 dalam Sivertsvik et al. 2002). Tetapi untuk kualitas mikrobiologi masih lebih baik menggunakan MAP dibandingkan dengan pengemasan vakum.

Karuniawati (2003) berdasarkan hasil penelitiannya pada fillet ikan Mas mendapatkan konsentrasi 60% CO2 memberikan hasil yang baik khususnya pada tekstur fillet. Menurut Cann 1988 dalam Norhayani 2003, ikan berlemak tinggi disarankan penggunaan campuran gas dengan proporsi 60% CO2 dan 40% N2. Reddy et al. (1994) dalam penelitiannya, menyatakan bahwa fillet ikan Nila yang dikemas dengan komposisi gas 75% CO2 dan 25% N2 dan disimpan dalam suhu pendinginan dapat memperpanjang umur simpannya sampai 25 hari, memberikan hasil yang lebih baik daripada komposisi gas yang lain. Sedangkan menurut Venugopal (2006), umur simpan dari fillet catfish pada suhu penyimpanan 4oC

(27)

dan komposisi gas 75% CO2: 25% N2 mencapai 38-40 hari, lalu umur simpan untuk fillet channel catfish pada suhu penyimpanan 0-2oC dan komposisi gas 80% CO2: 20% udara mencapai 28 hari.

Menurut Pandazi et al. (2008), umur simpan dari Xiphias gladius (Mediteranian swordfish) yang telah didinginkan dan disimpan dalam suhu 4oC dengan komposisi gas 40%:30%:30%(CO2:N2:O2) bila dibandingkan dengan kemasan dalam udara ataupun vakum memiliki kualitas organoleptik terbaik dan mempunyai umur simpan sampai dengan 12 hari. Penelitian yang dilakukan Erkan (2007) terhadap chub mackarel dalam kemasan vakum dan atmosfer termodifikasi menunjukkan bahwa pengemasan atmosfer termodifikasi mempunyai umur simpan yang lebih lama 2 hari terhadap vakum yaitu 12 hari. Pengemasan atmosfer termodifikasi yang dilakukan pada chub mackarel ini menggunakan komposisi gas 5%:70%:25% (O2:CO2:N2) pada suhu 4oC. Menurut Syarief (1990), penyimpanan ikan dengan 100% CO2 menaikkan kecepatan dan jumlah produksi drip, sehingga pentingnya menurunkan tingkat CO2 di bawah 60%.

2.6 Wadah Kemasan

Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas/dibungkusnya (Julianti & Nurminah 2006).

Saat ini, pengemasan dengan material plastik telah secara luas dipakai dalam industri pengemasan pangan karena biayanya yang rendah dan fleksibilitasnya yang tinggi. Wadah plastik lebih ringan dibandingkan dengan wadah logam dan kaca, dan hanya membutuhkan energi yang rendah untuk dibuat, diubah atau ditransportasikan (Hernandez & Giacin 1998).

Saat pengemas memberikan batasan antara produk dan lingkungan, tingkatan perlindungannya beragam. Variasi ini penting hubungannya dengan transportasi dari gas, uap air, atau komponen molekul-molekul antara lingkungan eksternal dan lingkungan internal pengemasan, yang dikontrol oleh bahan

(28)

pengemas. Tidak seperti kaca, logam atau keramik, bahan pengemas plastik secara relatif dapat ditembus (permeabel) oleh molekul kecil seperti gas (CO2, O2, atau jenis gas lainnya), uap air, bahan organik, dan cairan (Hernandez & Giacin 1998).

Penyimpanan sistem MAP memerlukan bahan kemasan yang spesifik untuk menjaga agar komposisi udara dalam kemasan yang telah diatur pada awalnya tidak banyak mengalami perubahan selama penyimpanan. Untuk maksud ini hendaknya digunakan bahan kemasan yang mempunyai permeabilitas rendah (high barrier film). Nilai pemeabilitas beberapa kemasan terhadap laju perembesan beberapa jenis gas dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Permeabilitas Beberapa Film Plastik Kemasan

Jenis Film Permeabilitas

CO2 H2 N2 O2

Polypropilene (PP) 500-800 1700 40-48 150-240

Low Density Poly Ethylene

(LDPE) 2700 1950 180 500

Medium Density Poly Ethylene

(MDPE) 1000-2500 1950 85-315 250-535

High Density Poly Ethylene

(HDPE) 580 - 42 185

Nilai permeabilitas berdasarkan hasil tes ASTM D-1434: cc-mil/100 sq.in-24hr-atm.at 25 0C Sumber : Smoluk & Sneiler (1985)

Berdasarkan Tabel 4 di atas, jika dibandingkan, maka kemasan yang mempunyai permeabilitas paling rendah terhadap CO2 adalah Polypropilene (PP), sehingga kemasan ini paling baik untuk dipakai pada pengemasan atmosfer termodifikasi karena dapat menjadi barrier yang baik terhadap perembesan CO2 keluar dari kemasan.

