• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis Terhadap Keberadaan Sertifikasi Halal Untuk Melindungi Produk Pengusaha Dalam Menghadapi Persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Yuridis Terhadap Keberadaan Sertifikasi Halal Untuk Melindungi Produk Pengusaha Dalam Menghadapi Persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Chapter III V"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENGATURAN SERTIFIKASI HALAL DALAM PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL DI BIDANG PERDAGANGAN

A.Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berjalan dengan sangat pesat. Hal itu berpengaruh pada pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan.

Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Maka, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat.

(2)

ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya.

Adanya ketidaksingkronan produk hukum antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan peraturan di bawahnya yakni PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebabkan sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan pemerintah. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal.

Untuk memberikan perlindungan dan jaminan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat, perlu diatur suatu perundang-undangan yang mengatur mengenai kehalalan suatu produk untuk menjamin kepastian hukum.77 Hal ini sejalan dengan kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memberikan kesejahteraan umum.78

Landasan-landasan pembentukan Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini, yaitu :79

1. Landasan Filosofis

Dalam bagian ini disebutkan, setelah mengutip pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa halal dan haram merupakan sesuatu yang sangat prinsip dalam masyarakat karena di dalamnya terkait hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

77

Pembukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

78

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29

79

Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal

(3)

2. Landasan Sosiologis

Dalam bagian ini disebutkan, masyarakat Indonesia menyadari bahwa banyak produk yang diragukan kehalalannya karena tidak adanya petunjuk yang menandakan bahwa produk itu halal dikonsumsi atau digunakan. Karena itu, masyarakat Indonesia mempunyai hak konstitusional memperoleh perlindungan hukum untuk mendapatkan produk halal.

3. Landasan Yuridis

Dalam bagian ini disebutkan, hingga kini belum ada perlindungan yuridis yang maksimal untuk melindungi umat Islam hidup sehat dan tidak terjebak dengan produk yang tidak halal.

4. Landasan psikopolitik

Dalam bagian ini disebutkan, perlunya pelibatan dunia usaha agar mereka tidak menjadi kekuatan yang justru menolak RUU JPH karena beranggapan sistem jaminan halal akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

5. Landasan Ekonomi

Dalam bagian ini disebutkan, perdagangan internasional saat ini pada umumnya negara-negara maju sudah memiliki tanda arah (direction sign) bagi konsumen untuk mendapatkan makanan halal. Dengan demikian, jaminan produk halal sudah menjadi hal yang lumrah dalam tata niaga internasional.

(4)

keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.80 Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.81

Produk halal yang diperdagangkan harus melalui suatu proses untuk menjamin kehalalan produk82 agar produk tersebut mendapat jaminan produk halal yang dibuktikan dengan sertifikat halal.83 Tujuan diselenggarakannya jaminan halal atas suatu produk, yaitu84

1. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan Produk.

:

2. Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Asas-asas yang terdapat dalam UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, yaitu :85

80

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 ayat 1

(5)

1. Asas pelindungan, yaitu penyelenggaraan jaminan produk halal dimaksuskan untuk melindungi masyarakat muslim.

2. Asas keadilan, yaitu dalam penyelenggaraan jaminan produk halal harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. 3. Asas kepastian hukum, yaitu bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal

bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

4. Asas akuntabilitas dan transparansi, yaitu bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan jaminan produk halal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Asas efektivitas dan efisiensi, yaitu penyelenggaraan jaminan produk halal

dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau.

6. Asas profesionalitas, yaitu bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.

(6)

pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

Menurut undang undang ini, pelaku usaha dalam mengajukan permohonan sertifikasi halal, berhak memperoleh86

1. Informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH. :

2. Pembinaan dalam memproduksi Produk Halal.

3. Pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif.

Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur. Pelaku usaha wajib memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal serta memiliki Penyelia Halal. Apabila terdapat perubahan komposisi bahan, wajib melaporkannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).87

Jaminan produk halal sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal. Perusahaan yang akan meminta sertifikat halal dan yang sudah mendapatkan sertfikat halal harus Apabila terdapat pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal yang diharamkan, maka pelaku usaha tersebut berkewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk.

86

Ibid., Pasal 23

87

(7)

menyusun, mengembangkan dan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk melengkapi sertifikat halal yang diminta atau dimiliki.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, terdapat perubahan sertifikat halal dari sukarela menjadi wajib untuk Makanan, Obat dan Kosmetik. Pemberlakuan pelaku Industri wajib mempunyai sertifikat halal ini akan dimulai pada akhir tahun 2016 dan akan dilaksanakan secara bertahap sampai 2019 nanti untuk obat dan Kosmetika.88

B.Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Terhadap Produk Dalam negeri Yang Diperdagangkan

Prioritas wajib sertifikat halal adalah untuk makanan, kemudian baru obat dan kosmetika. Untuk pengaturan hal ini Pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk UU JPH No. 33 Tahun 2014 . Setelah PP ini keluar maka KEMENAG akan membuat Peraturan KEMENAG tentang UU JPH No. 33 Thn 2014. Menurut Pasal 65 UU JPH No. 33 Thn 2014 pembuatan PP dan PERMENAG ini paling lambat harus sudah selesai pada tanggal 25 September 2016. Setelah UU JPH diberlakukan hanya ada 2 jenis Produk yang beredar di Indonesia nantinya, yakni produk Halal dan Produk Non Halal.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Produsen yang akan menghasilkan

88

(8)

barang halal, harus memakai semua bahan baku, bahan tambahan, bahan pembantu yang halal. Adapun kriteria halal, yaitu :89

1. Produk tídak mengandung babí atau produk-produk yang berasal darí babí serta tídak menggunakan alkohol sebagaí íngrídíent yang sengaja dítambahkan.

2. Dagíng yang dígunakan berasal darí hewan halal yang dísembelíh menurut tata cara syaríat Islam.

3. Semua bentuk mínuman yang tídak beralkohol.

4. Semua tempat penyímpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan tempat transportasí tídak dígunakan untuk babí atau barang tídak halal laínnya, tempat tersebut harus terlebíh dahulu díbersíhkan dengan tata cara yang díatur menurut syarí’at Islam.

Proses produksi harus bebas dari bahan haram, tidak terkontamisasi bahan haram. Peralatan yang dipakai harus bebas dari bahan haram dan kontaminasi najis. Dalam hal ini termasuk bahan penyaring (karbon aktif) harus yang halal. Pembungkus awal maupun akhir juga tidak boleh berbahan haram dan kena najis. Jadi keseluruhan bahan dan peralat harus halal, tanpa kompromi.

