• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP ISBAT NIKAH UNTUK MENDAPATKAN UANG PENSIUNAN TNI-AL : STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGIL NOMOR 0026/PDT.G/2014/PA.BGL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP ISBAT NIKAH UNTUK MENDAPATKAN UANG PENSIUNAN TNI-AL : STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANGIL NOMOR 0026/PDT.G/2014/PA.BGL."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

MAS{LAH{AH MURSALAH

TERHADAP ISBAT NIKAH UNTUK MENDAPATKAN UANG PENSIUNAN TNI-AL

(Studi Putusan Pengadilan Agama Bangil Nomor 0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl)

SKRIPSI

Oleh:

Muhammad Faidurrahman

NIM. C51211144

BAB I

PENDAHULUAN

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Keluarga Islam

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Isbat

Nikah untuk Mendapatkan Uang Pensiunan TNI-AL (Studi Putusan Pengadilan Agama Bangil Nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl.) ini merupakan hasil studi putusan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana dasar

pertimbangan hakim sehingga mengabulkan perkara isbat nikah untuk

mendapatkan uang pensiunan TNI-AL ini dan bagaimana tinjauan mas}lah}ah

mursalahterhadap putusan tersebut.

Penelitian normatif ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data yang diambil dari putusan. Selanjutnya, data yang dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif analitis yaitu suatu metode yang memaparkan dan menggambarkan data yang telah terkumpul dengan menggunakan pola pikir deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Dasar Pertimbangan yang digunakan Hakim dalam mengabulkan perkara Pengadilan Agama Bangil nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl., yaitu tiga peraturan yuridis yang dimasukkan hakim dalam pertimbangan putusan ini (UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 3 Tahun 2006, dan Kompilasi Hukum Islam) dan satu dari wawancara (Buku II Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi tahun 2013), masih kurang kuat terutama secara tekstual.

Sedangkan menurut analisis mas}lah}ah mursalah, kepentingan negara tentang

pencatatan perkawinan seharusnya juga lebih diutamakan karena termasuk

kategorimas}lah}ah mursalahyang bersifat h}ajiyyah, mas}lah}ah ‘ammah, dan untuk

h}ifz}un nafs daripada kepentingan Pemohon yang termasuk kategori mas}lah}ah mursalahyang bersifath}ajiyyah,mas}lah}ah khas}s}ah, dan untukh}ifz}ul ma>l.

Dari kesimpulan diatas, maka kepada pemegang otoritas disarankan: Pertama, untuk selalu berperan aktif dalam memperbaharui peraturan yuridis jika

diperlukan. Kedua, penyuluhan hukum kepada masyarakat lebih diterapkan lagi.

(6)

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ……… 7

C. Rumusan Masalah ………

8

D. Kajian Pustaka ……….

(7)

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….

10

F. Definisi Operasional ………

11

G. Metode Penelitian ………

12

H. Sistematika Pembahasan ……….

15

BAB II MA S}LA H}A H MURSA LA H,

ISBAT NIKAH, DAN PENCATATAN PERKAWINAN A. Mas}lah}ah Mursalah……….

18

B. Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan……… 34

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 0026/

Pdt.G/2014/PA.Bgl TENTANG ISBAT NIKAH

A. Deskripsi Pengadilan Agama Bangil……….. 45

B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bangil…... 51

C. Fasilitas Pendukung Pengadilan Agama Bangil…...…... 55

D. Putusan Nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl………... 58

BAB IV ANALISISMA S}LA H}A H MURSA LA HTERHADAP PUTUSAN

(8)

ISBAT NIKAH UNTUK MENDAPATKAN UANG

PENSIUNAN TNI-AL

A. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim ………. 68

B. AnalisisMas}lah}ah MursalahTerhadap Putusan Nomor

0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. ……….…….. 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 76

B. Saran ………. 78

(9)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

(10)

Catatan: Khusus untukhamzah,penggunaan apostrof hanya berlaku jika

hamzah berh}arakatsukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakatsukun. Contoh:iqtid}a>(ءﺎﺿ ﺗﻗا)

2. Vokal Rangkap (diftong)

fath}ahdanalif a> a dan garis di atas kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas d}ammahdanwawu u> u dan garis di atas

Contoh :al-jama>’ah (ﺔﻋ ﺎﻣﺟ ﻟا)

:takhyi}>r (رﯾﯾﺧﺗ) :yadu>ru (رودﯾ)

C. Ta>’ Marbu>t}ah

Transliterasi untukta>’ marbu>t}ahada dua :

1. Jika hidup (menjadi mud}a>f) transliterasinya adalaht.

2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalahh.

Contoh :shari>‘atal-Isla>m (مﻼ ﺳ ﻻ اﺔﻌﯾﺮﺷ)

: shari>‘ahisla>mi>yah (ﺔﻌﯾﺮﺷﺔﯿﻣﻼﺳإ)

D. Penulisan Huruf Kapital\

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 10 ayat (1) UU. No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa ada empat macam badan

peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan

Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing badan peradilan itu memiliki

wewenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat

tertentu.1

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang ada di

Indonesia dan Peradilan Agama diperuntukkan bagi orang-orang yang beragama

Islam. Dalam Peradilan Agama terdapat dua macam pengadilan, yaitu

Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan Agama merupakan

juga salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman dalam menerima, memeriksa,

mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi rakyat

atau orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Perkara perdata tertentu yang dimaksud di atas adalah perkara-perkara dalam bidang

1

(12)

2

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam.2

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dalam

lingkungan Peradilan Agama atau sebagai satuan (unit) penyelenggara Peradilan

Agama yang berkedudukan di Kotamadya atau Ibukot a Kabupaten dan daerah

hukumnya meliputi wilayah Kotamadya dan Kabupaten. Jadi, tiap-tiap

Pengadilan Agama memiliki wilayah hukum tertentu atau yang sering dikatakan

mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu Kotamadya

atau satu Kabupaten.

Sedangkan tugas pokok Pengadilan Agama dan wewenangnya adalah

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang-bidang yang

disebutkan diatas, yaitu bidang perkawinan, kewarisan,wasiat, hibah, wakaf dan

shadaqah. Diantara perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama adalah

perkara di bidang perkawinan. Adapun salah satu jenis perkara yang ada dalam

bidang perkawinan itu adalah perkara isbat nikah.

Isbat Nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri

yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan

pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh keduanya,

sehingga pernikahannya tersebut berkekuatan hukum. Cukup banyak masyarakat

2

(13)

3

yang mengajukan sidang isbat nikah, yaitu permohonan pengesahan nikah yang

diajukan ke Pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki

kekuatan hukum. Biasanya sidang ini diadakan bagi pasangan yang

pernikahannya belum dicatat negara, kehilangan buku nikah, atau menikah

sebelum tahun 1974. Pemohon diminta mengisi formulir pengajuan sidang isbat,

membayar biaya perkara, menunggu panggilan sidang, menghadirkan bukti dan

saksi, dan akhirnya menerima keputusan pengadilan.

Isbat nikah bisa saja menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, isbat nikah

menjadi sangat bagus demi menolong masyarakat dan memberikan kepastian

hukum kepada masyarakat yang membutuhkannnya. Jika kita lihat dari segi ini,

maka sangat sesuai dengan salah satu tujuan adanya pengadilan itu sendiri, yaitu

memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan kepastian dan

bantuan hukum. Apalagi di zaman sekarang ini, bukti telah melakukan

pernikahan di mata hukum menjadi sangat penting untuk dapat melaksanakan

berbagai persoalan, misalnya saja untuk mendapatkan warisan, harta gono- gini,

dan lain sebagainya. Karena itulah, mungkin bukan hanya PA Bangil, Pengadilan

Agama di daerah lain juga mungkin cenderung untuk mengabulkan isbat nikah

asalkan bisa membuktikan telah benar-benar terjadi pernikahan.

