ANALISIS
MAS{LAH{AH MURSALAH
TERHADAP ISBAT NIKAH UNTUK MENDAPATKAN UANG PENSIUNAN TNI-AL(Studi Putusan Pengadilan Agama Bangil Nomor 0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl)
SKRIPSI
Oleh:
Muhammad Faidurrahman
NIM. C51211144
BAB I
PENDAHULUAN
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Program Studi Hukum Keluarga Islam
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisis Mas{lah{ah Mursalah Terhadap Isbat
Nikah untuk Mendapatkan Uang Pensiunan TNI-AL (Studi Putusan Pengadilan Agama Bangil Nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl.) ini merupakan hasil studi putusan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana dasar
pertimbangan hakim sehingga mengabulkan perkara isbat nikah untuk
mendapatkan uang pensiunan TNI-AL ini dan bagaimana tinjauan mas}lah}ah
mursalahterhadap putusan tersebut.
Penelitian normatif ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data yang diambil dari putusan. Selanjutnya, data yang dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif analitis yaitu suatu metode yang memaparkan dan menggambarkan data yang telah terkumpul dengan menggunakan pola pikir deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Dasar Pertimbangan yang digunakan Hakim dalam mengabulkan perkara Pengadilan Agama Bangil nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl., yaitu tiga peraturan yuridis yang dimasukkan hakim dalam pertimbangan putusan ini (UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 3 Tahun 2006, dan Kompilasi Hukum Islam) dan satu dari wawancara (Buku II Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi tahun 2013), masih kurang kuat terutama secara tekstual.
Sedangkan menurut analisis mas}lah}ah mursalah, kepentingan negara tentang
pencatatan perkawinan seharusnya juga lebih diutamakan karena termasuk
kategorimas}lah}ah mursalahyang bersifat h}ajiyyah, mas}lah}ah ‘ammah, dan untuk
h}ifz}un nafs daripada kepentingan Pemohon yang termasuk kategori mas}lah}ah mursalahyang bersifath}ajiyyah,mas}lah}ah khas}s}ah, dan untukh}ifz}ul ma>l.
Dari kesimpulan diatas, maka kepada pemegang otoritas disarankan: Pertama, untuk selalu berperan aktif dalam memperbaharui peraturan yuridis jika
diperlukan. Kedua, penyuluhan hukum kepada masyarakat lebih diterapkan lagi.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ……… 7
C. Rumusan Masalah ………
8
D. Kajian Pustaka ……….
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….
10
F. Definisi Operasional ………
11
G. Metode Penelitian ………
12
H. Sistematika Pembahasan ……….
15
BAB II MA S}LA H}A H MURSA LA H,
ISBAT NIKAH, DAN PENCATATAN PERKAWINAN A. Mas}lah}ah Mursalah……….
18
B. Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan……… 34
BAB III DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 0026/
Pdt.G/2014/PA.Bgl TENTANG ISBAT NIKAH
A. Deskripsi Pengadilan Agama Bangil……….. 45
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bangil…... 51
C. Fasilitas Pendukung Pengadilan Agama Bangil…...…... 55
D. Putusan Nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl………... 58
BAB IV ANALISISMA S}LA H}A H MURSA LA HTERHADAP PUTUSAN
ISBAT NIKAH UNTUK MENDAPATKAN UANG
PENSIUNAN TNI-AL
A. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim ………. 68
B. AnalisisMas}lah}ah MursalahTerhadap Putusan Nomor
0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. ……….…….. 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………... 76
B. Saran ………. 78
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
Catatan: Khusus untukhamzah,penggunaan apostrof hanya berlaku jika
hamzah berh}arakatsukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakatsukun. Contoh:iqtid}a>(ءﺎﺿ ﺗﻗا)
2. Vokal Rangkap (diftong)
fath}ahdanalif a> a dan garis di atas kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas d}ammahdanwawu u> u dan garis di atas
Contoh :al-jama>’ah (ﺔﻋ ﺎﻣﺟ ﻟا)
:takhyi}>r (رﯾﯾﺧﺗ) :yadu>ru (رودﯾ)
C. Ta>’ Marbu>t}ah
Transliterasi untukta>’ marbu>t}ahada dua :
1. Jika hidup (menjadi mud}a>f) transliterasinya adalaht.
2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalahh.
Contoh :shari>‘atal-Isla>m (مﻼ ﺳ ﻻ اﺔﻌﯾﺮﺷ)
: shari>‘ahisla>mi>yah (ﺔﻌﯾﺮﺷﺔﯿﻣﻼﺳإ)
D. Penulisan Huruf Kapital\
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 10 ayat (1) UU. No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa ada empat macam badan
peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing badan peradilan itu memiliki
wewenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat
tertentu.1
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang ada di
Indonesia dan Peradilan Agama diperuntukkan bagi orang-orang yang beragama
Islam. Dalam Peradilan Agama terdapat dua macam pengadilan, yaitu
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan Agama merupakan
juga salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi rakyat
atau orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Perkara perdata tertentu yang dimaksud di atas adalah perkara-perkara dalam bidang
1
2
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam.2
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dalam
lingkungan Peradilan Agama atau sebagai satuan (unit) penyelenggara Peradilan
Agama yang berkedudukan di Kotamadya atau Ibukot a Kabupaten dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kotamadya dan Kabupaten. Jadi, tiap-tiap
Pengadilan Agama memiliki wilayah hukum tertentu atau yang sering dikatakan
mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu Kotamadya
atau satu Kabupaten.
Sedangkan tugas pokok Pengadilan Agama dan wewenangnya adalah
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang-bidang yang
disebutkan diatas, yaitu bidang perkawinan, kewarisan,wasiat, hibah, wakaf dan
shadaqah. Diantara perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama adalah
perkara di bidang perkawinan. Adapun salah satu jenis perkara yang ada dalam
bidang perkawinan itu adalah perkara isbat nikah.
Isbat Nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri
yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan
pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh keduanya,
sehingga pernikahannya tersebut berkekuatan hukum. Cukup banyak masyarakat
2
3
yang mengajukan sidang isbat nikah, yaitu permohonan pengesahan nikah yang
diajukan ke Pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki
kekuatan hukum. Biasanya sidang ini diadakan bagi pasangan yang
pernikahannya belum dicatat negara, kehilangan buku nikah, atau menikah
sebelum tahun 1974. Pemohon diminta mengisi formulir pengajuan sidang isbat,
membayar biaya perkara, menunggu panggilan sidang, menghadirkan bukti dan
saksi, dan akhirnya menerima keputusan pengadilan.
Isbat nikah bisa saja menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, isbat nikah
menjadi sangat bagus demi menolong masyarakat dan memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat yang membutuhkannnya. Jika kita lihat dari segi ini,
maka sangat sesuai dengan salah satu tujuan adanya pengadilan itu sendiri, yaitu
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan kepastian dan
bantuan hukum. Apalagi di zaman sekarang ini, bukti telah melakukan
pernikahan di mata hukum menjadi sangat penting untuk dapat melaksanakan
berbagai persoalan, misalnya saja untuk mendapatkan warisan, harta gono- gini,
dan lain sebagainya. Karena itulah, mungkin bukan hanya PA Bangil, Pengadilan
Agama di daerah lain juga mungkin cenderung untuk mengabulkan isbat nikah
asalkan bisa membuktikan telah benar-benar terjadi pernikahan.
