• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. elite. Golongan elite merupakan suatu kelompok minoritas yang biasanya memiliki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. elite. Golongan elite merupakan suatu kelompok minoritas yang biasanya memiliki"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara umum masyarakat terbagi atas dua golongan yaitu golongan elite dan non elite. Golongan elite merupakan suatu kelompok minoritas yang biasanya memiliki

kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan.1

Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Langkat, golongan ini memegang peranan penting. Mereka menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan Kesultanan Langkat seperti penasihat sultan, sekretaris, serta bendahara. Untuk menguasai daerah vasal di Kesultanan Langkat, sultan memberikan wewenang kepada kerabat dekat atau golongan bangsawan yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan sultan.

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka golongan elite yang dimaksud adalah bangsawan Melayu (Langkat), baik bangsawan penguasa/raja maupun bukan penguasa/raja. Status seseorang yang termasuk dalam golongan bangsawan Melayu dapat dikenali dari gelar bangsawan yang dipergunakan, antara lain tengku, raja, datuk, orangkaya (oka), dan wan.

2

Keistimewaan itu tidak hanya ada di pemerintahan Kesultanan Langkat, tapi juga dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Dalam hal ekonomi, khususnya golongan bangsawan

1

T.B. Bottomore, Elite dan Masyarakat. Jakarta : Institut Akbar Tanjung. 2006, hlm. 1-2.

2

Ratna, “Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XII”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan, Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM, 1990, hlm. 76-77.

(2)

raja memiliki hak istimewa menyangkut upeti atau pengutipan pajak-pajak tertentu, misalnya pajak tapak lawang. Pajak tapak lawang adalah pajak yang dikenakan pada seseorang yang membuka ladang. Setelah memperoleh hasil, maka ia wajib membayar pajak tapak lawang

kepada sultan sebanyak 10 gantang.3

Di kehidupan sosial, maka keistimewaan yang dimiliki oleh golongan adalah dalam penggunaan kata-kata tertentu ketika berbicara dengan mereka sebagai tanda penghormatan kepada mereka. Kata patik dan duli adalah dua kata yang sering diucapkan oleh seseorang ketika ia berhadapan atau berbicara dengan orang yang dianggap statusnya lebih tinggi dari

dirinya.4

3

1 gantang = 4,549 liter.

4

Patik berarti saya dan duli berarti debu, debu pasir di bawah telapak kaki sultan.

Pada masa kolonial, keistimewaan ini masih tetap dipertahankan termasuk mempertahankan sistem pemerintahan kerajaan tradisional ini. Ketika sistem pendidikan barat diperkenalkan melalui politik etis, ternyata tetap mengutamakan kelompok bangsawan sehingga lahirlah kelompok-kelompok elite modern yang berasal dari keluarga bangsawan Melayu. Bangsawan Melayu Langkat yang pernah mengenyam pendidikan modern antara lain Dr. Abdullah Hod dan Tengku Amir Hamzah yang mendapat gelar meester in de rechten atau sarjana hukum. Meskipun dalam kapasitas kecil, kaum elite modern dari bangsawan Melayu Langkat ini juga terjun dalam arus pergerakan Indonesia, seperti misalnya Tengku Amir Hamzah ketika masih mendapatkan pendidikan di Solo.

(3)

Perkenalan bangsawan Melayu pada industri perkebunan yang dipelopori oleh Nienhuys ikut membawa perubahan dalam kehidupan bangsawan. Kepentingan akan lahan yang dianggap sebagai milik bangsawan raja (sultan) telah menyebabkan terjalinnya hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara para pengusaha perkebunan dengan Sultan Langkat. Atas konsesi tanah perkebunan tersebut, Sultan Langkat mendapat ganti rugi

berupa “honorarium” yang menjadi pendapatan pribadi sultan.5 Ketika ditemukan sumber

minyak di Pangkalan Brandan membuat kekayaan Sultan Langkat semakin meningkat. Menurut Anthony Reid, honorarium Sultan Langkat sebesar 472,094 gulden pada tahun

1931.6

Dari honorarium yang diperoleh, sultan mampu membangun tiga istana megah7 yang

berada di Tanjung Pura dan Binjai. Selain itu, Sultan Langkat dan kerabat bangsawan Melayu lainnya mampu membeli barang-barang mewah dan berpesiar. Akan tetapi dari kekayaan tersebut, sultan juga berusaha untuk memakmurkan rakyatnya. Dari catatan sejarah, dengan uang pribadinya Sultan Langkat membangun sarana umum seperti mesjid, makhtab atau sekolah rakyat, dan membagi-bagikan 1 kaleng minyak untuk kebutuhan

sehari-hari.8

5

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hlm. 88.

