• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS HUBUNGAN KALSIUM ION SERUM DAN DOSIS KUMULATIF FUROSEMIDE DENGAN NILAI AMBANG PENDENGARAN PADA ANAK SINDROM NEFROTIK LAILA FITRI RAHMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS HUBUNGAN KALSIUM ION SERUM DAN DOSIS KUMULATIF FUROSEMIDE DENGAN NILAI AMBANG PENDENGARAN PADA ANAK SINDROM NEFROTIK LAILA FITRI RAHMI"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN KALSIUM ION SERUM DAN DOSIS KUMULATIF FUROSEMIDE DENGAN NILAI AMBANG PENDENGARAN

PADA ANAK SINDROM NEFROTIK

LAILA FITRI RAHMI 117041221/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

HUBUNGAN KALSIUM ION SERUM DAN DOSIS KUMULATIF FUROSEMIDE DENGAN NILAI AMBANG PENDENGARAN

PADA ANAK SINDROM NEFROTIK

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) dalam Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Kesehatan Anak-Spesialis pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

LAILA FITRI RAHMI 117041221/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

i

(4)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KALSIUM ION SERUM DAN DOSIS KUMULATIF FUROSEMIDE DENGAN NILAI AMBANG PENDENGARAN

PADA ANAK SINDROM NEFROTIK

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2016

Laila Fitri Rahmi

(5)

iii

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan berkah serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

1. Pembimbing utama DR. dr. Oke Rina R, M.Ked(Ped), Sp.A(K) dan Dr.

Hj. Melda Deliana, SpA(K) yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan

(7)

v SpA(K), sebagai Sekretaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan dr. Nelly Rosdiana, M.Ked(Ped), Sp.A(K) yang sudah memberikan banyak saran kepada saya.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

6. Teman-teman saya dr. Mazdalifah Wahab, dr. Erlita Wienanda Syarif, dan dr. Deasy Nediyanti yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

7. Kepada seluruh pasien Divisi Nefrologi RSUP H. Adam Malik beserta orang tuanya yang menjadi sampel dalam penilitian saya dan telah bersedia membantu saya dalam penelitian ini.

8. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, kedua orang tua saya Drs. Darwis dan drg. Susanna Indra Rosmawati, serta bapak dan ibu mertua saya Sutrisno dan Leni Nainggolan yang telah mendukung saya selama ini.

Terima kasih atas doa dan bantuannya selama masa pendidikan saya.

Semoga segala kebaikan diberkahi oleh Allah SWT. Ucapan terima kasih

(8)

yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada suami tercinta dr. Debby dan anak saya Ghazi Asraf. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada adik saya Vivi Aiviani, Bobby, dan Maulidi Al Kahfi. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2016

Laila Fitri Rahmi

(9)

vii DAFTAR ISI

Lembaran Persetujuan Pembimbing i

Lembar pernyataan ii

Lembar pengesahan tesis iii

Ucapan terimakasih iv

Daftar Isi vii

Lampiran x

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar singkatan dan lambang xiii

Abstrak xiv

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Hipotesis 4

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum 5

1.4.2. Tujuan khusus 5

1.5. Manfaat Penelitian 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi sindrom nefrotik 6

2.2. Klasifikasi sindrom nefrotik 6

2.3. Manifestasi klinis dan diagnosis 8

2.4. Tatalaksana 8

2.4.1. Dietetik 9

2.4.2. Diuretik 9

(10)

2.4.3. Antibiotik Profilaksis 10 2.4.4. Pengobatan dengan kortikosteroid 10

2.5. Komplikasi 12

2.5.1. Infeksi 12

2.5.2. Tromboemboli 12

2.5.3. Hiperlipidemia 13

2.5.4. Hipovolemia 13

2.5.5. Hipokalsemia 13

2.5.6. Gangguan pendengaran 18

2.6. Pemeriksaan gangguan pendengaran 20

2.6.1. Audiometri nada murni 20

2.6.2. Otoacustic emmision 21

2.6.3. Brainstem evoked response audiometry 22

2.7. Kerangka Konseptual 23

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian 24

3.2. Tempat dan Waktu 24

3.3. Populasi dan Sampel 24

3.4. Perkiraan Besar Sampel 24

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 26

3.5.1. Kriteria Inklusi 26

3.5.2. Kriteria Eksklusi 26

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan/ Informed Consent 27

3.7. Etika Penelitian 27

3.8. Cara Kerja 27

3.9. Alur Penelitian 28

3.10. Identifikasi Variabel 29

3.11. Defenisi Operasional 29

3.12. Rencana Pengolahan Dan Analisis Data 30

(11)

ix BAB 4. HASIL PENELITIAN

4. 1. Karakteristik Demografi dan Laboratorium 32 4. 2. Hubungan Ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif

Furosemid dengan Nilai Ambang Pendengaran 34

BAB 5. PEMBAHASAN 39

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 45

RINGKASAN 46

SUMMARY 48

Daftar Pustaka 50

(12)

LAMPIRAN

1. Personil Penelitian 53

2 Biaya Penelitian 53

3. Jadwal Penelitian 54

4. Naskah Penjelasan Kepada Orang Tua 55 5. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 56

6. Formulir Isian 57

7. Lembar persetujuan dari komite etik penelitian FK USU 60

8. Riwayat hidup 61

(13)

xi DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebab hipokalsemia 17

Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran 23

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi 32

Tabel 4.2 Karakteristik Laboratorium 33

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kalsium, Ion Kalsium serum, Dosis Kumulatif Furosemide, dan NA Dengar Telinga Kanan

dan Kiri 33

Tabel 4.4 Perbedaan NA Pendengaran berdasarkan

Frekuensi Audiometri 35

Tabel 4.5 Hubungan ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif Furosemide dengan NA Pendengaran pada SN Remisi

dan Relaps 36

Tabel 4.6 Hubungan Kalsium Ion Serum dan Dosis Kumulatif

Furosemid dengan NA Pendengaran Telinga Kanan pada

SN Remisi dan Relaps 36

Tabel 4.7 Hubungan Ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif Furosemide dengan NA Pendengaran Telinga Kiri pada

SN Remisi dan Relaps 37

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid 11 Gambar 2. Diagram skematik biokonversi vitamin D untuk

mempertahankan homeostasis kalsium 14

Gambar 3. Distribusi kalsium dalam berbagai kompartemen tubuh 15

Gambar 4. Reabsorbsi kalsium pada nefron 16

Gambar 5. Kerangka konsep penelitian 23

(15)

xiii DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SN : Sindrom nefrotik

FRNS : Frequently relapsing nephrotic syndrome SDNS : Steroid dependent nephrotic syndrome SRNS : Steroid resistant nephrotic syndrome HSP : Henoch- Schonlein Purpura