Bagi perusahaan yang ingin mendaftarkan sertifikasi halal ke LPPOM

MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan

(RPH), restoran, katering, dapur, maka harus memenuhi persyaratan sertifikasi

halal yang tertuang dalam dokumen HAS 23000, yaitu :90

89

22 September 2016

(9)

1. Kebijakan Halal

Manajemen Puncak harus menetapkan Kebijakan Halal dan

mensosialisasikan kebijakan halal kepada seluruh pemangku kepentingan

(stake holder) perusahaan.

2. Tim Manajemen Halal

Manajemen Puncak harus menetapkan Tim Manajemen Halal yang

mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktivitas kritis serta memiliki

tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas.

3. Pelatihan dan Edukasi

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan.

Pelatihan internal harus dilaksanakan minimal setahun sekali dan pelatihan

eksternal harus dilaksanakan minimal dua tahun sekali.

4. Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi tidak

boleh berasal dari bahan haram atau najis. Perusahaan harus mempunyai

dokumen pendukung untuk semua bahan yang digunakan, kecuali bahan

tidak kritis atau bahan yang dibeli secara retail.

5. Produk

Karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan

bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah

dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI. Merk/nama produk yang

didaftarkan untuk disertifikasi tidak boleh menggunakan nama yang

(10)

dengan syariah Islam. Produk pangan eceran (retail) dengan merk sama

yang beredar di Indonesia harus didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi,

tidak boleh jika hanya didaftarkan sebagian.

6. Fasilitas Produksi

a. Industri pengolahan:

1) Fasilitas produksi harus menjamin tidak adanya

kontaminasi silang dengan bahan/produk yang haram/najis.

2) Fasilitas produksi dapat digunakan secara bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang

tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang

berasal dari babi/turunannya, namun harus ada prosedur

yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang.

b. Restoran/Katering/Dapur:

1) Dapur hanya dikhususkan untuk produksi halal.

2) Fasilitas dan peralatan penyajian hanya dikhususkan untuk menyajikan produk halal.

c. Rumah Potong Hewan (RPH):

1) Fasilitas RPH hanya dikhususkan untuk produksi daging hewan halal.

2) Lokasi RPH harus terpisah secara nyata dari

RPH/peternakan babi.

(11)

4) Alat penyembelih harus memenuhi persyaratan.

7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai pelaksanaan

aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang dapat

mempengaruhi status kehalalan produk. Aktivitas kritis dapat mencakup

seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan datang,

formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan peralatan

pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan produk, transportasi,

pemajangan (display), aturan pengunjung, penentuan menu, pemingsanan,

penyembelihan, disesuaikan dengan proses bisnis perusahaan (industri

pengolahan, RPH, restoran/katering/dapur). Prosedur tertulis aktivitas

kritis dapat dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain.

8. Kemampuan Telusur (Traceability)

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin

kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang

memenuhi kriteria (disetujui LPPOM MUI) dan diproduksi di fasilitas

produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari bahan babi/ turunannya).

9. Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menangani produk

yang tidak memenuhi kriteria, yaitu tidak dijual ke konsumen yang

(12)

10.Audit Internal

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit internal pelaksanaan

SJH. Audit internal dilakukan setidaknya enam bulan sekali dan

dilaksanakan oleh auditor halal internal yang kompeten dan independen.

Hasil audit internal disampaikan ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan

berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.

11.Kaji Ulang Manajemen

Manajemen Puncak atau wakilnya harus melakukan kaji ulang manajemen

minimal satu kali dalam satu tahun, dengan tujuan untuk menilai

efektifitas penerapan SJH dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.

Penyebab produsen tidak dapat dengan mudah menentukan apakah produknya halal atau tidak karena adanya bahan yang berasal dari turunan bahan haram, hal ini dapat diatasi dengan dilakukannya audit halal sebelum diterbitkannya sertifikasi halal.91

Maka, dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)92

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mempunyai wewenang, yaitu :

yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama, ataupun dapat dibentuk di perwakilan daerah apabila diperlukan.

(13)

1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.

2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.

3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk. 4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.

5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal. 6. Melakukan akreditasi terhadap LPH.

7. Melakukan registrasi Auditor Halal. 8. Melakukan pengawasan terhadap JPH. 9. Melakukan pembinaan Auditor Halal.

10.Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Dalam menjalankan wewenangnya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Produk Halal (LPH).94

1. Masa berlaku Sertifikat Halal

Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melakukan pengawasan terhadap Lembaga Produk Halal (LPH), dalam hal :

2. Kehalalan produk

3. Pencantuman Label Halal

4. Pencantuman keterangan tidak halal

5. Pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

94

(14)

pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal.

6. Keberadaan Penyelia Halal dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan jaminan produk halal.

Selama ini, standarisasi, pemeriksaan, pengkajian dan pemberian sertifikat Halal semuanya dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LP POM MUI). Setelah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal diberlakukan, peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pelaksanaan Jaminan Produk Halal hanya di proses sertifikasi halal, penetapan standar halal, pemeriksaan produk halal, penetapan fatwa, penerbitan sertifikasi halal, dan kerjasama dengan Lembaga Halal Internasional.

Setelah lolos seleksi sertifikasi, sebuah produk akan mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Cakupan sertifikasi halal meliputi produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya, sebenarnya bertujuan untuk memberikan kepastian kepada konsumen muslim yang menjadi agama mayoritas di Indonesia.

(15)

Untuk memperoleh sertifikat halal LPPOM MUI memberikan ketentuan bagi perusahaan sebagai berikut:

1. Sebelum produsen mengajukan sertifikat halal terlebih dahulu harus mempersiapkan Sistem Jaminan Halal (halal assurance system), yaitu suatu sistem yang dipakai oleh perusahaan produsen makanan dan minuman halal untuk memelihara dan menjamin kehalalan produk mereka. Perusahaan yang akan meminta sertifikat halal dan yang sudah mendapatkan sertfikat halal harus menyusun, mengembangkan dan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk melengkapi sertifikat halal yang diminta atau dimiliki. Sistem Jaminan Halal harus dalam bentuk tertulis dan didukung pelaksanaannya oleh kebiijakan perusahaaan. Sistem ini dibangun, diatur dan dievaluasi oleh Tim Manajemen Halal yang dibuat oleh Pimpinan Perusahaan. Sistem ini adalah salah satu bentuk partisipasi perusahaan dalam bertanggung jawab terhadap kehalalan produk mereka. Tim terdiri dari semua bagian yang terlibat dalam aktivitas yang kritis bagi kehalalan produk.

(16)

persyaratan halal.