(29)

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian; Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Laboratorium Karakteristik dan Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah fillet ikan patin yang berukuran satu kilogram/ekor yang berasal dari Ciherang-Bogor. Bahan pembantu lainnya adalah es, air, gas CO2, N2; plastik Polipropilen (PP) dengan ukuran 15x30 cm dan ketebalan 0,8 mm untuk pengemasan fillet. Bahan-bahan pereaksi yang digunakan untuk uji-uji yang dilakukan, untuk uji protein digunakan kjeltab,

H2SO4, asam borat, HCl, untuk uji pH digunakan buffer pH 4 dan 7, untuk uji TVBN digunakan TCA 7%, asam borat, K2CO3, HCl, untuk uji TPC digunakan NaCl 0,85%, plate count agar (PCA), untuk uji TBA digunakan HCl 4 M, pereaksi TBA, akuades.

Alat yang digunakan adalah mixer gas, Cosmotector tipe X-314, flow meter, alat vakum udara dan coolbox. Untuk analisis proksimat digunakan kjeltec system, oven, tanur, ekstraksi soxhlet, timbangan analitik, lalu untuk TVB digunakan gelas piala, stirrer, magnetic stirrer, gelas ukur, erlenmeyer, cawan Conway; gunting, pisau, timbangan analitik, pipet 1 ml, blender jars, Erlenmeyer ukuran 250 ml, batang pengaduk, tabung reaksi, inkubator, pinset, cawan petri, Bunsen untuk TPC; pH-meter untuk uji nilai pH, refrigerator dengan suhu 50C untuk penyimpanan, score sheet untuk melakukan uji organoleptik.

(30)

3.3. Metode Penelitian

Ikan patin yang diperoleh dari pasar ditransportasikan ke laboratorium lalu dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir. Setelah dibersihkan, ikan dipotong kepalanya dan dikeluarkan isi perutnya yang bertujuan juga untuk mengeluarkan darah dari daging ikan. Kemudian ikan patin difillet dari bagian pangkal ekor hingga pangkal kepala. Selama pemfilletan ikan diberi pecahan es untuk menjaga kesegaran ikan. Selanjutnya ikan dimasukkan ke dalam cool box yang telah disediakan es dan dibawa ke laboratorium pengemasan. Sebelum pengemasan fillet ikan dianalisis proksimat terlebih dahulu.

Setelah berada di laboratorium pengemasan, fillet ikan patin dimasukkan ke dalam plastik PP lalu diseal dengan memberikan ruang untuk memasukkan gas melalui selang. Kemudian, gas dimasukkan ke dalam kemasan-kemasan ikan patin dengan komposisi yang berbeda-beda melalui selang, yaitu kemasan dengan perlakuan 40% CO2+60% N2 (A1), 60% CO2+40% N2 (A2), 80% CO2+20% N2 (A3), kemasan vakum (A4), dan udara biasa sebagai kontrol (A5).

Kemasan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin untuk penyimpanan suhu 50C dan penyimpanan suhu ruang. Pengamatan untuk suhu 50C dilakukan selama 16 hari yaitu pada hari ke 0, 4, 8, 12 dan 16 sedangkan pengamatan untuk suhu ruang dilakukan selama 2 hari yaitu pada jam ke 0, 5, 10, 15 dan 20. Uji pada fillet ikan meliputi Total Volatile Base-Nitrogen (TVBN), jumlah mikroba (TPC), nilai pH, uji TBA (untuk fillet pada penyimpanan suhu 50C) dan uji organoleptik yang dibandingkan dengan kontrol. Diagram alir prosedur penelitian disajikan pada Gambar 2 di bawah ini.

