• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan gerakan orang dan imajinasi yang meninggalkan batas-batas geografis dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dengan gerakan orang dan imajinasi yang meninggalkan batas-batas geografis dan"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diferensiasi sosial masyarakat Indonesia masa kini membuka peluang untuk munculnya berbagai macam pola perilaku yang baru. Selain itu, transportasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya mobilitas yang semakin intensif dengan gerakan orang dan imajinasi yang meninggalkan batas-batas geografis dan kultural (Abdullah, 2010:20).Dimana, mobilitas yang terjadi telah mempengaruhi identitas kelompok melalui penggunaan simbol-simbol. Kecenderungan ini didukung oleh media massa yang tumbuh kemudian menyebabkan kebudayaan bersifat reproduktif, dan kemungkinan hal tersebut akan memunculkan berbagai pola perilaku yang baru. Kemungkinan tersebut berdampak pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk memanifestasikan idealisme mereka ke dalam kelompok sosial, yang dianggap mampu mendukung nilai-nilai idealisme yang mereka anut. Contohnya adalah apa yang disebut dengan homoseksual atau hubungan sesama jenis (Abdullah, 2010:42).

Homoseksual sudah menjadi suatu fenomena yang banyak dibicarakan di dalam masyarakat, baik di berbagai negara maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dengan adat ketimurannya, homoseksual masih menjadi suatu fenomena seksual yang masih terbilang tabu dan dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat, walaupun di negara-negara barat fenomena ini sudah tidak lagi menjadi suatu fenomena yang dianggap tabu lagi. Dan hal ini juga bisa dikatakan sebagai budaya, dimana seseorang bebas dalam memilih pasangan hidupnya.

(2)

commit to user

Homoseksualitas secara umum merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang ditandai dengan adanya ketertarikan secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) terhadap sesama jenis kelamin. Istilah homoseksual lebih lazim digunakan bagi pria yang mempunyai orientasi seksual semacam ini, sedangkan bagi wanita, keadaan yang sama lebih lazim disebut “lesbian”.

Untuk menentukan besarnya angka insidensi dan angka prevalensi penyimpangan perilaku lesbian secara akurat memang sangat sulit. Penelitian yang dilakukan oleh banyak pakar dari banyak negara belum mampu menentukan secara tepat besarnya angka insidensi dan prevalensi lesbian. Secara umum diperkirakan jumlah kaum lesbian dan gay di dalam masyarakat adalah 1persen hingga 10 persen dari jumlah populasi. Alfred Kinsley, seorang ahli seksologi bahkan menyebutkan bahwa setidaknya 2 persen hingga 5persen wanita adalah lesbian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kinsley pada remaja berusia 20 tahun, terdapat 17 persen perempuan mempunyai pengalaman lesbian. Pada penelitian yang dilakukan terhadap remaja berusia 16-19 tahun, terdapat 6 persen wanita lesbian. Ada pula pakar yang melaporkan bahwa 10,7 persen murid SMA berusia 12-18 tahun tidak yakin dengan orientasi seksual mereka, sekitar 5-6 persen dari murid-murid ini dideskripsikan sebagai lesbian (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41083/4/Chapterpersen20I.pdf. Diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 10.46)

Penelitian lain, hasil survei YPKN menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Data yang terekam hingga kurun pertengahan Januari 2013, pertumbuhan kalangan homoseksual di Indonesia mencapai 25persen. Sedangkan GN (GAYa Nusantara) memperkirakan, 260.000 dari enam

(3)

commit to user

juta penduduk Jawa Timur adalah homoseksual. Angka-angka itu belum termasuk kaum homoseksual di kota-kota besar. Dede Oetomo (pendiri Yayasan GAYa Nusantara) memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1 persen dari total penduduk Indonesia (Oetomo, 2001:58)

Dari data yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa eksistensi kaum lesbian di masyarakat Indonesia tidak begitu menonjol dibandingkan dengan kaum homoseksual. Bisa juga dikatakan bahwa kaum lesbian Indonesia lebih tertindas dari pada saudara-saudara mereka yang homoseksual. Kaum homoseksual masih disebut-sebut, walaupun terkadang dengan nada yang sumbang, kaum lesbian lebih jarang disebut-sebut. Hal tersebut bisa saja berkaitan dengan posisi perempuan di masyarakat. Namun dugaan tersebut keliru, rupanya kaum lesbian berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan Indonesia. Awalnya, perempuan lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya. Tetapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau komunitas yang mana dapat diketahui oleh banyak orang. Hal ini didukung oleh fakta bahwa homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai bentuk abnormalitas maupun sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan, yang dapat dilihat dalam buku Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi III yang direvisi (DSM-III-R) maupun edisi IV (DSM-IV) yang telah menghapus kategori homoseksual sebagai bentuk gangguan kejiwaan dan mengkategorikannya dalam gangguan penyesuaian atau gangguan kecemasan (Kusuma, 1997:113)

Fenomena lesbian kini semakin marak di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Dengan didirikannya beberapa LSM dan organisasi yang melindungi

(4)

commit to user

perempuan lesbian seperti Lentera Sahaja di Yogyakarta, lembaga ini yang menampung dan melindungi perempuan lesbian agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya selayaknya seperti perempuan normal lainnya. Hingga saat ini, lembaga ini beranggotakan 604 kaum lesbian yang tercatat dalam sosial media facebook. Semaraknya perempuan lesbian ini ditunjukkan dengan adanya bukti bahwa perempuan lesbian berusaha untuk mengembangkan diri dan mempertahankan hak-hak para lesbian itu sendiri, para lesbian telah membentuk berbagai organisasi nasional, regional dan lokal (http://www.academia.edu/6568952/STUDI_KASUS_PEREMPUAN_LESBIAN _BUTCHY_DI_YOGYAKARTA. Diakses pada tanggal 25 April 2014 pukul 22.00)

Selain LSM juga terdapat sebuah lembaga pusat kajian, penerbitan dan advokasi hak-hak lesbian, biseksual dan transgender (LBT) perempuan di Indonesia. Lembaga ini didirikan pada tanggal 14 November 2005 di Jakarta sebagai bentuk kerja sama dari sejumlah kelompok kepentingan lesbian, biseksual, transgender perempuan dalam Koalisi Perempuan Indonesia. Adalah Ardhanary Institute yang dipimpin oleh RR Agustine. Terhitung pada tanggal 4 Mei 2015, tercatat sebanyak 13389 pengunjung aktivitas dalam website Ardhanary Institute. Lembaga ini juga berusaha memperjuangkan kesamaan hak-hak kaum LBT yang dirasakan tertekan karena budaya patriarki yang kuat di masyarakat Indonesia, yang membuat perempuan seringkali merasa tidak berdaya dalam peranan dan posisinya dalam masyarakat, termasuk pula dalam mengklaim seksualitasnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Ardhanary_Institute. Diakses tanggal 11 Mei 2014 pukul 12.45).

(5)

commit to user

Ada pula majalah online lesbian pertama di Indonesia yakni SepociKopi. SepociKopi didirikan oleh dua perempuan yang peduli dengan gerakan lesbian, Alex dan Lakhsmi pada Januari 2007 berbasis weblog di www.sepocikopi.blogspot.com. Tulisan-tulisan awalnya adalah opini pribadi yang ditulis di waktu luang, namun ternyata berkembang menjadi esai-esai yang menelurkan gagasan kritis dan revolusioner, yang pada kemudian hari menjadi sangat berpengaruh. Tulisan-tulisan tersebut dilanjutkan oleh beberapa penulis lesbian lainnya yang terus menerus menapaktilas pada keluasan topic tak terbatas mulai dari budaya, gaya hidup, sampai humaniora. Pada tanggal 1 April 2009, SepociKopi mengubah statusnya menjadi majalah online lesbian pertama dan satu-satunya di Indonesia yang beralamatkan di www.sepocikopi.com. Dari penelusuran yang dilakukan, terhitung sebanyak 2,498 pengunjung yang meninggalkan pesan dalam buku tamu website tersebut hingga saat ini. (SepociKopi, http://sepocikopi.com/2009/01/01/sejarah-kami/. Diakses tanggal 11 Mei 2014 pukul 13.00)

Banyaknya perempuan lesbi di Indonesia juga dibuktikan dengan adanya website lesbian pertama, yakni www.swarasrikandi.com dibuat khususnya untuk melayani kebutuhan perempuan lesbian Indonesia. Website ini didirikan oleh empat relawan yang merasakan perlunya kebutuhan untuk menyatukan kaum lesbian Indonesia sehingga nantinya para lesbian bisa membentuk suatu komunitas. Website di internet ini merupakan bukti semaraknya lesbian di Indonesia, media internet menunjang kebutuhan dan fasilitas bagi perempuan lesbian untuk berkomunikasi dan berinteraksi karena internet merupakan pilihan yang logis karena teknologi ini memungkinkan para perempuan lesbian bertemu,

(6)

commit to user

berbicara, berkenalan, dan berdiskusi, tanpa harus membuka identitas diri yang sebenarnya, apabila yang bersangkutan tidak bersedia. Terhitung hingga bulan September tahun 2014, telah tercatat sebanyak 260 pengunjung yang saling

bertukar informasi lewat website ini.