Namun di sisi lain, dinamika terus berjalan. Sudah cukup lama
pencanangan tentang diwajibkannya pencatatan nikah. Jika kita lihat dari sisi ini,
4
dilakukan setelah UU No. 1 Tahun 1974 malah akan tidak membuat efek jera
kepada pelaku nikah siri dan mereka terus melakukan praktek nikah siri. Hal ini
menjadi tantangan untuk kita bersama dalam menjawab problematika ini untuk
menemukan solusi yang terbaik.
Ada beberapa sumber yang mengatur tentang isbat nikah walau mungkin
tidak semuanya menyebutkan secara eksplisit, antara lain UU No. 1 Tahun 1974,
yang terbaru, UU No. 50 thn 2009 tentang PA. Kompilasi Hukum Islam,
yurisprudensi, keputusan MA No. KMA/032/SK/IV/2006. Dan bahan bacaan lain
yang terkait dengan isbat nikah.
Penelitian tentang isbat nikah dengan menggunakan mas{lah{ah mursalah
sebagai pisau analisis, penulis berharap penelitian ini tidak terlalu melebar
seperti analisis dengan hukum islam dan juga tidak terjebak pada peraturan saja
seperti analisis dengan peraturan yuridis. Namun lebih pada aspek hikmah atau
mas{lah{ahsesuai dengan pengertianislam kaffah.
Islam kaffah yang dimaksud disini bukanlah dalam artian harus
melaksanakan hukum syariah secara kaku dan tekstual, namun juga
memperhatikan segi hikmah atau mas{lah{ah dalam penerapannya. Sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya dalam Q.S. Al-Jumu’ah ayat 2 bahwa Allah
menurunkan syariat-Nya kepada manusia dalam dua bentuk, yakni kitab dan
hikmah3. Karena itulah metode mas{lah{ah mursalahakan langsung mengena pada
3
5
mas{lah{ah yang ada saat ini antara kepentingan Negara untuk mewajibkan
pencatatan nikah dan kepentingan masyarakat untuk kepentingannya seperti
guna mendapatkan pensiunan TNI-AL dalam putusan 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl
yang dibahas dalam penelitian ini.
Putusan no. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. ini menerangkan bahwa telah
terjadi pernikahan dibawah tangan menurut agama Islam pada hari senin tanggal
28 Pebruari 2011 antara pemohon yang berstatus janda cerai berumur 40 tahun,
agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, dengan seorang laki-laki pensiunan
TNI-AL yang saat itu berstatus duda cerai berumur 55 tahun. Kemudian, pada
tanggal 10 April 2013 suaminya tersebut meninggal dunia karena sakit dan
dimakamkan di Desa Cowek Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan.
Sebelum menikah dengan pemohon, almarhum suami pemohon tersebut telah
dua kali menikah dan meninggal dengan meninggalkan lima orang anak hasil dari
pernikahan pertamanya, yang mana kelima orang tersebut diposisikan sebagai
para termohon dalam putusan No. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. ini.
Putusan ini dipilih untuk diteliti karena beberapa alasan. Pertama, karena
nikah sirri yang dilakukan ini termasuk sangatlah baru, yaitu pada tahun 2011.
Pengabulan perkara nikah sirri ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat
pewajiban pencatatan nikah yang sudah sejak lama dicanangkan. Kedua, alasan
pengajuan isbat nikah dengan alasan untuk mendapatkan uang pensiunan
6
yang ada. Kompilasi Hukum Islam yang berkekuatan sebagai Inpres saja juga
membatasi perkara yang dibolehkan untuk diisbatkan. Karena itu, dasar
pertimbangan hakim dalam putusan ini juga menjadi pembahasan dalam
penelitian ini. Kemudian, dengan mengkaji putusan ini dengan metode mas}lah}ah
mursalah penulis berharap dapat memberikan sumbangsih dalam perkara isbat
nikah, terutama mengenai penerapan hukum isbat nikah di Indonesia.
Itulah yang melatar belakangi penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang
persoalan tersebut. Melalui judul “A NA LISIS MA S{LA H{A H MURSA LA H
TERHA DA P ISBA T NIKA H UNTUK MENDA PA TKA N UA NG PENSIUNA N
TNI-A L (Studi Putusan Pengadilan A gama Bangil Nomor
0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl)”, penulis mencoba meneliti, membahas dan menelaah.
Semoga hasil dari penelitian ini ada manfaatnya untuk perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dibidang hukum keluarga Islam.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi diperlukan untuk mengenali ruang lingkup pembahasan agar
tidak terjadi miss understanding dalam pemahaman pembahasannya. Adapun
identifikasi dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
a. Tinjauan umum metode mas{lah{ah mursalah, berserta perkembangan metode
7
b. Pengertian pernikahan isbat nikah dan pencatatan perkawinan
c. Sejarah dimulainya isbat nikah di Indonesia
d. Gambaran umum tentang perkara No. 0026/Pdt.g/2014/PA.Bgl
e. Alasan pengajuan isbat nikah perkara No. 0026/Pdt.g/2014/PA.Bgl
f. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan No. 0026/Pdt.g/PA.Bgl
g. Dasar pertimbangan hakim yang didapatkan melalui wawancara
h. Kesesuaian antara pengajuan isbat nikah danmas{lah{ah mursalah
2. Batasan Masalah
Batasan masalah disini bertujuan untuk menetapkan batas-batas masalah
yang akan diteliti dan objek mana yang tidak termasuk dalam pembahasaan,
sehingga pembahasan menjadi lebih terarah dan tidak menyimpang dari fokus
penelitian, maka dari itu penulis memfokuskan dengan batasan sebagai berikut:
a. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl
tentang isbat nikah untuk mendapatkan uang pensiunan TNI-AL.
b. Tinjauan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap putusan nomor
0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
8
1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor
0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah untuk mendapatkan uang
pensiunan TNI-AL?
2. Bagaimana tinjauan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap putusan nomor
0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah?
D. Kajian Pustaka
Pembahasan yang spesifik mengenai isbat nikah yang dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang mengarah pada pewajiban pencatatan nikah
serta dilihat dari perspektif mas}lah}ah mursalah saat ini belum penulis temukan.
Adapun penelitian yang sedikit berhubungan dengan pembahasan dalam karya
tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Isbat nikah poligami dalam perspektif perlindungan hak perempuan dan
hak anak : studi kasus putusan isbat nikah poligami Pengadilan Agama
Mojokerto No.0370/Pdt.G/2012/PA.Mr / Nova Sri Wahyuning Tyas;
pembimbing: Abdul Kholiq Syafa’at. Skripsi ini membahas isbat nikah
poligami dan lebih terfokus pada segi perlindungan hak perempuan dan
hak anak serta melihatnya lebih banyak dari segi hukum Islam.
Sedangkan penulis di sini, dari perspektifmas{lah{ah mursalah.
