• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TENTANG TANDA DAN GEJALA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TENTANG TANDA DAN GEJALA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

TENTANG TANDA DAN GEJALA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

SKRIPSI

OLEH:

JUDITH NATHANIEL 180100213

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

TENTANG TANDA DAN GEJALA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

OLEH:

JUDITH NATHANIEL 180100213

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Mahasiswi Fakultas Kedokteran USU tentang Tanda dan Gejala Sindroma Ovarium Polikistik”, yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini dapat diselesaikan atas dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, penu- lis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedok- teran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Dwi Faradina, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga, serta memberikan arahan, masukan, dukungan, dan motivasi selama proses bimbingan skripsi ini.

3. dr. Badai Buana Nasution, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku ketua penguji yang telah memberikan saran dan nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. dr. Muhammad Rizki Yaznil, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp. BS(K) selaku dosen penasehat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Su- matera Utara.

6. Yang teristimewa ayah tercinta Edysan Suharno, ibu tersayang Lany Soekowati, dan adik saya Jonathan Andersan yang telah memberikan dukungan, semangat dan mendoakan penulis selama mengerjakan skripsi ini.

7. Teman-teman sejawat FK USU 2018 yang selalu memberikan dukungan dalam mengejar impian kita.

(5)

ii

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, saya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan, khususnya bagi pembaca skripsi ini.

Medan, 24 November 2021 Penulis,

Judith Nathaniel

(6)

iv DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan... i

Kata Pengantar... ii

Daftar Isi... iv

Daftar Gambar... vii

Daftar Tabel... viii

Daftar Singkatan... ix

Abstrak... xi

Abstract... xii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang... 1

2. Rumusan Masalah... 2

3. Tujuan Penelitian... 3

1.3.1 Tujuan Umum... 3

1.3.2 Tujuan Khusus... 3

4. Manfaat Penelitian... 3

1.4.1 Manfaat untuk pendidikan... 3

1.4.2 Manfaat untuk mahasiswa... 3

1.4.3 Manfaat untuk penulis... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Sindroma Ovarium Polikistik... 5

2.1.1 Definisi... 5

2.1.2 Epidemiologi... 5

2.1.3 Faktor Resiko... 6

2.1.4 Etiologi... 6

2.1.5 Patofisiologi... 7

2.1.6 Manifestasi Klinis... 11

2.1.7 Penegakkan Diagnosis... 12

2.1.8 Tatalaksana... 18

(7)

v

2.1.9 Komplikasi dan Prognosis... 25

2.1.10 Pengaruh SOPK Terhadap Infertilitas... 27

2.2 Pengetahuan... 27

2.2.1 Definisi... 27

2.2.2 Tingkat Pengetahuan... 28

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan... 28

2.3 Sikap... 30

2.3.1 Definisi... 30

2.3.2 Komponen Pokok Sikap... 30

2.3.3 Tingkat sikap... 30

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Sikap... 31

2.4 Perilaku... 32

2.4.1 Definisi... 32

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku... 32

2.5 Kerangka Teori... 34

2.6 Kerangka Konsep... 35

BAB III. METODE PENELITIAN... 36

3.1 Jenis Penelitian... 36

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian. ... 36

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 36

3.3.1 Populasi Target... 36

3.3.2 Populasi Terjangkau... 36

3.3.3 Sampel... 37

3.3.4 Besar Sampel... 37

3.4 Metode Pengumpulan Data... 38

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas... 38

3.5.1 Uji Validitas... 38

3.5.2 Uji Reliabilitas... 39

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 39

3.6.1 Metode Pengolahan Data... 39

3.6.2 Metode Analisis Data... 40

(8)

vi

3.7 Definisi Operasional... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 45

4.1 Hasil………... 45

4.2 Pembahasan…... 55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………... 60

5.1 Kesimpulan……... 60

5.2 Saran……...…... 60

DAFTAR PUSTAKA... 62

LAMPIRAN... 65

(9)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Efek peningkatan insulin terhadap kadar androgen... 8

2.2 Dampak Resistensi Insulin pada penderita SOPK... 11

2.3 Hirsutisme... 12

2.4 Achantosis Nigricans... 13

2.5 Modified Ferriman-Gallwey Score (mFG score 10)... 15

2.6 Gambaran SOPK pada Ultrasonografi ... 16

2.7 Bedah Laparoskopi Ovarium... 23

2.8 Pengangkatan kista ovarium dengan teknik Laparoskopi... 23

2.9 IVF Procedure... 24

2.10 Embryo Transfer pada IVF... 25

2.11 Kerangka Teori ... 34

2.12 Kerangka Konsep ... 35

(10)

viii DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Guideline diagnosis SOPK berdasarkan berbagai kriteria... 18 3.1 Definisi Operasional ... 43 4.1 Tabel Karakteristik Responden ... 45 4.2 Distribusi Frekuensi Gejala yang Pernah Dialami Responden 46 4.3 Distribusi Frekuensi Gambaran Pengetahuan Responden

Terhadap Tanda dan Gejala SOPK………. 47 4.4 Persentase Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Tanda

dan Gejala SOPK…..……….. 48 4.5 Distribusi Frekuensi Gambaran Sikap Responden Terhadap

Tanda dan Gejala SOPK………. 49 4.6 Persentase Tingkat Sikap Responden Terhadap Tanda dan

Gejala SOPK…..………. 51 4.7 Distribusi Frekuensi Gambaran Perilaku Responden Terhadap

Tanda dan Gejala SOPK………. 52 4.8 Persentase Tingkat Perilaku Responden Terhadap Tanda dan

Gejala SOPK…..………. 54 4.9 Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Sikap Responden Ter-

hadap Tanda dan Gejala SOPK…..………. 54 4.10 Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Perilaku Responden

Tehadap Tanda dan Gejala SOPK …..………...……. 54 4.11 Hubungan Tingkat Sikap dan Tingkat Perilaku Responden Terhadap

Tanda dan Gejala SOPK…..………...………. 55

(11)

ix

DAFTAR SINGKATAN 17-OHP : 17-Hidroksiprogesteron ACTH : Adrenocorticotropic hormone AMH : Anti Mullerian Hormone AUC : Area Under the Curve

CAH : Congenital Adrenal Hyperplasia CAMP : Cyclic adenosine monophosphate DHEAS : Dehydroepiandrosterone sulfate FSH : Follicle Stimulating Hormone GIFT : Gamete Intrafallopian transfer GnRH : Gonadotropin-releasing hormone HCG : Human Chorionic Gonadotropin HMG : Human Menopausal Gonadotropin IVF : In Vitro Fertilization

LDL : Low-Density Lipoprotein

LH : Luteinizing Hormone

OHSS : Ovarian Hyperstimulation Syndrome SHBG : Sex hormone binding globulin SOPK : Sindroma Ovarium Polikistik TSH : Thyroid stimulating hormone USG : Ultrasonografi

ZIFT : Zygote intrafallopian transfer

(12)

x

ABSTRAK

Latar Belakang. Sindroma Ovarium Polikistik(SOPK)adalah kumpulan gejala yang terjadi pada wanita usia reproduktif yang meliputi kelainan endokrin dan kelainan metabolik. Sindroma Ovar- ium Polikistik (SOPK) melibatkan ketidakseimbangan kadar LH dan FSH, resistensi insulin, dan kelainan metabolisme. Hiperandrogenisme dikaitkan sebagai penyebab utama terjadinya gangguan metabolisme dan gangguan ovulasi pada pasien SOPK. Karena gejala yang cukup umum, SOPK sering tidak disadari dan dibiarkan sehingga beresiko menyebabkan komplikasi, salah satunya in- fertilitas. Pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik tentang tanda dan gejala SOPK dapat men- jadi langkah yang tepat untuk melakukan deteksi dini sehingga mengurangi resiko terjadinya kom- plikasi. Tujuan Penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ten- tang tanda dan gejala SOPK. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode observasional deskriptif (non eksperimental). Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data pirmer yang diperoleh melalui kuesioner dari aplikasi Google Form yang sudah divalidasi sebe- lumnya. Sampel penelitian merupakan mahasiswi FK USU angkatan 2018 dan 2019. Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Stratified Random Sampling. Hasil Penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, didapati tingkat Pengetahuan Baik (68,42%), Cukup (28,95%), Kurang (2,63%), tingkat Sikap Positif (39,47%), tingkat Sikap Negatif (60,53%), tingkat Perilaku Positif (44,74%), dan tingkat Perilaku Negatif (55,26%). Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa tingkat pengetahuan mahasiswi FK USU dikategorikan baik, sedangkan tingkat sikap dan perilaku lebih banyak mendapat nilai negatif dibandingkan positif. Diperoleh juga tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat sikap, serta tingkat pengetahuan dan tingkat perilaku mahasiswi FK USU tentang tanda dan gejala SOPK. Namun didapati hub- ungan antara tingkat sikap dan tingkat perilaku mahasiswi FK USU tentang tanda dan gejala SOPK.