6

Ibid., hlm. 89.

7

Ketiga istana itu adalah Istana Darul Aman dan Istana Darussalam di Tanjung Pura dan satu Istana lagi di Binjai.

8

Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Tanpa Kota Terbit : Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit, hlm. 244.

(4)

tidak mampu membeli beras, sultan akan memberikannya secara cuma-cuma kepada rakyat dengan syarat dipersilahkan untuk mengaji Al-Qur’an, membaca surat Al-Ikhlas atau

membaca shalawat di Mesjid Azizi Tanjung Pura.9

Pada masa penjajahan Jepang, kehidupan para sultan berubah. Mereka yang pada masa Belanda ditimang-timang dengan kekayaan, pada masa Jepang mereka harus bekerja dan turun ke jalan untuk mengerahkan rakyat sebagai tenaga romusha. Kedudukan mereka pun di mata Jepang tidak ada bedanya dengan rakyat pribumi. Kaum bangsawan berusaha mengadakan diplomasi dengan Jepang sehingga perlahan-lahan mereka mendapat sedikit kepercayaan Jepang untuk menggunakan kekuasaannya demi kepentingan Jepang. Akan tetapi sikap dan kekuasaan yang dimiliki kelompok bangsawan ketika berkuasa mungkin

telah membuat kelompok yang tergabung dalam partai-partai politik10

Setelah Indonesia merdeka, situasi politik di Sumatera Timur pada waktu itu ikut bergejolak. Tidak hanya mendapat tantangan adanya isu akan kembalinya Belanda untuk menjajah Indonesia, tetapi juga dari para pemimpin tradisional yang masih pro kontra terhadap kemerdekaan Indonesia.Perlu diketahui bahwa salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia tidak hanya bebas dari penderitaan dan dari belenggu penjajah, tetapi terbebas dari

tidak senang. Puncak ketidaksenangan itu muncul setelah Indonesia merdeka.

9

Datuk Oka Abdul Hamid A, Sejarah Langkat Mendai Tuah Berseri, Medan : Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara, 2011, hlm. 107.

10

Setelah kemerdekaan Indonesiapartai-partai politik tersebut membentuk Persatuan Perjuangan atau

VolksfrontsdiantaranyaPSI, PNI, dan PKI, disertai laskar pendukungnya. Kelompok revolusioner inilah yang

(5)

belenggu pemerintahan yang bersifat otokrasi di bawah kaum bangsawan. Landasan inilah yang mengakibatkan kelompok revolusioner bersikap radikal. Sikap ragu-ragu yang ditunjukkan sultan dan kelompok bangsawan Melayu untuk melebur ke dalam Republik Indonesia dan isu terbentuknya Comite van Ontvangst membuat kelompok revolusioner percaya diri untuk melancarkan gerakan yang disebut peristiwa Maret 1946 (revolusi sosial).11

Pasca revolusi sosial, gambaran kehidupan bangsawan Melayu Langkat berubah drastis. Menurut Fachruddin RY

Banyak keluarga bangsawan yang dibunuh dan ditawan.

12

11

Faktanya adalah tidak semua kesultanan di Sumatera Timur menolak untuk melebur ke dalam pemerintahan RI, salah satunya adalah Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dari Kesultanan Serdang. Beliau memberikan sebagian harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan perang kemerdekaan. Mansyur, The

Golden Bridge : Jembatan Emas 1945, Medan : Lembaga Sosial Juang 45 Medan Area, Tanpa Tahun, hlm.

265-266.

12

Wawancara, dengan Fachruddin RY, Stabat, 12 Februari 2014.

, sebagian dari golongan bangsawan yang masih hidup dibebaskan dari tawanan. Banyak dari mereka yang trauma dan sudah tidak memiliki harta benda lagi memilih merantau meninggalkan rumahnya. Mereka merantau ke tempat yang aman, seperti Aceh dan kota Medan. Akan tetapi masih ada yang tetap tinggal di rumahnya karena tidak tahu mau pergi kemana. Tanah yang mereka miliki dulu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereka tidak memiliki harta benda lagi. Berbekal kualitas seadanya dan peninggalan harta benda yang masih bisa diselamatkan, mereka mencoba untuk bangkit dari bayang hitam revolusi sosial, dengan menjalankan usaha yang tidak bergantung dengan orang lain, seperti berdagang, membuka kantor pelayanan jasa, atau bekerja di kantor-kantor swasta seperti bank.Ada juga yang berusaha mengucilkan diri dari masyarakat dan sempat menghapus identitas kebangsawanannya.

