i
SKRIPSI NOVEMBER 2017
HUBUNGAN POLA MAKANAN BERSERAT DAN FREKUENSI OLAHRAGA DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
Disusun Oleh:
Nurizki Meutiarani M C11114060 Pembimbing:
dr. Irwin Aras, M. Epid., MMedEd
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Makanan Berserat dan Frekuensi Olahraga dengan Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penulis mengaku banyak kekurangan dalam tulisan ini sehingga skripsi ini mungkin belum bisa dikatakan sebagai karya yang sempurna. Kekurangan dan ketidaksempurnaan ini tidak lepas dari berbagai macam rintangan dan halangan yang datang pada diri penulis. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan, bantuan, saran, dan dukungan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, khususnya kepada:
 dr. Irwin Aras, M. Epid, M. Med Eds selaku pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing penyusunan skripsi ini.
 Pimpinan, dosen, staf, dan seluruh karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
 Pimpinan, dosen, dan staf Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
 Kedua orang tua penulis yang telah memberikan semangat dan doa.
 Teman-teman seperjuangan penulis selama duduk di bangku kuliah, angkatan 2014
“NEUTROF14VINE” yang telah memberikan dukungan dan telah bersedia menjadi subjek penelitian ini.
 Sahabat-sahabat penulis terutama Falensia Dwita Lestari, Imanuela Yoel Biring, Nadya Eunice Sumolang, Rahmi Islamiana H, A. Amalia Yasmin, A. Nurkamila Putri, Audina Ulfa Adria, dan Fadilah Amalia Husna yang selalu memberikan dukungan selama bangku perkuliahan.
vi
 Teman-teman AMSA-Unversitas Hasanuddin terutama kak Syauqi Darussalam, kak A. Tiara Adam, Syaiful Islam, A. Zakiah Pratiwi, dan Khumaira yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan mengajarkan saya untuk selalu bekerja secara maksimal.
 Teman-teman bimbingan skripsi Nur Afni Sriandini, Ria Andriani, dan Fiqih Eka Putra yang menjadi teman seperjuangan dari awal hingga selesainya skripsi ini, serta teman pembimbing akademik Nur Afni Sriandini, M. Fariz Awaluddin, dan Muh Fauzan yang telah menemani penulis sejak mahasiswa baru hingga saat ini.
 Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca senantiasa penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga hasil tulisan ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Makassar, November 2017
Nurizki Meutiarani M Penulis
vii
HUBUNGAN POLA MAKANAN BERSERAT DAN FREKUENSI OLAHRAGA DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
Nurizki Meutiarani M, dr. Irwin Aras, M. Epid, M. Med Ed
Tugas Akhir Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar 2017
Latar Belakang: Konstipasi merupakan masalah kesehatan berupa gangguan pengeluaran feses yang keras dan kering kurang dari tiga kali dalam seminggu. Penyakit ini memengaruhi hampir 20% populasi dunia yang memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup penderitanya dan meningkatkan risiko kanker kolon. Setiap individu memiliki pola defekasi berbeda yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas fisik dan asupan serat dalam makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Apabila tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan gangguan di saluran pencernaan.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode analitik deskriptif. Jumlah sampel penelitian sebanyak 101 orang yang diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling.
Hasil Penelitian: Berdasarkan hasil analisis bivariat pola makanan berserat dan frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, didapatkan nilai p > 0.05.
Kesimpulan: Bentuk pola makanan berserat dan frekuensi olahraga tidak menunjukkan hubungan signifikan terhadap kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Kata Kunci: Konstipasi, Pola Makanan Berserat, Frekuensi Olahraga
viii
ASSOCIATION OF DIETARY FIBER INTAKE AND EXERCISE FREQUENCY WITH CONSTIPATION OCCURRENCE IN MEDICAL STUDENT FACULTY
OF MEDICINE HASANNUDDIN UNIVERSITY Nurizki Meutiarani M, dr. Irwin Aras, M. Epid, M. Med Ed Essay, Faculty of Medicine Hasannuddin University Makassar 2017
Background: Constipation is a health problem which characterized by the passage of hard and dry stool less than three times a week. The disease influences almost 20% of world’s population and negatively affect the quality of life and increase the risk of colon cancer. Each individual has different defecation pattern which affected by several factors such as physical activity and dietary fiber intake that consumed each day, which will cause disruption to the digestive tract if left unfulfilled.
Method: This research use analytic descriptive method with 101 samples taken by consecutive sampling technique.
Result: Based on bivariate analysis, dietary fiber intake and exercise frequency with constipation occurrence in Medical Student Faculty of Medicine Hasannuddin University, p value > 0.05 was obtained.
Summary: Dietary fiber intake and exercise frequency showed no significant association towards constipation occurrence in Medical Student Faculty of Medicine Hasanuddin Universtity.
Key Words: Constipation, Dietary Fiber, Exercise Frequency
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ...v
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...4
1.3 Tujuan Penelitian ...4
1.3.1. Tujuan Umum ...4
1.3.2. Tujuan Khusus ...5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...6
2.1 Konstipasi ...6
2.1.1 Definisi Konstipasi...6
2.1.2 Epidemiologi Konstipasi ...5
2.1.3 Patofisiologi Konstipasi ...7
2.1.4 Diagnosis Konstipasi ...8
2.1.5 Tatalaksana Konstipasi ...11
2.1.6 Diagnosis Banding Konstipasi ...14
2.1.7 Komplikasi Konstipasi ...14
2.1.8 Prognosis Konstipasi ...15
2.2 Makanan Berserat ...15
2.2.1 Definisi Makanan Berserat ...15
2.2.2 Klasifikasi Makanan Berserat ...16
2.2.3 Sumber Makanan Berserat ...17
2.2.4 Kebutuhan Makanan Berserat ...17
x
2.2.5 Manfaat Makanan Berserat ...18
2.3 Olahraga ...22
2.3.1 Definisi Olahraga ...22
2.3.2 Rekomendasi Olahraga ...23
2.3.3 Manfaat Olahraga ...23
2.4 Hubungan Makanan Berserat dengan Konstipasi ...25
2.5 Hubungan Frekuensi Olahraga dengan Konstipasi ...25
2.6 Kerangka Teori ...26
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL ...27
3.1 Dasar Pemikiran Variabel Penelitian ...27
3.2 Kerangka Konsep ...27
3.3 Definisi Operasional ...28
3.4 Hipotesis Penelitian ...29
3.4.1 Hipotesis Null ...29
3.4.2 Hipotesis Alternatif ...29
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ...30
4.1 Desain Penelitian ...30
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...30
4.3 Populasi dan Sampel ...30
4.3.1 Populasi ...30
4.3.2 Sampel ...30
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...31
4.4.1 Kriteria Inklusi ...31
4.4.2 Kriteria Eksklusi ...31
4.5 Teknik Pengambilan Sampel ...31
4.6 Besar Sampel ...31
4.7 Analisis Data ...32
4.7.1 Analisis Univariat ...32
4.7.2 Analisis Bivariat ...32
4.8 Manajemen Penelitian ...33
4.8.1 Pengumpulan Data ...33
xi
4.8.2 Teknik Pengolahan Data ...34
4.8.3 Penyajian Data ...34
4.9 Etika Penelitian ...34
BAB 5 HASIL PENELITIAN ...35
5.1.Analisis Univariat ...35
5.2.Analisi Bivariat ...37
BAB 6 PEMBAHASAN ...40
6.1 Hubungan Antara Pola Makanan Berserat dengan Kejadian Konstipasi ...40
6.2 Hubungan Antara Frekuensi Olahraga dengan Kejadian Konstipasi ...41
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ...43
7.1 Kesimpulan ...43
7.2 Saran ...43
DAFTAR PUSTAKA ...45
LAMPIRAN ...50
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penanganan Konstipasi Kronik ...10 Gambar 2.2 Kerangka Teori Konstipasi ...20 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ...21
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Serat yang Dianjurkan untuk orang Indonesia ...14 Tabel 5.1 Angka Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ...28 Tabel 5.2 Distribusi Pola Makanan Berserat pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ...28 Tabel 5.3 Frekuensi Olahraga pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ...29 Tabel 5.4 Hubungan Pola Makanan Berserat dengan Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ...29 Table 5.5 Hubungan Frekunsi Olahraga dengan Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ... 30
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstipasi merupakan masalah kesehatan berupa gangguan pengeluaran feses yang keras dan kering kurang dari tiga kali dalam seminggu (Folden, 2002). Penyakit ini memengaruhi hampir 20% populasi dunia yang memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup penderitanya dan meningkatkan risiko kanker kolon (Yang, 2012).