3. Berkewajiban menandatangani kesediaan untuk diinspeksi secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya oleh LPPOM MUI untuk mengetahui konsistensi kehalalan produk.

4. Membuat laporan berkala setiap 6 bulan tentang pelaksanaan Sistem Jaminan Halal.

Langkah selanjutnya yang akan ditempuh pihak produsen adalah mendaftarkan ke sekretariat LPPOM MUI dengan beberapa ketentuan, diantaranya:95

1. Industri Pengolahan

a. Mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi di lokasi yang sama dan atau yang memiliki merek yang sama.

b. Mendaftarakan seluruh lokasi produksi termasuk maklon dan pabrik pengemasan.

c. Ketentuan untuk tempat makan harus dilakukan di perusahaan yang sudah mempunyai produk bersertifikat halal atau yang bersedia disertifikasi halal.

2. Restoran dan Katering:

a. Mendaftarkan seluruh menu yang dijual termasuk produk-produk titipan, kue ulang tahun, serta menu musiman.

b. Mendaftarkan seluruh gerai, dapur, serta gudang.

95

(17)

3. Rumah Potong hewan:

Mendaftarkan seluruh tempat penyembelihan yang berada pada satu perusahaan yang sama.

Selain itu beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan sebagai pemohon:

1. Pemohon mengisi Barang yang berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk seta bahan-bahan yang digunakan.

2. Menyerahkan data Barang beserta data pelengkap lainnya kepada LPPOM MUI untuk dikoreksi dan diperbaiki kepada pemohon.

3. LPPOM MUI akan memberikan jadwal audit produk ke lokasi produksi. Situasi audit harus berlangsung pada saat proses produksi dari produk yang ingin disertifikasi.

4. Jika hasil audit memenuhi persyaratan, auditor akan membuat laporan hasil audit untuk diajukan pada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status halalnya. Namun, jika belum memenuhi syarat LPPOM MUI akan memberitahukan pihak perusahaan melalui audit memorandum. 5. Laporan hasil audit disampaikan oleh pengurus LPPOM MUI dalam

Sidang Komisi Fatwa MUI pada waktu yang telah ditentukan.

6. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi syarat, dana akan disampaikan kepada produsen sebagai pemohon.

(18)

8. Sertifikat Halal berlaku selama dua tahun terhitung sejak tanggal penetapan fatwa.

9. Produsen harus mengajukan permohonan perpanjangan sertifikasi halaltiga bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

Tata cara pemeriksaan (audit) produk halal terdiri dari:

1. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk (Sistem Jaminan Halal).

2. Pemeriksaan dokumen yang secara spesifik menjelaskan asal-usul bahan, kompoisi, dan proses pembuatan atau sertifikat halal pendukungnya, dokumen pengadaan dan pemnyimpanan bahan, formula produksi serta dokumen pelaksanaan produksi halal secara keeluruhan.

3. Observasi lapangan yang meliputi keseluruhan dari proses produksi. 4. Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan harus

terpenuhi.

5. Pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai perlu. Sistem Pengawasan Sertifikasi Halal:

1. Pemohon sebagai produsen wajib mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal sepanjang berlakunya Sertifikasi Halal.

2. Perusahaan berkewajiban menyerahkan leporan audit internal setiap enam (enam) bulan sekali setelah terbitnya Sertikasi Halal.

(19)

Tata Cara Memperpanjang Sertifikasi Halal:

1. Pemohon mendaftar kembali dengan mengisi Borang.

2. Pengisian Borang menyesuaikan perkembangan terakhir produk.

3. Pemohon melengkapi kembali daftar bahan baku, matrik produk versus bahan serta spesifikasi, sertifikat halal dan bagan alir proses terbaru.

4. Prosedur pemeriksaan dilakukan seperti pada pendaftaran produk baru. 5. Perusahaan harus sudah mempunyai manual Sistem Jaminan Halal sesuai

dengan ketentuan prosedur sertifikasi halal di atas.

Penyelenggaraan jaminan produk halal dimulai dengan permohonan Sertifikat Halal yang diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Permohonan ini dilengkapi dengan dokumen :

1. Data Pelaku Usaha 2. Nama dan jenis Produk

3. Daftar Produk dan Bahan yang digunakan 4. Proses pengolahan Produk.

Kemudian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk yang dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi.96

Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada Badan Penyelenggara Jaminan

96

(20)

Produk Halal (BPJPH) untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.97

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menetapkan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) itu. Keputusan Penetapan Halal Produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal98 paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).99

Apabila produk tersebut dinyatakan tidak halal, maka Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasannya.100 Apabila pemeriksaan bahan produk diragukan kehalalannya, maka dapat dilakukan pengujian di laboratorium.101

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantukam Label Halal pada :102

1. Kemasan produk

2. Bagian tertentu dari Produk 3. Tempat tertentu pada Produk.

Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak

97

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 32

(21)

mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.103

Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), dan wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku.

104

Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku industri yang produknya telah memperoleh sertifikasi halal tetapi terbukti memasarkan produk mereka tidak halal

Hal tersebut untuk menjaga konsistensi produksi produsen selama berlakunya sertifikat. Sedangkan untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan.

105

begitu juga kepada pegawai yang terlibat dalam proses sertifikasi Halal, apabila pegawai tersebut membocorkan formula atau sesuatu hal yang seharusnya mereka rahasiakan, tetapi mereka bocorkan, maka kepada pegawai tersebut dikenakan sanksi106

C.Kepastian Hukum Terhadap Produk yang Telah Bersertifikasi Halal .

Jaminan Produk Halal memiliki arti suatu kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan adanya sertifikat halal yang mana sertifikat halal tersebut dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal melalui fatwa tertulis Majelis Utama Indonesia (MUI).

(22)

Fatwa ulama mempunyai kekuatan mengikat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kekuatan mengikat dari suatu fatwa diakui oleh negara setelah fatwa tersebut ditetapkan dengan suatu instrumen hukum. Fatwa memiliki kekuatan mengikat karena ulama yang menetapkan fatwa dikenal dan diakui oleh masyarakat.107

Apabila suatu fatwa memerlukan pengakuan oleh negara, maka fatwa tersebut harus dikukuhkan oleh pemerintah melalui Menteri Agama

108

Bahkan tidak jarang, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi perdebatan berbagai kalangan terkait legalitasnya, yang sebelumnya tak pernah

sebagai organ yang diberi kewenangan oleh negara untuk menyelenggarakan pemerintahan negara. Kehalalan suatu produk selama ini ditetapkan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Fatwa tersebut diterima oleh masyarakat karena Majelis Ulama Indonesia (masih) dipandang sebagai wadah para ulama yang mewakili berbagai kelompok atau organisasi keagamaan yang dominan dalam masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berfungsi sebagai institusi yang bukan lembaga negara yang menetapkan berbagai norma hukum. Walaupun begitu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan hukum positif yang berlaku dan sentral, sehingga masih memerlukan pengukuhan hukum dari negara, mengingat kondisi sosial-politik masyarakat Indonesia yang akhir-akhir ini semakin dinamis.