SLE : Systemic Lupus Erythematosus SNKM : Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal GSFS : Glomerulosklerosis Fokal Segmental

GNPMD : Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial Difus GNMP : Glomerulonefritis Membranoproliferatif

GM : Glomerulopati Membranosa

kg : Kilogram

g : Gram

mg : Milligram dL : Desiliter

SNSS : Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid SNRS : Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

ISKDC : The International study of kidney disease in children

Cm : Centimeter

mmHg : Millimeter air raksa LDL : Low-density lipoprotein VLDL : Very-low-density lipoprotein HDL : High-density lipoprotein

Hz : Hertz

dB : Decibel

RDA : Recommended dietary allowances MEP : Malnutrisi energi protein

HIV : Human Immunodeficiency Virus OAE : Otoacustic emission

BERA : Brainstem evoked response audiometry IK : Interval kepercayaan

Sn : Sensitivitas Sp : Spesifisitas

Dkk : Dan kawan-kawan

> : Lebih besar dari

≥ : Lebih besar sama dengan

< : Lebih kecil dari

= : Sama dengan

- : Negatif

+ : Positif

(16)

ABSTRAK

Latar Belakang. Sindrom nefrotik (SN) adalah penyakit glomerulopati yang paling umum terjadi pada anak. Anak-anak dengan NS memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya gangguan pendengaran karena penggunaan loop diuretik, gangguan biokimia, dan gangguan elektrolit.

Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemid dengan ambang pendengaran pada sindrom nefrotik.

Metode. Sebuah penelitian cross-sectional telah dilakukan dari bulan Februari sampai Juni 2016 di Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan. 42 subjek dengan remisi dan relaps SN. Dosis kumulatif furosemid dihitung dan ion kalsium serum diperiksa. Audiometri nada murni dilakukan dengan menggunakan The Triveni TAM-25 Audiometer. Analisis statistika dengan menggunakan uji Mann-Whitney.

Hasil. Dari 42 subjek, ada 4 subyek dengan kadar ion kalsium <1 mmol / L dan 2 subjek yang mendapat dosis kumulatif dosis tinggi furosemid. Di telinga kanan didapati adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi 2000 Hz, ambang pendengaran pada kelompok subyek SN relaps lebih tinggi dari pada remisi (p = 0,003). Sedangkan pada telinga kiri rata-rata nilai ambang pendengaran lebih tinggi pada frekuensi 500 Hz (p = 0,025) dan 2000 Hz (p = 0,001).

Kesimpulan. Hubungan antara ambang pendengaran dengan ion kalsium dan dosis kumulatif furosemid tidak menunjukkan konsistensi yang sama pada kedua telinga. Namun, ada hubungan yang signifikan antara rata-rata nilai ambang pendengaran pada frekuensi 2000 Hz.

Kata kunci: sindrom nefrotik, ion kalsium, furosemid, ambang pendengaran

(17)

xv ABSTRACT

Background. Nephrotic syndrome (NS) is the most common glomerulopathy disease in child. Children with NS had higher risk for the occurrence of hearing loss due to the used of loop diuretics, biochemical impairments, and electrolyte disorders.

Objective. To determine the relationship between serum calcium ion and cumulative dose of furosemide with the hearing thresholds in nephrotic syndrome.

Methods. A cross-sectional study had been conducted from February to June 2016 at Haji Adam Malik Hospital, Medan. There was 42 subjects with remission and relapse NS. Cumulative dose of furosemide was calculated and serum calsium was examined. Pure tone audiometry was done using The Triveni TAM-25 Audiometer. Statystical analysis was performed by using Mann-Whitney test.

Results. Of 42 subjects, there are 4 subjects with levels of calcium ions <1 mmol/L and 2 subjects that received high cumulative dose of furosemide. In the right ear there is significant differences between the mean values of hearing threshold at a frequency of 2000 Hz, the hearing threshold in the group of subjects NS relapse is higher than remission (p = 0.003). Whereas, on the left ear the mean value of hearing threshold higher at a frequency of 500 Hz (p = 0.025) and 2000 Hz (p = 0.001).

Conclusion. The relationship between hearing threshold with calcium ion and cumulative dose furosemide did not show the same consistency on both ears.

However, there was a significant relationship between the average threshold of hearing at a frequency of 2000 Hz.

Keywords: nephrotic syndrome, calcium ion, furosemide, hearing threshold

(18)

ABSTRAK

Latar Belakang. Sindrom nefrotik (SN) adalah penyakit glomerulopati yang paling umum terjadi pada anak. Anak-anak dengan NS memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya gangguan pendengaran karena penggunaan loop diuretik, gangguan biokimia, dan gangguan elektrolit.

Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemid dengan ambang pendengaran pada sindrom nefrotik.

Metode. Sebuah penelitian cross-sectional telah dilakukan dari bulan Februari sampai Juni 2016 di Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan. 42 subjek dengan remisi dan relaps SN. Dosis kumulatif furosemid dihitung dan ion kalsium serum diperiksa. Audiometri nada murni dilakukan dengan menggunakan The Triveni TAM-25 Audiometer. Analisis statistika dengan menggunakan uji Mann-Whitney.

Hasil. Dari 42 subjek, ada 4 subyek dengan kadar ion kalsium <1 mmol / L dan 2 subjek yang mendapat dosis kumulatif dosis tinggi furosemid. Di telinga kanan didapati adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi 2000 Hz, ambang pendengaran pada kelompok subyek SN relaps lebih tinggi dari pada remisi (p = 0,003). Sedangkan pada telinga kiri rata-rata nilai ambang pendengaran lebih tinggi pada frekuensi 500 Hz (p = 0,025) dan 2000 Hz (p = 0,001).

Kesimpulan. Hubungan antara ambang pendengaran dengan ion kalsium dan dosis kumulatif furosemid tidak menunjukkan konsistensi yang sama pada kedua telinga. Namun, ada hubungan yang signifikan antara rata-rata nilai ambang pendengaran pada frekuensi 2000 Hz.

Kata kunci: sindrom nefrotik, ion kalsium, furosemid, ambang pendengaran

(19)

xv ABSTRACT

Background. Nephrotic syndrome (NS) is the most common glomerulopathy disease in child. Children with NS had higher risk for the occurrence of hearing loss due to the used of loop diuretics, biochemical impairments, and electrolyte disorders.

Objective. To determine the relationship between serum calcium ion and cumulative dose of furosemide with the hearing thresholds in nephrotic syndrome.

Methods. A cross-sectional study had been conducted from February to June 2016 at Haji Adam Malik Hospital, Medan. There was 42 subjects with remission and relapse NS. Cumulative dose of furosemide was calculated and serum calsium was examined. Pure tone audiometry was done using The Triveni TAM-25 Audiometer. Statystical analysis was performed by using Mann-Whitney test.