2. Analisis hukum Islam terhadap isbat nikah sirri di bawah umur di
9
Arif Jamaluddin Malik. Skripsi ini juga membahas perkara isbat nikah di
Pengadilan Agama, namun dari segi hukum Islam. Berbeda dengan
penulis yang ingin melihatnya perspektifmas{lah{ah mursalah.
3. Pelaksanaan isbat nikah sebelum dan sesudah KMA/032/SK/IV/2006
tentang pemberlakuan buku II pedoman pelaksanaan tugas dan
administrasi pengadilan di pengadilan agama Jombang : Ratna Suraiya;
pembimbing: M. Romdlon. Skripsi ini membahas isbat nikah, persamaan
dan perbedaannya sebelum dan setelah KMA/032/SK/IV/2006 tentang
pemberlakuan buku II pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi
pengadilan. Meskipun terkait dengan isbat nikah, namun penelitian
komparasi ini terbatas pada peraturan perundang-undangan, berbeda
dengan penulis yang ingin melihatnya dari perspektifmas{lah{ah mursalah.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas, penulis berpendapat bahwa penelitian
yang penulis lakukan disini memang belum ada sebelumnya. Beberapa penelitian
yang ada hanya menggunakan analisis yuridis atau pun hukum Islam sebagai
pisau analisisnya, berbeda dengan penulis yang menggunakanmas}lah}ah mursalah
10
E. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis,
yaitu :
1. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor
0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah untuk mendapatkan uang
pensiunan TNI-AL.
2. Mengetahui tinjauan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap putusan nomor
0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl tentang isbat nikah.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Berpijak dari tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan
mempunyai nilai guna, yaitu :
1. Aspek disiplin keilmuan (teoritis)
Yaitu untuk memperdalam dan memperluas khazanah pengetahuan dan
keilmuan yang berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu Hukum Islam,
khususnya yang berkaitan dengan dasar pertimbangan putusan Hakim jika
ditabrakan dengan peraturan perundang-undangan, maslahah mursalah, dan
kenyataan masyarakat yang ada.
2. Aspek terapan (praktis)
Yaitu dapat digunakan sebagai sumbangan pikiran bagi pembaca dan
11
hukum positif tentang dasar pertimbangan hakim serta sebagai referensi
bandingan bagi para Hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama (isbat
nikah).
3. Bagi penulis secara pribadi sangat berpengaruh, karena merupakan
pengalaman yang pertama kali dalam penyusunan skripsi yang merupakan
bentuk karya ilmiah yang diujikan dan merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum jurusan Hukum Perdata
Islam prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhsiyyah) UIN Sunan Ampel
Surabaya.\
G. Definisi Operasional
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan tidak terjadi kesalah
pahaman pembaca dalam mengartikan judul skripsi ini, maka penulis
memandang perlu untuk mengemukakan secara tegas dan terperinci maksud
judul di atas.
1. AnalisisMas{lah{ah Mursalah
Suatu kajian atau penyelidikan dengan menguraikan secara jelas dan
sistematis dengan menggunakan kemas}lah}atanyang sejalan dengan kemauan
12
persoalan-persoalan yang tidak dinyatakan dalam nash untuk menemukan
suatu hukum.
2. Isbat Nikah
Isbat Nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri
yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan
pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh
keduanya, sehingga pernikahannya tersebut berkekuatan hukum.
3. Dasar Pertimbangan Hakim
Berbagai hal yang menjadi dasar dan mempengaruhi hakim dalam
memutuskan suatu perkara.
H. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua)
macam, yaitu :
a. Data Primer
1) Salinan Putusan No. 0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl.
2) Ketua Pengadilan Agama Bangil.
3) Hakim dan Panitera yang menyidangkan perkara isbat nikah putusan
No. 0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl.
13
1) Peraturan yuridis yang berkaitan dengan isbat nikah.
2) Buku-buku yang berkaitan dengan isbat nikah dan pencatatan
perkawinan.
3) Buku-buku yang berkaitan dengan metodemas{lah{ah mursalah.
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah Putusan No.
0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl. Namun demi lebih mendalamnya penelitian, penulis
juga melakukan wawancara dengan pihak yang bersangkutan dengan
bagaimana terjadinya putusan tersebut, yaitu terutama hakim ketua yang
memimpin sidang.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Teknik pemgumpulan data mengenai hal-hal yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, agenda dan sebagainya.4
Dengan teknik ini penulis berharap akan mendapatkan data dokumen
keterangan-keterangan tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pada penelitian ini, penulis akan mengumpulkan beberapa dokumen
yang berkaitan dengan isbat nikah, diantaranya adalah salinan putusan No.
0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl., data yang berkaitan dengan perkara isbat nikah
di PA Bangil, peraturan yuridis tentang isbat nikah dan pencatatan
4
14
perkawinan, serta buku-buku yang berkaitan dengan isbat nikah,
pencatatan perkawinan dan mas}lah}ah mursalah.
b. Interview atau Wawancara
Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab
secara langsung dengan lisan, baik bertatap muka maupun melalui
telephon.5
Teknik Pengumpulan data dengan wawancara dalam penelitian ini
digunakan untuk lebih melengkapi data yang telah didapat melalui teknik
dokumentasi. Dengan teknik ini penulis dapat memperoleh data yang
terkait dengan permasalahan terjadinya dasar pertimbangan Hakim dengan
langsung memferivikasi kepada Hakim dan Panitera yang terkait ,
kemudian berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan peraturan yuridis
yang berlaku jika ditabrakan dengan sikap kebijaksanaan hakim yang
diambil dalam memutuskan perkara tersebut.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
Deskriptif Analitis, dalam arti menguraikan dengan jelas dan sistematis
tentang apa dan bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam perkara isbat
5
15
nikah No. 0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl. dengan menggunakan pola berfikir
deduktif.
Pola berfikir deduktif dalam penelitian ini berarti berangkat dari
berbagai teori umum dan kemudian diterapkan pada hal yang khusus, yaitu
berangkat dari berbagai peraturan yuridis tentang isbat nikah jika diterapkan
dalam putusan No. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl. dan juga teori mas}lah}ah
mursalahjika diterapkan dalam putusan No. 0026/Pdt.G/2014/PA.Bgl.
H. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi terdiri dari 5 (lima) bab. Masing-masing bab mempunyai
sub-sub bab yang satu sama lain ada korelasi yang saling berkaitan sebagai
pembahasan yang utuh, adapun sistematika dalam pembahasan ini adalah sebagai
berikut :
BAB I : Berisi pendahuluan, yang mencakup : latar belakang masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan
hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang terdiri
dari data yang dikumpulkan, sumber data, subyek penelitian,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, kemudian
dilanjutkan dengan sistematika pembahasan.
BAB II : Membahas tentang metode mas{lah{ah mursalah dan bagaimana
16
tentang tinjauan umum tentang isbat nikah dan berbagai peraturan
yuridis yang terkait dengannya.
BAB III : Membahas tentang profil PA Bangil, isi putusan putusan No.
