ABSTRAK
KONSEP DIRI REMAJA VEGETARIAN
Marmili Yartini Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri dan faktor– faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada remaja vegetarian. Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri Acocella.
Subjek penelitian adalah remaja dengan kriteria berusia 15-17 tahun penganut Buddhis alliran Maitreya, dan sudah menjalani vegetarian jenis pure vegetarian lebih dari satu tahun. Subjek penelitian sebanyak satu orang dan diperoleh dengan tekhnik voluntarily sampling.
Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi dengan batasan kajian dimensi konsep diri menurut Acocella J.R & Calhoun F. J. Analisis data yang digunakan adalah analisis induktif.
Hasil penelitian ini menunjukan (1) konsep diri remaja vegetarian secara menyeluruh adalah relatif positif; (2) konsep diri remaja vegetarian sub dimensi pengetahuan sosial relatif negatif; (3) faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja vegetarian adalah hubungan dengan teman sebaya, hubungan keluarga, identifikasi, dan reaksi orang lain.
ABSTRACT
THE SELF CONCEPT OF VEGETARIAN ADOLESCENCE
Marmili Yartini Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
The purpose of this study was to obtain a description of the self concept and the factors which have an effect to self concept of vegetarian adolescence. Self concept is his personal view of himself,
The subject in the study is adolescence with age range from 15 to 17 years old, and Buddhist maitreya and has been purely vegetary more than one years. Voluntarily sampling was used to obtain a sample of one subject.
Data of this study was gained by interview, and observation with theory of sub dimension of self concept by Acocella J.R & Calhoun F. Data analysis used in this research is induktif analysis method .
Results of this research are (1) Self concept of vegetarian adolescence is relative positive (2) Self concept of vegetarian adolescence in sub dimension of social knowledge is relative negative (3) The factors which have effect to self concept of vegetarian adolescence are relationship with peers, relationship with family, identification, and other people reaction.
KONSEP DIRI REMAJA VEGETARIAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Marmili Yartini NIM 999114122
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
‘
Seratus ribu gajah,
Seratus ribu kuda,
Seratus ribu kereta yang ditarik bagal,
Seratus ribu gadis
Yang dipercantik dengan perhiasan dan
anting-anting
Kesemuanya tidak seharga seperenam bela s
Satu langkah maju
Ku persembahkan
ABSTRAK
KONSEP DIRI REMAJA VEGETARIAN
Marmili Yartini Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri dan faktor– faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada remaja vegetarian. Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri Acocella.
Subjek penelitian adalah remaja dengan kriteria berusia 15-17 tahun penganut Buddhis alliran Maitreya, dan sudah menjalani vegetarian jenis pure vegetarian lebih dari satu tahun. Subjek penelitian sebanyak satu orang dan diperoleh dengan tekhnik voluntarily sampling.
Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi dengan batasan kajian dimensi konsep diri menurut Acocella J.R & Calhoun F. J. Analisis data yang digunakan adalah analisis induktif.
Hasil penelitian ini menunjukan (1) konsep diri remaja vegetarian secara menyeluruh adalah relatif positif; (2) konsep diri remaja vegetarian sub dimensi pengetahuan sosial relatif negatif; (3) faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja vegetarian adalah hubungan dengan teman sebaya, hubungan keluarga, identifikasi, dan reaksi orang lain.
ABSTRACT
THE SELF CONCEPT OF VEGETARIAN ADOLESCENCE
Marmili Yartini Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
The purpose of this study was to obtain a description of the self concept and the factors which have an effect to self concept of vegetarian adolescence. Self concept is his personal view of himself,
The subject in the study is adolescence with age range from 15 to 17 years old, and Buddhist maitreya and has been purely vegetary more than one years. Voluntarily sampling was used to obtain a sample of one subject.
Data of this study was gained by interview, and observation with theory of sub dimension of self concept by Acocella J.R & Calhoun F. Data analysis used in this research is induktif analysis method .
Results of this research are (1) Self concept of vegetarian adolescence is relative positive (2) Self concept of vegetarian adolescence in sub dimension of social knowledge is relative negative (3) The factors which have effect to self concept of vegetarian adolescence are relationship with peers, relationship with family, identification, and other people reaction.
KATA PENGANTAR
Terpujilah Sang Hyang Adi Buddha, berkat kamma baik dan usaha serta kerja
keras penulis akhirnya mampu menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
“Konsep Diri Remaja Vegetarian”. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam upaya menyelesaikan
tugas akhir ini, antara lain
1. Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing yang
telah banyak memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Mas Gandhung, Mbak Nanik, Mas Doni, Mas Muji atas semua
bantuannya.
5. Untuk Pak Gie dengan semua ketulusannya dalam bekerja.
6. Mama, yang nggak pernah cape mengingatkan aku untuk
menyelesaikan studi.
7. Henny, untuk semua bantuan dan pengorbananmu di awal kuliahku
dan juga terima kasih karna telah menjadi seorang kakak yang
baik dan kuat, nggak pernah mengeluh walau adeknya banyak dan
bandel-bandel terutama aku dan juga untuk Ko Lim-lim dan pink
kecil yang ceriwis.
8. Untuk lily, seorang kakak dan teman dalam mengatasi semua
masalah keluarga kita
9. Untuk adek- adekku, Dina (ayo cepet, selesaikan kuliahmu), Lita
(skripsinya cepat diselesaikan ya, biar bisa terbang yang jauh),
Liki’Owen’( yang terkecil harus jadi yang tersukses ok!) dan untuk
Hendra(wherever you been, we here as your family)
10. Ko Charles, trims karena bisa nerima aku apa adanya.
11. Helen, kamsia telah menjadi teman diskusi dan bercerita dalam
banyak hal.
12. Untuk Oma yang galak, Ko Hen & Cie Afni, Nathan & Sakya yang
telah memberikan dukungan moral dan material selama ini.
13. Della, Sisil, Erna, Velly, teman-teman yang banyak memberikan
pengalaman berharga dalam hidupku.
14. Yuyun, Asti, Rani, Dian, Ana, dan semua teman-teman
seperjuangan.
15. Anathapindika, ‘Ye, makasih atas bantuanmu nyariin buku selama
aku kuliah, walau kita gak bisa sama-sama tapi aku selalu
menganggapmu seorang teman yang sangat membangun.
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Semoga dengan jasa dan kebajikan yang telah dilakukan dapat
membuahkan kebahagiaan. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, penulis
menyadari bahwa pembuatan tugas akhir ini tidak luput dari berbagai
kekurangan, Semoga dalam keterbatasannya skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukannya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN MOTTO iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xi
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 7
BAB II. LANDASAN TEORI 8
A. Konsep Diri 8
2. Dimensi - Dimensi konsep Diri 9
3. Proses Terbentuknya konsep Diri & Faktor - Faktor yang
Mempengaruhi Terbentuknya Konsep Diri 13
4. Penggolongan Konsep Diri & ciri – Cirinya 16
B. Remaja 18
1. Pengertian Remaja 18
2. Usia Masa Remaja 19
3. Tugas Perkembangan Masa Remaja 20
4. Konsep Diri Remaja 20
C. Vegetarian 22
1. Pengertian Vegetarian 22
2. Aspek – aspek Vegetarian 23
3. Jenis Vegetarian 32
D. Konsep Diri Remaja Vegetarian 33
BAB III. METODE PENELITIAN 36
A. Jenis Penelitian 36
B. Subjek Penelitian 37
C. Prosedur Pengambilan Sampel 37
D. Batasan Kajian Penelitian 38
E. Metode Pengambilan Data 39
2. Observasi 40
F. Metode Analisis Data 41
G. Keabsahan Data Penelitian 42
1. Kredibilitas 42
2. Dependabilitas 44
3. Konfirmabilitas 45
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN SERTA
PEMBAHASAN 46
A. Pelaksanaan Penelitian 46
B. Identitas Subjek Penelitian 48
C. Latar Belakang Subjek Penelitian 49
D. Hasil Penelitian 50
1. Wawancara 50
2. Observasi 50
E. Tabel Dinamika Psikologis 52
F. Analisis Data Hasil Penelitian 56
1. Gambaran Umum Remaja Vegetarian 56
2. Kondisi Fisik Dan Psikologis 59
3. Hubungan Dengan Lingkungan Sekitar 63
4. Konsep Diri 65
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN 74
A. Kesimpulan 74
B. Saran-saran 75
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel Dinamika Psikologis 53
Tabel 2 Tabel Gambaran Umum 56
Tabel 3 Tabel Kondisi Fisik 59
Tabel 4 Tabel Kondisi Psikologis 60
Tabel 5 Tabel Hubungan Dengan Lingkungan Sekitar 63
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja adalah suatu masa yang selalu menarik untuk dibicarakan,
hal tersebut dikarenakan posisinya yang tidak jelas dalam satu masa
perkembangan kehidupannya. Disatu sisi remaja sudah tidak mau lagi
diperlakukan sebagai anak-anak yang harus selalu diarahkan dan
dibimbing, disisi yang lainnya dia belum bisa diperlakukan sebagai orang
dewasa. Karena posisinya yang kurang begitu jelas tersebut maka
seringkali banyak remaja yang mengalami kesulitan ataupun mengalami
konflik-konflik tertentu dalam menghadapi masa perkembangan tersebut.