Namun di sisi lain, dinamika terus berjalan. Sudah cukup lama

pencanangan tentang diwajibkannya pencatatan nikah. Jika kita lihat dari sisi ini,

(14)

4

dilakukan setelah UU No. 1 Tahun 1974 malah akan tidak membuat efek jera

kepada pelaku nikah siri dan mereka terus melakukan praktek nikah siri. Hal ini

menjadi tantangan untuk kita bersama dalam menjawab problematika ini untuk

menemukan solusi yang terbaik.

Ada beberapa sumber yang mengatur tentang isbat nikah walau mungkin

tidak semuanya menyebutkan secara eksplisit, antara lain UU No. 1 Tahun 1974,

yang terbaru, UU No. 50 thn 2009 tentang PA. Kompilasi Hukum Islam,

yurisprudensi, keputusan MA No. KMA/032/SK/IV/2006. Dan bahan bacaan lain

yang terkait dengan isbat nikah.

Penelitian tentang isbat nikah dengan menggunakan mas{lah{ah mursalah

sebagai pisau analisis, penulis berharap penelitian ini tidak terlalu melebar

seperti analisis dengan hukum islam dan juga tidak terjebak pada peraturan saja

seperti analisis dengan peraturan yuridis. Namun lebih pada aspek hikmah atau

mas{lah{ahsesuai dengan pengertianislam kaffah.

Islam kaffah yang dimaksud disini bukanlah dalam artian harus

melaksanakan hukum syariah secara kaku dan tekstual, namun juga

memperhatikan segi hikmah atau mas{lah{ah dalam penerapannya. Sebagaimana

disebutkan dalam firman-Nya dalam Q.S. Al-Jumu’ah ayat 2 bahwa Allah

menurunkan syariat-Nya kepada manusia dalam dua bentuk, yakni kitab dan

hikmah3. Karena itulah metode mas{lah{ah mursalahakan langsung mengena pada

3

(15)

5

mas{lah{ah yang ada saat ini antara kepentingan Negara untuk mewajibkan

pencatatan nikah dan kepentingan masyarakat untuk kepentingannya seperti

guna mendapatkan pensiunan TNI-AL dalam putusan 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl

yang dibahas dalam penelitian ini.

Putusan no. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. ini menerangkan bahwa telah

terjadi pernikahan dibawah tangan menurut agama Islam pada hari senin tanggal

28 Pebruari 2011 antara pemohon yang berstatus janda cerai berumur 40 tahun,

agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, dengan seorang laki-laki pensiunan

TNI-AL yang saat itu berstatus duda cerai berumur 55 tahun. Kemudian, pada

tanggal 10 April 2013 suaminya tersebut meninggal dunia karena sakit dan

dimakamkan di Desa Cowek Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan.

Sebelum menikah dengan pemohon, almarhum suami pemohon tersebut telah

dua kali menikah dan meninggal dengan meninggalkan lima orang anak hasil dari

pernikahan pertamanya, yang mana kelima orang tersebut diposisikan sebagai

para termohon dalam putusan No. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. ini.

Putusan ini dipilih untuk diteliti karena beberapa alasan. Pertama, karena

nikah sirri yang dilakukan ini termasuk sangatlah baru, yaitu pada tahun 2011.

Pengabulan perkara nikah sirri ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat

pewajiban pencatatan nikah yang sudah sejak lama dicanangkan. Kedua, alasan

pengajuan isbat nikah dengan alasan untuk mendapatkan uang pensiunan

(16)

6

yang ada. Kompilasi Hukum Islam yang berkekuatan sebagai Inpres saja juga

membatasi perkara yang dibolehkan untuk diisbatkan. Karena itu, dasar

pertimbangan hakim dalam putusan ini juga menjadi pembahasan dalam

penelitian ini. Kemudian, dengan mengkaji putusan ini dengan metode mas}lah}ah

mursalah penulis berharap dapat memberikan sumbangsih dalam perkara isbat

nikah, terutama mengenai penerapan hukum isbat nikah di Indonesia.

Itulah yang melatar belakangi penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang

persoalan tersebut. Melalui judul “A NA LISIS MA S{LA H{A H MURSA LA H

TERHA DA P ISBA T NIKA H UNTUK MENDA PA TKA N UA NG PENSIUNA N

TNI-A L (Studi Putusan Pengadilan A gama Bangil Nomor

0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl)”, penulis mencoba meneliti, membahas dan menelaah.

Semoga hasil dari penelitian ini ada manfaatnya untuk perkembangan ilmu

pengetahuan, khususnya dibidang hukum keluarga Islam.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi diperlukan untuk mengenali ruang lingkup pembahasan agar

tidak terjadi miss understanding dalam pemahaman pembahasannya. Adapun

identifikasi dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

a. Tinjauan umum metode mas{lah{ah mursalah, berserta perkembangan metode

(17)

7

b. Pengertian pernikahan isbat nikah dan pencatatan perkawinan

c. Sejarah dimulainya isbat nikah di Indonesia

d. Gambaran umum tentang perkara No. 0026/Pdt.g/2014/PA.Bgl

e. Alasan pengajuan isbat nikah perkara No. 0026/Pdt.g/2014/PA.Bgl

f. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan No. 0026/Pdt.g/PA.Bgl

g. Dasar pertimbangan hakim yang didapatkan melalui wawancara

h. Kesesuaian antara pengajuan isbat nikah danmas{lah{ah mursalah

2. Batasan Masalah

Batasan masalah disini bertujuan untuk menetapkan batas-batas masalah

yang akan diteliti dan objek mana yang tidak termasuk dalam pembahasaan,

sehingga pembahasan menjadi lebih terarah dan tidak menyimpang dari fokus

penelitian, maka dari itu penulis memfokuskan dengan batasan sebagai berikut:

a. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl

tentang isbat nikah untuk mendapatkan uang pensiunan TNI-AL.

b. Tinjauan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap putusan nomor

0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan

(18)

8

1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor

0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah untuk mendapatkan uang

pensiunan TNI-AL?

2. Bagaimana tinjauan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap putusan nomor

0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah?

D. Kajian Pustaka

Pembahasan yang spesifik mengenai isbat nikah yang dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan yang mengarah pada pewajiban pencatatan nikah

serta dilihat dari perspektif mas}lah}ah mursalah saat ini belum penulis temukan.

Adapun penelitian yang sedikit berhubungan dengan pembahasan dalam karya

tulis ini adalah sebagai berikut:

1. Isbat nikah poligami dalam perspektif perlindungan hak perempuan dan

hak anak : studi kasus putusan isbat nikah poligami Pengadilan Agama

Mojokerto No.0370/Pdt.G/2012/PA.Mr / Nova Sri Wahyuning Tyas;

pembimbing: Abdul Kholiq Syafa’at. Skripsi ini membahas isbat nikah

poligami dan lebih terfokus pada segi perlindungan hak perempuan dan

hak anak serta melihatnya lebih banyak dari segi hukum Islam.

Sedangkan penulis di sini, dari perspektifmas{lah{ah mursalah.