Results. Of 42 subjects, there are 4 subjects with levels of calcium ions <1 mmol/L and 2 subjects that received high cumulative dose of furosemide. In the right ear there is significant differences between the mean values of hearing threshold at a frequency of 2000 Hz, the hearing threshold in the group of subjects NS relapse is higher than remission (p = 0.003). Whereas, on the left ear the mean value of hearing threshold higher at a frequency of 500 Hz (p = 0.025) and 2000 Hz (p = 0.001).

Conclusion. The relationship between hearing threshold with calcium ion and cumulative dose furosemide did not show the same consistency on both ears.

However, there was a significant relationship between the average threshold of hearing at a frequency of 2000 Hz.

Keywords: nephrotic syndrome, calcium ion, furosemide, hearing threshold

(20)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu penyakit glomerulopati yang paling sering ditemukan dan 15 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Di Amerika Serikat dan Inggris, 2 sampai 4 kasus baru per 100 000 anak tiap tahun. Di Indonesia, insidensi sindrom nefrotik dilaporkan sebanyak 6 per 100 000 anak tiap tahun dan sebagian besar anak yang menderita SN mengalami steroid-sensitive minimal change disease.1,2,3

Terdapat hubungan antara penyakit pada ginjal dengan gangguan pendengaran. Secara mikroskopis, ginjal dan koklea memiliki struktur membran yang sama. Selain struktur yang sama, membran tersebut juga memiliki fungsi yang sama. Secara fisiologis, memiliki kesamaan dalam mengatur keseimbangan konsentrasi biokimia pada cairan di telinga dalam.3 Keadaan hipokalsemia dan abnormalitas elektrolit pada penderita SN serta penggunaan loop diuretik seperti furosemid dalam jangka panjang dengan dosis kumulatif yang tinggi, menyebabkan fungsi tersebut terganggu dan menyebabkan edema pada epitelium dari stria vaskularis sehingga mengganggu produksi cairan endolymph di dalam koklea.4

(21)

2 Pada anak dengan SN terdapat abnormalitas elektrolit. Hal ini berkaitan dengan terjadinya gangguan pendengaran.4 Karenanya gangguan homeostasis ion kalsium dalam telinga bagian dalam, menginduksi gangguan fungsional pada telinga, seperti kehilangan pendengaran, tinnitus, dan vertigo. Selain itu penggunaan diuretik dalam penatalaksanaan SN juga berkaitan dengan timbulnya gangguan pendengaran.5,6

Penelitian di Belanda tahun 2008 menunjukkan bukti bahwa telinga bagian dalam dan ginjal secara imunologis, biokimia, dan fungsional saling terkait.7 Hasil penelitian ini menunjukkan dari 193 golongan obat relevan untuk gangguan ginjal, 120 golongan obat juga memiliki laporan tentang reaksi ototoksik. Empat belas dari 120 golongan obat memiliki Odds Ratio ≥ 1.50 untuk asosiasi antara ginjal dan telinga. Di antara berbagai golongan obat ini beberapa diantaranya memiliki kemampuan menginduksi gangguan telinga, salah satunya loop diuretik, seperti furosemide. Penelitian ini juga menemukan kesamaan mekanistik untuk mempengaruhi sistem transportasi ion kalsium.7,8

Sebuah penelitian eksperimental yang dilakukan di Amerika tahun 1995 pada sel rambut, merupakan suatu sel epitel khusus yang berfungsi sebagai reseptor sensorik, melalui rangsangan mekanis seperti suara yang dirubah menjadi sinyal listrik, sel-sel ini akan mengkodekan informasi sensorik untuk dianalisis oleh sistem saraf pusat. Transduksi mekanoelektrik

(22)

dimediasi hair bundle, ketika hair bundle dalam keadaan positif, mengakibatkan peluang terbukanya saluran transduksi meningkat sehingga memungkinkan masuknya kation, salah satunya adalah kalsium ion.9

Penelitian lain di India tahun 2012 menunjukkan terdapat resiko gangguan pendengaran sensorineural. Faktor risiko yang terkait dengan gangguan ini lebih besar pada keadaan hipokalsemia dan dosis kumulatif furosemide yang tinggi. Pada duapuluh anak dengan frequently relapsing nephrotic syndrome (FRNS)/steroid dependent nephrotic syndrome (SDNS),

tiga diantaranya (15%) mengalami tuli sensorineural ringan dan pada anak- anak tersebut didapatkan bahwa kadar serum kalsium rendah serta mendapatkan dosis kumulatif furosemid 75 mg/kg. Sedangkan pada duapuluh anak dengan steroid resistant nephrotic syndrome (SRNS), sepuluh diantaranya (50%) mengalami tuli sensorineural, dimana juga didapati kadar serum kalsium yang rendah serta mendapatkan dosis kumulatif furosemide 97.7 mg/kg.10

Efek yang dikawatirkan dari gangguan elektrolit jangka panjang dan pemakaian diuretik pada SN adalah timbulnya gangguan pendengaran pada Anak yang tentu dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup dan mungkin berkaitannya dengan prestasi belajar. Oleh karena itu, pemeriksaan status pendengaran diharapkan dapat mendeteksi gangguan pendengaran pada pasien SN sedini mungkin.3,6

(23)

4 Penelitian tentang kadar kalsium ion sendiri dan dosis kumulatif furosemide pada anak SN dan hubungannya dengan nilai ambang pendengaran masih belum banyak dilakukan dan hasilnya masih kontroversi.

Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemid dengan terjadinya gangguan pendengaran pada anak SN.

1.2. Perumusan Masalah

Latar belakang masalah diatas memberikan dasar pemikiran bagi peneliti umtuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan ion kalsium dan dosis kumulatif furosemide terhadap nilai ambang pendengaran pada anak dengan sindrom nefrotik.

1.3. Hipotesis

Terdapat hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemid dengan nilai ambang pendengaran pada anak dengan sindrom nefrotik.

(24)

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara ion kalsium dan dosis kumulatif furosemide dengan nilai ambang pendengaran pada anak sindrom nefrotik.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui nilai ambang pendengaran pada anak penderita sindrom nefrotik di RSUP Haji Adam Malik.

2. Membandingkan nilai ambang pendengaran pada anak penderita sindrom nefrotik dengan hipokalsemi dan yang normal di RSUP Haji Adam Malik.

3. Untuk mengetahui dosis kumulatif furosemide dengan kejadian gangguan pendengaran pada anak sindrom nefrotik.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Di bidang akademik / ilmiah: mengetahui tentang status pendengaran pada anak dengan sindrom nefrotik.

