• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ISLAM DI AMERIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II ISLAM DI AMERIKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

16 BAB II

ISLAM DI AMERIKA

A. Awal Perkenalan Islam dan Amerika

Amerika sudah mengenal Islam sejak awal masa kolonial, beberapa bukti menunjukan bahwa Christopher Columbus mampu membuat perjalanan terkenal ke Amerika dengan bantuan navigator Muslim1. Para founding fathers Amerika sejak dulu memang sudah akrab dengan budaya Islam dan sudah menjalin hubungan yang kuat dengan beberapa pemimpin negara-negara Islam. Beberapa di antaranya menjalin kesepakatan kenegaraan dengan negara-negara Islam seperti Maroko, Turki (Ottoman Tripolitania), dan Tunisia. Pada tahun 1777 Maroko adalah negara satu- satunya yang mengakui Amerika sebagai negara merdeka.

Selain itu, sejumlah besar budak yang dikrim ke Amerika dari Afrika terutama Afrika Barat, kebanyakan dari mereka adalah beragama Islam. Salah satu bukti peningglan komunitas Muslim di Amerika yaitu bangunan keilmuan Bangsa Moor atau The Moorish Science Temple of America (MST) tahun 1913, yang diklaim oleh keduanya sebagai peninggalan Bangsa Amerika dan Bangsa Maroko. Diperkirakan ribuan orang kulit hitam membentuk asosiasi dengan komunitas ini, yang mereka membentuk sebuah ciri khas dalam prinsip swadaya masyarakat2.

Islam sudah sekian lama mendapat tempat khusus di hati orang-orang Amerika, kehadiran Islam telah banyak memberikan kontribusi besar bagi kemajuan pembangunan negara yang menjadi naungan para imigran di era 90-an ini. Samier Mansur3, dalam artikelnya yang berjudul Unity Through Diversity : The American

1 Karam Dana dan Stephen Franklin “Islam In America” dalam Lawrence Pintak (Editor), Islam for Journalists: A Primer on Covering Muslim Communities in America, Columbia : Donald W.

Reynolds Journalism Institutes, 2013, hlm 104

2 ibid, hlm 105

3 Samier Mansur adalah pendiri LifeSafe, sebuah aplikasi seluler yang digunakan sebagai alat keselamatan masyarakat. Dia juga seorang tokoh pendiri sekaligus direktur dari Bangladesh Pluralism

(2)

17

Identity edisi 1 April 2014 menceritakan pengalaman pribadinya yang mengesankan mengenai hal ini. Ketika itu ia sedang melakukan penelitian di dalam sebuah ruang baca perpustakaan kongres di Washington, pengalamannya dimulai ketika matanya tiba-tiba tertuju pada kubah di atap ruangan tersebut yang tepat berjarak 160 kaki di atasnya, dan matanya langsung terpanah pada sebuah lukisan pada atap tersebut. Ia menggambarkan ketakjubannya ketika melihat sebuah lukisan laki-laki dan perempuan bersayap yang menyimbolkan beberapa peradaban dalam satu zaman, dan pengaruhnya dalam memberikan kontribusi bagi kemajuan peradaban Barat. Para tokoh-tokoh sejarah ini duduk mengelilingi satu tokoh dalam sebuah perunggu berwarna yang digambarkan dengan instrumen ilmiah dalam pose pemikiran yang begitu mendalam. Tokoh-tokoh sejarah tersebut mewakili beberapa peradaban, di antaranya yaitu peradaban Amerika, Prancis, Itali, Yunani, Mesir, Inggris, Spanyol, Jerman, Yahudi, Roma, dan Islam.

Faktanya, bahwa perpustakaan terbesar di dunia yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari gedung senat Amerika Serikat memberikan penghormatan yang begitu besar terhadap prestasi intelektual Muslim bersama kelompok lainnya sekaligus menegaskan prinsip utama dari identitas Bangsa Amerika. Amerika bukan hanya sebuah Bangsa yang lahir dari keragaman tapi juga menjadi bukti sebagai bangsa yang maju berkat keragaman. Dan hal ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah perencanaan. Sebetulnya, di hari yang sama pada saat ia menatap kubah di dalam ruangan tersebut, ia menemukan sebuah harta karun yang jauh lebih berharga pada waktu itu, yaitu ketika salah satu Muslim pertama yang menjadi anggota Kongres Keith Ellison, mengambil sumpah jabatannya menggunakan salinan kitab suci Al-Qur‟an milik Thomas Jefferson. Al-Qur‟an ini memiliki tanda

Project, sebuah organisasi yang mendukung keselamatan masyarakat sipil dan menangani pertikaian global di Bangladesh.

http://iipdigital.usembassy.gov/st/english/publication/2014/01/2014012391488.html#axzz3RLeDURJI (diakses pada 5 Mei 2015 pukul 11.42).

(3)

18

tangan dengan sebuah inisial “TJ” yang di pajang dalam perpustakaan tersebut4. Keith Ellison merupakan seorang Muslim yang menjadi anggota Kongres Amerika serikat sebagai perwakilan dari distrik-5 Minnesota. Perpustakaan kongres meminjamkan salinan langka Al-Qur‟an dalam bahasa Inggris yang pertama kali diterjemahkan secara langsung dari Bahasa Arab dan pertamakali di terbitkan di London sebagai jilid dua pada tahun 17645.

B. Migrasi ke Amerika

“The United States has been called a permanently unfinished country”6 dalam artikelnya Reed Ueda, profesor Departemen sejarah Universitas Tufts dan co-editor New Americans, mengatakan bahwa Amerika adalah negara yang belum permanen sepenuhnya dikarenakan dibangun dan terus di bangun kembali oleh para imigran.

Memang Amerika telah menjadi negara tujuan utama para imigran sejak abad 17 sampai saat ini, dan kehadiran para imigran ini mau tidak mau harus mendapat pengakuan lebih baik dari pemerintah maupun masyarakat Amerika.

Imigran datang ke Amerika dari berbagai penjuru dunia, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda mereka mempunyai alasan yang sama, sebagian berusaha untuk meninggalkan cara hidup lama sebagian yang lain berusaha untuk menemukan cara hidup baru. Ada yang melarikan diri dari kekerasan atau dari belenggu adat, kemiskinan, atau kurangnya kesempatan kerja. Mereka datang terutama dari Eropa pada abad ke-19 dan dari seluruh dunia terutama dari Asia, Afrika, Timur Tengah serta Amerika Tengah dan Selatan pada abad ke-20 dan 21. Seringkali mereka tiba

4 Samier Mansur, “Who are American Muslim “ dalam jurnal American Muslim, Jurnal of Embassy of the United States of America Bureau of international information programe U.S Department of State, hlm 14.

5 William Welty “Thomas Jefferson‟s Koran”

http://www.khouse.org/articles/2007/691/(diakses pada 3 juli 2015 pukul 20.17).

6 Reed Ueda, A Permanently Unfinished Country dalam buku E-Journal USA Becoming American : Beyond The Melting Pot, Washington DC: The Bureau of International Information Programs of The US Department of State, hlm 5

(4)

19

dengan hanya bermodal harapan7. Sampai tahun 1950 Amerika masih merupakan

“tanah harapan” yang menjanjikan banyak kesempatan bagi banyak orang, di mana Amerika merupakan tempatnya “gold grows on trees”8.

Pada awalnya mereka di terima dengan reaksi beragam, “warga baru” Amerika ini menemukan lahan baru yang luas dan membutuhkan tenaga mereka. Tetapi bagi beberapa orang yang belum terbiasa dengan adat istiadat dan agama yang dibawa para pendatang baru ini, mereka diperlakukan sebagai orang asing yang diyakini tidak akan bisa benar-benar menjadi warga Amerika. Namun sebenarnya mereka keliru, dengan kebebasan, keyakinan, dan kerja keras, setiap gelombang imigran telah menyumbangkan sesuatu yang khas bagi bangsa Amerika yang memperkaya masyarakat dan budaya Amerika, serta membentuk masyarakat yang dinamis.

