• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERIAN HAK ASUH ANAK KEPADA SUAMI YANG NON MUSLIM. (Analisis Putusan Nomor:1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.) Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERIAN HAK ASUH ANAK KEPADA SUAMI YANG NON MUSLIM. (Analisis Putusan Nomor:1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.) Skripsi"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN HAK ASUH ANAK KEPADA SUAMI YANG NON MUSLIM (Analisis Putusan Nomor:1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Diajukan Oleh: Ahmad Syairopi NIM. 1111044200010

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H/2016 M

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

ABSTRAK

AHMAD SYAIROPI, NIM 1111044200010. PEMBERIAN HAK ASUH ANAK KEPADA SUAMI NON MUSLIM (AnalisisPutusanPengadilan Agama TangerangNomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.).Program Studi Hukum Keluarga Islam Konsentrasi Adminstrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. x +70 halaman dan lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui putusan hakim tentang Hak Asuh Anak yang diberikan kepada Suami non Muslim dan pertimbangan hakim dalam mengeluarkan putusan tersebut.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai dengan pemaparan deskriftif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan pemberian hak asuh anak kepada Suami yang non Muslim, yang terjadi di Pengadilan Agama Tangerang,

Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian hak asuh anak kepada Suami yang non Muslim dikarenakan Ibu anak tersebut tidak amanah, sibuk bekerja, dan tidak mempunyai itikad baik dalam mengurus anak.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim,

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya, bahwa penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan suatu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai Nabi terakhir yang membawa Syari’at Islam

sampai akhir masa, dan telah membawa banyak kemaslahatan kepada seluruh umat manusia.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak atas segala bantuan, dorongan serta bimbingan yang diberikan pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Untuk itu, patut kiranya Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya perlu penulis sampaikan kepada :

1. Dr. H. Asep Saefudin Jahar, MA.

2. Dr. Abdul Halim, M.Ag, Ketua jurusan Hukum Keluarga.

(7)

vi

4. Hj. Hotnidah Nasution, MA, Selaku pembimbing yang sudah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan pengajaran kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Dr. H. Ahmad Tholabi Karlie, MA, Selaku dosen pembimbing akademis program studi Administrasi Keperdataan Islam.

6. Kedua orang tua penulis beseta keluarga besar, yang memberikan semangat dan dukungan baik moril maupun materil.

7. Seluruh dosen Jurusan Administrasi Keperdataan Islam dn sekarang menjadi Hukum Keluarga yang telah mengajarkan saya pada saat bangku kuliah.

8. Drs. Haryadi Hasan, MH, beserta Staff yang telah membantu saya dalam penelitian skripsi di Pengadilan Agama Tangerang.

9. Teman-teman Administrasi Keperdataan Islam tahun 2011 yang saling membantu dalam perkuliahan.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi instansi dan pihak-pihak yang memerlukannya. Semoga Allah SWT meridhoi dan memberkahi usaha penulis dalam menyusun skripsi ini, penulis juga berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan baik kepada pihak-pihak yang telah membantu saya dalam menyusun skripsi ini.

Jakarta, 21 Oktober 2016

Penyusun Ahmad Syairopi

(8)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Review Studi Terdahulu ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Tekhnik Penulisan ... 10

BAB II : KONSEP HAK ASUH ANAK DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA ... 12

A. Pengertian Hak Asuh Anak dan Dasar Hukumnya ... 12

B. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fiqh ... 17

C. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia ... 21

D. Tata Cara Penyelesaian Perkara Hak Asuh Anak ... 32

BAB III : PENYELESAIAN PERKARA HAK ASUH ANAK DI PENGADILAN AGAMA TANGERANG ... 34

A. Sejarah Pengadilan Agama Tangerang ... 34

B. Kewenangan Pengadilan Agama Tangerang ... 39

C. Perkara Hak Asuh Anak di Peradilan Agama Tangerang ... 45

1. Cara Pengajuan Hak Asuh anak ... 45

2. Cara Penyelesaian Hak Asuh Anak ... 48

(9)

ix

BAB IV: SUAMI NON MUSLIM SEBAGAI PEMEGANG HADHANAH

DALAM PUTUSAN No. 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng ... 50

A. Deskripsi Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng ... 50

1. Posisi Kasus ... 50

2. Duduknya Perkara ... 51

3. Pertimbangan Hukum ... 52

4. Amar Putusan ... 55

B. Alasan Hakim Menetapkan Pertimbangan Hukum seperti yang tertera dalam Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng ... 56

C. Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. yang Memberikan Hak Asuh Anak pada Suami non Muslim ditinjau dari Perspektif Fiqh ... 57

D. Pandangan Hukum Positif Pada Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA. Tng ... 60 BAB V : PENUTUP ... 64 A. Kesimpulan ... 64 B. Saran ... 65 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan baik makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgelijk Wetboek.2

Allah tidak menjanjikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan secara bebas tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling suka, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambang adanya rasa saling suka dan dengan dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan tersebut telah terikat secara sah menurut syariat agama Islam.

Ada beberapa definisi nikah dikemukakan para ahli fiikih, namun pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya saja.

Yakni :

1 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta : pustaka setia, 1997), h.39. 2 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), h. 23.

(11)

2

1. Menurut ulama Hanafiyah: Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan.

2. Menurut ulama Syafi’iyah: Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan (wathi’) disertai lafadz nikah, kawin atau yang

semakna.

