• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

1. Tinjauan Pemenuhan Hak-Hak Konsumen a. Pengertian Pemenuhan

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia pemenuhan adalah proses, cara, perbuatan memenuhi (2005: 851). Pemenuhan adalah suatu proses atau cara dalam bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan yang harus dicapai agar mendapatkan kepuasan.

b. Pengertian Hak

Hak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 381-382) memiliki makna kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu ( karena telah ditentukan oleh undang-undnag, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, serta wewenang menurut hukum. Menurut Kamus Hukum (2009: 230), hak memiliki arti kekuasaan, kewenagan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum;

Tuntutan sah agar orang lain bersikap dengan cara tertentu; Kebebasan untuk melakukan sesuatu menurut hukum.

Kansil dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Indonesia (2011: 102- 103) mengatakan bahwa “hak memiliki arti izin atau kekuasaan yang diberikan hukum, memiliki padanan kata dengan wewenang, right dalam bahasa Inggris”. Kansil juga mengutip pendapat Prof. Mr. L.J Van Apeldoorn tentang hak yaitu “hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan”.

Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenai Hukum, Suatu Pengantar (1996) menyatakan dalam pengertian hukum, “hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum”. Kepentingan itu berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.

(2)

Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia menyebutkan ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya, yakni:

1) Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kita lahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. Hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib menjamin pemenuhannya;

2) Hak yang lahir dari hukum, yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum. Contohnya hak untuk memberi suara dalam Pemilu;

3) Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini didasarkan pada perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Contohnya pada peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerima barang. Sedangkan hak penjual adalah menerima uang.

c. Pengertian Konsumen

UUPK (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) mendefinisikan konsumen sebagai berikut “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” (ketentuan umum pasal 1 Ayat 2 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen).

Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Sesuai bunyi penjelasan Pasal 1 butir (2) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen kata pemakai menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimade consumer). UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam penjelasannya mengenai konsumen menegaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.

Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir.

(3)

commit to user

mengatakan bahwa “Konsumen akhir yaitu setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk keperluan komersil”.

Penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan Konsumen (consumer) diartikan sebagai orang atau pelaku usaha yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang dan dapat diartikan setiap orang yang menggunakan barang atau jasa. Pengertian tersebut memperlihatkan bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai pelaku usaha atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).

d. Hak dan Kewajiban Konsumen

Menurut Gunawan Wijaya dan A Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (2001: 27) Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy “Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen” saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang hak konsumen, yang diberi judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest. Masyarakat internasional lebih mengenal dengan "Declaration of Consumer Right".

Presiden John F. Kennedy (2002: 53) menyebut empat hak dasar konsumen atau the four consumer basic rights, yaitu; “(1). the right to safety (hak atas keamanan); (2). the right to choose (hak untuk memilih);

(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi); (4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya)”.

Di Indonesia sendiri hak dan kewajiban konsumen diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Hak Konsumen diatur didalam Pasal 4 (lihat Lampiran 1).

(4)

Hak tersebut pada intinya adalah untuk meraih kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Juga untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk di dengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

Sedang kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 UUPK yaitu:

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian;

2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut.

e. Instrumen Hukum Bagi Perlindungan Konsumen di Indonesia UU No. 8 Tahun 1999 (UUPK) Tentang Perlindungan Konsumen

Perlu adanya perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. Tanggal 20 April 1999 dibentuk Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal.

Nurmandjito dalam buku Kesiapan Perangkat Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen (2000:31) mengatakan “Esensi dari diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 (UUPK) Tentang Perlindungan Konsumen ini adalah untuk mengatur prilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen dapat terlindung secara hukum”. Hal ini berarti bahwa upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang dilakukan melalui perangkat hukum diharapkan mampu menciptakan norma hukum perlindungan konsumen. Pada sisi lain diharapkan dapat tumbuh

(5)

commit to user

kembangkan sikap usaha yang bertanggung jawab, serta peningkatan harkat dan martabat konsumen.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menetapkan enam pokok materi yang menjadi muatan UU yaitu mengenai larangan-larangan, tanggung jawab produsen, tanggung gugat produk, perjanjian atau klausula baku, penyelesaian sengketa dan tentang ketentuan pidana.