Insidens konstipasi meningkat sesuai bertambahnya umur dan dilaporkan bahwa perempuan menderita konstipasi lebih sering dibandingkan laki-laki (Folden, 2002).
Konstipasi adalah salah satu gangguan gastrointestinal yang paling sering di Amerika Serikat (Basson, 2017), yaitu berkisar antara 2-15% (Kliegman, 2007).
Penelitian di Amerika Utara melaporkan bahwa estimasi penderita konstipasi yaitu sebanyak 1,9%-27,2%, dengan rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 2.2:1 (Higgins & Johanson, 2004). Berdasarkan survei yang dilakukan, prevalensi konstipasi di Asia (direpresentasikan oleh Korea, Cina, dan Indonesia) diperkirakan sebanyak 15-23%
pada perempuan dan 11% pada laki-laki. Sebagai perbandingan dengan survei yang sama, ditemukan prevalensi yang lebih rendah di Jerman, Italia, dan Inggris yaitu sebesar 7-11% pada perempuan dan < 5% pada laki-laki (Gwee, 2013). Di Indonesia sendiri terdapat sebanyak 3.857.327 jiwa yang mengalami konstipasi sesuai data Internasional Amerika Serikat Bereau pada tahun 2003 (Sari, 2016).
Setiap individu memiliki pola defekasi berbeda yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain asupan cairan, aktivitas dan asupan serat dalam makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Apabila ketiga hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan gangguan di saluran pencernaan (Setyani, 2012). Konsumsi serat yang rendah meningkatkan risiko munculnya penyakit degenaratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, obesitas (kegemukan), dan penyakit gangguan pencernaan seperti sembelit (konstipasi), wasir (ambien), tumor, kanker kolon, divertikulosis, radang usus buntu, dan gangguan pencernaan lain (Sulistijani, 2002; Muchtadi, 2001).
Sejauh ini penelitian tentang konsumsi serat Indonesia masih sangat terbatas. Rata-rata konsumsi serat penduduk Indonesia secara umum yaitu 10.5 g/hari (Depkes RI, 2008). Nilai ini hanya mencapai setengah dari kecukupan serat yang dianjurkan. Kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi untuk orang dewasa usia 19—29 tahun adalah 38 g/hari untuk laki-laki dan 32 g/hari untuk perempuan (Ambarita, 2014).
Menurut Riskesdas 2013, penduduk dikategorikan ‘cukup’ mengonsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas (Litbang Depkes RI, 2013).Di Makassar sendiri sebanyak 1,6%
penduduk tidak mengonsumsi sayur dan/buah, 92,6% penduduk mengonsumsi 1-2 porsi sayur dan/buah, 4,3% penduduk mengonsumsi 3-4 porsi sayur dan/buah, dan hanya 1,5%
penduduk yang mengonsumsi >5 porsi sayur dan/buah (Litbang Depkes RI Sulawesi Selatan, 2013).
Pola konsumsi mahasiswa yang cenderung mementingkan kepraktisan perlu mendapat perhatian khusus. Apalagi dengan semakin maraknya junk food dan makanan siap saji yang rendah serat. Umumnya makanan siap saji sangat kaya lemak, protein, dan
1
kolesterol, tetapi miskin serat. Konsumsi serat yang rendah ini dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan pencernaan dan beberapa penyakit degeneratif (Badrialaily, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Fakultas Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) dan mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB sekitar 25%
mahasiswa menyatakan tidak teratur buang air besar setiap hari. Sebanyak 96,7%
mahasiswa mengonsumsi serat yang rendah setiap harinya, dimana 63,3% mahasiswa mengonsumsi serat sekitar 7,8g/hari (Badrialaily, 2004).Penelitian yang dilakukan pada mahasiswi Prodi S1 Ilmu Gizi Universitas Diponegoro Semarang, sebanyak 17,1%
mahasiswi memiliki frekuensi defekasi tiga kali seminggu, mahasiswi dengan kesulitan defekasi tingkat IV sebesar 17,1%, mahasiswi mengalami konsistensi feses tingkat III yaitu 58,6%, dan 90% mahasiswi memiliki asupan serat defisit (Hutabarat, 2011).
Selain kurangnya konsumsi makanan berserat pada suatu individu, olahraga yang kurang juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya konstipasi (Nutrition Guideline Constipation, 2013). Dalam Riskesdas 2013 kriteria aktivitas fisik “aktif”
adalah individu yang melakukan aktivitas berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria ‘kurang aktif’ adalah individu yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang ataupun berat (Litbang Depkes RI, 2013). Di Sulawesi Selatan, Makassar menduduki tempat kedua proporsi penduduk umur >10 tahun dengan aktivitas fisik yang kurang aktif yaitu sebesar 43% dimana kriteria kurang aktivitas adalah kegiatan kumulatif kurang dari 150 menit dalam seminggu (Litbang Depkes RI Sulawesi Selatan, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Karakaya et al mengenai hubungan konstipasi dan tingkat aktivitas fisik pada mahasiswa pada tahun 2015, menunjukkan bahwa rata-rata nilai total Kuisioner Aktifitas Fisik Internasional mahasiswa dengan
konstipasi lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak mengalami konstipasi. Artinya, tingkat aktifitas fisik mahasiswa dengan masalah konstipasi lebih rendah dibandingkan yang tidak konstipasi (Karakaya et al, 2015).
Sesuai dengan latar belakang tersebut, dimana didapatkan korelasi yang erat antara pola makanan berserat dan frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi, maka perlu diteliti mengenai “Hubungan Pola Makanan Berserat dan Frekuensi Olahraga dengan Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Falkultas Kedokteran Universitas Hasanuddin”.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah hubungan antara pola makanan berserat dan frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin?”.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antarpola makanan berserat dan frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin.
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui angka kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
b) Untuk mengetahui distribusi pola makanan berserat pada mahasiswa yang mengalami konstipasi.
c) Untuk mengetahui distribusi frekuensi olahraga pada mahasiswa yang mengalami konstipasi.
d) Untuk mengetahui adanya hubungan antara pola makanan berserat dengan kejadian konstipasi.
e) Untuk mengetahui adanya hubungan antara frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konstipasi
2.1.1 Definisi Konstipasi
Menurut Practice Guideline untuk penatalaksanaan konstipasi pada orang dewasa, konstipasi adalah pengeluaran sejumlah kecil feses yang keras dan kering kurang dari tiga kali dalam seminggu atau perubahan signifikan kebiasaan buang air besar seseorang, yang diikuti mengedan, dan perasaan begah, atau perut terasa penuh. Gejala yang menetap selama 3 bulan atau lebih disebut konstipasi kronik (Folden, 2002).