2. Analisis hukum Islam terhadap isbat nikah sirri di bawah umur di

(19)

9

Arif Jamaluddin Malik. Skripsi ini juga membahas perkara isbat nikah di

Pengadilan Agama, namun dari segi hukum Islam. Berbeda dengan

penulis yang ingin melihatnya perspektifmas{lah{ah mursalah.

3. Pelaksanaan isbat nikah sebelum dan sesudah KMA/032/SK/IV/2006

tentang pemberlakuan buku II pedoman pelaksanaan tugas dan

administrasi pengadilan di pengadilan agama Jombang : Ratna Suraiya;

pembimbing: M. Romdlon. Skripsi ini membahas isbat nikah, persamaan

dan perbedaannya sebelum dan setelah KMA/032/SK/IV/2006 tentang

pemberlakuan buku II pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi

pengadilan. Meskipun terkait dengan isbat nikah, namun penelitian

komparasi ini terbatas pada peraturan perundang-undangan, berbeda

dengan penulis yang ingin melihatnya dari perspektifmas{lah{ah mursalah.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas, penulis berpendapat bahwa penelitian

yang penulis lakukan disini memang belum ada sebelumnya. Beberapa penelitian

yang ada hanya menggunakan analisis yuridis atau pun hukum Islam sebagai

pisau analisisnya, berbeda dengan penulis yang menggunakanmas}lah}ah mursalah

(20)

10

E. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis,

yaitu :

1. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor

0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah untuk mendapatkan uang

pensiunan TNI-AL.

2. Mengetahui tinjauan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap putusan nomor

0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Berpijak dari tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan

mempunyai nilai guna, yaitu :

1. Aspek disiplin keilmuan (teoritis)

Yaitu untuk memperdalam dan memperluas khazanah pengetahuan dan

keilmuan yang berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu Hukum Islam,

khususnya yang berkaitan dengan dasar pertimbangan putusan Hakim jika

ditabrakan dengan peraturan perundang-undangan, maslahah mursalah, dan

kenyataan masyarakat yang ada.

2. Aspek terapan (praktis)

Yaitu dapat digunakan sebagai sumbangan pikiran bagi pembaca dan

(21)

11

hukum positif tentang dasar pertimbangan hakim serta sebagai referensi

bandingan bagi para Hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama (isbat

nikah).

3. Bagi penulis secara pribadi sangat berpengaruh, karena merupakan

pengalaman yang pertama kali dalam penyusunan skripsi yang merupakan

bentuk karya ilmiah yang diujikan dan merupakan salah satu syarat dalam

menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum jurusan Hukum Perdata

Islam prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhsiyyah) UIN Sunan Ampel

Surabaya.\

G. Definisi Operasional

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan tidak terjadi kesalah

pahaman pembaca dalam mengartikan judul skripsi ini, maka penulis

memandang perlu untuk mengemukakan secara tegas dan terperinci maksud

judul di atas.

1. AnalisisMas{lah{ah Mursalah

Suatu kajian atau penyelidikan dengan menguraikan secara jelas dan

sistematis dengan menggunakan kemas}lah}atanyang sejalan dengan kemauan

(22)

12

persoalan-persoalan yang tidak dinyatakan dalam nash untuk menemukan

suatu hukum.

2. Isbat Nikah

Isbat Nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri

yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan

pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh

keduanya, sehingga pernikahannya tersebut berkekuatan hukum.

3. Dasar Pertimbangan Hakim

Berbagai hal yang menjadi dasar dan mempengaruhi hakim dalam

memutuskan suatu perkara.

H. Metode Penelitian

1. Sumber Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua)

macam, yaitu :

a. Data Primer

1) Salinan Putusan No. 0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl.

2) Ketua Pengadilan Agama Bangil.

3) Hakim dan Panitera yang menyidangkan perkara isbat nikah putusan

No. 0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl.

(23)

13

1) Peraturan yuridis yang berkaitan dengan isbat nikah.

2) Buku-buku yang berkaitan dengan isbat nikah dan pencatatan

perkawinan.

3) Buku-buku yang berkaitan dengan metodemas{lah{ah mursalah.

2. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah Putusan No.

0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl. Namun demi lebih mendalamnya penelitian, penulis

juga melakukan wawancara dengan pihak yang bersangkutan dengan

bagaimana terjadinya putusan tersebut, yaitu terutama hakim ketua yang

memimpin sidang.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Dokumentasi

Teknik pemgumpulan data mengenai hal-hal yang berupa catatan,

transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, agenda dan sebagainya.4

Dengan teknik ini penulis berharap akan mendapatkan data dokumen

keterangan-keterangan tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini.

Pada penelitian ini, penulis akan mengumpulkan beberapa dokumen

yang berkaitan dengan isbat nikah, diantaranya adalah salinan putusan No.

0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl., data yang berkaitan dengan perkara isbat nikah

di PA Bangil, peraturan yuridis tentang isbat nikah dan pencatatan

4

(24)

14

perkawinan, serta buku-buku yang berkaitan dengan isbat nikah,

pencatatan perkawinan dan mas}lah}ah mursalah.

b. Interview atau Wawancara

Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab

secara langsung dengan lisan, baik bertatap muka maupun melalui

telephon.5

Teknik Pengumpulan data dengan wawancara dalam penelitian ini

digunakan untuk lebih melengkapi data yang telah didapat melalui teknik

dokumentasi. Dengan teknik ini penulis dapat memperoleh data yang

terkait dengan permasalahan terjadinya dasar pertimbangan Hakim dengan

langsung memferivikasi kepada Hakim dan Panitera yang terkait ,

kemudian berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan peraturan yuridis

yang berlaku jika ditabrakan dengan sikap kebijaksanaan hakim yang

diambil dalam memutuskan perkara tersebut.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

Deskriptif Analitis, dalam arti menguraikan dengan jelas dan sistematis

tentang apa dan bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam perkara isbat

5

(25)

15

nikah No. 0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl. dengan menggunakan pola berfikir

deduktif.

Pola berfikir deduktif dalam penelitian ini berarti berangkat dari

berbagai teori umum dan kemudian diterapkan pada hal yang khusus, yaitu

berangkat dari berbagai peraturan yuridis tentang isbat nikah jika diterapkan

dalam putusan No. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. dan juga teori mas}lah}ah

mursalahjika diterapkan dalam putusan No. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl.

H. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi terdiri dari 5 (lima) bab. Masing-masing bab mempunyai

sub-sub bab yang satu sama lain ada korelasi yang saling berkaitan sebagai

pembahasan yang utuh, adapun sistematika dalam pembahasan ini adalah sebagai

berikut :

BAB I : Berisi pendahuluan, yang mencakup : latar belakang masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan

hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang terdiri

dari data yang dikumpulkan, sumber data, subyek penelitian,

teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, kemudian

dilanjutkan dengan sistematika pembahasan.

BAB II : Membahas tentang metode mas{lah{ah mursalah dan bagaimana

(26)

16

tentang tinjauan umum tentang isbat nikah dan berbagai peraturan

yuridis yang terkait dengannya.

BAB III : Membahas tentang profil PA Bangil, isi putusan putusan No.

0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl, dan dasar pertimbangan Hakim dalam

perkara isbat nikah tentang putusan tersebut, yang meliputi dasar

pertimbangan Hakim yang tertuang dalam putusan maupun yang

ditemukan melalui berbagai pertanyaan wawancara. Serta untuk

lebih lengkap, juga dibahas tentang dampak putusan tersebut

terhadap klien yang mengajukannya.