Disamping keberhasilan para imigran dalam memberikan sumbangsih terhadap pembangunan negara, ternyata lika-liku kehidupan menjadi seorang imigran di negara yang plural menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah Amerika khususnya dan umumnya bagi masyarakat dunia. Bagi para pendatang tentunya tidak akan mudah untuk langsung beradaptasi dengan lingkungan baru yang serba asing, salah satu tantangan yang paling mendasar yaitu bagaimana komunitas para imigran dengan kehidupan mereka yang sangat berbeda dari penduduk Amerika dan yang lainnya bisa belajar bersikap secara kolaboratif di bawah kondisi keterbukaan, perubahan dan pilihan. Sebenarnya pemerintah Amerika telah menawarkan solusi mengenai permasalahan ini dengan membuat peraturan hukum dalam memperluas kesempatan bagi para imigran untuk mendapatkan pendidikan dan melakukan mobilitas sosial.

Pemerintah juga memberi kebebasan bagi para imigran untuk melakukan aktivitas sosial dan asosiasi kemasyarakatan. Nyatanya, imigrasi telah memicu munculnya perubahan sosial budaya yang tidak hanya menjadikan Amerika sebagai sebuah

7 Howard Cincotta Dkk, Kisah Muslim di Amerika, Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2008, hlm 5

8 John O. Voll, “Islamic Issues for Muslim in the United States” dalam buku yang ditulis oleh Yvone Yazbeck Haddad, The Muslim of America, New York : Oxford University Press, 1991, hlm.

218

(5)

20

komunitas bangsa tetapi juga sebagai konstelasi dari berbagai komunitas lokal yang ditandai dengan prbedaan kelas, ras, agama dan budaya.

Pada tahun 1840 rata-rata 170.000 imigran sampai ke Amerika setiap tahunnya, dan sampai tahun 1850 sepuluh persen dari total populasi penduduk negara yaitu 23000.000 adalah penduduk asing. Dari tahun 1840 sampai masa perang sipil, imigran Katolik Irlandia melarikan diri ke Amerika dari musibah kelaparan di negaranya, yang pada akhirnya memacu pertumbuhan jumlah penduduk di kota-kota besar. Orang-orang Jerman, Belanda, dan Scandinavia, bermigrasi ke wilayah Barat Amerika di mana keluarga petani mereka mengembangkan wilayah ekonomi pertanian. Mereka sering membentuk komunitas pedesaan yang mereplikasi desa- desa mereka sendiri seperti yang ada di Norwegia, Swedia, Jerman, dan Belanda.

Emigrasi dari China Tenggara juga meningkat selama periode tersebut. Para petani dan tenaga kerja yang keluarganya sudah tinggal untuk beberapa generasi, di sekitar Hongkong juga ikut bermigrasi ke Amerika untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka.

Dalam satu dekade pasca perang sipil, arus imigran sudah mencapai puncak baru. Pada tahun 1880 lebih dari 500.000 imigran berdatangan setiap tahunnya.

Mayoritas dari mereka berasal dari Irlandia, Jerman, Skandinavia, dan Belanda.

Inggris dan Kanada juga menyuplai banyak pendatang ke Amerika. Pada tahun 1890 sebuah pola keimigrasian Eropa mulai bergeser dari utara dan barat Eropa ke selatan dan timur Eropa, membawa orang-orang Itali, Yunani, Slavia dan Yahudi dari Eropa timur dan Rusia, yang di beri julukan sebagai new immigrants oleh koran hari itu.

Jumlah imigran yang tiba di Amerika setiap tahunnya mengalami kenaikan.

Kekhawatiran akan meningkatnya rekomposisi para imigran di Amerika, memunculkan beberapa opini agar pemerintah memberi pengecualian terhadap imigran dari Asia, dan pemberlakuan terhadap sistem quota berdasarkan asal negara untuk mengurangi jumlah imigran dari Eropa, khususnya bagi negara-negara bagian selatan dan Eropa Timur.

(6)

21

Kemudian Pada tahun 1924, pemerintah memutuskan untuk mengesahkan dan menetapkan undang-undang baru mengenai pembatasan kuota bagi imigran yang datang ke Amerika. Dari tahun 1930 sampai tahun 1960 imigrasi memainkan peran kecil saja dalam kehidupan Amerika. Sistem kuota sangat terbatas dalam menerima orang asing secara legal. Setelah Perang Dingin berakhir, Amerika Serikat mulai mengakui kedatangan para pengungsi, namun sistem kuota untuk para imigran tetap dibatasi. Titik baliknya terjadi pada tahun 1965 dengan penerapan hart-celler tindakan keimigrasian9.

Pada 1965, satu undang-undang keimigrasian baru membawa perubahan besar dalam pola kedatangan warga baru Amerika. Kuota asal-usul kewarganegaraan tidak lagi menentukan siapa saja yang bisa datang. Sebagai gantinya dibuat sejumlah kategori berdasarkan hubungan keluarga dan keterampilan kerja. Dengan perubahan ini, angka imigrasi melonjak, dan untuk pertama kalinya sejumlah besar umat Islam dari Asia Selatan dan Timur Tengah datang ke Amerika Serikat. Mereka tiba di sebuah negara yang sangat berbeda dari apa yang ditemui oleh para imigran abad ke- 19, namun tetap, para warga baru Amerika ini menghadapi tantangan yang juga dihadapi para imigran terdahulu, yakni menentukan tempat mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Amerika10.

C. Perkembangan Islam di Amerika

Kebanyakan dari sejarah Islam di Amerika dimulai dengan kisah imigran dari Timur Tengah yang datang ke Amerika untuk mencari peruntungan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mayoritas dari orang-orang Arab tersebut beragama Kristen, sedikit kelompok Sunni, Syiah, Alawi,dan Druze. Dengan bermigrasi ke Amerika mereka

9 Reed Ueda, A Permanently Unfinished Country dalam buku E-Journal USA Becoming American : Beyond The Melting Pot, hlm 6.

10 Howard Cincotta Dkk. Kisah Muslim di Amerika, hlm 5.

(7)

22

berharap bisa mengumpulkan banyak uang dan kembali ke negaranya masing- masing11.

Masa-masa ini merupakan periode dengan prosentase tertinggi dari kedatangan para imigran Muslim, banyak yang meninggalkan tanah air mereka karena alasan politik dan ekonomi. Secara perlahan jumlah dari para imigran mulai meningkat, mereka menetap di seluruh Amerika baik di wilayah besar perkotaan maupun di wilayah pedesaan. Apalagi semenjak berakhirnya perang dingin, bertepatan dengan runtuhnya kekaisaran Turki dan pada masa awal pemerintahan Kolonial Barat di tanah Arab, gelombang imigran terus berdatangan dari Timur Tengah. Salah satu wilayah yang menjadi incaran paling populer para imigran yaitu kota Detroit12 dan dari mereka banyak juga yang tinggal di dekat Dearborn yang kemungkinan juga di tarik oleh banyak industri mobil disana.

Sedangkan versi lain mecatat bahwa imigran Muslim yang paling awal sampai di Amerika adalah para budak yang didatangkan dari Afrika sekitar tahun 150113. Dan untuk menentukan angka mutlak dari jumlah imigran yang datang tersebut ditemukan beberapa perbedaan pendapat, seorang sarjana ternama Allan D. Austin14

11 Jane I. Smith, Muslims, Christians, and The Challenge of Interfaith Dialogue, New York : Oxford University Press, 2007, hlm 42

12 Kota yang dijuluki The Motor City atau Renaissance City ini merupakan kota yang memiliki potensi sangat besar dalam bidang industri modern. Bahkan kota ini disulap menjadi ibu kota

“permobilan” dunia oleh Henry Ford yang merupakan salah seorang perancang mobil model T dan sebelumnyapun kota ini telah dijadikan sebagai pusat industri senajata militer paska perang dunia I.

http://id.wikipedia.org/wiki/Detroit(diakses pada15 Mei 2015 pukul 11:58)

13 Daniel Pipes, Face of American Islam : Muslim Immigrant “The oral presentation of the study at a panel organized by the Center for Immigrants Studies”, 2002.

http://www.danielpipes.org/453/muslimimmigrants-in-the United States (diakses pada 3 Maret 2014 pukul 11.41)

14 Allan D. Austin sudah banyak melakukan penelitian khusus mengenai warga Afrika-Amerika dan salah satu karya terbaik dari sarjana lulusan University of Massachusetts ini yaitu African Muslim in Antebellum America : A Sourcebook 1984, ia meneliti fragmen dari bukti yang ditinggalkan dan menggambarkan para budak Muslim Afrika dengan sangat jeli.

https://books.google.co.id/books/about/African_Muslims_in_antebellum_America.html?id=nFD3vlbjj xUC&hl=id (diakses pada 5 Mei 2015 pukul 9.14)

(8)

23

berpendapat bahwa jumlah imigran Afrika tersebut adalah 40.000 untuk wilayah Amerika Serikat saja, sedangkan Sylviane Diouf15memperkirakan antara 2.25 sampai 3 juta jiwa untuk keseluruhan Amerika. Para pemilik budak Afrika ini terkadang terlihat sedikit menghargai kebudayaan dari agama budak tersebut. Tapi mereka membenci Agama Islam dan melakukan apa saja untuk mencegah regenerasi Islam terhadap generasi budak berikutnya. Oleh karena itu Islam berusaha dihilangkan pada tahun 1860-an atau setelah dua generasi pengimporan budak ke Amerika.