2.1.2 Epidemiologi Konstipasi
Epidemiologi konstipasi menunjukkan pola yang sama dengan beberapa poin penting. Prevalensi konstipasi berkisar antara 3% hingga 27% dengan rata-rata sekitar 15%, hasil yang beragam didapatkan dari perbedaan definisi kasus konstipasi. Konstipasi meningkat secara progresif seiring bertambahnya usia, terutama pada usia 65 tahun ke atas. Perempuan dua kali lebih rentan terkena konstipasi dibandingkan laki-laki dan lebih jarang terkena pada orang kulit putih, meskipun demekian distribusi menurut ras kurang konsisten dibandingkan distribusi menurut usia atau jenis kelamin. Konstipasi juga lebih umum terjadi pada individu dengan status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah, penduduk di daerah pedesaan, dan di daerah dengan suhu yang lebih dingin seperti pegunungan (Johanson, 2006).
Konstipasi merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang paling sering di Amerika Serikat (Basson, 2017), yaitu berkisar antara 2-15% (Kliegman, 2007).
Penelitian di Amerika Utara melaporkan bahwa estimasi penderita konstipasi yaitu sebanyak 1,9%-27,2% dimana rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 2.2:1 (Higgins
& Johanson, 2004). Berdasarkan surv ei yang dilakukan, prevalensi konstipasi di Asia (direpresentasikan oleh Korea, Cina, dan Indonesia) diperkirakan sebanyak 15-23% pada perempuan dan 11% pada laki-laki. Sebagai perbandingan dengan survei yang sama, ditemukan prevalensi yang lebih rendah di Jerman, Italia, dan United Kingdom yaitu sebesar 7-11% pada perempuan dan <5% pada laki-laki (Gwee, 2013). Di Indonesia sendiri terdapat sebanyak 3.857.327 jiwa yang mengalami konstipasi sesuai data Internasional Amerika Serikat Bereau pada tahun 2003 (Sari, 2016).
2.1.3 Patofisiologi Konstipasi
Patofisiologi konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu konstipasi primer dan konstipasi sekunder. Konstipasi primer atau disebut juga sebagai konstipasi idiopatik (Orenstein, 2008) merupakan konstipasi dengan penyebab atau patofisiologi yang tidak dipahami dengan jelas (Lilihata dkk, 2014), termasuk diantaranya adalah konstipasi fungsional, konstipasi dengan waktu transit lambat, dan konstipasi dengan kelainan saluran. Konstipasi fungsional yang juga disebut sebagai konstipasi dengan waktu transit normal terdiri atas konstipasi idiopatik kronik fungsional dan konstipasi predominan irritable bowel syndrome. Konstipasi tipe ini ditandai dengan sulitnya evakuasi feses atau terhambatnya pengeluaran feses, feses keras, atau rasa tidak nyaman pada perut. Gejala paling menonjol pada konstipasi predominan irritable bowel
5
syndrome adalah rasa tidak nyaman atau nyeri hebat sedangkan pada konstipasi idiopatik kronik dapat diikuti dengan rasa nyeri dan tidak nyaman pada perut namun bukan sebagai keluhan utama (Orenstein, 2008; Brown & Huether, 2016).
Konstipasi dengan waktu transit lambat ditandai dengan adanya perpanjangan waktu motilitas kolon. Gejala konstipasi ini yakni frekuensi feses yang rendah, kurangnya keinginan pasien untuk defekasi, distensi abdomen, kembung, dan rasa tidak nyaman pada perut. Sedangkan konstipasi dengan kelainan saluran disebabkan oleh penyebab mekanik seperti penyakit Hirschprung, striktur anus, keganasan, prolaps, dan rectoceles yang besar, atau kelainan dari lantai pelvis. Kelainan lantai pelvis dapat menimbulkan gejala seperti perasaan tidak mampu untuk mengosongkan rektum secara adekuat dan mengejan yang berlebihan (Orenstein, 2008).
Pada konstipasi sekunder gangguan defekasi disebabkan oleh diet dan gaya hidup yang tidak sehat, kehamilan, obstruksi kolon dan usus halus, hipotiroidisme, hiperkalsemia, dan obat-obatan seperti analgetik golongan opioid (Lilihata dkk, 2014;
Gosling & Emmanuel, 2014).
2.1.4 Diagnosis Konstipasi 2.1.4.1 Anamnesis
Anamnesis harus menggali informasi mengenai karakteristik konstipasi, seperti frekuensi dan konsistensi feses, apakah harus mengedan, sensasi buang air besar yang tidak selesai, nyeri, perdarahan, atau prolaps.
Faktor risiko untuk konstipasi primer dan sekunder perlu ditanyakan pada anamnesis yaitu umur (< 4 tahun, > 65 tahun), makanan rendah serat, jenis kelamin
perempuan, aktivitas fisik yang kurang, riwayat konstipasi ketika masa kanak-kanak, kelainan endokrin dan penyakit neuromuskular, depresi atau kecemasan, riwayat kanker dari keluarga, dan riwayat bedah pelvis.
Obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi kronik, terutama pada orang tua atau pasien yang tidak dapat bergerak, diperlukan peninjauan ulang atau jika memungkinkan dilakukukan penyesuaian obat sebelum diberikan obat pencahar apabila tidak terdapat tanda bahaya (Orenstein, 2008).
Menurut ROME III, kriteria diagnostik konstipasi fungsional adalah:
1. Harus mengalami dua atau lebih gejala berikut:
a. Mengejan pada setidaknya >25% defekasi
b. Feses kental atau keras setidaknya >25% defekasi
c. Sensasi evakuasi yang inkonplit pada setidaknya >25% defekasi
d. Sensasi obstruksi atau penyumbatan anorektal pada setidaknya >25% defekasi e. Manuver manual untuk menfasilitasi >25% defekasi (misalnya evakuasi digital
atau topangan pada lantai pelvis)
f. Frekuensi defekasi kurang dari tiga kali dalam satu minggu.
2. Feses yang encer atau berair jarang ada tanpa penggunaan laksatif.
3. Kriteria tidak cukup untuk diagnosis irritable bowel syndrome.
Dimana kriteria diagnostik ini harus terpenuhi dalam tiga bulan terakhir dengan awitan gejala setidaknya sejak 6 bulan sebelumnya (ROME III, 2006). Adapun tanda bahaya dari konstipasi adalah penurunan berat badan, feses berdarah (hematochezia), perubahan kebiasaan kolon, dan gejala yang sulit diatasi dengan obat-obatan dapat menunjukkan kanker kolon (Orenstein, 2008).
2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik konstipasi harus selalu dilakukan inspeksi daerah perianal untuk membuktikan ada tidaknya hemoroid atau fisura. Pemerksaan digital rektum dapat menunjukkan ada tidaknya kelainan pada kontraksi sfingter atau kontraksi otot puborektalis yang diikuti dengan manuver valsava (Orenstein, 2008).
2.1.4.3 Pemeriksaan Laboratorium
Jika pada anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan penyebab konstipasi adalah penyebab sekunder, atau pada pasien berusia 50 tahun atau lebih, maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah lengkap, tingkat elektrolit serum, kadar gula darah, dan fungsi tiroid. Pemeriksaan ini dapat membantu menyingkirkan penyebab metabolik, endokrin, atau organik lainnya (Orenstein, 2008).
2.1.4.4 Pemeriksaan Penunjang
Kolonoskopi diindikasikan pada pasien yang berusia 50 tahun atau lebih, pasien yang mengalami tanda bahaya, dan faktor risiko konstipasi. Seluruh kolon perlu diinspeksi dengan kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel yang diikuti dengan barium enema untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan struktur kolon. Perlu diperhatikan bahwa semua pasien diatas 50 tahun perlu dilakukan skrining kanker kolon sebelum dilakukan tindakan.
Jika pasien tidak merespon terhadap terapi yang diberikan, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti uji transit kolon, manometri anorektal dengan balon
ekspulsi, dan jika memungkinkan defecating proctography atau dynamic pelvic MRI.
Pemeriksaan ini juga dapat memberikan keuntungan bagi pasien untuk mendapatkan rujukan ke ahli gastroenterologi untuk pengobatan lebih lanjut (Orenstein, 2008).