107

108

(23)

terjadi (atau lebih tepatnya tak pernah terdengar). Dengan demikian, fatwa halal yang dituangkan di dalam sertifikat halal perlu mencantumkan bentuk pengakuan atau pengukuhan oleh pemerintah.

Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berlaku.109

Penguatan hukum ini dimulai dengan meningkatkan upaya pemberdayaan ulama untuk mendukung upaya menempatkan ulama sebagai pemegang otoritas untuk mengaluarkan sertifikasi produk halal yang mengikat umum. LPPOM MUI mengupayakan unifikasi hukum bagi pengaturan sertifikasi produk halal dan

Dan sebelum Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ini diundangkan.

LPPOM MUI melakukan penguatan hukum jaminan produk halal dengan melakukan kajian untuk menemukan konsep hukum bagi pengaturan sertifikasi produk halal sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan pihak produsen dan konsumen berdasarkan sumber hukum material, yaitu Al-Quran, Hadits dan ijtihad para ulama dan menggabungnya dengan UUD 1945, terutama Pasal 29 dan 33 UUD 1945, Undang-Undang Pangan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Kesehatan, untuk memberikan kepastian hukum terhadap kewenangan mengeluarkan sertikat produk halal yang mengikat umum.

109

(24)

melakukan upaya harmonisasi hukum/peraturan mengenai pengaturan sertifikasi produk halal.

LPPOM MUI melakukan pengawasan agar tidak ada penyalahgunaan sertifikasi halal dan tanda halal dengan menguatkan Jaringan kemitraan mengenai produk halal baik internal maupun eksternal, nasional maupun regional bahkan internasional.110

LPPOM MUI juga melakukan Advokasi kepada Pemerintah agar Rancangan Undang- Undang Jaminan Produk Halal segera disahkan dan berlaku secara efektif sebagai payung hukum LP POM MUI dan terlindunginya konsumen muslim 111

110

kemudian menambah LP POM MUI sampai pada level Kabupaten/Kota untuk dapat melayani sertifikasi produk halal.

Pengaturan sertifikasi produk halal dalam tatanan sistem hukum nasional didasarkan asas kepastian hukum, artinya hukum mengenai produk halal yang mampu melindungi masyarakat sehingga tercipta keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum nasional.

Kekayaan dan sumberdaya suatu negara harus disebarkan secara adil kepada seluruh rakyat tanpa memandang perbedaan status sosial, seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya yang dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya terhadap produk halal untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

diakses pada 21 September 2016

111

(25)

Selama suatu produk masih berlaku sertifikasi halalnya, maka pelaku usaha wajib memberikan jaminan bahwa apabila terdapat perubahan didalam produk tersebut, diketahui oleh lembaga yang menerbitkan sertifiksi halal tersebut, yaitu LPPOM MUI. Jaminan ini dibuat dalam system jaminan halal yang dibuat oleh perusahaan berdasarkan buku panduan LPPOM MUI.

Tujuan dari setrtifikasi yang utama, yaitu memberikan adanya kepastian apakah suatu produk halal atau haram untuk dikonsumsi, maka pemerintah telah membemberikan adalah perlindungan hukum bagi rakyat untuk tenpa ragu mengkonsunsi suatu produk, dan apabila ada keraguan, rakyat dapat dengan pasti menanyakannya pada otoritas yang berwenang menentukan kehalalan produk. Pelaku usaha mendapat kentungan berupa kepercayaan dari konsumen yang akan permintaan masyarakat terhadap produknya.

D.Peran Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

Para konsumen baik di pasar nasional maupun internasional sekarang ini semakin kritis menuntut standarisasi produk yang semakin tinggi dan kompleks, yang tidak hanya menyangkut aspek mutu, kesehatan dan lingkungan tetapi juga menuntut aspek sosial budaya dan agama.

(26)

Kebersihan dan kesehatan makanan juga merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan oleh masyarakat Indonesia umumnya. Mereka secara tradisi sudah terbiasa untuk memilih dengan tegas lokasi sumber air bersih untuk minum dan makanan, air limbah, termasuk susunan jamban disungai dan kolam ikan. Sumur air minum harus benar-benar jauh dari tempat jamban atau tandas agar terjaga kebersihannya.

Perkembangan teknologi menyebabkan tidak mudah mencirikan barang yang haram pada suatu makanan ataupun minuman, sehingga memerlukan tanda yang dapat dipercaya. Tradisi menjaga dan memilih makananpun menjadi luntur. Pemilhannya bukan pada haram atau halal, tetapi difokuskan pada ada atau tidaknya kandungan barang haram, terutama babi. Bisa saja terjadi makanan tidak halal bukan karena babi, tetapi disebabkan oleh daging hewan haram karena tidak disembelih secara aturan Islam.

Masalah tercampurnya produk pada etalase antara produk yang halal dan haram, merupakan temuan yang perlu diperbaiki oleh produsen dan pedagang. Pengabaian hal ini dapat diberikan sanksi terhadap pemberlakuan sertifikat halal yang didapatkan. Penyaluran aspirasi konsumen tentang kehalalan dan kontaminasi barang haram dapat disalurkan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang menyangkut perlindungan konsumen dan juga tentang pangan.

(27)

pada produk dari kelompok etnis dengan agama tertentu berubah menjadi pemilahan berpedoman pada sertifikasi resmi.

Kecenderungan akan bertambah cermat merujuk tanda halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI sudah merupakan hal yang lumrah dilakukan pada beberapa tahun terakhir ini. Pada umumnya mereka yang menginginkan makanan halal akan menghindari makanan yang tidak jelas status kehalalannya.

Berbelanja bahan makanan di pasar tradisional, seperti memilih daging umpamanya, karena tidak ada label halal, maka akan memilih daging halal berdasarkan si penjual. Berbeda halnya apabila berbelanja di supermarket pada umumnya sudah memakai label halal, sehingga menjadi jelas status halalnya. Penyajian daging halal dan tidak halal pada umumnya ditempatkan pada rak atau etalase yang berbeda yang terpisah satu sama lain.