Ikan Patin

Penyiangan

(Pemotongan kepala + Pembersihan perut)

Pemfilletan

A

Analisis Proksimat

(31)

Gambar 2. Diagram alir prosedur metode penelitian A

Pengemasan dalam plastik polipropilen (PP)

Pemasukan gas dengan perlakuan komposisi : A1 : 40% CO2 + 60% N2 A2 : 60% CO2 + 40% N2 A3 : 80% CO2 + 20% N2 A4: Vakum A5 : Kontrol/udara biasa Penyimpanan

Pengamatan pada jam ke-0, 5, 10, 15, 20 Suhu ruang

Analisis TVB, TPC, pH, dan organoleptik

Suhu 5oC

Pengamatan pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16

Analisis TVB, TPC, TBA, pH, dan organoleptik

Kemasan divakum menggunakan pompa vakum

(32)

3.4. Metode

3.4.1 Analisis proksimat

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, abu, protein, dan lemak.

1. Analisis kadar air (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah kadar air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105oC selama 10-15 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, kemudian cawan dan daging ikan patin seberat 5 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105oC selama 3-5 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar air pada fillet ikan patin adalah: % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 =𝐵 − 𝐶

𝐵 − 𝐴 × 100% Keterangan :

A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan daging ikan patin (gram)

C = Berat cawan dengan daging ikan patin setelah dikeringkan (gram)

2. Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 650oC selama 1 jam. Cawan abu porselen tersebut didinginkan selama 30 menit setelah suhu tungku turun menjadi sekitar 200oC dan ditimbang. Fillet ikan patin sebanyak 1-2 gram yang telah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam cawan

(33)

abu porselen. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam tungku secara bertahap hingga suhu 650oC. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah suhu tungku pengabuan turun menjadi sekitar 200oC, cawan abu porselin didinginkan selama 30 menit dan kemudian ditimbang beratnya.

Perhitungan kadar abu pada fillet ikan patin: % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 =𝐶 − 𝐴

𝐵 − 𝐴 × 100% Keterangan :

A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan fillet ikan patin (gram) C = Berat cawan abu porselen dengan fillet ikan patin

setelah dikeringkan (gram)

3. Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Fillet ikan patin ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu butir kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Destilasi terdiri dari 2 tahap, yaitu persiapan dan sampel. Tahap persiapan dilakukan dengan membuka kran air kemudian dilakukan pengecekan alkali dan air dalam tanki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya. Tombol power pada kjeltec sistem ditekan lalu dilanjutkan dengan menekan tombol steam dan tungku beberapa lama sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan, tabung kjeltec dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat kjeltec sistem.

Tahap sampel dilakukan dengan meletakkan tabung yang berisi fillet ikan patin yang sudah didestruksi ke dalam kjeltec sistem beserta erlenmeyer yang

(34)

diberi asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang berisi asam borat mencapai 200 ml.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink.

Perhitungan kadar protein pada fillet ikan patin:

% 𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 = 𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 𝑓𝑖𝑙𝑙𝑒𝑡 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑛 − 𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 × 0,1 𝑁 𝐻𝐶𝑙 × 14 × 100% 𝑓𝑖𝑙𝑙𝑒𝑡 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑛

% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = % 𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 × 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖

4. Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Fillet ikan patin seberat 3 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40oC dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak pada fillet ikan patin: % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 =𝑊3 − 𝑊2

𝑊1 × 100% Keterangan :

W1 = Berat sampel fillet ikan patin (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

(35)

3.4.2 Nilai pH (Sudarmadji et al. 1984)

Penetapan nilai pH dapat dilakukan setelah pH meter dikalibrasi terlebih dahulu. Setelah sampel disiapkan, suhu diukur kemudian pengatur suhu pH meter ditetapkan pada suhu tersebut. Stabilisasi pH-meter dilakukan 15-30 menit. Setelah itu, elektroda dibilas dengan aquades dan dikeringkan. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel dengan pengukuran pH diset. Elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil, kemudian pH sampel data dicatat.

3.4.3 Total Volatile Bases Nitrogen (TVBN) (AOAC 1995)

Prinsip penetapan TVBN adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amoniak, mono-, di- dan trimetilamin, dll) yang terdapat dalam ekstrak ikan yang bersifat basa pada suhu 35oC selama 2 jam atau pada suhu kamar selama semalam. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat kemudian dititrasi dengan HCl.

Prosedur kerjanya yaitu 25 gr sampel ikan yang sudah digiling dan 75 ml larutan TCA 7% (b/v) dilumat selama 1 menit. Larutan tadi disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh filtrat yang jernih.

Larutan asam borat sebanyak 1 ml dituangkan ke dalam inner chamber cawan Conway. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml dari arah yang berlawanan sehingga ke dua macam larutan belum tercampur.