Seperti yang telah dibahas tentang pengertian konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen oleh pelaku usaha, maka pihak konsumen dapat mengadukannya kepada lembaga yang berwenang, seperti tercantum dalam Undang UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 45 ayat (1) “Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum”.

Konsumen bisa meminta bantuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) terlebih dahulu untuk meminta bantuan hukum atau bisa langsung menyelesaikan masalahnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Konsumen juga bisa mendatangi sub Direktorat Pelayanan Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan. Disini setelah dilakukan proses konfirmasi, pejabat yang bersangkutan akan melakukan analisis terhadap masalah yang diadukan, kemudian diadakan klarifikasi kepada konsumen dengan cara meminta bukti-bukti dan kronologi kejadian. Baru kemudian dilakukan proses klarifikasi terhadap pelaku usaha. Seandainya pelaku usaha menyanggah tuduhan dan tidak ada titik kejelasan, akan dilakukan beberapa langkah seperti mediasi atau konsiliasi.

Kemudian pada Pasal 45 ayat (2); Seandainya kedua media diatas belum menghasilkan suatu keputusan, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan;

(6)

1) Pelimpahan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

2) Melakukan jalur yuridis (pengadilan) secara formil.

f. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen menurut Sembiring A (2010) adalah “salah satu masalah yang cukup mendasar (substansial) dalam konstelasi pembangunan nasional di sebuah negara, termasuk Indonesia. Hal tersebut memerlukan satu pengaturan yang sarat dengan perhatian dari berbagai stratifikasi sosial (lapisan masyarakat)”, sebagaimana upaya perlindungan konsumen di Indonesia pada dewasa ini, antara lain hendak meletakkan prinsip konsumen sebagai pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan/atau jasa yang perlu diberikan perlindungan hukum. Di Amerika Serikat pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.

Adapun makna dari Perlindungan Konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Menurut pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen, tujuan dari perlindungan dapat dilihat (lihat lampiran 2). Terdapat juga Asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen dapat dilihat (lampiran 3).

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen menurut Gunawan Wijaya adalah tingkat kesadaran akan haknya memang masih sangat rendah. Hal ini terkait dengan faktor rendahnya pendidikan konsumen.

Oleh karena itu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha. (Gunawan Wijaya dan A

(7)

commit to user

Yani, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, hal 27).

Berdasarkan kondisi yang dipaparkan di atas, untuk sampai kepada hakikat dari perlindungan konsumen yang ideal, tidak saja memerlukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif, tetapi perlu juga tentang peraturan pelaksanaan, pembinaan aparat, pranata dan perangkat-perangkat yudikatif, administratif dan edukatif serta sarana dan prasarana lainnya, agar nantinya undang-undang tersebut dapat diterapkan secara efektif dimasyarakat.

2. Tinjauan Pelaku Usaha Online Shop a. Pengertian Pelaku Usaha

UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberi pengertian tentang pelaku usaha ;

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Ketentuan di atas dapat kita jabarkan ke dalam beberapa syarat, yakni ; 1) Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:

a) Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.

b) Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha selanjutnya dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni ; badan hukum dan bukan badan hukum.

2) Badan usaha tersebut harus memenuhi salah satu kriteria ini:

a) Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara RI

b) Melakukan kegiatan di wilayah hukun Negara Republik Indonesia 3) Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.

4) Di dalam berbagai bidang ekonomi, tidak hanya pada bidang produksi.

(8)

Demikian jelas bahwa pengertian pelaku usaha menurut UUPK sangat luas, yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).

Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 (UUPK),Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (lihat lampiran 4).

Dilihat dari lampiran empat, jelas bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.

Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen /UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, dia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

1) Bentuk-Bentuk Pelanggaran Pelaku Usaha

Dalam upaya untuk melindungi hak-hak konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), pada prinsipnya telah mengklasifikasi bentuk-bentuk pelanggaran tersebut kedalam 3 kelompok yang dijabarkan dalam Bab IV pasal 8 sampai dengan pasal 17, yakni:

a) larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 ) b) larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16) c) larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)

Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Bab IV pasal 8 sampai dengan pasal 17 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terlampir . ( lihat lampiran 5)

(9)

commit to user

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (lihat lampiran 6).