2.1.5 Tatalaksana Konstipasi
Pengobatan pada konstipasi primer kronik difokuskan pada meringankan gejala yang dikeluhkan pasien. Penanganan lini pertama menggunakan pendekatan non farmakologi seperti meningkatkan jumlah serat pada makanan atau mengonsumsi suplemen serat. Serat yang direkomendasikan untuk pasien konstipasi adalah:
1) Meningkatkan asupan serat dari makanan alami hingga 20 gram per hari selama lebih dua hingga tiga minggu untuk meminimalisir efek yang berlawanan.
2) Mempertimbangkan pemberian suplemen serat seperti psyllium, jika peningkatan asupan serat alami tidak meringankan gejala yang berhubungan dengan konstipasi.
3) Jika gejala menetap setelah penggunaan suplemen serat dan perubahan gaya hidup, pemeriksaan lanjutan struktur dan fungsi kolon (manometri anorektal, kolonoskopi, defakografi, manometri kolon) perlu dipertimbangkan.
Perubahan gaya hidup seperti meningkatkan aktivitas fisik dan modifikasi makanan sehari-hari, serta terapi kebiasaan kognitif (biofeedback dan hipnotis), dapat meringankan gejala pada sebagian pasien dengan konstipasi kronik.
Jika gejala tidak hilang dengan penanganan lini pertama, berikan agen laksatif osmotik. Laksatif osmotik sulit atau tidak dapat diserap dan bekerja dengan menarik air
ke dalam lumen usus untuk mempertahankan isotonisitas diantara konten usus dan serum.
Contohnya adalah polyethylene glycol, sodium fosfat, magnesium hidroksida, magnesium sitrat, gula laktulosa dan sorbitol, serta gliserin. Laktulosa dan polyethylene glycol tidak menyasar penyebab dasar konstipasi, namun dapat meningkatkan cairan di dalam usus halus dan menambah konsistensi feses, sehingga dapat meningkatkan frekuensi motilitas kolon. Namun, laksatif osmotik dapat menyebabkan diare, gangguan elektrolit, volume feses berlebihan, dan dehidrasi.
Stimulan laksatif biasanya digunakan ketika laksatif osmotik tidak mampu mengurangi gejala pada pasien konstipasi. Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan motilitas usus yang melambat dan meningkatkan sekresi cairan usus. Laksatif tipe ini sudah jarang digunakan dan hanya diberikan dalam jangka waktu pendek, mempertimbangkan fungsi kolon yang terganggu, merusak sistem saraf enterik, ketergantungan laksatif, dan bahkan dapat menyebabkan kanker kolon.
Agen Lubiprostone atau Amitizia merupakan agonis kanal klorida yang ditemukan di ujung sel epitel usus. Agen ini mampu meningkatkan sekresi klorida ke dalam lumen usus sehingga terjadi peningkatan sekresi cairan usus. Lubiprostone memiliki efek yang sama dengan laktulosa dan polyethylene glycol, yaitu meningkatkan cairan di kolon, berkontribusi dalam meningkatkan konsistensi feses, mengurangi waktu transit feses, dan meningkatkan frekuensi motilitas kolon. Berbeda dengan laktulosa dan polyethylene glycol yang diindikasikan hanya untuk penggunaan jangka pendek, lubiprostone terbukti aman dan efektif apabila digunakan hingga 48 minggu.
Gambar 2.1 Penanganan Konstipasi Kronik (Orenstein, 2008)
Biofeedback adalah pengobatan pilihan pada pasien dengan disinergi lantai pelvis, dimana tingkat keberhasilannya mencapai 70-81% dibandingkan dengan pengobatan standar (laksatif, serat, dan edukasi). Dalam program latihan, pasien menerima umpan balik secara auditori, visual, atau keduanya untuk melatih melemaskan sfingter anus sambil menstimulasi defekasi. Latihan ini juga dapat meningkatkan sensasi rektum untuk menilai apakah ingin defekasi atau tidak (Orenstein, 2008).
2.1.6 Diagnosis Banding Konstipasi
Melalui diagnosis banding, seorang dokter dapat menentukan apakah salah satu dari kondisi berikut menjadi penyebab konstipasi pasien: irritable bowel syndrome, obstipasi atau impaksi feses, penyakit Hirschprung pada anak-anak, fisura anus, hemoroid, akibat konsumsi obat yang sebabkan konstipasi, serta tumor pada saluran pencernaan (Seller & Simons, 2011).
2.1.7 Komplikasi Konstipasi
Menurut hasil penelitian Besley et al, terdapat penurunan kualitas hidup terkait kesehatan pada orang dewasa dan anak-anak yang terkena konstipasi. Penurunan kualitas hidup ini terutama mempengaruhi fungsi sosial dan kesehatan mental mereka. Pada pelajar, konstipasi dapat mempengaruhi perubahan perilaku karena mereka harus dihadapi dengan masalah pendidikan yang disebabkan kurangnya kehadiran di sekolah (Belsey et al, 2010).
Pasien dengan konstipasi kronik dapat terkena komplikasi, beberapa diantaranya dapat mengancam jiwa. Seperti ulkus sterkoral yang biasanya muncul dengan nyeri perut yang semakin memburuk ketika terbentuk ulkus. Ulkus sterkoral adalah ulserasi kolon yang disebabkan oleh penekanan massa feses yang menyebabkan trauma persisten dan iskemia lokal sehingga dapat terjadi perforasi bebas. Ulkus sterkoral umumnya ditemukan pada pasien lanjut usia di regio rektosigmoid, namun dapat juga ditemukan di seluruh bagian kolon. Ulkus soliter biasanya timbul pada dinding anterior rektum yang
memungkinkan terjadinya prolaps mukosa dan iskemia lokal (Reynolds, 2012; Yamada, 2009).
Perdarahan akibat robekan mukosa kolon atau ulkus sterkoral jarang terjadi, namun lebih sering ditemukan pada pasien konstipasi kronik dengan hemoroid. Mengejan yang berlebihan mengakibatkan feses yang keras menekan struktur vena dan terjadi trauma lokal pada daerah tersebut, hal inilah yang berkontribusi terhadap pembentukan hemoroid.
Prolaps rektum juga dapat terjadi pada penderita konstipasi kronik berat, umumnya pada pasien yang memiliki kebiasaan mengejan saat defekasi. Mengejan terlalu sering dapat menimbulkan kerusakan saraf ekstrinsik apabila telah mengenai lantai pelvis (Reynolds, 2012).
2.1.8 Prognosis Konstipasi
Sebagian besar pasien membaik setelah mendapatkan penanganan medis dan perubahan asupan makanan yang sesuai. Konstipasi berulang dapat terjadi tergantung dengan kepatuhan pasien terhadap terapi jangka panjang. Beberapa pasien dengan konstipasi fungsional memerlukan kolektomi abdomen total dengan anastomosis ileorektal. Setelah pemeriksaan pasca operasi yang terdiri atas penilaian fisik dan psikologis, pasien konstipasi dengan obstruksi saluran pembuangan umumnya berespon baik dengan bedah dan memiliki prognosis yang baik (Basson, 2017).
2.2 Makanan Berserat
2.2.1 Definisi Makanan Berserat
Makanan berserat adalah bagian dari tanaman yang dapat dimakan atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan penyerapan di usus kecil dengan fermentasi lengkap atau sebagian di usus besar manusia. Makanan berserat meliputi polisakarida, oligosakarida, lignin, dan zat tumbuhan terkait yang dapat meningkatkan efek fisiologis yang menguntungkan termasuk laksatif, dan/atau menurunkan kolesterol darah, dan/atau menurunkan glukosa darah (American Association of Cereal Chemists Report, 2001).