0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl, dan dasar pertimbangan Hakim dalam
perkara isbat nikah tentang putusan tersebut, yang meliputi dasar
pertimbangan Hakim yang tertuang dalam putusan maupun yang
ditemukan melalui berbagai pertanyaan wawancara. Serta untuk
lebih lengkap, juga dibahas tentang dampak putusan tersebut
terhadap klien yang mengajukannya.
BAB IV : Membahas tentang analisis hasil penelitian, yaitu dasar
pertimbangan hakim dalam putusan nomor
0026/Pdt.G/2014/Pa.Bgl tentang isbat nikah untuk mendapatkan
uang pensiunan TNI-AL dan analisis mas{lah{ah mursalah terhadap
putusan No. 0026/Pdt.g/2014/Pa.Bgl tentang isbat nikah untuk
mendapatkan uang pensiunan TNI-AL.
BAB V : Berisi penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran-saran dari
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
17
BAB II
MAS{LAH{AH MURSALAH,
ISBAT NIKAH, DAN PENCATATAN PERKAWINAN
A. Mas{lah{ah Mursalah
Al-Quran dan al-Sunnah adalah sumber utama istinbat{hukum Islam.
Kedua sumber ini menjadi asas penginstinbat{an hukum Islam karena al-Quran
merupakan wahyu daripada Allah S.W.T, dan al-Sunnah menerangkan dan
menguraikan apa yang terkandung dalam al-Quran.
Di samping sumber utama ini, terdapat sumber lain yang digunakan oleh
para mujtahid dalam mengeluarkan sesuatu hukum. Ulama fiqh telah membagi
sumber ini kepada dua bagian, iaitu sumber yang disepakati oleh jumhur fuqaha
seperti ijma>’ dan qiya>s dan sumber yang diperselisihkan oleh mereka seperti
istih}sa>n, mas}lah}ah mursalah, ‘urf, sadd al-dhara’i, dan al-istis}ha>b.
Sumber-sumber ini dinamakan juga sebagai istidla>l, yaitu menggunakan dalil bukan
daripada al-Quran atau al-sunnah, bukan juga daripadaijma’atauqiyas1.
Mas}lah}ah mursalah adalah salah satu cabang daripada istidla>l yang
berperanan untuk memelihara maslahat ummah dengan cara menolak segala
perkara yang bisa mendatangkan mudarat dan menerima segala perkara yang
mendatangkan manfaat. Penulis disini akan mencoba untuk memberikan
penjelasan terhadap konsep mas}lah}ah mursalah sebagai salah satu sumber dalam
penginstinbat}anhukum Islam dan pandangan ulama terhadapnya.
1
Hamam Thontowi,Ushul Fiqh, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 35-40.
18
1. DefenisiMas}lah}ah Mursalah
Mas}lah}ah mursalah secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu
“mas}lah}ah” dan “mursalah”. Ibn Manzhur dalam kitab Lisan al-‘A rab dan al-Fairu>z Aba>di>mengatakan bahwa al-mas}lah}ah berasal dari kata al-s}ala>h} yang
berarti kebaikan (kebalikan dari mudharat)2. Sedangkan dalam Mu’jam al-Tulla>b
al-W asi>t}, mas}lah}ah berarti manfaat3. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa maslahat4 artinya sesuatu yang mendatangkan
kebaikan, faedah, guna. Sedangkan kata kemaslahatan berarti kegunaan,
kebaikan, manfaat, dan kepentingan5. Adapun kata kedua yaitu mursalah,
memiliki arti lepas dari segala sesuatu6atau merdeka dan lepas7.
Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul wahab khallaf
berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk
merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung
maupun yang menolaknya8.
Selain itu menurut Imam Ghazali, beliau mengatakan mas}lah}ah pada
dasarnya adalah suatu gambaran daripada meraih manfaat atau menghindarkan
mudarat yaitu ke arah memelihara tujuan syariat. Oleh itu dapat difahami bahwa
yang dimaksudkan dengan al-mas}lah}ah adalah menolak mudarat dalam rangka
2
Ibn Manzhur,Lisa>n al-A ’rab, jilid V, (Kairo: Dar el-Hadith, 2003), 374. dan Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Aba>di>,al-Muhits, (Beirut: al-Resalah, 2005), 1005.
3
Kari>m Sayid Muhammad Mah}mu>d,Mu’jam al-Tulla>b al-W asi>t}, (Lebanon: Dar Kotob al-Ilmiyah, 2009), 447.
4
Padanan katamas}lah}ahdalam bahasa arab.
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 563.
6
Ibn Manzhur,Lisa>n al-A ’rab, jilid IV, (Kairo: Dar el-Hadith, 2003), 140.
7
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Aba>di>,al-Muhits…, 229.
8
19
memelihara tujuan syariat yang meliputi lima perkara yaitu memelihara agama,
nyawa, akal, keturunan dan harta9.
Sedangkan menurut Abu Zahrah, mas}lah}ah mursalah adalah maslahat yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah SWT) secara umum,
tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya10.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahawa adanya
persamaan persepsi antara satu sama lain iaitu :
1. Mas}lahah secara terminalogi harus berada dalam ruang lingkup tujuan
syariat, tidak boleh disandarkan kepada keinginan hawa nafsu.
2. Mas}lah}ah haruslah mengandungi dua unsur penting yaitu meraih
manfaat dan menolak mudarat.
2. Macam-macam Maslahah
Macam-macam maslahah dapat kita lihat dari tiga segi, yaitu maslahah
dari segi kekuatan zat, dari segi sudut umum dan khusus dan dari segi pengakuan
dan penolakan syariat.
Pembagianmaslahahdari segi kekuatan zat terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Mas}lah}ah d}aru>riyyah, yaitu mas}lah}ah utama dalam kehidupan
manusia dan tidak boleh diabaikan. Jika ia diabaikan, tidak ada lagi
keseimbangan dalam kehidupan, baik kehidupan di dunia maupun di
9
Jaih Mubarok,Metodologi Ijtihad…, 153.
10
20
akherat11.Mas}lah}ahini dapat diartikan sebagai pemeliharaan terhadap
lima hal, yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal12.
2. Mas}lah}ah hajiyah, yaitu mas}lah}ah yang menjadi keperluan bagi manusia dalam memudahkannya menjalani kehidupan dan
menjauhkan kesulitan serta kesukaran dalam kehidupan. Namun,
ketiadaannya tidaklah membawa kepada kerusakan seperti tiadanya
mas}lah}ah d}aru>riyyah. Contohnya, diberikan rukhs}ah kepada orang
yang bermusafir untuk berbuka puasa dan melakukan jamak dan
qasar13.
3. Mas}lah}ah tah}siniyyah, yaitu mas}lah}ah yang menyempurnakan
kehidupan manusia. Sekiranya mas}lah}ah ini tidak ada, tidaklah
membawa kepada kerusakan, berbeda jika tidak dijaga mas}lah}ah
d}aruriyyah, dan tidak juga membawa kesulitan dalam kehidupan
manusia seperti ketiadaan mas}lah}ah h}ajiyah. Namun, ketiadaannya
akan membawa kepada ketidaksempurnaan dalam kehidupan.
Contohnya, menjaga adab ketika makan dan minum dan memakai
pakaian yang cantik pada saat hari raya14.