Remaja lebih merasa tertarik kepada agama dan keyakinan spiritual
dari pada anak-anak karena pemikiran abstrak mereka yang semakin
meningkat dan pencarian identitas yang mereka lakukan membawa mereka
pada masalah-masalah agama dan spiritual (Spilka dalam Santrock, 1996).
Disisi lain agama dan keyakinan spiritual pada remaja menjadi bagian yang
cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa
agama bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini.
Remaja sendiri butuh adanya suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka
mencari jalannya sendiri, juga dibutuhkan untuk menuju kematangan
Di indonesia, keberadaan agama menjadi salah satu faktor penting
dalam mengendalikan tingkah laku remaja. Hal ini disebabkan karena
agama memang mewarnai kehidupan masyarakat setiap hari. Tidak saja
dalam peringatan hari-hari besar agama atau upacara-upacara pada
peristiwa-peristiwa khusus tetapi juga dalam tingkah laku biasa sehari-hari
(Sarwono, 2006). Salah satu lembaga keagamaan tersebut adalah lembaga
keagamaan umat Buddha.
Lembaga keagamaan umat Buddha di Indonesia yakni WALUBI
(Perwalian Umat Buddha Indonesia) yang terdiri dari berbagai aliran/sekte
yaitu Majelis Mahayana Buddhis Indonesia (MAHABUDHI), Majelis Ijmat
Buddha Mahayana Indonesia (MAJUBUMI), Majelis Agama Buddha
Tantrayana Kasogatan Indonesia (KASOGATAN), Majelis Agama
Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia (MADHA TANTRI), Majelis
Umat Buddha Theravada Indonesia (MATHBTHI), Majelis Pandita Buddha
Maitreya Indonesia (MAPANBUMI), Majelis Rohaniwan Tridharma
seluruh Indonesia (MARTRISIA), Majelis Agama Buddha Tantrayana
Indonesia (THARPALING), Persaudaraan Vihara Buddha Mahayana
Indonesia (PERVIBUMI), Lembaga keagamaan Buddha Indonesia (LKBI)
dan Budhis Vihara maitreya.
Secara historis Budhisme Maitreya adalah bagian dari Buddhissme
Mahayana sebab Buddhisme Maitreya memiliki kaitan yang erat dengan
Buddhisme Mahayana yang amat popular. Dalam perkembangan hingga
kebentuknya yang sekarang Buddhisme Maitreya memiliki doktrin dan garis
kepatriatan yang langsung dan kontinue dari Buddhisme Dhyana/Zen (Hu
She, 1992:8).
Ajaran Buddhisme Mahayana, untuk mencapai KeBuddha-an
haruslah melalui semangat Bodhisatva yaitu perjuangan pengorbanan demi
kebahagiaan dan keselamatan semua makhluk didunia. Penekanan pada
ajaran kasih sayang, dan cinta yang memandang semua makhluk adalah
bagian dari dirinya yang memiliki watak Buddhata yang sama. Pandangan
Mahayana bahwa semua makhluk memiliki watak Buddhata dan dapat
mencapai Ke-Buddha-an seperti Sang Buddha (Chau Ming, 1994:46).
Buddhisme Dhayana/ Zen yang merupakan bagian dari Buddhiisme
Mahayana juga meyakini inti ajaran Buddhis atau spirit of Buddhis terletak
pada spiritual atau kesadaran watak Buddhata yang hidup dan eksis dalam
raga setiap makhluk. Sang Buddha pada saat momen pencerahan-Nya
bersabda: “Sungguh menakjubkan ternyata semua makhluk hingga seekor
ulat sekalipun memiliki raga Vairobuddha” . Oleh karena itu, setiap
makhluk hidup mempunyai hak atas dunia (Chau Ming, 1994:46).
Berdasarkan falsafah Buddhisme Maitreya ini, umat Buddhis Vihara
Maitreya menjalankan pola perilaku vegetarian, yaitu pola perilaku yang
tidak mengkonsumsi daging, ikan, unggas maupun segala produk daging.
semua produk yang bersifat nabati. Pola perilaku vegetarian ini, dijalankan
dalam rangka memberikan keseimbangan kehidupan untuk mencapai tujuan
hakiki kehidupan manusia.
Pola perilaku vegetarian dalam perspektif keagamaan, dilakukan
untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam, karena Tuhan
telah menciptakan alam berserta isinya yang sangat seimbang, mempunyai
ekologi yang begitu sempurna sehingga manusia wajib memelihara, serta
melestarikan alam beserta isinya dan juga untuk membangkitkan rasa kasih,
sayang, dan cinta kepada semua manusia dan mahkluk hidup sehingga
memulai untuk vegetarian (Rozin, 1996).
Umat Buddhis Vihara Maitreya yang berpola perilaku vegetarian,
selain dari golongan dewasa, juga terdapat golongan remaja.
Remaja memiliki pemikiran tentang siapakah diri mereka dan apa
yang membuat mereka berbeda dengan yang lain. Mereka memegang erat
identitas dirinya dan berpikir bahwa identitas ini bisa menjadi lebih stabil.
Banyak perubahan yang dialami remaja baik itu perubahan biologis maupun
psikologis, mereka tidak hanya mengalami perubahan dalam dirinya akan
tetapi juga perubahan sikap yang ditujukan oleh orang tua, pendidik,
pengasuh, dan teman sebaya. Mereka sangat berperan membantu remaja
dalam menemukan identitas dirinya. Gambaran dan penilaian seseorang
tentang dirinya disebut sebagai konsep diri. Konsep diri merupakan
motif sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi (Hurlock, 1990; 58). Pada
masa remaja, pembentukan konsep diri dianggap sangat penting, karena
konsep diri akan mempengaruhi sukses atau gagalnya seseorang dalam
mengatasi persoalan dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan dalam
tahap selanjutnya (Erickson, dalam Partosuwido 1979). Remaja mempunyai
tugas utama mencari dan menegaskan eksistensi dan jati dirinya,
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, mencari arah dan tujuan,
serta menjalin hubungan dengan orang yang dianggap penting (Purwadi,
2004). Konsep diri sebagai produk sosial tumbuh dan berkembang melalui
interaksi sosial dalam lingkup pergaulan individu.
Bagi remaja lingkungan sosial bisa memberikan gambaran ideal bagi
dirinya dan pada kenyataannya mereka dituntut untuk bisa memenuhi
gambaran tersebut (Hurlock 1990 : 234) gambaran ideal ini bisa berupa
nilai, sikap, norma, serta aturan yang berlaku dalam masyarakat. Remaja
mulai bisa belajar mengenal, melihat, dan mengetahui apa yang harus ia
lakukan untuk bisa memenuhi harapan-harapan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial remaja dan remaja saling mendukung. Lingkungan sosial
memberikan gambaran dan masukan tentang apa dan bagaimana individu
menurut penilaian mereka, dan ini penting sekali bagi perkembangan konsep
diri remaja.