2.2.2 Klasifikasi Makanan Berserat
Makanan berserat terbagi atas serat tidak larut air dan serat larut air. Serat tidak larut air merupakan tipe serat yang menarik air ke usus, membuat feses menjadi berat dan lunak. Serat jenis ini mempercepat gerakan makanan melalui saluran pencernaan.
Oleh karena itu, serat tidak larut air dapat mencegah penyakit divertikular, kanker kolon, hemoroid, dan konstipasi. Selulosa, hemi selulosa, dan lignin merupakan serat tidak larut air. Komponen ini menghasilkan tekstur yang keras dan kenyal pada sekam gandum, gandum utuh, sekam jagung, dan beberapa sayuran.
Serat larut air memperlambat gerakan makanan melalui tubuh, tetapi tidak meningkatkan besar feses. Serat larut air mempertahankan tingkat kolesterol sehat, menormalkan tingkat gula darah pada pasien diabetes, dan bahkan mampu menurunkan tekanan darah. Pektin dan getah merupakan contoh serat larut air dan dapat ditemukan
pada buncis, sekam oat, kulit ari psylllium, serta beberapa buah dan sayuran (University Health Services Tang Center, 2009).
2.2.3 Sumber Makanan Berserat
Di dunia tanaman ditemukan berbagai macam serat. Serat dengan pelbagi tipe yang berbeda-beda dan jumlah yang berlainan terdapat dalam segala struktur tanaman.
Serat tersebut berada di dalam dinding sel dan di dalam sel-sel akar, daun, batang, biji, serta buah (Beck, 2011).
Sumber terbaik serat tidak larut air adalah sekam gandum, makanan yang mengandung gandum utuh seperti roti gandum dan sereal, sayuran dan buah (terutama yang memiliki biji dan kulit, serta legumen seperti kacang polong, buncis dan lentil).
Sedangkan sumber terbaik serat larut air yaitu sekam oat, oatmeal, legumen seperti buncis dan lentil, barley, kulit ari psyllium (ditambahakan pada sereal), apel, stroberi, dan buah sitrus (Nutrition Guideline Constipation, 2013).
2.2.4 Kebutuhan Makanan Berserat
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Serat (gram) yang Dianjurkan untuk Orang Indonesia (perorang perhari)
Umur
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
0-6 bulan 0 0
7-11 bulan 10 10
1-3 tahun 16 16
4-6 tahun 22 22
7-9 tahun 26 26
10-12 tahun 30 28
13-15 tahun 35 30
16-18 tahun 37 30
19-29 tahun 38 32
30-49 tahun 38 30
50-64 tahun 33 28
65-80 tahun 27 22
80+ tahun 22 20
Hamil (+an)
Trimester 1 +3
Trimester 2 +4
Trimester 3 +4
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +5
6 bulan kedua +6
(Permenkes RI, 2013)
2.2.5 Manfaat Makanan Berserat 2.2.5.1 Membantu Pencernaan.
Serat tidak larut air yang lewat melalui saluran pencernaan dapat membuat feses lebih lunak dan banyak (Clifford et al, 2015). Peningkatan konsumsi makanan berserat menurunkan waktu transit materi feses melalui kolon, meningkatkan frekuensi defekasi, pola defekasi menjadi teratur, dan mengurangi kerasnya feses. Secara tipikal, serat menurunkan pH kolon yang dapat meningkatkan populasi mikroflora usus dan mengubah distribusi spesies mikroflora usus. Feses yang lebih lunak mengurangi rasa tidak nyaman pada kolon dan anus pada saat proses eliminasi serta mengurangi tegangan otot yang digunakan saat defekasi (American Association of Cereal Chemists Report, 2001).
Serat terutama pada produk gandum utuh, membantu dalam pengobatan dan pencegahan konstipasi, hemoroid, dan divertikulosis. Divertikula merupakan kantong pada dinding usus yang dapat menjadi inflamasi. Telah diketahui bahwa makanan tinggi serat memberikan hasil yang lebih baik untuk mencegah inflamasi kembali setelah inflamasi sebelumya telah reda (Clifford et al, 2015).
2.2.5.2 Mengontrol Berat Badan.
Sebagian besar penelitian dengan kontrol asupan energi melaporkan bahwa peningkatan konsumsi serat dapat meningkatkan rasa kenyang setelah makan dan dapat memperpanjang waktu rasa lapar berikutnya. Telah dilaporkan bahwa efek peningkatan asupan serat lebih mengesankan pada individu obesitas. Pada kelompok ini disimpulkan bahwa peningkatan rata-rata asupan serat dari 15 gram/hari menjadi 25-30 gram/hari membantu mengurangi prevalensi obesitas (Slavin J, 2005).
Penambahan ekstra serat ke dalam makanan akan meningkatkan jumlah energi, atau kalori makanan, yang dieksresikan ke dalam feses. Kehilangan kalori ini hanya
sedikit dan nilainya bagi mereka yang hendak melangsingkan tubuh dapat diabaikan.
Tindakan mengikutsertakan makanan tinggi serat yang tidak digiling halus ke dalam diet rendah kalori mempunyai dua macam keuntungan: (1) makanan berserat merupakan makanan yang liat, sukar dicerna, dan memberikan isi sehingga untuk memakannya perlu waktu lebih lama; dan (2) karena makanan berserat akan tinggal lebih lama di dalam lambung, perasaan kenyang setelah makan berlangsung lebih lama (Beck, 2011).
2.2.5.3 Menurunkan Kolesterol Darah.
Kolesterol plasma total dan kolesterol low density lipoprotein (LDL) merupakan biomarker yang mengindikasikan adanya perubahan tingkat risiko penyakit jantung koroner (PJK). Penurunan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL dianggap dapat mengurangi risiko PJK (American Association of Cereal Chemists Report, 2001).
Beberapa serat fungsional, terutama serat larut air dan kental dapat menurunkan biomarker pada penyakit jantung koroner. Serat kental dapat menurunkan tingkat kolesterol darah terutama kolesterol LDL (Slavin & Jacobs, 2010).
Meta analisis oleh Brown et al menunjukkan bahwa peningkatan asupan serat larut air sebanyak 2-10 gram dapat menurunkan serum kolesterol total dan konsentrasi kolesterol LDL secara signifikan (Brown et al, 1999). Beta-glukan pada oat, barley, dan kulit ari psyllium telah diklaim oleh United State Food and Drug Association bahwa makanan serat larut air ini dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu (Slavin & Jacobs, 2010).
Selain itu, sebuah penelitian selama 12 tahun pada 859 laki-laki dan perempuan Kalifornia Selatan menunjukkan peningkatan asupan serat sebanyak 6 gram sehari
berhubungan dengan penurunan mortalitas penyakit jantung iskemia sebanyak 25%
(American Association of Cereal Chemists Report, 2001).
2.2.5.4 Menurunkan Gula Darah.
Efek yang menguntungkan dari peningkatan konsumsi makanan berserat dapat dilihat pada pasien diabetes Tipe 1 dan Tipe 2 yaitu dapat meningkatkan toleransi terhadap glukosa, menurunkan kebutuhan insulin, dan meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan perifer. Pada 1987, Anderson dkk menyimpulkan sejumlah penelitian dimana salah satu penelitian tersebut mengukur secara langsung rata-rata efek fisiologis cepat pada serat makanan dan makanan tinggi serat adalah penurunan tingkat glukosa darah dalam beberapa jam setelah proses pencernaan makanan. Mencerna sejumlah glukosa menyebabkan peningkatan tingkat serum glukosa secara cepat, mencapai puncak dalam 30 hingga 60 menit setalah makan. Hal ini diikuti oleh penurunan serum glukosa yang cukup cepat setelah 30 hingga 60 menit berikutnya akibat peningkatan sekresi insulin tubuh sebagai respon peningkatan glukosa. Setelah kurang lebih dua jam, tingkat serum glukosa kembali ke jumlah yang sama atau lebih rendah dari tingkat glukosa sebelum proses pencernaan. Untuk makanan yang dapat dicerna secara mudah dan cepat, respon serum glukosa akan mengikuti pola tersebut. Pada makanan lainnya seperti makanan tinggi serat, peningkatan serum glukosa lebih lambat dan tidak mencapai tingkat maksimum. Begitu pula pada penurunan serum glukosa setelah mencapai puncak yaitu kurang cepat dibandingkan makanan yang mudah dicerna (American Association of Cereal Chemists Report, 2001).
