• Tidak ada hasil yang ditemukan

1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "1"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

1

(2)

2

(3)

3

(4)

4

(5)

5

(6)

6

(7)

7

(8)

8

(9)

9

(10)

10

(11)

11

(12)

12

(13)

13

(14)

14

(15)

15

BAB I

PENDAHULUAN

Di dalam Bab I ini akan diuraikan secara ringkas tentang sistim pencernaan pada ternak ruminansia terutama peran empat ruang perut besar: omasum, abomasums, reticulum dan rumen. Diantara ke empat ruang tersebut yang paling penting adalah rumen dan ekosistimnya, tempat terjadi interaksi mikroba rumen penting seperti protozoa, bakteri dan fungi. Bagian yang tak kalah pentingnya adalah lingkungan rumen dan faktor yang mempengaruhinya. Peran saliva juga diuraikan terkait dengan upaya mempertahankan pH rumen dan keterkaitannya dengan gas methan (CH4) dan CO2 sebagai produk akhir fermentasi. Terkait dengan pergerakan pakan dari mulut ke rumen dan sebaliknya, mekanisme reflex yang disebut dengan regurgitasi menjadi sangat penting. Mekanisme ini yang membedakan antara ternak ruminansia dengan ternak non ruminansia. Setelah membaca Bab I ini mahasiswa dan pembaca yang tertarik dengan ternak ruminansia akan mendapatkan gambaran tentang arti penting rumen, ekosistimnya dan lingkungannya serta mekanisme pergerakan rumen seperti regusgitasi yang merupakan salah satu proses ruminasi.

(16)

16 1.1. Rumen dan Ekosistemnya

Sistem pencernaan pada rumen telah diteliti dengan sangat luas dan mendalam (ekstensif) dan telah dikenal dengan jelas semua sistem pencernaan oleh mikroba penghuni rumen. Empat ruang (omasum, abomasum, retikulum termasuk rumen) ada pada ternak ruminansia (Ogimoto and Imai, 1981), merupakan kantong tempat terjadinya fermentasi bahan dan zat makanan.

Rumen menempati 80% dari seluruh ruang untuk perut besar ternak ruminansia, dengan kata lain rumen mengambil ¾ ruang rongga perut ternak ruminansia. Volumenya antara 4 –10 liter pada domba dan 100 – 300 liter pada sapi yaitu ± 200 ml/kg berat badan (Umezu, diambil dari Ogimoto dan Imai, 1981). Rumen tidak mengeluarkan cairan percernaan, karena sel epitelnya pada dinding mukosa tidak mempunyai sel glandula. Akan tetapi secara terus menerus menerima liur (saliva) yang mengandung karbonat sebagai komponen utama. Sebagai tambahan pada pergerakan ruminating (ruminasi) gerak percampuran otomatis terjadi dalam rumen, sehingga isinya tetap dalam kondisi netral. Isi rumen tetap dapat dipertahankan pada pH antara 5,0-7,0; potensial oxidasi-reduksi (Eh) tetap antara 300-400 mV, dan dalam kondisi yang sangat anaerob, dan temperatur berkisar antara 38-41 0C (Clarke, 1977).

Kondisi lingkungan yang demikian merupakan kondisi optimal untuk aktifitas mikroba yang hidup dalam rumen. Oleh karena itu, rumen dapat dipandang sebagai tabung untuk fermentasi oleh mikroba. Pada ternak ruminansia yang merupakan tuan rumah (ternak inang) mikroba, pakan yang diberikan melalui mulut ke rumen dan dilanjutkan dengan pencernaan oleh mikroba, disamping pencernaan fisiologis, termasuk

(17)

17

ruminasi. Sebagai hasil akhir berupa VFA (Volatile fatty acids = lemak mudah terbang), NH4 (ammonia) dan gas yang dihasilkan dalam rumen.

Model proses fermentasi yang terjadi pada rumen dengan bentuk metabolisme umum dari fermentasi atau seperti yang dapat dilihat pada pembuatan silase, proses dekomposisi kotoran, rabuk tanah dan sewage (septik tank). Dalam hal fermentasi alamiah, nilai pH akan menurun dan reaksi akan berhenti dengan timbunan asam disebabkan oleh kegiatan dari asam organik atau netralisasi dipengaruhi oleh konversi sekunder dari asam organik. Proses ruminasi yang mencampur isi rumen dengan liur dan penyerapan hasil akhir dari mukosa dinding rumen mencegah nilai pH menurun dan berhentinya reaksi dalam rumen. Jadi ternak yang dipelihara pada kondisi tertentu, kegiatan mikroba terus berjalan. VFA, NH4 dan gas yang dihasilkan oleh kegiatan mikroba tidak hanya diserap melalui mikroba, dinding rumen tapi juga dipindahkan ke omasum dan bagian lain dari saluran pencernaan dibawahnya. Selanjutnya konsentrasinya pada rumen bertahap menurun.

Sebagai tambahan, jenis pakan dengan lignoselulosa sebagai komponen utama, mempunyai substrat sedikit dihancurkan oleh mikroba rumen. Pandangan bahwa rumen sebagai tempat terjadinya fermentasi yang terus-menerus dalam kondisi anaerob diatas adalah benar. Bauran berbagai jenis dan jumlah mikroba terdapat di dalam rumen sebagai tempat fermentasi pada ternak ruminansia. Kegiatan fermentasi tersebut bertahan dan tetap terjadi kecuali ada pengaruh paksa dari luar, seperti perubahan cepat dan jenis pakan dan kondisi fisiologis. Disamping itu terdapat keseimbangan yang pasti yang dipertahankan dalam komposisi mikroba jenis fauna dan flora. Jenis Ciliata dan bakteri anaerob adalah paling dominan, sejumlah kecil jenis flagelata, bakteri aerob, fungi dan

(18)

18

bakteriophage juga menjadi penghuni rumen. Jumlah mikroba dalam rumen kurang lebih dibawah 1010–1012 per mililiter, walaupun jumlah tersebut berubah dengan pengaruh berbagai kondisi.

Walaupun sejak lama manusia sangat tertarik dengan kegiatan mikroba rumen, baru kemudian setelah diketemukan mikroskop oleh Leeuwenhoek binatang kecil ini dapat diamati secara detail. Di sekitar tahun 1843 pertama kali dinyatakan telah teridentifikasi mikroorganisme rumen pada ternak ruminansia. Sekitar tahun 1883, 1984 peneliti Jerman (Universitas Munich) meneliti aktifitas mikroba rumen dan mendemonstrasikan bahwa makanan difermentasi dalam rumen untuk menghasilkan asam dan gas. Setelah tahun 1940 baru dapat dijelaskan bahwa peran mikroba rumen pada tuan rumah/ternak inang (ternak ruminansia) dalam kaitannya dengan pencernaan mikroba dan jenis mikroba tersebut ada dalam rumen telah diisolasi dan diidentifikasi.

Selanjutnya peneliti Inggris menjelaskan pentingnya VFA yang dihasilkan oleh mikroorganisme di dalam makanan ruminansia. Secara umum rumen ternak ruminansia dihuni oleh tiga jenis mikroba yaitu protozoa, bakteri, fungi dan beberapa jenis bakteriophage dimana fungsi dan perannya dalam proses metabolisme rumen akan diuraikan lebih lanjut.

1.2. Lingkungan Rumen

Preston dan Leng (1987) menyatakan: Lingkungan rumen tampaknya dikontrol / dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:

 Jenis dan kualitas makanan yang dimakan

 Pencampuran secara periodik melalui kontraksi rumen

 Adanya proses salivasi dan ruminasi

(19)

19

 Difusi dan sekresi ke dalam rumen

 Penyerapan zat makanan dari rumen

 Lewatnya material ke bawah saluran pencernaan

Hanya dalam keadaan abnormal lingkungan rumen secara drastis berubah sebagai contoh: Bila pakan biji-bijian secara tiba-tiba diberikan ternak akan terjadi lacticacidaemia karena turunnya pH rumen, tumbuh Streptococcus bovis dan terjadi akumulasi asam laktat.

Saliva secara terus menerus ditambahkan ke dalam rumen untuk mempertahankan isinya dalam keadaan / berbentuk cair, sehingga memfasilitasi akses mikroba pada bahan, bahan asal tanaman. Volume saliva yang dikeluarkan tergantung pada pakan yang diberikan.

Komunitas mikroba juga mempengaruhi aliran saliva, yang bisa berkurang dengan adanya protozoa. Protozoa sangat cepat mengasimilasi gula dan pati dan menghilangkan keinginan terjadinya salivasi untuk mempertahankan pH rumen.

Saliva adalah larutan buffer bicarbonat yang pHnya ± 8, mengandung konsentrasi sodium bicarbonat dan ion phosphate yang tinggi. Saliva dan pergerakan ion bicarbonat menyebrang epithelium rumen mempertahankan pH dengan perubahan yang terbatas. Cairan buffer rumen merupakan media yang disenangi untuk pertumbuhan bakteri, fungi, protozoa anaerob dan memberikan peluang VFA terkumpul dalam cairan.

Kondisi netral dalam rumen dipertahankan dengan penyesuaian terus menerus pH cairan rumen oleh proses diatas dan dengan terserapnya VFA, sehingga fermentasi terus berlanjut. Biomasa mikroba dalam rumen dipertahankan pada tingkat yang sama dengan lewatnya mikroba turun ke saluran pencernaan, dan juga oleh matinya dan lysisnya

(20)

20

mikrooganisme dalam rumen. Gas methan dan CO2 dihasilkan sebagai produk akhir fermentasi. Pada pH rumen rendah, CO2 keluar dari larutan dan berkumpul pada kantong pada Saccus dorsalis. Methan dan CO2, sebagian besar hilang melalui eruktasi (Bahasa Bali Metaag) (Dougherty et al., 1964). Pada pH rumen yang tinggi, kebanyakan CO2 yang dihasilkan oleh fermentasi atau yang bercampur saliva diserap dan dikeluarkan melalui paru-paru.