Konsep diri merupakan evaluasi tehadap domain yang spesifik dari
hidupnya, antara lain akademik, penampilan fisik dan lain sebagainya.
Konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai dirinya (Calhoun
&Acocella, 1993). Konsep diri menjadi faktor penting dalam diri remaja
karena konsep diri mencakup bagaimana individu dapat menerima dan
menghargai diri sendiri berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan yang
terdapat dalam dirinya, dimana konsep diri ini bersifat dinamis dan selalu
mengalami perubahan. Konsep diri ini terbentuk melalui proses belajar
sejak masa pertumbuhan manusia dari kecil hingga dewasa. Proses
pembentukan diri ini dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti pola asuh,
lingkungan, pengalaman, kritik internal (Rini, 2002).
Dinamika remaja yang melakukan pola kehidupan vegetarian tersebut
sedikit banyak memberikan kontribusi atau pengaruh pada pembentukan
konsep diri mereka. Remaja vegetarian mengalami perubahan yang
menyeluruh terhadap pola kehidupan mereka sehari-hari. Remaja vegetarian
memiliki pengalaman dan lingkungan yang memberikan berbagai perubahan
atau dinamika kehidupan. Sesuai dengan apa yang peneliti perhatikan
remaja vegetarian memiliki perbedaan dalam berperilaku sehari-hari dengan
remaja pada umumnya, hal ini berkaitan dengan aturan-aturan yang harus
mereka jalani sebagai umat Buddha yang menjalani vegetarian.
Dari sinilah muncul ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian
Apakah pola hidup vegetarian mempengaruhi gambaran konsep diri
remaja tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang
dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran konsep diri
pada remaja vegetarian ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri dan mencoba mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada remaja
vegetarian.
D. Manfaat Penelitian
Jika tercapainya tujuan penelitian tersebut diatas, maka hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Bagi Penulis
Kegiatan peneitian ini merupakan kesempatan berharga untuk
menerapkan teori yang diperoleh selama kuliah di fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan manfaaat bagi
remaja khususnya yang berhubungan dengan konsep diri.
c. Bagi Pihak lain
Pembaca maupun peminat dibidang psikologi perkembangan,
hasil. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi
BAB II
DASAR TEORI
A. KONSEP DIRI
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah seluruh pandangan seseorang tentang dirinya.
Pandangan itu berasal dari bagaimana seseorang melihat dirinya, bagaimana
pemikiran dan pendapat tentang dirinya, bagaimana sikapnya terhadap
dirinya (Noesjirwan, 1979). Brooks (dalam Rakhmat, 2000) mendefinisikan
konsep diri sebagai pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi
tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial, dan fisik, dan bukan hanya
gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian seseorang tentang dirinya sendiri.
Pengertian konsep diri menurut Hurlock (1990) adalah gambaran
yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Konsep diri merupakan
gabungan keyakinan yang dimiliki orang langsung dari mereka sendiri yang
mencakup karakteristik fisik, psikologis, emosional, aspirasi, dan prestasi.
Konsep diri menurut Fitts (dalam Tarakanita, 2002) adalah sesuatu
konstruk sentral untuk mengenal dan mengerti manusia dan sifatnya
fenomenologis yang berarti terdapat prinsip dasar bahwa manusia bereaksi
terhadap dunia fenomenal seseorang. Aspek yang paling penting yaitu dirinya
Konsep diri ini mengandung unsur penilaian dan mempengaruhi perilaku
seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Pengertian menurut Santrock (1996), konsep diri merupakan evaluasi
terhadap domain yang spesifik dari diri. Konsep diri berbeda dengan rasa
percaya diri.
Berdasarkan uraian diatas, maka disimpulkan bahwa konsep diri
adalah gambaran seseorang tentang dirinya sendiri, sebagaimana diri diamati,
dipersepsi, dan dialami oleh orang tersebut.
2. Dimensi-Dimensi Konsep Diri
Menurut Acocella J.R & Calhoun F. J (1993), konsep diri memiliki
beberapa aspek, yaitu
a. Aspek Pengetahuan ( Knowledge), adalah dimensi pertama dalam
konsep diri yang merupakan dimensi yang diketahui oleh
seseorang tentang dirinya sendiri. Aspek ini memberikan
gambaran tentang keadaan diri sendiri (self picture). Gambaran
mengenai diri sendiri akan membentuk citra diri (self image).
Aspek ini merupakan data yang bersifat objektif. Misalnya jenis
kelamin, pekerjaan, suku, kebangsaan.
b. Aspek Harapan ( Expectations), pada saat seseorang mempunyai
satu set pandangan tentang siapa dirinya, maka orang tersebut
juga mempunyai pandangan lain tentang kemungkinan orang
Calhoun&Acocella, 1990). Pandangan ini akan mengakibatkan
orang tersebut memiliki pengharapan bagi dirinya sendiri.
c. Aspek Evaluasi (Evaluation), adalah dimensi ketiga dari konsep
diri. Setiap hari individu selalu memberikan penilaian terhadap
dirinya sendiri, apakah saya dapat melakukan seperti yang saya
harapkan, dan apakah saya dapat memenuhi apa yang menjadi
standar saya.
Berzonnsky (1981) menyatakan bahwa untuk mengerti konsep diri
seseorang dapat dilihat melalui penilaian terhadap diri-dirinya, penilaian
tersebut terdapat dalam beberapa aspek berikut, yaitu:
a. Aspek fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu
yang dimilikinya seperti tubuh, pakaian, dan benda miliknya.
b. Aspek psikis, di dalamnya terdapat pikiran, perasaan, dan sikap
yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri.
c. Aspek sosial, meliputi bagaimana peran sosial yang diperankan
individu dan penilaian individu terhadap peranan tersebut.
d. Aspek moral, meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti serta
arah bagi kehidupan seseorang.
Hurlock (1990) menyatakan bahwa konsep diri seseorang terdiri dari
beberapa komponen, antara lain sebagai berikut :
Konsep diri dasar sama dengan konsep diri real, menurut
pandangan seseorang tentang suatu atau hal-hal yang benar-benar
ada dalam dirinya, mencakup penilaian dirinya, kemampuan dan
ketidakmampuan, status, peranan, keyakinan, aspirasi, dan
nilai-nilai. Individu memandang dirinya sebagaimana adanya, bukan
diri yang diinginkannya.
b. Konsep diri sementara (the trainsitority self concept)
Pandangan seseorang tentang diri yang diharapkan dan diri yang
sebenarnya, jadi individu mempunyai gambaran diri yang dia
yakini saat ini sifatnya sementara dan akan segera dilepas.
c. Konsep diri sosial ( the social self concept)
Didasarkan pada keyakinan tentang penerimaan orang-orang lain
terhadapnya melalui perkataan dan perbuatan biasa disebut
“gambaran cermin” (mirror image).
d. Konsep diri ideal (the ideal self concept)
Konsep tentang diri sendiri yang diharapkfan dan diyakini
seharusnya terjadi. Konsep diri ideal dapat bersiat realistis dalam
arti dapat dicapai secara nyata, namun dapat juga tidak realistis
karena apa yang diinginkan tidak akan pernah terjadi dalam
kenyataan hidup.
Menurut Fitts (dalam Tarakanita, 2002) konsep diri dapat dipahami
a. Dimensi internal, terdiri dari
• Diri identitas, merupakan kumpulan label dan simbol yang
digunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya,. Diri
identitas ini dapat dipengaruhi oleh cara seseorang berinteraksi
dengan lingkungan dan dengan diri sendiri.
• Diri penilaian, yang mempunyai fungsi mengamati dan menilai,
memberikan standar dan memberikan perbandingan terhadap
dirinya.
• Diri pelaku, ,merupakan persepsi seseorang terhadap tingkah
lakunya atau caranya bertindak.
b. Dimensi eksternal, terdiri dari
• Diri fisik, merupakan persepsi seseorang terhadap keadaan fisik,
kesehatan, penampilan dan gerakan motoriknya.