(http://www.academia.edu/6568952/STUDI_KASUS_PEREMPUAN_LESBIAN _BUTCHY_DI_YOGYAKARTA Diakses pada tanggal 25 April 2014 pukul 22.00).

Kendati demikian, ternyata fenomena kaum lesbian ini tidak hanya berkembang di kota besar saja, melainkan telah mempengaruhi perkembangan kaum lesbian di Kota Tegal, sebuah kota yang tergolong kota kecil di propinsi Jawa Tengah. Makin terbukanya akses media informasi serta wadah komunitas lesbian yang ada di Kota Tegal juga turut memberi warna keterbukaan lesbian pada khalayak umum. Meski alasan klasik bagi masyarakat umum persoalan lesbian tabu dibicarakan, namun kalangan ini akhirnya lebih banyak menegaskan identitasnya tersendiri dalam beragam akses media dan komunitas.

Tercatat setidaknya ada beberapa komunitas lesbian sebagai ajang pertemuan, pertemanan, hingga perjodohan pada kalangan ini. Salah satu komunitas lesbian di Tegal adalah CTB (Community of Tegal Belok). Belok sendiri adalah istilah umum yang dipakai untuk menyebut lesbian. CTB beranggotakan remaja berusia 15-21 tahun. Komunitas ini berdiri karena keinginan untuk berkumpul dan berbagi untuk para remaja yang baru mencari tahu apa sebenarnya orientasi seksual mereka. Komunitas ini biasanya berkumpul di GOR Wisanggeni dan di Kafe Tagor. Menurut apa yang peneliti dapatkan dari informan, kaum lesbian yang berusia di atas 21 tahun tidak lagi aktif bergabung

(7)

commit to user

dalam komunitas karena kebanyakan dari mereka berpindah ke kota lain untuk melanjutkan studi ataupun bekerja sekaligus mencari kebebasan yang tidak mereka dapatkan di Kota Tegal (hasil wawancara dengan Gie Gabileh (bukan nama sebenarnya pada tanggal 22 April 2014 pukul 13.15).

Sebagian besar komunitas bahkan individu lesbian di Kota Tegal ini sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat luas. Bahkan untuk berinteraksi dengan sesama komunitasnya sendiri mengalami sedikit kesulitan. Banyak di antara kaum lesbian tidak terang-terangan menyatakan diri mereka adalah sebagai lesbian. Dengan alasan jati diri yang terbuka akan merubah pandangan orang dan mempengaruhi posisi serta kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, mereka memiliki masalah dalam pengungkapan diri. Itu sebabnya keberadaan kaum lesbian masih belum tercatat secara resmi di Kota Tegal.

Pengertian dari pengungkapan diri itu sendiri dijelaskan sebagai satu bentuk terpenting dari komunikasi interpersonal dimana kita dapat melibatkan pembicaraan tentang diri kita sendiri, atau membuka diri. Pengungkapan diri mengacu kepada mengkomunikasikan informasi kita tentang diri kita kepada orang lain (DeVito, 2011:64).

Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat proses komunikasi yang dilakukan oleh kaum lesbian di Kota Tegal terhadap komunitasnya bukan merupakan hal mudah yang dapat dilakukan seperti percakapan sehari-hari pada umumnya. Kaum homoseksual biasanya tertutup dan enggan menonjolkan diri, terlebih untuk seorang lesbian. Kaum lesbian cenderung tertutup, sehingga kurang begitu dikenal dan dipahami dibanding laki-laki homoseksual. Mereka harus memiliki cukup banyak akses untuk dapat berinteraksi dengan sesama lesbian. Hal

(8)

commit to user

ini dikarenakan mereka termasuk ke dalam kelompok minoritas, sehingga perlu untuk menjalin kekerabatan antar sesama lesbian untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Kalaupun tidak melalui komunitas, mereka harus dapat mengidentifikasi sendiri lesbian yang akan mereka ajak untuk berinteraksi. Mereka mengungkap identitas dirinya hanya kepada sesama lesbian yang mudah dipercaya dengan berlatar belakang yang sama, sehingga respon yang didapatkan terasa secara emosional. (hasil wawancara dengan Gie Gabileh (bukan nama sebenarnya pada tanggal 22 April 2014 pukul 13.15)

Lingkungan Kota Tegal yang menjadi tempat penelitian merupakan salah satu wilayah yang juga memiliki komunitas kaum lesbian meskipun keberadaannya tidak terlihat secara transparan. Kaum lesbian di Tegal tidak sebanyak dan sebebas di kota-kota besar lainnya. Hal ini disebabkan karena Tegal merupakan representasi dari kota-kota di pantura yang nota bene hanya dilewati kendaraan dari luar kota dan bukan merupakan kota transit, destinasi wisata ataupun jujugan wisatawan. Sehingga sedikit sekali pengaruh dari luar yang masuk ke dalam lingkungan Tegal itu sendiri. Jika dilihat dari faktor sosial budaya, masyarakat Tegal sendiri masih sangat awam dan cenderung „udik‟, selain itu mayoritas dari mereka merupakan pemeluk agama islam yang kuat, sehingga menganggap hubungan sejenis adalah hubungan yang tabu dan aneh. Meskipun dipandang sebagai perilaku menyimpang, namun semakin banyak komunitas lesbian yang semakin menunjukkan jati diri mereka terhadap lingkungan sekitar di kota kecil ini, sehingga kondisi ini patut dipertimbangkan.

Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan kepada peran komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi terkait pengungkapan diri

(9)

commit to user

mereka (antar sesama lesbian). Komunikator mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan efektivitas komunikasi, karena ia berkedudukan sebagai pembuka komunikasi yaitu sebagai pihak yang mengirim pesan. Kemampuan komunikator untuk berkomunikasi efektif sangat ditentukan oleh ketepatan dalam menentukan identifikasi sasaran, formulasi isi pesan, pemilihan saluran komunikasi dan kredibilitas dirinya sendiri. Keefektifan komunikasi tidak saja ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi, tetapi juga oleh diri si komunikator. Fungsi komunikator adalah pengutaraan pikiran dan perasaan dalam bentuk pesan untuk membuat komunikan menjadi tahu atau berubah sikap, pendapat, atau perilakunya. Untuk menjadi komunikator yang baik, juga harus menjadi komunikan yang baik pula. Karena komunikasi bersifat transaksional, maka keberhasilan komunikasi tidak hanya ditentukan oleh salah satu pihak, tetapi ditentukan oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam komunikasi. Ini berarti bahwa komunikasi akan berhasil apabila kedua belah pihak mempunyai kesepakatan mengenai hal-hal yang dikomunikasikan (Effendy, 2008:35).

Komunikan juga merupakan faktor penentu keberhasilan komunikasi. Ukuran keberhasilan komunikator adalah apabila pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima, dipahami, dan mendapatkan tanggapan positif oleh komunikan, dalam arti sesuai dengan harapan komunikator. Komunikan berperan dalam proses pengolahan informasi yang disampaikan oleh komunikator. Dalam proses pengolahan informasi terjadi proses seleksi yang mencakup perhatian, persepsi dan daya ingat. Pesan yang diolah adalah yang sesuai dengan kerangka pengetahuan dan pengalaman saja, karena sesuai dengan keperluan, minat dan

(10)

commit to user

keinginan, terlebih jika dapat digunakan sebagai penyelesaian masalah (Riswandi, 2009:51).