Apabila makanan halal dan tidak halal dipercampur adukan letaknya, maka pada umumnya konsumen muslim tidak akan berbelanja di tempat itu. Mereka dapat menyampaikan berita itu kepada teman dan handai taulan, yang akhirnya secara tidak langsung ataupun langsung disampaikan kepada LPPOM MUI. Tugas LPPOM MUIlah untuk menertibkan urusan ini. Pengaduan ini umumnya disampaikan secara lisan, belum dengan lebih tertib melalui surat atau media elektronik.

(28)

pemalsuan sertifikat halal belum mencuat secara domiinan. Walaupun begitu tetap perlu melakukan pesiapan bagi penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat konsumen secara baik.

Pengetahuan masyarakat tentang barang atau pangan yang halal perlu selalu dikembangkan, karena komposisi bahan sudah tidak sederhana lagi, terutama bahan pangan olahan. Sumber bahan bisa turunan barang haram dan apabila dipakai sebagai media tumbuh untuk proses pengolahan pangan, maka pangan tersebut juga menjadi haram. Hal yang sejalan dengan cara ini masih banyak dapat ditemui pada pangan olahan.

Masyarakat sebagai konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingannya sendiri, keluarga orang lain maupun makhluk hidup lain.112 Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, maka produsen berkewajiban untuk memberikan informasi kepada konsumennya bahwa produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi.113 Makanan sebagai konsumsi bagi manusia 114 harus mendapatkan kepastian tentang halalnya makanan tersebut.115

Keterlibatan masyarakat dalam suatu proses penyusunan kebijakan sangatlah penting agar tidak diragukan keabsahannya. Dampaknya, publik akan melawan, baik melalui jalur hukum (gugatan ke pengadilan), atau jalur politik. Bahkan, tak jarang, menimbulkan anarkhisme di tengah masyarakat.

112

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2

113

Ibid., Pasal 4 huruf c

114

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 Ayat 1

115

(29)

Keterlibatan masyarakat, baik masyarakat muslim maupun bahkan non muslim, bisa bersifat aktif, dan juga pro aktif. Juga dalam hal pengawasan, ketika kebijakan dan regulasi dimaksud sudah disahkan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam proses penyusunan melalui suatu diskusi, seminar, workshop, dan atau forum partisipatif lainnya untuk menyempaikan suatu pemikiran, usul, baik yang pro maupun kontra. Sebaliknya masyarakat bisa mengajukan konsep regulasi dan kebijakan tersendiri (counter draft), yang secara substansial berbeda visi-misi dengan visi misi versi Pemerintah-DPR.

Keterlibatan masyarakat bisa berangkat pada aspek individual maupun kelembagaan. Apalagi di Indonesia begitu beragamnya lembaga agama (Islam), baik yang sifatnya nasional maupun lokal. Selain itu, kelompok non muslim pun tak luput dari pihak yang harus dilibatkan, karena ada perbedaan kepentingan. Misalnya, sekolompk masyarakat yang menjadikan “binatang babi” bukan hanya sebagai menu makanan utama, tetapi bahkan sebagai sarana ritual ibadah keagamaan.

(30)

hanya melakukan tindakan recalling (penarikan) terhadap produk Ajinomoto. Penarikan dari pasar tidaklah cukup, karena itu hanya melakukan tindakan administratif dan keperdataan saja. 116

Dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, masyarakat dapat melakukan

Pembuktian harus dilakukan oleh pelaku usaha di laboratorium yang independen, dan ada pihak independen yang mendampingi selama proses pembuktian itu. Tidak boleh pebuktian itu dilakukan di laboratorium milik pelaku usaha.

Keterlibatan publik, baik langsung maupun langsung, baik individual, kelompok atau bahkan kelembagaan, dalam suatu kebijakan produk halal tak bisa diharuskan, baik pada konteks sosiologis, politik, budaya, bahkan normatif. Pejabat publik, baik di kalangan eksekutif dan juga legislatif, harus secara terbuka dan akomodatif atas semua masukan dari kalangan masyarakat. Namun keterlibatan itu jangan hanya sebagai bentuk performa belaka (pencitraan), tetapi benar-benar diakomodasi ke dalam substansi regulasi, dan kebijakan. Sehingga, keterlibatan masyarakat benar-benar terjadi dalam law dan policy making process. Tanpa keterlibatan publik, dalam arti sesungguhnya, maka efektifitas regulasi dan kebijakan itu akan sangat diragukan. Dukungan publik terhadap kebijakan dan regulasi itu akan sangat minim. Bahkan, tak jarang menimbulkan perlawanan publik (public distrust).

117

1. Melakukan sosialisasi mengenai jaminan produk halal. :

116

Mei 2016

117

(31)

2. Mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar, berbentuk pengaduan atau pelaporan ke Badan Pemeriksa Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan Pemeriksa Jaminan Produk Halal (BPJPH)118 dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan Jaminan produk halal. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan dan regulasi halal, juga untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia (NKRI), dan juga dalam konteks negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah supremacy of law dan equality before the law. Bahkan, aspek due process of law (aspek legalitas) tak boleh diabaikan.

118

(32)

BAB IV

KEBERADAAN SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI INSTRUMEN PERLINDUNGAN TERHADAP PRODUK DALAM NEGERI DALAM

MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

A.Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.119 Asas-asas perlindungan konsumen, yaitu :120

1. Asas manfaat, bahwa penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan, diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas keseimbangan, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang

119

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1

120Ibid.,

(33)

4. lebih dilindungi.

5. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, diharapkan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

6. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Adanya tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hal perlindungan konsumen, yaitu :121

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari efek negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

121

(34)

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa122

Sertfikasi halal sebagai suatu langkah dalam perlindungan konsumen karena didasari oleh kenyataan bahwa banyak negara-negara yang berpenduduk muslim. Sertifikasi halal menjadi salah satu faktor penting dalam menawarkan produk dan jasa, apalagi bagi negara-negara yang bergabung dalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana salah satu tujuannya sebagai langkah

, kenyaman ini juga berarti tidak bertentangan dengan aturan agama yang dianutnya. Konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur atas kondisi barang dan/atau jasa. Hal ini berarti keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar atau telah teruji terlebih dahulu melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan.

Oleh karena itu konsumen perlu mendapatkan sebuah kepastian hukum bahwa produk yang digunakan tidak mengandung sesuatu yang tidak halal dan juga diproduksi secara halal. Adanya sertifikasi serta labelisasi halal bukan saja bertujuan memberi ketentraman batin pada umat Islam tetapi juga ketenangan berproduksi bagi produsen. Untuk menghadapi globalisasi ekonomi yang semakin nyata maka sertifikasi dan labelisasi halal semakin diperlukan untuk melindungi konsumen Muslim.