(6)

Dari uraian di atas maka penelitian yang berjudul “Kehidupan Bangsawan Melayu Kesultanan Langkat Sebelum dan Sesudah Revolusi Sosial” tentu sangat menarik dikaji. Alasan peneliti mengapa penelitian ini sangat menarik karena belum pernah dikaji selama ini. Selain itu, pengalaman revolusi sosial telah mempengaruhi kehidupan golongan bangsawan Melayu Langkat yang mengalami keterpurukan. Hal ini yang membuat peneliti merasa tertarik ingin melihat bagaimana kehidupan bangsawan dan apa usaha mereka untuk bangkit menjalani kehidupannya kembali.

Penelitian ini mengambil skop temporal pada tahun 1946 merupakan periode awal penelitian ini dikarenakan tahun 1946 merupakan awal tahun terjadinya peristiwa revolusi sosial. Walaupun batasan awal penelitian dimulai pada tahun 1946, namun untuk melihat proses perubahan kehidupan bangsawan perlu adanya perbandingan pada masa-masa sebelumnya yang perlu dikaji. Berakhirnya masa Orde Baru, dan munculnya era pemerintahan Reformasi hingga awal tahun 2002 merupakan batasan akhir penelitian ini. Dalam rentang waktu ini, sudah mulai terlihat upaya yang dilakukan kaum bangsawan untuk bangkit dari masa-masa krusial setelah revolusi sosial, yaitu ditandai dengan upaya mereka menegakkan kembali pemerintahan adat Kesultanan Langkat yang dipimpin oleh bangsawan Melayu. Dengan demikian diharapkan akan terlihat dinamika dari berbagai perubahan yang terjadi, baik dari segi sosial, ekonomi, dan politik terhadap kehidupan golongan bangsawan Melayu selama kurun waktu tersebut. Untuk skop spasial peneliti membatasi di Langkat

karena salah satu peristiwa revolusi sosial yang tragis terjadi di Langkat.13

13

Peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur dikenal dengan istilah malam berdarah. Lihat, Reid,

(7)

Dalam penelitian ini, objek penelitiannya adalah golongan bangsawan Melayu Langkat. Akan tetapi peneliti tidak membatasi bahwa golongan bangsawan yang dimaksud adalah keluarga dan kerabat kerajaan yang dulunya memiliki kedudukan atau yang menjadi korban dalam peristiwa revolusi sosial saja, melainkan juga mereka yang termasuk golongan bangsawan biasa dan mengalami dampak akibat peristiwa revolusi sosial.

1.2 Rumusan Masalah

Di dalam suatu penelitian, rumusan masalah menjadi landasan yang sangat penting dari sebuah penelitian karena akan memudahkan peneliti di dalam proses pengumpulan data dan analisis data. Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kehidupan bangsawan Melayu Kesultanan Langkat sebelum dan sesudah revolusi sosial.

Adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kehidupan kaum bangsawan sebelum terjadi revolusi sosial?

2. Bagaimana proses terjadinya revolusi sosial di Kesultanan Langkat? 3. Bagaimana gambaran kehidupan kaum bangsawan sesudah revolusi sosial?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan suatu cara untuk menjawab masalah yang kita rumuskan. Selain itu, penelitian harus memiliki tujuan dan manfaat yang penting karena suatu pekerjaan

(8)

sia-sia apabila suatu penelitian tidak memiliki tujuan dan manfaat, bukan hanya bagi peneliti tetapi juga bagi masyarakat. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan bagaimana gambaran kehidupan kaum bangsawan sebelum revolusi sosial.

2. Menjelaskan bagaimana proses terjadinya revolusi sosial di Kesultanan Langkat. 3. Menjelaskan bagaimana gambaran kehidupan kaum bangsawan sesudah revolusi

sosial.

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai tambahan perbendaharaan khasanah ilmiah demi perkembangan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi ilmu sejarah dalam penelitian sejarah lokal.

2. Sebagai sumber informasi dan motivasi kepada masyarakat.

3. Sebagai sarana informasi dan pengambilan keputusan bagi pihak berkepentingan dalam penelitian lebih lanjut mengenai pembangunan di Langkat, baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan mental masyarakat sebagai modal sosial.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, selain telah melakukan penelitian ke lapangan dan wawancara, peneliti juga menggunakan beberapa sumber tertulis dan literatur kepustakaan berupa buku-buku dan laporan sebagai bentuk studi kepustakaan yang dilakukan selama penelitian.

Adapun buku-buku yang peneliti gunakan sebagai acuan tinjauan pustaka ini antara lain T.B. Bottomore dalam buku Elite dan Masyarakat(2006). Buku ini dapat dijadikan

(9)

pencerahan awal mengenai gambaran bagaimana konsep elite sehingga peneliti dapat memahami keduduka n golongan bangsawan yang menjadi objek penelitian.