Tutup cawan diletakkan di atas cawan dengan posisi hampir menutup, kemudian 1 ml K2CO3 jenuh dituangkan ke dalam outer chamber. Setelah itu, cawan langsung ditutup dengan rapat. Sebelumnya, bibir cawan maupun tutup cawan diolesin dengan vaselin. Pada cawan blanko, filtrat sampel diganti dengan larutan 5% TCA dan dikerjakan seperti prosedur di atas. Untuk setiap sampel dan blanko dikerjakan secara duplo.

Cawan Conway disusun pada rak inkubator secara hati-hati, kemudian digoyangkan perlahan-lahan selama 1 menit. Selanjutnya diinkubasikan selama 2 jam pada suhu 35oC atau disimpan dalam suhu kamar selama semalam.

(36)

Larutan asam borat dalam inner chamber dititrasi dengan HCl menggunakan magnetic stirrer sehingga larutan asam borat berubah menjadi merah muda.

TVBN (mgN/100g) =(𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 −𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 )

100 𝑔 𝑑𝑎𝑔𝑖𝑛𝑔 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑥 80 𝑚𝑔 𝑁

3.4.4 Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987)

Prinsip dari pengamatan ini adalah menentukan besarnya populasi bakteri yang terdapat pada ikan, yang memberikan gambaran tentang bagaimana tingkat kesegaran ikan tersebut, karena bakteri merupakan faktor utama penyebab pembusukan yang sedang berlangsung.

Prosedur kerjanya terdiri dari empat tahap yang saling berhubungan yaitu tahap persiapan, penanaman, pengeraman dan perhitungan. Pertama, 5 gr daging ikan ditimbang secara aseptis dan representatif, dimasukkan ke dalam blender jars steril dan ditambahkan pada 90 ml NaCl 0,85% steril, kemudian diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama 2 menit. Larutan yang didapat adalah pengenceran 1:10. Selanjutnya dipipet larutan 1:10 diatas sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan 1 ml lagi sebagai duplo. Kemudian disiapkan larutan contoh 1:100, dengan memipet 1 ml larutan 1:10 dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan NaCl 0,85 % steril, lalu dikocok sampai homogen. Larutan contoh 1:100 ini dimasukkan ke dalam cawan petri steril kedua dan secara duplo. Selanjutnya dengan cara yang sama dikerjakan inokulasi contoh sampai dengan pengenceran 1:1.000.000 yang dilakukan secara aseptis.

Ke dalam semua cawan petri yang telah berisi larutan contoh di atas, dituangkan secara aseptis media tumbuh plate count agar (PCA) steril bersuhu 45oC sebanyak 15 ml, dan dibiarkan selama 15-20 menit sampai agarnya memadat. Setelah itu, semua cawan petri tersebut diinkubasi pada suhu 30oC dengan posisi terbalik selama 48 jam dengan posisi terbalik. Disamping itu dibuat blanko, yaitu ke dalam cawan petri steril hanya dituangkan media tumbuh PCA 15 ml. Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah bakteri dengan menggunakan alat hitung Quebec. Perhitungan dilakukan disesuaikan dengan Standard Plate Count (SPC).

(37)

3.4.5 Analisis bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) metode Tarladgis (Apriyantono et al. 1989)

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti, dimasukkan ke dalam wearing blender. Ditambahkan 50 ml akuades dan dihancurkan. Sampel yang telah dihancurkan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan ± 2,5 ml HCl 4 M (atau hingga pH menjadi 1,5) sampel didestilasi dengan menggunakan pendingin tegak (alat destilasi) hingga diperoleh cairan destilat sebanyak 50 ml ± 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk hingga homogen dan dipipet ke dalam tabung reaksi tertutup sebanyak 5 ml. Pereaksi TBA ditambahkan 5 ml, kemudian divorteks hingga homogen. Larutan sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 35 menit kemudian didinginkan dengan air mengalir selama 10 menit.

Larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Larutan blanko ditetapkan sebagai titik nol dalam pengukuran absorbansi. Larutan sampel kemudian diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm. Bilangan TBA didefenisikan sebagai mg malnodehid per kg. Perhitungan bilangan TBA dalam sampel dilakukan melalui persamaan:

Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg) = 3

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 × 7,8

3.4.6 Uji Organoleptik (Soekarto 1985)

Untuk melakukan kondisi optimal penyimpanan fillet ikan dalam kemasan atmosfer termodifikasi dilakukan uji organoleptik dengan 10 skala mutu hedonik (Soekarto 1985). Pengujian dilakukan terhadap penampakan, bau, warna, tekstur berdasarkan pada kesukaan panelis. Panelis tetap yang dilibatkan adalah 10 orang. Kriteria penilaian dikonversikan ke dalam angka-angka.