1.3. Ruminasi

Regurgitasi (pemuntahan kembali) berupa “bolus” dari isi rumen adalah mekanisme refleks yang dirangsang pada siklus kontraksi rumen.

Umumnya pakan yang dimakan hanya dengan sedikit kunyahan dan selanjutnya dimuntahkan kembali (regurgitasi) dan selanjutnya dimamah atau dikunyah kembali. Ulyatt (1982) melaporkan bahwa pada pakan berbasis rumput kurang lebih dua kali sebanyak bahan kering melewati siklus ruminasi dibandingkan dengan jumlah awal yang dimakan. Pada pakan halus atau pellet, tidak terjadi ruminasi atau sedikit sekali jumlahnya.

Ekosistem mikroba dalam rumen adalah kompleks dan sangat tergantung pada ransum yang dimakan. Sebagian besar ternak ruminansia mengkonsumsi campuran karbohidrat yang mana selulosa dan hemiselulosa merupakan komponen yang terbesar. Akan tetapi, sekali waktu ransum mengandung karbohidrat larut atau pati (biji-bijian atau molases) dalam jumlah besar.

Tanaman mempunyai struktur molekul dalam dinding selnya yang spesifik mudah diserang oleh mikroorganisme. Didalam rumen, agen utama pemecah karbohidrat adalah bakteri, protozoa dan fungi anaerob.

(21)

21

Bakteri anaerob merupakan agen utama untuk fermentasi karbohidrat dinding sel tanaman tetapi phycomycetous fungi yang diketemukan bersamaan oleh Orpin dan Bauchop (lihat Bauchop, 1985) barangkali pada saat yang sama menjadi sangat penting. Tampaknya ada hubugan yang sangat erat antara fungi dan mikroba lain dalam rumen dan fungi tampaknya merupakan penyerang pertama menyerang dinding sel, yang memberikan kesempatan selanjutnya bakteri memulai dan melanjutkan fermentasi.

Beberapa jenis mikroba mensintesis enzym yang dapat menghancurkan struktur tanaman yang sangat kompleks dan sebagian mempergunakan senyawa sederhana seperti selobiosa dan glukosa.

Beberapa bakteri rumen diduga mempunyai hubungan syntropic, sedangkan yang lain menggunakan hasil fermentasi dan pemindahan produk akhir menyebabkan fermentasi dari sumber pakan utama oleh mikroorganisme pertama.

Contoh Soal:

1. Rumen menempati 80% dari seluruh ruang besar ternak sapi (ruminansia besar) dengan volume:

a. 4-10 liter b. 100-300 liter c. 100-200 liter

2. Isi rumen tetap dapat dipertahankan pada pH:

a. 5,0-7,0 b. 2,0-3,0 c. 8-10

3. Sebagai hasil akhir pencernaan dalam rumen berupa:

(22)

22

a. VFA (volatile fatty acid), NH4 dan gas cerna b. AA (asam amino) –NH4 dan gas cerna c. Triglicerida, asam empedu dan cholesterol

4. Lingkungan rumen tampaknya dikontrol/dipengaruhi oleh beberapa faktor. Preston dan leng (1987) menyatakan ada 6 (enam) faktor yang mempengaruhi lingkungan rumen. Sebutkan dan uraikan faktor- faktor tersebut!.

5. Agen utama pemecah karbohidrat adalah tiga jenis organisme, sebutkan dan jelaskan!

(23)

23 BAB II

KEBERADAAN DAN PERAN MIKROBA RUMEN

PADA TERNAK RUMINANSIA

Di dalam bab II ini akan diuraikan keberadaan dan peran mikroba rumen seperti protozoa, bakteri, fungi dan berbagai spesies yang berperan di dalam pencernaan ternak ruminansia. Peran masing-masing mikroba rumen seperti protozoa rumen dengan ordo Entodiniomorphida merupakan populasi protozoa terbanyak. Peran protozoa juga sangat penting di dalam proses fermentasi bahan pakan di dalam rumen. Peran protozoa juga diuraikan pada degradasi dinding sel tanaman. Di dalam bab II ini diuraikan pula peran bakteri rumen serta interaksi antara protozoa dan bakteri dalam proses fermentasi. Mikroba lain yang juga merupakan penghuni rumen adalah fungi, mycoplasma dan bacteriophage dalam rumen. Diantara ketiga mikroba ini peran fungi sangat penting di dalam meningkatkan kecernaan serat kasar sebagai sumber energi dalam rumen. Bagian akhir bab II ini akan menguraikan tentang interaksi antara protozoa, bakteri dan fungi yang merupakan interaksi mikroorganisme yang sangat kompleks. Setelah membaca bab II ini mahasiswa dan pembaca akan mengetahui mikroorganisme penting yang ada dalam rumen dan peran masing-masing mikroba tersebut dalam proses fermentasi. Interaksi antara ketiga mikroba rumen tersebut sangat penting namun belum jelas karena interaksi mikroorganisme tersebut sangat kompleks.

(24)

24

2. 1. Tiga Kelompok Utama Mikroorganisme Rumen

Energi tersimpan dan terbarukan dengan jumlah melimpah di dunia adalah selulosa yang merupakan penyusun serat kasar pada tanaman. Selulosa merupakan simpanan energi terbaharui yang jumlahnya melimpah di dunia, akan tetapi pemanfaatannya untuk manusia masih terbatas. Mikroorganisme terutama bakteri, protozoa, fungi anaerob yang menghuni rumen ternak ruminansia, memegang peranan penting untuk menggali sumber daya ini. Kapasitasnya untuk menghasilkan dan menggunakan enzym selulase, yaitu enzym yang tidak bisa dihasilkan oleh binatang lain yang derajatnya lebih tinggi, melengkapinya dengan kemampuan untuk menghancurkan dan memanfaatkan selulosa, dan melalui pencernaan fermentasi dalam rumen untuk membuat VFA (volatile fatty acids = asam lemak mudah terbang) dan asam amino yang dapat membuat ternak kita menghasilkan daging, susu, wool, bulu, kulit dan tenaga kerja.

Tiga kelompok utama mikroorganisme rumen (bakteri, protozoa ciliata dan fungi) berinteraksi satu dengan lain dalam rumen sedemikian rupa yang pada hakikatnya tidak selalu menghasilkan atau membuat produktifitas ternak menjadi efisien. Akhir-akhir ini peneliti telah mengakui dan melihat pentingnya peranan spesies unik yaitu fungi dalam kolonisasi utama pada bagian tanaman dan peran protozoa sebagai pemangsa terbesar dari bakteri dan zoospora fungi. Semua ini merupakan tantangan bagi peneliti dan peternak untuk mencari jalan memanipulasi eko-sistem yang kompleks ini untuk memaksimalkan proses fermentasi yang efisien. Sebagai contoh mengoptimalkan produksi protozoa dari sumber NPN dan mengurangi hilangnya energi sebagai

(25)

25

panas dan gas methan terutama gas methan telah diakui sebagai salah satu gas “rumah kaca” yang tidak diinginkan.

Dibawah ini akan diuraikan keberadaan dan peran ketiga mikroba terkait dalam ekosistem rumen.

2.2. Protozoa Rumen

Banyak dan berbagai jenis protozoa hidup di dalam rumen. Mereka dibagi dalam dua yaitu jenis Flagelata dan Ciliata, tetapi hampir semuanya / mayoritas adalah protozoa jenis ciliata. Jenis Ciliata ini tidak patogen dan anaerob. Jumlah ciliata ini antara 105-106 per mililiter isi rumen, pada ternak sehat.

Sejak jenis ciliata ini diketemukan sekitar 1843, berbagai taxonomi, morpologi, fisiologi dan penelitian nutrisi pada jenis ciliata ini telah dilakukan. Hasilnya, didapatkan bahwa ciliata ini memegang peranan sebagai sumber nitrogen dan membuat keseimbangan asam amino dalam makanan ternak inang (Hungate, dalam Ogimoto dan Imai, 1981). Jenis ciliata ini jumlahnya meningkat dua kali lipat dalam waktu satu hari melalui pembelahan sel dalam rumen. Hampir dalam jumlah yang sama peningkatan jumlah ciliata yang mengalir ke bagian belakang saluran pencernaan ternak inang dan dicerna dalam abomasum dan usus halus sebagai makanan yang mengandung N. Telah dihitung bahwa berat ciliata dalam rumen sekitar 2% dari berat isi rumen (Hungate, 1955).

Misalnya sapi dengan berat isi perut 100 kg, kurang lebih 2 kg berat ciliata dipergunakan sebagai sumber zat makanan oleh ternak inang.

Selulosa yang dicerna oleh ternak inang dicerna sebagian oleh ciliata rumen, terutama jenis/spesies ciliata yang besar dan menghasilkan VFA.

Ciliata rumen juga memakan/mencerna bakteri rumen dan menurunkan

(26)

26

kecepatan pencernaan zat tepung oleh bakteri dalam rumen (Hungate, dalam Ogimoto dan Imai, 1981)

Di lain pihak, ciliata ini dikatakan mempunyai organisasi yang paling sangat kompleks, dan merupakan kelompok tertinggi yang dapat dibedakan yang telah mempunyai hubungan spesies diantara organisme monoseluler. Oleh karena itu kelompok ini menarik perhatian secara phylogenetical. Ciliata rumen termasuk kelompok Ophryoscolecidae mempunyai struktur yang sama dengan kelompok metazoa seperti mempunyai mulut, oesophagus, perut (stomach), rektum dan anus dan bahkan mempunyai rangka (skeleton) dan sistem saraf.