Seperti kebanyakan komunitas imigran lain, Muslim merupakan komunitas paling muda dibanding komunitas lainnya, dan lebih banyak terdiri dari laki-laki dengan perbandingan sekitar 2 laki-laki untuk 1 perempuan , dikarenakan beberapa dari mereka yakni banyak terdiri dari orang-orang Afrika-Amerika yang mengonversi sebuah populasi, dan hal lain yang berkaitan dengan pola umum keimigrasian yang mana mencatat bahwa laki-laki lebih banyak berpindah ke suatu wilayah sebelum para wanita mengikutinya16. Adapun faktor spesifik lainnya yaitu beberapa ribu mantan tentara Iraq yang membelot selama dan setelah perang Teluk, memilih untuk menetap di Amerika dan mengalami perkembangan pesat dengan tingkat kelahiran yang sangat tinggi.

15 Diouf telah mendedikasikan hidupnya untuk melakukan penelitian tentang orang-orang Afrika dengan menghasilkan karya-karya yang gemilang sehingga dianugerahi berbagai penghargaan seperti bukunya yang berjudul Dreams of Africa in Alabama : The Slave Ship Clotilda and The Story of The Last African Brought to America mendapat penghargaan (Oxford University Press, 2007) The Wesley-Logan Prize dari Asosiasi Sejarah Amerika dan The James Sulzby Award dari Asosiasi Sejarah Alabama dan juga menjadi finalis untuk The Hurston Legacy Award. Buku lainnya yang berjudul Servants of Allah : African Muslim Enslaved in The Americas (New York University Press, 1998) menerima penghargaan sebagai penulis dengan pengangkatan terrinci mengenai studi imigran Muslim Afrika di Amerika dari Abad ke 16 sampai abad ke 19 dan telah diterbitkan kembali pada tahun 2013 dalam bentuk edisi revisi.https://en.wikipedia.org/wiki/Sylviane_Diouf(diakses pada 5 Mei 2015 pukul 10.29)

16 Dniel Pipes, Face of American Islam, for the oral presentation of this study at a panel organized by the center for immigration studies, hlm 3

(9)

24

Menurut data sensus yang dilakukan oleh Cornell University Zogby International pada Agustus tahun 2000 di Amerika Serikat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

Adult Age

American Muslim1

American Muslims2

Total Americans3

18-29 39.8% 26.1% 14.1%

30-49 49.5% 52.4% 31.1%

50-64 6.4% 16.7% 27.7%

65+ 1.0% 4.8% 27.2%

Dari keterangan pada tabel diatas dapat dismipulkan bahwa :

 67% dari Muslim Amerika dewasa berusia dibawah 40 tahun

 67% dari populasi penduduk Amerika dewasa berusia lebih dari 40 tahun17. Muslim Amerika cenderung memilih tinggal di kota-kota metropolitan di mana para imigran sudah berdomisili, termasuk kota-kota besar seperti New York, Los Angeles, Chicago. Lebih luas lagi The Islamic Map of The United States memiliki empat wilayah utama, semua kota dari New York ke wilayah Washington : California, ksusunya Los Angeles dan San Francisco, Chicago, Cleveland, Detroit, Texas, Houston dan Dallas. Sedangkan bagian barat laut dan tenggara hanya dihuni sedikit imigran Muslim kecuali di bagian selatan Florida. Banyak di antara pusat- pusat kota yang memiliki etnik yang spesifik. Contohnya, khusus untuk California banyak dihuni oleh orang-orang Iran kemudian ada juga Los Angeles mungkin menjadi kota kedua terluas populasi Irannya setelah Teheran. Sedangkan Texas lebih banyak dihuni oleh orang-orang Asia Selatan, kemudian di Chicago terdapat

17 http://www.allied-media.com/muslim_americans/muslim_american_demographics.html (diakses pada 10 Mei 2015 pukul 14 : 58)

(10)

25

komunitas orang-orang dari Timur Eropa seperti orang Albania, Bosnia, dan Turki.

Dan Detroit merupakan kota dengan konsentrasi populasi Arabnya yang kebanyakan datang dari Lebanon, Iraq, Palestina dan Yaman18. Gelombang imigran muslim, pengungsi dan pencari suaka telah membawa warga baru dari setiap belahan dunia Muslim, yang telah membentuk sebuah komunitas yang unik dalam sejarah dunia.19

D. Heterogenitas Muslim dan Pluralitas Bangsa Amerika

Banyak orang-orang Barat yang beranggapan bahwa Islam berarti Arab dan Agama Timur Tengah. Memang benar bahwa komunitas Islam pertama adalah orang-orang Arab, kemudian Al-Qur‟an dan Hadits dan banyak lagi sumber-sumber Islam klasik lainnya ditulis dalam Bahasa Arab. Di negara Muslim manapun, setiap Muslim melaksanakan ibadah mereka dengan menggunakan bahasa Arab, dan menghadap ke arah Ka‟bah di Mekah yang berada di tanah Arab pula.

Meskipun sejarah dan Bahasa Arab memiliki tempat yang istimewa dalam peradaban Islam, namun faktanya saat ini etnis Arab hanya sekitar 20 % saja dari 1.7 miliar populasi Muslim dunia. Bahkan konsentrasi populasi Muslim terbesarpun tidak ditemukan di wilayah Timur Tengah, melainkan di wilayah Asia Selatan seperti Pakistan, Bangladesh, dan India yang merupakan rumah bagi hampir stengah miliar Muslim dunia20. Dengan 2.25 miliar warga negara, 88 % adalah Muslim dan salah satu negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di seluruh dunia. Tidak hanya itu, populasi Muslim dunia saat ini mengalami penigkatan jumlah yang pesat di bagian sub-Sahara Afrika dan bagian Barat Eropa.

18 Ibid, hlm 4.

19 Jane I Smith. Muslim, Christian, And The Challenge of Interfaith Dialogue, hlm xi.

20 Robert W. Hefner. The Many Face of Islam : Cultural Unity and Diversity in the Muslim World dalam Islam For Journalist : A Primer on Covering Muslim Communities in America, hlm 33- 34.

(11)

26

Begitupun sama halnya dengan Muslim Amerika, yang setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah yang cepat. Karena Amerika Serikat tidak mendata populasi berdasarkan agama, maka tidak ada data resmi mengenai jumlah penduduk Muslim Amerika Serikat. Namun diperkirakan jumlah mereka antara dua sampai tujuh juta jiwa atau bahkan lebih. Dari jumlah tersebut, sekitar 34 % dari Pakistan atau Asia Selatan dan 26 % dari negara-negara Arab. 25 % warga Muslim Amerika adalah pribumi, yang sebagian besarnya keturunan Afrika21. Survey tahun 2011 terhadap mesjid-mesjid yang dilakukan beberapa organisasi Muslim dan para sarjana keagamaan menunjukan bahwa Muslim dari Asia Selatan membuat jumlah paling besar dalam menghadiri mesjid-mesjid di Amerika Serikat. Hal ini sekaligus menegaskan kembali bahwa jumlah Muslim Amerika paling besar berasal dari Asia Selatan. Berikut adalah hasil penelitian terhadap jumlah pengunjung mesjid di seluruh Amerika serikat

South Asians Arabs African-Americans Other

Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah dari Muslim Afrika-Amerika selama dekade 2000-2010, penurunan dari segi jumlah ini juga diikuti dengan penurunan jumlah mesjid dimana sebelumnya Muslim Afrika- Amerika menjadi mayoritas. Di tahun-tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah Muslim Afrika-Amerika, hali ini menunjukan adanya pergeseran yang mencerminkan gelombang imigrasi baru khususnya dari Iran, Afrika Barat, Somalia dan Bosnia.

Keragaman populasi Muslim ditunjukan dalam sebuah temuan penelitian bahwa hanya 3% dari beberapa mesjid di Amerika yang melayani satu kelompok etnis22.