122

(35)

menjadikan negara-negara di kawasan ASEAN tidak memiliki sekat dalam perdagangan internasional, artinya aliran bebas barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil serta aliran modal yang lebih bebas, termasuk sektor industri halal Indonesia.

Industri halal telah menjadi tren tersendiri dalam masyarakat dunia, bukan hanya dari kalangan Muslim tetapi berbagai penganut agama lain. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), industri halal Indonesia memiliki peluang besar untuk dapat bersaing dengan negara lain dalam menyalurkan produk bersertifikasi halal di kawasan ASEAN.

Sayangnya, dari seluruh produsen di Indonesia baru sedikit yang memiliki kesadaran akan pentingnya sertifikasi halal. Hal ini dikarenakan prosedur yang rumit dan panjang serta biaya besar membuat para produsen enggan mendafarkan industri mereka agar memiliki sertifikat halal. Yang terakhir adalah minimnya sumber daya manusia dan infrastuktur memadai seperti para ahli di bidang auditor halal dan produk halal.123

Dalam hal ini dibutuhkan dukungan dari pemerintah berupa penyediaan infrastruktur, seperti labolatorium, peralatan skrining, dan peralatan untuk analisis halal. Semua membutuhkan dana sangat besar dalam pewujudannya. Pemerintah telah mencanangkan bahwa pada 2019 semua produk yang ada di Indonesia harus bersertifikat halal. Semoga dapat terealisasi dengan lancar sehingga mencapai tujuannya, dan memberikan kemudahan dalam sertifikasi halal tanpa mengurangi kualitas dari sertifikasi tersebut.

123

(36)

Sebagai contoh di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, seharusnya lebih siap memberikan label halal pada semua sektor yang akan diperjual belikan. Terutama kepastian halal pada produk makanan karena akan sangat mendukung kesuksesan pasar kuliner Indonesia. Namun banyak pengusaha yang belum mendaftarkan produk mereka untuk mendapatkan sertifikat halal.

Padahal, dengan adanya pencantuman label halal, konsumen lebih merasa

aman dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk atau makanan tersebut.

Konsumen mendapatkan jaminan bahwa produk tersebut tidak mengandung

sesuatu yang tidak halal dan diproduksi dengan cara yang halal dan beretika.

Sedangkan bagi produsen, pencantuman label halal dapat membangun

kepercayaan, kepuasan dan loyalitas konsumen terhadap produk tersebut. Produk

yang bersertifikat halal memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan

produk yang tidak mencantumkan label tersebut.

Penentuan status halal haramnya sebuah produk baik makanan, obat-obatan atau kosmetik bukanlah perkara mudah. Asal usul bahan bisa melalui jalur yang berliku, bahkan dalam beberapa kasus sulit untuk ditentukan asal bahannya dan pemahaman mengenai kehalalaln produk itu sendiri. Perlindungan konsumen merupakan hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik.

(37)

upaya hukum melalui dua cara, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun penyelesaian sengketa diluar pengadilan.124

B.Peningkatan Daya Saing Produk Indonesia yang Telah Bersertifikasi Halal

Dengan adanya sertifikasi halal, keuntungan yang didapat oleh konsumen adalah kepastian akan kehalalan suatu produk pangan, obatan-obatan, maupun kosmetik sehingga dapat menenangkan hati konsumen ketika akan memakai produk-produk tersebut. Selain itu, konsumen mendapat kepastian hukum dan perlindungan hukum.

Sedangkan bagi produsen, dengan adanya sertifikasi halal atas produk mereka, akan meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen atas produk yang diperdagangkan sehingga citra dan daya saing perusahaan akan meningkat. Sertifikasi halal juga sebagai bentuk pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen.

Globalisasi sistem perdagangan saat ini menyebabkan terjadinya perubahan persaingan global dalam perubahan perilaku dan paradigma pada produsen maupun konsumen. Perubahan ini menjadikan tuntutan akan standar mutu produk yang tinggi dalam menjamin keamanan dan asal-usul produk.

Perdagangan bebas khususnya di Asia Tenggara menyatakan proses perdagangan tersebut tersistem pada skema CEPT (Common Effective Preferential Tarif Scheme) -AFTA, yaitu merupakan program tahapan penurunan tarif dan

124

(38)

penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN sehingga dalam melakukan perdagangan sesama anggota, biaya operasional mampu di tekan sehingga akan menguntungkan bagai negara-negara ASEAN.

Dalam rangka penghapusan hambatan non-tarif, kompopnen paling penting lainnya yang diperlukan untuk mempermudah aliran bebas barang adalah langkah-langkah fasilitasi perdagangan,seperti penyatuan prosedur Common Effective Preferential Tariff (CEPT) secara berkesinambungan pemeberlakuan

ketentuan asal barang,termasuk prosedur sertifikasi operasionalnya dan penyelarasan prosedur standardisasi dan kesesuaian.

Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Lalu-lintas produk negara-negara ASEAN yang diklaim lebih berkualitas akan menggeser dayasaing produk Indonesia. Apalagi perdagangan Indonesia terhadap ASEAN mengalami defisit sebesar 527,5 milliar dollarAS secara kumulatif dari Januari hingga November 2013. Jika defisit ini tidak bisa diatasi, maka akan menyebabkan Indonesia menjadi pasar produk ASEAN. Defisit ini disebabkan karena Indonesia masih mengimpor minyak mentah dari Singapura dan impor buah dan otomotif dari Thailand. 125

Sektor-sektor yang akan menjadi unggulan Indonesia dalam pasar ASEAN adalah sektor Sumber Daya Alam (SDA), Informasi Teknologi, dan Ekonomi

(39)

Kreatif. Sektor-sektor ini merupakan sektor terkuat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang lain. Dampak masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia juga harus harus dipastikan bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kualitas produk dan jasa harus dinomorsatukan agar bisa diterima di pasar ASEAN. Menurut laporan tahunan dari World Trade Organization (WTO), yang menyatakan bahwa berdasarkan sumbangannya terhadap nilai total ekspor dunia, Indonesia hingga saat ini tidak termasuk negara-negara eksportir penting untuk hampir semua barang dan jasa yang diperdagangkan secara internasional. Dalam perdagangan dunia, Indonesia bukan penentu harga, melainkan price taker. Pemerintah Indonesia hanya bisa mempengaruhi harga dalam mata uang asing dari produk-produk ekspor Indonesia lewat perubahan kurs rupiah (devaluasi atau revaluasi).