• Diri etik-moral, merupakan persepsi individu tentang dirinya
ditinjau dari standar pertimbangan nilai – nilai moral dan etika.
• Diri personal, merupakan perasaan individu terhadap nilai-nilai
pribadi, terlepas dari keadaan fisik dan hubungannya dengan
orang lain dan sejauh mana individu merasa adekuat sebagai
pribadi
• Diri keluarga, merupakan perasaan dan harga diri individu sebagai
• Diri sosial, merupakan penilaian individu terhadap dirinya dalam
interaksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas.
• Diri akademi/ kerja, merupakan penilaian yang berkaitan dengan
penilaian ketrampilan dan prestasi akademik.
Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti cenderung menggunakan
teori tentang dimensi-dimensi konsep diri menurut Acocella J.R & Calhoun
F. J, dengan pertimbangan dimensi-dimensi tersebut dianggap cukup
mewakili beberapa pendapat dari beberapa ahli.
3. Proses Terbentuknya Konsep Diri & Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Terbentuknya Konsep Diri
Menurut Symonds (dalam Partosuwido, 1979), konsep diri bukanlah
terjadi dengan sendirinya, tetapi terbentuk sejak kemampuan perspektif anak
mulai berfungsi. Melalui proses pengalaman belajar terus menerus terhadap
diri sendiri, kemudian berkembang pula atas dasar nilai-nilai yang dipelajari
dari interaksi sosial dengan orang lain.
Konsep diri bukanlah bawaan sejak lahir, melainkan dalam
perkembangannya konsep diri merupakan hasil dari proses belajar dan
berinteraksi. Gunarsa dan Gunarsa (1986) mengatakan bahwa pada dasarnya
konsep diri itu tersusun atas tahapan-tahapan yaitu :
a. Konsep diri primer
Konsep diri primer terbentuk atas dasar pengalaman seseorang
Pengalaman-pengalaman yang berbeda yang ia terima melalui anggota
rumah dari orang tua, paman, nenek atau anggota rumah yang lain.
Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan
antara dirinya dengan saudara yang lain, sedangkan konsep terntang
bagaimana aspirasi ataupun tanggung jawabnya dalam kehidupan ini
banyak ditentukan atas dasar pendidikan ataupun tekanan-tekanan yang
datang dari orangtuanya.
b. Konsep diri sekunder
Setelah bertambah besar, ia akan mempunyai hubungan yang
lebih luas dari pada sekedar hubungan dalam lingkungan keluarganya, ia
mempunyai banyak teman, lebih banyak kenalan sehingga ia lebih
banyak pengalaman. Akhirnya anak akan mempunyai sikap diri yang
baru yang berbeda dengan apa yang sudah terbentuk dari rumah.
Terbentuknya konsep diri sekunder ini banyak ditentukan oleh konsep
diri primer yang sudah terbentuk, dan orang akan cenderung memilih
teman yang sesuai dengan konsep diri sebelumnya yang sudah terbentuk.
Dengan demikian konsep diri bukanlah faktor keturunan atau sifat
bawaan sejak lahir, namun merupakan faktor-faktor yang dipelajari dan
terbentuk dari interaksi individu dengan individu lainnya. Pertama dengan
lingkungan keluarganya lalu melalui hubungan individu dengan lingkungan
yang lebih luas. Menurut Argyyle (dalam Soenarji, 1988) terdapat empat
• Reaksi orang lain
Reaksi yang tidak biasa dari seseorang akan
mempengaruhi dan dapat mengubah konsep diri, apabila
reaksi ini muncul dari orang lain yang memiliki arti bagi
individu maka reaksi ini dapat mempengaruhi
perkembangannya.
• Pembandingan dengan orang lain
Konsep diri sangat tergantung kepada bagaimana cara
orang tersebut membandingkan dirinya dengan orang lain.
• Peranan seseorang
Setiap orang memainkan peran yang berbeda-beda,
didalam setiap peran tersebut individu diharapkan akan
melakukan perbuatan dengan cara-cara tertentu.
• Identifikasi terhadap orang lain
Anak-anak khususnya mengagumi orang dewasa, mereka
seringkali mencoba menjadi pengikut orang dewasa antara
lain dengan meniru keyakinan, nilai, dan perbuatan
mereka. Proses ini menyebabkan anak merasa mereka
memiliki beberapa sifat dari orang yang dikaguminya.
Model tersebut biasanya mereka ambil dari keluarga
(orang tua, saudara, kerabat), lingkungan (guru, pemuka
4. Penggolongan konsep Diri & Ciri-Cirinya
a. Konsep diri positif
Konsep diri positif diartikan sebagai evaluasi diri positif,
penghargaan diri yang positif. Pengetahuan yang luas dan
beragam tentang diri sendiri, harapan yang masuk akal serta harga
diri yang tinggi. (Burns, dalam Limbong, 2002).
Konsep diri positif menurut William (dalam Rakhmat,
2000) adalah orang yang yakin akan kemampuannya dalam
mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima
pujian tanpa rasa malu, mampu memperbaiki dirinya karena ia
sanggup mengemukakan aspek-aspek kepribadian yang tidak
disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Konsep diri positif menurut Hamachek (dalam Rakhmat,
2000) adalah orang yang betul-betul meyakini nilai-nilai dan
prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya
walaupun menghadapai tantangan, berani mengubah prinsip bila
ternyata pengalaman dan bukti-buktinya ternyata salah, mampu
bertindak berdasarkan penilaian yang baik, tidak terlalu cemas
akan apa yang akan terjadi hari esok, masa lalu, dan sekarang.
Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi
hidup secara utuh dalam berbagai kegiatan seperti, pekerjaan,
permainan, maupun persahabatan.
Berdasarkan paparan diatas maka peneliti menarik
kesimpulan bahwa orang yang memiliki konsep diri positif adalah
orang yang meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta
bersedia mempertahankannya serta mampu mengatasi tantangan
dan persoalan yang dihadapinya.
b. Konsep diri negatif
Konsep diri yang negatif sama dengan evaluasi diri yang
negatif , rasa tidak suka terhadap diri, kurang menghargai dirinya,
pengetahuan yang tidak tepat, harapan yang salah dan harga diri
yang rendah (Burns, dalam Limbong, 2002). Orang yang memiliki
konsep diri negatif peka terhadap kritik dan responsif terhadap
pujuan, penghargaan terhadap dirinya, merasa tidak diperhatikan,
tidak disenangi dan pesimis terhadap kompetisi.
Orang yang memiliki konsep diri negatif mempunyai
pengetahuan yang tidak tepat tentang dirinya sendiri, pengharapan
yang tidak realistis dan harga diri yang rendah. Biasanya hal ini
menghambat lancarnya hubungan sosialyang dilakukan dengan
orang lain. Anggapan bahwa orang lain tidak suka akan dirinya ,
menyebabkan ia enggan menjalin hubungan dengan orang lain
(Calhoun & Acocella, 1990).
Menurut Fitts (dalam Partosuwido, 1979) ciri-ciri individu
yang memiliki konsep diri rendah adalah tidak menyukai dan
menghormati diri sendiri, memiliki gambaran yang tidak pasti
terhadap dirinya, sulit mendefinisikan diri sendiri dan mudah
terpengaruh dari luar, tidak mempumyai pertahanan psikologis
yang membantu menjaga tingkat harga dirinya. Merasa asing dan
aneh terhadap diri sehingga sulit bergaul, mengalami kecemasan
negatif dan tidak mampu mengambil manfaat dari pengalaman
tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa orang yang memiliki konsep diri negatif adalah orang yang
mempunyai gambaran dan pengetahuan yang tidak tepat
mengenai dirinya sehingga ia menjadi tidak suka dan tidak
menghormati dirinya.
B. REMAJA
1. Pengertian Remaja
Remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa
anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial.
fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai dengan kemandirian (Santrock,
1996).