Sejak diketahuinya komposisi ciliata dalam jumlah yang berbeda- beda tergantung pada kondisi makanan yang diberikan dan kondisi fisiologis dari ternak inang, komposisi ciliata telah dipergunakan sebagai indeks dari kondisi rumen. Akan tetapi, taxonomi dari ciliata ini saat ini masih inkonsisten dan perbedaan pendapat, masalah ini telah dikemukakan oleh berbagai peneliti. Tambahan lagi taxonomi flagelata yang hidup pada rumen dan peranannya masih sedikit diketahui.

Ciliata yang diketemukan pada rumen dibagi kedalam tiga ordo, Prostomatida, Trichostomatida dan Entodiniomorphida. Dari ketiga ordo tersebut jumlah yang pertama dan kedua relatif sedikit sebaliknya ciliata yang termasuk entodiniomorphida merupakan bagian penyusun terbanyak dari ciliata rumen, dan baik jumlah, spesies dan frequensi penampakannya sangat tinggi. Jenis ciliata ini (entodiniomorphida) mempunyai 7 (tujuh) famili dan hanya Ophryoscolecidae diketemukan pada rumen. Famili lainnya merupakan penghuni saluran pencernaan kuda, tapir, gajah, badak, kuda nil, babi hutan dan orang hutan (Ogimoto dan Imai, 1981).

(27)

27

Simbiose yang terjadi/ada diantara ternak inang dan mikrooganisme yang hidup di dalam rumennya, menyebabkan ruminansia dapat memanfaatkan pakan yang mengandung ligno-selulose.

Semua penelitian yang menyangkut mekanisme yang terjadi dalam pencernaan rumen seharusnya dipandang sebagai hubungan antara

“ternak-pakan-mikroorganisme rumen” (Jouvany, 1988). Semua makanan yang sebenarnya diberikan kepada kedua konsumen yaitu mikroorganisme rumen dan ternak inang. Pemanfaatan bahan-bahan makanan ini akan terjadi dalam usus halus atau rumen sesuai dengan kapasitas degradasi dari perut besar utamanya pada rumen. Tahun 1966, (Yodder et al. dalam Ogimoto dan Imai, 1981) menunjukkan bahwa penambahan protozoa hidup ke dalam campuran bakteri sangat meningkatkan pemecahan selulosa pada penelitian in vitro. Dewasa ini diketahui bahwa protozoa (ciliata) rumen menghasilkan enzym yang mempu menghidrolisa karbohidrat dinding sel.

Bauchop (1988) menyatakan kebanyakan rumen protozoa adalah ciliata, holotrichs dan entodiniomorphs, disamping jenis flagelata yang jumlahnya sangat sedikit. Dinyatakan bahwa 62–70%, carboxymethyl celulase dihasilkan oleh protozoa rumen (Coleman, 1985a, 1985b).

Beberapa ciliata seperti Epidinium ecaudatum, Eremoplastron bovis, Endiplodinium maggii, Opryoscolex caudatus, Ostracodinium obtusum bilolum mempunyai enzym yang mampu menghidrolisa selulosa kristal.

Sebaliknya ciliata jenis Entodinium tidak dapat memproduksi enzym tersebut (lihat Jouvany, 1988) secara lebih detail). Menurut Preston dan Leng (1987), protozoa terdapat dalam rumen biri-biri dan sapi (ruminansia). Pada ternak yang diberi ransum berserat (yang rendah kadar gula larut) tapi kepadatan populasinya rendah (kurang dari

(28)

28

100.000/ml) sedangkan pada pakan yang mengandung tepung yang tinggi atau gula kepadatannya dapat mencapai 4.000.000/ml cairan rumen. Pakan juga menentukan spesies protozoa dalam rumen tetapi sedikit diketahui faktor yang menentukan keseimbangan spesies protozoa atau biomassanya. Dengan demikian protozoa dibagi secara garis besar menjadi dua yaitu Entodineomorph kecil (sebagian besar spp Entodinia), dan protozoa Holotrich besar (utamanya Isotricha atau spesies Dasytricha. Jenis Isotricha terdapat pada ternak yang diberi tepung daun atau pakan dasar berserat, sedangkan Dasytricha utamanya dilaporkan terdapat pada ternak yang diberi pakan gula / pakan berserat (tebu) dan pada rumput pasture segar, yang biasanya kombinasi karbohidrat larut dan tak larut. Bila populasi protozoa tinggi, terdiri dari 70% biomassa organisme cairan rumen dan bakteri terdiri hanya 30%nya

Selanjutnya Preston dan Leng (1987) menyatakan protozoa lebih memilih tinggal dalam rumen sebagai hasil penelitian-penelitian yang membandingkan jumlah protozoa dalam cairan omasum relative dengan protozoa cairan rumen dan dengan penelitian isotop yang mengindikasikan banyak protozoa mengalami lysis (Tabel 1) di dalam rumen.

Tabel 1. Keberadaan protozoa di dalam cairan rumen relative dengan protozoa dalam cairan omasum pada biri-biri dan sapi.

(29)

29 Cairan rumen

10-5 /ml Cairan omasum

(% dari cairan rumen) Penulis

1,4-3,3 6-29 Weller dan Pilgrim, 1974

7,2-28,4 11-42 Nakamura dan Kurihara, 1978

3,5-8,4 30-40 Jovany, 1978

5,0* 10 Birds et al., 1978

7,5 8 Birds et al., 1978

2,5-5,9* 0-28 Minor et al., 1977

0,5-1,3* 41-52 Perma et al., 1984

*sapi. Sumber: Preston dan Leng (1987).

Menurut Preston dan Leng (1987) ada beberapa jalan dimana protozoa lebih memilih tinggal pada rumen yaitu:

1. Sequestrasi (berkumpul) pada partikel-partikel besar.

Tampaknya protozoa tertarik pada konsentrassi tinggi karbohidrat larut yang kadang-kadang setelah ternak makan, yang tampaknya dekat dengan partikel pakan yang besar.

Bauchop (1988) membuktikan kesimpulan ini melalui mikroskop electron bahwa protozoa melekat pada partikel besar.

Diperlihatkan bahwa Epidinium spp atau Dasytricha spp melekat pada bagian akhir batang tanaman pada pakan cerna (digesta) rumen.

2. Sequestrasi (sequestration) dimana protozoa berkumpul pada dinding rumen. Abe et al. (1981) menemukan kumpulan holotrich pada dinding reticulum sapi yang berpuasa selama satu hari. Ini merupakan penemuan yang sangat menarik yang menyarankan bahwa terdapat “komunikasi” antara protozoa:

mengapa mereka berkumpul dalam jumlah/kelompok yang begitu padat? Barangkali sekresi kimia tertentu yang

(30)

30

dikeluarkan oleh protozoa mengakibatkan pengelompokkan protozoa seperti apa yang terjadi pada paramesium yang hidup bebas (Peres Miravete, 1973)

3. Peningkatan kepadatan populasi protozoa. Protozoa yang telah menyimpan tepung atau gula menjadi padat populasinya dan tinggal dalam rumen. Penelitian menunjukkan sampel yang diambil melalui kanula rumen mempunyai konsentrasi protozoa yang lebih rendah dari yang diambil campuran isi rumen setelah pemotongan ternak (Minor et al., 1977).

4. Tertahannya protozoa dalam bolus. Pada saat ruminasi bolus yang mengandung bakteri, protozoa dan partikel pakan diregurgitasi ke oesophagus dan secara reflex terperas pada saat bergerak ke mulut. Cairan dan partikel kecil yang terpisah dalam proses ini ditelan dan segera masuk reticulum dan cepat pindah ke abomasum. Protozoa karena ukurannya besar adanya cilia dan lengket/melekat pada partikel yang lebih besar tampaknya tertahan pada bolus bila ditelan akan masuk ke rumen dan kembali masuk dan merupakan pergerakan digesta melalui rumen.

2.2.1. Fermentasi oleh Protozoa

Hungate (1966) menyatakan bukti adanya fermentasi oleh protozoa rumen didapat pada saat Entodiniomorph dibiakan secara in vitro dan diuji secara manometris. Carbondioxida, hidrogen dan volatile acid adalah sebagai produk fermentasi (Hungate, 1946a dalam Hungate, 1966). Hidrogen juga merupakan produk dari Isotricha yang didapat langsung dari rumen. Holotrich yang dipisahkan dari isi rumen

(31)

31

membentuk asam acetat, butirat dan asam laktat sebagai produk utama fermentasi, dengan sedikit asam propionat. Rata-rata kecepatan fermentasi endogenous kurang lebih 30% dari kecepatan fermentasi pada gula. Fermentasi oleh Epidinium ecaudatum membentuk karbondioksida, hidrogen, asam asetat dan butirat dan sedikit asam format, propionat dan asam laktat. Epidinium caudatum membentuk karbondioksida, hidrogen dan asam asetat, butirat sebagai produk utama, dengan sedikit asam propionat, format dan asetat.

2.2.2. Pengaruh Protozoa pada Degradasi Dinding Sel Tanaman Semua penelitian in vitro, in sacco dan in vivo menunjukkan bahwa keberadaaan protozoa tidak mempunyai efek atas meningkatkan kecernaan penyusun dinding sel dan rumen, dan utamanya in vivo.