2. Di bidang pelayanan masyarakat: mengetahui sedini mungkin tentang gangguan pendengaran sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan anak penderita sindrom nefrotik.

3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap standar pelayanan kesehatan di divisi nefrologi anak RSUP Haji Adam Malik.

(25)

6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik ditandai oleh adanya proteinuria masif (>3.5 g/ 24 jam atau 40 mg/ m2/ jam atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia (<2.5 g/dL ), edema, dan hiperlipidemia / hiperkolesterolemia. Secara umum etiologi SN dibagi menjadi primer dan sekunder. Sindrom nefrotik primer atau dikenal juga dengan sebutan sindrom nefrotik idiopati terjadi berkaitan dengan adanya penyakit glomerulopati yang menjadi penyebab intrinsik pada ginjal dan tidak berkaitan dengan penyakit sistemik. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder berkaitan dengan adanya penyebab ekstrinsik pada ginjal autoimun (Henoch- Schonlein Purpura (HSP), Systemic Lupus Erythematosus (SLE), dan sebagainya), penyakit infeksi, keganasan, paparan lingkungan dan obat- obatan, dan penyakit sistemik (diabetes mellitus).1,2,11

Sindrom nefrotik dilaporkan juga disebabkan oleh adanya abnormalitas genetik yang berkaitan dengan adanya defek pada gen. Seperti pada sindrom nefrotik infantil, muncul sebelum bayi berusia 3 bulan dan sindrom nefrotik kongenital, muncul pada bayi berusia 4-12 bulan.12,13

2.2. Klasifikasi sindrom nefrotik

Kelainan histopatologi glomerulus pada sindrom nefrotik primer diklasifikasikan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of

(26)

Kidney Disease ini Children). Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom

nefrotik primer, yaitu:6,14,15

1. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) 2. Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)

3. Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial Difus (GNPMD) 4. Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)

5. Glomerulopati Membranosa (GM)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa SNKM. Di Indonesia, gambaran histopatologi SN primer berbeda dengan data-data di luar negeri. Di Amerika, terdapat sebanyak 44.2% tipe SNKM dari 364 anak dengan SN primer yang dibiopsi. Sedangkan di Surabaya, Indonesia, terdapat sebanyak 39.7% tipe SNKM dari 401 anak dengan SN primer yang dibiopsi.13,14,15

Sindrom nefrotik primer pada anak sebagian besar (80-90%) mempunyai gambaran patologi anatomi berupa SNKM. Sementara gambaran patologi anatomi lainnya adalah 7-8% GSFS; 1.9-2.3% GNPMD;

6.2% GNMP; dan 1.3% GNM.16

Saai ini respons terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.

Oleh karena itu, klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinis, yaitu:16,17 1. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS)

2. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)

(27)

8 2.3. Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum (pada laki-laki).

Kadang-kadang disertai oligouria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis.18

Diagnosis pada SN berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis pasien, dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC, pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopi, 15-20% dengan hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.17,19

2.4. Tatalaksana

Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi, pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi kepada orangtua.20

Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi lain, muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas dapat disesuaikan dengan kemampuan pasien.20,21

(28)

2.4.1. Dietetik

Pemberian diet yang tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Namun diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.20,21

2.4.2. Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah. 20,22

Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%

dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB.

Dapat juga diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari. 18,19

(29)

10 Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lainnya. 20

2.4.3. Antibiotik Profilaksis

Dibeberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan antibiotik profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda- tanda infeksi segera diberikan antibiotik. 20,21

2.4.4. Pengobatan dengan kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama.

Dapat diberikan prednison atau prednisolon.22,23 a. Pengobatan inisial

Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison

dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila

(30)

terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Gambar 1. Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid14

b. Steroid jangka panjang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid yang lebih kecil. Bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering / dependent steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating. Dosis diturunkan perlahan 0.2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak

(31)

12 menimbulkan relaps, antara 0.1 – 0.5 mg/kgBB. Dosis ini disebut dosis threshold, diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. 16,17

2.5. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid maupun SN resisten steroid. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga dapat dilakukan penanggulangan yang cepat.2-4,24

2.5.1. Infeksi

Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan terjadinya kebocoran IgG dan komplemen faktor di urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi. Bila terjadi peritonitis primer, maka perlu diberikan antibiotik, selama 10-14 hari.11

2.5.2. Tromboemboli

Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi, peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi antitrombin III. Trombosis dapat terjadi di dalam vena maupun arteri. Adanya dehidrasi meningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis. Pencegahan tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirin dan dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum ada studi terkontrol terhadap efektivitas pengobatan ini.11,12

(32)

2.5.3.. Hiperlipidemia

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein, sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat trombogenik.25

2.5.4.. Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat mengakibatkan hipovolemia. Gejala yang didapati hipotensi, takikardia, dan anggota gerak dingin.19,26

2.5.5. Hipokalsemia a. Metabolisme kalsium27

Dasar fisiologi metabolisme kalsium harus dipahami sebelum menentukan keadaan hipokalsemia. Secara umum, keseimbangan kalsium sendiri sangat kompleks, dan bersifat multicompartmental. Dipertahankan oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin melalui mekanisme complex feedback loops yang bekerja di tulang, ginjal, dan saluran pencernaan.

Kalsium merupakan ion penting bagi fungsi metabolisme seluler dan pengembangan tulang kerangka. Asupan kalsium diserap aktif dari saluran pencernaan proksimal, terutama di duodenum dan jejunum. Bentuk bioaktif vitamin D, 1,25(OH)2D3, dibentuk pada ginjal, merupakan stimulus hormonal tunggal untuk transportasi kalsium (Gambar 2).

(33)

14 Gambar 2. Diagram skematik biokonversi vitamin D untuk mempertahankan

homeostasis kalsium27

Sistem rangka adalah tempat utama penyimpanan kalsium (99%); hanya 1% berada di kompartemen intraseluler dan ekstraseluler (Gambar 3). Dalam plasma, 40% kalsium terikat dengan plasma protein dan non-ultrafilterable di glomeruli. Sekitar 50% kalsium serum ditemukan dalam bentuk terionisasi dan 10% kalsium kompleks dengan anion, seperti fosfat atau karbonat. Fraksi kalsium terikat protein plasma, 90% dengan albumin dan sisanya dengan globulin. Setiap gram albumin, pada pH fisiologis akan mengikat 0.8 mg / dL kalsium. Sehingga dalam

(34)

keadaan hipoalbuminemia, nilai kalsium serum tidak dapat dijadikan acuan kalsium yang sebenarnya.27

Gambar 3. Distribusi kalsium dalam berbagai kompartemen dalam tubuh27

b. Regulasi kalsium oleh ginjal

Baik kalsium terionisasi dan kalsium anion-kompleks yang bebas akan disaring di glomerulus. Untuk mempertahankan keseimbangan kalsium, tubulus ginjal harus menyerap sebagian besar (98-99%) dari kalsium dari filtrasi glomerulus. Tubulus proksimal akan menyerap hampir 70% dari kalsium disaring sebagian besar secara transport pasif melalui pelarut parasellular digabungkan dengan natrium dan air (Gambar 4).