3.5. Analisis Data (Steel & Torrie 1991)

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian adalah rancangan acak lengkap dengan percobaan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang pertama adalah komposisi gas yang dimasukkan ke dalam kemasan plastik fillet ikan, terdiri dari 5 taraf, yaitu 40%CO2 + 60% N2 (A1); 60% CO2 + 40% N2 (A2);

(38)

80% CO2 + 20% N2 (A3); vakum (A4), dan udara biasa (sebagai kontrol) (A5). Faktor yang kedua adalah masa simpan yang terdiri dari masa simpan untuk suhu 50C yaitu hari ke-0 (B1), 4 (B2), 8 (B3), 12 (B4), 16 (B5) dan untuk suhu ruang yaitu jam ke-0 (B1), 5 (B2), 10 (B3), 15 (B4), 20 (B5). Setelah diketahui bahwa perlakuan memberikan pengaruh terhadap hasil TPC, TVB,TBA dan pH, maka dilakukan uji Lanjut Duncan.

Model rancangan acak lengkap atau RAL, dengan percobaan dua faktor adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + Σijk

Yijk = faktor pengamatan pada faktor ke-A taraf ke-i, faktor ke- B taraf ke-j dan ulangan ke-K.

(µ, αi, βj) = komponen additif dari rataan, pengaruh utama faktor A taraf ke-i dan pengaruh utama faktor B taraf ke-j.

(αβ)ij = komponen interaksi dari faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j.

Σijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2).

i = 1,2,3,4,5

j = 1,2,3,4,5

Data hasil pengamatan diolah dengan analisis ragam (Analysis of Variance). Bila hasil dari analisis ragam memperlihatkan pengaruh nyata atau sangat nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan’s Multiple Test Range (DMRT), sehingga diketahui perlakuan yang memberikan hasil berbeda dengan perlakuan yang lain.

Data hasil uji organoleptik diolah menggunakan Metode Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis dilakukan pada warna, penampakan, bau dan tekstur. Apabila memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap uji organoleptik maka akan diolah lebih lanjut menggunakan Uji Multiple Comparison.

(39)

Uji Kruskal Wallis 𝑯 = 𝟏𝟐 𝒏(𝒏 + 𝟏) 𝒊 𝑹𝒊 𝒏𝒊 − 𝟑(𝒏 + 𝟏) 𝐻′ = 𝐻 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑔𝑖 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑔𝑖 = 1 − 𝑡 𝑛 − 1 (𝑛 + 1) Keterangan : n = jumlah data

ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i

t = banyaknya pengamatan yang seri dalam kelompok H‟ = H terkoreksi

Uji Multiple Comparison

𝑹𝒊− 𝑹𝒋 >< 𝑍 ∝/2𝒑

𝒏 + 𝟏 𝒌 𝟔

Keterangan :

Ri = rata-rata rangking perlakuan ke-i Rj = rata-rata perlakuan ke-j

n = jumlah total data k = banyaknya ulangan

(40)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Proksimat Daging Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus)

Analisis kimia dilakukan pada ikan patin yang digunakan yaitu kadar air, protein, lemak dan abu. Komposisi kimia daging ikan daging ikan patin yang digunakan pada penelitian ini tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Proksimat daging ikan patin (Pangasius hypopthalmus) segar

Komposisi Kimia Nilai (%)

Air Abu Protein Lemak 75,26 ± 3,15 1,18 ± 0,00 13,50 ± 0,51 1,58 ± 0,02

Berdasarkan Tabel 5, fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus) mempunyai kadar air yang tinggi (75,26 ± 3,15%), kandungan protein yang relatif rendah (<15%), dan kandungan lemak yang relatif rendah (<5%). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Orban et al. (2008). Menurut Swasono (2007), ikan patin mempunyai kadar air 81,31%, kadar protein sebesar 16,05%, kadar lemak 1,09%, dan kadar abu 1,10%. Nilai komposisi kimia dari ikan dapat berbeda-beda tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk faktor intrinsik adalah jenis dan golongan ikan, umur ikan, jenis kelamin dan sifat warisan. Sedangkan yang termasuk faktor ekstrinsik adalah daerah kehidupan ikan, musim dan jenis makanan yang tersedia (Hadiwiyoto 1993).