BAB IV : Membahas tentang analisis hasil penelitian, yaitu dasar

pertimbangan hakim dalam putusan nomor

0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl tentang isbat nikah untuk mendapatkan

uang pensiunan TNI-AL dan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap

putusan No. 0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl tentang isbat nikah untuk

mendapatkan uang pensiunan TNI-AL.

BAB V : Berisi penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran-saran dari

penulis.

DAFTAR PUSTAKA

(27)

17

BAB II

MAS{LAH{AH MURSALAH,

ISBAT NIKAH, DAN PENCATATAN PERKAWINAN

A. Mas{lah{ah Mursalah

Al-Quran dan al-Sunnah adalah sumber utama istinbat{hukum Islam.

Kedua sumber ini menjadi asas penginstinbat{an hukum Islam karena al-Quran

merupakan wahyu daripada Allah S.W.T, dan al-Sunnah menerangkan dan

menguraikan apa yang terkandung dalam al-Quran.

Di samping sumber utama ini, terdapat sumber lain yang digunakan oleh

para mujtahid dalam mengeluarkan sesuatu hukum. Ulama fiqh telah membagi

sumber ini kepada dua bagian, iaitu sumber yang disepakati oleh jumhur fuqaha

seperti ijma>’ dan qiya>s dan sumber yang diperselisihkan oleh mereka seperti

istih}sa>n, mas}lah}ah mursalah, ‘urf, sadd al-dhara’i, dan al-istis}ha>b.

Sumber-sumber ini dinamakan juga sebagai istidla>l, yaitu menggunakan dalil bukan

daripada al-Quran atau al-sunnah, bukan juga daripadaijma’atauqiyas1.

Mas}lah}ah mursalah adalah salah satu cabang daripada istidla>l yang

berperanan untuk memelihara maslahat ummah dengan cara menolak segala

perkara yang bisa mendatangkan mudarat dan menerima segala perkara yang

mendatangkan manfaat. Penulis disini akan mencoba untuk memberikan

penjelasan terhadap konsep mas}lah}ah mursalah sebagai salah satu sumber dalam

penginstinbat}anhukum Islam dan pandangan ulama terhadapnya.

1

Hamam Thontowi,Ushul Fiqh, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 35-40.

(28)

18

1. DefenisiMas}lah}ah Mursalah

Mas}lah}ah mursalah secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu

mas}lah}ah” dan “mursalah”. Ibn Manzhur dalam kitab Lisan al-‘A rab dan al-Fairu>z Aba>di>mengatakan bahwa al-mas}lah}ah berasal dari kata al-s}ala>h} yang

berarti kebaikan (kebalikan dari mudharat)2. Sedangkan dalam Mu’jam al-Tulla>b

al-W asi>t}, mas}lah}ah berarti manfaat3. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia disebutkan bahwa maslahat4 artinya sesuatu yang mendatangkan

kebaikan, faedah, guna. Sedangkan kata kemaslahatan berarti kegunaan,

kebaikan, manfaat, dan kepentingan5. Adapun kata kedua yaitu mursalah,

memiliki arti lepas dari segala sesuatu6atau merdeka dan lepas7.

Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul wahab khallaf

berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk

merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung

maupun yang menolaknya8.

Selain itu menurut Imam Ghazali, beliau mengatakan mas}lah}ah pada

dasarnya adalah suatu gambaran daripada meraih manfaat atau menghindarkan

mudarat yaitu ke arah memelihara tujuan syariat. Oleh itu dapat difahami bahwa

yang dimaksudkan dengan al-mas}lah}ah adalah menolak mudarat dalam rangka

2

Ibn Manzhur,Lisa>n al-A ’rab, jilid V, (Kairo: Dar el-Hadith, 2003), 374. dan Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Aba>di>,al-Muhits, (Beirut: al-Resalah, 2005), 1005.

3

Kari>m Sayid Muhammad Mah}mu>d,Mu’jam al-Tulla>b al-W asi>t}, (Lebanon: Dar Kotob al-Ilmiyah, 2009), 447.

4

Padanan katamas}lah}ahdalam bahasa arab.

5

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 563.

6

Ibn Manzhur,Lisa>n al-A ’rab, jilid IV, (Kairo: Dar el-Hadith, 2003), 140.

7

Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Aba>di>,al-Muhits…, 229.

8

(29)

19

memelihara tujuan syariat yang meliputi lima perkara yaitu memelihara agama,

nyawa, akal, keturunan dan harta9.

Sedangkan menurut Abu Zahrah, mas}lah}ah mursalah adalah maslahat yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah SWT) secara umum,

tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya10.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahawa adanya

persamaan persepsi antara satu sama lain iaitu :

1. Mas}lahah secara terminalogi harus berada dalam ruang lingkup tujuan

syariat, tidak boleh disandarkan kepada keinginan hawa nafsu.

2. Mas}lah}ah haruslah mengandungi dua unsur penting yaitu meraih

manfaat dan menolak mudarat.

2. Macam-macam Maslahah

Macam-macam maslahah dapat kita lihat dari tiga segi, yaitu maslahah

dari segi kekuatan zat, dari segi sudut umum dan khusus dan dari segi pengakuan

dan penolakan syariat.

Pembagianmaslahahdari segi kekuatan zat terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Mas}lah}ah d}aru>riyyah, yaitu mas}lah}ah utama dalam kehidupan

manusia dan tidak boleh diabaikan. Jika ia diabaikan, tidak ada lagi

keseimbangan dalam kehidupan, baik kehidupan di dunia maupun di

9

Jaih Mubarok,Metodologi Ijtihad…, 153.

10

(30)

20

akherat11.Mas}lah}ahini dapat diartikan sebagai pemeliharaan terhadap

lima hal, yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal12.

2. Mas}lah}ah hajiyah, yaitu mas}lah}ah yang menjadi keperluan bagi manusia dalam memudahkannya menjalani kehidupan dan

menjauhkan kesulitan serta kesukaran dalam kehidupan. Namun,

ketiadaannya tidaklah membawa kepada kerusakan seperti tiadanya

mas}lah}ah d}aru>riyyah. Contohnya, diberikan rukhs}ah kepada orang

yang bermusafir untuk berbuka puasa dan melakukan jamak dan

qasar13.

3. Mas}lah}ah tah}siniyyah, yaitu mas}lah}ah yang menyempurnakan

kehidupan manusia. Sekiranya mas}lah}ah ini tidak ada, tidaklah

membawa kepada kerusakan, berbeda jika tidak dijaga mas}lah}ah

d}aruriyyah, dan tidak juga membawa kesulitan dalam kehidupan

manusia seperti ketiadaan mas}lah}ah h}ajiyah. Namun, ketiadaannya

akan membawa kepada ketidaksempurnaan dalam kehidupan.

Contohnya, menjaga adab ketika makan dan minum dan memakai

pakaian yang cantik pada saat hari raya14.

Selain itu, mas}lah}ah juga bisa dilihat dari segi keumuman dan

kekhususannya, yaitu maslahat umum/publik (mas}lah}ah ‘ammah),maslahah yang

11

Ibrohim bin Musa ash-Sha>tibi>,al-Muwafaqat, juz II(Kairo: Dar el-Hadits, 2006), 265.

12

Ibid.,266. Di dalam komentarnya, Abdullah Darraz mengatakan bahwa beberapa ulama’ menempatkan urutannya sebagai berikut, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ada juga beberapa ulama yang mendahulukan jiwa dari agama.

13

Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 123.