Perlu adanya langkah cerdas dari kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pelaku industri, seperti beban pajak yang tidak memberatkan, proses pengurusan usaha yang tidak membutuhkan aturan berbelit, meniadakan aroma korupsi birokrasi dalam pengurusan usaha. Masalah tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan gairah kepada masyarakat Indonesia agar ikut andil dalam menciptakan ekonomi kreatif yang berdayasaing tinggi dan meningkatkan laju ekspor.

(40)

pun jangan sampai memakan waktu lama.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri harus memaksimalkan kemampuannya dengan mengikuti berbagai seminar atau pelatihan keterampilan agar wawasan semakin luas. Agar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak dianggap tidak mempunyai keahlian dan kecakapan dalam menghadapi arus globalisasi.

Dalam perindustrian, masalah ketersedian modal yang cukup para pelaku usaha, teknologi informasi yang memadai, dan tenaga kerja yang terampil di bidangnya serta diimbangi dengan keahlian pengusaha, organisasi dan manajemem perusahaan, pemakaian teknologi maju dan input lainnya akan memberikan andil yang besar dalam mencetak produk dalam negeri bermutu tinggi di pasaran ASEAN. Disinilah kerja sama Pemerintah dan pengusaha sangat dibutuhkan untuk menciptakan hasil produksi perusahaan yang bermutu.

Pemerintah hendaknya membantu menciptakan hubungan industrial yang kondusif. Terpenting adalah peranan untuk menekan biaya produksi dalam perusahaan, agar produk yang berkualitas akan tetap terjaga. Bahan baku murah dan mudah didapat, pajak yang tidak memberatkan pelaku usaha, dan peraturan perundang-undangan yang melindungi dunia usaha akan meningkatkan ekspor secara berkesinambungan.

(41)

dalam merespon hal tersebut. Kurangnya dayasaing UMKM Indonesia dikarenakan masalah ketersediaan modal, akses informasi dan kurangnya mengikuti perkembangan teknologi.

Kemampuan daya saing produk Indonesia di pasaran ASEAN menuntut ketersediannya infrastruktur yang memadahi. Infrastruktur yang kurang maksimal akan memperlambat gerak laju ekspor berbagai produk. Akibatnya, kepercayaan permintaan luar negeri terhadap produk kita mengalami penurunan. Bahkan produk yang berdiam lama selama di perjalanan akan mengalami penyusutan kualitas. Sama halnya dalam permintaan jasa, seperti tenaga kerja kita ke luar negeri juga membutuhkan sarana infrastruktur yang memadai, agar permintaan luar negeri terhadap tenaga kerja kita bisa sesuai jadwal.

Pemerintah berperan dalam mengevaluasi infrastruktur yang mempersulit pendistribusian seperti akses jalan antar desa, antar kota yang akan menambah biaya pendistribusian produk. Perlu dibuat sebuah rencana dalam mempercepat pembangunan dan perbaikan infrastruktur, khususnya listrik, jalan, air bersih, dan pelabuhan. Tercapainya infrastruktur yang memadahi akan berpengaruh besar terhadap daya saing produk dalam negeri. Akses insfrastruktur benar-benar merupakan faktor penentu dalam memperlancar sirkulasi produk yang mempunyai daya saing tinggi. Apalagi, ketersediaan infrastruktur mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

(42)

1. Memperbaiki semua infrastruktur yang rusak, seperti jalan-jalan raya yang berlubang dan bergelombang (sebagian hancur karena tanah longsor dalam waktu singkat).

2. Membangun jalan tol atau jalan kereta api ke pelabuhan, dan memperluas kapasitas pelabuhan seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak dan lainnya yang selama ini menjadi pintu keluar masuk barang dalam beberapa tahun ke depan.

3. Meningkatkan akselerasilistrik dalam dua tahun ke depan, dan banyak lagi.

Sangatlah penting untuk mempermudah aliran logistik yang merupakan urat nadi perdagangan pada khususnya, seperti pengiriman hasil produksi danlogistik dari pabrik ke pelabuhan atau sebaliknya atau dari pelabuhan ke pusat pemasaran. Memerlukan sarana transportasi yang memadai, seperti kondisi jalan raya yang baik dan mencukupi, fasilitas pelabuhan yang memadahi dan lain-lain perlu penanganan yang serius dan terkoordinir. Tercapainya infrastruktur yang memadahi akan berpengaruh besar terhadap daya saing produk dalam negeri. Dengan demikian, daya saing sangat ditentukan oleh kecepatan barang masuk dan keluar.

(43)

ekonomi kreatif agar bisa membantu negara dalam meningkatkan laju ekspor. Akses insfrastruktur benar-benar merupakan faktor penentu dalam memperlancar sirkulasi produk yang mempunyai daya saing tinggi. Apalagi, ketersediaan infrastruktur mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Persepsi konsumen atas konsepsi halal saat ini tidak hanya mempertimbangkan murni karena masalah keagamaan, melainkan karena halal telah menjadi simbol untuk jaminan mutu dan pilihan gaya hidup. Pasar produk halal ini kemudian berkembang menjadi arena yang menjanjikan keuntungan dan berpengaruh pada persaingan produk.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal memberikan kepastian hukum bagi konsumen terhadap produk makanan dan barang konsumsi lainnya. Keberadaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal merupakan kemajuan dalam penerapan prinsip syariah ke dalam hukum positif.

Meningkatnya teknologi pangan, rekayasa genetik, bioeknologi dan proses kimia biologis menjadi bagian faktor sulitnya mengontrol produk halal. Sehingga dengan adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal setidaknya menjadi landasan hukum tentang sistem informasi produk halal sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat. Kehalalan menjadi faktor penentu dalam perdagangan di samping meningkatkan daya saing produk.

(44)

sehingga ini menjadi peluang bagi Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim sebagai penyedia utama produk-produk halal di ASEAN.126

Indonesia bahkan tidak hanya dapat memainkan peranan penting di ASEAN, melainkan juga secara global. Mengingat Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia. Salah satu contohnya, tingginya permintaan daging sapi Indonesia yang sudah tersertifikasi halal dari negara-negara Timur Tengah.

Sertifikasi halal dapat menjadi nilai jual Indonesia, terutama saat wisata syariah tengah populer. Indonesia yang merupakan negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia, dapat memanfaatkan momen ini untuk mendulang keuntungan.

127

126

Persaingan dengan negara lain yang telah lebih dahulu memiliki sertifikasi halal dan penerapan syariah secara menyeluruh di negara tersebut seperti negara tetangga Indonesia, yakni Malaysia yang telah mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Malaysia sehingga perbankan syariah lebih maju.