21 Daniel Pipes, Face of American Islam. Oral presentation of this study at a panel organized the Center for Immigrant Studies, hlm 2.

22Op.Cit, Karam Dana dan Stephen Franklin, “Islam In America”, hlm 98.

24%

27% 16%

33%

(12)

27

Imigran Muslim Amerika secara etnis sangat bervariasi, mereka berasal dari hampir setiap negara dimana Muslim hidup23, bahkan untuk ukuran Amerika.

Berbeda dengan kelompok imigran lain, warga Muslim Amerika tidak dapat didefinisikan menurut ras atau kebangsaan. Keragaman warga Muslim Amerika mungkin lebih luas, mereka datang dari berbagai wilayah di Asia Selatan, Timur Tengah, Asia Tenggara, daerah Balkan, Eropa, Afrika, Serta kelompok Muslim Hispanik yang populasinya kecil namun mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini menambah keberagaman dalam populasi Muslim Amerika. Mereka tidak hanya terdiri dari para imigran, banyak diantara mereka juga yang merupakan orang-orang kelahiran asli Amerika yang melahirkan komunitas yang baru pula. Dengan kata lain, kisah Muslim Amerika tidak hanya bercerita seputar imigrasi dan Amerikanisasi tetapi merupakan bagian dari salah satu tema yang paling besar dalam sejarah Amerika, yakni perjuangan demi kesetaraan ras24.

Masjid- masjid serta lembaga-lemaga sosial dan budaya Muslim tersebar di seluruh penjuru Amerika Serikat, baik di perkotaan maupun pedesaan. Salah satunya seperti yang terdapat di kota Dearborn, sebuah kota di negara bagian Michigan adalah daerah dengan populasi keturunan Arab terbesar di Amerika Serikat. Komunitas Muslim Arab di Amerika Serikat ini mencerminkan beberapa agama dan divisi sektarian dari seluruh populasi Arab dunia, mereka terdiri dari berbagai etnis minoritas seperti : Armenia, Assyiria, Chechen, Circassians, yang mengalami program Arabisasi pemerintah Arab sejak masa kemerdekaan mereka 25.

Selain itu terdapat pula Musium Kebudayaan Islam Internasional sebagai Musium sejarah Islam pertama yang ada di Amerika, yaitu tepatnya berada di distrik Seni Jackson di negara bagian Mississippi. Bahkan daerah Brooklyn New York disebut sebagai wilayah Arabia kecil, disana akan banyak dijumpai warga Muslim

23 Jane I. Smith. Muslim, Christians, and The Challenge of Interfaith Dialogue, hlm. 41.

24 Howard Cincotta Dkk. Kisah Muslim di Amerika, hlm 8.

25 Yvone Hasbeck Haddad, Not Quite American?, Texas : Baylor University Press, 2004, hlm.6.

(13)

28

keturunan Arab, gadis-gadis Muslim berlalulalang pergi berbelanja mengenakan baggy jins, kaos panjang dan kerudung hitam. Lain lagi dengan yang akan dijumpai di wilayah Atlanta Georgia, ratusan orang akan meninggalkan pekerjaan mereka setiap jum‟at siang, yang kemudian disebut sebagai hari libur Muslim atau Muslim Sabbath. Kemudian di Dearborn Michigan dimana sepertiga dari siswanya adalah Muslim, semua kafetaria disana dilarang menyediakan daging babi yang mana memang dilarang dikonsumsi dalam agama Islam26. Inilah wajah Islam di Amerika, dimana suatu agama bisa dengan cepat memegang iman utama salah satu bangsa.

Warga Muslim dari Asia Selatan dan Afrika membentuk komunitas yang terus berkembang di wilayah New York dan New Jersey. Sejumlah besar warga Somalia telah menetap di Minneapolis dan St. Paul, Minnesota, sementara California Selatan merupakan wilayah dengan populasi keturunan Iran terbesar di Amerika Serikat.

Namun komunitas-komunitas etnis yang berbeda ini tidaklah monolitik. Banyak diantara warga keturunan Arab yang tinggal di Dearborn dan di daerah-daerah lain adalah penganut Kristen, sementara sebagian warga keturunan Iran yang tinggal di Los Angeles beragama Yahudi. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa Amerika merupakan salah satu tuan rumah yang memiliki masyarakat paling beragam di dunia27. Sebagai satu agama yang tidak memandang warna kulit, ras, asal dan bahasa, rasanya hampir tidak mungkin untuk menggambarkan potret Muslim Amerika yang berasal dari seluruh dunia.

Dalam urusan madzhab seperti kebanyakan negara Muslim di seluruh dunia, mayoritas Muslim Amerika adalah penganut Sunni28, meskipun ada sejumlah besar penganut Syi‟ah yang presentase populasinya di perkirakan jauh lebih besar dari pada di wilayah Arab lainnya, dikarenakandan terjadinya peperangan di wilayah asal

26 Artikel oleh Hertbert Buchsbaum. Islam In America : The Second Largest Religion in the World has become the fastest growing religion in America, Edisi Oktober 1993, hlm 15.

27 M. A. Muqtedar Khan . “American Exceptionalism and American Muslim” dalam artikel The Review of Faith & International Affairs, London : University of Delaware, 2013, hlm 59.

28 Jane I. Smith, Muslims, Christian, and the Challenge of Interfaith Dialogue, hlm 41.

(14)

29

mereka yaitu seperti di wilayah Iraq bagian Utara dan Lebanon. Beberapa yang termasuk dari kelompok Syiah tersebut diantaranya : Ithna‟Ashariyah (atau Ja‟fariyah ) dari Iraq, Lebanon dan Syiria; Isma‟Ilis dari Syiria; Zaidis dari Yaman, Alawis dari Lebanon dan Syiria, dan Druze dari Israel, Lebanon, Palestina dan Syiria. Semua kelompok-kelompok ini telah membentuk organisasi masyarakat khas mereka sendiri di Amerika Serikat. Secara umum mereka menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni. Tapi pernah ada satu kesempatan ketika mereka melakukan ibadah di mesjid yang sama, justru malah terjadi ketegangan yang mempersoalkan apakah anggota anatara kedua kelompok ini bisa saling menikah atau apakah bisa saling mendoakan jika ada salah satu anggota kelompok ada yang meninggal dunia29. Selain kedua kelompok diatas, adapula kelompok-kelompok yang secara aktif mengikuti tradisi sufi. Tradisi ini pertamakali dibawa oleh pir Hazrat Inayat Khan pada tahun 1910, kelompok sufi yang terkenal di Amerika diantaranya yaitu kelompok sufi Bawa Muhaiyaddeen di Philadelphia dan kelompok sufi Naqshabandi di California30. Ada juga beberapa diantara mereka yang masih memiliki pandangan konservativ dalam menjalani kehidupan keagamaan dan tetap menjaga adat asli dari negara asal mereka. Sementara yang lain ada yang berusaha membuat nyaman kegiatan ibadah mereka sesuai dengan kondisi masyarakat Amerika sendri. Terlepas dari keragaman ini, kata Paul Barrett, seorang penulis buku Islam Amerika. Bahwa di Amerika, “segala perbedaan yang mungkin tumbuh besar di negara lain „dicairkan‟

dalam kolam pluralisme yang menjadi cirri khas masyarakat Amerika. Banyak imigran yang mengambil langkah ambisius menyebrangi Benua dan Samudera karena mereka ingin melarikan diri dari antagonisme dunia lama mereka, melanjutkan pendidikan, melakukan perbaikan ekonomi, dan meraih kehidupan yang lebih memberikan harapan bagi anak-anak mereka.” Bentuk-bentuk keyakinan yang progresif, peran yang lebih penting bagi perempuan, bahkan evolusi terbaru yakni

29 Yvone Hasbeck Haddad, Not Quite American?, hlm 6.

30 James A. Baverley, Islamic Faith in America, New York: The Shoreline Publishing Group LLC, 2003, hlm 26.

(15)

30

pembangunan masjid-masjid raksasa yang ukurannya menandingi gereja-gereja Kristen Evangelis adalah salah satu karakteristik Islam Amerika yang unik dan cepat berkembang31.

Pada tahun 2009 Gallup Muslim and American public opinion survey, menemukan beberapa fakta mengenai Muslim Amerika, diantaranya yaitu :

 Muslim Amerika merupakan kelompok agama yang terdiri dari ras paling beragam di Amerika Serikat

 Delapan dari sepuluh orang Muslim Amerika mengatakan bahwa agama memainkan peran penting dalam kehidupan mereka, sebuah prosentase yang melebihi bangsa Mormon.