2.2.5.5 Perlindungan terhadap Kanker.
Penelitian epidemiologi membuktikan adanya kaitan antara masukan serat makanan dengan insidensi kanker kolon. Diet yang kaya akan serat dianggap memberikan daya perlindungan terhadap kanker kolon. Mekanisme yang dikemukakan adalah serat menigkat bahan-bahan karsinogenik dan mengeluarkannya dari dalam kolon, peningkatan massa feses akan mengencerkan konsentrasi karsinogen yang ada, dan penurunan waktu transit akan mengurangi lamanya kolon terkena bahan karsinogenik (Beck, 2011).
2.2.5.6 Dampak Konsumsi Makanan Kurang Serat
Individu yang tidak mengonsumsi serat secara adekuat, dibandingkan dengan individu yang mengonsumsi cukup serat, memiliki risiko yang tinggi untuk terkena penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, strok, dan hipertensi; diabetes tipe 2; obesitas; penyakit gastrointestinal tertentu seperti ulkus peptikum, penyakit kantong empedu, penyakit divertikular, konstipasi, hemoroid, GERD, dan irritable bowel syndrome; serta kanker saluran pencernaan (Ötles & Ozgoz, 2014).
2.3 Olahraga
2.3.1 Definisi Olahraga
Olahraga adalah salah satu subkategori aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, berulang, dan terarah yang bertujuan untuk meningkatkan atau menjaga satu atau lebih komponen kebugaran fisik. Aktivitas fisik termasuk olahraga serta kegiatan lainnya yang
melibatkan gerakan tubuh dan dilakukan sebagai bagian dari bermain, bekerja, transportasi aktif, pekerjaan rumah tangga, dan kegiatan rekreasi (WHO, 2017).
2.3.2 Rekomendasi Olahraga
Menurut Physical Activity Guidelines for American pada tahun 2008, direkomendasikan untuk berolahraga setidaknya 2 jam 30 menit (150 menit) kegiatan aerobik menengah per minggu atau 1 jam 15 menit (75 menit) kegiatan aerobik berat per minggu. Perlu diketahui bahwa satu menit aktivitas intensitas tinggi sebanding dengan dua menit aktivitas intensitas sedang. Dalam panduan ini tidak menjelaskan berapa hari dalam seminggu harus berolahraga, namun secara umum para ahli merekomendasikan untuk aktif berolahraga setidaknya tiga hari dalam seminggu. Manfaat olahraga dapat dicapai apabila seseorang dapat mengeluarkan 500-1000 kalori dari dalam tubuh per minggu (Davis & Zolt, 2014).
2.3.3 Manfaat Olahraga
Banyak orang menghabiskan lebih dari setengah waktu bangun mereka untuk duduk dan kegiatan lainnya yang tidak cukup untuk meningkatkan kesehatan. Kebiasaan yang berkembang di masyarakat ini, dapat menyebabkan lebih banyak masalah daripada yang disadari kebanyakan orang. Studi observasional menunjukkan kebiasaaan aktivitas fisik yang kurang dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes, trombosis vena dalam, dan sindrom metabolik. Berikut beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari berolahraga rutin:
1. Mengurangi kemungkinan terserang penyakit jantung. Berolahraga secara teratur membantu mencegah penumpukan plak dengan menyeimbangkan kadar lipid darah yang lebih sehat dan membantu mempertahankan elastisitas arteri dari efek penuaan. Bahkan pada orang yang telah mengidap penyakit jantung, olahraga dapat menurunkan kemungkinan terjadinya kematian.
2. Menurunkan tekanan darah.
3. Mencegah diabetes dengan mengurangi kelebihan berat badan, menurunkan kadar gula darah, dan meningkatkan sensitivitas insulin untuk membawa glukosa ke dalam sel.
4. Mengurangi risiko pengembangan kanker kolon dan payudara, dan memungkinkan untuk mencegah kanker endometrium dan paru-paru. Dengan berolahraga dapat dicapai berat badan yang sehat dan mengurangi risiko terkena kanker akibat faktor obesitas.
5. Menguatkan tulang. Bila dikombinasikan dengan konsumsi kalsium, vitamin D, dan obat-obatan untuk kesehatan tulang, latihan menahan beban seperti berjalan kaki, berlari, dan latihan kekuatan dapat mengurangi kerapuhan tulang akibat efek penuaan. Latihan keseimbangan seperti tai chi dan yoga dapat mencegah kemungkinan jatuh yang bisa menyebabkan patah tulang.
6. Melindungi sendi dari pembengkakan, nyeri, dan kelelahan serta menjaga kartilago tetap sehat. Otot yang kuat menopang sendi dan meringankan beban sendi. Aktivitas yang meningkatkan kelenturan tubuh seperti peregangan, yoga, dan tai chi dapat memperpanjang rentang gerak.
7. Mengurangi dan menyembuhkan masalah pada lutut dengan cara menurunkan berat badan. Setiap kilogram penurunan berat badan dapat mengurangi beban pada lutut.
8. Meningkatkan semangat dengan mengeluarkan hormon yang mengatur suasana hati dan menghilangkan stress. Dalam beberapa penelitian, berolahraga secara teratur dapat membantu meringankan depresi ringan hingga sedang dimana efektivitasya sebanding dengan penggunaan obat antidepresi (Davis & Zolt, 2014).
2.4 Hubungan Makanan Berserat dengan Konstipasi
Serat tidak larut air yang lewat melalui saluran pencernaan dapat membuat feses lebih lunak dan banyak. Utamanya pada serat yang ditemukan pada produk biji-bijian utuh sangat membantu menyembuhkan dan mencegah konstipasi (Clifford et al, 2015).
Peningkatan konsumsi makanan berserat meurunkan waktu transit materi feses melalui kolon, meningkatkan frekuensi defekasi, pola defekasi menjadi teratur, dan mengurangi kerasnya feses. Secara tipikal, serat menurunkan pH kolon yang dapat meningkatkan populasi mikroflora usus dan mengubah distribusi spesies mikroflora usus. Feses yang lebih lunak mengurangi rasa tidak nyaman pada kolon dan anus pada saat proses eliminasi serta mengurangi tegangan otot yang digunakan saat defekasi (American Association of Cereal Chemists Report, 2001).
2.5 Hubungan Frekuensi Olahraga dengan Konstipasi
Olahraga diyakini dapat mempersingkat waktu transit melalui saluran pencernaan, dengan demikian olahraga dapat meningkatkan evakuasi feses. Selain itu, kurangnya tonus otot sebagai akibat aktivitas fisik yang tidak adekuat dapat mengurangi fungsi otot- otot perut dan dasar pelvis untuk mengeluarkan feses. Oleh karena itu, olahraga dianggap sebagai komponen penting dari program pencegahan dan pengobatan konstipasi (Folden, 2002).
2.6 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Teori Konstipasi
Konstipasi
Kelainan Endokrin:
- Hipertiroidisme Gangguan
Psikologi:
- Depresi - Cemas
Hiperkalsemia
Kelainan pada Saluran Cerna:
- Hirscprung disease - Striktur anus - Keganasan - Prolapse
rektum - Rectoceles - Kelainan lantai
pelvis
Gaya Hidup:
- Aktifitas fisik rendah - Kurang
berolahraga Diet:
- Rendah serat - Kurang asupan
cairan
Konsumsi obat:
- Analgetik gol.