Kata Kunci: Sindroma Ovarium Polikistik, Tanda dan Gejala, Infertilitas, SOPK

(13)

xii

ABSTRACT

Background. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) is a combination of symptoms that occur in women of reproductive age which include endocrine and metabolic disorders. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) involves imbalanced levels of luteinizing hormone (LH) and follicle-stimulating hormone (FSH), insulin resistance, and metabolic disorders. Hyperandrogenism is associated as the main cause of metabolic disorders and ovulation disorders in PCOS patients. Due to the fairly common symptoms, Polycystic Ovarian Syndrome is often not realized and left unattended, so it is at risk of causing complications, one of which is infertility. Knowledge, attitude, and good behav- ior about the sign and symptoms of PCOS can be the right step for early detection so as to reduce the risk of complications. Aim. The purpose of this study was to describe the level of knowledge, attitude, and behavior of students from the Faculty of Medicine, University of North Sumatra about the sign and symptoms of Polycystic Ovarian Syndrome. Method. This research is a de- scriptive observational study (non experimental). The data used in this study is primary data ob- tained through a questionnaire from the Google Form application that has been previously vali- dated. The research sample was USU Medical Faculty female students of 2018 and 2019. The sampling method used in this study was Stratified Random Sampling. Results. Based on the data obtained, it was found that the level of knowledge was good (68.42%), adequate (28.95%), poor (2.63%), positive attitude level (39.47%), negative attitude level (60.53%). ), positive behavior (44.74%), negative behavior (55.26%). Conclusion. Based on the results of the study, it was found that the level of knowledge of USU Medical Faculty students was categorized as good, while the level of attitudes and behavior received more negative scores than positive. It was also found that there was no relationship between the level of knowledge and the level of attitude, as well as the level of knowledge and behavior level of USU Medical Faculty students about signs and symptoms of PCOS. However, it was found that there was a relationship between the level of attitude and the level of behavior of USU Medical Faculty students regarding the signs and symptoms of PCOS.

Keywords: Polycystic Ovarian Syndrome, sign and symptom, Infertility, PCOS

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) telah dikenal hampir satu abad yang lalu, oleh Irving Stein dan Michael Levental pada tahun 1935. SOPK merupakan ke- lainan hormonal yang paling sering terjadi pada wanita usia remaja dan wanita usia subur di dunia. Gangguan endokrin ini mempengaruhi 5-8% wanita usia produktif (Futterweit dan Mechanick, 1988; Dahlgren et al. 1991; Solomon, 1999; Chang, 2002).

Gambaran klinis utama SOPK adalah oligomenorea, hirsutisme, dan akne vulgaris. Kondisi ini berhubungan dengan anovulasi dan infertilitas dan ditandai dengan resistensi insulin, kadar estrogen yang berlebihan, dan peningkatan konsentrasi androgen. Wanita dengan SOPK memiliki prevalensi obesitas yang lebih tinggi, toleransi glukosa yang terganggu, dan diabetes tipe II, serta berisiko terkena sindrom kardiometabolik yang meliputi hipertensi, dislipidemia, obesitas viseral dan resistensi insulin (Fauser, 2004; Broekmans et al., 2006).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan sebanyak 25% pasangan suami istri mengalami infertilitas dan penyebabnya 64% karena kelainan pada wanita (Munir, 2019). Prevalensi infertilitas di Indonesia dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 adalah 15-25% dari seluruh pasangan suami istri (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Seorang wanita menjadi infertil disebabkan oleh berbagai faktor risiko salah satunya adalah SOPK (Saftarina dan Putri, 2016). Wanita usia subur yang tersebar di dunia kurang lebih 20% mengidap SOPK.

Di Indonesia belum ada data resmi jumlah wanita pengidap SOPK, namun sebagai gambaran pada Rumah Sakit Dharmais tercatat 30 pasien tiap tahunnya.

Data seluruh pasien SOPK di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan ada 116 orang wanita usia subur pada tahun 2008-2012 (Dumaris et al, 2012).

(15)

Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan melalui proses sensoris, terutama pada mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open behavior (Donsu, 2017). Menurut Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan perilaku merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manu- sia dengan lingkunganya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tin- dakan (Notoatmojo, 2010).

Sesuai dengan judul, penulis ingin mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswi FK USU tentang tanda dan gejala SOPK. Karena gejala yang cukup umum, SOPK sering tidak disadari dan dianggap sebagai perma- salahan biasa. Padahal SOPK menjadi salah satu kelainan ovulasi terbanyak yang dapat menyebabkan infertilitas pada pasangan yang sedang merencanakan kehami- lan. Hal tersebut mendasari keinginan penulis untuk melakukan penelitian ini.

Pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik tentang tanda dan gejala SOPK dapat menjadi langkah yang tepat untuk melakukan deteksi dini dan penanganan secepat- nya.

Deteksi dini dan penanganan yang cepat sangat penting dalam mengurangi komplikasi dan mempertahankan kesuburan pada pasien SOPK yang berusia dibawah 35 tahun, sehingga dapat membuka peluang bagi pasangan yang ingin mendapatkan keturunan (Yoshinori et al, 2016).

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas, maka penulis merasa perlu dil- akukan penelitian mengenai Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tentang tanda dan gejala SOPK‘.

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswi Fakultas Kedokteran USU tentang tanda dan gejala SOPK?”

(16)

3. TUJUAN PENELITIAN 1. TUJUAN UMUM

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswi Fakultas Kedokteran USU mengenai SOPK.

2. TUJUAN KHUSUS

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswi FK USU tentang de- fenisi, tanda dan gejala serta akibat yang ditimbulkan pada SOPK.

2. Untuk mengetahui sikap mahasiswi FK USU terhadap defenisi, tanda dan gejala serta akibat yang ditimbulkan pada SOPK.

3. Untuk mengetahui perilaku mahasiswi FK USU terhadap defenisi, tanda dan gejala serta akibat yang ditimbulkan pada SOPK.

4. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap mahasiswi FK USU tentang defenisi, tanda dan gejala serta akibat yang ditimbulkan pada SOPK.

5. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku maha- siswi FK USU tentang defenisi, tanda dan gejala serta akibat yang ditim- bulkan pada SOPK.

6. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan perilaku mahasiswi FK USU tentang defenisi, tanda dan gejala dan akibat yang ditimbulkan pada SOPK.

5. MANFAAT PENELITIAN

5.1. MANFAAT UNTUK PENDIDIKAN

Manfaat penelitian ini untuk pendidikan adalah untuk menjadi bahan referensi literatur dan inspirasi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

5.2. MANFAAT UNTUK MAHASISWA

(17)

Manfaat penelitian ini untuk mahasiswa adalah untuk menambah wawasan ma- hasiswa kedokteran mengenai SOPK. Sehingga mahasiswa mampu menjelaskan dan mengedukasi masyarakat tentang tanda dan gejala, serta akibat yang ditim- bulkan SOPK.

5.3. MANFAAT UNTUK PENULIS

Manfaat penelitian ini untuk penulis adalah untuk menambah wawasan penulis tentang SOPK, dan menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan penulis da- lam melakukan penelitian. Penelitian ini juga menambah pengalaman penulis se- hingga diharapkan penulis dapat lebih baik dalam melakukan penelitian selanjut- nya.