Inokulasi defaunasi rumen dengan protozoa tidak menyebabkan pengurangan pencernaan dinding sel.

Bukti-bukti yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa ciliata rumen mempunyai peran didalam pemecahan polysakarida dinding sel tanaman (Williams, 1988). Kesimpulan tersebut dicapai dengan menggunakan hasil penelitian biokimia, media mikroskopis dan penelitian defaunasi. Protozoa menempati dan menghancurkan jaringan tanaman dalam rumen telah diteliti dengan mikroskop elektron. Kedua group ciliata rumen segera menyerang partikel tanaman dan bertahannya dalam rumen dibantu oleh fragmen (sequestration) dalam bahan tanaman.

Epidinium spp. telah diamati dan menyatu dengan bagian tanaman yang rusak dalam digesta rumen (Bauchops and Clarke, 1970).

Diketemukan adanya degradasi yang luas pada bagian dinding tipis

(32)

32

parenchym, mesophil, kelopak batang dan epididimis. Sebagai kelanjutan perlekatan oleh rongga mulut pada serat tanaman, enzym ekstraseluler dikeluarkan dan sebagian bagian tanaman akan dicerna.

Proses pencernaan serat tanaman dicerna intraseluler.

Beberapa penelitian telah mengukuhkan bahwa beberapa jenis Entodiniomorphid mampu mencerna dan menggunakan dinding sel tanaman dan mensintesa bahan polisakarida dari selulosa. Hungate (1943) menyimpulkan bahwa Endiplodinium, Polyplastron dan Eremoplastron spp adalah jenis yang selulolytic sedangkan jenis Entodiniomorphid caudatum dan Holotricha, Dasytricha dan Buetschlia tidak mampu mencerna selulosa. Adanya kemampuan beberapa jenis protozoa rumen ini untuk memecah dan memanfaatkan dinding sel yang terbuat dari selulosa secara lebih rinci diuraikan oleh Williams (1988).

Perkembangan hasil penelitian selanjutnya masih menunjukkan adanya beberapa perbedaan pandangan terhadap keberadaan protozoa rumen.

Pengaruh protozoa dengan penelitian in sacco harus diinterpretasikan dengan sangat hati-hati, terutama metode yang dipergunakan oleh peneliti sangat bervariasi. Terutama, telah diketahui ukuran lubang kain nylon yang dipakai, penempatan substrat/bahan dalam kantong, luas kantong, ratio berat substrat, dan perlakuan terhadap kantong setelah dikeluarkan dari rumen (pencucian, perlakuan fisik, pembekuan sebelum pencucian) semua ini mempengaruhi hasil.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa protozoa mempunyai dampak positif yang lebih besar pada pencernaan tepung selulosa dari daun alfalfa dibanding dengan jerami gandum atau dinding sel rumput timothy.

(33)

33

Penelitian selama 6 tahun yang dirancang untuk menyelidiki pengaruh menghilangkan protozoa rumen biri-biri dan sapi menganjurkan bahwa upaya menghilangkan protozoa dari rumen terkait dengan peningkatan ketersediaan protein untuk dicerna dan penyerapan dari usus halus. Pengaruh tersebut telah dibuktikan pada kondisi ternak laboratorium dan digembalakan (Bird dan Leng, 1983). Selanjutnya dikatakan walaupun protozoa normalnya ada pada rumen domba dan sapi tetapi nilai nutrisi bagi ternak inang masih diperdebatkan. Dari berbagai hasil penelitian yang dilaporkan dalam literatur menyarankan

“mempertahankan populasi protozoa dalam rumen tampaknya mengurangi jumlah protein yang tersedia untuk dicerna oleh ternak inang terutama sejak protozoa tampaknya lebih memilih bertahan didalam rumen dan juga menelan bakteri” (Coleman, 1975).

Pada penelitian terdahulu yang telah dilaporkan membandingkan ternak yang tidak dan yang mengandung protozoa dalam rumennya yang diberikan hijauan berkualitas baik dan konsentrat. Penelitian ini menyimpulkan tidak ada respon yang menguntungkan dari defaunasi.

Tampaknya pendapat yang menyatakan protozoa yang tertahan dalam rumen menyarankan bahwa respon positif dari defaunasi akan memberikan hasil bila ternak ruminansia diberi pakan berkadar protein rendah.

Penelitian dari Coleman (1975) dan dari Weller dan Pilgrim (1974) yang pertama kali mengidenfikasi bahwa keberadaan protozoa dalam rumen memberikan dampak tidak baik pada produksi ruminansia.

Coleman (1975) sangat jelas menunjukkan bahwa protozoa memakan bakteri, sedangkan Weller dan Pilgrim (1974) menemukan adanya indikasi bahwa protozoa memilih tinggal didalam rumen. Kedua hasil

(34)

34

penelitian ini pertama kali mengidentifikasikan bahwa protozoa menurunkan efisiensi pertumbuhan mikroba dalam rumen dan selanjutnya menurunkan ketersediaan protein bakteri untuk ternak (Leng, 1976). Dus, kehadiran / keberadaan protozoa dalam rumen diperkirakan mengurangi ratio protein-energi zat makanan yang diserap oleh ternak.

Leng (1988) menyimpulkan bahwa hasil penelitiannya dengan mempelajari dinamika protozoa dengan menggunakan radio isotop (protozoa yang diberi label 14C-choline) adalah sintesa protozoa yang terus menerus dalam rumen dengan jumlah yang bertahan dimana 60- 80% protozoa mengalami lysis dan keluarnya protozoa dari rumen dalam bentuk digesta adalah 20-40%. Jumlah protozoa sebenarnya yang hilang dalam rumen tergantung dari faktor jenis makanan, kecepatan keluarnya digesta, berapa kali diberi makan dan jenis protozoa.

2.3. Bakteri Rumen 2.3.1. Umum

Pada ternak ruminansia, rumennya mengandung 1010-1012 bakteri per gram isi rumen. Bakteri rumen (flora) adalah bakteri anaerob dan mayoritas terdiri dari dua jenis bakteri yaitu fakultatif anaerobic dan aerobic dalam jumlah sedikit. Bakteri anaerob ini dibagi kedalam tiga bentuk umum yaitu: bentuk coccus, cylindris (batang) dan bentuk spiral yang disebut spirilla. Berdasakan sifat morphologis dan karakteristik permukaan selnya, bakteri rumen dibagi kedalam: 1). Bakteri gram positif (+), dimana struktur muka selnya disusun oleh lapisan peptidoglycan tebal dan membran cytoplasma; 2). Bakteri gram negatif (- ) mempunyai dinding sel disusun oleh lapisan peptidoglycan tipis dan lapisan luar membran dan lapisan dalam membran (membran

(35)

35

cytoplasma); 3). Mycoplasma yang mempunyai struktur lapisan sel 3 unit membran.

Bakteri pada kondisi ternak normal merupakan bagian terbesar dari massa mikroba dalam rumen (Preston dan Leng, 1987). Selanjutnya dikatakan ada beberapa kelomppok bakteri yang berbeda termasuk : o Bakteri yang bebas di dalam media cair (biasanya 30% dari total).

o Bakteri yang melekat pada partikel pakan (sekitar 70% dari total) o Bakteri yang menempel pada garis epithel rumen

o Bakteri yang melekat pada protozoa (terutama penghasil methan) Bakteri terpenting untuk pencernaan serat kasar adalah Ruminococcus flavefaciens, Ruminococcus albus, Bacterioides succinogenes dan Butyrivibrio fibrisolvens.

Spesies terbanyak dari bakteri rumen yang mendegradasi dinding sel polisakarida disarikan pada Tabel 2. Secara umum, bakteri harus melihat pada bahan agar mampu mencerna serat kasar, walaupun beberapa organism nampaknya mengeluarkan enzyme ekstraseluler.

Tabel 2. Spesies utama dari bakteri rumen yang menghancurkan dinding sel polisakarida (Chang et al., 1984)

Dinding sel polisakarida Spesies

(36)

36

Selulosa Bacteroides succinogenes

Ruminococcus flavefaciens Ruminococcus albus Butyrivibrio fibrisolvens Cillobacterium cellulosolvens Clostridium lochheadii Cellulomonas fimi Eubacterium spp.

Hemiselulosa Butyrivibrio fibrisolvens Ruminococcus albus Ruminococcus flavefaciens Bacterioides ruminacola

Senyawa “peptic” Semua spesies selulolitic dan hemiselolitic plus:

Lachnospira multtiparus Streptococcus bovis

Succinovibrio dextrinosolvens

Telah dilaporkan oleh Dogiel (1947) ciliata rumen adalah pemakan bakteri. Diduga bakteri yang tercerna dipergunakan sebagai sumber N ciliata. Dengan elektron mikroshop beberapa bakteri yang telah dimakan dapat dilihat di dalam vacuola ciliata. Imai dan Ogimoto (1978) menyatakan sejumlah bakteri melekat pada permukaan ciliata rumen.

Jumlah bakteri yang melekat pada setiap ciliata berbeda menurut species ciliata tersebut. Jumlah bakteri yang paling banyak yang melekat pada permukaan Eudiplodinium maggii yang merupakan ciliata yang terbesar.

Sebaliknya jumlah bakteri yang paling sedikit diketemukan pada permukaan Epidinium ecaudatum. Secara rata-rata 250 bakteri melekat pada permukaan satu cialata. Sehingga sekitar 107-108 bakteri melekat pada permukaan 105 ciliata, yang terdapat didalam 1 ml isi rumen.