Selain itu, Pasal 8 ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut :

Ayat (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Ayat (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Selanjutnya mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran. Ketentuan ini diatur di Pasal 9 sampai dengan 16. Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan tentang:

1) harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

2) kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

3) kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

4) tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

5) bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11 mengatur tentang penjualan yang dilakukan melalui cara obral/ lelang. Sedangkan Pasal 12 menentukan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

(10)

b. Pengertian Online Shop

Online Shop adalah kegiatan pembelian barang dan jasa melalui media Internet. Melalui belanja lewat Internet seorang pembeli bisa melihat terlebih dahulu barang dan jasa yang hendak ia belanjakan melalui web yang dipromosikan oleh penjual.

Kegiatan online shop ini merupakan bentuk komunikasi baru yang tidak memerlukan komunikasi tatap muka secara langsung, melainkan dapat dilakukan secara terpisah dari dan ke seluruh dunia melalui media notebook, komputer, ataupun handphone yang tersambung dengan layanan akses Internet. Online shop adalah salah satu bentuk perdagangan elektronik yang digunakan untuk kegiatan transaksi penjual ke penjual ataupun penjual ke konsumen. (wikipedia.org)

Online shop adalah situs online penjualan barang. Di situs online shop ini, kita bisa melakukan transaksi pembelian barang yang tersedia, mulai dari handphone, baju, kosmetik hingga laptop dan sebagainya.

Trend Online Shop di tahun 2013 ini tampaknya semakin meningkat, mungkin karena lebih praktis dan lebih nyaman. Dalam Online Shop, kita tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga sia-sia. Karena barang akan dikirim melalui jasa pengiriman barang setelah kita melakukan pembayaran di online shop atas barang yang kita pesan tersebut.

(http://forum.kompas.com-trend-online-shop-tahun-2012-a.html)

Pengertian diatas dapat disimpulkan online shop adalah sebuah toko perbelanjaan yang di muat melalui media internet dimana konsumen dapat melihat barang atau jasa melalui situs-situs yang tersedia di internet sebagai media promosi barang dan jasa tersebut. Online shop dilakukan tanpa tatap mata secara langsung atau face to face antara penjual dan pembeli.

(11)

commit to user

3. Tinjauan Transaksi Jual Beli Melalui Internet ( E-Commerce ) a. Pengertian Transaksi

Transaksi Menurut Sunarto Zulkifli (2003: 10) dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Akuntansi Perbankan Syariah menyatakan bahwa:

Secara umum transaksi dapat diartikan sebagai kejadian ekonomi keuangan yang melibatkan paling tidak dua pihak (seseorang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya) yang saling melakukan pertukaran, melibatkan diri dalam perserikatan usaha, pinjam meminjam atas dasar sama-sama suka ataupun atas dasar suatu ketetapan hukum atau syariah yang berlaku. Dalam sistem ekonomi yang paradigma Islami, transaksi harus dilandasi oleh aturan hukum-hukum Islam (syariah) karena transaksi adalah manifestasi amal manusia yang bernilai ibadah dihadapan Allah, yang dapat dikategoriakn menjadi 2 yaitu transaksi halal dan haram.

Transaksi menurut Skousen (2007: 71) dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Akuntansi Keuangan” menyatakan bahwa :

“Pertukaran barang dan jasa antara (baik individu, perusahaan-perusahaan dan organisasi lain) kejadian lain yang mempunyai pengaruh ekonomi atas bisnis”.

Transaksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebagai berikut: “Persetujuan jual beli dalam perdagangan antara pihak pembeli dan penjual”.

Dapat Disimpulkan transaksi adalah suatu kejadian ekonomi atau keuangan yang melibatkan paling tidak dua pihak (seseorang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya) yang saling melakukan pertukaran, melibatkan diri dalam perserikatan usaha pinjam meminjam dan lain-lain atas dasar suka sama suka ataupun atas dasar suatu ketetapan hukum/syariat yang berlaku adanya data/bukti/dokumen pendukung.

b. Pengertian Jual Beli

Secara tradisional, suatu transaksi terjadi jika terdapat kesepakatan dua orang atau lebih terhadap suatu hal. Di sini diisyaratkan penawaran di suatu sisi, dan penerimaan di sisi lain lainya terhadap suatu hal yang

(12)

dibolehkan oleh peraturan perundang-undangan. Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun tulisan. Kesepakatan tertulis biasanya dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan. Tanda tangan tersebut membuktikan bahwa para pihak tersebut telah mengikatkan dirinya terhadap klausul-klausul yang dituangkan dalam perjanjian tersebut.