Berdasarkan teori Erikson remaja berada pada tahap perkembangan
ke lima yaitu identitas VS kekacauan identitas,pada tahap ini individu
dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan
kemana sebenarnya mereka akan menuju dalam hidupnya. Remaja
dihadapkan akan banyak peran baru dalam hidupnya (Santrock,1996).
Menurut Rifai (1984), masa remaja merupakan taraf perkembangan
dalam kehidupan manusia, dimana mereka sudah tidak dapat lagi disebut
anak kecil namun belum dapat disebut orang dewasa, disebut juga masa
psysiological learning dan social learning , hal ini berarti bahwa pada masa
ini individu sedang mengalami suatu pematangan fisik dan pematangan
sosial. Kedua hal ini serempak terjadi pada waktu bersamaan.
2. Usia Masa Remaja
Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian yaitu awal
masa dan akhir masa remaja. Masa remaja awal (early adolescence) kira-kira
sama dengan masa sekolah menengah pertama, dan mencakup kebanyakan
perubahan pubertas. Masa remaja akhir (late adolescence) menunjuk
kira-kira setelah usia 15 tahun, minat pada karir, pacaran dan eksplorasi diri
menjadi lebih nyata pada masa ini.
Subjek penelitian adalah remaja berusia 15 tahun, jadi termasuk
3. Tugas Perkembangan Masa Remaja
Tugas – tugas perkembangan remaja menurut Havighurst ( Hurlock, 1980)
• Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman
sebaya
• baik pria maupun wanita
• Mencapai peran sosial
• Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya
secara efektif
• Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang
bertanggung jawab
• Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang
dewasa lainnya
• Mempersiapkan karir ekonomi
• Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
• Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai
pegangan untuk berperilaku ideologi.
4. Konsep Diri Remaja
Perkembangan masa remaja sangat dipengaruhi oleh konteks dimana
mereka berada. Latar belakang lingkungan, sosio kultural masyarakat sekitar
maupun latar belakang keluraga akan ikun memberikan corak dan arah proses
perkembangan maupun proses pembentukan identitas remaja yang
Menurut Hurlock(1980) konsep diri remaja dipengaruhi oleh
beberapa kondisi, yaitu:
• Usia kematangan, remaja yang matang lebih awal akan diperlakukan
hampir seperti orang dewasa, sehingga mengembangkan konsep diri yang
menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik.
• Penampilan diri, perbedaan fisisk mengakibatkan remaja memiliki
perbedaan dalam konsep diri.
• Kepatutan seks, dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu
remaja dalam mencapai konsep diri yang baik,
• Nama dan julukan, remaja peka dan merasa malu bila teman sekelompok
memberikan nama dan julukan yang bernada cemooh.
• Hubungan keluarga, remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan
seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan dirinya dengan orang
tersebut.
• Teman-teman sebaya, keberadaan teman-teman sebaya mempengaruh
kepribadian remaja dalam dua cara yaitu,
• Konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep
teman-teman tentang dirinya
• Ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian
yang diakui oleh kelompoknya
• Kreatifitas, remaja yang masa kanak-kanak didorong agar lebih kreatif
persaan individualitas dan identitas yang berpengaruh baik dalam
pembentukan konsep dirinya.
• Cita-cita, bila remaja punya cita-cita yang tidak realistik, ia akan
mengalami kegagalan, hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu
dan reaksi-reaksi bertahan dimana ia akan menyalahkan orang lain atas
kegagalannya.
Selain kondisi-kondisi diatas, stereotipe yang populer juga
mempengaruhi. Sangat mudah menempelkan stereotipe tertentu pada
seseorang, termasuk golongan tertentu, stereotipe adalah suatu kategori
umum yang merefleksikan kesan dan keyakinan kita tentang manusia, semua
stereotipe merujuk pada citra tentang seperti apa anggota dari kelompok
tertentu( Santrock, 1996). Banyak stereotipe tentang remaja, menurut Daniel
Offer (Santrock, 1996) remaja digambarkan sebagai orang yang mudah
tertekan dan terganggu, mereka memasuki masa dewasa dengan integrasi dari
pengalaman sebelumnya.
C. VEGETARIAN
1. Pengertian Vegetarian
Geoffrey L. Rudd, mantan sekretaris the British Vegetarian Society
pada tahun 1842 menyatakan bahwa vegetarian bukanlah berasal dari kata
vegetables (sayuran), melainkan berasal dari bahasa latin yakni vegetus yang
veget dipakai di Inggris untuk mengatakan seseorang yang kuat dan sehat.
Menu makanan yang veget adalah makanan yang berguna bagi kesehatan dan
stamina tubuh (Wang Che Kuang, 2001:3).
Vegetarian dapat diartikan sebagai seseorang yang sama sekali tidak
memakan makhluk berjiwa. Baik makhluk berjiwa yang hidup di darat
seperti: ayam, bebek, babi, sapi, kambing ataupun makhluk yang hidup di
udara seperti: semua jenis burung atau unggas amapun juga dilaut seperti:
ikan, udang, kepiting, kerang, tripang, lobster (Sumantri, 2005:1).
Hidup vegetarian merupakan hidup yang tidak mengakibatkan
kematian bagi makhluk lain. Seorang yang telah lama bervegetarian akan
merasakan sekali pancaran kedamaian dari jiwanya dengan kandungan
nilai-nilai spiritual yang kental. Sang Buddha bersabda “Ada persamaan antara
manusia dengan hewan”. Artinya manusia ada kewajiban memelihara hewan,
namun tidak berhak untuk membunuhnya, untuk itulah vegetarian menjadi
penting dalam kehidupan seseorang (Bodhi, 2002:53).
2 . Aspek-aspek Vegetarian
a. Aspek tidak membuat penderitaan bagi makhluk lain
Setiap manusia tidak ingin dilukai, disakiti, bahkan tidak segan
menangis untuk memohon kepada orang lain agar tidak disakiti, demikian
juga sama halnya dengan makhluk-makhluk lain seperti hewan. Mereka pada
dasarnya memiliki perasaan yang begitu halus terhadap lingkungannya.
Mereka akan menjaga lingkungannya selayak mereka menjaga dirinya
terkadang terlihat sapi tersebut meneteskan air mata, sapi tersebut hanya
pasrah menghadapi nasibnya. Tidak jauh berbeda dengan seorang penjahat
saat divonis, ia akan menangis serta memohon ampunan. Dalam keadaan
seperti itu tidak ada kebahagiaan dan tawa ria.
Dalam sebuah cerita ketika Sang Buddha menerima semangkok susu
sapi, Sang Buddha merasakan getaran kesedihan, kedukaan, dan kepiluan
sehingga bertanya kepada muridnya, “darimana susu ini diperoleh?” dari
induk sapi yang baru tujuh hari melahirkan anaknya”, jawab sang murid.
“kembalikan kepada induk sapi, berikanlah pada anaknya yang
membutuhkan”. Inilah cinta kasih Sang Buddha yang tidak ingin
mendatangkan penderitaan bagi makhluk lain. Bagaimanapun hewan
mempunyai perasaan yang sama dengan manusia (Bodhi, 2002:54).
Praktek vegetarian ini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan
Buddhisme Maitreya yang dianggap ganjil di mata pemeluk agama lainnya.
Buddhisme Maitreya pada umumnya percaya bahwa praktek makan daging
adalah sama dengan membunuh, dan praktek itu mengakibatkan penderitaan
yang tiada henti karena akan selalu ada balas membalas antara yang
memakan daging dan yang dimakan dagingnya.
Perang atau pembunuhan manusia atas manusia lainnya berawal dari
meja makan. Jeritan kesakitan dan tangisan pilu hewan yang dibunuh untuk
dimakan dagingnya adalah salah satu suara penderitaan yang didengar oleh
kandungan, demi tidak mendatangkan penderitaan bagi makhluk yang
bernyawa (http://www.ivs-online.com).
Umat manusia mempunyai tingkat pendidikan berbeda, pemahaman
berbeda, penafsiran berbeda, kesadaran dan pengendalian diri yang berbeda
pula. Kadang kala walaupun tahu, tetapi tidak dilaksanakan dalam artian
semakin tinggi tingkat pengetahuan manusia harus diimbangi dengan
pengendalian diri. Oleh karena kekacauan di dunia ini lebih banyak
diperparah oleh yang memiliki pengetahuan tinggi tetapi tidak diimbangi
dengan pengendalian diri yang berasal dari hati nurani.