 Dibandingkan di negara-negara Barat lainnya dan negara mayoritas Muslim lainnya, Muslim Amerika umumnya merasa lebih puas dengan kehidupan mereka.

 Sementara Muslim Amerika lebih religius dari pada yang lainnya, agama memainkan peran kecil dalam kehidupan mereka daripada mereka yang tinggal di negara mayoritas Muslim.

 Muslim wanita paling tidak seperti Muslim laki-laki menempuh pedidikan perguruan tinggi atau mendapat gelar sarjana.

 Frequensi kehadiran Muslim wanita di mesjid kurang lebih sama dengan laki- laki, hal ini mungkin kontras dengan perempuan di banyak negara mayoritas Muslim pada umumnya yang mungkin lebih sedikit dibandingkan laki-laki untuk menghadiri ibadah pada minggu terakhir.

 Setelah orang Yahudi Amerika, Muslim Amerika merupakan komunitas agama paling terdidik32.

31Howard Cincotta, Kisah Muslim di Amerika, hlm 22.

32 Karam Dana dan Stephen Franklin“Islam In America” dalam buku Islam For Journalists: A Primer on Covering Muslim Communities in America, hlm 102-103.

(16)

31

Amerika merupakan mikrokosmos dari seluruh Muslim di dunia. Dengan berbagai identitas kebangsaan termasuk elemen-elemen di dalamnya seperti kebudayaan, ras, dan keragaman sektarian di seluruh dunia Muslim, semuanya berbaur secara bersamaan dalam satu wadah dan masing-masing dari mereka akan menemukan perbedaan tersendiri yang terletak di bawah permukaan keimanan mereka. Semua keragaman ini tidak berarti tidak di ikuti permasalahan pula, meski bernaung dalam satu keyakinan tapi perbaedaan tetaplah sebuah pebedaan yang akan menimbulkan perdebatan walau sekecil apapun itu. Misalnya Muslim dari Arab terkadang menampilkan sikap tidak sabar yang berujung pada kearogansian terhadap kegiatan ibadah Muslim lainnya.

Ada juga persoalan yang dilatar belakangi karena perseteruan politik negara masing-masing, contohnya seperti apa yang terjadi dengan Muslim dari Iran dengan Muslim dari Iraq yang tidak pernah melupakan permusuhan antara kedua negara tersebut. Perang berdarah antara Iran dan Iraq (1980 -1988), atau Quwait yang belum bisa memaafkan Iraq atas pendudukan negara mereka ( 1990-1991).

Tidak sampai disitu, religiusitas juga menjadi permaslahan lain. Perdebatan antara Muslim Sunni dan Syiah juga hampir tidak berujung dan tidak jarang menimbulkan efek yang cukup serius. Misalnya yaitu, para orang tua Muslim tidak akan keberatan jika anak laki-laki mereka menikah dengan wanita kulit putih Amerika manapun, tapi mereka akan keberatan jika anak mereka menikhi gadis yang memiliki pandangan atau pemikiran agama yang berbeda dengan pemikiran agama mereka atau dari suku yang berbeda. Seperti Punjabi, Sindhi, Pathan, Arab vs non- Arab, Afro-American vs Imigran, atau bisa juga dari kelas yang berbeda misalnya Muslim yang memiliki status khusus dalam dirinya seperti “Syed”(julukan bagi orang yang merupakan keturunan langsung dari nabi Muhammad) tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang tidak setara kelasnya meskipun mereka adalah sesama Muslim. Dan sampai saat ini Muslim Sunni dan Syiah memiliki tempat ibadah yang

(17)

32

berbeda pula33. Disana juga terdapat beberapa macam kelompok keacil yang non- konfromis terhadap Islam seperti kelompok Alevi dari Turki, dimana terdapat banyak Muslim mainstream yang sesat. Meskipun demikian dibandingkan dengan ratusan gereja yang memiliki perbedaan pasca reformasi Eropa, Islam telah berhasil mempertahankan ukuran kohesi yang menakjubkan bahkan mampu menyesuaikan diri dengan beragam orang dan budaya34.

Di Amerika, sebuah perbedaan secara umum memang jauh lebih bisa diterima di banding di negara Barat lainnya. Muslim memiliki ruang sendiri untuk mengembangkan aktivitas keagamaanya dan tetap selaras dengan adat istiadat masyarakat Barat35. Selain kebebasan untuk mengekspresikan diri, latar belakang Amerika yang lebih multikulturalah yang mendorong para imigran Muslim untuk bisa beradaptasi dengan mudah di negara ini. Contohnya, bantuan pemerintah di Eropa untuk kesejahteraan menempatkan kaum Muslim dan imigran untuk terus menerus hidup dalam posisi yang kurang menguntungkan dalam masyarakat, tanpa pekerjaan tetap atau tanpa interaksi sosial dengan mayoritas warga. Hal inilah yang membedakan perkembangan Muslim di Amerika dan Eropa. Muslim Amerika lebih dapat memanfaatkan berbagai kesempatan yang tersedia dan lebih dapat diterima oleh kalangan masyarakat yang lebih luas36.

Dari dulu dasar pluralisme agama memang sudah diletakan dalam konstotusi Amerika, dan yang harus di garis bawahi adalah bahwa hukum dasar ini tidak mengatakan apa-apa tentang tuhan (agama), faktanya hal tersebut hanya di singgung satu kali saja dan justru mengarah pada konotasi negatif mengenai agama yaitu

33 Daniel Pipes, Face of American Islam, for the oral presentation of this study at a panel organized by the center for immigration studies, hlm 11.

34 Robert W. Hefner. “The Many Faces of Islam: Cultural Unity and Diversity in The Muslim World” dalam buku Islam for Journalists: A Primer on Covering Muslim Communities in America, hlm 35.

35 Youssef Chouhoud. Muslim American Exceptionalism: Contextualizing religiosity among young Muslim in America, hlm 36.

36 Eko himawan, Tesis Islamofobia Di Amerika Pasca 11 September 2001 : Kasus Kapten James Yee, Universitas Indonesia Jakarta : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2008, hlm 16.

(18)

33

peraturan yang melarang setiap tes agama untuk memegang jabatan publik. Esensi dari pandangan para founding father mengenai hal ini adalah komitmen konstitusional untuk kebebasan beragama, yang dipahami sebagai kebebasan dari tradisi keagamaan dan kebebasan dari agama apapun. Komitmen ini di tambah lagi dengan tidak ada penegakkan terhadap klausul agama, hal ini lebih kusus lagi dinyatakan dalam amandemen pertama yaitu “bahwa kongres tidak akan membuat hukum yang menghormati keberadaan agama atau melarang pelaksanaan daripadanya”. Beberapa kritikus mengatakan bahwa dalam hal ini pendekatan negatif tetap menjadi fitur yang menonjol. Namun, kebanyakan sarjana mengidentifikasi bahwa terdapat sebuah kerangka yang menguntungkan untuk tipe unik dari pluralisme agama.

Selama lebih dari dua abad, dua prinsip yang mengangkat “dinding pemisah”

yaitu “melindungi negara dari agama dan agama dari negara”, justru menstimulasi pengembangan terhadap sebuah keragaman yang mengesankan serta adanya kompetisi dan interaksi gereja dan organisasi-oragnisasi keagamaan.

Sebuah keragaman agama besar telah berkembang di Amerika Serikat. Ketika bangsa ini didirikan, keragaman tersebut pada mulanya dilembagakan hanya sebagai denominasi pluralisme dalam agama Protestan. Secara bertahap agama yang lain juga telah tergabung dalam sistem tersebut, tidak hanya Katolik tapi juga Yahudi, dan baru-baru ini Budha dan Islam dan seterusnya. Menurut hasil suvey yang dilakukan oleh The Pew Forum on Religion and Public Life pada tahun 2008, afiliasi keagamaan di Amerika sangat beragam dan sangat mudah mencair (extremely fluid)37.

E. Kronologi Tragedi 11 September 2001

Untuk beberapa tahun yang akan datang, orang-orang Amerika akan bertanya satu sama lain. “Dimanakah anda berada ketika anda mendengar tentang tragedi

37 Liliana Mihut, “Two Face of American Pluralism : Political and Religious” dalam Journal for The Study of Religions and Ideologies vol 11 issue 33, Romania : Babes-Bolyai University, 2012, hlm. 47- 49.