Darsiti Soeratman dalam karyanya berjudu l Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (1989) menggambarkan bagaimana kehidupan Kraton Surakarta yang dianggap suci dan gaya hidup para raja dan golongan bangsawan hingga masuknya pengaruh Belanda di Kraton Surakarta. Meskipun bertema Jawa, buku ini dapat memberikan pemahaman mengenai kehidupan bangsawan Melayu yang berlatar belakang budaya yang berbeda.

Tesis Ratna yang berjudul Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX (1990) juga menjadi referensi bagi peneliti. Dalam tesis tersebut diuraikan tentang status sosial yang berlaku di Kesultanan Melayu di Sumatera Timur, termasuk Langkat seperti keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh golongan bangsawan pada waktu itu.

Anthony Reid dalam bukunya berjudul Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur(1987). Di dalam buku ini dijelaskan bagaimana sengitnya perselisihan antara partai-partai politik dan laskar rakyat seperti PSI, PNI, dan PKI dengan kaum bangsawan. Sikap simpati para sultan terhadap Belanda dan ancaman yang ditampilkannya terhadap kemerdekaan mengakibatkan timbulnya perpecahan. Hal ini diperparah dengan adanya isu bahwa kaum bangsawan di Sumatera Timur telah membentuk Comite van Ontvangst untuk menyambut Belanda sebagai “tuan besar penyelamat” mereka. Pada akhirnya tanggal 3 Maret 1946 dimulailah peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur. Untuk wilayah Langkat sendiri peristiwa malam berdarah dimulai pada tanggal 8 Maret

(10)

1946.14

Susilo dalam skripsinya berjudu l Pengaruh Revolusi Sosial di Langkat Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Bangsawan Melayu di Kabupaten Langkat (2008). Meskipun terdapat kesamaaan dalam topik penulisannya, namun terdapat perbedaan dari pendekatan (perspektif) sejarah yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini. Selain itu terdapat perbedaan dalam pengumpulan sumber karena penulis sebelumnya (Susilo) hanya menggunakan sumber sekunder sedangkan penulis menggunakan sumber primer yaitu arsip. Penulis juga menggunakan sumber lisan berupa rekaman wawancara dengan para informan yang telah didokumentasikan menjadi arsip. Dari isi tulisan pun terdapat kelemahan karena penulis sebelumnya kurang detail menggambarkan seperti apa kehidupan bangsawan Melayu Langkat ketika berada di tahanan atau pengungsian dan bagaimana kehidupan mereka setelah Buku ini dapat dijadikan informasi bagi peneliti tentang kondisi di Sumatera Timur pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, Pendudukan Jepang, hingga peristiwa revolusi sosial terjadi, khususnya di Langkat.

Agus Syafwira Lubis dalam skripsinya berjudul Amir Hamzah (Biografi) (1990). Dalam skripsi ini menggambarkan bagaimana sejarah hidup Amir Hamzah sejak kecil hingga meletusnya revolusi sosial di Langkat yang mengakhiri riwayat hidupnya karena dituduh pro Belanda. Skripsi ini dapat dijadikan informasi bagi peneliti karena skripsi ini secara tidak langsung memberikan gambaran kepada peneliti bagaimana dampak revolusi sosial terhadap kaum bangsawan yang menjadi sasaran utama.

14

(11)

bebas kembali. Untuk itu, penulis berusaha menutupi kelemahan-kelemahan itu dengan menemukan sumber-sumber yang lebih lengkap dan objektif sehingga akan diperoleh sebuah kebenaran fakta baru tentang penafsiran kehidupan bangsawan Melayu Kesultanan Langkat pasca revolusi sosial. Akan tetapi skripsi ini dapat dijadikan pedoman karena di dalamnya menggambarkan bagaimana perubahan kehidupan bangsawan Melayu pasca revolusi sosial dari segi sosial dan ekonomi.

1.5 Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu cara atau aturan yang sistematis yang digunakan sebagai proses untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip untuk mencari kebenaran dari sebuah permasalahan. Dalam menulis peristiwa sejarah pada masa lampau yang direalisasikan dalam bentuk penulisan sejarah (historiografi), tentu harus menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis

rekaman dan peninggalan masa lampau. 15

Pada tahap pertama (heuristik) merupakan proses mengumpulkan dan menemukan sumber baik sumber tertulis maupun lisan yang sesuai untuk mendukung objek yang diteliti. Dalam melaksanakan tahap ini penelititelah melakukan studi kepustakaan dan studi arsip. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengunjungi perpustakaan seperti ke Perpustakaan Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

15

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 32.