14

(31)

21

berkaitan dengan mayoritas (mas}lah}ah aghlabiyyah) dan maslahat perorangan15

(mas}lah}ah khas}s}ah)16;

1. Mas}lah}ah ‘ammah yaitu mas}lah}ah yang mencakup maslahat seluruh manusia. Sehingga maslahat ini mesti ditegakkan bersama. Contohnya

saja adalah keutuhan al-Quran sebagai sumber ajaran suci.

2. Mas}lah}ah aghlabiyyah, yaitu mas}lah}ah yang hanya melibatkan sebagian

besar manusia saja. Contohnya adalah misalnya saja kebutuhan

sekelompok masyarakat terhadap perlunya ada suatu ketentuan peraturan

terkait sengketa yang terjadi disuatu daerah.

3. Mas}lah}ah khas}s}ah, yaitu mas}lah}ah yang merujuk kepada kemaslahatan

individu tertentu pada situasi tertentu. Contohnya adanya kemaslahatan

bagi seorang isteri agar hakim menetapkan keputusan fasakh karena

suaminya hilang.

Sedangkan dari sudut pengakuan dan penolakan syariat, mas}lah}ah juga

bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut17;

1. Mas}lah}ah mu’tabarah, yaitu mas}lah}ah yang telah disebutkan dalam

nash dan sesuai dengan syariat. Contohnya pensyariatan hukuman had

atas penzina. Pada surah an-Nur ayat 2, disebutkan tentang hukuman

cambuk atas penzina. Ia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan

umat manusia dari segi menjaga keturunan dan ia bertepatan dengan

15

Private interest 16

Abu Yasid,Nalar dan W ahyu Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 131-132.

17

(32)

22

prinsip maqa>s}id shari>’ah. Contohnya lagi adalah adanya hukum had

bagi peminum khamar18.

2. Mas}lah}ah mulghah, yaitumas}lah}ahyang bertentangan dengan syariat.

Contohnya adalah menyerah kepada musuh dalam peperangan.

Walaupun sekilas terlihat ada maslahat menjaga nyawa, namun hal ini

menyebabkan kemudharatan yang lebih besar, yaitu terjadinya

penjajahan di negeri. Dan tentu saja hal ini tidak sesuai dengan syariat

yang menyuruh untuk berperang melawan musuh19.

3. Mas}lah}ah mursalah, yaitu mas}lah}ah yang tidak ada dalil khusus yang

menyebutkannya, baik menerima ataupun menolaknya20. Ia

merupakan bentuk yang paling sesuai dalam menggambarkan nilai

fleksibilitas perundangan Islam. Hal ini karena terdapat banyak

contoh yang menunjukkan kaedah ini begitu relevan untuk

diaplikasikan. Contohnya antara lain adalah pengumpulan al-Quran

dalam satu mushaf pada zaman Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina

Umar menjatuhkan talaq tiga dalam satu kalimat talaq, dan Sayyidina

Utsman bin Affan menjadikan adzan shalat jum’at menjadi dua kali.

Semua perkara ini tidak dinyatakan secara eksplisit oleh Allah S.W.T

melalui nas-nas Al-Quran maupun hadis tentang kebolehannya21.

18

Syuqi a’bduh,al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, (Kairo: an-Nahdah al-Misriyyah, 1989), 278.

19

Abdul Karim Zaidan,al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, (Baghdad: Dar el-Wafa’, 1992), 170.

20

Ibid.

21

(33)

23

Pada hakikatnya, mas}lah}ah mursalah adalah segala sesuatu yang

mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan maqa>s}id al-shari>’ah akan tetapi tidak

didukung dengan adanya dalil. Oleh karena itu, penulis juga akan menambahkan

pembahasan tentang pembagian maqa>s}id tersebut untuk lebih melengkapi kajian

penelitian ini. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tujuan syariah itu adalah

untuk menjaga lima hal berikut, yaitu menjaga agama (hifz}uddin), jiwa (hifz}un

nafs), akal (hifz}ul ‘akal), keturunan (hifz}unnasl), dan menjaga harta (hifz}ul

mal)22;

a. Maqa>s}id hifz}uddin, yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu

contohnya adalah dianjurkannya kita berjihad ketika jihad itu

memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab kalau tidak, umat

Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau pemeluk

agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun

kadang kita mengartikan jihad itu seenaknya saja, padahal jihad

adalah suatu ketentuan yang sangat sakral dan sangat mulia.

b. Maqa>s}id hifz}unnafs, yaitu menjaga diri. Tujuan sha>ri’ (tujuan Allah)

menentukan suatu ketentuan hukum adalah untuk menjaga diri.

Misalkan mengenai ketentuan qis}a>s}. Mengapakah qis}a>s}itu dianggap

menjaga diri, sedangkan qis}a>s}itu sendiri merupakan membunuh?

Allah menyatakan, bahwasanya qis}a>s} itu adalahh}aya>tun ya>ulil alba>b

(qis}a>s}itu adalah kehidupan bagi kalian). Karena, ketika melihat

pelaksanan hukum qishash tersebut, mungkin akan begitu terasa di

22

(34)

24

hati kita, agar tidak membunuh orang, karena hukumnya sangat berat.

Inilah dampak lahir dan batin dari hukum qis}a>s}yang kita lihat itu.

Sehingga orang yang melihat pelaksanaan hukuman tersebut, maka

akan tertahan untuk melakukan tindak pidana. Inilah yang

dikehendaki oleh Allah, bahwa qishash itu sebetulnya merupakan

kehidupan bagi umat manusia.

Selain itu, kebebasan untuk bicara, beramal, dan kebebasan untuk

berfikir juga merupakan bagian darihifz}unnafsiini23.

c. Maqa>s}id hifz}ul al-‘aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih.

Karena itu, disyariatkanlah ketentuan hukuman had bagi orang yang

mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun hal lain). Sehingga,

tujuan dari mengapa orang yang mabuk itu dihukum adalah agar tidak

melakukan hal tersebut, sehingga otak ini tetap jernih24.

d. Maqa>s}id hifz}unnasl, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan

yang dimaksud di antaranya adalah anjuran untuk menikah.

Sesungguhnya nikah merupakan perintah Allah untuk menjaga

keturunan, dalam hal ini tentunya keturunan yang terhormat. Selain

itu juga adanya larangan melakukan perzinaan dan dianjurkannya

menghukum orang-orang yang berzina.

e. Maqa>s}id hifz}ul al-ma>l, menjaga harta. Ada yang berbentuk anjuran,

yaitu seperti perintah untuk bekerja mencari nafkah yang halal. Dan

23

Ibid.

24

(35)

25

ada juga dalam bentuk larangan, yaitu larangan bahkan dihukumnya

orang-orang yang mencuri dengan cara dipotong tangannya25.

3. KehujjahanMas}lah}ah Mursalah

Ada beberapa dasar hukum dan dalil mengenai diberlakukannya teori

mas}lah}ah mursalahdiantaranya adalah26:

a. Al-Quran.

Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya mas}lah}ah mursalah

adalah firman Allah SWT surahal-A nbiya>ayat 10727.

Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi seluruh alam (Q.S. A l A nbiya>: 10728)

b. Al-Sunnah.

Al-Sunnah yang dikemukakan sebagai landasanshar’iatas kehujahan mas}lah}ah mursalahdiantaranya29adalah sabda Nabi saw.

meriwayatkan dari ayah beliau bahwa Rasulullah SA W bersabda: ”Tidak boleh

berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan30.”

25

Ibid.

26

Asmawi,Perbandingan Ushul…, 130.

27

Jalaluddin Abdurrahman Jalal,al-Masalih al-Mursalah wa Makanatuha fi at-T asyri’, (Kairo: al-Saa’dah, 1983), 69.