Dalam komunikasi interpersonal, komunikator relatif cukup mengenal komunikan, dan sebaliknya, pesan dikirim dan diterima secara simultan dan spontan, relatif kurang terstruktur, demikian pula halnya dengan umpan balik yang dapat diterima dengan segera. Dalam tataran interpersonal, komunikasi berlangsung secara sirkuler, peran komunikator dan komunikan terus dipertukarkan, karenanya dikatakan bahwa kedudukan komunikator dan komunikan relatif setara (http://khusnia.wordpress.com/pengantar-ilmu-komunikasi/arti-penting-komunikasi/ diakses pada tanggal 11 Mei 2014 pukul 13.50).

Proses pengungkapan diri dalam komunikasi interpersonal ini bertujuan untuk mencari teman, teman kencan, kekasih bahkan mereka mengungkapkan semua perasaan yang tertahan ketika kehidupan normal menuntut mereka untuk menutupi tingkah laku dan perilaku mereka dalam bermasyarakat. Selain itu penelitian juga membahas mengenai penggunaan komunikasi nonverbal yang digunakan dalam proses pengungkapan diri sampai pada tahap terbentuknya hubungan antar sesama lesbian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikator dan komunikan masing-masing mempunyai peran yang penting dalam berkomunikasi menuju proses pengungkapan diri. Komunikator akan menjadi cerminan dan tolak ukur dalam pergaulan kaum lesbian.

Untuk melihat lebih jelas tentang pengungkapan diri kaum lesbian dalam komunitasnya ini, digunakan metode penelitian kualitatif studi kasus yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran komunikator dan

(11)

commit to user

komunikan dalam berkomunikasi terkait pengungkapan diri yang dilakukan oleh kaum lesbian. Hal ini merujuk kepada fenomena lesbian yang dulu dianggap tabu dan menyimpang, sekarang bisa dibilang hal ini telah menjadi gaya hidup hampir di semua kalangan masyarakat, pun di daerah yang sama sekali tidak terduga. Kehidupan perempuan lesbian merupakan suatu hal yang terlalu subyektif untuk ditampilkan dalam bentuk angka-angka statistik dan terlalu pribadi untuk ditampilkan dalam bentuk angket. Sehingga perlu dilakukan penelitian secara intensif dan mendalam untuk memperoleh data yang diperlukan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Metode kualitatif dengan jenis studi kasus ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui secara rinci dan menyeluruh mengenai pola komunikasi interpersonal kaum lesbian dalam melakukan pengungkapan diri serta bagaimana peran komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi terkait pengungkapan dirinya sebagai seorang lesbian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Secara umum penelitian ini akan melihat bagaimana pola komunikasi yang dilakukan oleh kaum lesbian dalam pengungkapan diri mereka.

2. Secara khusus penelitian ingin menelaah :

a) Bagaimana peran komunikator dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri mereka.

b) Bagaimana peran komunikan dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri mereka.

(12)

commit to user C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi yang digunakan oleh kaum lesbian dalam pengungkapan diri.

2. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

a) Mendeskripsi dan menganalisa peran komunikator dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri.

b) Mendeskripsi dan menganalisa peran komunikan dalam proses komunikasi interpersonal kaum lesbian terkait pengungkapan diri.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu wawasan baru bagi kajian ilmu komunikasi dan juga memberikan manfaat yang baik terutama :

1. Bagi kaum lesbian : memberikan suatu wawasan tentang bagaimana menjalankan peran sebagai komunikan maupun komunikator dalam proses komunikasi interpersonal antar sesama kaum lesbian, agar dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan komunikasi dalam upaya pengungkapan diri sehingga terbentuk suatu penerimaan yang baik hingga mencapai hubungan pertemanan atau hubungan lebih jauh.

2. Bagi keluarga lesbian : penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman terutama bagi keluarga lesbian agar dapat menerima dengan baik keputusan dari anggota keluarganya untuk memilih jalan hidup sebagai seorang lesbian yang dinyatakan melalui kecenderungan menyukai sesama perempuan dengan penyampaian pesan-pesan verbal serta

(13)

commit to user

nonverbal tertentu yang bertentangan dengan kodrat manusia untuk hidup berpasangan dengan lawan jenis.

3. Bagi masyarakat umum : label stigma buruk yang diberikan anggota masyarakat kepada kaum lesbian merupakan hal yang lazim kita temui hampir di setiap kelompok sosial masyarakat. Melalui penelitian ini, diharapkan masyarakat pada umumnya dapat memahami adanya kebutuhan kaum lesbian untuk mengkomunikasikan pengungkapan diri mereka dengan sesama lesbian. Karena dinyatakan sebagai kebutuhan, maka sudah selayaknya anggota masyarakat dapat memahami dan menghindari konflik sosial agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan para lesbian. 4. Bagi pengambilan keputusan dari berbagai instansi terutama dinas sosial :

kaum lesbian adalah kelompok yang dapat dikatakan tidak mendapatkan porsi selayaknya dalam hal kesejahteraan sosial di mana tidak banyak atau bahkan bisa dikatakan tidak ada tempat untuk dapat diterima sebagai kaum lesbian. Yang harus kita pahami terlebih dahulu adalah menemukan jati diri sebagai seorang lesbian, yakni memiliki disorientasi seksual terhadap sesama perempuan adalah sebuah keputusan yang tidak mudah bagi siapapun, namun kebutuhan untuk mengungkapan diri tentunya dimiliki oleh siapapun termasuk kaum lesbian. Melalui penelitian ini, diharapkan agar kebutuhan pengungkapan diri ini dapat ditanggapi secara bijak dan positif sehingga bisa memberikan output yang baik bagi kehidupan kaum lesbian di masyarakat.

(14)

commit to user E. Kerangka Teori

1. Komunikasi Interpersonal

a) Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal banyak membahas tentang bagaimana suatu hubungan dimulai, bagaimana mempertahankan suatu hubungan dan keretakan suatu hubungan. Komunikasi interpersonal dalam konteks diadik atau dua orang, merupakan komunikasi yang mewakili satuan terkecil interaksi manusia dan dalam banyak hal yang berlaku sebagai suatu mikrokosmos bagi semua kelompok yang lebih besar. Komunikasi diadik mencakup semua jenis hubungan manusia mulai dari hubungan yang paling singkat dan biasa, yang seringkali diwarnai oleh kesan pertama, hingga hubungan yang paling mendalam dan langgeng (Tubbs & Moss, 1996:2).

Pemahaman serupa juga dikemukakan oleh Beebe, Beebe, & Redmond (2008:3) bahwa komunikasi interpersonal bersifat transaksional, dari sebuah hubungan manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Hubungan interpersonal yang berkelanjutan dan terus menerus akan memberikan semangat, saling merespon tanpa adanya manipulasi, tidak hanya tentang menang atau kalah dalam beragumentasi melainkan tentang pengertian dan penerimaan.

Komunikasi interpersonal mengacu pada salah satu karakteristik komunikasi bahwa komunikasi menembus faktor ruang dan waktu. Para pelaku komunikasi tidak harus hadir pada waktu dan tempat yang sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, internet, dan lain sebagainya. Faktor ruang dan waktu tidak lagi menjadi masalah dalam berkomunikasi.

(15)

commit to user

Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal, seperti komunikasi pada umumnya komunikasi interpersonal selalu mencakup dua unsur pokok yaitu isi pesan dan bagaimana isi pesan dikatakan atau dilakukan secara verbal atau nonverbal.

Seperti halnya penelitian ini yang memperlihatkan komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh kaum lesbian dengan teman sesamanya untuk mengungkapkan diri. Pesan yang disampaikan pun berupa pesan verbal dan nonverbal, menyesuaikan situasi, kondisi dan tujuan penyampaian pesan tersebut. Komunikasi interpersonal yang terjalin ini bukan hanya komunikasi dari pengirim pada penerima pesan, begitu pula sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima pesan. Agar komunikasi interpersonal yang dilakukan menghasilkan hubungan interpersonal yang efektif dan kerjasama bisa ditingkatkan maka kita perlu bersikap terbuka, sikap percaya, dan sikap mendukung yang mendorong timbulnya sikap yang saling memahami, menghargai, dan saling mengembangkan kualitas. Hubungan interpersonal perlu ditumbuhkan dan ditingkatkan dengan memperbaiki hubungan dan kerjasama antara berbagai pihak. Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Dalam hal ini, komunikan dapat menerima pengungkapan diri yang disampaikan oleh komunikator.

b) Ciri Komunikasi Interpersonal yang Efektif

Devito mengemukakan ciri komunikasi interpersonal yang efektif dalam Liliweri (1991:13), antara lain:

(16)

commit to user

Keterbukaan berarti kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan interpersonal. Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada komunikannya. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah kesediaan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang umum agar komunikan mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran kita, sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Kemudian mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut dan wajar.