(18)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK ( SOPK ) 1. DEFINISI

Sindroma Ovarium Polikistik adalah salah satu gangguan hormonal dan metabolik yang paling umum pada wanita pramenopause yang ditandai oleh kombinasi gejala hiperandrogenisme , siklus menstruasi yang tidak teratur, dan gambaran kista kecil yang banyak pada ovarium. Gejala hiperandrogensime pada SOPK ditandai oleh akne vulgaris, alopecia, dan hirsutisme. Pada SOPK juga ser- ing dijumpai sindroma metabolik seperti obesitas dan diabetes melitus.

2. EPIDEMIOLOGI

Sindroma Ovarium Polikistik adalah salah satu gangguan endokrin yang paling umum dan penyebab utama infertilitas anovulasi pada wanita usia reproduksi (15- 49 tahun) (Balen et al, 2016). Secara global, estimasi prevalensi SOPK berkisar antara 5% dan 15% (Azziz, 2016). Studi menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK memiliki resiko obesitas, dislipidemia, gangguan toleransi glukosa, dan komplikasi jangka panjang yang lebih berat secara signifikan seperti diabetes, kanker endometrium, dan penyakit kardiovaskular (Peigne dan Dewailly, 2014).

Sindroma Ovarium Polikistik menyebabkan 5-10% wanita usia reproduktif mengalami infertilitas. Berdasarkan penelitian oleh Wahyuni tahun 2015, terdapat 67 dari 93 pasien SOPK yaitu sekitar 72,04% mengalami infertilitas. Pada penelitian Wiweko dan Mulya pada tahun 2008, terdapat 61% responden SOPK yang mengalami infertilitas. Hasil penelitian Rusnasari tahun 2005 terdapat 100%

responden SOPK yang mengalami infertilitas yang terdiri dari 91,4% infertilitas primer dan 8,6% infertilitas sekunder.

3. FAKTOR RESIKO

(19)

Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan Sindroma Ovarium Polikistik ( SOPK ) yaitu gangguan menstruasi, riwayat infertilitas , adanya riwayat diabetes melitus dalam keluarga, riwayat ibu mengalami gangguan menstruasi, gangguan mood, dan rendahnya aktivitas fisik. Sebagian besar pasien SOPK memiliki riwayat gangguan menstruasi dan anovulasi. Riwayat penyakit diabetes melitus dalam keluarga dan riwayat ibu yang pernah mengalami gangguan menstruasi juga meningkatkan resiko SOPK yang cukup signifikan. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan penumpukan lemak dan dapat berakibat pada terjadinya obesitas. Obesitas menjadi salah satu faktor resiko terjadinya SOPK.

Berdasarkan evaluasi mental pada wanita SOPK didapati bahwa gangguan mood juga dapat meningkatkan resiko SOPK. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah SOPK adalah dengan menjalankan diet yang tepat dan rajin berolahraga (Bao Shan, 2015).

4. ETIOLOGI

Penyebab dari Sindroma Ovarium Polikistik ( SOPK ) belum diketahui dengan pasti. Gangguan siklus ovulasi dan malfungsi enzim yang berperan pada sintesis estrogen di ovarium diduga sebagai faktor pencetusnya (Baziad, 2012). Etiologi SOPK juga dikaitkan dengan kadar hormon yang tidak stabil atau abnormal (NHS, 2016).

Berikut ini adalah beberapa etiologi SOPK:

a. Resistensi Insulin

Insulin merupakan hormon yang disekresi oleh pankreas untuk mengendalikan jumlah glukosa di dalam darah. Insulin berfungsi untuk memindahkan glukosa dari darah ke dalam sel, kemudian diubah untuk menghasilkan energi. Jika tubuh men- galami resisten terhadap insulin , tubuh harus menghasilkan insulin lebih banyak untuk mengimbanginya. Tingkat insulin yang tinggi menyebabkan ovarium memproduksi lebih banyak testosteron, yang mengganggu perkembangan folikel (kantung di ovarium tempat ovum berkembang) dan mengganggu siklus ovulasi normal. Resistensi insulin dapat juga menyebabkan peningkatan berat badan, yang

(20)

dapat menyebabkan manifestasi SOPK semakin parah. Lemak yang berlebih mengakibatkan tubuh memproduksi lebih banyak insulin (NHS, 2016).

b. Ketidakseimbangan Hormonal

Banyak wanita dengan SOPK mengalami ketidakseimbangan hormon tertentu, termasuk:

1. Peningkatan kadar Testosteron atau hormon yang sering disebut sebagai hormon laki-laki, walaupun wanita juga memproduksinya dalam jumlah kecil.

2. Peningkatan kadar LH yang merangsang terjadinya ovulasi, namun jika ka- darnya terlalu tinggi dapat menyebabkan kelainan pada ovarium.

3. Penurunan kadar SHBG yang merupakan protein dalam darah. SHBG berfungsi untuk mengikat testosteron dan mengurangi efek testosteron.

4. Peningkatan kadar Prolaktin yaitu hormon yang merangsang kelenjar mamae untuk memproduksi ASI pada kehamilan. Peningkatan kadar prolaktin jarang ditemukan pada pasien SOPK (NHS, 2016).

c. Genetik

Gen yang berperan pada terjadinya SOPK yaitu gen CYP11a dan gen reseptor insulin pada kromosom 19p13.2. Gen CYP11a terdapat pada sel techa di ovarium yang berfungsi untuk mengkode cholesterol side-chain cleavage enzyme yaitu en- zim yang berfungsi sebagai rate limiting step dalam proses biosintesis steroid.

Beberapa ahli mengatakan terdapat peningkatan DHEAS yang cukup signifikan pada perempuan dengan SOPK yang memiliki gen autosomal dominan, first-degree male relatives dibandingkan dengan laki - laki pada kontrol (Wonggokusuma, 2014).

5. PATOFISIOLOGI a. Kelainan Androgen

Hiperandrogenisme adalah salah satu gejala pasien dengan SOPK. Hiperandro- genisme terjadi oleh karena meningkatnya produksi androgen pada ovarium dan

(21)

kelenjar suprarenal. Sekitar 60- 80% pasien SOPK memiliki konsentrasi Testos- teron yang lebih tinggi dalam darah. Androgen yang meningkat pada SOPK seperti Testosteron, Androstenedion, DHEA, DHEA-S, dan 17-OHP. Peningkatan produksi hormon androgen di ovarium disebabkan oleh karena peningkatan stimu- lasi bioaktivasi LH oleh insulin. Belum ada penjelasan mengenai peningkatan produksi androgen oleh kelenjar suprarenal pada pasien SOPK (Mervinna, 2016).

Ovarium polikistik memiliki lapisan sel techa yang tebal dan pada uji in vitro.

Ovarium polikistik mensekresikan hormon androgen dalam jumlah besar pada keadaan basal maupun pada stimulasi LH. Belum diketahui pasti penyebab dari reaksi hiperaktivitas ini, tetapi diperkirakan terdapat gangguan jalur sinyal pada in- trasel (Mervinna, 2016).

Gambar 2.1. Efek peningkatan insulin terhadap kadar androgen Sumber : Research Gate

b. Gangguan Folikulogenesis

Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada SOPK adalah 2-6 kali lebih banyak daripada ovarium normal. Mekanisme dasarnya belum diketahui secara pasti , tetapi kemungkinan ada hubungannya dengan gangguan pensinyalan pada androgen. Beberapa penelitian mengatakan adanya hubungan positif antara jumlah folikel dengan kadar Testosteron dan Androstenedion serum. Penyuntikan dihidroTestosteron pada monyet juga menghasilkan morfologi yang mirip dengan

(22)

SOPK , yaitu peningkatan volume ovarium dan penambahan jumlah folikel (Mervinna, 2016).

Selain efek dari androgen , peningkatan jumlah folikel juga mempengaruhi laju perkembangan folikel. Pada SOPK, perkembangan folikel terjadi sangat lambat.

Hal ini disebabkan karena berkurangnya sinyal pertumbuhan dari oosit atau efek inhibisi AMH (Anti Mullerian Hormon) yang berlebihan (Mervinna, 2016).