(19)

34

World Trade Center?”. Pada saat itu, menara kembar World Trade Center di Manhattan dihantam oleh dua buah pesawat komersial yang dibajak. Pesawat pertama menghantam gedung sebelah utara, pesawat kedua menghantam gedung selatan kemudian pesawat ketiga menghantam Pentagon dan satu pesawat lain harus ditembak jatuh di atas Pennsylvannia karena dicurigai akan menyerang gedung putih38, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa pesawat keempat itu jatuh ketika penumpang mencoba untuk mengambil alih kontrol pesawat dari si pembajak.

Setelah pesawat pertama menabrak gedung WTC sekitar pukul 9 pagi, kru berita dan seluruh juru kamera berlari menuju tempat kejadian dan pada saat pesawat kedua menghantam gedung WTC semua orang sudah bisa dan sedang menyaksikannya di televisi. Dan pada saat itu juga semua orang menyadari bahwa itu bukan hanya sebuah kecelakaan yang mengerikan. Dan beberapa waktu kemudian seluruh dunia melihat dalam ketidakpercayaan sebagaimana dua bangunan tower tersebut yang mana masing-masing tingginya melebihi seratus kisah-kisah tinggi yang kemudian runtuh dalam gumpalan asap . Hampir 400 polisi dan petugas pemadam kebakaran ikut tewas bersama dengan banyak orang yang tidak bersalah yang bekerja dalam menara tersebut, dan sekiar 2000 anak kehilangan orangtua mereka. Kehancuran tersebut berpengaruh terhadap seluruh dunia sebagaimana orang dari delapan puluh negara tewas dalam insiden itu39.

Sebenarnya tragedi pemboman 11 September 2001 bukanlah peristiwa kali pertama yang menimpa menara kembar World Trade Center, sebelumnya gedung yang menjadi pusat bisnis dan perdagangan di Amerika tersebut telah di serang para teroris pada 26 Februari 1993. Kala itu pada sore hari tiba-tiba terjadi sebuah ledakan yang menghancurkan tempat parkir di sebuah basement di dalam salah satu menara kembar. Media Amerika langsung menarik perhatian publik pada insiden mengerikan

38 Ranti Aryani. In God We Trust: Merentang Hijab dari Indonesia sampai Amerika, Pustaka Matahari: Bandung, 2013, hlm 153.

39 Rich Mintzer, Keeping the Peace: The U.S Military Responds to Terror, Philadelphia:

Chelsea House Publisher, 2003, hlm 10.

(20)

35

yang terjadi di bawah Manhattan tersebut. Para investigator kemudian menemukan sebuah bom yang diletakan di belakang sebuah mobil van yang kemudian ditinggalkan di garasi bawah tanah. Ledakan itu menewaskan enam orang dan melukai hampir sepuluh ribu jiwa dan lima puluh ribu orang lainnya dievakuasi. Pada pusat ledakan terdapat lebih dari dua juta galon air dan limbah yang bercampur dengan puing-puing bangunan yang diakibatkan runtuhnya lima tingkat garasi.

Lebih dari tiga ratus petugas polisi melakukan pencarian bukti di tempat tersebut. Dari semua tersangka yang dihukum dan diadili, terdapat beberapa anggota gerakan ekstrimis Muslim. Sekali lagi, komunitas Muslim Amerika harus menghadapi tuduhan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kekerasan.

Tuduhan yang sama juga muncul selama beberapa tahun kemudian, akibat penyerangan terhadap tentara Amerika di Somalia dan Libanon. Kedutaan besar Amerika di Kenya dan Tanzania juga diserang, dan para militant Islam tersebut juga menargetkan untuk melakukan penyerangan terhadap kapal Angkatan Laut Amerika yang sedang berlabuh di Yaman40.

Doktor Alwi Shihab dalam bukunya Membedah Islam di Barat mengidentifikasi penyebab tragedi September, dengan membaginya kedalam dua faktor :

a. Faktor Eksternal

Sikap antipati terhadap Amerika Serikat dari sebagian dunia Islam telah mencapai puncaknya dengan terjadinya tragedi September. Rasa kebencian antara lain dipicu oleh sejarah konflik yang cukup lama dan mengakar diantara umat Islam dan umat Kristen. Jika dirunut sejarahnya, interaksi antara kedua umat berfluktuasi di antara hubungan positif dan negatif, namun interaksi negatif ternyata lebih dominan dibanding positifnya. Sejarah menunjukan bahwa baru seratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, umat Islam telah berhasil mengembangkan sayap dan pengaruhnya

40 James A. Beverley, Islamic Faith in America, hlm 41.

(21)

36

ke kawasan-kawasan antara lain Timur Tengah, Persia, Iberia, Spanyol, dan India Barat. Tidak sedikit dari kawasan tersebut yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan umat Kristen.

Pada abad ke-11, setelah masa ketenangan selama dua abad, kedua kekuatan kembali menunjukan permusuhan. Perang Salib pertama yang terjadi pada tahun 1095 tidak lain dipicu oleh tanggapan terhadap permohonan bantuan dari umat Kristen Timur kepada Kristen Barat untuk membendung ekspansi kekuatan Islam yang mengancam ibu kota Kerajaan Kristen Timur, Konstantinopel yang kemudian namanya diubah menadi Istanbul setelah dikuasai kekuatan Islam. Hampir dua ratus tahun lamanya permusuhan di antara kedua umat ini terekam dalam bentuk Perang Salib atau Crusade yang berakhir dengan Perang Salib ke-13. Pada abad yang sama, pasukan Turki Islam melakukan ekspansi dan menguasai sebagian besar kawasan Balkan. Afrika Utara, dan menguasai Konstantinopel pada tahun 1453 serta tahun 1529 mengepung Vienna. Pada abad ke-16 ini pula, gerakan Kristen Protestan muncul di bawah komando Martin Luther yang tulisan-tulisannya menjadi saksi sejarah sebagai bentuk kebencian terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Sikap ini dapat dimengerti karena dunia Kristen pada saat itu tengah dikepung oleh Turki- Islam. Menurut Bernard Lewis, sejak umat Islam menguasai Spanyol dan melakukan pengepungan kedua terhadap Vienna pada tahun 1683, Eropa berada dibawah ancaman terus-menerus dari kekuatan Islam.

Selanjutnya serangan balik Kristen Barat dimulai pada abad ke-15 ketika Iberia berhasil dikuasai lagi dan kota Granada kembali ke pengakuan Kristen pada tahun 1492. Sejak kegagalan Turki-Islam mengepung Vienna pada tahun 1683, kekuatan Islam terus merosot dan pengaruh Barat Kristen semakin meningkat seiring dengan munculnya kantong-kantong kolonialisme. Sampai akhir abad ke-17, dan kemudian di teruskan dengan era kolonialisme Barat-Kristen terhadap dunia Islam. Interaksi diantara kedua umat tersebut sangat diwarnai konfrontasi dan permusuhan.

Membuka kembali sejarah panjang hubungan antara umat Islam dan umat Kristen sangat penting dalam rangka menganalisis misteri yang terjadi di balik targedi

(22)

37

September. Akankah permusuhan yang panjang tersebut menyebabkan pula sebagian kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap dunia Islam dinilai oleh umat Islam sebagai kebijakan yang tidak bersahabat?

Kecurigaan tersebut tampak antara lain melalui kebijakan Amerika Serikat terhadap konflik Arab-Israel, yang menurut Dunia Islam lebih memihak pada Israel.

Kenyataan ini menambah kegetiran Dunia Islam yang selama berabad-abad telah merasakan tekanan yang luar biasa. Alasan ini pulalah yang digunakan oleh Osama bin Laden untuk membangkitkan kemarahan kelompok-kelompok garis keras, ia berhasil merekrut para militan yang bersedia secara sukarela melancarkan serangan dan teror terhadap Amerika Serikat. Faktor sejarah yang penuh ketegangan antara kedua peradaban dan diperkuat oleh kebijakan Amerika Serikat yang dinilai tidak adil dan tidak seimbang merupakan ikon penting yang ikut menyulut tragedi September.

b. Faktor Internal

Implikasi penjajahan Barat-Kristen terhadap Dunia Islam tampak sangat nyata ketika kita menelusuri sejarah kelahiran gerakan-gerakan Arab-Islam modern.