Lengkung Henle akan menyerap kembali sekitar 25% dari kalsium yang disaring. Lumen di bagian ini akan mempertahankan muatan positif karena transporter Na-K-Cl, yang membantu dengan reklamasi kalsium

(35)

16 melalui paracellular. Sisa kalsium dalam ultrafiltrate akan diserap secara aktif di segmen tubular distal.27

Gambar 4. Reabsorbsi kalsium pada nefron36 c. Hipokalsemia pada sindroma nefrotik

Hipokalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum total <

8.8 mg/dL (2.2 mmol/L) pada pasien yang serum albuminnya normal, atau ketika nilai kalsium darah terionisasi < 4.2 mg/dl (1.05 mmol/L). Beberapa formula telah dirumuskan untuk 'menormalkan' nilai serum kalsium total dalam keadaan hipopoalbuminemia, namun tidak lebih baik daripada pengukuran kalsium serum terionisasi.2,27

(36)

Tabel. 1. Penyebab hipokalsemia27 Serum albumin rendah

Penggunaan agen kontras berbasis gadolinium Vitamin D

Kekurangan vitamin D:

• Nutrisi

• paparan sinar matahari yang tidak memadai

• Lemak malabsorpsi

Gangguan metabolisme vitamin D:

• Terapi antikonvulsan

• Penyakit ginjal

• Penyakit Hati Vitamin D – Rakhitis:

• Tipe I, 25-hydroxyvitamin D defisiensi 1α-hidroksilase

• Tipe II, menonaktifkan mutasi dari reseptor vitamin D (resistensi vitamin D) Paratiroid hormon

Kurangnya hormon paratiroid:

• Hipoparatiroidisme kongenital

• Post-paratiroidektomi

• Post-tiroidektomi

• Hypomagnesemia

Resistensi hormon paratiroid:

• Pseudohipoparatiroidisme

Pada SN sendiri hipokalsemia dapat terjadi selain karena gangguan regulasi kalsium yang tidak baik oleh ginjal. Kalsium sebagian besar akan berikatan dengan protein, sehingga kadar kalsium total serum sangat dipengaruhi oleh kadar protein, terutama albumin. Penurunan kalsium total serum pada SN terjadi akibat bertambah jumlah protein-binding, yang ikut terbuang melalui urin. Disamping itu juga karena penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia, serta kebocoran metabolit vitamin D (Tabel 1).

(37)

18 2.5.6. Gangguan pendengaran

Organ pada telinga dalam dan ginjal secara fisiologi memiliki kesamaan dalam mengatur keseimbangan konsentrasi elektrolit pada cairan di dalam telinga dalam dan ginjal. Pada anak dengan sindrom nefrotik idiopati terdapat abnormalitas elektrolit seperti hiponatremia dan hipokalsemia. Abnormalitas elektrolit inilah yang berkaitan dengan terjadinya gangguan pendengaran. Selain itu penggunaan diuretik dalam jangka waktu yang lama untuk penatalaksanaan sindrom nefrotik juga berkaitan dengan timbulnya gangguan pendengaran.28,29

Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran yakni gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya (tipe campuran).5

Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi organ yang berperan menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif. Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada koklea ataupun retrokoklea. Tuli sensorineural dapat bersifat akut (acute sensorineural deafness) yakni tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab tidak diketahui dengan pasti dan chronic sensorineural deafness, tuli sensorineural yang terjadi secara perlahan. 4,5,28

Gangguan pendengaran merupakan gejala dari penyakit telinga yang sangat merisaukan, terutama bila terjadi pada kehidupan tahun-tahun

(38)

pertama pada anak-anak. Pendengaran sangat penting fungsinya bagi perkembangan penguasaan bahasa dan belajar bicara, sehingga anak yang lahir dengan tuli atau tuli sebelum dapat berbicara, akan mengalami kesukaran-kesukaran di dalam perkembangan bahasa. Bicara dan bahasa sangat penting dalam sistem komunikasi, dan sangat diperlukan pada kehidupan sosial, perkembangan mental, dan masa depan. Kemampuan berbicara dan berbahasa berhubungan sangat erat dengan fungsi pendengaran.5,27

Tanpa mendengar, perkembangan bahasa tidak akan terjadi sehingga anak tersebut tidak akan dapat berbicara. Meskipun demikian pada anak yang tuli masih dapat dikembangkan bahasa dan bicaranya dengan pendidikan khusus, walaupun akan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan anak yang normal. 4,5

Gangguan pendengaran yang didapat setelah anak sudah mampu berbicara, perbendaharaan kata dan struktur kalimat umumnya tidak mengalami gangguan, tetapi anak dapat mengalami gangguan cara pengucapan dan kualitas suara. Hal tersebut karena anak tidak dapat lagi mendengar dengan jelas kata-kata yang didengarnya begitu juga halnya dengan umpan balik suaranya sendiri dibandingkan dengan sebelum mengalami gangguan pendengaran. 4

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa anak dengan sindrom nefrotik memiliki risiko untuk terjadinya gangguan pendengaran. Hal ini

(39)

20 disebabkan oleh penggunaan jangka panjang dan dosis kumulatif furosemid yang tinggi serta adanya hipokalsemia. Hipokalsemia pada pasien sindrom nefrotik berhubungan dengan hilangnya 25- hydroxyvitamin D3 dan kadar calcitriol yang tidak sesuai.27

Selain faktor risiko yang sudah dipaparkan di atas, seiring dengan perjalanan penyakit sindrom nefrotik, maka akan semakin banyak akumulasi dari produk-produk sisa seperti urea dan kreatinin dalam darah. Produk- produk sisa tersebut dapat merusak sel-sel pada telinga dalam sehingga memicu terjadinya gangguan pendengaran pada anak dengan SN.29,30

Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid maupun SN resisten steroid. Gangguan pendengaran merupakan salah satu komplikasi yang bisa saja dijumpai. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga dapat dilakukan penanggulangan.24

2.6. Pemeriksaan Gangguan pendengaran

Telinga normal dapat mendengar nada antara 20 sampai 18 000 Hz (tabel1).

Pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500 sampai 2000 Hz.28 2.6.1. Audiometri nada murni

Audiometri nada murni (pure tone audiometry) adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pendengaran. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer dan hasil pencatatannya disebut

(40)

audigram. Selama pemeriksaan akan diperdengarkan nada murni yang diberikan pada frekuensi berbeda melalui sebuah headphone atau earphone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang

dengar dimana suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui.

Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan dalam audiogram.29,30

Keuntungan dari pemeriksaan ini dapat mengetahui jenis dan tingkat gangguan pendengaran. Kelemahannya pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada anak diatas usia 6 tahun dan bersifat subjektif.31

2.6.2. Otoacustic emission (OAE)

Otoacustic emission (OAE) merupakan pemeriksaan yang dilakukan

untuk menilai respon koklea oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel- sel rambut akan menginduksi depolarisasi sel. Hal ini menunjukkan bahwa dan merefleksikan fungsi koklea. Sedangkan sel rambut dalam dipersarafi serabut aferen yang berfungsi mengubah suara menjadi bangkitan listrik.31,32

Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan suatu probe kedalam liang telinga luar. Didalam probe tersebut terdapat pengeras suara yang berfungsi memberikan stimulus suara dan mikrofon yang berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah

(41)

22 pemberian stimulus. Sumbat telinga dihubungkan dengan alat untuk mencatat respon yang timbul dari koklea setelah pemberian stimulus.32,33

Pemeriksaan sebaiknya dilakukan diruangan yang sunyi atau kedap suara, hal ini untuk mengurangi bising lingkungan. Keuntungan OAE tidak berbatas umur bahkan dapat dilakukan pada neonatus, tidak memerlukan waktu yang lama, tersedia alat portable. Pemeriksaaan OAE dapat digunakan untuk memonitor efek otoksik obat. Sensitivitas OAE sebesar 100% dan spesifisitasnya 82-87%.32

2.6.3. Brainstem evoked response audiometry (BERA)

Merupakan pemeriksaan elektrofisiologi untuk menilai integritas sistem auditorik, bersifat objektif dan tidak invasif.30,33

Pemeriksaan ini mengukur aktivitas listrik yang dihasilkan N.VII, pusat-pusat neural dan trastus didalam batang otak sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus yang digunakan berupa bunyi click yang diberikan melalui headphone atau insert probe. Dimana stimulus tersebut merupakan impuls listrik dengan onset cepat dan singkat, menghasilkan respon pada frekuensi 2000 Hz sampai 4000 Hz, dengan intensitas dapat mencapai 105 dB. Respon stimulus berupa evoked potential direkam melalui elektroda permukaan yang ditempelkan pada

dahi dan prosessus mastoideus.33

Pemeriksaan ini tidak terpengaruh oleh debris di liang telinga luar dan tengah. Namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan

(42)

tenaga terlatih dalam mengoperasikan alat, serta menginterpretasikan hasilnya. Sensitivitas BERA 99,96% dan spesifisitasnya 98,7%.32

Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran32

Tingkat gangguan pendengaran Ambang batas pendengaran (dB)

Normal Mild Moderate

Moderate-Severe Severe

Profund

< 20 21-40 41-60 61-70 71-90

> 90

2.7. Kerangka Konseptual

: Yang diamati dalam penelitian

Sindroma Nefrotik Remisi

Test fungsi ginjal Keseimbangan elektrolit

Efek Ototoksis obat

Gangguan keseimbangan elektrolit

Audiometri

 Akumulasi sisa produk seperti urea & creatinin dalam darah

 Edema epitelium &

stria vaskularis yang mengganggu produksi cairan endolimfe dalam koklea

Gangguan pendengaran Pemberian

diuretik dan steroid jangka lama

Sindroma Nefrotik Relaps

(43)

24 BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain

Desain penelitian ini adalah studi cross sectional untuk mengetahui hubungan nilai kalsium ion dan dosis kumulatif furosemide dengan nilai ambang batas pendengaran pada anak sindrom nefrotik.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Haji Adam Malik, Propinsi Sumatera Utara pada bulan Maret – Mei 2016.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak penderita sindrom nefrotik, yang telah didiagnosis dan telah mendapat pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik, Propinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Penghitungan besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk uji hipotesis dengan dua kelompok tidak berpasangan.

(44)

Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan (CI) 95% dan power sebesar 80%.

Besar sampel minimal dapat dihitung dengan menggunakan rumus:34

𝑛1 = 𝑛2 = 2 z𝛼 + 𝑧𝛽 𝑆 𝑥1 − 𝑥2

2

Keterangan :

n1 : besar sampel kelompok anak sindrom nefrotik remisi.

n2 : besar sampel kelompok anak sindrom nefrotik relaps.

Zα : kesalahan tipe I = 0.05 (tingkat kepercayaan 95%) = 1.96 Zβ : kesalahan tipe II = nilai deviasi pada β 20% = 0.842 S : standar deviasi= 4.859.10

X1 : mean gangguan pendengaran pada anak sindroma nefrotik remisi.

X2 : mean gangguan pendengaran pada anak sindroma nefrotik relaps.

X1-X2 : perbedaan rerata yang dianggap bermakna (judgmen penelitian).10

Dengan menggunakan rumus di atas didapati besar sampel minimal adalah 16 orang untuk masing-masing kelompok.

(45)

26 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Memenuhi diagnosis sindroma nefrotik dan telah mendapat terapi inisial dan alternating dose dan mengalami remisi setelah mendapat pengobatan pertama sekali.

2. Orang tua bersedia mengisi lembar persetujuan (informed consent).

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Belum mendapat pengobatan atau mengalami sekurang-kurangnya satu kali remisi dalam masa pengobatan

2. Dijumpai anamnesa: penurunan berat badan, gagal tumbuh, demam yang tidak diketahui penyebabnya, riwayat keluar cairan dari liang telinga, riwayat telinga berdengung atau nyeri pada telinga.

3. Dijumpai kelainan organ secara pemeriksaan fisik maupun sudah terdiagnosis dengan kelainan bawaan pada telinga atau pasien sebelumnya sudah terdiagnosis dengan gangguan pendengaran oleh Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (THT) sebelum dilakukan penelitian.

(46)

3.6. Persetujuan

Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu.

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini diminta persetujuan oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja

1. Mengumpulkan dari rekam medis data pasien yang telah didiagnosis dengan sindroma nefrotik.

2. Melakuakan pengambilan sampel dengan menilai kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dilakukan wawancara dengan orang tua pasien mengenai kesediaan untuk berpartisipasi, mengisi lembar persetujuan dan lembar formulir isian.

3. Pada sampel dilakukan pemeriksaan fisik dan pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan.

4. Cara melakukan pengukuran berat badan adalah tanpa pakaian, tanpa alas kaki dan anak berdiri tegak diatas timbangan merk Krisbow yang digunakan ataupun data berat badan didapat dari rekam medis.