4.2. Modified Atmosphere Packaging

Mikrobiologi, biokimia dan metode sensori digunakan untuk mengevaluasi kesegaran dan kualitas dari ikan selama penanganan dan penyimpanan, dengan penampakan, bau, rasa dan tekstur menjadi atribut yang utama dalam kesegaran (Koutsoumanis et al. 2002 dalam Hernández et al. 2009). Diketahui bahwa analisis mikrobiologi, biokimia dan sensori ini tidak selalu menunjukkan korelasi baik sehingga penting untuk menggunakan tiga jenis analisis ini bersama dalam menentukan kesegaran dari ikan tertentu dengan lebih akurat (Paleologos et al. 2004 dalam Hernández et al. 2009).

(41)

Udara Biasa Vakum 80%CO2 + 20% N2 60%CO2 + 40% N2 40%CO2 + 60% N2 4.2.1. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH merupakan ukuran keadaan asam atau basa suatu zat dan sering digunakan sebagai indikator kerusakan bahan makanan, karena pengontrolan nilai pH merupakan salah satu cara untuk mencegah pertumbuhan organisme (Gaman & Sherrington 1990). Secara umum perubahan kimiawi pertama kali dalam daging ikan adalah perubahan pH, tetapi perubahan nilai pH ikan tergantung spesiesnya sehingga nilai pH tidak menjadi kriteria yang pasti untuk mendeteksi kesegaran dan kualitas daging ikan dan olahannya. Nilai pH digunakan sebagai pendukung parameter kualitas lainnya (Baygar et al. 2008). Nilai rata-rata pH dari setiap perlakuan fillet ikan patin dengan penyimpanan pada suhu ruang disajikan pada Gambar 3.

Keterangan :

Huruf a-h adalah hasil uji Duncan lanjut terhadap interaksi komposisi gas dalam kemasan dengan masa simpan

Gambar 3. Diagram batang nilai rata-rata pH pada penyimpanan suhu ruang

Berdasarkan Gambar 3 di atas, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pH pada suhu ruang berkisar antara 5,60-6,35 dengan nilai pH tertinggi yaitu 6,35 pada kemasan ikan patin dengan penambahan 80%CO2/20%N2 jam ke-15 dan nilai pH terendah pada kemasan ikan patin dengan penambahan 60%CO2/40%N2 jam ke-5.

Nilai pH yang turun pada jam ke-5 untuk semua perlakuan berkorelasi dengan pernyataan Ilyas (1983) bahwa setelah ikan mati, nilai pH ikan akan turun dari 7,00 (nilai pH ikan hidup) hingga mencapai minimum antara 5,80 hingga

efgh b b cde cdef efgh a b efgh cd efgh cd cdef h fgh efgh b c efgh efgh efgh b defg fgh gh 5,5 5,6 5,7 5,8 5,9 6 6,1 6,2 6,3 6,4 6,5 0 5 10 15 20 N ila i p H

Gambar

Tabel 1. Komposisi kimia ikan patin (Pangasius hypopthalmus)
Tabel 3. Kelebihan dan kekurangan Modified Atmosphere Packaging (MAP)
Gambar 2. Diagram alir prosedur metode penelitian  A
Gambar 3. Diagram batang nilai rata-rata pH pada penyimpanan suhu ruang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan tersebut, jelaslah bahwa faktor manusia menjadi titik tolaknya, faktor manusia yang dimaksud peneliti adalah motivasi dokter yang melaksanakan

2) Variabel Komitmen berada pada rentang 3,30–3,92dengan kriteria Cukup Baik MenujuBaik, dengan nilai kontribusi tertinggi dari jawaban atas pernyataan, “Apakah saudara

Chaer (2003: 240) menyebutkan bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa dan dilengkapi dengan konjungsi untuk

Menurut studi pendahuluan yang dilakukan di BPS Pipin Heriyanti Gedongkiwo Yogyakarta, yang dilaksanakan pada tanggal 14-17 Oktober 2008, di dapatkan 13 ibu post

Observasi lengan yang sakit terhadap adanya tanda – tanda infeksi, observasi integritas kulit yang tertutup diatas dinding dada terhadap tanda dan gejala

Reverse address resolution protocol (RARP) is used for diskless computers to determine their IP address using the network.. Address Resolution

Pada bulan Agustus 2017 kelompok ini memberikan sumbangan Inflasi sebesar 0,0190 persen dengan komoditas yang memberikan sumbangan inflasi adalah komoditas emas perhiasan

Penulis mencoba untuk membuat website tentang group band Radiohead dengan menggunakan Macromedia Flash MX karena penulis melihat adanya kekurangan dalam penyampaian informasi