Jumlah bakteri ini merupakan bagian 1-10% dan jumlah bakteri normal dalam rumen. Kebanyakan bakteri melekat diidentifikasi sebagai

(37)

37

Streptococcus bovis dan Ruminococcus albuss disamping itu Methano brevibacter ruminantium juga diketemukan pada permukaan ciliata.

Pencernaan makanan oleh ternak ruminansia adalah langkah awal dari sederetan kejadian kompleks yang meliputi kolonisasi, fermentasi, pertumbuhan, perbanyakan dan kematian dari mikroba. Jumlahnya yang sangat besar dari bakteri, fungsi dan protozoa yang terdapat dalam rumen meyakinkan bahwa kolonisasi sangat cepat untuk memulainya suatu proses degradasi (Bauchop, 1988) bagian yang tidak larut. Menurut Coleman (1988) protozoa Entodiniomorphid yang terdapat dalam rumen, menelan bakteri, kadang-kadang sangat selektif dan membunuh, mencerna beberapa bakteri dengan melepas hasil pencernaan ke dalam media. Selenomonas ruminantum dan Butyrivibrio fibrisolums cenderung dimakan dan dicerna dengan cepat oleh banyak spesies protozoa sedangkan sebaliknya terjadi dengan Escherichia coli dan Bacteriodes ruminicola.

Semua jenis protozoa memangsa campuran berbagai jenis bakteri rumen tetapi tidak semua spicies mencerna bakteri dengan melepas hasil/produk pencernaannya. Kehadiran protozoa jenis ciliata di dalam rumen selalu menurunkan jumlah bakteri sebanyak 50-90% dan walaupun belum ada kesepakatan umum pada “apakah ada dampak selektif pada individu spesies”, jumlah bakteri selulolitik barangkali meningkat dan jumlah bakteri amylolytic menurun pada faunasi dengan Entodinium spp.

Aktifitas protozoa menelan bakteri, membunuhnya dan melepaskan produk pencernaan, yang tersedia untuk pertumbuhan bakteri yang masih ada, berarti terdapat perputaran yang cukup dari karbon dan N (nitrogen) bakteri. Jumlah ini 3–4 kali dari jumlah protozoa yang

(38)

38

keluar rumen setiap hari. Bakteri yang diketemukan di dalam Entodinium candatum adalah tidak spesifik untuk protozoa tersebut tetapi mencerminkan bakteri yang diketemukan disekitarnya. Pada kebanyakan kondisi dua mahluk yang paling penting dalam sistem ini adalah protozoa ciliata dan bakteri. Protozoa menelan bahan makanan dan bakteri.

Protozoa makan bakteri pada saat yang sama yaitu pada saat bakteri sedang menyerang bahan makanan.

2.3.2. Pengaruh Protozoa terhadap Kepadatan Populasi Bakteri In vivo

Suatu penelitian dimana domba sejak lahir bebas ciliata dan diberi makan (hay dan konsetrat) ketika diinokulasi dengan ciliata rumen, jumlah bakteri kecil menurun dari 36×109 menjadi 14×109/ml. Jumlah bakteri yang besar dan oval kurang dipengaruhi tetapi jumlah Oscillospira menurun dari 150×105/ml menjadi kurang dari105/ml dalam waktu satu minggu sementara jumlah protozoa meningkat (Eadie dan Hobson, 1962)

Coleman (1988) melaporkan secara luas tentang hasil-hasil penelitiannya selama 20 tahun terutama interaksi antara protozoa-bakteri di dalam rumen. Ia menyimpulkan bahwa protozoa Entodiniomorphid rumen menelan bakteri, kadang-kadang secara selektif dan membunuh serta mencerna beberapa jenis bakteri tersebut dengan melepaskan produk cernanya ke media. Selanjutnya dikatakan Selenomonas ruminatum dan Butyrivibrio fibrislovens cenderung dimakan dan dicerna dengan cepat oleh banyak spesies protozoa, sedangkan kebalikannya terjadi pada Escheria coli daan Bacterioides ruminocola. Selanjutnya dikatakan keberadaan protozoa ciliate dalam rumen selalu mencerminkan

(39)

39

jumlah bakteri antara 50-90%, namun belum ada kesepakatan universal akan adanya efek selektif terhadap spesies tertentu.

Argyle dan Foster (1988) menyatakan bahwa biri-biri yang dipelihara dalam kondisi bebas protozoa selama 9 bulan mempunyai volume cairan rumen yang lebih banyak dan kecepatan pengenceran yang lebih lambat dibandingkan dengan biri-biri control (mengandung protozoa pada rumennya). Sedangkan biri-biri yang rumennya dihuni oleh Epidinium ecaudatum mempunyai nilai diantara kedua nilai tersebut. Kepadatan bakteri selulolitik tidak berbeda pada cairan rumen antara biri-biri yang bebas protozoa dan yang dihuni kembali oleh protozoa, tetapi ternak yang mengandung hanya Epidinium spp, mempunyai densitas bakteri yang lebih rendah tetapi nyata lebih tinggi kandungan bakteri selulolitik. Selanjutnya dikatakan kepadatan bakteri pada partikel digesta paling tinggi pada biri-biri tanpa protozoa dan terendah pada biri-biri yang mengandung hanya epdinium spp.

Kepadatan bakteri selulolitik pada partikel pada partikel digesta tertinggi pada ternak yang mengandung protozoa dan terendah pada ternak yang bebas protozoa. Disimpulkan bahwa ciliata protozoa mempengaruhi populasi bakteri baik yang melekat ataupun bebas pada partikel digesta.

2.4. Fungi, Mycoplasma, dan Bakteriophage dalam Rumen 2.4.1. Fungi rumen

Beberapa spesies fungi diketemukan di dalam rumen (Bauchop, 1979 a,b). Peranan fungi dalam pencernaan mikroba atau lingkungan lain belum jelas. Beberapa fungi tidak berfungsi tapi hanya kebetulan lewat bersama makanan yang dimakan. Akan tetapi phycomyceteous fungi rumen yang anaerob sebagai penyusun bagian terbesar dari mikrobiota

(40)

40

rumen pada ternak ruminansia yang diberi pakan yang berserat (Bauchop, 1979b), mempunyai peran penting dalam proses pencernaan ternak ruminansia.

Spesies fungi yang diisolasi dari rumen biri-biri termasuk di dalamnya Neocallimastix frontalis, Piramonas communis dan Sphaeromonas communis (Orphin, 1975) tetapi masih ada banyak lagi yang telah diketemukan. Jenis fungi ini mencerna berbagai struktur penyusun tanaman. Preston dan Leng (1987) menyatakan asumsi yang berdasar adalah fungi memecah hemiselulosa-lignin kompleks dan melarutkan lignin tetapi fungi ini sebenarnya tidak menghancurkan lignin (degrade lignin). Proses ini memberi peluang pada serat yang secara fisik dilindungi oleh lignin difermentasi oleh bakteri rumen.

Bahan makanan yang masuk rumen segera dihuni oleh koloni mikroba dalam jumlah besar yaitu, protozoa dan bakteri. Bagian tanaman epidermis yang rusak dan bagian yang terpotong adalah bagian pertama yang diserang oleh mikroba. Protozoa menyerang bagian tanaman tertentu dan mencerna langsung jaringan tanaman (Epidinium) atau masuk kedalam jaringan yang sudah rusak untuk mencari bagian/substrat yang larut (Dasythrichor/Isotricha). Bagian tanamam menyediakan rumah bagi fungi rumen anaerobic. Dengan enzym fibrolytic dan merambatnya serta masuknya rhizoidal ke jaringan tanaman, fungi ini mempunyai alat kelengkapan yang merupakan sumbangan besar dalam pencernaan serat. Dengan demikian fungi anaerob mempunyai semua sifat yang dibutuhkan untuk berperan nyata dalam pencernaan ruminansia (Bauchop, 1988). Gordon dan Philips (1988) menyatakan bahwa fungi anaerob yang terdapat pada rumen termasuk genera Neocalimastix, Piromonas dan Sphaeromonas dapat mempergunakan

(41)

41

berbagai karbohidrat sebagai satu-satunya sumber karbohidrat yang dapat difermentasi. Semua jenis selobiosa yang dapat difermentasi seperti selobiosa, fruktosa, gentibiosa, glukosa, laktosa dan xylan. Jenis Neocalimastix juga menggunakan selulosa, inulin, maltosa, rafinosa, tepung, sukrosa dan xylosa. Sebagai tambahan, jenis Sphaeromonas menggunakan xylosa tetapi tidak bisa untuk selulosa murni, sedangkan Iromonas menggunakan berbagai jenis gula dan polisakarida. Produk akhir dari fermentasi glukosa dan selulosa oleh fungi anaerob adalah acetat, formate, D(-)lactate, ethanol, CO2 dan H2. Jadi fungi anaerob mampu menyumbangkan kemampuan mencerna karbohidrat dalam rumen, tetapi tingkat kemampuan ini relatif dibanding dengan bakteri- bakteri rumen lain, namun demikian hal ini belum dapat dipastikan / ditentukan.

Jenis fungi Neocalimastix ada tiga yaitu Neocalimastix frontalis yang menghasilkan zoospora berambut banyak (poly flagellata) dari satu spora yang didukung cabang yang besar, rhizoid yang berbentuk filamen (benang). Dewasa ini dikenal jenis Neocalimastix frontalis PN1, Neocalimastix patriciarum dan N.R1. Untuk mengisolasi jenis fungi anaerob ini banyak diuraikan dan dengan rinci oleh Theodorau dan Trinci (1988).