Perkembangan folikel pada SOPK berhenti ketika diameternya kurang dari 10 mm, yaitu pada tahap sebelum munculnya folikel dominan. Perkembangan folikel yang berhenti ( follicular arrest ) ini berkaitan dengan meningkatnya stimulasi in- sulin ,peningkatan LH dan, kondisi hiperandrogen, yang menyebakan peningkatan konsentrasi cAMP di dalam sel granulosa. Kadar cAMP intraseluler yang mening- kat menyebabkan diferensiasi terminal sel granulosa terjadi lebih awal. Diferensiasi prematur ini menyebabkan sel granulosa bereaksi terhadap stimulasi LH untuk mensekresikan estrogen dan progesteron ketika ukuran folikel ≤ 8 mm (Mervinna, 2016).

Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH yang ditandai oleh terjadinya luteinisasi prematur pada ovarium pasien SOPK dengan hiperinsuline- mia. Gangguan metabolisme glukosa memiliki hubungan yang erat dengan ter- jadinya anovulasi pada pasien SOPK. Pada SOPK Tanpa anovulasi , hanya terjadi hipersekresi hormon androgen oleh folikel. Sedangkan pada SOPK dengan anovu- lasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen. Estrogen yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh folikel memberikan umpan balik negatif terhadap FSH (Mervinna, 2016).

c. Gangguan Sekresi Gonadotropin

Pada SOPK terjadi peningkatan sekresi LH dengan kadar FSH yang normal atau cenderung lebih rendah. Sehingga rasio LH : FSH menjadi besar. Peningkatan ka- dar LH disebabkan oleh karena perubahan pola sekresi , terutama oleh karena pen- ingkatan frekuensi pulsatilitas LH menjadi 1 pulsasi/jam. Kadar FSH yang lebih rendah disebabkan oleh karena peningkatan kadar estradiol, estron, dan inhibin B.

(23)

Kadar FSH yang relatif lebih rendah menyebabkan terjadinya gangguan perkem- bangan folikel, dan kadar LH yang lebih tinggi meningkatkan produksi androgen pada ovarium. Konsentrasi androgen yang tinggi pada SOPK menyebabkan hipotal- amus sensitif terhadap umpan balik negatif oleh progesteron, yang bersifat reversi- bel bila diberikan obat anti-androgen. Dapat disimpulkan bahwa gangguan sekresi gonadotropin pada SOPK merupakan dampak sekunder dari gangguan sekresi ster- oid pada ovarium dan kelenjar suprarenal (Mervinna , 2016).

d. Gangguan kerja Insulin

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada 50-75% penderita SOPK.

Pada penderita SOPK terjadi resistensi insulin perifer. Hal tersebut mirip dengan yang terjadi pada Diabetes Melitus tipe 2 dimana terjadi penurunan uptake glukosa oleh insulin sebesar 35-40%. Resistensi insulin yang terjadi pada SOPK bersifat selektif, artinya hanya resisten terhadap beberapa jaringan seperti pada jaringan otot, tetapi sensitif pada jaringan lain seperti suprarenal dan ovarium (Mervinna, 2016).

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya hiperandrogenisme dan gangguan sekresi gonadotropin , melalui :

1. Menurunkan kadar SHBG sehingga meningkatkan biovailabilitas Testos- teron dalam darah.

2. Berperan sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan kelenjar suprarenal.

3. Meningkatkan kualitas kerja LH sehingga secara sinergis meningkatkan produksi androgen.

(24)

Memberikan efek langsung pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk menga- tur pelepasan gonadotropin. Mekanismenya belum jelas (Mervinna, 2016).

Gambar 2.2. Dampak Resistensi Insulin pada penderita SOPK Sumber : The New England Journal of Medicine

Sekitar 10-65% perempuan dengan SOPK mengalami kelebihan berat badan dan obesitas sentral yang berdampak pada metabolisme insulin. Akan tetapi, re- sitensi insulin bukan merupakan gambaran umum dari SOPK. Berdasarkan data RSCM, 75% pasien dengan SOPK mengalami resistensi insulin dengan rata-rata indeks massa tubuh mencapai 28,6 kg/m2 (Mervinna, 2016).

6. MANIFESTASI KLINIS

Sindroma Ovarium Polikistik adalah kondisi yang heterogen, gejala ini sering muncul pertama kali pada masa remaja. Meskipun gejalanya bervariasi dalam tingkat keparahannya dan juga dapat berubah seiring bertambahnya usia. Gambaran utama pasien SOPK adalah menstruasi yang tidak teratur, akne vulgaris, hirsutisme,

(25)

alopecia, adipositas sentral dan gangguan kesuburan. Banyak gejala yang terkait dengan SOPK telah terbukti mengarah pada penurunan kualitas hidup terkait kesehatan dan mengakibatkan depresi dan kecemasan. Hal tersebut umumnya dilaporkan pada wanita dengan SOPK, terlepas dari status berat badan. Meskipun obesitas adalah ciri umum SOPK, wanita kurus juga berisiko lebih tinggi terhadap penyakit ini jika dibandingkan dengan kontrol (Yvonne dan Sue, 2017).

Gambar 2.3. Hirsutisme Sumber : Conquer SOPK

7. PENEGAKAN DIAGNOSIS a. Anamnesis

Pada anamnesa, biasanya dijumpai menstruasi yang tidak teratur, pertumbuhan rambut berlebih (hirsutisme), jerawat, achantosis nigricans pada pasien dengan ri- wayat hiperinsulinemia, dan obesitas. Pada pasien yang Sudah menikah, dijumpai infertilitas. Dan dapat juga disertai gangguan haid lainnya yaitu oligomenore dan menorrhagia.

(26)

Gambar 2.4. Achantosis Nigricans Sumber : National Center for Biotechnology

b. Pemeriksaan Fisik 1. Siklus Menstruasi

Peningkatan sekresi gonadotropin merangsang sekresi estrogen ovarium dan perkembangan folikel. Estrogen meningkatkan pertumbuhan uterus dan proliferasi endometrium. Paparan estrogen pada endometrium pada akhirnya memuncak pada perdarahan vagina dan menarche. Sebuah studi menemukan bahwa usia rata-rata saat menarche untuk anak perempuan Amerika adalah 12,25 tahun, dengan usia menarche yang lebih rendah pada anak perempuan kulit hitam dan Hispanik dibandingkan dengan perempuan kulit putih dan Asia. Pada usia 15 tahun, 98%

anak perempuan akan mengalami menarche (Selma et al, 2019).

Pemahaman kontemporer adalah bahwa dibutuhkan waktu 3 sampai 4 tahun pascamenarke untuk siklus menstruasi orang dewasa hingga matang. Pada tahun ketiga setelah menarche, 10 atau lebih menstruasi terjadi setiap tahun pada 90%

remaja perempuan. Sekitar 41% anak perempuan telah mencapai siklus ovulasi pada tahun ke empat setelah menarche. Yang penting, ovulasi dapat terjadi meskipun menstruasi tidak teratur (Selma et al, 2019).

(27)

Remaja oligomenore cenderung mengalami oligomenore persisten. Amenore sekunder selama> 90 hari jarang terjadi dan memerlukan pertimbangan tambahan.

Anak perempuan yang mengalami amenore primer pada usia 15 sampai 16 tahun membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Selma et al, 2019).

Gangguan menstruasi yang biasa diamati pada SOPK termasuk oligomenore, amenore, dan perdarahan menstruasi yang berkepanjangan. Namun, 30% wanita dengan SOPK akan mengalami menstruasi normal. Sekitar 85% - 90% wanita dengan oligomenore mengalami SOPK sementara 30% - 40% wanita dengan amenore akan mengalami SOPK. ( Susan dan Kristen, 2013 )

2. Hiperandrogenisme

Hirsutisme, yang didefinisikan sebagai pertumbuhan rambut terminal yang berlebihan pada wanita, adalah tanda klinis utama dari hiperandrogenisme. Sistem penilaian Ferriman-Gallwey semisubjektif yang dimodifikasi adalah salah satu pendekatan yang banyak digunakan. Tingkat gambaran klinis hiperandrogenisme merupakan interaksi antara konsentrasi androgen dalam sirkulasi, konsentrasi androgen lokal, dan sensitivitas unit pilosebasea / folikel rambut terhadap androgen.