Selain itu, mas}lah}ah juga bisa dilihat dari segi keumuman dan
kekhususannya, yaitu maslahat umum/publik (mas}lah}ah ‘ammah),maslahah yang
11
Ibrohim bin Musa ash-Sha>tibi>,al-Muwafaqat, juz II(Kairo: Dar el-Hadits, 2006), 265.
12
Ibid.,266. Di dalam komentarnya, Abdullah Darraz mengatakan bahwa beberapa ulama’ menempatkan urutannya sebagai berikut, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ada juga beberapa ulama yang mendahulukan jiwa dari agama.
13
Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 123.
14
21
berkaitan dengan mayoritas (mas}lah}ah aghlabiyyah) dan maslahat perorangan15
(mas}lah}ah khas}s}ah)16;
1. Mas}lah}ah ‘ammah yaitu mas}lah}ah yang mencakup maslahat seluruh manusia. Sehingga maslahat ini mesti ditegakkan bersama. Contohnya
saja adalah keutuhan al-Quran sebagai sumber ajaran suci.
2. Mas}lah}ah aghlabiyyah, yaitu mas}lah}ah yang hanya melibatkan sebagian
besar manusia saja. Contohnya adalah misalnya saja kebutuhan
sekelompok masyarakat terhadap perlunya ada suatu ketentuan peraturan
terkait sengketa yang terjadi disuatu daerah.
3. Mas}lah}ah khas}s}ah, yaitu mas}lah}ah yang merujuk kepada kemaslahatan
individu tertentu pada situasi tertentu. Contohnya adanya kemaslahatan
bagi seorang isteri agar hakim menetapkan keputusan fasakh karena
suaminya hilang.
Sedangkan dari sudut pengakuan dan penolakan syariat, mas}lah}ah juga
bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut17;
1. Mas}lah}ah mu’tabarah, yaitu mas}lah}ah yang telah disebutkan dalam
nash dan sesuai dengan syariat. Contohnya pensyariatan hukuman had
atas penzina. Pada surah an-Nur ayat 2, disebutkan tentang hukuman
cambuk atas penzina. Ia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan
umat manusia dari segi menjaga keturunan dan ia bertepatan dengan
15
Private interest 16
Abu Yasid,Nalar dan W ahyu Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 131-132.
17
22
prinsip maqa>s}id shari>’ah. Contohnya lagi adalah adanya hukum had
bagi peminum khamar18.
2. Mas}lah}ah mulghah, yaitumas}lah}ahyang bertentangan dengan syariat.
Contohnya adalah menyerah kepada musuh dalam peperangan.
Walaupun sekilas terlihat ada maslahat menjaga nyawa, namun hal ini
menyebabkan kemudharatan yang lebih besar, yaitu terjadinya
penjajahan di negeri. Dan tentu saja hal ini tidak sesuai dengan syariat
yang menyuruh untuk berperang melawan musuh19.
3. Mas}lah}ah mursalah, yaitu mas}lah}ah yang tidak ada dalil khusus yang
menyebutkannya, baik menerima ataupun menolaknya20. Ia
merupakan bentuk yang paling sesuai dalam menggambarkan nilai
fleksibilitas perundangan Islam. Hal ini karena terdapat banyak
contoh yang menunjukkan kaedah ini begitu relevan untuk
diaplikasikan. Contohnya antara lain adalah pengumpulan al-Quran
dalam satu mushaf pada zaman Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina
Umar menjatuhkan talaq tiga dalam satu kalimat talaq, dan Sayyidina
Utsman bin Affan menjadikan adzan shalat jum’at menjadi dua kali.
Semua perkara ini tidak dinyatakan secara eksplisit oleh Allah S.W.T
melalui nas-nas Al-Quran maupun hadis tentang kebolehannya21.
18
Syuqi a’bduh,al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, (Kairo: an-Nahdah al-Misriyyah, 1989), 278.
19
Abdul Karim Zaidan,al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, (Baghdad: Dar el-Wafa’, 1992), 170.
20
Ibid.
21
23
Pada hakikatnya, mas}lah}ah mursalah adalah segala sesuatu yang
mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan maqa>s}id al-shari>’ah akan tetapi tidak
didukung dengan adanya dalil. Oleh karena itu, penulis juga akan menambahkan
pembahasan tentang pembagian maqa>s}id tersebut untuk lebih melengkapi kajian
penelitian ini. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tujuan syariah itu adalah
untuk menjaga lima hal berikut, yaitu menjaga agama (hifz}uddin), jiwa (hifz}un
nafs), akal (hifz}ul ‘akal), keturunan (hifz}unnasl), dan menjaga harta (hifz}ul
mal)22;
a. Maqa>s}id hifz}uddin, yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu
contohnya adalah dianjurkannya kita berjihad ketika jihad itu
memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab kalau tidak, umat
Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau pemeluk
agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun
kadang kita mengartikan jihad itu seenaknya saja, padahal jihad
adalah suatu ketentuan yang sangat sakral dan sangat mulia.
b. Maqa>s}id hifz}unnafs, yaitu menjaga diri. Tujuan sha>ri’ (tujuan Allah)
menentukan suatu ketentuan hukum adalah untuk menjaga diri.
Misalkan mengenai ketentuan qis}a>s}. Mengapakah qis}a>s}itu dianggap
menjaga diri, sedangkan qis}a>s}itu sendiri merupakan membunuh?
Allah menyatakan, bahwasanya qis}a>s} itu adalahh}aya>tun ya>ulil alba>b
(qis}a>s}itu adalah kehidupan bagi kalian). Karena, ketika melihat
pelaksanan hukum qishash tersebut, mungkin akan begitu terasa di
22
24
hati kita, agar tidak membunuh orang, karena hukumnya sangat berat.
Inilah dampak lahir dan batin dari hukum qis}a>s}yang kita lihat itu.
Sehingga orang yang melihat pelaksanaan hukuman tersebut, maka
akan tertahan untuk melakukan tindak pidana. Inilah yang
dikehendaki oleh Allah, bahwa qishash itu sebetulnya merupakan
kehidupan bagi umat manusia.
Selain itu, kebebasan untuk bicara, beramal, dan kebebasan untuk
berfikir juga merupakan bagian darihifz}unnafsiini23.
c. Maqa>s}id hifz}ul al-‘aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih.
Karena itu, disyariatkanlah ketentuan hukuman had bagi orang yang
mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun hal lain). Sehingga,
tujuan dari mengapa orang yang mabuk itu dihukum adalah agar tidak
melakukan hal tersebut, sehingga otak ini tetap jernih24.
d. Maqa>s}id hifz}unnasl, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan
yang dimaksud di antaranya adalah anjuran untuk menikah.
Sesungguhnya nikah merupakan perintah Allah untuk menjaga
keturunan, dalam hal ini tentunya keturunan yang terhormat. Selain
itu juga adanya larangan melakukan perzinaan dan dianjurkannya
menghukum orang-orang yang berzina.
e. Maqa>s}id hifz}ul al-ma>l, menjaga harta. Ada yang berbentuk anjuran,
yaitu seperti perintah untuk bekerja mencari nafkah yang halal. Dan
23
Ibid.