Opioid
Kehamilan Idiopatik
Jenis Kelamin:
- Perempuan >
Laki-laki Usia:
- < 4 tahun - > 65 tahun
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Dasar Pemikiran Variabel Penelitian
Bentuk perilaku mengonsumsi serat dan frekuensi olahraga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola defekasi pada setiap orang yang dapat diubah atau ditingkatkan menjadi lebih sesuai untuk mencegah atau mengobati konstipasi.
3.2 Kerangka Konsep
Keterangan:
= Variabel Independen
= Variabel Dependen
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Pola Makan Berserat
Konstipasi Frekuensi Olahraga
3.3 Definisi Operasional 1. Pola makananan berserat
Definisi : Serat yang dikonsumsi dari makanan dan minuman dalam satuan gram sehari.
Alat ukur : Food recall 24 jam yang dibagikan kepada mahasiswa.
Cara ukur : Dengan mengolah data yang telah diisi mahasiswa.
Hasil ukur : - Cukup, apabila konsumsi serat > 10.5 gram/hari.
- Kurang, apabila konsumsi serat < 10.5 gram/hari.
Skala : Ordinal.
2. Frekuensi Olahraga
Definisi : Banyaknya aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, berulang, dan terarah untuk meningkatkan atau menjaga kebugaran fisik.
Alat ukur : Lembar isian yang dibagikan kepada mahasiswa.
Cara ukur : Dengan mengolah data kuisioner yang telah diisi mahasiswa.
Hasil ukur : - Cukup, apabila berolahraga > 3 kali setiap pekan dengan durasi > 30 menit dalam 1 kali berolahraga.
- Kurang, apabila berolahraga < 3 kali setiap pekan dengan durasi < 30 menit dalam 1 kali berolahraga.
Skala : Ordinal.
3. Konstipasi
21
Definisi : Merupakan keluhan berkurangnya frekuensi buang air besar yang disertai beberapa keluhan seperti nyeri ketika buang air besar, perasaan tidak tuntas saat buang air besar, nyeri perut, membutuhkan waktu agar bisa buang air besar, membutuhkan bantuan agar bisa buang air besar, percobaan buang air besar yang tidak berhasil dalam 24 jam, dan ada riwayat konstipasi.
Alat ukur : Constipation Scoring System yang dibagikan kepada mahasiswa.
Cara ukur : Dengan mengolah data yang telah diisi mahasiswa.
Hasil ukur : - Konstipasi, apabila mendapat skor > 15.
- Tidak konstipasi, apabila mendapat skor < 15.
Skala : Ordinal.
3.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.4.1 Hipotesis Null
a) Tidak terdapat hubungan antara pola makanan berserat dengan kejadian konstipasi.
b) Tidak terdapat hubungan antara frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi.
3.4.2 Hipotesis Alternatif
a) Terdapat hubungan antara pola makanan berserat dengan kejadian konstipasi.
b) Terdapat hubungan antara frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik deskriptif dengan pendekatan cross-sectional, yaitu peneliti mencari asosiasi antara variabel pengaruh terhadap variabel efek, dengan menggunakan data primer yang diperoleh dengan menggunakan lembar isian. Studi cross sectional mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dalam jangka waktu 3 bulan, yakni bulan September sampai dengan November 2017.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin.
4.3.2 Sampel
24
Sampel penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin angkatan 2014 yang memenuhi kriteria seleksi dan terpilih sebagai subjek penelitian.
4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi 4.4.1 Kriteria Inklusi
1. Mahasiswa yang bersedia untuk menjadi subjek.
2. Mahasiswa yang menjawab kuisioner dengan lengkap.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
Mahasiswa dengan keadaan seperti berikut:
1. Menderita kanker saluran pencernaan, irritable bowel syndrome, dan hemoroid.
2. Wanita hamil.
4.5 Teknik Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling, dimana semua subjek yang datang berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.
4.6 Besar Sampel
Besar sampel dengan menggunakan Formulasi Slovin n = N/N(d)2 + 1
Keterangan:
n = Sampel N= Populasi d= Nilai presisi
4.7 Analisis Data 4. 7. 1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui angka kejadian konstipasi responden.
Rumus persentase: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙𝑖
Jumlah keseluruhan data x 100%
4. 7. 2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan dari variabel bebas yaitu pola konsumsi serat dan frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi mahasiswa yang masing-masing skala kategorik dengan menggunakan uji Chi Square untuk meneliti hipotesis.
𝑥𝑛 = ∑(𝑂 − 𝐸)2 𝐸
Keterangan:
n = 313/313(0,1)2 + 1 = 101 Dibutuhkan 101 responden dalam penelitian ini.
O: frekuensi yang didapatkan dari pengamatan.
E: frekuensi yang diharapkan.
Dasar pengambilan keputusan adanya hubungan tersebut berdasarkan tingkat kesalahan (α) = 0,05, dengan penafsiran signifikansi (nilai p) yaitu: a. Jika nilai p > 0,05 maka tidak ada hubungan. b. Jika nilai p < 0,05 maka ada hubungan. Kemudian untuk memperoleh kejelasan tentang dinamika hubungan antara faktor risiko dan faktor efek dilihat melalui nilai odd ratio (OR).
Prinsip uji Chi-Square:
a. Merupakan analisis data kategorik.
b. Data dalam bentuk frekuensi (bukan proporsi/persentase).
c. Menghitung besar perbedaan antara nilai pengamatan (observed frequencies) dengan nilai harapan (expected frequencies).
d. Syarat: besar sampel cukup. Expected frequencies < 1 dan banyaknya sel dengan expected frequency < 5 tidak lebih dari 20% dari banyak sel seluruhnya.
Bila syarat uji Chi Square tidak terpenuhi, maka akan digunakan uji Fisher’s Exact Test.
4.8 Manajemen Penelitian 4.8.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak Universitas Hasanuddin, serta informed consent dari mahasiswa yang mengisi kuisioner. Kemudian data kuisioner yang telah dikumpulkan diamati dan dilakukan pengolahan data.
4.8.2 Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh akan diolah dengan komputer, menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS.
4.8.3 Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel yang dilengkapi dengan penjelasan serta disusun dan dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian.
4.9 Etika Penelitian
a. Setiap subjek akan dijamin kerahasiannya dengan memakai informed consent. Tujuan informed consent adalah agar subyek penelitian mengerti maksud dan tujuan penelitian, dan mengetahui dampaknya. Jika subyek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan.
b. Nama subjek penelitian tidak aka dicantumkan, hanya akan dituliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian sesuai dengan prinsip anonymity.
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1. Analisis Univariat
1. Angka Kejadian Konstipasi
Tabel Angka Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Tabel 5.1 Sumber: Data Primer, 2017
Konstipasi f %
Ya 9 8.9
Tidak 92 91.1
Total 101 100
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari 101 mahasiswa, yang termasuk kategori konstipasi sebanyak 9 mahasiswa (8.9 %) dan yang termasuk kategori tidak konstipasi sebanyak 92 mahasiswa (91.1 %).
2. Distribusi Pola Makanan Berserat
Tabel Distribusi Pola Makanan Berserat pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Tabel 5.2 Sumber: Data Primer, 2017
Pola Makanan Berserat
f %
Cukup 13 12.88
Kurang 88 87.12
Total 101 100
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari 101 mahasiswa, yang termasuk kategori pola makanan berserat cukup sebanyak 13 mahasiswa (12.88 %) dan yang termasuk kategori pola makanan berserat kurang sebanyak 88 mahasiswa (87.12 %).