Semakin meningkatnya kesadaran umat beragama dan semakin
banyak peminat kehidupan spiritual yang lebih menekankan pada pencarian
ketenangan batin dan kebahagiaan, dimana kearifan pada masa lampau yang
pernah dipraktekkan oleh leluhur manusia kembali dibangkitkan oleh
kelompok Vegetarian meskipun di kalangan umat Buddha dan pelaku
vegetarian sendiri dewasa ini masih kurang informasi dan pemahaman
tentang vegetarian tersebut. Informasi tentang kelompok vegetarian
khususnya pemahaman mereka terhadap konsep vegetarian, sejarah
vegetarian, motivasi dan manfaatnya (http://www.vegetariantimes.com).
b. Aspek cinta kasih terhadap semua makhluk
Manusia menjadi kejam dan membunuh sesamanya karena tidak
adanya rasa cinta kasih di dalam dirinya yang mengakibatkan antar manusia
dilakukan terhadap hewan. Jika manusia telah meyakini akan makna cinta
kasih sesama makhluk maka tidak akan terjadi pembunuhan dengan alasan
untuk mencukupi kebutuhan vitamin di dalam tubuh manusia. Dengan
bervegetarian maka sesungguhnya manusia telah mengurangi karma buruk,
segala kenikmatan dan cita mulut dapat dikorbankan.
“Manusia dengan segala kelengkapan fasilitas, ternyata tidak
merasakan adanya berkah di dalam hidupnya, ini merupakan sifat dasar
manusia yang tidak pernah merasa cukup terhadap sesuatu yang telah
diperolehnya. Padahal dengan bervegetarian cenderung lebih menguasai
emosi, lebih patuh karena tidak lagi menuruti hawa nafsu. Dengan
bervegetarian akan membuat jiwa ataupun rohani lebih kuat” (Bodhi,
2002:54-55).
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa makan makanan dengan wajar
akan mendatangkan kedamaian bagi jiwa manusia. Makan bukanlah sekedar
meletakkan makanan diatas lidah. Kegiatan makan hanya bermanfaat bila
makanan itu dikunyah, ditelan, dicernakan, diserap kedalam darah, kemudian
diubah menjadi otot dan tulang, tenaga serta kekuatan, agar mesin badan ini
dapat bekerja, diperlukan bahan bakar yaitu berupa makanan. Makanan itu
sendiri bukanlah pengurbanan, tetapi makanan memungkinkan manusia
melakukan pengurbanan. Karena itu, kegiatan makan tidak boleh dipandang
rendah seolah-olah hanya memenuhi selera rakus. Kegiatan makan
Sarasamuccaya menjelaskan ajaran Ahimsa dengan lengkap dan mendalam
serta terkait dengan belas kasihan kepada setiap makhluk.
Di dalam kitab Surangama Sutra dikatakan:
“Ananda, aku mengijinkan para Bhikshu untuk memakan lima jenis
daging yang murni. Daging ini sebenarnya diwujudkan oleh kekuatan
spiritualKu. Sebenarnya tiada kehidupan di dalamnya. Kalian para Brahmana
hidup ditengah-tengah suatu iklim yang panas dan lembab, dan di tanah yang
berbatu-batu dan berpasir tersebut, sayuran tidak akan tumbuh, karenanya
aku harus menolong kalian dengan kekuatan spiritual dan belas kasihKu.
Oleh karena kebaikan dan belas kasih luar biasa ini, (kuciptakan) daging
yang sesuai dengan selera kalian. Setelah ParnirvanaKu, bagaimana bisa
mereka yang makan daging bisa disebut murid-murid Shakya? Engkau
mengetahui bahwa orang yang makan daging ini dapat memperoleh
kesadaran dan mungkin nampak berada dalam samdhi, namun mereka semua
adalah para raksasa. Ketika buah karma dari mereka matang, mereka akan
tenggelam kelautan pahit kelahiran dan kematian. Mereka bukanlah
murid-murid Buddha. Orang semacam ini membunuh dan saling memakan satu
sama lainnya di dalam lingkaran tanpa akhir.
Pengendalian diri dapat diperoleh atau dilatih dengan tidak makan
daging sebagai alternatif. Oleh karena itu, sebagai manusia yang dikaruniai
akal dan pikiran, harus berpikir bijaksana dalam memilih makanan apa yang
makhluk lain. Konsep ini dikenal dengan konsep Live and let live. Konsep
Vegetarian juga merupakan salah satu bagian dari cinta kasih terhadap semua
makhluk hidup. Untuk menerapkan konsep ini dalam kehidupan, manusia
harus berperan menjaga keseimbangan ekosistem, salah satu caranya adalah
dengan tidak membunuh binatang untuk dimakan atau menjadi vegetarian
(Taniputera, 2003:163).
Manusia berlomba mencari pekerjaan, motif utamanya hanyalah
sekedar untuk bisa makan tetapi setelah mendapatkan rejeki ternyata tidak
tahu cara makan apa yang perlu atau boleh dimakan dan apa yang tidak boleh
dimakan. Makan hendaknya bukan untuk kenikmatan lidah, tetapi mestilah
dengan kesadaran untuk memelihara tubuh agar bisa dipakai untuk
melakukan pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Negara.
Makanan ini harus mengandung unsur-unsur yang diperlukan tubuh.
Unsur-unsur yang diperlukan tubuh adalah protein, karbohidrat,
lemak dan garam. Makanan tidak hanya diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan fisik, akan tetapi juga merupakan sumber nutrisi untuk pikiran.
Oleh karena itu ada istilah yang mengatakan bahwa manusia adalah apa yang
dimakan, dengan kata lain makanan sangat berpengaruh pada perkembangan
pikiran. Kemajuan zaman, pengaruh budaya luar, dan aktifitas manusia yang
semakin padat menjadi alasan semakin diminatinya makanan cepat saji atau
lebih dikenal dengan fast food. Hal tersebutlah yang mendorong
ditawarkan sesuai dengan nilai gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia
(http://www.vegetarian-nutrition.info). Makan bukan hanya agar perut
kenyang akan tetapi jauh lebih penting untuk memenuhi gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh sehingga membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
Dewasa ini tidak banyak yang memperhatikan makanan yang di
konsumsi, terlihat kecendrungan mengutamakan rasa daripada manfaat dalam
memilih makanan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjaga
kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan vegetarian. Sunanda
Ranade, seorang dokter Ayurveda dari India, menyebutkan bahwa walaupun
dalam Ayurveda tidak dilarang makan daging, tetapi jauh lebih baik
mengkonsumsi makanan vegetarian. Pada dasarnya semua manusia adalah
pemakan sayuran dan buah-buahan. Di samping itu makanan vegetarian juga
kaya serat, mudah diperoleh dan murah, serta dapat meningkatkan ketahanan
tubuh (Angel Hicks, 2001:30).
Dikaji dari sudut pandang ilmiah ada beberapa alasan mengapa
makanan vegetarian sangat baik untuk kesehatan, yaitu : makanan vegetarian
mengandung serat alami, makanan sekaligus obat, manusia termasuk
golongan herbivora, menjaga keseimbangan ekologi, kaya protein, vitamin,
dan mineral. Selain itu, makanan vegetarian tergolong makanan Satvika dan
mendukung konsep non-violence, yaitu tidak menyakiti, melukai ataupun
hidup yang lain memiliki hak yang sama untuk hidup di dunia ini (Angel
Hicks, 2001:32-33).
Seseorang melakukan suatu karma dalam kehidupannya maka ia akan
mendapatkan pahalanya, berarti seseorang yang tidak mampu mendapatkan
moksa akan kembali lahir di dunia ini dalam bentuk manusia, binatang,
burung, atau makhluk hidup yang lain. Dengan demikian, binatang atau
burung yang dipelihara untuk dimakan bisa saja mereka adalah nenek
moyang manusia atau sahabat akrab manusia yang kebetulan dilahirkan
kembali menjadi binatang ke dunia ini. Dengan demikian menyadarkan
manusia agar menjauhkan diri dari makan daging yang merupakan himsa.