24
25
ada juga dalam bentuk larangan, yaitu larangan bahkan dihukumnya
orang-orang yang mencuri dengan cara dipotong tangannya25.
3. KehujjahanMas}lah}ah Mursalah
Ada beberapa dasar hukum dan dalil mengenai diberlakukannya teori
mas}lah}ah mursalahdiantaranya adalah26:
a. Al-Quran.
Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya mas}lah}ah mursalah
adalah firman Allah SWT surahal-A nbiya>ayat 10727.
Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi seluruh alam (Q.S. A l A nbiya>: 10728)
b. Al-Sunnah.
Al-Sunnah yang dikemukakan sebagai landasanshar’iatas kehujahan mas}lah}ah mursalahdiantaranya29adalah sabda Nabi saw.
meriwayatkan dari ayah beliau bahwa Rasulullah SA W bersabda: ”Tidak boleh
berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan30.”
25
Ibid.
26
Asmawi,Perbandingan Ushul…, 130.
27
Jalaluddin Abdurrahman Jalal,al-Masalih al-Mursalah wa Makanatuha fi at-T asyri’, (Kairo: al-Saa’dah, 1983), 69.
28
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an Penterjemah Anwar Abu Bakar,Muyassar al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 668.
29
26
c. Tujuan Pokok Penetapan Hukum Islam adalah untuk Mewujudkan
Kemaslahatan Bagi Umat Manusia.
Kemaslahatan manusia akan selalu dinamis sesuai dengan kemajuan
zaman. Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru yang
hukumnya belum ditegaskan oleh Al-Quran dan al-Sunnah. Metode mas}lah}ah mursalahmenjadi salah satu metode yang dapat digunakan sebagai pertimbangan
penetapan hukum Islam.
d. Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam memberikan contoh mas}lah}ah mursalah, diatas telah dijelaskan,
bahwa para sahabat seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatthab dan para
imam madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip
maslahat31.
Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan mas}lah}ah mursalah
juga didukung dalil-dalil‘aqliyah(alasan rasional). Bahwa kemaslahatan manusia
itu selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariat
hukum yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dangan maslahat baru
yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip
maslahat yang mendapat pengakuan syariat dari sumber hukum yang disepakati
saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.
30
Malik bin Anas,al-Muwatta, IV (Emirat: Muassasah Zayid bin Sultan, 2004), 1078.
31
27
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil shara’,
menyatakan bahwa dalil hukummas}lah}ah mursalahialah32:
a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang
demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.
b. Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’it tabi’iin dan para ulama
yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka
dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum
muslimin pada masa itu.
Meskipun demikian, mas}lah}ah mursalah merupakan salah satu dalil yang
tidak disepakati dikalangan ahli-ahli usul. Oleh karena itu, kehujahan mas}lah}ah
mursalah bisa dibagi kepada dua bagian, yaitu pendapat yang menolak dan
pendapat yang menerima. Adapun pendapat yang menolak, mereka memberikan
beberapa alasan.
Pertama, m e r e k a m e n g a t a k a n bahwa memandang mas}lah}ah
mursalah sebagai hujjah berart i mendasarkan penetapan hukum Islam kepada
sesuatu yang meragukan (karena mungkin masuk kategori mas}lah}ah mu’tabarah
atau mungkin masuk kategorimas}lah}ah mulghah)33.
Kedua, memandang mas}lah}ah mursalah sebagai hujjah berart i menodai
kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam t idak berdasarkan
kepada nas}s}-nas}s}tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka
32
Masykur Anhari,Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), 102.
33
28
dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawat irkan akan banyak
penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepent ingan hawa nafsu34.
Ketiga, bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna.
Dengan menjadikan mas}lah}ah mursalah sebagai dasar dalam menetap hukum
Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan
hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada
yang kurang35.
Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak
terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama
(disparitas) dikarenakan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan
menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam36.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang
tidak menerima mas}lah}ah mursalah sebagai dasar menetapkan hukum Islam di
atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan yang dikemukakan oleh pendapat
yang menerimamas}lah}ah mursalah.
Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berart i
mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan,
sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak proses dan
pertimbangan, sehingga menghasilkan z}ann yang kuat. Dalam ilmu fiqih dikenal
ist ilahyakfi al-‘amal biz}-z}ann,beramal berdasarkan kepada z}anndianggap cukup
karena semua fiqih adalahz}ann.
29
Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode
mas}lah}ah mursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa
nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, mas}lah}ah mursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, jadi t idak asal maslahat.
Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga t idak terjadi
penyalahgunaan dalam menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada maslahat.
Ketiga,Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud
dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip
hukumnya. Jadi t idak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti
banyak sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh
al-Quran dan al-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melaluiijtihad.
Keempat, tidak benar kalau memandang mas}lah}ah mursalah sebagai
hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan hukum
Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunakan metode
mas}lah}ah mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan
dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan37.
Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan
oleh sekelompok umat Islam yang t idak menerima mas}lah}ah mursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, masih diragukan kebenarannya.
Apalagi, sekiranya pendekatan mas}lah}ah mursalah tidak digunakan dalam
perkara yang berkaitan menjaga kemaslahatan manusia saat ini, maka hukum
Islam akan tertinggal jauh dan tidak dapat mengikuti perkembangan
37
30
permasalahan yang ada demi menjaga kemaslahatan hidup manusia. Hal ini
karena manusia memerlukan panduan dalam kehidupan terutamanya bagi perkara
yang baru. Sekiranya mas}lah}ah mursalah tidak digunakan, sudah pasti akan terjadilah kerusakan.
Para ulama telah menetapkan beberapa syarat penggunaan mas}lah}ah mursalah sebagai sumber hukum yang tidak disepakati. Namun begitu, terdapat
dua perbedaan pendapat dalam hal tersebut, yaitu ada yang menerima dan ada
pula pendapat yang menolak.
Terdapat beberapa syarat yang ditetapkan oleh ulama yang menggunakan
mas}lah}ah mursalahsebagai sumber hukum38:
a. Mas}lah}ahitu dipastikan wujudnya dan bukan sangkaan (waham).
b. Tidak terdapat dalil yang membatalkannya.
c. Mas}lah}ahtersebut hendaklah bersifat umum bukan khusus kepada sesuatu
kelompok saja.
d. Mas}lah}ah tersebut bisa diterima oleh akal jika diterangkan kepada orang
yang berakal.
e. Digunakan untuk menjaga keperluan manusia dan menolak mudarat.
Adapun ulama yang tidak menggunakan mas}lah}ah mursalah sebagai
metode istinbat}hukum, walaupun mereka berpendapat demikian, terdapat
pendapat dari golongan tersebut yang menetapkan beberapa syarat yang harus
dipenuhi sekiranya dalil ini ingin digunakan. Diantaranya39:
38
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy,Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 354.
39
31
a. Hendaklahmas}lah}ahitu ditahap darurat bukan sekadar hajat saja.
b.Kulliyyahbukanjuziyyah.
c. Hanya dalam perkara muamalah, bukan perkara ibadah.
d. Mas}lah}ah maslahah tersebut tidak berlawanan dengan nas dan tujuan
syariat.
e. Sesuatu mas}lah}ah itu hendaklah ada dan diyakini disisi syariat yang
bisa memberi manfaat dan mencegah mudarat.
