KESIMPULAN
Pembaruan desa sebagai kajian perubahan sosial lebih melihat pada pelaksanaan paksis pemberdayaan masyarakat dan penguatan pemerintahan desa. Kegiatan yang dilakukan lebih bersifat politis dengan melihat bahwa kebijakan pengaturan tentang desa masih kurang memperhatikan desa sebagai kekuatan lokal yang otonom untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Perjuangan dilakukan memobilisir kekuatan desa sebagai "motor" penggerak perubahan kebijakan. Mobilisasi kekuatan desa terjadi pada dua lini yaitu: 1) pada penguatan arus atas yaitu institusionalisasi asosiasi pemerintah desa dan asosiasi Badan Penvakilan Desa yang dilembagakan hingga ditingkat nasional. 2) pada penguatan arus bawah yaitu melakukan penguatan masyarakat desa dilakukan dengan penyadaran dan pendidikan politik masyarakat sipil hingga pembentukan kelembagaan sosial politik. Seperti, yang terjadi di Desa Gadingsari dengan melakukan pemberdayaan dan pelembagaan Sosial Politik ~ a s ~ a r a k a t Gadingsari (SPMG) hingga formalisasi kelembagaan SPMG menjadi Lembaga Inisiatif Masyarakat Gadingsari (LIMG). Namun, kenyataan penguatan masyrakat sipil yang dilakukan masih saja menjadi wacana elitis. Aktor masyarakat desa yang mendapatkan kesempatan hanya di tingkat elit masyarakat, tokoh masyarakat.
Gerak pembaruan desa masib kurang dapat mengakomodir semua lapisan masyarakat. Proses pelatihan dilakukan oleh kelompok pembaruan desa masih di tingkat
high
class yang diambil dari para tokoh masyarakat. Kondisi demikian tidak mengakarkan issue pembarua& hingga di tingkat masyarakat gressroof, yang seharusnya menjadi basis kekuatan masyarakat desa. Pada konsep perjuangan kontra hegemoni seharusnya dilakukan adalah mengakomodir seluruh elemen masyarakat di semua lapisan untuk ikut terlibat pada proses gerak perubahan sosial yang lebih besar. Walaupun, pada proses tersebut membutuhkan energi perjuangan yang lebih besar. Oleh karena itu, proses perubahan sosial hams melibatkan seluruh lapisan masyarakat desa-kota yang kompleks, yang terdiri dari pekerja pabrikan, buruh, karyawan, petani, buruh tani, tokoh masyarakat, kelompok pemuda, kelompok kesenian, kelompok keagamaan, kelompokkepercayaan, dll. Pada setiap elemen tersebut dapat diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam banyak bentuk. Seperti, dukungan partisipasi, pendanaan perjuangan, komitmen bersama, pemikiran tentang desa yang dikehendaki, dll.
Keteladanan tokoh masyarakat dan kelornpok elit di desa menjadi faktor pendukung proses pembahan sosial masyarakat. Keteladanan memberikan kekuatan pemimpin untuk mernberikan contoh perilaku-perilaku "pembaruan desa" yang "disusupkan" kepada masyarakat. Perilaku keteladanan dapat digunakan untuk menciptakan kekuatan pembaruan desa sebagai issue pembahan sosial. Keteladanan pemimpin desa dapat diaplikasikan dalam beberapa ha1 yang menunjang proses perubahan seperti: penyelesaian permasalahan sosial masyarakat, pembentukan kepanitiaan, pelaksanaan program dan proyek "pembangunan" desa. Untuk mencapai kepemimpinan dan keteladanan diperlukan suatu performen pemimpin yang dapat diakui (legitimate) dan berjiwa besar yang dapat mengaplikasikan perilaku demokratis dan berkeadilan sebagai suatu proses yang dilakukan dengan rnengikutsertakan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya (society). Selain kekuatan legitimasi masyarakat, keteladanan pemimpin (elit desa) dapat memperkuat dan menjaga kekuasaan yang hegemonik menundukkan kepatuhan masyarakat desa untuk bergerak secara dernokratis, tidak anarkis, lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan "pembangunan" desa, bersemangan menciptakan iklim kondusif untuk bersaha mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan desa. Secara lebih rinci bahwa tokoh rnasyarakat dan pernimpin rnemberikan teladan perilaku yang demokratis, jujur dan adil, serta obyektif. Ini!ah dasar dari gerakan sosial di desa. Dalam pandangan perubahan sosial di desa di Bantu1 kita dapat memahami proses pembaruan desa alarn dua lini perjuangan.
Pernbaruan desa pada lini pertama, dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa proses pembahan sosial diprioritaskan pada penguatan gerakan sosial masyarakat desa dan penguatan kebijakan pemerintahan yang berpihak kepada rnasyarakat desa, temtama dengan memberikan peluang partisipasi dan transparansinya penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pada lini kedua, digunakan untuk menggagas pola perubahan sosial yang diharapkan merupakan suatu proses yang evolusioner yang diturunkan dari kacamata akademis dan perspektif pemerintah tentang arah perubahan desa, sehingga perubahan sosial desa yang dikehendaki dilakukan oleh pihak di luar desa (outside) baik oleh pemerintahan supradesa maupun NGOsILSM atau lembaga pendidikan tiiiggi. Konsekuensi dari kedua lini tersebut, mensinergiskan kekuatan lokal masyarakat desa yang berdasarkan pada: 1) kekuatan gerakan masyarakat untuk melakukan penguatan sistem pemerintahan yang lebih baik, demokratis, berkeadilan, transparan, dan mensejahterakan masyarakat konstituennya, yaitu masyarakat desa. 2) Kuatnya sistem pemerintahan desa yang dapat melakukan mobilisasi sumberdaya sosial-politik dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Pencapaian sukses dari proses pembaruan desa menggerakan seluruh ekspresi elemen masyarakat, baik masyarakat sipil, masyarakat politik, maupun kalangan akademisi dari lembaga pendidikan, dan pemerintahan lokal maupun pelaku bisnis (sebagai kekuatan ekonomi riil).