(12)

Utara,Perpustakaan Unimed, Perpustakaan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis), Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Dari studi kepustakaan ini, penulis berhasil mengumpulkan sumber-sumber tertulis (sumber sekunder) berupa buku-buku dan koran terbitan tahun 1945-1946 sepertiSoeloeh Merdeka, Harian Merdeka, Semangat Merdeka, serta beberapa artikel yang berhubungan dengan topik skripsi. Studi arsip dilakukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Selama melakukan studi arsip di ANRI, penulis telah mengumpulkan sumber-sumber tertulis berupa, arsip terbitan Pemerintah Kolonial Belanda seperti NEFIS, Algemeene Secretarie, dan arsip terbitan Republik Indonesia seperti surat-surat dalam bentuk telegram. Selain itu, penulis juga telah mengumpulkan rekaman wawancara (sumber lisan) terhadap para korban yang mengalami revolusi sosial di Langkat, yang direkam dalam bentuk kaset.

Selain itu juga telah dilakukan studi lapangan (field-research) untuk mengumpulkan sumber lisan melalui teknik wawancara terhadap para informan, khususnya golongan bangsawan, baik yang secara langsung mengalami peristiwa revolusisosial ataupun yang mengalami dampak dari revolusi sosial. Dalam hal ini peneliti menggunakan interview guide sebagai pedoman wawancara, dan wawancara dilakukan secara mendalam. Selama melakukan wawancara dengan para informan, penulis mengalami sedikit hambatan, dikarenakan faktor usia dan banyak yang sudah meninggal, jarak waktu dengan peristiwa, psikologis, dan keterbatasan daya ingat para informan sehingga hanya ada beberapa orang yang dapat memenuhi kriteria sebagai informan. Mengenai nama-nama informan yang berhasil penulis wawancarai dapat dilihat pada daftar informan.

(13)

Setelah mengumpulkan sumber, tahap kedua yang telah dilakukan adalah kritik sumber. Ada dua macam kritik sumber yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan untuk menguji sumber guna mengetahui otentisitas sumber. Dalam hal ini kritik menyangkut arsip atau dokumen, seperti apakah dokumen itu berhubungan dengan objek yang ingin diteliti, apakah palsu atau sejati, apakah utuh atau sudah diubah sebagian bagiannya. Kritik internal dilakukan untuk menentukan apakah sumber tersebut memang telah kita kehendaki, apakah isi sumber dapat dipercaya atau tidak, apakah isi sumber memuat fakta sejarah yang benar, dengan membandingkan isi sumber dengan sumber lain, baik melalui gaya bahasa, penulisan, maupun kertas yang digunakan.

Setelah pengumpulan dan analisis data dilakukan, maka tahap ketiga yang telah dilakukan adalah interpretasi. Interpretasi merupakan tahap untuk menafsirkan fakta, yaitu data yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan sehingga akan diperoleh data yang objektif untuk diceritakan kembali ke dalam sebuah tulisan.

Pada tahap terakhir yaitu historiografi merupakan proses mensintesakan fakta ke dalam penulisan sejarahyang bersifat kronologis, analitis, dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir dalam penulisan ini telahdituangkan dalam bentuk skripsi.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menentukan strategi bisnis yang handal untuk menghadapi pesaingan bisnis tiang pancang di Indonesia PT WAHANA CIPTA CONCRETINDO mengharapkan penulis dapat

Jika nilai signifikansi t dari masing-masing variabel yang diperoleh dari pengujian lebih besar dari nilai signifikansi yang dipergunakan yaitu 5 persen maka secara parsial

Jika kaum Muslimin menyadari bahwa dari mereka berada dalam suasana shahwah Islamiyah dan kesadaran Islami, maka di antara prinsip-prinsip shahwah dan prioritasnya ialah:

Pada bulan Juli 2017, kelompok yang memberikan andil/sumbangan terhadap inflasi adalah kelompok transpor, komunikasi & jasa keuangan sebesar 0,19 persen selanjutnya

Tugas akhir ini saya beri judul “Analisa Beban Kalor Pada Ruangan Server Sebuah Gedung Perkantoran”, ini merupakan studi kasus yang dilakukan pada sebuah

Pelaksanaan bimbingan agama yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dalam bimbingan agama Islam oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS Klas I Banjarmasin dalam

Pada PLTGU, sistem kontrol SPEEDTRONIC TM MARK V dapat melakukan kontrol, proteksi dan monitoring pada Gas Turbin Generator (GTG), salah satunya yaitu untuk

selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum dalam