Tingkat keparahan hirsutisme tidak berhubungan dengan konsentrasi androgen yang ada di sirkulasi. Variasi etnis dan genetik mempengaruhi perkembangan hirsutisme. Tanda-tanda kelebihan androgen pada kulit termasuk jerawat kistik yang parah dan pola kebotakan pria pada wanita (Selma et al, 2019).

Hiperandrogenisme biokimia dikonfirmasi dengan dokumentasi konsentrasi androgen serum yang meningkat. Satu peringatan adalah pentingnya mengukur androgen menggunakan tes kualitas tinggi seperti kromatografi immunoassay.

Testosteron bebas, indeks androgen bebas, bioavailabilitas testosteron, androstenedion, dan DHEAS dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Pe- nentuan testosteron dapat dipengaruhi oleh beberapa masalah, termasuk sensitivitas pengujian yang tidak memadai untuk mengukur konsentrasi rendah secara akurat, rentang normal yang terbatas, gangguan pengujian karena molekul steroid atau SHBG lain, dan aspek teknis dari metodologi pengujian. Mengingat hal ini, proyek Canadian Laboratory Initiative in Pediatric Reference Intervals (CALIPER) telah

(28)

mengembangkan metodologi kromatografi cair-tandem yang sensitif dan akurat untuk mengukur 8 steroid secara bersamaan. Mengukur 11-okso-androgen sangat spesifik sebagai metode untuk menilai hiperandrogenisme (Selma et al, 2019).

Gambar 2.5. Modified Ferriman-Gallwey Score (mFG score 10 ) Sumber : Research Gate

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Ultrasonografi

Morfologi ovarium polikistik didefinisikan sebagai ovarium yang membesar dengan peningkatan stroma dan kista perifer yang lebih kecil. The Androgen Excess-SOPK Society Task Force merekomendasikan bahwa SOPK didefinisikan sebagai ≥ 20 folikel per ovarium menggunakan probe transvaginal dan teknologi resolusi tinggi (frekuensi transduser ≥8 MHz). Namun, penilaian morfologi ovarium sulit dilakukan pada remaja perempuan karena peningkatan stimulasi gonadotropin menyebabkan peningkatan volume ovarium dan pertumbuhan folikel, sehingga menimbulkan munculnya ovarium multifolikuler pada remaja perempuan.

Selain itu, penggunaan probe transvaginal bermasalah pada remaja perempuan.

SOPK adalah temuan yang tidak konsisten pada remaja putri dan tidak terkait

(29)

dengan anovulasi atau kelainan metabolik. Oleh karena itu, USG ovarium tidak diperlukan pada remaja perempuan (Selma et al, 2019).

Gambar 2.6. Gambaran SOPK pada Ultrasonografi Sumber : Learning Radiology

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pendekatan untuk evaluasi wanita dengan tanda dan gejala SOPK dimulai dengan riwayat menyeluruh, termasuk riwayat keluarga dan pemeriksaan fisik lengkap. Evaluasi laboratorium individual biasanya mencakup fungsi tiroid serta penentuan konsentrasi prolaktin, testosteron total, androstenedion, SHBG, DHEAS, dan 17-hidroksiprogesteron. Tes testosteron bebas harus dihindari karena sensitivitas, akurasi, dan reproduktifitas tes yang tersedia tidak memadai. Glukosa puasa, HbA1c, dan konsentrasi lipid juga harus diperiksa. Idealnya, sampel darah harus diambil sebelum jam 8:30 pagi. Jika CAH merupakan kemungkinan diagnostik, tes stimulasi ACTH dapat diperoleh. Titik potong basal 17- hidroksiprogesteron > 200 ng / dL telah disarankan sebagai ambang batas untuk melakukan tes stimulasi ACTH. Namun demikian, jika gambaran klinisnya sangat mengarah kepada defisiensi enzim steroidogenik, tes stimulasi ACTH mungkin

(30)

diperlukan. Pencitraan adrenal dan panggul dapat dipertimbangkan tergantung pada informasi klinis, pemeriksaan fisik, dan data laboratorium awal (Selma et al, 2019).

Konsentrasi AMH sering meningkat pada wanita dengan SOPK. Konsentrasi AMH menunjukkan cadangan ovarium dan berhubungan dengan jumlah folikel yang terbentuk. Meskipun terlalu dini untuk menggunakan konsentrasi AMH untuk mendiagnosis SOPK, konsentrasi AMH telah ditemukan lebih tinggi pada wanita obesitas dengan SOPK dibandingkan dengan wanita obesitas tanpa SOPK dengan usia dan status pubertas yang sebanding (Selma et al, 2019).

Resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan obesitas umumnya ditemukan pada wanita dengan SOPK. Namun, dengan pengecualian dari satu publikasi, tidak ada definisi, rekomendasi, atau pedoman saat ini yang memasukkan IR dan / atau hiperinsulinemia sebagai fitur diagnostik (Selma et al, 2019).

Oleh karena itu, diagnosis SOPK dapat dipertimbangkan untuk remaja perempuan dengan oligomenore yang menetap selama 3 sampai 4 tahun pascamenarche dengan hiperandrogenisme klinis dan / atau biokimia setelah menyingkirkan gangguan lain yang terkait dengan menstruasi tidak teratur atau hiperandrogenisme. Jika oligomenore tidak bertahan selama> 2 tahun, remaja per- empuan dapat dianggap "berisiko" untuk SOPK dan memerlukan evaluasi longitudinal untuk menilai fitur SOPK yang sedang berlangsung. Diagnosis yang ditunda mencoba untuk menghindari diagnosis berlebih dengan potensi pelabelan dini, kecemasan, dan intervensi yang tidak perlu. Meskipun demikian, pelabelan diagnostik perlu diimbangi dengan keinginan pasien untuk diagnosis dan intervensi terapeutik yang spesifik (Selma et al, 2019).

(31)

Tabel 2.1. Guideline untuk diagnosis SOPK berdasarkan berbagai kriteria Sumber : Research Gate

8. TATALAKSANA

A. LINI PERTAMA : PERUBAHAN GAYA HIDUP DAN PENDEKATAN FARMAKOLOGI

1. Perubahan Gaya Hidup

Perubahan gaya hidup merupakan langkah utama dalam tatalaksana Sindroma Ovarium Polikistik. Pengaturan pola makan dan olahraga dapat mencegah ter- jadinya obesitas yang merupakan faktor pencetus terjadinya resistensi insulin dan sindroma metabolik. Penurunan berat badan dapat menurunkan kadar androgen dan insulin dalam darah, memperbaiki profil lipid dan meningkatkan FSH. Efek yang dihasilkan yaitu mengurangi gejala fisik seperti hirsutisme, alopesia, jerawat, skin tags, mengembalikan siklus menstruasi yang normal, dan menstimulasi terjadinya ovulasi (Ni Luh, 2020).

Keseimbangan energi negatif (dengan defisit 350-1.000 kkal/ hari) menjadi faktor utama dalam penurunan berat badan, perbaikan siklus menstruasi, dan sensitivitas insulin, terlepas dari pola dietnya. Dengan keseimbangan energi negatif dijumpai penurunan berat badan yang signifikan (–4 kg) dan penurunan testosteron

(32)

(–9 ng/ dL), insulin puasa (–5 mIU/ L), area under the curve (AUC) untuk insulin (–5.823 mIU/L.min), leptin puasa (–11 ng / mL), AUC untuk leptin (–1.854 ng / mL.min), kolesterol total (–22 mg/ dL), dan kolesterol low-density lipoprotein (LDL) (–12 mg / dL). Pada pasien SOPK juga sering dijumpai kekurangan vitamin D. Namun, penelitian terkait pemberian vitamin D untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan sensitivitas insulin masih terbatas.

Pterocarpus marsupium ditemukan memiliki efek reproduksi potensial pada hewan coba tikus albino betina yang diinduksi testosteron propionat. Penelitian ini dapat digunakan sebagai terapi alternatif pengobatan SOPK (Ni Luh, 2020).