Kedua, mengacu pada kesediaan komunikan untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan komunikan yang menjemukan. Bila ingin komunikan bereaksi terhadap apa yang komunikator ucapkan, komunikator dapat memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran di mana komunikator mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkannya adalah miliknya dan ia bertanggung jawab atasnya.

2) Empati (Empathy)

Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain. Dalam arti bahwa seseorang secara emosional ataupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan

(17)

commit to user

keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun nonverbal.

3) Dukungan (Supportiveness)

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan di mana terdapat sikap saling mendukung. Setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan komunikator mendapat dukungan dari komunikan, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.

4) Rasa Positif (positiveness)

Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif. Jika setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, maka lebih mudah melanjutkan percakapan yang selanjutnya. Rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga atau berprasangka yang mengganggu jalinan interaksi.

5) Kesamaan (Equality)

Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan interpersonal pun lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, kesamaan sikap, kesamaan usia, kesamaan ideologi dan sebagainya.

Menurut Rakhmat (2005:118) komunikasi interpersonal dinyatakan efektif apabila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi

(18)

commit to user

komunikan. Berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kesamaan, akan mampu menciptakan suasana dan terbuka. Sebaliknya, berkumpul dengan orang-orang yang kurang disenangi akan menciptakan ketegangan, resah, dan tidak enak. Seseorang akan menutup diri dan menghindari komunikasi, bahkan segera ingin mengakhiri komunikasi. Senada dengan penelitian ini bahwa kaum lesbian akan lebih nyaman dan leluasa untuk mengungkapkan diri dengan sesama lesbian daripada dengan lingkungan heteroseksual. Karena mereka memiliki pengalaman dan kesamaan dalam hal orientasi seksual. Sehingga jika sesama kaum lesbian ini dapat menjaga sikap keterbukaan, empati, saling mendukung, memiliki rasa positif, serta kesamaan maka akan terjalin komunikasi dan hubungan interpersonal yang efektif.

c) Konsep Diri dalam Komunikasi Interpersonal

Konsep diri menurut definisi William D. Brooks (dalam Rakhmat, 2005:99) adalah “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial, dan fisik. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita. Seperti yang diungkapkan oleh Anita Taylor et al (dalam Rakhmat, 2005:100) bahwa konsep diri adalah “all you think and feel about, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself”. Jadi, konsep diri meliputi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi konsep diri (Rakhmat, 2005:100), antara lain:

(19)

commit to user

1) Orang lain

Seorang filsuf eksistensialis, Gabriel Marcel mencoba menjawab misteri keberadaan, The Mystery of Being, menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita,

“The fact is “That we can understand ourselves by starting from the other, or from others, and only by starting from them.”

(“Kenyatannya bahwa kita dapat memahami diri kita sendiri dengan memulai dari yang lain, atau orang lain, dan hanya dengan memulai dari mereka”).

Intinya, kita dapat mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu, karena pandangan orang lain dapat membentuk konsep diri kita. Pengertian orang lain dapat terkait dengan significant others, seperti yang dikemukakan oleh George Herbert Mead (dalam Rakhmat, 2005:101) bahwa significant others merupakan istilah untuk orang-orang di sekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Significant others ini meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara emosional.

2) Kelompok Rujukan (Reference Group)

Kelompok rujukan (reference group) merupakan kelompok yang secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu. Dengan merujuk pada kelompok ini, orang mengarahkan perilaku dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

(20)

commit to user d) Hubungan Interpersonal

Miller dan Steinberg (1975) dalam Tubbs & Moss (1996:11) mengemukakan beberapa konsep penting dalam menilai kualitas hubungan interpersonal, antara lain:

1) Dalam hubungan berkualitas tinggi, informasi tentang orang lain lebih bersifat psikologis daripada bersifat kultural dan sosiologis.

2) Karakteristik hubungan berkualitas tinggi adalah bahwa aturan-aturan dalam hubungan ini lebih banyak dikembangkan oleh kedua orang yang terlibat di dalamnya daripada diatur oleh tradisi.

3) Peranan dalam hubungan interpersonal pada pokoknya lebih ditentukan oleh karakter pribadi daripada oleh situasi.

4) Hubungan berkualitas tinggi lebih menekankan pilihan perseorangan daripada pilihan kelompok.

Dari segi psikologi komunikasi (Rakhmat, 2005:120), dinyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka komunikator untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain (komunikan) dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung diantara komunikator dan komunikan.

Hubungan interpersonal berlangsung melewati tiga tahap (Rakhmat, 2005:124), yaitu:

1) Pembentukan hubungan interpersonal

Tahap ini sering disebut tahap perkenalan yang mana merupakan proses komunikasi di mana individu mengirimkan (secara sadar) atau menyampaikan (kadang-kadang tidak sengaja) informasi tentang struktur dan

(21)

commit to user

isi kepribadiannya kepada bakal sahabatnya, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda pada bermacam-macam tahap perkembangan persahabatan.

Newcomb (1961) menemukan hal-hal menarik dari proses perkenalan. Fase pertama, disebut initial contact phase atau “fase kontak permulaan” yang ditandai oleh usaha komunikator untuk menangkap informasi dari reaksi komunikan. Komunikator berusaha menggali secepatnya mengenai identitas, sikap, dan nilai dari komunikan. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Bila mereka merasa berbeda, mereka akan berusaha menyembunyikan dirinya. hubungan interpersonal mungkin akan diakhiri. Fase kedua, disebut reciprocal scanning atau saling menyelidik. Pada tahap ini informasi yang dicari dan disampaikan umumnya berkisar mengenai data demografis seperti usia, tempat tinggal, keadaan keluarga, dan sebagainya. Dari data demografis ini, maka akan diketahui identitas, sikap dan nilai dari komunikan.

Informasi yang diperoleh dari tahap perkenalan tidak hanya diperoleh melalui komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal seperti mempertahankan jarak, gerak tangan dan lirikan mata, intonasi suara, serta pakaian yang dikenakan akan membentuk kesan pertama. Kesan pertama sangat menentukan apakah hubungan interpersonal harus diakhiri atau diperteguh. Menurut William Brooks dan Philip Emmert, kesan pertama sangat menentukan, karena itu hal-hal yang pertama kali kelihatan (hal yang menentukan kesan pertama) menjadi penentu yang penting terhadap pembentukan citra pertama terhadap orang itu.

(22)

commit to user

Dalam penelitian ini, pembentukan hubungan interpersonal melalui tahap perkenalan yang berfokus pada identifikasi individu lesbian. Informan mencari kesamaan identitas yakni sesama lesbian untuk dapat mengungkapkan dirinya dan menjalin hubungan. Proses perkenalan ini tidak jarang melibatkan insting untuk menemukan calon pasangan. Pada umumnya, informan memperoleh informasi mengenai calon pasangannya melalui komunikasi nonverbal, seperti gaya berpenampilan dan lingkungan pergaulannya.

2) Peneguhan hubungan interpersonal

Hubungan interpersonal tidak bersifat statis melainkan selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal, perubahan memerlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan ini: keakraban, kontrol, respon yang tepat, dan nada emosional yang tepat.

Keakraban merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terpelihara apabila antara komunikan dan komunikator sepakat tentang tingkat keakraban yang diperlukan. Menurut Argyle, faktor yang kedua adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa, dan bilamana. Jika keduanya mempunyai pendapat yang berbeda sebelum mengambil keputusan, perlu ditentukan siapakah yang harus berbicara lebih banyak, siapa yang menentukan, siapakah yang dominan. Konflik terjadi umumnya bila masing-masing ingin berkuasa, atau tidak ada pihak yang mau mengalah.

(23)

commit to user

Faktor yang ketiga adalah ketepatan respon, artinya, respon komunikator harus diikuti oleh respon komunikan yang sesuai. Dalam percakapan, misalnya, pertanyaan harus disambut dengan jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan keterangan dengan penjelasan. Respon ini bukan saja berkenaan dengan pesan-pesan verbal, tetapi juga pesan-pesan nonverbal. Jika pembicaraan serius dijawab dengan main-main, ungkapan wajah yang bersungguh-sungguh diterima dengan air muka yang menunjukkan sikap tidak percaya, maka hubungan interpersonal akan mengalami keretakan. Ini berarti pemberian respon tidak tepat.