Runtuhnya kekuatan Turki-Islam dan merosotnya kondisi umat Islam di bawah kekuasaan Turki bertolak belakang dengan pesatnya kemajuan dan bangkitnya pencerahan Eropa. Pada masa inilah lahir grakan-gerakan Islam modern, yang dapat digolongkan menjadi dua kategori. Pertama, gerakan puritan Wahabi yang menganjurkan pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada ajaran awal dan menolak segala bentuk kebudayaan Barat. Kedua, gerakan Islam modern yang mencoba mempertemukan Peradaban Eropa dan Islam. Gerakan kedua ini berusaha mempertemukan kompromi antara Islam dan modernisasi Eropa. Pendukung utama gerakan ini adalah Jamaluddin al-Afghani dan Sheikh Mohammad Abduh.

Kedua gerakan tersebut mencoba memurnikan Islam dari semua aspek kelemahan dan kemerosotannya. Namun, gerakan Wahabi mengambil wacana keras dalam visi dan misinya. Gerakan Wahabi adalah gerakan Sunni-Puritan yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul-Wahab (1703-1791), yang menolak semua praktik keagamaan yang diadopsi setelah abad ke 3 Hijriyah. Praktik keagamaan di

(23)

38

sini terutama yang terkait dengan filosofi, sufisme, sihiisme dan praktik lokal meskipun bernafaskan Islam yang di cap sebagai bid’ah atau inovasi sebagai tindakan tanpa tuntunan dan tentu bertentangan dengan Islam yang murni. Contohnya yaitu membaca riwayat hidup nabi Muhammad yang dipraktikan oleh Panglima Islam Salahuddin Al-Ayyubi dalam rangka mempersatukan barisan Islam melawan agresi pasukan Salib. Tindakan ini oleh paham Wahabi dinilai sebagai bid’ah yang sesat dan harus dilarang.

Pada abad ke-14 Muncul pemicu yang sangat tajam bernama Imam Ibn Taymiyah, seorang inspirator ideologi gerakan Wahabi. Ibn Taymiyah dengan kesungguhannya terhadap Islam dan didukung oleh kedudukannya yang tinggi dalam masyarakat, melakukan gerakan pembersihan Islam dari noda dan kontaminasi budaya luar yang menurut pendapatnya mengancam Islam. Ia dikenal kritis pada Filsafat, Tasawuf, dan Shiisme sebagaimana terhadap Kristen. Salah satu bukunya berjudul Tanggapan yang Benar terhadap Mereka yang Mengubah agama Kristen. Ia juga merupakan pengarang yang sangat produktif dalam berkarya, serta berangkat dari lingkungan di mana peperangan sedang terjadi antara Muslim dan bangsa Mongol disatu sisi, dan antara Muslim dan Kristen di sisi lain, terutama setelah perang Salib. Dalam fatwanya (ketetapan agamis), Ibn Taymiyah meskipun secara samar, menyatakan bahwa jihad melawan orang kafir merupakan tindakan paling mulia.

Wahabisme, tanpa diragukan lagi merupakan suatu rujukan bagi pemikiran Islam, yang dalam praktiknya dapat ditemukan di lingkungan fundamentalisme baru.

Aliran ini mengikuti pemahaman Islam secara literal dan semurni-murninya.

Pandangan ini berusaha membuang pembacaan yang beragam atas Al-Qur‟an yang telah berlangsung berabad-abad setelah zaman Nabi. Menurut mereka, kekafiran yang berkaitan dengan kekasaran, kebudayaan lokal, hukum, kegiatan keagamaan, dan semua yang tidak ditemukan dalam bacaan literal Al-Qur‟an harus ditinggalkan dan dianggap sebagai kemusyrikan. Perusakan candi Budha oleh rezim Taliban merupakan manifestasi yang jelas dari ajaran Wahabi.

(24)

39

Tercatat pada tahun 1744, Imam Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan puritan Wahabi ini membentuk fakta dengan Dinasti Saud dari Arab Saudi dan memulai penaklukan Arab 20 tahun kemudian. Sebagai konsekuensi logis dari fakta tersebut, kini dapat disaksikan betapa kekayaan minyak Saudi memberikan apa yang akan menjadi faksi ortodoks minoritas dalam dunia Islam ini menjadi sesuatu yang tidak proporsional dibanding pengaruhnya. Dana dari Saudi mengalir untuk membiayai pembangunan masjid-masjid baru, Islamic Center, sekolah, dan bantuan amal untuk mempromosikan Islam ortodoks. Donasi-donasi itu datang bersama visi bahwa hukum Islam seharusnya ditempatkan menjadi hukum yang sebenarnya dan Islam dalam bentuk lain harus ditinggalkan. Dalam praktik bahkan dalam penyebaran gerakan Wahabi dan revivalisme Islam telah berkembang menjadi perilaku militan atau menyerang dalam bentuk-bentuk tradisional lokal dari praktik Islam.

Prof. Hosein Nasr mengatakan bahwa orang Asia Tenggara yang lebih dikenal dengan kekayaan buadayanya, yang lebih baik dalam hal kerukunan beragama dan berbudaya antara umat Hindu, Budha, Kristen dan Islam setelah kembali dari sekolah yang didanai oleh Wahabi membawa pandangaan bahwa seharusnya tidak ada kompromi dan tidak ada kerukunan budaya dengan non-Muslim. Dari Algeria, Nigeria, dan Indonesia dapat ditemukan kelompok-kelompok yang mendorong hukum Syari‟ah menjadi kesadaran berbangsa. Konsekuensi tidak terduga dari fakta Wahabi dan Dinasti Saud telah menggiring kemunculan tekstualisme kaku dengan meningkatnya dominasi kemarahan kelompok yang melihat Islam sebagai sebuah agama yang terkepung, yang dikelilingi oleh musuh-musuh baik dari dalam maupun dari luar. Konsekuensi ini juga yang pada gilirannya menjadi bagian dari lahirnya embrio paham kekerasan bagi beberapa gerakan puritanisme Islam selanjutnya.

Dengan kata lain, kelompok Islam garis keras yang diduga merupakan pelaku teror dalam tragedi September baik secara langsung maupun tidak, pastilah diilhami dan mendapat inspirasi secara serupa dari fakta Wahabi dan Dinasti Saud.

Dengan kenyataan seperti ditunjukan dalam faktor eksternal, yakni bahwa ketidakseimbangan dan ketidakadilan sikap Barat terhadap dunia Islam, yang

(25)

40

berhadapan dengan apa yang dirujuk pada faktor internal yang berasal dari dunia Islam sendiri, yakni adanya penafsiran kaku yang bersifat tekstual terhadap sumber- sumber ajaran Islam serta implikasinya berupa pemikiran bahwa penganut agama lain dianggap sebagai sesuatu yang mengancam eksistensi mereka, maka kedua hal ini dapat menciptakan satu atau kelompok masyarakat yang frustasi dan putus asa.

Perasaan-perasaan tersebut pada gilirannya akan mendorong mereka pada suatu pemikiran dan sikap serta tindakan yang bersifat radikal dan ekstrim dengan mengatasnamakan agama. Dalam situasi seperti itu, munculah suatu ide tentang pertarungan global, suatu dunia yang dipenuhi dengan kekerasan, khususnya di dalam dunia Islam dan dimana kaum fundamentalis Islam yang terlibat di dalamnya telah menyalah gunakan agama untuk menjustifikasi sikap dan tindakan mereka dalam bentuk teror sebagai suatu alat legitimasi yang seolah-olah “di ridhoi atau di benarkan” Tuhan.

Tidak dapat disangkal bahwa tragedi tersebut telah menyebabkan terpuruknya citra Islam di dunia di Barat. Mentalitas abad pertengahan Kristen yang penuh permusuhan dan kebencian terhadap Islam, seakan terbangkitkan kembali.

Sejak tragedi September umat Islam khususnya di Barat terpojokan. Mereka dianggap sebagai musuh dan biang keladi aksi terror 11 September yang menggemparkan bagi siapa pun, bahkan bagi sebagian umat Islam sendiri. Umat Islam di Barat dan Istimewa bangasa Arab, sejak aksi tersebut, terkadang diperlakukan secara diskriminatif , penuh kecurigaan dan cemoohan.

Dengan tanpa perasaan segan sedikitpun, misalnya salah satu saluran TV Amerika (Fox) menyatakan bahwa musuh Barat adalah mereka yang beragama Islam.