28

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an Penterjemah Anwar Abu Bakar,Muyassar al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 668.

29

(36)

26

c. Tujuan Pokok Penetapan Hukum Islam adalah untuk Mewujudkan

Kemaslahatan Bagi Umat Manusia.

Kemaslahatan manusia akan selalu dinamis sesuai dengan kemajuan

zaman. Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru yang

hukumnya belum ditegaskan oleh Al-Quran dan al-Sunnah. Metode mas}lah}ah mursalahmenjadi salah satu metode yang dapat digunakan sebagai pertimbangan

penetapan hukum Islam.

d. Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf

Dalam memberikan contoh mas}lah}ah mursalah, diatas telah dijelaskan,

bahwa para sahabat seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatthab dan para

imam madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip

maslahat31.

Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan mas}lah}ah mursalah

juga didukung dalil-dalil‘aqliyah(alasan rasional). Bahwa kemaslahatan manusia

itu selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariat

hukum yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dangan maslahat baru

yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip

maslahat yang mendapat pengakuan syariat dari sumber hukum yang disepakati

saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang

dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.

30

Malik bin Anas,al-Muwatta, IV (Emirat: Muassasah Zayid bin Sultan, 2004), 1078.

31

(37)

27

Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil shara’,

menyatakan bahwa dalil hukummas}lah}ah mursalahialah32:

a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang

demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.

b. Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’it tabi’iin dan para ulama

yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka

dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum

muslimin pada masa itu.

Meskipun demikian, mas}lah}ah mursalah merupakan salah satu dalil yang

tidak disepakati dikalangan ahli-ahli usul. Oleh karena itu, kehujahan mas}lah}ah

mursalah bisa dibagi kepada dua bagian, yaitu pendapat yang menolak dan

pendapat yang menerima. Adapun pendapat yang menolak, mereka memberikan

beberapa alasan.

Pertama, m e r e k a m e n g a t a k a n bahwa memandang mas}lah}ah

mursalah sebagai hujjah berart i mendasarkan penetapan hukum Islam kepada

sesuatu yang meragukan (karena mungkin masuk kategori mas}lah}ah mu’tabarah

atau mungkin masuk kategorimas}lah}ah mulghah)33.

Kedua, memandang mas}lah}ah mursalah sebagai hujjah berart i menodai

kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam t idak berdasarkan

kepada nas}s}-nas}s}tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka

32

Masykur Anhari,Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), 102.

33

(38)

28

dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawat irkan akan banyak

penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepent ingan hawa nafsu34.

Ketiga, bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna.

Dengan menjadikan mas}lah}ah mursalah sebagai dasar dalam menetap hukum

Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan

hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada

yang kurang35.

Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak

terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama

(disparitas) dikarenakan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan

menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam36.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang

tidak menerima mas}lah}ah mursalah sebagai dasar menetapkan hukum Islam di

atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan yang dikemukakan oleh pendapat

yang menerimamas}lah}ah mursalah.

Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berart i

mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan,

sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak proses dan

pertimbangan, sehingga menghasilkan z}ann yang kuat. Dalam ilmu fiqih dikenal

ist ilahyakfi al-‘amal biz}-z}ann,beramal berdasarkan kepada z}anndianggap cukup

karena semua fiqih adalahz}ann.

(39)

29

Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode

mas}lah}ah mursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa

nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, mas}lah}ah mursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, jadi t idak asal maslahat.

Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga t idak terjadi

penyalahgunaan dalam menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada maslahat.

Ketiga,Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud

dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip

hukumnya. Jadi t idak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti

banyak sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh

al-Quran dan al-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melaluiijtihad.

Keempat, tidak benar kalau memandang mas}lah}ah mursalah sebagai

hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan hukum

Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunakan metode

mas}lah}ah mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan

dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan37.

Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan

oleh sekelompok umat Islam yang t idak menerima mas}lah}ah mursalah

sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, masih diragukan kebenarannya.

Apalagi, sekiranya pendekatan mas}lah}ah mursalah tidak digunakan dalam

perkara yang berkaitan menjaga kemaslahatan manusia saat ini, maka hukum

Islam akan tertinggal jauh dan tidak dapat mengikuti perkembangan

37

(40)

30

permasalahan yang ada demi menjaga kemaslahatan hidup manusia. Hal ini

karena manusia memerlukan panduan dalam kehidupan terutamanya bagi perkara

yang baru. Sekiranya mas}lah}ah mursalah tidak digunakan, sudah pasti akan terjadilah kerusakan.

Para ulama telah menetapkan beberapa syarat penggunaan mas}lah}ah mursalah sebagai sumber hukum yang tidak disepakati. Namun begitu, terdapat

dua perbedaan pendapat dalam hal tersebut, yaitu ada yang menerima dan ada

pula pendapat yang menolak.

Terdapat beberapa syarat yang ditetapkan oleh ulama yang menggunakan

mas}lah}ah mursalahsebagai sumber hukum38:

a. Mas}lah}ahitu dipastikan wujudnya dan bukan sangkaan (waham).

b. Tidak terdapat dalil yang membatalkannya.

c. Mas}lah}ahtersebut hendaklah bersifat umum bukan khusus kepada sesuatu

kelompok saja.

d. Mas}lah}ah tersebut bisa diterima oleh akal jika diterangkan kepada orang

yang berakal.

e. Digunakan untuk menjaga keperluan manusia dan menolak mudarat.

Adapun ulama yang tidak menggunakan mas}lah}ah mursalah sebagai

metode istinbat}hukum, walaupun mereka berpendapat demikian, terdapat

pendapat dari golongan tersebut yang menetapkan beberapa syarat yang harus

dipenuhi sekiranya dalil ini ingin digunakan. Diantaranya39:

38

T. M. Hasbi ash-Shiddieqy,Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 354.

39

(41)

31

a. Hendaklahmas}lah}ahitu ditahap darurat bukan sekadar hajat saja.

b.Kulliyyahbukanjuziyyah.

c. Hanya dalam perkara muamalah, bukan perkara ibadah.

d. Mas}lah}ah maslahah tersebut tidak berlawanan dengan nas dan tujuan

syariat.

e. Sesuatu mas}lah}ah itu hendaklah ada dan diyakini disisi syariat yang

bisa memberi manfaat dan mencegah mudarat.

4. Contoh-contoh Penggunaan Maslahah Mursalah

Contoh-contoh pengunaan mas}lah}ah mursalah dapat dilihat dalam

beberapa perkara. Diantaranya ialah:

a. Pengumpulan al-Quran yang dilakukan pada era pemerintahan

khulafa’ al-rāshidin yang pertama, Sayyidina Abu Bakar r.a.