Pengukuran tinggi badan pada anak dengan cara anak berdiri tegak,

(47)

28 mata menatap lurus, punggung menempel pada alat pengukur panjang badan pada dinding.

5. Dilakukan pencatatan mengenai terapi apa yang diterima pasien, dihitung dosis kumulatif furosemide.

6. Dilakukan pencatatan hasil pemeriksaan laboratorium, albumin, elektrolit, dan kalsium ion serum.

7. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik sindroma nefrotik dinilai status pendengarannya dengan menggunakan audiometri nada murni, dilakukan oleh seorang audiologist.

3.9. Alur Penelitian

(48)

3.10. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Kalsium ion Nominal dikotom

Dosis Kumulatif Furosemide Nominal dikotom

Variabel tergantung Skala

Ambang pendengaran Numerik

3.11. Definisi Operasional

1. Sampel adalah kelompok anak yang telah didiagnosis dengan sindroma nefrotik di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan:

proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/KgBB/hari atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu > 2mg/Kg atau pada dipstick urine ≥ 2+); hipoalbuminemia (< 2.5 gr/dL); edema; dan dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL).

3. Sindroma Nefrotik idiopatik adalah kombinasi antara sindroma nefrotik dan kelainan histologis nonspesifik termasuk kelainan minimal, fokal segmental glomerulosklerosis maupun proliferasi mesangial difus.

4. Remisi terjadi jika didapati proteinuria negatif atau trace (proteinuria <

4 mg/m2 LPB/ jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

(49)

30 5. Relaps terjadi jika proteinuria ≥ 2+ ( proteinuria ≥ 40 mg/ m2 LPB/ jam)

3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

6. Hipokalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum total dari < 8.8 mg / dL (2.2 mmol / L) pada pasien yang nilai serum albuminnya normal, atau ketika nilai kalsium terionisasi dalam serum

< 4.2 mg / dL (1.05 mmol / L).

7. Dosis kumulatif furosemide adalah dosis total furosemide yang diterima pasien selama satu periode waktu tertentu.

8. Ambang pendengaran adalah batas kekuatan bunyi yang dapat didengar oleh telinga, diukur dalam satuan dB (Decibell).

9. Audiometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai fungsi telinga, merupakan uji yang menunjukkan seberapa baik seseorang dapat mendengar.

10. Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial maupun total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga.

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisis dengan uji komparatif Independent T test, Mann-Whitney U test, dan regresi logistik multivariat untuk mengetahui hubungan ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemide dengan nilai ambang pendengaran

(50)

pada anak sindroma nefrotik. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 18.0 dengan tingkat kemaknaan P < 0.05 dan interval kepercayaan yang digunakan adalah 90%.

(51)

32 BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Demografi dan Laboratorium

Penelitian diikuti oleh 22 orang subyek anak Sindrom Nefritik (SN) remisi dan 20 orang subyek SN relaps yang telah memenuhi kriteria inklusi.

Jumlah subyek anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok SN remisi masing-masing adalah 11 orang dan pada kelompok SN relaps 10 orang. Rerata usia pada kelompok SN remisi adalah 8.36 tahun dan kelompok SN relaps adalah 8.7 tahun. Rerata berat badan pada kelompok SN remisi adalah 22.95 kg dan kelompok SN relaps adalah 28.05 kg. Rerata panjang badan pada kelompok SN remisi adalah 115.82 cm dan kelompok SN relaps adalah 115.55 cm.

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi

Karakteristik SN Remisi

n = 22 SN Relaps

n = 20 Jenis Kelamin, n (%)

Laki-laki 11 (50) 10 (50)

Perempuan 11 (50) 10 (50)

Usia, rerata (SB), tahun 8.36 (2.98) 8.7 (2.74)

Berat badan, rerata (SB), kg 22.95 (6.68) 28.05 (4.64) Panjang badan, rerata (SB), cm 115.82 (12.7) 115.55 (9.73) SB=Simpangan Baku

Hasil pemeriksaan laboratorium kimia darah pada kelompok SN remisi dan relaps disajikan dalam tabel 4.2 berikut.

(52)

Tabel 4.2 Karakteristik Laboratorium Karakteristik SN Remisi

n=22 SN Relaps

n = 20 Ureum, rerata (SB), mg/dL 21.78 (7.79) 23.08 (7.44) Kreatinin, rerata (SB), mg/dL 0.49 (0.14) 0.46 (0.13) Natrium, rerata (SB), mEq/L 137.09 (2.67) 137.4 (2.52) Kalium, rerata (SB), mEq/L 3.86 (0.44) 3.74 (0.42) Klorida, rerata (SB), mEq/L 104.09 (3.42) 104.45 (2.67) Albumin, rerata (SB), gr/dL 3.38 (0.38) 1.87 (0.33)

Tabel 4.3 menampilkan hasil pemeriksaan terhadap kadar kalsium, Ion Kalsium, hasil perhitungan dosis kumulatif furosemid, dan pengukuran audiometri untuk telinga kanan dan kiri pada dua kelompok studi.

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kalsium, Ion Kalsium serum, Dosis Kumulatif Furosemide, dan NA Dengar Telinga Kanan dan Kiri

SN Remisi

n=22 SN Relaps

n = 20 P Kalsium, rerata (SB), mEq/L 8.48 (0.43) 7.5 (0.56) <0.001a Ion Kalsium, rerata (SB), mEq/L 1.03 (0.05) 1 (0.07) 0.146b Dosis Kum. Furosemid, rerata (SB),

mg/kgBB

17.05 (3.48) 33 (8.86) 0.120b NA Dengar telinga kanan, rerata (SB) 21.68 (2.70) 22.65 (2.50) 0.045b NA Dengar telinga kiri, rerata (SB) 22 (2.85) 23.25 (2.10) <0.001b

a T Independent, b Mann Whitney, NA=Nilai Ambang

Hasil pemeriksaan terhadap kadar kalsium menunjukkan rerata

(53)

34 dibanding SN relaps (rerata 7.5 mEq/L). Ditemukan perbedaan rerata kalsium yang signifikan antara dua kelompok studi (p<0.001).

Meskipun dosis kumulatif furosemid pada kelompok SN relaps lebih tinggi dengan rerata 33 mg/kgBB dibandingkan kelompok SN remisi dengan rerata 17.05 mg/kgBB namun tidak ditemukan perbedaan rerata yang signifikan untuk dua kelompok (p=0.120).

Berdasarkan pemeriksaan audiometri diperoleh NA dengar untuk telinga kanan dan kiri pada kelompok SN relaps lebih tinggi dibandingkan kelompok SN remisi. Analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan rerata yang signifikan untuk NA dengar telinga kanan dan kiri antar dua kelompok (p<0.05).