Asupan karbohidrat tinggi dan Low - Grade Inflamation bekerja sama dengan resistensi insulin dan hiperandrogenisme untuk membentuk kontinum interaktif yang bekerja pada patofisiologi Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK), gangguan endokrin yang paling umum pada wanita usia reproduksi yang ditandai dengan infertilitas oligo-anovulatori dan gangguan kardiometabolik . Peran insulin dalam SOPK sangat penting baik dalam mengatur aktivitas enzim ovarium dan hati, yang masing-masing terlibat dalam produksi androgen dan dalam memicu peradangan tingkat rendah yang biasanya dilaporkan terkait dengan resistensi insulin, dislipidemia, dan penyakit kardiometabolik. Meskipun hiperglikemia akut yang disebabkan oleh pemuatan glukosa oral dapat meningkatkan peradangan dan stres oksidatif dengan menghasilkan spesies oksigen reaktif melalui mekanisme yang berbeda, peningkatan glukosa postprandial, umumnya terkait dengan diet Barat, merupakan kontributor utama hiperglikemia berkelanjutan kronis dan keadaan pro- inflamasi (Luigi et al, 2018).

2. Pendekatan Farmakologi a. Anovulasi

Clomiphene citrat masih menjadi pilihan terapi utama untuk menstimulasi ovulasi pada kasus SOPK. Dosis awal yang diberikan adalah 50 mg/hari selama 5 hari sejak haid hari ke-3. Jika terjadi ovulasi tetapi tidak terjadi pembuahan pada siklus yang pertama, dosis masih dapat dilanjutkan 50 mg/ hari pada siklus

(33)

berikutnya. Namun, jika pada siklus awal tidak terjadi ovulasi, dosis dapat di- naikkan menjadi 100 mg/hari pada siklus berikutnya. Peningkatan dosis ini dapat meningkatkan resiko terjadinya resistensi clomiphene. Pemberian Clomiphene dapat diulang maksimal 6 siklus.

Efek samping dari pemberian obat ini adalah Ovarian Hyperstimulation Syn- drome (OHSS), distensi, dan rasa tidak nyaman pada gastrointestinal, dan kehamilan multipel (Ni Luh, 2020).

b. Obat Antidiabetes

Resistensi insulin yang disertai hiperinsulinemia memiliki hubungan terhadap terjadinya hiperandrogenemia. Selain pemberian Clomiphene, pemberian obat anti diabetes yaitu Metformin dengan dosis 3 x 500 mg/ hari dapat meningkatkan sensitivitas insulin perifer dengan mengurangi produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Metformin juga dapat menurunkan kadar androgen pada wanita yang kurus maupun gemuk, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya ovulasi spontan. Metformin secara signifikan dapat mengurangi indeks massa tubuh (IMT) dengan dosis >1500 mg/

hari. Pengobatan jangka panjang juga menunjukkan efek yang signifikan pada penurunan berat badan >8 minggu. Metformin efektif dalam meningkatkan ovulasi pada SOPK dengan OR 3,88 (95% CI 2,25 - 6,69) dibandingkan plasebo, sedangkan kombinasi Metformin dan Clomiphene dengan OR 4,41 (95% CI 2,37 - 8,22) dibandingkan terapi Clomiphene tunggal (Ni Luh, 2020).

Pada wanita dengan SOPK, pemberian Metformin meningkatkan induksi ovulasi pada 46% wanita dibandingkan 24% pada kelompok plasebo. Pada terapi kombinasi Metformin dan Clomiphene, terdapat 76% wanita yang mengalami ovulasi dibandingkan 42% pada pengguna Clomiphene tunggal (Ni Luh, 2020).

c. Aromatase Inhibitors

Aromatase inhibitor biasa digunakan untuk terapi kanker payudara hormon res- ponsif dan telah diteliti dapat menginduksi ovulasi pada pasien SOPK. Secara fungsional terapi ini dapat menekan produksi estrogen melalui stimulasi aksis

(34)

Hipotalamus-Pituitari yang berimplikasi meningkatkan Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Pada penelitian terkait didapati penggunaan Anastrozole lebih banyak dibandingkan penggunaan Letro- zole. Berdasarkan hasil studi sistematik dan metaanalisis, Letrozole meningkatkan tingkat ovulasi dan kelahiran hidup secara signifikan serta menurunkan resiko kehamilan multipel dibandingkan Clomiphene Citrate (Ni Luh , 2020).

d. Kontrasepsi Oral

Pemberian pil KB dalam mengatasi SOPK berperan dalam mengatur siklus menstruasi. Terapi ini juga dapat mengurangi hirsutisme, jerawat, dan kadar androgen. Kombinasi estrogen dan progestin pada kontrasepsi oral primer digunakan dalam pengobatan hirsutisme dan jerawat yang berhubungan dengan SOPK. Beberapa kontrasepsi oral baru yang mengandung progestin antiandrogenik, seperti Drosperenone dan Dienogest secara teori lebih efektif da- lam mengobati gejala hiperandrogenisme. Wanita dengan hirsutisme biasanya menunjukkan perbaikan klinis setelah sekitar 6 bulan menjalani terapi dengan kontrasepsi oral (Ni Luh, 2020).

e. Obat Kategori Lainnya

Pemberian Medroxyprogesterone Acetate 5-10 mg/hari selama 10-14 hari setiap bulan dapat mengatasi pendarahan uterus dan amenore pada pasien SOPK yang tidak sedang merencanakan kehamilan. Terapi progestin setiap bulannya menekan pertumbuhan dinding endometrium abnormal tetapi tidak menekan produksi androgen di ovarium. Terapi ini juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan metabolisme lemak. Statin dapat mengatasi SOPK karena efeknya yang dapat menurunkan kadar testosteron serta kolesterol lipoprotein (LDL-C), trigliserida, dan kolesterol total (Ni Luh, 2020).

(35)

B. TERAPI LINI KEDUA : PEMBERIAN GONADOTROPIN DAN BEDAH LAPAROSKOPI OVARIUM

1. Pemberian Gonadotropin

Pemberian hormon gonadotropin eksogen, yaitu kombinasi Follicle-Stimulat- ing Hormone (FSH) atau Human Menopausal Gonadotropin (HMG). Mekanisme kerja dari hormon gonadotropin adalah menstimulasi ovulasi dan memaksimalkan perkembangan folikel. ( Ni Luh , 2020 ). Berbeda dengan Clomiphene, terapi gonadotropin tidak memiliki efek anti estrogenik perifer, sehingga tidak meningkatkan kemungkinan pematangan folikel yang multipel, meningkatkan kejadian Hyperstimulation Syndrome (OHSS) dan kehamilan multipel dibandingkan dengan Clomiphene.

Pemberian gonadotropin perlu diawasi , dimulai dari dosis rendah yaitu 3,75- 7,5 IU/hari. Evaluasi dilakukan setiap minggu dengan bantuan Ultrasonografi dan dipertimbangkan peningkatan dosis sebanyak 50% bila tidak terjadi perkembangan folikel. Penurunan dosis juga dilakukan 50% apabila pasien telah mencapai hasil perkembangan folikel yang maksimal (Ni Luh, 2020).

2. Bedah Laparoskopi Ovarium

Bedah laparoskopi ovarium dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua. Namun karena merupakan metode invasif dan memerlukan anastesi umum, terapi ini ku- rang dijadikan pilihan. Terapi ini dilakukan pada pasien yang sulit dipantau dengan terapi gonadotropin. Kelebihan terapi ini dibandingkan dengan terapi gonadotropin adalah dapat mengurangi risiko kehamilan multipel. Terapi ini lebih efektif pada saat kadar hormon LH yang tinggi, karena dijumpai penurunan hormon LH dan androgen yang signifikan setelah terapi. Pada pasien yang Sudah menjalani bedah laparoskopi ovarium, terdapat 63-85% Wanita yang mengalami siklus menstruasi teratur dan terjadi peningkatan kesuburan. ( Ni Luh , 2020 )

(36)

Gambar 2.7 Bedah Laparoskopi Ovarium Sumber : The Gynae Point

Gambar 2.8 Pengangkatan kista ovarium dengan teknik Laparoskopi Sumber : Youtube (Dr. Surakshith Battina)

C. TERAPI LINI KETIGA: IN VITRO FERTILIZATION (IVF)

IVF merupakan pilihan terapi jika terapi lini Pertama dan kedua gagal. IVF biasanya menjadi pilihan terapi pada kasus berat seperti endometriosis, obstruksi pada tuba, dan kelainan obstetri lain yang mengganggu kesuburan, serta laki-laki dengan azoospermia atau kelainan kesuburan pria lainnya. Sindrom hiperstimulasi

(37)

ovarium (OHSS) merupakan efek samping yang umum terjadi pada terapi gonadotropin. OHSS adalah kumpulan gejala dimana ovarium bereaksi berlebihan dan menghasilkan terlalu banyak kantung telur atau folikel (Ni Luh, 2020).