Wirjono Projodikoro (1985: 17) mengatakan “jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain wajib membayar harga, yang dimufakatai mereka berdua”.

Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan Jual beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikat diri kepada pihak lainya pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang.

(RM Suryo Diningrat, 1996: 14)

Istilah jual beli berasal dari terjemahan contract of sale. Jual beli diatur dalam pasal 1457 sampai dengan pasal 1518 KUHPerdata yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dari pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan (pasal 1457 KUHPerdata).

Efisiensi dari definisi ini menyerahkan benda dan membayar harga.

Dapat disimpulkan jual beli adalah suatu perjanjian antara penjual dan pembeli yang membuat suatu ikatan diantara kedua belah pihak, kemuadian menyerahkan barang dagangan mereka sesuai dengan harga yang telah disepakati bersama.

c. Pengertian Media Sosial

Media Sosial (Social Media) terdiri dari dua kata: media dan sosial.

Pengertian menurut bahasa, media sosial adalah alat atau sarana komunikasi masyarakat untuk bergaul. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, media adalah alat, sarana komunikasi, perantara, atau penghubung. Sosial artinya "berkenaan dengan masyarakat" atau suka

(13)

commit to user

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.

(http://ptkomunikasi.wordpress.com/2012/06/11/pengertian-media-sosial- peran-serta-fungsinya/)

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (2004: 32) mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”.

Media sosial mempunyai ciri-ciri, yaitu sebagai berikut:

1) Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet, 2) Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper, 3) Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya, 4) Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi.

Macam-macam media sosial yang mmpunyai penguna yang banyak diantaranya: 1) Facebook, 2) Twitter, 3)Google+, 4) Weibo, 5) BBM, 6) RenRen, 7) LinkedIn, 8) Badoo, 9) Instagram, 10) Yelp, 11) Tumblr, 12) Flickr, 13) Orkut, 14) MySpace, 15) Foursquare, 16) Pinterest, 17) Soundcloud, 18) XING, 19) Friendster, 20) Path, 21) GetGlue, 22) Hi5, 23) Yahoo!, 24) FUPEI, 25) Bebo. (http://informasi- mhba.blogspot.com/2014/03/.html).

Dapat disimpulkan Media Sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.

d. Pengertian Jual Beli Melalui Media Sosial

Jual beli melalui media sosial dapat dilakukan dengan perantara media internet atau yang disebut juga E-commerce, E-commerce merupakan bagian dari ruang yang dikenal dengan sebutan e-business.

(14)

Dalam hal ini, e-commerce dipandang sebgai penerapan dari e-business, dalam kaitanya dengan proses penjualan dan pembelian produk, serta layanan. Aspek ini mencangkup pertukaran data (data exchange) selama peoses transaksi, yang berhubungan dengan pengelolaan finansial dan aktivitas pembayaran. Secara umum e-commerce meliputi aktivitas- aktivitas transaksi yang dilakukan media media elektronik, misal media yang saat ini dikenal sebagai internet atau media pelayanan online berbasis elektronik lainnya. Dewasa ini muncul berbagai istilah, seperti l- commerce, m-commerce, v-commerce, dan s-commerce. Saat ini m- commerce (mobile commerce) adalah e-commerce yang memanfaatkan teknologi perangkat mobile, seperti handphone, PDA, smatphone, dan dashtop mobile. M-comerce memungkinkan untuk seseorang melakukan transaksi dari mana saja tanpa terkait lokasi. Rosalina Fiva (2009: 48-50)

1) Pihak-pihak dalam Transaksi E-Commerce

Transaksi E-Commerce melibatkan berbagai pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan. Artinya apakah setiap transaksi yang dilakukan secara online atau hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara online. Apabila transaksi e-commerce dilakukan secar online, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, dapat didefinisikan pihak-pihak yang terlibat terdiri dari:

a) Penjual (merchant), yaitu perusahaan atau produsen yang menawarkan produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant account pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card. (Johannes Ibrahim, 2004: 22)

b) Konsumen (card holder), yaitu orang-orang yang ingin memperoleh produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara on-line. Konsumen yang akan berbelanja di internett dapat berstatus perorangan atau perusahaan. Apabila konsumen adalah perorangan, maka yanag perlu di perhatikan dalam transaksi e-