Pemakaian antibiotika disamping untuk menekan jumlah protozoa dan perangsang pertumbuhan, juga dilaporkan membatasi pertumbuhan jenis fungi yang berbeda. Bernalier et al. (1988) dalam penelitian in vitro melaporkan penggunaan ionosphore antibiotika (cationomycin, monensin dan lacalocid) menghambat pertumbuhan beberapa jenis fungi yang berbeda. Kemampuan menghambatnya berbeda menurut jenis dan konsentrasi antibiotika. Dalam penelitiannya dipergunakan jenis

(42)

42

Neocalismatix sp, Piromonas communis dan Sphaeromonas communis sp. Dari ketiga jenis antibiotika dengan dua dosis yaitu 0,1mg/l dan 0,5ml/l. Pengukuran biomassa (ug protein/ml). Pada konsenrasi 0,1mg/l antibiotika mempunyai sedikit efek pada pertumbuhan Neocalismastix.

Pertumbuhannya akan lebih ditekan pada konsentrasi 0,5 mg/l pada monensin dan lasalocid dan catiomycin.

2.4.2. Mycoplasma rumen

Mycoplasma adalah bakteri kecil yang dibungkus oleh satu membran tiga lapis. Koloni ini bila dibiakkan pada media agar menunjukkan karakter bentuk telur goreng. Sel ini biasanya diketemukan dalam bentuk pleomorphic, filamentous, bentuk fibrous. Beberapa jenis mycoplasma dapat menembus filler bakteri. Mycoplasma yang sangat anaerob telah diisolasi dari rumen sapi dan domba oleh Robinson dan Hungate (1978). Mycoplasma jenis ini biasanya ada di dalam 105-107 viable unit per gram isi rumen. Spesies ini sekarang diletakkan pada genus Anaeroplasma dengan dua spesies: Anaeroplasma bactoclasticium dan Anaeroplasma abactoclasticium.

2.4.3. Bakteriophage Rumen

Klieve et al. (1988) melaporkan bahwa bakteriophage jumlahnya antara 2 x 107 – 1 x 108 /ml cairan rumen. Dalam jumlah yang banyak ada pada cairan rumen biri-biri dan sapi. Sebanyak duapuluh enam jenis sudah diidentifikasikan dan dibagi dalam tiga kelompok morphology.

Namun demikian peran jenis bakteri ini belum banyak diteliti terutama terkait dengan kondisi ekosistem rumen dan produktivitas ternak inang.

(43)

43 2.5. Interaksi Mikroba dalam Rumen

Telah diketahui bahwa populasi mikroba rumen bervariasi diantara ternak, dengan waktu setelah makan, diantara hari kehari pada terrnak yang sama, dan variasi ini tampak pada ternak di negara yang berbeda walaupun dengan pakan yang sama. Hasil akhir dari fermentasi adalah sama. Untuk alasan ini, hanya interaksi antara kelompok organisme yang besar dan keterlibatannya dalam fermentasi rumen yang akan dibahas oleh Preston dan Leng (1987) seperti dibawah ini. Selanjutnya disimpulkan bahwa interaksi antar mikroorganisme di dalam rumen sangatlah kompleks dan tidak selalu menguntungkan ternak inang.

Populasi protozoa yang tinggi di dalam rumen mengakibatkan penurunan produktivitas ternak, yang tampaknya sebagian besar disebabkan oleh turunnya rasio asam amino-energy nutrisi yang terserap dari suatu proses pencernaan. Akan tetapi barangkali lebih penting adalah tampak bahwa protozoa mengurangi biomassa bakteri dan fungi di dalam rumen bila ternak diberi pakan berserat tinggi dan itu berarti menurunkan kecepatan cerna pakan berserat tinggi.

Interaksi antara pakan dengan keadaan ternak faunasi (masih dihuni protozoa) atau unfaunasi (tanpa protozoa dalam rumen) belum diketahui dengan baik dan pakan berserat yang rendah bypass proteinnya merupakan satu-satunya dimana ruminansia akan lebih efisien dalam kondisi unfaunasi (tanpa protozoa dalam rumen).

2.5.1. Interaksi antara Bakteri-Bakteri

Pada partikulat digesta dan jaringan epithelium rumen, bakteri bersekutu dengan organisme terkait dan membentuk fungi sebagai suatu konsorsium. Sebagian organisme tumbuh pada produk akhir dari

(44)

44

metabolisme yang lain. Proses fermentasi beruntun yang melibatkan organisme dari spesies berbeda yang mengubah selulosa menjadi VFA telah diakui, sebagai hubungan antara organisme penghasil dan pengguna hydrogen. Didalam rumen sering terjadi hubungan yang sangat dekat diantara spesies–spesies bakteri. Tergantung pada materi yang dikeluarkannya, materi yang sederhana oleh masing-masing spesies untuk tujuan yang saling menguntungkan dari keduanya (kerjasama Syntropic). Interaksi-interaksi bakteri rumen tampaknya sangat menguntungkan dan tampaknya sedikit yang bisa dikerjakan untuk memanipulasi asosiasi ini, selain penghambatan proses methanogenesis.

2.5.2. Interaksi Protozoa dan Bakteri

Sudah ada kesimpulan yang jelas bahwa terdapat interaksi yang jelas diantara protozoa dan bakteri. Protozoa menelan dan mencerna bakteri dan mengurangi biomasa bakteri bebas mengambang didalam larutan cairan rumen (Coleman, 1975) dan akhirnya akan mengurangi kecepatan koloni bakteri mencerna partikel pakan. Dalam kondisi pakan dengan kecernaan yang tinggi, kondisi ini barangkali tidak begitu jelas, tetapi sebaliknya dengan pakan yang rendah kecernaannya, proses makan bakteri ini akan meningkatkan fase yang dibutuhkan dalam proses degradasi partikel. Protozoa sangat efektif berkompetisi dengan bakteri untuk memanfaatkan larutan gula dan tepung (pati), menyimpan karbohidrat ini didalam dinding selnya. Pada kondisi ini, protozoa sangat mengurangi asidosis pada beberapa jenis pakan. Pada pakan yang berbahan dasar gula (misal batang tebu) biomasa protozoa barangkali lebih banyak dari biomasa bakteri.

(45)

45

2.5.3. Interaksi Bakteri, Fungi dan Protozoa

Eadie dan Gill (1971) menunjukkan bahwa jumlah flagelata protozoa (zoospore yang bergerak) meningkat mengikuti pola defaunasi rumen. Apabila flagelata ini adalah zoospora, selanjutnya dinyatakan bahwa protozoa “berkompetisi” makanan dengan fungi atau dengan kata lain menurunkan pertumbuhan fungi. Sebagai contoh Orpin (1975) mengamati protozoa makan flagelata yang tak bergerak (Zoospora).

Untuk meneliti interaksi ini, penelitian telah dilakukan efek dari defaunasi pada pertumbuhan fungi dan kecernaan pakan didalam rumen.

Kecernaan pakan berserat dalam nylon bag dalam rumen biri-biri yang difaunasi, selanjutnya didefaunasi dan dibiarkan tidak didefaunasi (unfaunated) dan selanjutnya difaunasi kembali menunjukkan bahwa keadaan rumen ternak yang tidak didefaunasi (unfaunated) mengakibatkan meningkatnya kecepatan hilangnya bahan kering (sebanyak 6-10 unit/24 jam). Hal ini terkait dengan lebih banyaknya zoospore dalam cairan rumen dan lebih banyaknya fungi yang ditunjukkan oleh sporangia pada serat yang telah diinkubasi dalam rumen dengan nylon bag untuk lama waktu 6-12 jam.

Penghilangan protozoa dalam rumen cenderung terjadi peningkatan jumlah bakteri didalam cairan. Penelitian dengan domba menggunakan teknik koleksi total, kecernaan yang tampak dari bahan kering meningkat 18% bila tidak ada protozoa (Soetanto, 1988). Ini jelas menunjukkan bahwa defaunasi cenderung meningkatkan produktifitas ruminansia yang diberi pakan berserat. Pada setiap upaya memanipulasi pakan harus dilihat dari adanya interaksi antara protozoa, bakteri dan fungi. Contoh pemberian pakan berkonsentrat pada ruminansia pada ternak yang diberi pakan roughage sering menurunkan

(46)

46

konsumsi roughage. Akibat yang efektif pemberian konsentrat atau molasses blok pada ternak yang diberi pakan roughage akan meningkatkan jumlah protozoa. Interaksi ini tampak sangat kompleks dan hasil penelitian dalam manipulasi rumen yang tidak mengukur pengaruhnya terhadap biomasa protozoa, bakteri dan fungi akan sangat sulit dijelaskan. Merupakan kebutuhan mendesak untuk mengembangkan metoda sederhana untuk membuat estimasi biomasa bakteri (dalam cairan dan pada partikel) protozoa dan fungi dengan maksud untuk meneliti lebih jauh interaksi ini.

Preston dan Leng (1987) menyimpulkan bahwa interaksi antara mikororganisme didalam rumen sangat komleks dan tidak selalu menguntungkan ternak inang. Populasi protozoa dalam jumlah besar didalam rumen telah dibuktikan menurunkan produktifitas ternak dan tampaknya dampak terbesar melalui menurunnya rasio asam amino- energi dari produk cerna yang diserap. Akan tetapi, kemungkinan yang paling penting , tampaknya protozoa menurunkan biomasa bakteri dan fungi dalam rumen dari ternak yang diberi makan pakan berserat tinggi, dan hal tersebut mungkin mengurangi kecepatan pencernaan dari pakan berserat.

Interaksi pakan dengan keadaan / kondisi faunasi dan defaunasi belum diketahui dengan baik, dan pakan berserat yang rendah by-pass proteinnya adalah satu-satunya dimana ternak ruminansia akan lebih efisien dalam kondisi defaunasi.