Faktor keempat yang memelihara hubungan interpersonal adalah keserasian suasana emosional ketika berlangsungnya komunikasi. Walaupun mungkin saja terjadi dua orang berinteraksi dengan suasana emosional yang berbeda, interaksi itu tidak akan stabil. Besar kemungkinan salah satu pihak mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi. Misalnya, ketika komunikan turut sedih ketika komunikator mengungkapkan penderitaannya, komunikan menyamankan suasana emosionalnya dengan suasana emosional komunikator. Dalam hal ini, komunikator akan menganggap komunikan “dingin” bila komunikan menanggapi penderitaan komunikator dengan perasaan yang netral.

Dalam penelitian ini, peneguhan hubungan interpersonal dapat dilihat ketika informan mulai melakukan obrolan santai, pengungkapan diri, pengungkapan perasaan secara personal, hingga menentukan hubungan puncak. Pengungkapan diri antar sesama lesbian ini memiliki peran yang cukup besar dalam proses memelihara hubungan interpersonal.

(24)

commit to user 3) Pemutusan hubungan interpersonal

Pemutusan hubungan interpersonal terjadi apabila dalam hubungan interpersonal terdapat sebuah konflik atau hubungan yang tidak sehat yang menjadi penyebab dari putusnya hubungan interpesonal tersebut. Dalam penelitian ini, pemutusan hubungan tidak diperlihatkan dalam hubungan interpersonal sesama lesbian. Karena penelitian ini berfokus pada proses pengungkapan diri sesama lesbian yang bertujuan untuk membangun suatu hubungan.

2. Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi yang dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi nonverbal penting karena apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011:110). Menurut Samovar & Porter (1991) dalam Mulyana (2005:308), komunikasi nonverbal mencakup perilaku yang sengaja dan tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan, kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. Dalam penelitian ini, komunikasi nonverbal digunakan sebagai salah satu cara yang dominan untuk mengungkapkan diri. Karena pesan pengungkapan diri yang akan disampaikan bersifat pribadi dan krusial, maka komunikasi nonverbal lebih banyak digunakan daripada komunikasi verbal.

Adapun fungsi komunikasi nonverbal menurut Verdeber (2007) dalam Budyatna & Ganiem (2011:115) antara lain:

(25)

commit to user

Kebanyakan informasi atau isi sebuah pesan disampaikan secara nonverbal. Isyarat-isyarat nonverbal kita dapat mengulang, mensubstitusi, menguatkan atau mempertentangkan pesan verbal kita. Hanya karena orang lebih bergantung kepada komunikasi nonverbal kepada bentuk kata-kata sebuah pesan untuk menentukan makna emosional, maka orang lebih banyak bergantung pada isyarat-isyarat nonverbal untuk memahami pesan campuran.

c) Mengatur interaksi

Kita mengelola sebuah interaksi melalui cara-cara yang tidak kentara dan kadang-kadang melalui isyarat nonverbal yang jelas. Kita gunakan perubahan atau pergeseran dalam kontak mata, gerakan kepala yang perlahan, bergeser dalam sikap badan, mengangkat alis, menganggukan kepala memberitahukan pihak lain kapan boleh melanjutkan, mengulang, menguraikan, bergegas, atau berhenti. Komunikator yang efektif belajar menyesuaikan apa yang ia katakan dan bagaimana mengatakannya atas dasar isyarat-isyarat nonverbal komunikannya.

d) Mengekspresikan atau menyembunyikan emosi dan perasaaan

Kebanyakan aspek-aspek emosional dari komunikasi disampaikan melalui cara-cara nonverbal. Komunikator dapat menunjukkan pada komunikan bahwa mereka peduli dengan tersenyum, merangkul, mencium, duduk berdekatan, menatap kepadanya, menyediakan lebih banyak waktu dengan siapa komunikator amat peduli. Secara alternatif kita dapat menggunakan perilaku nonverbal untuk menutupi perasaan kita yang sebenarnya. Namun, lebih sering kita menunjukkan emosi yang sebenarnya secara nonverbal daripada menjelaskan emosi kita dengan kata-kata. Adakalanya kita mencoba

(26)

commit to user

menyembunyikan perasaan kita, tetapi secara tidak sengaja suka bocor atau terbaca orang lain melalui pesan nonverbal kita.

e) Menyajikan sebuah citra

Manusia mencoba menciptakan kesan mengenai dirinya melalui cara-cara dia tampil dan bertindak. Kebanyakan pengelolaan kesan terjadi melalui saluran nonverbal. Manusia dapat secara hati-hati mengembangkan citra melalui pakaian, merawat diri, perhiasan, dan milik pribadi lainnya. Orang tidak hanya menggunakan komunikasi nonverbal untuk mengkomunikasikan citra pribadi, tetapi dua orang dapat menggunakan isyarat-isyarat nonverbal untuk menyajikan citra atau identitas hubungan.

f) Memperlihatkan kekuasaan dan kendali

Banyak perilaku nonverbal merupakan isyarat dari kekuasaan, terlepas dari apakah mereka bermaksud menunjukkan kekuasaan dan kendali. Ekspresi seperti “Ia menundukkan mukanya saat berbicara kepada saya” atau “Ia berbicara kepada saya layaknya berbicara kepada anak kecil” menunjukkan peran perilaku nonverbal dalam mengekspresikan kekuasaan, kendali, dan dominasi.

Dalam penelitian ini, komunikasi nonverbal digunakan untuk melengkapi dan menguatkan informasi mengenai pesan pengungkapan diri sebagai lesbian. Lebih jauh, komunikasi nonverbal juga digunakan untuk menunjukkan emosi dan perasaan tertentu yang tidak dapat disampaikan melalui pesan verbal. Selain itu, informan juga menggunakan komunikasi nonverbal untuk mengetahui identitas seseorang yang akan menjadi lawan bicaranya (calon pasangan).

(27)

commit to user

Komunikasi nonverbal yang banyak digunakan adalah bentuk kinesik, yaitu bentuk komunikasi nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh seseorang. Bentuk-bentuk komunikasi nonverbal kinesik menurut Budyatna & Ganiem (2011:125), antara lain:

a) Kontak mata

Kontak mata mengacu sebagai pandangan atau tatapan, adalah bagaimana dan seberapa sering kita menatap lawan komunikasi kita.kontak mata menyampaikan banyak makna. Hal ini menunjukkan apakah kita menaruh perhatian dengan lawan bicara kita. Bagaimana kita melihat atau menatap pada seseorang dapat menyampaikan serangkaian emosi seperti marah, takut, atau rasa sayang.

b) Ekspresi wajah

Ekspresi wajah merupakan pengaturan dari otot-otot muka untuk berkomunikasi dalam keadaan emosional atau reaksi terhadap pesan-pesan. Ekspresi wajah penting dalam menyampaikan keenam dasar emosi yaitu kegembiraan, kesedihan, kejutan, ketakutan, kemarahan, dan kemuakan.

c) Gerak isyarat (gesture)

Merupakan gerakan tangan, lengan, dan jari-jari yang kita gunakan untuk menegaskan. Misalnya, ketika seseorang mengatakan “dengarkan saya” dengan gerak jari telunjuk, memukul meja dengan tinju, atau gerak isyarat lainnya untuk memperkuat komunikasi verbal. Beberapa gerak isyarat dinamakan adopters terjadi tanpa disadari untuk merespon kebutuhan fisik. Misalnya, menggaruk-garuk karena gatal, membetulkan letak kacamata, menggosok-gosokkan kedua telapak tangan karena dingin. Anda tidak

(28)

commit to user

bermaksud mengkomunikasikan sebuah pesan dengan gerak isyarat tersebut, tetapi orang lain yang memperhatikannya bisa saja memberikan makna kepada hal-hal tersebut.

d) Sentuhan

Sentuhan ialah menempatkan bagian dari tubuh dalam kontak dengan sesuatu. Perilaku menyentuh merupakan aspek fundamental komunikasi nonverbal pada umumnya dan mengenai perkenalan diri pada khususnya. Kita gunakan tangan kita, lengan kita, dan bagian-bagian tubuh lain untuk menepuk, merangkul, mencium, mencubit, memukul, memegang, menggelitik dan memeluk. Melalui sentuhan, kita mengkomunikasikan macam-macam emosi dan pesan.

e) Senyuman

Dalam budaya Asia Tenggara umumnya, senyuman berfungsi menutupi kemarahan, perasaan malu, atau perasaan marah. Kadang-kadang orang tersenyum untuk mengatakan terima kasih, permohonan maaf, atau makna secara tidak langsung mengatakan “ya” (Liliweri, 2011:386). Secara umum, senyuman memberi isyarat bahwa kita memiliki perasaan baik, nyaman, senang dan mengungkapkan bahwa kita antusias serta menyampaikan perasaan tertentu.