Pada IVF dilakukan transfer embrio tunggal pada endometrium, sehingga IVF menjadi alternatif untuk mengurangi kemungkinan komplikasi tersebut. Hal hal yang harus dilakukan sebelum dilakukannya prosedur IVF di antaranya kombinasi atau dosis tunggal Clomiphene, Human Menopausal Gonadotropins (hMG), rekombinan FSH, agonis GnRH, dan antagonis GnRH. Protokol yang paling dil- akukan yaitu desensitisasi FSH yang dimulai pada fase awal, tengah, dan akhir fase luteal untuk mengawali siklus dari fase folikel hingga pemberian hCG. Tingkat keberhasilan terapi IVF pada pasien SOPK sama dengan pasien tanpa SOPK. Hal tersebut berarti SOPK tidak mempengaruhi proses implantasi embrio pada SOPK (Ni Luh, 2020).

Gambar 2.9 IVF Procedure Sumber : Mayo Clinic

(38)

Gambar 2.10 Embryo Transfer pada IVF Sumber : Advanced Fertility Center of Chicago

d. PENGOBATAN ALTERNATIF

Pengobatan alternatif yang dapat dilakukan yaitu kinesiologi, herbalisme, homeopati, refleksiologi, akupresur, akupuntur, induksi ovulasi, dan terapi pijat.

Akupunktur merupakan terapi yang paling umum dan terbukti dapat memperbaiki siklus menstruasi pada pasien SOPK, menurunkan berat badan, memperbaiki mood, dan mengurangi nyeri kepala. Pengaplikasian jarum akupunktur dapat meningkatkan aliran darah, menstimulasi organ, menormalkan kadar hormon, dan meningkatkan fungsi sistem reproduksi. Penelitian di Universitas Göteborg di Swedia (2000) terhadap 24 wanita SOPK yang menjalani terapi akupunktur selama 2-3 bulan. Pada akhir penelitian, sembilan diantaranya (38%) mengalami ovulasi teratur. Tetapi hasil yang berlawanan ditemukan pada pasien dengan kadar testosteron dan insulin tinggi serta obesitas (Ni Luh, 2020).

9. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Komplikasi tersering terkait dengan Sindroma Ovarium Polikistik adalah infer- tilitas. Hubungan antara Sindroma Ovarium Polikistik dengan infertilitas dapat dikaitkan dengan adanya gangguan ovulasi pada seorang individu dengan Sin- droma Ovarium Polikistik sehingga memperkecil kemungkinan pertemuan antara sperma dengan ovum. Jika ditatalaksana dengan baik seperti memperbaiki siklus

(39)

ovulasi dan mengatasi etiologinya seperti hiperinsulinemia dan obesitas, penderita sindrom ovarium polikistik akan mempunyai peluang Untuk memiliki keturunan.

Paparan berkepanjangan terhadap estrogen yang berlebihan dapat menyebab- kan hiperplasia endometrium, yang dapat berkembang menjadi karsinoma. Faktor risiko karsinoma endometrium termasuk obesitas, hipertensi, diabetes tipe II, estro- gen yang berlebihan , dan nuliparitas. Ini semua adalah kondisi yang terkait dengan SOPK. Demikian pula, peningkatan konsentrasi estrogen serum yang berkelanjutan juga berpotensi mendorong pertumbuhan tumor sensitif hormon lainnya seperti kanker payudara dan ovarium. Berchuck dkk. (1990) mengemukakan bahwa gangguan konsentrasi lokal steroid, hormon dan faktor pertumbuhan dapat mengakibatkan perubahan ganas pada epitel ovarium. Karena perubahan ini ter- bukti pada SOPK, orang mungkin mendalilkan bahwa wanita dengan SOPK dapat meningkatkan risiko karsinoma ovarium. Hal ini didukung oleh Rao dan Slotman (1991) yang menunjukkan mayoritas tumor ovarium ganas tampaknya memiliki reseptor hormon steroid. Tampaknya tidak ada mekanisme yang masuk akal untuk menjelaskan mengapa SOPK menyebabkan peningkatan risiko kanker vulva, serviks, atau vagina (BG Chittenden et al , 2009).

Hubungan potensial antara SOPK dan karsinoma endometrium telah dijelaskan dalam beberapa laporan (Dockerty dan Jackson, 1957; Gallup dan Stock, 1984; Ku- rabayashi et al., 2003), meskipun tinjauan sistematis formal belum dilakukan. Ada beberapa penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara SOPK dan kanker ginekologi lainnya. Ada beberapa bukti anekdotal dari sarkoma uterus pada pasien yang terkena SOPK (Press dan Scully, 1985; Karabakhtsian et al., 2002) dan laporan yang bertentangan tentang hubungan SOPK dengan ovarium (Schildkraut et al., 1996; Balen, 2001) dan kanker payudara (Gammon dan Thompson, 1991;

Anderson et al., 1997).

(40)

10. PENGARUH SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK TERHADAP TER- JADINYA INFERTILITAS

Infertilitas mempengaruhi 40% wanita dengan SOPK. SOPK adalah penyebab paling umum dari infertilitas anovulasi. Sekitar 90%-95% wanita anovulasi yang datang ke dokter untuk berkonsultasi. Wanita dengan SOPK memiliki jumlah folikel primordial normal dan folikel primer dan sekunder meningkat secara signifikan. Namun, karena gangguan pada faktor-faktor yang terlibat dalam perkembangan folikel normal, pertumbuhan folikel terhenti saat folikel mencapai diameter 4-8 mm. Karena folikel dominan tidak berkembang, tidak terjadi ovulasi.

Selain itu, aborsi spontan lebih sering terjadi pada SOPK dengan insiden berkisar antara 42% -73% (Susan dan Kristen, 2013).

Keadaan infertilitas ini terjadi akibat absennya ovulasi dan disfungsi endometrium, penelitian oleh Lopes et al memperlihatkan dosis konvensional progesteron mungkin belum cukup untuk memperbaiki SOPK terkait endometrial disfungsi. Apabila pengaturan ovulasi dapat membantu menghasilkan konsepsi, kejadian aborsi spontan , kelahiran preterm , dan pre-eklamsia tetap dapat mudah terjadi. Hal ini diperkuat pula oleh penelitian Palomba et al pada wanita hamil 12 minggu dengan SOPK ditemukan kualitas plasenta yang lebih rendah dari berat plasenta, volume , ketebalan dan densitas dibandingkan dengan wanita hamil 12 minggu tanpa SOPK . Hubungan antara SOPK dengan infertilitas dapat dikaitkan dengan adanya gangguan ovulasi pada seorang individu dengan SOPK sehingga memperkecil kemungkinan pertemuan antara sperma dengan ovum (Fitria dan In- drani, 2016).

2. PENGETAHUAN 1. DEFENISI

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yaitu indera pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan

(41)

dan perabaan. Sebagian pengetahuan manusia didapat melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

2. TINGKAT PENGETAHUAN

Menurut Kholid dan Notoadmodjo (2012) tedapat 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

1. Tahu (Know) adalah rasa mengerti melihat atau mengamati sesuatu.

2. Memahami (Comprehension) adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan tentang suatu objek yang diketahui dan diinterpretasikan secara benar sesuai fakta.

3. Aplikasi (Application) adalah suatu kemampuan untuk mempraktekkan ma- teri yang sudah dipelajari pada kondisi nyata atau sebenarnya.

4. Analisis (Analysis) adalah kemampuan menjabarkan atau menjelaskan suatu objek atau materi tetapi masih ada kaitannya satu dengan yang lainnya.