(47)

47 Contoh soal:

1. Mikroorganisme utama penghuni rumen adalah bakteri, protozoa dan fungi anaerob:

a. Uraikan keberadaan dan peran protozoa dalam rumen b. Uraikan keberadaan dan peran bakteri rumen

c. Uraikan keberadaan dan peran fungi, mycoplasma dan bacteriophage dalam rumen

2. Sebutkan bukti adanya fermentasi oleh protozoa rumen

3. Sebutkan dan jelaskan pengaruh protozoa pada degradasi dinding sel tanaman

4. Uraikan pengaruh protozoa terhadap kepadatan populasi bakteri in vivo

5. Uraikan interaksi antara bakteri dan bakteri rumen

(48)

48

BAB III

BEBERAPA METODA / TEKNIK DEFAUNASI

ATAU UPAYA MENGURANGI POPULASI

PROTOZOA RUMEN

Di dalam bab III ini akan diuraikan beberapa metode atau teknik defaunasi atau upaya mengurangi populasi protozoa pada rumen. Dari beberapa teknik yang disarankan adalah (1) isolasi ternak yang baru lahir, (2) “Meloloh” ternak dengan bahan kimia, (3) memanipulasi makanan ternak dan (4) menggunakan bibit ternak dari induk yang didefaunasi.

Selanjutnya akan diuraikan teknik mengurangi / menekan populasi protozoa dengan antibiotika dan bahan perangsang pertumbuhan lain dan dengan bahan kimia. Metode penekanan populasi protozoa dengan bahan-bahan alami merupakan cara penting dan relative aman dampaknya bagi kesehatan ternak dan manusia. Setelah mahasiswa dan pembaca menyelesaikan bab ini maka mereka mengetahui berbagai cara untuk menekan populasi mikroba / protozoa rumen dan dapat memilih teknik yang tepat untuk diigunakan sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bagi Indonesia yang beriklim tropis basah dan mempunyai berbagai jenis tanaman akan merupakan tempat yang sangat penting dalam penelitian pencarian bahan nabati yang penting untuk menekan / mengurangi populasi protozoa rumen.

Dari hasil kajian pustaka, Demeyer (1988) merumuskan bahwa defaunasi sesungguhnya satu contoh manipulasi menyeluruh, sistem yang sangat kompleks dari rumen dan metabolisme ruminansia dan sederetan

(49)

49

efek yang terkait satu sama lain dari defaunasi yang telah dilaporkan atau yang dapat diharapkan :

1. Menghambat terjadinya methanogenesis sebab methanogenesis paling tidak sebagian terkait dengan protozoa.

2. Menstimulasi produksi asam propionat karena adanya hubungan terbalik dengan methanogenesis, walaupun hal ini tidak selalu tercermin dalam proporsi asam lemah (VFA) dalam rumen.

3. Peningkatan produksi N asal dari bakteri karena menghilangkan aktivitas protozoa sebagai predator.

4. Tampak adanya upaya menghilangkan aliran protein protozoa di duodenum, hal ini penting dalam beberapa kondisi tertentu.

5. Penghambatan / terhambatnya pencernaan dinding sel tanaman dalam rumen karena penghilangan protozoa yang bersifat selulolitik atau/dan bakteri selulolitik langsung atau tak langsung yang terkait dengannya.

6. Penghambatan / terhambatnya degradasi protein dalam rumen.

7. Perubahan pada volume rumen dan aliran digesta

8. Peningkatan degradasi tepung alami dalam rumen dengan produksi asam laktat oleh bakteri dan menurunkan pH.

9. Menurunkan degradasi asam laktat dalam rumen.

10. Meningkatnya populasi fungi rumen yang nantinya terkait dengan peningkatan degradasi dinding sel tanaman.

11. Perubahan hydrogenisasi asam lemak yang disebabkan kurangnya penggabungan dari asam lemak tak jenuh didalam lemak protozoa dan kurangnya hydrogenisasi.

(50)

50

12. Menghilangkan choline phospatidyl, penyedia utama choline untuk ternak.

13. Gagalnya sintesa lysine oleh protozoa dalam rumen.

14. Peningkatan sensitifitas ternak terhadap keracunan herbisida.

15. Keracunan copper (Cu) kronis, akibat perubahan degradasi protein dalam rumen.

Menurut Demeyer (1988) daftar diatas tidak lengkap / cukup.

Misalnya defaunasi dengan bahan kimia mungkin terbukti fatal untuk ternak (toksisitas akut), menganjurkan barangkali adanya efek meracun yang belum diketahui sebagai akibat dari defaunasi. Selanjutnya disimpulkan bahwa dari uraian diatas jelas bahwa efek menyeluruh dari defaunasi pada produksi ternak akan ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk faktor pakan (kandungan tepung dan serat), populasi protozoa awal (ada atau tidaknya jenis holotrich), jenis produksi (pembatasan tersedianya protein mikroba) dan cara defaunasi (dengan kimia, nutrisi atau isolasi).

3.1. Beberapa Teknik Defaunasi yang Disarankan

Peran mikroba rumen yaitu protozoa, bakteri, fungi dan mikroba lainnya sampai saat ini masih merupakan “kotak hitam” oleh para peneliti dunia. Hal ini disebabkan karena banyak hasil penelitian yang hasilnya tidak konsisten dan masih diperdebatkan, terutama peran makluk kecil kecil tersebut yang hidup di dalam rumen (Nolan et al., 1988). Yang jelas dari berbagai informasi yang dikumpulkan (lihat buku The Role of Protozoa and Fungi in Ruminan Digestion oleh Nolan et al, 1988 dari buku Atlas of Rumen Microbiology oleh Ogimoto dan Imai 1981). Ternyata protozoa yang hidup dalam rumen mempunyai peran

(51)

51

aktif didalam proses pencernaan walaupun protozoa ini makan bahan makanan untuk ternak inang dan memakan bakteri yang hidup dalam rumen. Protozoa juga merupakan sumber N dan C bagi ternak inang.

Bakteri rumen juga berperan didalam pencernaan makanan dalam rumen dan juga merupakan sumber N dari ternak inang. Demikian pula peran fungi rumen yang sangat potensial sebagai pendegradasi bahan yang mengandung ligno-selulosa. Pencernaan terutama bahan makanan yang mengandung serat tapi belum jelas bagaimana potensi ini dipengaruhi oleh organisme lain (protozoa, bakteri). Rahasia ini masih banyak memerlukan informasi dan penelitian.

Menghilangkan ciliata secara komplit / total dari rumen sangat sulit dicapai (Bird, 1988). Menurut Bird (1988) ada 4 cara untuk membuat ruminansia bebas dari protozoa-ciliata: a). Isolasi ternak yang baru lahir; b). Di “loloh” dengan bahan kimia; c). Manipulasi zat makanan, dan d). Breeding dari induk bebas ciliata

3.1.1 Isolasi Ternak yang Baru Lahir

Ternak yang baru lahir tidak mempunyai protozoa dalam rumennya dan tidak membutuhkan protozoa dalam minggu pertama setelah lahir. Oleh karena itu ternak yang baru lahir ini dipisahkan dari induknya dan dipelihara di kandang isolasi maka selanjutnya tetap bebas dari ciliata. Teknik ini telah banyak dipergunakan sejak dulu (Pounden and Hibbs, 1950, Eadie and Gill, 1971). Yang perlu diperhatikan oleh peneliti adalah pada saat ternak kontrol diinokulasi dengan cairan rumen, ia akan menerima tidak hanya protozoa tapi juga menerima berbagai mikroorganisme dari ternak donor. Disamping itu harus pula dipertanyakan apakah ternak bebas ciliata yang dipisahkan dari induk

(52)

52

pada saat lahir mempunyai populasi mikroba yang “normal” pada rumennya. Eadie and Gill (1971) menyimpulkan hasil penelitiannya selama 12 bulan bahwa domba yang bebas ciliata sejak lahir tumbuh sebaik domba yang diinokulasi.

3.1.2. Meloloh (Drenching) Ternak dengan Bahan Kimia

Menurut Bird (1988) menghilangkan protozoa dari rumen dengan bantuan bahan kimia adalah metode yang paling sederhana dan potensial untuk mendapatkan ternak yang bebas ciliata. Bahan kimia yang sudah dipergunakan adalah coppersulfat (Becker and Everett, 1930), dioctyl sodium sulphosuccinat (manoxol) (Abou Akkada et al., 1962), nonyl phenol ethoxylate (Bird and Leng, 1978) dan sodium lauryl diethoxy sulphate (Burggraaf and Leng, 1980). Akan tetapi bahan kimia ini tidak spesifik meracun terhadap protozoa dan barangkali membunuh mikroorganisme lain dan sel ternak inang dalam rumen. Meloloh ternak dengan bahan kimia sering diikuti dengan menurunnya konsumsi pakan dan pertumbuhan ternak. Jadi peneliti dihadapkan pada dua pilihan yaitu meloloh semua ternak dan selanjutnya diinokulasi ulang atau meloloh ternak yang akan didefaunasi saja. Pilihan pertama dapat dikritisi bahwa tidak ada jaminan bahwa ternak yang diinokulasi ulang (kembali) adalah mewakili ternak yang tidak diberi perlakuan. Hasil penelitian Kayouli et al. (1984) menyarankan bahwa volume rumen dan barangkali fungsi rumen berubah pada ternak yang awalnya di faunasi dengan manoxol kemudian diinokulasi kembali dengan cairan umen. Orpin dan Letcher (1984) melaporkan bahwa defaunasi dengan monoxol meningkatkan 30%

volume cairan rumen dan menurunkan kecepatan aliran rumen sebanyak 36%. Pilihan kedua dapat dikritik bahwa perbedaan diantara ternak yang

(53)

53

diloloh dengan bahan kimia dan ternak kontrol tidak bisa diartikan penghilangan protozoa saja, karena bahan kimia ini juga mengubah komposisi populasi mikroba yang tersisa. Disamping itu ternak yang diloloh dengan bahan kimia akan menjalani kehilangan berat badan setelah diloloh dengan bahan kimia. Pengimbangan bahan kimia yang secara spesifik membunuh protozoa akan dapat mengurangi masalah ini.