(15)

commit to user

commerce adalah bagaimana sistem pembayaran dipergunakan, apakah pembayaran di gunakan dengan mengunakan kartu kredit atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual atau tunai (Johannes Ibrahim, 2004: 22).

c) Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Perantara penagihan adalah pihak yang meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa. (Johannes Ibrahim, 2004: 22)

d) Issuer, adalah perusahaan credit card yang menerbitkan kartu . (Johannes Ibrahim, 2004: 22)

e) Certification Authoritis, Pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikat kepada merchant (penjual), kepada issuer (penerbit kartu kredit) dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada Card Holder.

f) Disamping pihak-pihak tersebut diatas, pihak lainya yang keterlibatanya tidak secara langsung dalam transaksi elektonic e- commerce yaitu jasa pengirim (ekspedisi). (Johannes Ibrahim, 2004: 22)

4. Tinjauan Jual Beli Online dalam Prespektif Pendidikan Kewarganegaraan Citizenship pada umumnya diterjemahkan dengan arti kewarganegaraan. Kewarganegaraan mencakup aktivitas membantu manusia menjadi warga Negara yang aktif, terbuka, dan bertanggung jawab.

Menurut John J. Cogan dari hasil sebuah penelitian lintas negara yang dilakukan oleh “Civic Education Policy Study (CEPS) (2008: 84) citizenship education mencakup tidak hanya sebagai bentuk formal pendidikan kewarganegaraan, tetapi bentuk-bentuk informal dan non formal pendidikan kewarganegaraan. Citizenship Education adalah pengertian pendidikan kewarganegaraan yang generik (umum) dan dalam arti luas.

(16)

Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian yang luas seperti

“citizenship education” atau “education for citizenship” mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Oleh karena itu oleh Cogan disimpulkan Citizenship Education/Education for Citizenship merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar disekolah dan diluar sekolah, seperti yang terjadi dilingkungan keluarga, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.

Menurut David Kerr dalam Winarno (2013: 5) citizenship education dalam arti luas sebagai “process to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizen and in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that prepatory proess.” dengan cakupan yang luas ini, maka pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) meliputi di dalamnya pendidikan kewarganegaraan dalam arti khusus yang diistilahkan sebagai civics education, yaitu “in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning)in that prepatory process.” Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga muda akan hak-hak, peran, dan tanggung jawabnya sebagai warga Negara.

Secara fungsional, pendidikan kewarganegaraan memiliki dua tugas, yaitu tugas dalam bidang telah membangun body of knowledge dan tugas dalam bidang pengembangan untuk transformasi konsep, nilai, dan ketrampilan hidup kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai instrumen pengetahuan (the Body Of Knowledge) diarahkan untuk membangun masyarakat demokrasi berkeadaban. Secara normatif, Pendidikan Kewarganegaraan memperoleh dasar legalitasnya dalam Pasal 3 Undang- undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang

(17)

commit to user

mengatakan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Ketentuan tersebut harus dipahami sebagai pendidikan yang akan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak bangsa yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional menurut Pasal 3 Undang-undang tentang Sisdiknas yang berbunyi, yaitu:

“Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab”.

Citizenship Education memiliki visi sosio-pedagogis mendidik warga Negara yang demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non formal, seperti yang secara konsisten diterapkan di Inggris Raya (QCA: 1998; David Kerr: 1996).

Menurut Winataputra dalam Winarno (2013: 11), visi citizenship education dalam arti luas, yakni sebagai system pendidikan kewarganegaraan yang berfungsi dan berperan sebagai program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan non formal, program aksi social-kultural dalam konteks kemasyarakatan, dan sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial. Citizenship education menurut Dimond, Gross dan Zaleny, Allen, NCSS, Somantri, Cogan dan Derricot lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas untuk menunjukkan instuctional effect dan nurturant effect dari keseluruhan proses pendidikan terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik.