Selain bentuk kinesik, komunikasi nonverbal yang digunakan dalam berkomunikasi terkait pengungkapan diri juga melalui parabahasa dan penampilan fisik:

(29)

commit to user

Parabahasa atau vokalika (vocalist), merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, dialek, suara terputus-putus, suara yang gemetar, suitan, siulan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita (Mulyana, 2005:342). Terdapat empat karakteristik utama dalam parabahasa yang dapat melengkapi, menambah atau mempertentangkan makna yang terkandung dalam bahasa mengenai pesan kita Budyatna & Ganiem (2011:131), antara lain:

b) Pola titinada

Pola titinada atau pitch merupakan tinggi atau rendahnya nada vokal. Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal dan mengubah volume suara untuk mempertegas gagasan, menunjukkan pertanyaan, dan memperlihatkan kegugupan. Suara-suara yang lebih rendah dalam pola titinada cenderung mengandung kepercayaan dan kredibilitas.

 Volume

Volume merupakan keras atau lembutnya nada. Orang mempunyai volume suara yang berbeda bergantung pada situasi dan topik pembicaraan.

 Kecepatan

Kecepatan atau rate mengacu kepada kecepatan pada saat orang berbicara. Orang cenderung berbicara lebih cepat apabila sedang berbahagia, terkejut, gugup, atau sedang gembira. Berbicara lebih lambat

(30)

commit to user

apabila mereka sedang memikirkan jalan keluar penyelesaian, atau mencoba menegaskan pendiriannya.

 Kualitas

Kualitas merupakan bunyi dari suara seseorang. Setiap suara manusia memiliki nada yang berbeda, masing-masing dari kita menggunakan kualitas yang sedikit berbeda mengenai suara untuk mengkomunikasikan dalam keadaan pikiran yang khusus.

c) Penampilan fisik

Kita banyak belajar dan membuat penilaian mengenai orang lain didasarkan pada bagaimana penampilannya. Penampilan fisik meliputi bentuk tubuh, ciri-ciri fisik seperti rambut, dan mata, dan pilihan-pilihan kita mengenai pakaian, merawat diri dan merias tubuh Budyatna & Ganiem (2011:138). Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang atas pakaian mencerminkan kepribadiannya. Pakaian juga digunakan untuk memproyeksikan identitas tertentu yang diinginkan pemakainya (Mulyana, 2005:347)

Dalam penelitian ini, komunikasi nonverbal berupa kontak mata, ekspresi wajah, gerak isyarat (gesture), sentuhan dan senyuman kerap dilakukan dalam berkomunikasi untuk mengungkapkan diri. Ketika mengidentifikasi orang lain yang akan dijadikan lawan bicaranya, informan juga menggunakan isyarat berupa parabahasa dan penampilan fisik. Parabahasa dan penampilan fisik ini dinilai untuk mengetahui kesan dan identitas orang tersebut.

(31)

commit to user 3. Pengungkapan Diri (Self Disclosure) a) Pengertian Pengungkapan Diri

Menurut DeVito (2011:64), pengungkapan diri merupakan sebuah bentuk komunikasi di mana informasi mengenai diri kita yang biasanya kita sembunyikan kita beritahukan kepada orang lain. DeVito juga menyatakan beberapa aspek yang terkandung dalam definisi ini, yang mencakup :

1) Pengungkapan diri merupakan suatu bentuk komunikasi

2) Pengungkapan diri adalah informasi, dimana informasi yang dimaksudkan sebagai sesuatu hal yang belum diketahui sebelumnya oleh si pendengar, dengan kata lain informasi tersebut adalah pengetahuan baru.

3) Pengungkapan diri adalah informasi mengenai seseorang, yang meliputi isi pikiran, perasaan dan perilaku seseorang atau mengenai orang lain yang dekat dengan kita yang memiliki hubungan ketergantungan signifikan dengan kita. 4) Pengungkapan diri mencakup informasi yang normalnya disembunyikan. Hal

ini bukan hanya sekedar informasi yang belum diungkapkan sebelumnya, namun mengenai informasi yang sebelumnya tidak kita ungkapkan dan berusaha untuk menyimpan rahasia tersebut.

5) Pengungkapan diri melibatkan sedikitnya satu orang lain. Dalam melakukan pengungkapan diri, komunikasi yang dilakukan sedikitnya diantara dua orang, karena pengungkapan diri bukan merupakan komunikasi intrapersonal.

Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang

(32)

commit to user

berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya (Dayakisni, 2006:88).

Raven & Rubin (dalam Dayakisni, 2006:88), juga menjelaskan bahwa dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan memiliki norma timbal balik. Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengharapkan orang lain memeperlakukan kita sama seperti memperlakukan mereka.

Johari window atau lebih lanjut disebut juga Jendela Johari, merupakan salah satu model teori yang paling berguna untuk menggambarkan proses interaksi antar manusia. Sebuah “jendela” berkaca empat yang membagi kewaspadaan pribadi ke dalam empat jenis yang berbeda, seperti yang diwakili oleh keempat kuadrannya; terbuka, buta, tersembunyi dan tidak dikenal. Garis-garis yang membagi keempat kuadran tersebut terlihat seperti bidang jendela, yang dapat bergeser ketika sebuah interaksi mengalami kemajuan.

Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Jendela Johari. Dalam gambar Jendela Johari berikut ini diungkapkan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran diri kita (Tubbs & Moss, 1996:13).

(33)

commit to user

Diketahui Tidak diketahui diri sendiri diri sendiri

Diketahui Orang lain

Tidak diketahui Orang lain

Johari melukiskan bahwa dalam pengembangan hubungan antar manusia terdapat empat kemungkinan sebagai mana terwakili melalui suasana di keempat bidang (jendela).

 Kuadran I, yakni kuadran terbuka (open area) menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya oleh yang bersangkutan, juga oleh orang lain, yang berarti terdapat keterbukaan, dengan lain perkataan tidak ada yang disembunyikan kepada orang lain.

 Kuadran II, yakni kuadran gelap (blind area) menggambarkan bahwa kegiatan seseorang diketahui oleh orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak menyadari apa yang ia lakukan.

 Kuadran III, yakni kuadran tersembunyi (hidden area) yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya olehnya, tetapi tidak dapat diketahui oleh orang lain. Ini berarti bahwa orang seperti itu bersikap tertutup. Terbuka I Gelap II Tersembunyi III Tidak diketahui IV

(34)

commit to user

 Kuadran IV, adalah kuadran tak diketahui (unknown area). Bidang ini menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang tidak disadari oleh dirinya sendiri dan tidak diketahui oleh orang lain.

Keempat kuadran Jendela Johari ini saling bergantung, dimana suatu perubahan dalam sebuah kuadran akan mempengaruhi kuadran lainnya.

Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai definisi pengungkapan diri di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengungkapan diri adalah sebuah bentuk tindakan di mana kita memberitahukan mengenai informasi pribadi kita kepada orang lain, seperti keadaan pribadi, perasaan, pendapat, pengalaman masa lalu dan juga harapan di masa depan. Sejalan dengan penelitian ini, yang bertujuan untuk menggambarkan proses pengungkapan diri oleh lesbian di Kota Tegal kepada komunitasnya mengenai orientasi seksual sebagai bentuk dari pengungkapan diri antara sesama lesbian. Pengungkapan diri ini bertujuan untuk mencari pertemanan atau perjodohan.

b) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Diri

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan pengungkapan diri (Devito, 2011:65) :

1) Besar kelompok

Sejumlah ketakutan yang dimiliki individu dalam mengungkapkan diri membuat pengungkapan diri akan lebih efektif jika dilakukan dalam jumlah pendengar yang sedikit. Lebih mudah bagi individu untuk menghadapi reaksi satu orang daripada reaksi kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang. Satu pendengar, akan memudahkan individu untuk mengontrol apakah

(35)

commit to user

pengungkapan diri individu harus dilanjutkan atau dihentikan dibandingkan sejumlah pendengar yang memiliki sejumlah respon. Jumlah pendengar lebih dari satu akan menghasilkan variasi respon dan apa yang diungkapkan individu akan dianggap sebagai hal yang umum karena banyak orang yang tahu.