Pengumpulan al-Quran ini tidak pernah berlaku pada zaman

Rasulullah s.a.w. Namun begitu, Sayyidina Umar bin al-Khattab yang

melihat keperluan terhadap pengumpulan dan pembukuan al-Quran

dalam satu mus}h}af telah mengusulkan kepada Sayyidina Abu Bakar

r.a, melihat perlunya menjaga al-Quran karena ia merupakan kalam

Allah yang merupakan panduan kepada umat Islam, Sayyidina Abu

Bakar r.a telah memerintahkan Zaid bin Tsabit r.a untuk menulis

(42)

32

al-Quran ini adalah dalam menjaga kemuliaan al-Quran itu sendiri

dari hilangnya sumber hukum yang agung ini40.

b. Sayyidina Utsman bin ‘Affan mengumpulkan muslim diseluruh

penjuru dunia untuk menjadikan al-Quran dalam satu qiraah dan

mus}h}af yang satu. Dan beliau juga membakar mus}h}af selain qiraah

tersebut agar tidak terjadi fitnah dikarenakan banyaknya ragam qiraah

yang berbeda41.

c. Pengumpulan hadits dan ilmu yang berkaitan dengan hadits

dibukukan42. Sekilas, pengumpulan ini seolah-olah merusak adab

sebagai orang Islam karena melakukan perbuatan yang tidak

dilakukan oleh Nabi. Namun tujuan pengumpulan hadits ini

sebenarnya adalah untuk menjaga hadits-hadits yang amat berguna ini

hilang begitu saja. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk

mengumpulkannya agar ia dapat dijadikan bukti ataupun panduan

dalam mengistinbat sesuatu hukum.

Pengumpulan hadis ini sama seperti pengumpulan al-Quran yang pada

dasarnya adalah untuk kemaslahatan agama agar sumber hukum Islam

ini tidak hilang begitu saja dan juga memudahkan manusia untuk

mengistinbat hukum berdasarkan dalil-dalil yang sahih.

40

T. M. Hasbi ash-Shiddieqy,Kriteria A ntara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 73.

41

Jalaluddin Abdurrahman Jalal,al-Masalih Mursalah…, 81.

42

(43)

33

B. Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan 1. Isbat Nikah

a. Pengertian Isbat Nikah

Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan.

Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan (kebenaran sesuatu)43. Sedangkan menurut fiqh nikah secara bahasa

adalah bersenggama atau bercampur44. Para ulama ahli fiqh berbeda

pendapat tentang makna nikah, namun secara keseluruhan dapat

disimpulkan bahwa nikah menurut ahli fiqh berarti akad nikah yang

ditetapkan oleh shara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan

bersenang-senang dengan kehormatan seorang isteri serta seluruh

tubuhnya45. Sedang nikah menurut hukum positif yaitu ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa46.

Jadi pada dasarnya, isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah

dilaksanakan ssuai dengan ketentuan agama islam yaitu sudah

terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi pernikahan yang terjadi pada

masa lampau ini belum atau bahkan tidak dicatatkan ke pejabat yang

43

Tim Penyusun Kamus,Kamus Besar…, 339.

44

Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), 1.

45

Ibid., 2.

46

(44)

34

berwenang, dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

b. Syarat-syarat Isbat Nikah

Tentang syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab fiqh

klasik maupun kontemporer. Akan tetapi syarat isbat nikah ini

dapat dianalogikan dengan syarat pernikahan. Hal ini karena isbat

nikah (penetapan nikah) pada dasarnya adalah penetapan suatu

perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang

terdapat dalam syari’at Islam. Bahwa perkawinan ini telah

dilakukan dengan sah yaitu telah sesuai dengan syarat dan rukun

nikah tetapi perkawinan ini belum dicatatkan ke pejabat KUA yang

berwenang yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Syarat- syarat

isbat nikah antara lain47:

a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya :

1. beragama Islam

2. laki-laki

3. jelas orangnya

4. dapat memberikan persetujuan

5. tidak dapat halangan perkawinan

b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya adalah:

1. beragama Islam

2. perempuan

47

(45)

35

3. jelas orangnya

4. dapat dimintai persetujuan

5. tidak terdapat halangan

c. Wali nikah syarat-syaratnya :

1. laki-laki

2. dewasa

3. mempunyai hak perwalian

4. Tidak terdapat halangan perwaliannya

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1. minimal dua orang laki-laki

2. hadir dalam ijab Kabul

3. dapat mengerti maksud akad

4. islam

5. dewasa atau baligh

e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya48:

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai

3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahannya

4. Antara ijab dan qabul bersambungan

5. Orang yang trkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji/umrah

6. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang49

48

Ibid,.

49

(46)

36

c. Dasar Hukum Isbat Nikah

Pada dasarnya kewenangan perkara Isbat nikah bagi

Pengadilan Agama dalam sejarahnya adalah diperuntukkan bagi

mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum

diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, jo. Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 197550,

Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan

dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat

(2) dan (3)51. Dalam ayat (2) di sebutkan: “dalam hal perkawinan

tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan Isbat

nikahnya di Pengadilan Agama”; pada ayat (3) disebutkan : Isbat

nikah yang diajukan ke pangadilan Agama terbatas mengenai hal

yang berkenaan dengan ; a. Adanya perkawinan dalam rangka

penyelesaian perceraian; b. Hilangnya akta nikah; c. adanya

keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; dan e.

perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun

197452.

Dengan melihat uraian dari Pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI

tersebut, berarti bahwa KHI telah memberikan kewenangan lebih

dari yang diberikan oleh Undang-undang, baik itu UU No. 1 Tahun

50

penjelasan pasal 49 ayat (2), jo Pasal 64 UU No.1 Th. 1974.

51

Tim Redaksi Nuansa Aulia,Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), 3.

52

(47)

37

1974 maupun UU No. 7 Tahun 198953.

Mengenai isbat nikah ini PERMENAG No. 3 tahun

1975 yang dalam pasal 39 ayat 4 menentukan bahwa jika

KUA tidak bisa membuatkan dupkikat akta nikah karena

catatanya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka

untuk menentukan adanya nikah, talak, cerai ataupun rujuk, harus

ditentukan dengan keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan

Agama; tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilakukan

sebelum UU No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan

yang terjadi sesudahnya.

Jika dipikirkan lebih seksama, maka ketentuan pasal 7 ayat

2 KHI telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas

tentang isbat nikah ini tanpa batasan dan pengecualian padahal

dalam penjelasan pasal- pasalnya hanya dijelaskan bahwa pasal ini

hanya diberlakukan setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1989

tentang Pengadilan Agama54.

Apalagi pasal 7 ayat (3) huruf a, yang dapat mengundang

problem lanjutan seperti bagaimana jika penggugat mencabut

perkara cerainya, atau pemohon tidak tidak mau melaksanakan

ikrar talak karena telah rukun kembali sebagai suami isteri,

padahal telah ada putusan sela tentang sahnya nikah mereka;

53

Abdul Gani Abdullah,Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 79.

54

(48)

38

apakah bisa penjatukan dalam status hukum dalam putusan sela

dinilai gugur karena dinilai satu kesatuan dengan permohonan atau

gugatan pokok.

Demikian pula pasal 7 ayat 3 huruf b, bukankah kalau

hanya sekedar hilangnya kutipan akta nikah bisa dimintakan

duplikat ke KUA, dan untuk sebagai tindakan preventif/

kehati-hatian akan memungkinkan hilangnya buku catatan akta yang asli,

maka pasal 13 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan

bahwa helai kedua dari akta perkawinan itu harus disimpan

(dikirimkan oleh PPN) kepada panitera pengadilan dalam wilayah

kantor pencatatan perkawinan itu berada. Maka, jika di KUA itu

hilang atau musnah, tentu masih bisa didapatkan rangkapnya di

kantor pengadilan (PA).

Terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf c, yakni adanya

keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan,

hal ini justru mengarahkan kepada apa yang termasuk dalam

perkara pembatakan perkawinan/nikah, bukan perkara isbat nikah,

sebab biasanya orang yang melakukan nikah di bawah tangan

tersebut amatlah yakin bahwa perkawinan melalui kyai/ustadz

adalah telah sah dan sesuai dengan syari’at.