4. Contoh-contoh Penggunaan Maslahah Mursalah
Contoh-contoh pengunaan mas}lah}ah mursalah dapat dilihat dalam
beberapa perkara. Diantaranya ialah:
a. Pengumpulan al-Quran yang dilakukan pada era pemerintahan
khulafa’ al-rāshidin yang pertama, Sayyidina Abu Bakar r.a.
Pengumpulan al-Quran ini tidak pernah berlaku pada zaman
Rasulullah s.a.w. Namun begitu, Sayyidina Umar bin al-Khattab yang
melihat keperluan terhadap pengumpulan dan pembukuan al-Quran
dalam satu mus}h}af telah mengusulkan kepada Sayyidina Abu Bakar
r.a, melihat perlunya menjaga al-Quran karena ia merupakan kalam
Allah yang merupakan panduan kepada umat Islam, Sayyidina Abu
Bakar r.a telah memerintahkan Zaid bin Tsabit r.a untuk menulis
32
al-Quran ini adalah dalam menjaga kemuliaan al-Quran itu sendiri
dari hilangnya sumber hukum yang agung ini40.
b. Sayyidina Utsman bin ‘Affan mengumpulkan muslim diseluruh
penjuru dunia untuk menjadikan al-Quran dalam satu qiraah dan
mus}h}af yang satu. Dan beliau juga membakar mus}h}af selain qiraah
tersebut agar tidak terjadi fitnah dikarenakan banyaknya ragam qiraah
yang berbeda41.
c. Pengumpulan hadits dan ilmu yang berkaitan dengan hadits
dibukukan42. Sekilas, pengumpulan ini seolah-olah merusak adab
sebagai orang Islam karena melakukan perbuatan yang tidak
dilakukan oleh Nabi. Namun tujuan pengumpulan hadits ini
sebenarnya adalah untuk menjaga hadits-hadits yang amat berguna ini
hilang begitu saja. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk
mengumpulkannya agar ia dapat dijadikan bukti ataupun panduan
dalam mengistinbat sesuatu hukum.
Pengumpulan hadis ini sama seperti pengumpulan al-Quran yang pada
dasarnya adalah untuk kemaslahatan agama agar sumber hukum Islam
ini tidak hilang begitu saja dan juga memudahkan manusia untuk
mengistinbat hukum berdasarkan dalil-dalil yang sahih.
40
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy,Kriteria A ntara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 73.
41
Jalaluddin Abdurrahman Jalal,al-Masalih Mursalah…, 81.
42
33
B. Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan 1. Isbat Nikah
a. Pengertian Isbat Nikah
Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan.
Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan (kebenaran sesuatu)43. Sedangkan menurut fiqh nikah secara bahasa
adalah bersenggama atau bercampur44. Para ulama ahli fiqh berbeda
pendapat tentang makna nikah, namun secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa nikah menurut ahli fiqh berarti akad nikah yang
ditetapkan oleh shara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan
bersenang-senang dengan kehormatan seorang isteri serta seluruh
tubuhnya45. Sedang nikah menurut hukum positif yaitu ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa46.
Jadi pada dasarnya, isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah
dilaksanakan ssuai dengan ketentuan agama islam yaitu sudah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi pernikahan yang terjadi pada
masa lampau ini belum atau bahkan tidak dicatatkan ke pejabat yang
43
Tim Penyusun Kamus,Kamus Besar…, 339.
44
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), 1.
45
Ibid., 2.
46
34
berwenang, dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
b. Syarat-syarat Isbat Nikah
Tentang syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab fiqh
klasik maupun kontemporer. Akan tetapi syarat isbat nikah ini
dapat dianalogikan dengan syarat pernikahan. Hal ini karena isbat
nikah (penetapan nikah) pada dasarnya adalah penetapan suatu
perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam syari’at Islam. Bahwa perkawinan ini telah
dilakukan dengan sah yaitu telah sesuai dengan syarat dan rukun
nikah tetapi perkawinan ini belum dicatatkan ke pejabat KUA yang
berwenang yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Syarat- syarat
isbat nikah antara lain47:
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya :
1. beragama Islam
2. laki-laki
3. jelas orangnya
4. dapat memberikan persetujuan
5. tidak dapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya adalah:
1. beragama Islam
2. perempuan
47
35
3. jelas orangnya
4. dapat dimintai persetujuan
5. tidak terdapat halangan
c. Wali nikah syarat-syaratnya :
1. laki-laki
2. dewasa
3. mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1. minimal dua orang laki-laki
2. hadir dalam ijab Kabul
3. dapat mengerti maksud akad
4. islam
5. dewasa atau baligh
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya48:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahannya
4. Antara ijab dan qabul bersambungan
5. Orang yang trkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji/umrah
6. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang49
48
Ibid,.
49
36
c. Dasar Hukum Isbat Nikah
Pada dasarnya kewenangan perkara Isbat nikah bagi
Pengadilan Agama dalam sejarahnya adalah diperuntukkan bagi
mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum
diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, jo. Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 197550,
Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan
dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat
(2) dan (3)51. Dalam ayat (2) di sebutkan: “dalam hal perkawinan
tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan Isbat
nikahnya di Pengadilan Agama”; pada ayat (3) disebutkan : Isbat
nikah yang diajukan ke pangadilan Agama terbatas mengenai hal
yang berkenaan dengan ; a. Adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian; b. Hilangnya akta nikah; c. adanya
keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; dan e.
perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun
197452.
Dengan melihat uraian dari Pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI
tersebut, berarti bahwa KHI telah memberikan kewenangan lebih
dari yang diberikan oleh Undang-undang, baik itu UU No. 1 Tahun
50
penjelasan pasal 49 ayat (2), jo Pasal 64 UU No.1 Th. 1974.
51
Tim Redaksi Nuansa Aulia,Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), 3.
52
37
1974 maupun UU No. 7 Tahun 198953.
Mengenai isbat nikah ini PERMENAG No. 3 tahun
1975 yang dalam pasal 39 ayat 4 menentukan bahwa jika
KUA tidak bisa membuatkan dupkikat akta nikah karena
catatanya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka
untuk menentukan adanya nikah, talak, cerai ataupun rujuk, harus
ditentukan dengan keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan
Agama; tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilakukan
sebelum UU No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan
yang terjadi sesudahnya.
Jika dipikirkan lebih seksama, maka ketentuan pasal 7 ayat
2 KHI telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas
tentang isbat nikah ini tanpa batasan dan pengecualian padahal
dalam penjelasan pasal- pasalnya hanya dijelaskan bahwa pasal ini
hanya diberlakukan setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1989
tentang Pengadilan Agama54.
Apalagi pasal 7 ayat (3) huruf a, yang dapat mengundang
problem lanjutan seperti bagaimana jika penggugat mencabut
perkara cerainya, atau pemohon tidak tidak mau melaksanakan
ikrar talak karena telah rukun kembali sebagai suami isteri,
padahal telah ada putusan sela tentang sahnya nikah mereka;
53
Abdul Gani Abdullah,Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 79.