2) Perasaan menyukai

Kita membuka diri kepada orang-orang yang kita sukai atau cintai, dan kita tidak akan membuka diri kepada orang-orang yang tidak kita sukai. Orang yang kita sukai akan bersikap mendukung dan menilai positif terhadap pengungkapan diri kita. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang menunjukkan bahwa individu akan mengembangkan ketertarikan pada individu yang mengungkapkan informasi diri yang bersifat positif.

3) Efek diadik

Secara umum, pengungkapan diri bersifat resiprok, yang memiliki makna bahwa pengungkapan diri cenderung terjadi ketika oranglain telah melakukan pengungkapan diri sebelumnya. Hal ini merupakan efek dyad, ketika individu melakukan pengungkapan diri, maka orang lain akan melakukan pengungkapan diri sebagai respon dari pengungkapan diri yang dilakukan sebelumnya. Pengungkapan diri pasangan menyatakan secara tidak langsung bahwa dalam proses pengungkapan diri terdapat efek spiral (saling berhubungan) dimana setiap pengungkapan diri individu diterima sebagai stimulus untuk penambahan pengungkapan diri orang lain. Pengungkapan diri diantara kedua individu akan semakin baik jika orang yang mendengarkan bersikap positif dan menguatkan.

(36)

commit to user 4) Kompetensi

Orang yang berkompeten lebih banyak melakukan pengungkapan diri, karena memiliki rasa percaya diri dan hal-hal positif tentang diri mereka untuk diungkapkan kepada orang lain.

5) Kepribadian

Orang-orang yang pandai bergaul dan ekstrover melakukan pengungkapan diri lebih banyak karena merasa lebih nyaman dalam berkomunikasi. Mereka yang kurang pandai bergaul dan lebih introver memiliki kegelisahan yang berlebih ketika berkomunikasi sehingga jarang melakukan pengungkapan diri.

6) Topik

Mengungkapkan informasi yang bagus lebih cepat diterima daripada informasi yang kurang bagus. Jourard (1968) menyatakan bahwa pengungkapan diri mengenai uang, kepribadian, dan fisik lebih jarang dibicarakan daripada tentang minat, sikap, dan pendapat serta pekerjaan. Makin pribadi dan makin negatif suatu topik, makin kecil kemungkinan kita mengungkapkannya.

7) Jenis kelamin

Banyak penelitian yang mengindikasikan bahwa perempuan lebih terbuka daripada laki-laki, namun tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam jumlah atau kualitas pengungkapan diri individu menikah.

(37)

commit to user c) Manfaat Pengungkapan Diri

Manfaat pengungkapan diri menurut DeVito (2011:67) adalah sebagai berikut:

1) Pengetahuan diri

Salah satu manfaat pengungkapan diri adalah kita mendapatkan perspektif baru tentang diri sendiri dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku kita sendiri.

2) Kemampuan mengatasi kesulitan

Kita akan mampu menanggulangi masalah atau kesulitan kita, khususnya perasaan bersalah, melalui pengungkapan diri. Dengan mengungkapkan perasaan bersalah dan menerima dukungan, bukan penolakan, maka kita menjadi lebih siap untuk mengatasi perasaan bersalah tersebut dan barangkali mengurangi atau bahkan menghilangkannya sama sekali. Melalui pengungkapan diri dan dukungan-dukungan yang datang, kita menempatkan diri sendiri dalam posisi yang lebih baik untuk menangkapntanggapan positif kepada kita, dan kita akan lebih mungkin memberikan reaksi dengan mengembangkan konsep diri yang positif.

3) Efisiensi komunikasi

Pengungkapan diri memperbaiki komunikasi. Kita memahami pesan-pesan dari orang lain sebagian besar sejauh kita memahami orang lain secara individual. Kita dapat lebih memahami apa yang dikatakan seseorang jika kita mengenal baik orang tersebut.

(38)

commit to user

Alasan utama pengungkapan diri adalah untuk membina hubungan yang bermakna antara dua orang. Tanpa pengungkapan diri, hubungan yang bermakna dan mendalam tidak akan mungkin terjadi. Dengan pengungkapan diri, kita memberi tahu orang lain bahwa kita mempercayai mereka, menghargai mereka, dan cukup peduli akan mereka dan akan hubungan kita untuk mengungkapkan diri kita kepada mereka. Kemudian orang lain juga mau membuka diri dan membentuk suatu awal hubungan yang bermakna, hubungan yang jujur dan terbuka.

d) Dampak Negatif Pengungkapan Diri

Resiko pengungkapan diri menurut DeVito (2011:69) antara lain: 1) Penolakan pribadi dan sosial

Kita melakukan pengungkapan diri kepada seseorang yang kita anggap akan mendukung pengungkapan diri kita. Namun, tidak jarang orang yang kita percaya ini juga menolak pengungkapan diri kita. Orang tua misalnya, yang dianggap orang yang paling mendukung kita, seringkali menolak pengungkapan diri anaknya sebagai homoseksual.

2) Kerugian material

Pengungkapan diri juga mengakibatkan kerugian material. Sebagai contoh pengungkapan diri dalam kecanduan alkohol atau obat bius seringkali diikuti dengan pemecatan atau mutasi.

3) Kesulitan interpersonal

Ini terjadi apabila respon orang lain tidak seperti yang kita duga. Bila orang tua malah mencemooh bukan membela, maka kita sedang dalam jalur menuju

(39)

commit to user

kesulitan interpersonal. Tak seorangpun senang ditolak, dan mereka yang egonya rapuh perlu memikirkan kerusakan yang disebabkan oleh penolakan semacam ini.

4. Teori Pembuatan Pesan (Message Production)

Littlejohn (2002:176) menguraikan bahwa teori pembuatan pesan menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis, yakni penjelasan sifat, penjelasan keadaan dan penjelasan proses. Penjelasan sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat variabel lain, seperti hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis pesan-pesan tertentu. Teori ini memprediksikan bahwa ketika seseorang memiliki sifat-sifat personalitas tertentu, akan cenderung berkomunikasi dengan cara-cara tertentu pula.

Penjelasan keadaan berfokus pada keadaan dengan pikiran yang dialami seseorang dalam suatu periode waktu. Tidak seperti sifat, keadaan secara relatif tidak stabil dan tidak kekal. Dalam hal ini ditekankan bahwa keadaan tertentu yang dialami seseorang mempengaruhi pengiriman dan penerimaan pesan. Penjelasan sifat dan keadaan dapat digunakan secara bersama-sama. Perilaku hanya sebagian ditentukan oleh sifat dan situasional. Bagaimana komunikasi pada saatnya bergantung pada sifat-sifat tertentu yang kita miliki dan situasi dimana kita menemukan diri sendiri.

Pendekatan ketiga yang ditemukan dalam teori pembuatan pesan adalah penjelasan proses. Penjelasan proses berupaya menangkap mekanisme pikiran manusia. Penjelasan ini berfokus pada cara informasi diperoleh dan disusun, bagaimana memori digunakan dan bagaimana orang memutuskan untuk bertindak.