Indonesia menjadi sasaran utama negara-negara peserta Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal ini harus diantisipasi dengan meningkatkan daya saing, salah satunya melalui sertifikasi halal. Sertifikasi tersebut tidak sebatas pada makanan, namun juga obat-obatan dan kosmetik. Oleh karena itu, sertifikasi halal sebuah produk sangat penting dimiliki para pelaku usaha. Di tengah diberlakukannya MEA, Indonesia pun harus siap menjadi penguasa pasar, bukan hanya menjadi pasar bagi produk-produk asing.

127

(45)

Dengan disahkannya Undang-Undang mengenai Jaminan Produk Halal ini akan semakin meningkatkan daya saing Indonesia dalam MEA ini. Sehingga produk-produk yang masuk ke Indonesia nantinya akan tersaring dengan sertifikasi halal dari negara yang bersangkutan.

Sertifikasi halal sangat penting untuk meningkatkan daya saing produk. Terlebih, sertifikasi halal pun telah diterapkan negara lain, menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), akhir tahun ini.

C.Penggunaan Sertifikasi Halal Terhadap Produk Luar Negeri Yang Masuk Ke Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Sertifikasi Halal

Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Indonesia menjadi sasaran peredaran produk makanan dari luar negeri. Keberadaan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia menjadikan isu halal sebagai daya pikat yang menarik bagi para produsen makanan di Asia. Oleh karena itu, banyak produsen makanan dari luar negeri berupaya mencantumkan label halal pada produknya.

(46)

yang tidak menggunakan bahasa Indonesia, dan juga tidak berlabel halal.

Rencana pemerintah untuk mewajibkan sertifikasi halal dalam setiap produk yang masuk ke Indonesia sebagai langkah dalam upaya menaikkan daya saing Indonesia untuk menghadapi pasar bebas ASEAN dan sebagai persyaratan untuk dapat menyaring produk asing yang masuk ke Indonesia. Pemerintah dapat menyeleksi barang-barang apa saja yang dapat masuk dan diperdagangkan di Indonesia, terutama saat pasar bebas, di mana barang impor dapat dengan mudah masuk ke pasar lokal.

Sertifikat halal harus dicantumkan pada sebuah produk makanan dari luar negeri yang dijual di pasar Indonesia128

Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menyatakan karena Indonesia sudah meratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO), maka sertifikasi halal yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak boleh berstandar ganda; yaitu wajib (mandatory) atau sukarela (voluntary) untuk membedakan produk yang halal dan yang haram.

, sehigga pihak konsumen terlindungi dari produk yang tidak jelas statusnya. Selain itu, produk makanan yang dikonsumsi masyarakat akan jelas kualitasnya. Begitu juga produk yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri namun diberikan subsidi bagi pengurusan sertifikat halalnya.

129

Penerapan sertifikasi halal bagi makanan dan minuman impor dilakukan secara bertahap. Pengkajiannya dilakukan dengan melibatkan Majelis Ulama Indonesia, Kementerian Agama, Kementerian Perindustirian, Kementerian

128

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Pasal 4

129

(47)

Perdagangan, maupun dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dimana yang mengeluarkan sertifikisai halal dari kementrian agama sementara BPOM meneliti kandungan-kandungan yang ada didalamnya.

Dengan adanya sertifikasi halal terhadap produk impor yang masuk ke Indonesia akan membuat harga barang impor menjadi lebih mahal. Selain bisa membatasi produk impor, sertifikat halal ini menjadi alat penting dan strategis pengamanan produk makanan di dalam negeri. Setidaknya menyaring produk makanan itu dan memberikan rasa aman bagi orang Indonesia yang sebagian besar kaum umat muslim. Pencantuman sertifikat halal pada sebuah produk makanan impor, secara otomatis memperjelas kualits makanan yang dikonsumsi masyarakat dan pengendalian barang impor yang masuk ke Indonesia di era yang global ini.

Saat ini, hampir semua pasar modern dan pasar swalayan di kota-kota besar di Indonesia dibanjiri produk impor. Demi mendulang untung, tak sedikit produk tersebut yang mencantumkan label halal palsu. Terdapat dua jenis pelanggaran yang sering ditemuka, yaitu :

1. Produsen makanan asing mencantumkan logo halal lain, bukan dari LPPOM MUI atau negara lain yang sudah memiliki kesetaraan dengan MUI, misal Malaysia, Brunei Darussalam, Australia, Selandia Baru dan beberapa negara lain.

2. Produsen menggunakan logo halal Asia Pasifik dan dicetak remang-remang, sehingga tidak terbaca dan dapat mengelabui masyarakat.

(48)

makanan asing dengan label halal palsu. Kasus ini ditemukan di Medan, Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Produk-produk tersebut umumnya berasal dari Cina dan Korea. 130 Pencantuman label halal palsu merupakan tindak pidana untuk menipu konsumen agar yakin dengan kehalalan produk tertentu.131

130

131

(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. World Trade Organization (WTO) menerapkan prinsip dasar dalam

perlindungan terhadap industry dalam negeri anggotanya melalui prinsip

anti dumping , anti subsidi, dan tindakan pengamanan (safeguard). Di Indonesia sendiri perlindungan dalam negeri melalui peraturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.

(50)

3. berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama, dan bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Produk Halal (LPH).

(51)

B.Saran

1. Agar pemerintah lebih memberikan sosialisasi mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kepada para pelaku usaha agar produk dalam negeri dapat bersaing dalam pasar bebas ASEAN.

2. Agar pemerintah dalam melakukan pelayanan publik untuk menyelenggarakan jaminan produk halal sehingga produk dalam negeri lebih banyak menggunakan sertifikasi halal

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran student team dan metode ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) serta pendekatan kontekstual, peserta

ANOESYIRWAN

83 Kota Surabaya SMP NEGERI 3 SURABAYA LEO SIDHARTA WARDHANA Bahasa Inggris SMP KATOLIK ST VINCENTIUS 84 Kota Surabaya SMP NEGERI 3 SURABAYA SOEKISNO Bahasa Inggris SMP TRI TUNGGAL

Berdasarkan hal tersebut, komponen yang digunakan dalam Tahap Penyaringan (Praseleksi) adalah (1) Ketentuan Dasar; (2) Ciri-Ciri Naskah Buku Pengayaan (pengayaan

NLCR mempunyai nilai prediktif yang lebih baik terhadap sepsis neonatorum dibandingkan CRP sehingga dapat dipergunakan sebagai alternatif prediktor sepsis

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evaporasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan

Bagian utama (naskah karya tulis) diberi nomor halaman menggunakan angka arab yang dimulai dengan nomor halaman 1 (satu) dan diketik di sebelah kanan bawah dengan

fleksibilitas panggul terhadap hasil kecepatan panjat tebing kategori speed. Dengan rumusan masalah penelitian