54
38
apakah bisa penjatukan dalam status hukum dalam putusan sela
dinilai gugur karena dinilai satu kesatuan dengan permohonan atau
gugatan pokok.
Demikian pula pasal 7 ayat 3 huruf b, bukankah kalau
hanya sekedar hilangnya kutipan akta nikah bisa dimintakan
duplikat ke KUA, dan untuk sebagai tindakan preventif/
kehati-hatian akan memungkinkan hilangnya buku catatan akta yang asli,
maka pasal 13 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan
bahwa helai kedua dari akta perkawinan itu harus disimpan
(dikirimkan oleh PPN) kepada panitera pengadilan dalam wilayah
kantor pencatatan perkawinan itu berada. Maka, jika di KUA itu
hilang atau musnah, tentu masih bisa didapatkan rangkapnya di
kantor pengadilan (PA).
Terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf c, yakni adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan,
hal ini justru mengarahkan kepada apa yang termasuk dalam
perkara pembatakan perkawinan/nikah, bukan perkara isbat nikah,
sebab biasanya orang yang melakukan nikah di bawah tangan
tersebut amatlah yakin bahwa perkawinan melalui kyai/ustadz
adalah telah sah dan sesuai dengan syari’at.
Juga terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf e, yakni
perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai
39
pasal yang amat luas jangkauanya yang tidak memberikan batasan
yang jelas.
d. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan adalah proses atau perbuatan
menulis yang dilakukan oleh petugas atau pejabat yang
berwenang ke dalam daftar perkawinan yang dibuktikan
dengan adanya akta nikah sebagai bukti otentik.
Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan
umum Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 dapat
dikatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan sebuah usaha
yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam
masyarakat. Dengan maksud sewaktu-waktu dapat dipergunakan
bila perlu dan dapat dipakai sebagai bukti otentik. Akta otentik
ialah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang
ditetapkan untuk itu, baik maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, di tempat di mana pejabat berwenang
menjalankan tugasnya55.
Syariat Islam sebelumnya tidak mengatur secara kongkrit
tentang adanya pencatatan perkawinan di dalam nas}. Ini berbeda
dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu
55
40
diperintahkan untuk mencatatnya. Kemudian tuntutan
perkembangan zaman, memerlukan adanya pencatatan
perkawinan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan upaya
yang di atur melalui perundang-undangan untuk melindungi
martabat dan kesucian perkawinan, lebih khusus lagi perempuan
dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan
yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing
suami-isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau
percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung
jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena
dengan akta tersebut, suami-isteri mempunyai bukti otentik atas
perbuatan hukum yang telah mereka lakukan56.
Ketentuan pencatatan perkawinan sebenarnya bukan
masalah baru bagi penduduk Indonesia. Di lingkungan masyarakat
yang beragama Islam, sejak tahun 1946 telah berlaku UU No.
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan rujuk.
Namun ketentuan tersebut belum terlaksana secara efektif.
Sedang bagi masyarakat pemeluk agama Kristen Protestan dan
Katolik, sudah sejak lama mereka mempunyai ordonansi
56
41
yang mengatur pencatatan mereka57.
Kemudian setelah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan masalah pencatatan perkawinan lebih ditekankan
sebagai pelaksanaan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Adapun pelanggaran ketentuan ini dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975
yang berbunyi : “Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka barang siapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), 40
Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
seting-tingginya Rp. 7.500; (tujuh ribu lima ratus rupiah)58.
Dalam masalah keperdataan sangat diperlukan adanya
pembuktian yuridis untuk memperkuat keyakinan hakim
semaksimal mungkin, dengan adanya pembuktian ini, diharapkan
dapat memberikan keyakinan hakim pada tingkat yang
meyakinkan (terbukti 100%) dan dapat dihindarkan dari membuat
keputusan yang salah dan tidak sesuai dengan apa yang terjadi59.
Hal ini diatur dalam pasal 1865 BW tentang pembuktian bahwa
setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk
suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
57
Moh Zahid,Dua Puluh Lima tahun Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan,( Jakarta: Departemen Agama R.I. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), 69.
58
Ibid., 70.
59
42
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak
itu atau kejadian yang dikemukakan itu60.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu
upaya yang diatur melalui Undang-undang, untuk melindungi
martabat dan kesucian perkawinan dam lebih khusus lagi
melindungi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Sedangkan dasar hukum yang yang digunakan dalam
pencatatan perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun
1974 pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa” tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”61. Serta dalam KHI dijelaskan dalam pasal 5
yang berbunyi:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam,
sertiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang-undang Nomor 32
Tahun 1954.
Kemudian pasal 6 KHI menjelaskan bahwa:
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
60
Tim Grahamedia Press,Kitab Undang-Undang Hukum Pedata Burgerlijk W etboek, (Bandung: Grahamedia Press,2013), 387.
61
43
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2. Perkawinan yang dilangsungkan diluar pengawasan
Petugas Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum62.
Perkawinan yang secara normatif harus dicatatkan adalah
merupakan kesepakatan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan
tujuan hukum untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian
dan perlindungan hukum. Dengan adanya pencatatan nikah ini akan
berupaya melindungi nilai mas}lah}ah mursalah dalam kehidupan berumah
tangga. Karena itulah, pencatatan perkawinan ini merupakan ketentuan
yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak.
62
44
BAB III
DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 0026/Pdt.G/2014/PABgl.
TENTANG ISBAT NIKAH
A. Deskripsi Peradilan Agama Bangil
Sebelum kita membahas mengenai peradilan agama, alangkah
baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui kekuasaan kehakiman.
Lembaga peradilan agama di Indonesia terkonsepsi dan tegas disebut serta
diakui dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan bahwa; Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh peradilan dalam empat lingkungan peradilan;
a. Peradilan Umum,
b. Peradilan Agama,
c. Peradilan Militer, dan
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Begitu pula Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama menyebutkan bahwa; “Peradilan agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan
Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam .
Sedangkan untuk menyamakan visi, maka Peradilan Agama adalah
kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan
45
Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun untuk kewenangan
absolut Peradilan Agama telah dijelaskan dalam pasal 49 UU No.7 Tahun
1989 jo UU No. 3 Tahun 2006. Berdasarkan pasal tersebut batas kewenangan
absolut Peradilan Agama hanya meliputi1 :memeriksa dan memutus
perkara-perkara perdata perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah dan
Ekonomi Syariah.
Di dalam lingkungan Peradilan Agama, selain Pengadilan Agama
tingkat pertama yang berkedudukan di kota atau kabupaten, juga terdapat
Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah
lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu
kota provinsi. Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang
untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
dalam tingkat banding. Selain itu Pengadilan Tinggi Agama juga
mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
dalam sengketa kompetensi antara Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Untuk Pengadilan Agama Bangil2kami deskripsikan menjadi tiga hal
sebagai berikut :
a. Sejarah
Setelah melakukan penggalian data di Pengadilan Agama Bangil,
tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan berdirinya Pengadilan Agama
1
Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan A cara Peradilan A gama, (Jakarta; Sinar Grafika, 2001), 101.
2