3.1.3. Manipulasi Makanan

Makanan barley dalam bentuk kubus (diberi makan secara bebas) telah berhasil dipergunakan untuk defaunasi sapi muda (Whitelaw et al.

1972) dan rendahnya pH rumen barangkali bertanggungjawab terhadap matinya protozoa (Purser dan Moir, 1959). Yang mengherankan metode ini tidak banyak dipergunakan mungkin karena dengan metode me”loloh” dengan bahan kimia dianggap lebih aman dan cepat. Metode di atas harus diberikan pada ternak paling tidak 4 minggu untuk mencapai defaunasi yang efektif.

3.1.4. Bibit Ternak dari Induk yang Didefaunasi

Dalam kondisi tidak tersedia bahan kimia anti protozoa yang cocok, teknik ini baramgkali merupakan cara terbaik untuk menghasilkan ternak yang bebas ciliata. Masalah yang sama akan terjadi/muncul pada saat mendefaunasi induk tapi bila induk dapat didefaunasi pada awal kebuntingan, ekosistem mikroba mungkin kembali dan mendekati keadaan stabil sebelum melahirkan. Oleh karena itu keturunan yang dihasilkan dari induk yang terdefaunasi dan yang tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk mempunyai adaptasi mikroba rumen dari induknya. Cara lain yaitu menginokulasi sebagian keturunan yang bebas

(54)

54

ciliata dengan protozoa yang di dapat dari media in vitro, untuk meyakinkan bahwa inokulum hanya mengandung protozoa saja.

Semua ini tergantung tujuan kita apakah menuju komplete /defaunasi total atau menekan pertumbuhan protozoa sehingga terjadi keseimbangan dengan bakteri dan ternak inang dapat asupan bahan makanan optimal sehinga memberi pertumbuhan secara optimal pula pada ternak inang.

Seperti apa yang direkomendasikan oleh OECD-UNE dalam pertemuan International tentang The Role of Protozoa And Fungi In Ruminan Digestion 1988, salah satunya adalah bahwa perlunya pengembanan metode yang praktis dan murah untuk mendefaunasi rumen (atau paling tidak mengurangi jumlah protozoa). Termasuk didalamnya penggunaan toksin (racun) (sintetis atau alami), atau cara pemberian pakan yang dapat mengurangi jumlah protozoa.

Dari informasi yang ada maka upaya-upaya peneliti didalam mengurangi atau menekan pertumbuhan protozoa rumen dapat dilakukan:

a). Dengan menggunakan antibiotika; b). Dengan menggunakan bahan kimia/racun sintetik; c). Dengan menggunakan bahan alami yang mengandung defaunating substance / agent

3.2. Pengurangan/ Penekanan Populasi Protozoa dengan Antibiotika dan Bahan Perangsang Pertumbuhan Lain

Pemberian ionosphore monensin dan antibiotika avoparcin penggunaannya demikian luas pada industri peternakan sebagai perangsang pertumbuhan. Hal ini disebabkan kedua zat tersebut dapat meningkatkan asam propionat melalui efek mikroba rumen. Menurut

(55)

55

Habib dan Leng (1986) monensin dilaporkan dapat menurunkan jumlah protozoa.

Schlink et al. (1988) mempelajari pengaruh monensin (150 mg/ekor/hari), avoparcin (150gr/ekor/hari) atau kasein yang diberi formalin (250gr/ekor/hari) pada sapi dara yang diberi pakan dasar sorghum hay + molases. Dari hasil penelitiannya didapatkan jumlah bakteri, protozoa dan zoosphora fungi semuanya meningkat dan respon yang paling tinggi adalah pemberian kasein yang diberi perlakuan formalin.

Selanjutnya Watson dan Mottram (1988) melaporkan bahwa pemberian avoparcin (45mg/kg) meningkatkan pH dan populasi protozoa rumen dibanding dengan kontrol. McNabb et al.(1988) melaporkan pemberian Teric GN-9 (0,05g/kgBB/hari) langsung ke dalam rumen secara teratur menurunkan jumlah protozoa per ml cairan rumen pada domba. Secara keseluruhan (rata-rata dari seluruh pemberian 4 kali dalam 40 hari) penurunan mencapai 56%.

3.3. Teknik Pengurangan / Penekanan Populasi Protozoa Rumen dengan Bahan Kimia

Upaya untuk menekan / mengurangi populasi protozoa rumen telah dilakukan oleh peneliti dalam dan luar negeri. Sentana Putra (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan 12 ekor sapi Bali betina bunting. Sapi diberikan empat jenis pakan yaitu a). 70% rumput gajah + 30% gamal, b). 30% rumput gajah, 58% gamal + 12% waru; c). 75%

ransum B + 25% konsentrat dan d). Ransum c yang disuplementasi Zn- acetat. Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa penggunaan 12% daun waru (Hibiscus tilliaceus) dapat menurunkan jumlah protozoa

(56)

56

rumen sebanyak 32,2% (dari 8,14 x 104 sel/ml menjadi 5,51 x 104 sel/ml) dibandingkan dengan kontrol (D) kombinasi penggunaan 9% daun waru dengan Zn-asetat dapat menurunkan populasi protozoa rumen sebanyak 37,3%, yaitu dari 24,4 x 104 sel/ml menjadi 15,3 x 104 sel/ml dibandingkan dengan tanpa suplementasi Zn-asetat (C). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan dengan memberikan 12% daun waru (Hibiscus tilliaceus) selama 12 bulan jumlah protozoa pada sapi Bali bunting dapat diturunkan sebanyak 32,3% dan meningkatkan bakteri sebanyak 11,2%. Suplementasi Zn-asetat sebanyak 0,05% dapat menurunkan 37,3% protozoa dan meningkatkan jumlah bakteri rumen sebanyak 158,6%.

Thalib (2009) dalam penelitiannya menggunakan bahan kimia FeCl3, Na2SO4 dalam penelitian in vitro dengan mengunakan cairan rumen. Dilaporkan bahwa kedua bahan tersebut dapat dipergunakan untuk menurunkan populasi protozoa.

Fenn dan Leng (1998) dalam penelitiannya menggunakan alkanate 3SL3 (ICI-Australia) untuk mendefaunasi domba. Selanjutnya dilaporkan bahwa pada domba yang didefaunasi dan selanjutnya diberi ciliata (protozoa) pada rumen, pemberian bentonite tampaknya hanya mempunyai satu efek pada fungsi rumen yaitu jumlah protozoa lebih banyak dalam cairan rumen selama 24 jam. Penelitian ini menyarankan bahwa bentonite berpengaruh terhadap kemampuan protozoa untuk bertahan dalam rumen (catatan: bentonite adalah jenis liat monmorillonite yang halus ) (Fenn dan Leng, 1988).

Hanim et al (2009) dalam penelitiannya menggunkan kadar saponin yang berbeda yaitu 0 mg/ml; 0,1 mg/ml; 0,2 mg/ml; dan 0,3mg/ml sebagai agent defaunasi dalam fermentasi rumen in vitro.

Gambar

Gambar 1.  Fotomicrograph Epidinium caudatum (bentuk ovine dengan dengan punggung  belakang berbentuk curve)  yang dibiakkan secara in vitro  (Coleman, 1992)
Gambar 7.  Scanning micrograph elektro sel dari Ophyoscolex sp. (O. caudatus) yang  memendamkan dirinya pada mycelium fungi phyicomycetes rumen  (Coleman, 1992)
Table 4. Tanaman mengandung saponin yang digunakan sebagai pakan additive pada ruminansia

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang ditampilkan dalam bentuk peta yaitu kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT), populasi ternak, produksi susu, dan pakan tambahan yang diberikan di

(1988) menjelaskan bahwa palatabilitas bahan pakan mempengaruhi voluntary feed intake (pakan yang dimakan oleh ternak secara sukarela) suatu ternak, tetapi

Keunggulan penggunaan tepung bulu ayam untuk ternak ruminansia adalah sejumlah protein yang tahan terhadap perombakan oleh mikroorganisme rumen ( rumen undegranable/ RUP), dan

Apabila pakan yang diberikan defisien protein atau protein tahan degradasi oleh mikroba rumen, maka konsentrasi amonia rumen menjadi rendah dan hasilnya pertumbuhan

Ali, Usman. Pengaruh Penggunaan Onggok Dan Isi Rumen Sapi Dalam Pakan Komplit Terhadap Penampilan Kambing Peranakan Etawah. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas

Keuntungan yang diperoleh dari pemberian hijauan bersama pakan penguat adalah adanya kecenderungan mikroorganisme rumen memanfaatkan pakan penguat terlebih dahulu sebagai

Keuntungan yang diperoleh dari pemberian hijauan bersama pakan penguat adalah adanya kecenderungan mikroorganisme rumen memanfaatkan pakan penguat terlebih dahulu sebagai

Keuntungan yang diperoleh dari pemberian hijauan bersama pakan penguat adalah adanya kecenderungan mikroorganisme rumen memanfaatkan pakan penguat terlebih dahulu sebagai