5. Sintesis (Synthesis) adalah suatu kemampuan menghubungkan bagian-ba- gian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation) adalah pengetahuan untuk melakukan penilaian ter- hadap suatu materi atau objek.

3. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGETAHUAN Menurut Budiman dan Riyanto (2013) faktor - faktor yang mempengaruhi pengetahuan:

1. Pendidikan

Proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok dan merupakan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin capat menerima dan memahami suatu informasi sehingga pengetahuan yang dimiliki juga semakin tinggi (Sriningsih, 2011).

2. Informasi atau Media Massa

(42)

Suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu.

Informasi mempengaruhi pengetahuan seseorang jika sering mendapatkan informasi tentang suatu pembelajaran maka akan menambah pengetahuan dan wawasannya, sedangkan seseorang yang tidak sering menerima informasi tidak akan menambah pengetahuan dan wawasannya.

3. Sosial, Budaya dan Ekonomi

Tradisi atau budaya seseorang yang dilakukan tanpa penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk akan menambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi juga akan menentukan tersedianya fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu. Seseorang yang mempunyai sosial budaya yang baik maka pengetahuannya akan baik tapi jika sosial budayanya kurang baik maka pengetahuannya akan kurang baik. Status ekonomi seseorang mempengaruhi tingkat pengetahuan karena seseorang yang memiliki status ekonomi dibawah rata- rata maka seseorang tersebut akan sulit untuk meningkatkan pengetahuan.

4. Lingkungan

Mempengaruhi proses masuknya pengetahuan kedalam individu karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspons sebagai pengetahuan oleh individu. Lingkungan yang baik akan pengetahuan yang didapatkan akan baik tapi jika lingkungan kurang baik maka pengetahuan yang didapat juga akan kurang baik.

Jika seseorang berada di sekitar orang yang berpendidikan maka pengetahuan yang dimiliki seseorang akan berbeda dengan orang yang berada di sekitar orang pengangguran dan tidak berpendidikan.

5. Pengalaman

Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan dari pengalaman sebelumnya yang telah dialami sehingga pengalaman yang didapat bisa dijadikan sebagai pengetahuan apabila medapatkan masalah yang sama. 6) Usia, Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin membaik dan bertambah (Budiman dan Riyanto, 2013).

(43)

3. SIKAP 1. DEFENISI

Menurut (Bimo Walgito , 2001) , Sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respons atau berpenilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya.

2. KOMPONEN POKOK SIKAP

Menurut Alport (1954) yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) ada tiga komponen pokok sikap yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Kecenderungan untuk bertindak laki-laki dan perempuan berbeda. Hal ini dikarenakan, perempuan lebih banyak menggunakan intuisinya dalam bertindak dibanding laki-laki. Perempuan lebih banyak memilih dalam setiap tindakannya dan selalu memikirkan faktor resiko dari perbuatannya sehingga kecenderungan untuk bertindakpun tidak seagresif kaum lelaki. Laki-laki lebih banyak menggunakan emosionalnya dibanding intuisinya tanpa memikirkan resiko dari tindakannya, sehingga kaum lelaki paling sering terkena resiko tindakannya dibanding perempuan (Smartpsikologi, 2007)

3. TINGKATAN SIKAP

Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut : a. Menerima (receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan mempertahankan stimulus yang diberikan (objek)

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,

(44)

terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko.

4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP

Menurut Azwar (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain :

a. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psokologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Keinginan ini antara lain dimotifasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah karena kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.

d. Media massa

Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini

(45)

seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap.

f. Pengaruh faktor emosional

Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Peran gender sangat mempengaruhi keadaan emosional, perempuan menekankan pada tanggung Jawab sosial dalam emosinya. Oleh sebab itu kaum perempuan biasanya jauh lebih memiliki empati terhadap penderitaan orang lain ketimbang laki-laki.

(Smartpsikologi, 2007).

4. PERILAKU 1. DEFENISI

Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas.

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2012). Teori ini disebut teori S-O-R (Stimulus- Organisme-Respon) (Skiner dalam Notoatmodjo, 2012).

2. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU

Menurut teori Lawrance Green dan kawan-kawan (dalam Notoatmodjo, 2007) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behaviorcauses) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup a. Pengetahuan

(46)

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai tingkatan (Notoatmodjo, 2007).

b. Sikap

Menurut Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi komponen- komponen cognitive, affective dan behavior (dalam Linggasari, 2008). Terdapat tiga komponen sikap, sehubungan dengan faktor-faktor lingkungan kerja, sebagai berikut:

1) Afeksi (affect) yang merupakan komponen emosional atau perasaan.

2) Kognisi adalah keyakinan evaluatif seseorang.

3) Perilaku, yaitu sebuah sikap berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau hal tertentu dengan cara tertentu (Winardi, 2004).

2. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya ketersedianya alat pendukung, pelatihan dan sebagainya.

3. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi undang- undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya menurut Notoatmodjo (2007).

(47)

34

5. KERANGKA TEORI

Gambar 2.11 Kerangka Teori

Faktor - faktor Penge- tahuan (Budiman dan Ri- yanto , 2013)

1. Pendidikan

2. Informasi dan media massa

3. Sosial, budaya, dan ekonomi

4. Lingkungan 5. Pengalaman

Faktor - faktor Sikap (Azwar, 2007) :

1. Pengalaman Pribadi 2. Pengaruh orang lain 3. Pengaruh kebudayaan 4. Media massa

5. Lembaga pendidikan dan agama

6. Faktor emosional

Faktor - faktor Perilaku ( Lawrance Green et al ):

1. Faktor predisposisi ( pengetahuan dan si- kap )

2. Faktor pemungkin 3. Faktor penguat

Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku

1. Defenisi

2. Tanda dan Gejala 3. Akibat yang ditim-

bulkan

Sindroma Ovarium Polikistik

(48)

6. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.12 Kerangka Konsep

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Tanda dan

Gejala SOPK Mahasiswi FK USU

Angkatan 2018 & 2019

(49)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

1. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif yang menggunakan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku Mahasiswi Fakultas Kedokteran USU angkatan 2018 dan 2019 tentang tanda dan gejala Sindroma Ovarium Polikistik.

1. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Na- mun dikarenakan pandemi sedang berlangsung , responden melakukannya dengan pengisian kuesioner secara daring. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September 2021.

2. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 1. POPULASI TARGET

Populasi target penelitian ini adalah seluruh mahasiswi aktif di Fakultas Kedok- teran Universitas Sumatera Utara.

2. POPULASI TERJANGKAU

Populasi terjangkau penelitian ini adalah mahasiswi yang sedang mengikuti perkuliahan pre klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yaitu : - Mahasiswi angkatan 2018 yang berjumlah 156

- Mahasiswi angkatan 2019 yang berjumlah 149

Sehingga total keseluruhan populasi terjangkau adalah 305 orang.

3. SAMPEL

Gambar

Gambar 2.1. Efek peningkatan insulin terhadap kadar androgen  Sumber : Research Gate
Gambar 2.2. Dampak Resistensi Insulin pada penderita SOPK  Sumber : The New England Journal of  Medicine
Gambar 2.3. Hirsutisme   Sumber : Conquer SOPK
Gambar 2.4. Achantosis Nigricans  Sumber : National Center for Biotechnology
+7

Referensi

Dokumen terkait

140 menit.. nenek, berkebun, pergi ke kota, dsb). Guru mengingatkan siswa untuk menulis dengan mencantumkan apa yang dilakukan; siapa yang terlibat, kapan dilakukan,

As derivative features on the spectral information are difficult to use in practice, given the low SNR of bands in the blue range of the spectrum and the low energy The

Dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan dan kawasan hutan sesuai dengan amanat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah

[r]

bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum

[r]

tinggi bagi anak kemenakannya. Ulayat Kaum , ditentukan bagi pengelolaan hutan oleh kaum dalam satu paruik. Maka setiap kaum yang ada di Nagari Guguak Malalo

mekanisme terjadinya komplikasi infeksi HIV pada kehamilan pada ibu dan janin 3.Mampu menjelaska n berbagai faktor resiko infeksi HIV pada kehamilan 4.. mampu