(40)

commit to user

Implikasi teori pembuatan pesan logika desain pesan oleh Barbara O‟Keefe dapat ditinjau pada teori manajemen makna terkoordinasi. Teori ini menyatakan bahwa individu membuat interpretasi berdasarkan aturan-aturan sosialnya. Individu dalam situasi sosial pertama-tama didorong oleh keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan menerapkan aturan-aturan untuk mengetahui segala sesuatu. Pada tahap lanjutan individu bertindak atas dasar pemahaman mereka, dengan menggunakan aturan-aturan untuk memutuskan jenis tindakan yang sesuai. Pada titik inilah desain pesan dioperasikan oleh individu dalam tindak komunikasinya, desain pesan dilakukan agar tindakan dan pernyataan dapat menciptakan komunikasi yang interaktif. (Ardianto dan Bambang Q. Anees, 2007:166)

Barbara O‟Keefe menunjukkan tiga logika dasar desain pesan, yaitu ekspresif, konvensional, dan retoris. Logika ekspresif memperlakukan komunikasi sebagai suatu model ekspresi diri, sifat pesannya terbuka dan reaktif secara alami, sedikit memperhatikan keinginan orang lain. Logika ekspresif misalnya bisa ditemukan pada saat kita sedang marah. Logika konvensional memandang komunikasi sebagai permainan yang dilakukan secara teratur. Komunikasi dilakukan sebagai proses ekspresi berdasarkan aturan dan norma yang diterima bersama, maka komunikasi berlangsung sopan dan tertib. Logika retoris memandang komunkasi sebagai suatu cara mengubah aturan melalui negosiasi. Pesan dirancang cenderung fleksibel, penuh wawasan dan berpusat pada orang. (Ardianto, Elvinaro & Bambang Q-Anees, 2007 : 164)

(41)

commit to user 5. Teori Penerimaan Pesan (Message Reception)

Teori penerimaan pesan ini memfokuskan bagaimana pesan-pesan itu diterima, bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan, dan menggunakan informasi yang terkandung di dalam pesan. Teori penerimaan dan pemrosesan pesan berada dalam tradisi kognisi, yaitu studi tentang pemikiran atau pemrosesan informasi. Menurut Dean Hewes dalam Littlejohn (2002:129), kognisi menuntut dua elemen sentral, yaitu struktur-struktur pengetahuan dan proses-proses kognitif.

Struktur-struktur pengetahuan terdiri dari organisasi informasi di dalam sistem kognitif seseorang, body of knowledge yang telah dikumpulkan oleh seseorang. Bahkan pesan yang paling sederhanapun membutuhkan banyak sekali informasi untuk bisa dipahami. Di dalam sistem kognitif, potongan-potongan informasi saling dihubungkan satu sama lain ke dalam sebuah pola yang teratur.

Proses-proses kognitif adalah mekanisme-mekanisme melalui mana informasi diolah di dalam pikiran. Hewes dan dan Planalp dalam Littlejohn (2002:130), menggarisbawahi tujuan utama yang saling berinterelasi, pertama adalah pemfokusan, yaitu sebuah proses menghadapi detil-detil tertentu dari informasi. Proses kedua adalah integrasi, atau pembuatan hubungan antara potongan-potongan informasi. Ini adalah proses penggabungan apa yang dilihat dan didengar ke dalam organisasi pengetahuan yang menyeluruh. Ketiga adalah penarikan kesimpulan, sebuah proses “pengisisan”, ketika seseorang membuat asumsi-asumsi tentang hal-hal yang tidak teramati berdasarkan hal-hal yang teramati.

(42)

commit to user

Proses yang keempat dan kelima melibatkan ingatan, penyimpanan dan pengungkapan. Struktur pengetahuan harus disimpan untuk digunakan di lain waktu, dan ia harus diingat secara tepat. Penyimpanan dan pengungkapan sangat penting bagi proses-proses kognitif lainnya. Proses keenam dan ketujuh adalah seleksi dan implementasi, juga berjalan bersamaan. Seleksi adalah pemilihan perilaku dan simpanan seseorang. Sedangkan implementasi adalah bertindak sesuai dengan perilaku yang sudah dipilih dengan melakukannya.

6. Lesbian sebagai Homoseksual

Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian adalah seorang yang penuh kasih. Pada saat ini kata lesbian digunakan untuk menunjukkan kaum gay wanita.

Lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita. Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan di ikuti kata Lesbia, namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian. Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya dan agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena semakin zaman terus berkembang orang-orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian (Kartono, 2009:249).

Tidak semua lesbian dapat dikenali sejak masa kanak-kanak, tetapi beberapa karakteristik dapat memberikan dugaan bahwa mereka akan menjadi homoseks, diantaranya sifat tomboy (Tobing, 1987:53). Di dalam kelompok lesbian terdapat semacam label yang muncul karena dasar karakter atau

(43)

commit to user

penampilan yang terlihat pada seorang lesbian yaitu, Butch, Femme dan Andro. Butch (B) adalah lesbian yang berpenampilan tomboy, kelaki-lakian, lebih suka berpakaian laki-laki (kemeja laki-laki, celana panjang, dan potongan rambut sangat pendek). Femme (F) adalah lesbian yang berpenampilan feminim, lembut, layaknya perempuan heteroseksual biasanya, berpakaian gaun perempuan. Sedangkan Andro atau Androgyne (A) adalah perpaduan penampilan antara butch dan femme. Lesbian ini bersifat lebih fleksibel, artinya dia bisa saja bergaya tomboy tapi tidak kehilangan sifat feminimnya, tidak risih berdandan dan mengenakan make up, menata rambut dengan gaya feminim, dan sebagainya (Tan, 2005:36-37).

Dalam buku All About Lesbian ada dua termilogi yang sering di hubungkan dengan menjadi seorang lesbian yaitu (Agustine, 2005:20-22) :

a) Butch

Butch atau lebih popular dengan istilah butchy seringkali mempunyai stereotype sebagai pasangan yang lebih dominan dalam hubungan seksual. Terkadang dalam hubungannya adalah satu arah sehingga butch lebih digambarkan sebagai sosok yang tomboy, aktif, agresif, melindungi dan lain-lain. Butch dapat dibagi atau diklarifikasi menjadi 2 tipe:

b) Soft Butch

Sering digambarkan mempunyai kesan yang lebih feminim dalam cara berpakaian dan potongan rambutnya. Secara emosional dan fisik tidak mengesankan bahwa mereka adalah pribadi yang kuat atau tangguh. Dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan lesbian, istilah Soft Butch sering disebut juga dengan Androgyne.

(44)

commit to user c) Stone Butch

Sering digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian maupun potongan rambutnya. Mengenakan pakaian laki-laki, terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata dan menggunakan sesuatu didalam pakaian dalamnya sehingga menciptakan kesan berpenis. Butch yang berpakaian maskulin seringkali lebih berperan sebagai seorang “laki-laki” baik dalam suatu hubungan dengan pasangannya, maupun saat berhubungan seks. Stone Butch sering kali disebut dengan Strong Butch dalam istilah lain untuk lebel lesbian ini.

d) Femme

Femme atau popular dengan istilah femme lebih mengadopsi peran sebagai “feminin” dalam suatu hubungan dengan pasangannya. Femme yang berpakaian “feminin” selalu digambarkan mempunyai rambut panjang dan berpakaian feminin. Femme sering kali digambarkan atau mempunyai stereotype sebagai pasangan yang pasif dan hanya menunggu atau menerima saja.

(45)

commit to user F. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kerangka teori yang sudah dipaparkan diatas, maka tergambar beberapa konsep yang akan dijadikan sebagai acuan peneliti dalam mengaplikasikan penelitian ini.

Alur dalam gambar di atas menunjukkan bahwa setiap individu lesbian saling berinteraksi dengan sesama lesbian melalui komunikasi interpersonal. Dalam

Individu Lesbian

Pengungkapan diri

Peran Komunikan Peran Komunikator

Teori Pembuatan dan Penerimaan pesan

Komunikasi Interpersonal

Komunikasi Verbal Komunikasi Nonverbal

Pola Komunikasi Interpersonal

Membangun sebuah hubungan

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya Ornstein, (1990) dalam (Mulyasa, 2007) merekomen- dasikan bahwa untuk membuat RPP yang efektif harus berdasarkan pengetahuan terhadap: tujuan umum sekolah,

Bentuk apresiasi tersebut salah satunya dapat diwujudkan dengan tetap menjaga eksistensi batik Indonesia, menciptakan motif-motif baru yang sebelumnya belum pernah dibuat dan

2 Tahun 2008 tetang Partai Politik, bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara

(2) Tarif jasa layanan di bidang inseminasi buatan dan manajemen peternakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam kontrak kerja sama

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian Aset Valuta Asing, Kewajiban Valuta Asing, dan Rasio Lindung Nilai minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta batasan nilai

Dugaan subdivisi genetik pada populasi ikan ini juga didukung oleh data frekuensi ha- plotipe; frekuensi dua jenis haplotipe yang pa- ling sering muncul (ABA dan ABB), pada po-

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan yang dengan menggunakan analisis deskriptif dan inferensial, maka hasil yang diperoleh yaitu analisis deskriptif