Turunan konsekuensi tersebut adalah termanifestasikan pada studi Iapangan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pembaruan desa di Bantu1 dilakukan dengan berbagai cara yaitu: pertama, cara pandang terhadap desa yang sudah hams berubah dari desa sebagai objek menjadi desa sebagai subjek atas dirinya sendiri yang terdiri dari komunitas masyarakat desa, baik dalam artian masyarakat desa yang katanya statis, subsisten atau apa pun bentuk perkembangannya. Penghargaan tersebut mempakan tindakan konkrit untuk memposisikan diri
,
sebagai outside dalam kelanjutan hubungannya dengan nrayarakat desa.
Kedua, tindakan menggerakan pembahan dengan teminologi pembaman desa hams dimulai dari sekarang dan dari masyarakat desa yang tadi sudah kita sebutkan sebagai subjek, oleh karena itu arus perubahan adalah dimulai dari masyarakat desa, dari bawah ke atas, dari basis struktur menuju suprastruktur sosial. Penggerakan pembaruan
akan
bermakna ketika masyarakat sudah mulai merasakan dirinya sebagai subjek dan memahami posisinya yang vital atas gerak "pembangunan" desa. Altematif pilihan yang harus dilakukan adalah menguatkan posisi desa, masyarakat desa, ddan pemerintahan desa untuk bergerakanmensinergikan sistern pembaruan desa yang diinginkan. Karena pada pandangan ini, Iogikanya adalah pemerintahan supradesa sudah terlebih dahulu memahami konsekuensi logis tentang pembaruan desa yang sudah harus dilakukan.
Kefiga, perubahan struktur hubungan yang terjalin di antara stackholder yang berkaitan dengan desa harus sudah mulai tertata berdasarkan cara pandang yang sudah berubah terhadap desa. Struktur hubungan dengan desa baik secara sosial-budaya, politik dan ekonomi. Hubungan politik dan ekonomik yang te rjalin disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat desa mencapai kesejahteraan yang berkeadilan. Penggunaan kesejahteraan berkeadilan tidak lain adalah keadilan yang bersumber pada cerminan masyarakat desa dan berdasarkan determinan potensi dan kekuatan lokal. Hubungan secara politik dapat diperlihatkan dari kuatnya posisi desa ketika berhubungan dengan para pihak, termasuk pihak supradesa, out side. Pola hubungan meningkatkan bargaining power dan sinse ojbilonging terhadap desa sebagai sumber kekuatan dan centrum dari masyarakat sekitarnya. Struktur hubungan ekonomi dapat diperhatikan menggunakan tingkat kesejahteraan masyarakat desa terutama meningkatnya hasil pertanian masyarakat desa di mana pertanian sebagai eksistensi masyarakat desa dan mempertahankan eksistensi lahan pertanian masyarakat desa yang semakin termarginalkan oleh tingkat kependudukan dan semakin menekan atas nama "pembangunan" yang secara fisik menggusur lahan-lahan pertanian di desa.
Keempat, supporting system dari pihak luar (out side) yang konsisten terhadap perjuangan pembaruan desa. Untuk out side seperti NGOs, LSM, dan pemerintahan di atas desa (supradesa) mempunyai posisi dan peran membantu menggerakan dan memberikan fasilitas pendukung atas kehendak desa
untuk
mengembangkan dirinya, dan membangkitkan kepercayaan dirinya yang cenderung dianggap ndeso. Penyebutkan ndeso adaIah bahasa yang pada masa yang lalu digunakan sebagai ejekan terhadap suatu wilayah dan komunitas yang tertinggal, terpencil dan terasing, kini kita pergunakan sebagai suatu terminologi yang menciptakan kondisi desa yang menjadi sentrum kehidupan yang ideal dari citra hubungan masyarakat yang hurnanis.
Pandangan tersebut dapat digambarkan dalam suatu penggambaran mang interaksi. Ruang interaksi tersebut berbasis pada relasi-relasi sosial yang terjalin di antara elemen penggerak pembaruan desa. Secara langsung dapat digambarkan pada gambar 5 (lima) di bawah ini. Relasi-relasi yang tercipta bukan berdasarkan pada konteks kewilayahan luasan kekuasaan desa, namun pada hubungan yang signifikan untuk menjelaskan dan mendorong proses perubahan sosial-politik- ekonomi di desa. Pada ruang interaksi relasi sosial tersebut diharapkan dapat memencarkan hegemoni kekuasaan pemerintah desa (dan supra desa) agar tercipta suatu keseimbangan hubungan yang menciptakan perubahan aktif dari masyarakat. Pembaruan desa menuju kesuksesan pada proses tersebut. Pemencaran hegemoni dapat dimaknai sebagai usaha mempertemukan konsep hegemoni kepemimpinan elit pemerintahan desa dengan masyarakat (sipil) desa yang aktif, berdaya, dan mandiri (power heavy). Pemencaran hegernoni dipe rjuangkan dengan menggunakan perang posisi yang menciptakan blok historis yang partisipasi di antar semua elemen desa. Desa menjadi kuat.