4.2 Hubungan Ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif Furosemid dengan NA Pendengaran

Tabel 4.4 berikut menyajikan perbedaan NA dengar telinga kanan dan kiri pada subyek dengan SN remisi dan SN relaps.

(54)

Tabel 4.4 Perbedaan NA Pendengaran berdasarkan Frekuensi Audiometri

Nilai Ambang Dengar SN Remisi

n=22 SN Relaps

n = 20 P

Telinga Kanan, rerata (SB), dB

500 Hz 22.73 (4.56) 20.75 (2.45) 0.130

1000 Hz 22.27 (4.29) 22.75 (4.13) 0.535

2000 Hz 21.36 (3.16) 25.75 (4.94) 0.003

4000 Hz 20.45 (1.47) 21.75 (3.73) 0.263

Telinga Kiri, rerata (SB), dB

500 Hz 22.27 (4.29) 20 0.025

1000 Hz 23.18 (4.77) 23.75 (4.55) 0.586

2000 Hz 22.5 (4.82) 27.75 (4.13) 0.001

4000 Hz 20.23 (1.07) 21.5 (3.29) 0.117

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada telinga kanan terdapat perbedaan rerata Nilai ambang dengar yang signifikan pada frekuensi 2000 Hz, dimana ambang dengar pada kelompok subyek SN relaps lebih tinggi dibandingkan kelompok remisi (p=0.003). Untuk hasil pemeriksaan telinga kiri, terdapat perbedaan rerata Nilai ambang dengar yang signifikan pada frekuensi 500 Hz (p=0.025) dan 2000 Hz (p=0.001).

Tabel 4.5 berikut menyajikan hubungan antara kalsium ion dan dosis kumulatif furosemid dengan NA dengar telinga kanan dan kiri pada subyek dengan SN remisi dan SN relaps. Dari 42 subyek terdapat 4 orang dengan kadar ion kalsium < 1 dan sebanyak 2 orang yang memperoleh dosis furosemide tinggi.

(55)

36 Tabel 4.5 Hubungan ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif Furosemide dengan NA Pendengaran pada SN Remisi dan Relaps

N Ambang Dengar

Telinga Kanan p* Ambang Dengar

Telinga Kiri p*

Ion Kalsium, n (%)

≥ 1 38 22.05 (2.65) 0.366 22.47 (2.58) 0.310

< 1 4 23 (2.45) 23.75 (2.5)

Dosis Kumulatif Furosemid, n (%)

Rendah 40 22.2 (2.66) 0.678 22.55 (2.60) 0.484

Tinggi 2 21 (1.41) 23.50 (2.12)

*Mann Whitney

Tabel 4.6 Hubungan Kalsium Ion Serum dan Dosis Kumulatif Furosemid dengan NA Pendengaran Telinga Kanan pada SN Remisi dan Relaps

n Ambang Dengar Telinga Kanan p*

Ion Kalsium, n (%)

≥ 1 18 24.33 (2.20) 0.869

< 1 3 24 (1.73)

Dosis Kumulatif Furosemid, n (%)

Rendah 20 24.4 (2.09) 0.240

Tinggi 1 28

*Mann Whitney

Tabel 4.6 ini menyajikan hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemide dengan NA dengar telinga kanan pada subyek SN remisi dan SN relaps yang memiliki NA dengar tidak normal (>20 dB). Dari 42

(56)

subyek terdapat 21 orang dengan NA dengar tidak normal, kadar ion kalsium

< 1 dan sebanyak 3 orang dan 1 orang memperoleh dosis furosemide tinggi.

Tabel 4.7 berikut menyajikan hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemide dengan NA dengar telinga kiri pada subyek SN remisi dan SN relaps yang memiliki NA dengar tidak normal (>20 dB). Dari 42 subyek terdapat 25 orang dengan NA dengar tidak normal, kadar ion kalsium

< 1 sebanyak 3 orang dan 2 orang yang memperoleh dosis furosemide tinggi.

Tabel 4.7 Hubungan Ion Kalsium Serum dan Dosis Kumulatif Furosemide dengan NA Pendengaran Telinga Kiri pada SN Remisi dan Relaps

N Ambang Dengar Telinga Kiri p*

Ion Kalsium, n (%)

≥ 1 22 24.27 (1.91) 0.042

< 1 3 25

Dosis Kumulatif Furosemid, n (%)

Rendah 23 24.43 (1.81) 0.279

Tinggi 2 23.5 (1.12)

*Mann Whitney

Tidak ditemukan perbedaan rerata yang signifikan untuk ambang dengar telinga kanan berdasarkan ion kalsium dan dosis kumulatif furosemid (p>0.05). Namun, ditemukan perbedaan rerata ambang dengar pada telinga kiri yang signifikan berdasarkan kadar ion kalsium (p=0.042). Rerata ambang

(57)

38 dengar pada kelompok subyek dengan kadar ion kalsium ≥ 1 adalah 24.27 dB sedangkan pada kelompok subyek dengan ion kalsium < 1 adalah 25 dB.

(58)

BAB 5. PEMBAHASAN

Pada anak SN terdapat gangguan elektrolit salah satunya kalsium yang dapat mengakibatkan gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan karena homeostasis ion kalsium dalam telinga bagian dalam, menginduksi gangguan fungsional pada telinga, seperti tinnitus, vertigo, dan sensorineural hearing loss. Selain itu penggunaan diuretik dalam

penatalaksanaan SN juga berkaitan dengan timbulnya gangguan pendengaran.5

Suatu penelitian di India pada tahun 2012 menunjukkan dari duapuluh anak dengan frequently relapsing nephrotic syndrome (FRNS)/steroid dependent nephrotic syndrome (SDNS), tiga diantaranya (15%) mengalami tuli sensorineural ringan dan dari duapuluh anak dengan steroid resistant nephrotic syndrome (SRNS), sepuluh diantaranya (50%) mengalami tuli sensorineural.10

Penelitian lain di Polandia mengevaluasi status pendengaran dari duapuluh delapan anak SN dibandingkan dengan duapuluh delapan anak sehat, analisis dilakukan setiap pasien mengalami relaps dan kemudian saat remisi. Namun penulis tidak menyebutkan kategori klinis SN dalam penelitiannya. Dalam studi mereka, anak-anak dengan SN memiliki nilai ambang pendengaran yang lebih buruk dibandingkan dengan subjek anak sehat bahkan setelah kondisi remisi telah tercapai. Para penulis dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa organ pendengaran secara

Gambar

Gambar 3. Distribusi kalsium dalam berbagai kompartemen dalam tubuh 27
Gambar 4. Reabsorbsi kalsium pada nefron 36  c. Hipokalsemia pada sindroma nefrotik
Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran 32

Referensi

Dokumen terkait