Juga terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf e, yakni

perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai

(49)

39

pasal yang amat luas jangkauanya yang tidak memberikan batasan

yang jelas.

d. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah proses atau perbuatan

menulis yang dilakukan oleh petugas atau pejabat yang

berwenang ke dalam daftar perkawinan yang dibuktikan

dengan adanya akta nikah sebagai bukti otentik.

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan

umum Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 dapat

dikatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan sebuah usaha

yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam

masyarakat. Dengan maksud sewaktu-waktu dapat dipergunakan

bila perlu dan dapat dipakai sebagai bukti otentik. Akta otentik

ialah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi

wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang

ditetapkan untuk itu, baik maupun tanpa bantuan dari yang

berkepentingan, di tempat di mana pejabat berwenang

menjalankan tugasnya55.

Syariat Islam sebelumnya tidak mengatur secara kongkrit

tentang adanya pencatatan perkawinan di dalam nas}. Ini berbeda

dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu

55

(50)

40

diperintahkan untuk mencatatnya. Kemudian tuntutan

perkembangan zaman, memerlukan adanya pencatatan

perkawinan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan upaya

yang di atur melalui perundang-undangan untuk melindungi

martabat dan kesucian perkawinan, lebih khusus lagi perempuan

dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan

yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing

suami-isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau

percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung

jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna

mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena

dengan akta tersebut, suami-isteri mempunyai bukti otentik atas

perbuatan hukum yang telah mereka lakukan56.

Ketentuan pencatatan perkawinan sebenarnya bukan

masalah baru bagi penduduk Indonesia. Di lingkungan masyarakat

yang beragama Islam, sejak tahun 1946 telah berlaku UU No.

22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan rujuk.

Namun ketentuan tersebut belum terlaksana secara efektif.

Sedang bagi masyarakat pemeluk agama Kristen Protestan dan

Katolik, sudah sejak lama mereka mempunyai ordonansi

56

(51)

41

yang mengatur pencatatan mereka57.

Kemudian setelah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan masalah pencatatan perkawinan lebih ditekankan

sebagai pelaksanaan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan. Adapun pelanggaran ketentuan ini dikenakan

sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975

yang berbunyi : “Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku, maka barang siapa yang

melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), 40

Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda

seting-tingginya Rp. 7.500; (tujuh ribu lima ratus rupiah)58.

Dalam masalah keperdataan sangat diperlukan adanya

pembuktian yuridis untuk memperkuat keyakinan hakim

semaksimal mungkin, dengan adanya pembuktian ini, diharapkan

dapat memberikan keyakinan hakim pada tingkat yang

meyakinkan (terbukti 100%) dan dapat dihindarkan dari membuat

keputusan yang salah dan tidak sesuai dengan apa yang terjadi59.

Hal ini diatur dalam pasal 1865 BW tentang pembuktian bahwa

setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk

suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk

57

Moh Zahid,Dua Puluh Lima tahun Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan,( Jakarta: Departemen Agama R.I. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), 69.

58

Ibid., 70.

59

(52)

42

membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak

itu atau kejadian yang dikemukakan itu60.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu

upaya yang diatur melalui Undang-undang, untuk melindungi

martabat dan kesucian perkawinan dam lebih khusus lagi

melindungi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.

Sedangkan dasar hukum yang yang digunakan dalam

pencatatan perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun

1974 pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa” tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku”61. Serta dalam KHI dijelaskan dalam pasal 5

yang berbunyi:

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam,

sertiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh

pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang-undang Nomor 32

Tahun 1954.

Kemudian pasal 6 KHI menjelaskan bahwa:

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap

60

Tim Grahamedia Press,Kitab Undang-Undang Hukum Pedata Burgerlijk W etboek, (Bandung: Grahamedia Press,2013), 387.

61

(53)

43

perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di

bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilangsungkan diluar pengawasan

Petugas Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan

hukum62.

Perkawinan yang secara normatif harus dicatatkan adalah

merupakan kesepakatan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan

tujuan hukum untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian

dan perlindungan hukum. Dengan adanya pencatatan nikah ini akan

berupaya melindungi nilai mas}lah}ah mursalah dalam kehidupan berumah

tangga. Karena itulah, pencatatan perkawinan ini merupakan ketentuan

yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak.

62

(54)

44

BAB III

DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 0026/Pdt.G/2014/PABgl.

TENTANG ISBAT NIKAH

A. Deskripsi Peradilan Agama Bangil

Sebelum kita membahas mengenai peradilan agama, alangkah

baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui kekuasaan kehakiman.

Lembaga peradilan agama di Indonesia terkonsepsi dan tegas disebut serta

diakui dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menyebutkan bahwa; Kekuasaan Kehakiman dilakukan

oleh peradilan dalam empat lingkungan peradilan;

a. Peradilan Umum,

b. Peradilan Agama,

c. Peradilan Militer, dan

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Begitu pula Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan

Agama menyebutkan bahwa; “Peradilan agama adalah peradilan bagi

orang-orang yang beragama Islam”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan

Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam .

Sedangkan untuk menyamakan visi, maka Peradilan Agama adalah

kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan

(55)

45

Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun untuk kewenangan

absolut Peradilan Agama telah dijelaskan dalam pasal 49 UU No.7 Tahun

1989 jo UU No. 3 Tahun 2006. Berdasarkan pasal tersebut batas kewenangan

absolut Peradilan Agama hanya meliputi1 :memeriksa dan memutus

perkara-perkara perdata perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah dan

Ekonomi Syariah.

Di dalam lingkungan Peradilan Agama, selain Pengadilan Agama

tingkat pertama yang berkedudukan di kota atau kabupaten, juga terdapat

Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah

lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu

kota provinsi. Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang

untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama

dalam tingkat banding. Selain itu Pengadilan Tinggi Agama juga

mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

dalam sengketa kompetensi antara Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Untuk Pengadilan Agama Bangil2kami deskripsikan menjadi tiga hal

sebagai berikut :

a. Sejarah

Setelah melakukan penggalian data di Pengadilan Agama Bangil,

tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan berdirinya Pengadilan Agama

1

Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan A cara Peradilan A gama, (Jakarta; Sinar Grafika, 2001), 101.

2

Referensi

Dokumen terkait

1) Sistem pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif dimana pembuktian harus didasarkan pada

Keperawatan di rumah sakit berkembang pada akhir abad E/E, tetapi di komunitas, keperawatan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti sampai tahun &8'- ketika

Hasil dari penelitian ini adalah status anak yang lahir di luar perkawinan memang telah memperoleh perlindungan hukum sehingga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah

Pemberian zakat dengan cara pemberian modal usaha dari LAZIS Baiturrahman Semarang seharusnya secara hukum harus lebih dicermati dengan baik, sebab sebagaimana

Rekomendasi yang dapat peneliti berikan adalah bagi guru bahwa metode pembelajaran penemuan terbimbing dapat dijadikan sebagai suatu alternatif dalam proses

Anggota Partner, adalah anggota yang berlatar belakang diluar industri hotel namun terkait dengan pariwisata secara umum yang dipilih dn ditetapkan sebagai mitra kerja IHGMA yang

selain sudah banyak dipakai, metode dengan OCAI ini dapat mengetahui kecenderungan Budaya Organisasi pada perusahaan saat ini dan dimasa yang akan datang / yang

Bila DPJP yang !e!eriksa pasien !ene!ukan kasus di luar keahliannya !aka yang  bersangkutan !e!buat surat konsul alih rawat (!enuliskan kelengkapan data  pasien$ hasil