Makanan yang dimakan yang penuh dengan himsa menyebabkan pikiran
seseorang ditutupi oleh pengaruh-pengaruh himsa sehingga manusia tidak
mendapatkan pikiran yang tenang dan kedamaian dalam diri.
Dalam kepercayaan Buddha dikatakan bahwa pohon atau tumbuhan
juga memiliki jiwa, sehingga mungkin timbul pertanyaan mengapa
memotong tumbuh-tumbuhan tidak tergolong himsa, jawabannya adalah,
karena kalau memetik buah, bunga, ataupun daun dari pohonnya, pohon
tersebut tidak akan mati dan akan kembali menghasilkan buah-buahan
ataupun sayur-sayuran setelah beberapa waktu. Dengan demikian, makanan
yang dihasilkan dari pohon yaitu daun dan buah dibuat untuk manusia atau
membunuh dan binatang tersebut akan mati
(http://www.vegetariantimes.com).
c. Aspek spiritual dan kedamaian jiwa
Pikiran adalah badan halus yang tidak nyata. Penyebab pikiran yang
berfluktuasi tersebut adalah pengaruh lingkungan, karma masa lalu, dan yang
terpenting adalah faktor makanan. Salah satu cara untuk memperoleh pikiran,
perkataan dan perbuatan yang baik, adalah dengan cara mengkonsumsi
makanan yang baik. Begitu juga untuk memperoleh kebahagiaan, makanan
yang baik mutlak diperlukan, serta pergaulan baik didapatkan dengan
makanan baik, sila atau moral yang baik diperlukan makanan baik, untuk
menjadi rohaniawan yang baik diperlukan makanan yang baik. Singkatnya
semua kebajikan diperoleh dengan makanan yang baik, yakni makanan yang
bebas dari unsur pembunuhan.
“Hewan adalah makhluk berintelegensia rendah, dengan
bervegetarian berarti manusia tidak menyerap sifat rendah hewan. Lebih
mengkhawatirkan lagi meskipun daging mengandung banyak protein tetapi
daging juga menjadi pemicu atau penyebab berbagai penyakit seperti kanker,
stroke dan koroner. Padahal protein tidak harus di dapat melalui daging
tetapi dapat melalui sayur-sayuran seperti padi-padian, buah-buahan, dan
kacang-kacangan” (Bodhi, 2002:55).
Salah satu konsep dan praktek Dharma adalah Panatipata Veramani
pelaksanaan sila ini adalah untuk mengembangkan sikap mulia dan cinta
kasih, yang harus dikembangkan terhadap semua makhluk. Hal ini perlu dan
penting mengingat yang menjadi objek pembunuhan adalah binatang dan
manusia tanpa memandang usia, jenis kelamin, ukuran dan pembuahannya.
Meskipun dalam tingkatan upacara atau seremonial masih dipergunakan
binatang sebagai korban upacara atau untuk dimakan dagingnya (Bodhi,
2002:58).
Keterangan tersebut di atas tidak salah dan juga dibenarkan dalam
hukum agama Buddha sepanjang hal tersebut dapat meningkatkan derajat
kelahiran binatang tersebut pada kelahiran mendatang. kualifikasi kesucian
seorang rohaniwan yang dapat meningkatkan roh binatang tersebut pada
masa mendatang agar menjadi mahkluk yang lebih tinggi derajat
kehidupannya tidak ada pada jaman ini. Jadi upacara yang terpenting yang
dapat menyelamatkan umat manusia adalah jika setiap manusia mau
mengorbankan dirinya dengan sila atau pengendalian diri.
3. Jenis Vegetarian
Dalam perkembangannya, kelompok vegetarian dapat dikategorikan
kedalam beberapa kelompok:
Pure vegetarian (vegan), yaitu kelompok manusia yang tidak makan daging,
susu, telur bahkan tidak lagi makan kulit hewan ataupun kerangka hewan.
a. Lacto vegetarian, yaitu kelompok manusia yang tidak
b. Lacto Ovo Vegetarian, yaitu kelompok manusia yang
tidak makan daging namun mengkonsumsi susu dan
telur sebagai makanan sehari-hari (Susianto, 2002:52).
D. KONSEP DIRI REMAJA VEGETARIAN
Remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa dimana pada masa ini terdapat begitu banyak
perubahan dalam diri remaja. Demikian juga dengan remaja buddhis yang
melaksanakan pola hidup vegetarian, tumbuh dan berkembang sebagaimana
layaknya remaja pada umumnya dan memiliki tugas perkembangan yang
harus dicapai untuk membantu mencapai kematangan pribadi.
Remaja vegetarian melaksanakan pola vegetarian sesuai dengan nilai
dan aturan yang ada dalam agama Buddha Maitreya berdasarkan dimensi
yang terkandung dalam perilaku vegetarian yaitu tidak membuat penderiataan
bagi makhluk lain, mengembangkan cinta kasih terhadap semua makhluk dan
aspek spiritual dan kedamaian jiwa.
Dalam perkembangannya remaja yang berada dalam tahap
perkembangan operasional formal memiliki konsep yang berbeda mengenai
konsep religius dari pada anak-anak yang berada dalam tahap operasional
konkrit. Remaja yang berada dalam tahap operasional formal lebih reflektif
dari pada anak-anak pada operasional konkrit. Mereka tidak lagi melihat
memperhatikan bukti keberadaan keyakinan dan pendirian dalam diri
seseorang.
Selain perubahan yang terjadi sebagai bagian dari perkembangan
mereka dari anak-anak ke remaja, juga terjadi banyak perubahan akibat pola
hidup yang mulai berubah. Perubahan dalam pola hidup yang terjadi pada
remaja vegetarian adalah perubahan yang drastis, meliputi perubahan
pandangan mengenai kehidupan, perubahan pola makan, parubahan pola
makan mengakibatkan tertahannya keinginan-keinginan terhadap makanan
tertentu, dan penyesuaian terhadap kehidupan disekitarnya yang berjalan
seperti biasanya namun di pihak lain ia harus menahan ketetarikannya
terhadap hal-hal yang biasanya boleh ia dapatkan namun menjadi terlarang
karena aturan yang dijalaninya. Dan juga perubahan pandangan orang lain
terhadap diri mereka. Semua hal yang diungkapkan diatas tersebut akan
mempunyai pengaruh besar terhadap terbentuknya konsep diri.
Pilihan kehidupan seperti ini adalah bukan paksaan dari pihak lain
dan juga bukan agama yang diikuti karena seluruh anggota keluarga
menganutnya, namun mereka menjadi pengganut agama Buddha Maitreya
dan menjalani aturan vegetarian karena keinginan sendiri.
Remaja vegetarian memiliki aturan dan lingkungan yang berbeda
dengan remaja pada umumnya sehingga dimungkinkan perkembangan
konsep diri remaja vegetarian memiliki peerbedaan dengan remaja pada
Remaja vegetarian memiliki aturan yang ketat dan kaku terutama dalam hal
makanan dan mereka dituntut untuk hidup hemat dan sejalan dengan ajaraan
Buddha Maitreya.
Perbedaan ini sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap
kehidupan remaja vegetarian dan terbentuknya konsep diri remaja vegetarian.
Konsep diri positif remaja vegetarian dimana didalamnya tercakup tentang
keyakinan akan diri, keyakinan akan nilai-nilai yang dianut, keyakinan akan
kemampuan dalam menghadapi masalah, merasa setara dengan orang lain
sebaliknya remaja vegetarian lebih dikuasai konsep diri negatif maka dapat
dimungkinkan remaja tersebut, harga diri nya rendah, merasa tidak aman,
kurang mampu menerima diri.