Komponen utama pendidikan kewarganegaraan atau citizenship education mencakup pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), ketrampilan/kecakapan kewarganegaraan (cvic skills) dan sikap/watak kewarganegaraan (civic disposition). Pembagian atas ketiga domain ini maka

(18)

akan tampak kesejajarannya dengan tiga ranah; kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) bias disejajarkan dengan domain atau ranah kognitif, ketrampilan/kecakapan kewarganegaraan (civic skills) sejajar dengan domain atau ranah psikomotor, sedangkan sikap/watak kewarganegaraan (civic disposition) sejajar dengan domain atau ranah afektif.

Civic knowledge atau pengetahuan kewarganegaraan berkaitan dengan kandungan atau isi apa saja yang seharusnya diketahui oleh warga Negara.

Civic knowledge berkenaan dengan apa-apa yang perlu diketahui dan dipahami secara layak oleh warga Negara.

Ketrampilan atau kecakapan-kecakapan kewarganegaraan (civic skills), menyatakan sebagai berikut:

If citizens are to exercise their rights and discharge their responsibilities as members of self-governing communities, they not only need to acquire a body of knowledge such as that embodied in the five organizing questions just described; they also need to acquire relevant intellectual and articipatory skills. (Jika warga Negara mempraktikkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu menguasai pengetahuan dasar, namun mereka perlu mempunyai kecakapan- kecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan).

Kecakapan-kecakapan intelektual yang penting untuk seorang warga Negara yang berpengetahuan, efektif, dan bertanggung jawab, disebut sebagai kemampuan berfikir kritis. The National Standards of Civic and Government dan The Civic Framework for 1998 National Assessment of Educational Progress (NAEP) membuat kategori mengenai kecakapan- kecakapan ini adalah identifying and describing; explaining and analyzing;

and evaluating, talking, dfending positions on public issues. Kecakapan intellectual itu meliputi kemampuan mengidentifikasi, menggambarkan, menjelaskan, menganalisis, menilai, mengambil, dan mempertahankan posisi.

Civic Disposition diterjemahkan sebagai watak, sikap, atau karakter kewarganegaraan. Ada juga yang menyebutnya sebagai nilai kewarganegaraan (civic value). Watak kewarganegaraan sebagaimana

(19)

commit to user

apa yang telah dipelajari atau dialami oleh seseorang di rumah, di sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civil society.

Jual beli online merukpakan salah satu civil value, watak dalam transaksi jual beli online dapat membentuk karakter masyarakat selaku pelaku usaha online shop maupun selaku konsumen. Hak-hak konsumen tersebut harus dilindungi sebagai hak warganegara dalam transaksi jual beli internet agar tidak menimbulkan isu-isu kewarganegaraan, yang merupakan salah satu pendidikan kewarganegaraan non formal atau di luar sekolah.

5. Penelitian yang Relevan

Laporan Studi Lapangan pada Jurnal Kementrian Komunikasi dan Informatika (2013) : Potret Belanja Online di Indonesia

Studi ini diperoleh beberapa kesimpulan penting. Pertama, tingkat penggunaan internet untuk belanja Online di Kota Jabodetabek, Bandung dan Yogyakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 47% dari total pengguna internet.

Kedua, penggunaan internet untuk belanja Online dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis. Ketiga, kesimpulan penting lain yang didapatkan dari studi ini terkait dengan perilaku belanja Online. Penghematan waktu dan kemudahan karena tidak perlu mengangkut barang menjadi alasan yang paling banyak mengapa konsumen memilih melakukan belanja Online. Keempat terkait dengan permasalahan dalam belanja Online, juga terdapat beberapa kesimpulan penting. Pelaku belanja Online cenderung tidak khawatir dalam menggunakan internet untuk berbelanja. Menurut mereka, masalah yang paling dikhawatirkan dalam belanja Online adalah masalah kualitas produk dan masalah pengiriman produk seperti keterlambatan, barang tidak sampai atau barang tidak dikirim, sedangkan yang paling tidak dikhawatirkan adalah masalah kualitas layanan.

Kedua Tesis yang ditulis oleh Dwi Erni Nugrohowati. (2007). Yang berjudul Aspek Hukum dalam Praktek Jual-Beli Dengan Transaksi Elektronik.