Pernyataan ini tentu saja mengandung unsur kesengajaan untuk membangkitkan amarah rakyat Amerika Serikat dan Barat, bukan saja terhadap pelaku-pelaku teror yang kebetulan beragama Islam , melainkan secara langsung menuding agama Islam sebagai agama yang menganjurkan kekerasan dan teror. Keadaan yang sama dapat juga dijumpai pada banyak kesemapatan dimana tokoh-tokoh Barat secara terang- terangan mendiskreditkan Islam. Contoh nyata dapat ditemukan pada sosok tokoh

(26)

41

politik Belanda, Pim Fortuyn yang mati terbunuh karena pandangan-pandangan rasialnya terutama terhadap Islam dan umat Islam. Nada serupa juga diungkapkan oleh seorang penulis Prancis bernama Michel Houellebeck , yang secara terbuka menuduh Islam sebagai “stupid religion” (agama bodoh) dan umat Islam dengan sendirinya adalah “penganut agama bodoh”. Dia berkata : “I’ve never shown the slightest contempt for Muslim, but I have always held Islam in contempt”

Tragedi September telah mengubah banyak hal, khususnya kehidupan di Amerika Serikat dan Dunia Barat. Tidak ada aksi teror sebelumnya yang berdampak seluas seperti tragedi September. Keterperangahan yang sedemikian dahsyatnya disebabkan oleh runtuhnya mitos bahwa Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara adikuasa yang bebas dari aksi teror. Tragedi September telah mengagetkan pemerintah dan rakyat Amerika karena ternyata negara mereka sendiri pun tidak terlepas dari bahaya teror. Diruntuhkannya simbol Supremasi ekonomi gedung World Trade Center (WTC) dan supremasi militer gedung Pentagon merupakan tamparan yang menyakitkan dan memalukan. Sangat wajar jika pemerintah dan rakyat Amerika merasakan kegetiran yang terkadang diikuti sikap emosional terhadap mereka yang tidak mengutuk aksi tersebut, apalagi memepersalahkan Amerika Serikat sebagai penyebab dari kekeliruan kebijakan luar negerinya terhadap Palestina.

Suatu ketika pangeran Walid Al-Saud mengulurkan bantuan sebesar sepuluh juta dolar untuk korban tragedi September namun ditolak oleh gubernur New York karena pangeran mengajak pemerintah dan rakyat Amerika Serikat untuk melakukan refleksi dan intropeksi terhadap penyebab aksi tersebut. Kendati ajakan pangeran Walid sebetulnya wajar dalam suasana normal, namun reaksi Gubernur New York juga dapat dimengerti. Persoalannya, Pangeran Walid mengungkapkannya pada saat rakyat Amerika sedang berkabung dan dalam suasana penuh kesedihan.

Namun setelah tragedi September berlalu satu tahun, komentar-komentar dari berbagai lapisan masyarakat tidak lagi menimbulkan kontroversi yang berlebihan. Contohnya, pernyataan Perdana Menteri Kanada yang mengomentari setahun berlalunya tragedi September dengan menyatakan bahwa kerakusan dan

(27)

42

arogansi dunia Barat merupakan faktor utama penyerangan para teroris terhadap Amerika Serikat. Secara terang-terangan dia berkata : “You cannot exercise your powers to the point of humiliation for the others”. Kendati pernyataan ini lebih jauh lebih keras dari pernyataan Pangeran Walid, reaksi masyarakat Amerika Serikat tidaklah berlebihan, apalagi ungkapan ini diucapkan oleh seorang tokoh Barat yang secara obyektif melakukan otokritik terhadap Dunia Barat.

Tragedi September akhirnya membuahkan kebijakan-kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang memojokan umat Islam. Para pendatang dari negara-negara Islam harus menunggu cukup lama untuk bisa memperoleh visa. Kongres Amerika Serikat meminta pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan penelusuran terhadap setiap warga Saudi khususnya dan Bangsa Arab pada umumnya, atas kekhawatiran mereka akan adanya jalinan warga dengan para pelaku tragedi September. Para mahasiswa dari negara-negara Islam yang kembali dari berlibur juga harus menunggu hasil pemeriksaan identitas oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebelum mereka dapat kembali melanjutkan studinya di sana. Akibatnya tidak sedikit warga Muslim khususnya bangsa Arab, yang meninggalkan Amerika Serikat dan kembali ke kampung halaman mereka karena merasa terhina, terpojok, dan bahkan terganggu harga diri dan keselamatannya.

Pemerintah Amerika Serikat juga telah menetapkan lima belas negara yang berpenduduk Muslim untuk diperlakukan secara khusus dalam rangka mengantisipasi kemungkinan kaitannya dengan kelompok teroris. Reaksi balik diberikan oleh pemerintah Malaysia yang secara tegas mengecam kebijakan tersebut karena Malaysia termasuk dalam kategori negara yang diberlakukan secara khusus oleh Amerika, apalagi setelah insiden yang melibatkan pemeriksaan cukup ketat terhadap wakil Perdana Menteri Malaysia di bandara Los Angeles. Begitu ketatnya aparat keamanan Amerika Serikat dalam melakukan tindakan antisipasi sehingga tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman atau kecurigaan yang berlebihan. Contoh konkret terjadi pada seorang petugas keamanan kepresidenan Amerika Serikat yang

(28)

43

kebetulan berketurunan Arab, yang harus diturunkan dari pesawat terbang karena adanya kecurigaan yang berlebihan41.

Sejak peristiwa 11 September, komunitas Muslim Amerika selalu bersikap defensive untuk berjuang melawan tuduhan bahwa mereka mendukung radikalisme.

Mereka menghadapi pengamanan yang luas dan spionase yang membosankan oleh pemerintah, dan harus menanggapi pelecehan dari beberapa lembaga penegak hukum dan terus merasa terancam karena meningkatnya Islamofobia dan budaya permusuhan terhadap Islam dan Muslim. Sebelum peristiwa 11 September, Muslim Amerika sangat proaktif dan memiliki berbagai cara dalam menyusun visi baru untuk diri mereka sendiri. Muslim Amerika sedang berada dalam proses dari pengembangan sebuah pilosofi publik dengan apa yang disebut sebagai “Eksepsionalisme Muslim Amerika” sebuah ide yang menunjukan bahwa Muslim Amerika berbeda dengan Muslim yang lain, yaitu bahwa mereka itu istimewa dan unik. Beberapa seminar dan workshops diadakan oleh para pemimpin Muslim Amerika, para Imam, sarjana dan para intelektual Muslim lainnya dari tahun 1995 sampai 2001 berkumpul untuk sebuah tujuan eksplisit dalam mengartikulasikan sebuah visi untuk masyarakat dan mengembangkan moral, politik, isi teologis dalam menjadi Muslim Amerika42.

41 Ibid, hlm 2-4.

42 M. A. Muqtedar Khan, “American Exceptionalism And American Muslim” dalam artikel The Review of Faith and International Affairs, London: Routledge, 2012. Hlm 63 (diposting oleh University of Delaware pada Januari 2013, untuk link artikel http: //dx.doi.org/10.1080/

15570274.2012.682509).

Referensi

Dokumen terkait

Sediaan masker peel-off anti aging dibuat dengan menambahkan ekstrak buah terong belanda masing-masing dengan konsentrasi 1, 3 , dan 5%.Pengujian terhadap sediaan masker

Kemudian sinyal diukur dengan Biopac dan disimpan dalam bentuk data *.txt agar dapat digunakan pada proses selanjutnya yaitu pemfilteran noise dengan filter

Penelitian tentang konsep pemikiran humanisme dalam pemikiran Abdurrahman Wahid serta relevansinya dengan konteks pendidikan Islam hingga sekarang masih dinilai

Pentingnya persediaan itu dalam suatu perusahaan, antara lain dengan persediaan yang cukup, maka perusahaan dapat terhindar dari resiko kerugian karena kebutuhan para

Dalam hasil penelitiannya, Namkung dan Jang (2010) juga menjelaskan bahwa pelanggan yang senang cenderung untuk tetap loyal dengan perusahaan dan memberitahu orang

Akta di bawah tangan ini seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1880 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tidak akan dapat mempunyai kekuatan pembuktian keluar terhadap

1) Mengontrol lingkungan di sekitar anak. 2) Memantau perilaku anak di rumah maupun sekolah. Jika disekolah bisa meminta bantuan guru untuk mengawasi anak. 3) Memberi

Tentukan harga x dan y dalam persamaan linier simultan sebagai berikut dengan cara determinan yang menggunakan aturan Cramer. selsesaikan persamaan linier simultan seperti dibawah