Ketika konsep diri itu berkembang dan pada akhirnya remaja
vegetarian memiliki konsep diri positif maka remaja tersebut diasumsikan
mampu untuk menerima segala sesuatu yang berada didalam maupun diluar
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis meggunakan metode penelitian studi kasus. Studi
kasus merupakan penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus dilakukan secara
intensif, mendalam, mendetil, dan komprehensif. Pendekatan ini digunakan untuk
memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna sesuatu/subjek
yang diteliti (Alsa, 2003)
Penelitian studi kasus merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yang
dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang gejala atau keadaan atau perilaku
sekarang (sementara berlangsung). Tujuan utama dari digunakannya metode deskriptif
adalah untuk menggambarkan suatu gejala atau keadaan dan atau perilaku sementara
berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab latar belakang dari
suatu gejala atau keadaan dan atau perilaku tertentu (Travers dalam Sevilla dkk, 1993
: 71).
Penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan konsep diri pada remaja
vegetarian Vihara Boddhicitta Maitreya Yogyakarta sebagai seorang remaja secara
komprehensif dan natural. Disini peneliti tidak mengadakan kontrol atas fenomena
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja dengan kriteria berusia 15-17 tahun
penganut Buddhis aliran Maitreya di Vihara Maitreya Yang berperilaku vegetarian
jenis perilaku pure vegetarian lebih dari satu tahun.
C. Prosedur Pengambilan Sampel
Sample dalam penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk mencocokan
hasil penelitian agar secara statistik dapat digeneralisasikan pada populasi. Sample
dalam penelitian kualitatif bersifat purposif. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk
mendeskripsikan proses yang terjadi dalam fenomena yang sedang diteliti sehingga
menyajikan pemahaman yang penuh dan lengkap, bukan digeneralisasikan (Rice &
Ezzy, 1999).
Penelitian ini menggunakan voluntarily sampling, peneliti meminta kesediaan
individu untuk berpartisipasi dalam penelitian. Dalam analisis kualitatif merupakan
hal yang sulit untuk menentukan jumlah sample secara tepat. Sampel dapat dikatakan
cukup ketika dapat memenuhi analisis yang dibutuhkan dalam penelitian (Rice &
Ezzy, 1999).
Penelitian ini menggunakan 1 remaja buddhis pada Vihara Bodhicitta
kriteria bahwa subjek sudah berperilaku vegetarian jenis lacto ovo lebih dari satu
tahun dan kesediaan subjek untuk ikut terlibat dalam penelitian.
D. Batasan Kajian Penelitian
Untuk mengerti konsep diri seseorang dapat dilihat melaui penilaian
seseorang terhadap diri-dirinya, penilaian ini meliputi tentang fisik, status sosial,
tujuan, dan harapannya (Acocella J.R & Calhoun F. J 1993), Oleh karana itu dalam
penelitian ini variabel-variabel yang akan dikaji mencakup dimensi konsep diri yaitu :
1. Aspek Pengetahuan ( Knowledge), adalah dimensi pertama dalam konsep diri yang merupakan dimensi yang diketahui oleh
seseorang tentang dirinya sendiri. Aspek ini memberikan
gambaran tentang keadaan diri sendiri (self picture). Gambaran
mengenai diri sendiri akan membentuk citra diri (self image).
Aspek ini merupakan data yang bersifat objektif. Misalnya jenis
kelamin, pekerjaan, suku, kebangsaan.
2. Aspek Harapan ( Expectations), pada saat seseorang
mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, maka
orang tersebut juga mempunyai pandangan lain tentang
kemungkinan orang tersebut menjadi apa dimasa yang akan
ini akan mengakibatkan orang tersebut memiliki pengharapan
bagi dirinya sendiri.
3. Aspek Evaluasi (Evaluation), adalah dimensi ketiga dari
konsep diri. Setiap hari individu selalu memberikan penilaian
terhadap dirinya sendiri, apakah saya dapat melakukan seperti
yang saya harapkan, dan apakah saya dapat memenuhi apa yang
menjadi standar saya.
E. Metode Pengambilan Data 1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 1998 : 41). Dalam penelitian ini wawancara
akan dilakukan dengan menggunakan jenis wawancara dengan menggunakan
pedoman standar yang terbuka. Dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara
ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaannya pejabarannya dalam kalimat.
Metode wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur,
yaitu wawancara dengan pedoman umum yang mencantumkan isu-isu yang harus
diungkap tanpa menentukan urutan pertanyaan, namun demikian penambahan
pertanyaan dapat ditambahkan sesuai kondisi, situasi ataupun respon subjek penelitian
yang dirasa relevan sebagai probing atas jawaban subjek penelitian. Untuk
memudahkan proses wawancara, peneliti menggunakan bantuan recorder.
Adapun hal-hal yang ingin digali dalam wawancara tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Aspek Pengetahuan ( Knowledge),
Aspek ini memberikan gambaran tentang keadaan diri sendiri (self
picture). Gambaran mengenai diri sendiri akan membentuk citra diri (self image). Aspek ini merupakan data yang bersifat objektif.
Misalnya jenis kelamin, pekerjaan, suku, kebangsaan
b. Aspek Harapan ( Expectations),
pada saat seseorang mempunyai satu set pandangan tentang siapa
dirinya, maka orang tersebut juga mempunyai pandangan lain
tentang kemungkinan orang tersebut menjadi apa dimasa yang akan
datang (Rogers, dalam Calhoun&Acocella, 1990). Pandangan ini
akan mengakibatkan orang tersebut memiliki pengharapan bagi
dirinya sendiri.
c. Aspek Evaluasi (Evaluation),
Setiap hari individu selalu memberikan penilaian terhadap dirinya
sendiri, apakah saya dapat melakukan seperti yang saya harapkan,
dan apakah saya dapat memenuhi apa yang menjadi standar saya.
Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan
sistematis atas fenomena yang diteliti (kerlinger, 1990). Observasi dalam penelitian ini
berarti pengamatan secara langsung.
Observasi dilakukan dengan mencatat kata-kata kunci. Berkaitan dengan
jangka waktu penelitian maka observasi dalam penelitian ini menggunakan partial participation dimana peneliti mengikuti sebagian saja kegiatan subjek penelitian, selain itu berkaitan juga dengan waktu penelitian, peneliti menggunakan surface participation dimana observasi dilakukan hanya menangkap situasi dan kondisi secara garis besar saja (Hadi, 2004)
F. Metode Analisis Data
Data penelitian kualitatif ini tidak berbentuk angka tetapi lebih banyak berupa
narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto, rekaman
suara) ataupun bentuk non angka lain (Poerwandari, 1998 : 45)
Analisis data yang digunakan adalah analisis induktif. Analisis ini dimulai
dari mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara. Mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan kesatuan hubungannya sehingga dapat ditemukan tema
serta interpretasi data.
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan dalam menganalisis data
1. Membuat salinan kata demi kata diatas kertas dari kaset rekaman wawancara
yang dinamakan transkrip verbatim, Pada transkrip verbatim diberi kolom
kosong disebelah kanan. Gunanya untuk memudahkan peneliti dalam
membubuhkan kode atau catatan tertentu dalam transkrip verbatim.
2. Memberikan nama untuk masing-masing transkrip serta membubuhkan
tanggal, waktu, dan tempat sewaktu pengambilan wawancara disetiap berkas.
3. Membaca transkrip verbatim berulang-ulang. Tujuannya untuk membantu
sebelum melakukan pengkodean dalam memperoleh tema tentang hal-hal yang
berkaitan dengan subjek penelitian.
4. Melakukan pengkodean pada transkrip verbatim. Pengkodean dimaksudkan
untuk mengorganisasi, mengsistematisasi data secara lengkap dan mendetil
sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang tema pada setiap subjek.
Kata-kata kunci yang ditemukan juga dituliskan pada bagian kanan transkrip
verbatim yang telah disediakan.
5. Melakukan kategorisasi.
6. Melakukan interpretasi data dan pembahasan.
G. Keabsahan Data Penelitian 1. kredibilitas
Pada dasarnya kredibilitas tersebut menggantikan konsep validitas
internal dalam penelitian non kualitatif. Menurut Poerwandari (1998)