Menyimpulkan bahwa Hukum Indonesia memberikan Perlindungan kepada pembeli yang juga konsumen barang adalah Undang Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Diamping itu negara melindungi

(20)

kepentingan masyarakat dari kejahatan yang merugikan pihak pembeli atau konsumen dengan peraturan hukum pidana dalam KUHPidana dan UUPK.

Sedangkan posisi penjual dalam transaksi elektronik umumnya cukup kuat karena penjual sendirilah yang menentukan syarat-syarat transaksi yang dalam kontrak baku yang cenderung membatasi tangung jawab penjual dan menguntungkan pihak penjual.

B. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan acuan di dalam melaksanakan penelitian, kerangka berfikir isinya adalah jawaban dari rumusan masalah berdasarkan kajian teori. Kerangka pikir itu penting untuk membantu dan mendorong peneliti memusatkan penelitiannya dan untuk memahami hubungan antar variabel tertentu yang telah dipilihnya. Penelitian ini mengambarkan kerangka berfikir di awali dengan citizenship education mencakup tidak hanya sebagai bentuk formal pendidikan kewarganegaraan, tetapi bentuk-bentuk informal dan non formal pendidikan kewarganegaraan. Citizenship Education adalah pengertian pendidikan kewarganegaraan yang generik (umum) dan dalam arti luas yang mencakup pengalaman belajar disekolah dan diluar sekolah, seperti yang terjadi dilingkungan keluarga, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.

Citizenship Education ada dua cakupan pertama formal yang dilakukan disekolah dan non formal yang dilakukan dimasyarakat. Di masyarakat terdapat tentang isu kewarganegaraan diantaranya tentang hak warganegara di sini hak konsumen merupakan salah satu hak wargan negara indonesia dalam proses jual beli melalui sosial media (e-commerce). Penjual dan pembeli bertemu melalui media elektronik yaitu smartphone yang di dalamnya dapat mengunakan aplikasi Black Berry Massanger (BBM) dimana penjual dapat mempromosikan barang dagangan mengunakan aplikasi ini, disini penjual sebagai pelaku usaha dan pembeli sebagai konsumen memiliki hak atas konsumen. Hak konsumen tersebut harus di penuhi oleh pelaku usaha (penjual).

(21)

commit to user

Kewarganegaraan (Citizenship Education)

Formal Di Sekolah

Non Formal Di Masyarakat

Isu Kewarganegaraan

Hak Warganegara

Hak Konsumen

Hak Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Media Sosial (E-Commerce)

Hak Konsumen Pelaku Usaha

Online Shop

Pembeli Penjual

Media Elektronik smartphone Sosial Media Black Berry Massanger

Dipenuhi

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Orang yang membuat ajaran agama menjadi sistem rasional akan terjebak pada ajaran panteisme yang, melihat Tuhan identik dengan alam, bahwa semua serba Tuhan,

Menggunakan modifier yang sama mengambil sesuatu tanpa diduga pada kecepatan eksekusi program Anda karena hal tersebut menimbulkan beberapa ukuran tambahan sehingga itu tidak

Dari hasil penelitian didapati nilai koefisien kompensasi yang positif dan menunjukkan jika kompensasi ditingkatkan atau dilakukan dengan tepat maka akan dapat meningkatkan

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh pemberian arang kayu dan pupuk kandang kambing terhadap pertumbuhan semai gmelina pada media bekas tambang silika serta

Skripsi ini merupakan hasil penelitian normatif yang berjudul “Tinjauan Fiqh Siya>sah Terhadap Pendidikan Calon Advokat di Indonesia (Undang-Undang No.. Yang

Lain – Lain : Selesai melaksanakan tugas, harus membuat laporan tertulis ke LPPM Demikian tugas ini agar dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.. Agus Budianto,

c) Setelan proteksi saluran utama dari hubung pendek bila sirkit cabang itu disuplai oleh satu saluran utama yang juga menyuplai motor rotor lilit dengan arus pengenal beban penuh

b. Tujuan: Diurai untuk setiap tahunnya demikian pula untuk keluarannya. Sebaiknya dibuat bagan alur untuk 3 tahun. Metodologi: Penyediaan formulasi PGPR dan perlakuan bibit