3. Distribusi Frekuensi Olahraga
Tabel Distribusi Frekuensi Olahraga pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Tabel 5.3 Sumber: Data Primer, 2017
Frekuensi Olahraga f %
Cukup 16 15.84
Kurang 85 84.16
Total 101 100
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari 101 mahasiswa, yang termasuk kategori frekuensi olahraga cukup sebanyak 16 mahasiswa (15.84
%) dan yang termasuk kategori frekuensi olahraga kurang sebanyak 85 mahasiswa (84.16 %).
5.2. Analis Bivariat
1. Hubungan Pola Makanan Berserat dengan Kejadian Konstipasi
Tabel Hubungan Pola Makanan Berserat dengan Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Tabel 5.4 Sumber: Data Primer, 2017
Pola Makanan
Berserat
Konstipasi
Total p-value
Ya Tidak
Cukup
1 12 13
1.00
11.1% 13% 12.9%
Kurang 8 80 88
88.9% 87% 87.1%
Total
9 92 101
100% 100% 100%
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 13 mahasiswa (12.9%) dengan pola makanan berserat cukup, sebanyak 1 mahasiswa (11.1%) menderita konstipasi dan 12 mahasiswa (13%) tidak menderita konstipasi.
Sedangkan dari 88 mahasiswa (87.1%) dengan pola makanan berserat kurang, sebanyak 8 mahasiswa (88.9%) yang menderita konstipasi dan 80 mahasiswa (87%) yang tidak menderita konstipasi.
Hasil analisa statistic Fisher’s Exact Test menunjukkan tidak ada pengaruh pola makanan berserat dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dimana p-value >0.05 yaitu 1.00.
2. Hubungan Frekuensi Olahraga dengan Kejadian Konstipasi
Tabel Hubungan Frekunsi Olahraga dengan Kejadian Konstipasi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Tabel 5.5 Sumber: Data Primer, 2017
Frekuensi Konstipasi Total p-value
Olahraga Ya Tidak
Cukup
1 15 16
1.00
11.1% 16.3% 15.8%
Kurang
8 77 85
88.9% 83.7% 84.2%
Total
9 92 101
100% 100% 100%
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 16 mahasiswa (15.8%) dengan frekuensi olahraga cukup, sebanyak 1 mahasiswa (11.1) menderita konstipasi dan 15 mahasiswa (16.3%) tidak menderita konstipasi. Sedangkan dari 85 mahasiswa (87.1%) dengan frekuensi olahraga kurang, sebanyak 8 mahasiswa (88.9%) yang menderita konstipasi dan 77 mahasiswa (87%) yang tidak menderita konstpasi.
Hasil analisa statistic Fisher’s Exact Test menunjukkan tidak ada pengaruh frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dimana p-value >0.05 yaitu 1.00.
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Antara Pola Makanan Berserat dengan Kejadian Konstipasi Dari hasil analisis Fisher’s Exact Test dengan bantuan SPSS 20, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola makanan berserat dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indah Paradifa Sari, dimana hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara konsumsi serat terhadap pola defekasi pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Unand Angkatan 2012 dengan nilai p > a (0,408 > 0.05) (Sari I. P., 2016).
Menurut Depkes Republik Indonesia, rata-rata konsumsi serat penduduk Indonesia secara umum yaitu 10.5 g/hari (Depkes RI, 2008). Nilai ini hanya mencapai setengah dari kecukupan serat yang dianjurkan. Kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi untuk orang dewasa usia 19—29 tahun adalah 38 g/hari untuk laki-laki dan 32 g/hari untuk perempuan (Ambarita, 2014). Sedangkan pada penelitian ini didapatkan rata-rata konsumsi serat pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yaitu 7.20 g/hari.
Menurut Riskesdas 2013, penduduk dikategorikan ‘cukup’ mengonsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas (Litbang Depkes RI, 2013).Di Makassar sendiri sebanyak 1,6%
penduduk tidak mengonsumsi sayur dan/buah, 92,6% penduduk mengonsumsi 1-2 porsi
sayur dan/buah, 4,3% penduduk mengonsumsi 3-4 porsi sayur dan/buah, dan hanya 1,5%
penduduk yang mengonsumsi >5 porsi sayur dan/buah (Litbang Depkes RI Sulawesi Selatan, 2013).
6.2 Hubungan Antara Frekuensi Olahraga dengan Kejadian Konstipasi
Dari hasil analisis Fisher’s Exact Test dengan bantuan SPSS 20, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi olahraga dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Talitha Raissa dimana tidak ditemukan hubungan signifikan antara aktivitas fisik dengan gejala konstipasi pada lansia dengan nilai p > 0.05 (p = 0.342) (Raissa, 2012).
Dalam Riskesdas 2013 kriteria aktivitas fisik “aktif” adalah individu yang melakukan aktivitas berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria ‘kurang aktif’
adalah individu yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang ataupun berat (Litbang Depkes RI, 2013). Di Sulawesi Selatan, Makassar menduduki tempat kedua proporsi penduduk umur >10 tahun dengan aktivitas fisik yang kurang aktif yaitu sebesar 43%
dimana kriteria kurang aktivitas adalah kegiatan kumulatif kurang dari 150 menit dalam seminggu (Litbang Depkes RI Sulawesi Selatan, 2013).
Berbeda dengan hasil penelitian Karakaya, rerata nilai total aktivitas fisik lebih rendah pada mahasiswa dengan konstipasi dibandingkan pada mahasiswa yang tidak konstipasi. Pada penelitian tersebut didapatkan hubungan antara masalah konstipasi dengan tingkat aktivitas fisik pada mahasiwa dengan nilai p < 0.05 (p = 0.008) (Karakaya, 2015).
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Angka kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tergolong rendah yaitu sebanyak 9 mahasiswa (8.9 %) dari 101 sampel.
7.1.2 Distribusi pola makanan berserat pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sebagian besar termasuk pada kategori pola makanan berserat kurang yaitu sebanyak 88 mahasiswa (87.12 %).
7.1.3 Distribusi frekuensi olahraga pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sebagian besar termasuk pada kategori frekuensi olahraga kurang yaitu sebanyak 85 mahasiswa (84.16 %).
7.1.4 Bentuk pola makanan berserat dan frekuensi olahraga tidak berpengaruh terhadap kejadian konstipasi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
7.2 Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah:
7.2.1 Bagi Mahasiswa
Disarankan bagi mahasiswa untuk lebih memperhatikan jenis makanan yang dikonsumsi setiap harinya dengan memperbanyak konsumsi buah dan sayuran serta makanan lain yang mengandung banyak serat. Dalam penelitian ini tidak didapatkan mahasiswa yang tercukupi asupan serat per hari menurut AKG.
Selain itu mahasiswa juga disarankan untuk aktif berolahraga untuk menghidari terjadinya konstipasi dan penyakit lainnya.
7.2.2 Bagi Penliti
Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti dan mempelajari lebih dalam tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian konstipasi untuk meningkatkan kualitas penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarita, E. M. 2014. Hubungan Asupan Serat Makanan dan Air dengan Pola Defekasi Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan 9(1): 7-14.
American Association of Cereal Chemists Report. 2001. The Definition of Dietary Fiber . AACC International 46(3): 112-126.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013.
Riskesdas dalam Angka Provinsi Sulawesi Selatan.
Badrialaily. 2004. Studi tentang Pola Konsumsi Serat pada Mahasiswa. Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Basson, M. D. 2017. Constipation. Diakses pada Minggu 28 Mei 2017 dari Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/184704-overview.
Beck, M. E. 2011. Ilmu Gizi dan Diet-Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk Perawat dan Dokter. Yogyakarta: Yayasan Essential Medica.
Belsey, J et al. 2010. Systematic Review: Impact of Constipation on Quality of Life.
PubMed 31(9): 938-49.
Brown, L et al. 1999. Cholesterol-Lowering Effects of Dietary Fiber: A Meta-Analysis 69. The American Journal of Clinical Nutrition 69: 30-42.