3. Menurut ulama Malikiyah: Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.

4. Menurut ulama Hanabilah: Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.3

Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita yang sama akidah, akhlak dan tujuannya, di samping cinta dan ketulusan hati. Dibawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera.

Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak terwujud secara sempurna kecuali jika suami istri berpegang kepada agama yang sama. Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai laksana ajaran Islam. Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain-lain.

Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun ahlul kitab. Pria Islam secara pasti dilarang

3 Abd ar-Rahman Al-Jaziri, Kitab Fiqih „ala Mazahib „arba‟ah, (Beirut: Dar

(12)

3

nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.

Yang menjadi persoalan dari zaman Sahabat sampai abad modern ini adalah perkawinan antara pria Islam dengan wanita Ahlul Kitab atau Kitabiyah. Berdasar zahir ayat 221 surat Al-Baqarah, menurut pandangan Ulama pada umumnya, pernikahan seorang Muslim dengan Kitabiyah dibolehkan. Sebagian Ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan banyak sekali Ulama yang melarangnya karena fitnah atau mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.4

Islam adalah agama Nizham (aturan) hidup paripurna, universal, dan integral. Tidak ada dimensi kehidupan yang tidak tersentuh nilai-nilai kebenarannya. Islam merupakan solusi atas problematika kehidupan, ia bahkan hanya satu-satunya solusi yang ada. Tidak ada aturan yang lebih baik dari aturan Islam untuk memperbaiki permasalahan umat satu ini.

Sebagai pedoman hidup, ruang lingkup Islam bersifat menyeluruh. Ia tidak dibatasi hanya pada persoalan hukum sipil, tetapi juga termasuk hukum privat, dan salah satunya adalah tentang perkawinan.

Ketertarikan kedua pasangan lawan jenis untuk kemudian dilanjutkan melalui sebuah ikatan perkawinan agar hubungan keduanya menjadi leluasa dan sah. Ajaran Islam sangat menganjurkan pernikahan adanya kehidupan membujang (ruhbaniyah).

4 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ,Problematika Hukum Islam

(13)

4

Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak.5Perceraian memang berpangkal pada perselisihan antara suami dan istri. Salah satu pihak menghendaki perceraian, oleh karena pihak yang lain berbuat sesuatu yang membuat perceraian.6 Perceraian menyebabkan putusnya ikatan nikah tetapi tidak menyebabkan putusnya hubungan orang tua dengan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut.

Menurut Kompilasi Hukum Islam 105 (a): pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, (b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. Akan tetapi, dikatakan juga bahwa non musim tidak berhak atas hak pemeliharaan anak. Dalam kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor: 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. bahwa hak pemeliharaan anaknya yang sudah mumayyiz ditetapkan kepada bapak yang non Muslim.

Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba meninjau lebih dalam mengenai hadhanah seorang anak kepada bapaknya yang berpindah agama setelah perceraian orang tuanya, dalam bentuk skripsi dengan judul “Pemberian Hak Asuh Anak Kepada Bapak Yang Non Muslim (Analisis Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor: 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.)”.

5

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Segi Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 7.

6 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Sarioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, (Bandung:

(14)

5

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini terfokus, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan hak asuh anak pada suami yang non muslim pada putusan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.

2. Perumusan Masalah

Dalam fiqih syarat pemelihara atau pengasuh anak adalah :

1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

2. Berfikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak akan mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.

3. Beragama islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama yang diasuh. Kalau oleh orang bukan agama Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.

4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar menjauhkan dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama, orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh anak yang masih kecil.

(15)

6

Pasal 105 (b) pemeliharaan anak yang sah sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. Akan tetapi dalam putusan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. hakim menetapkan hak hadhanah pada suami yang non Muslim.

Karena itu bentuk pertanyaan penelitiannya adalah:

a. Bagaimana pandangan ulama fiqih dan Perundang-undangan tentang penetapan hak asuh anak pada suami yang non Muslim?

b. Bagaimana dasar hakim menetapkan pertimbangan hukum yang tertuang dalam putusan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. yang memberikan hadhanah pada suami yang non Muslim?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui para pihak yang berhak menurut hukum atas pemeliharaan anak sebagai akibat terjadinya perceraian dari kedua orang tuanya.

2. Untuk mengetahui dasar hakim menetapkan pertimbangan hukum yang tertuang dalam putusan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. yang memberikan hadhanah pada suami yang non Muslim.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini para pihak khususnya yang konsen mengkaji hukum perkawinan.

(16)

7

b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal perihal hak asuh anak.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai pelimpahan hak asuh anak baik menurut hukum Islam ataupun hukum konvensional.

b. Dapat memberikan penjelasan lebih jelas perihal pemberian hak asuh anak.

E. Review Studi Terdahulu

Melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum melakukan judul proposal, di antaranya adalah sebagai berikut.

Penulis : Roro Tunjung Sari Prodi : Akhwal Al-Syakhshiyah Fakultas : Syariah Dan Hukum Tahun : 2009

Judul : PENETAPAN HAK ASUH ANAK AKIBATPERCERAIAN ISTRI NON MUSLIM

Perbedaan skripsi yang ditulis oleh Roro Tunjung Sari adalah di penetapan hak asuh anak akibat perceraian istri non muslim. Dalam perkara ini hakim memutuskan hak asuh anak di bawah umur (mumayyiz) jatuh kepada istri (ibu) yang non Muslm. Berbeda dengan penelitian saya yang jatuh pada bapak non Muslim.

(17)

8

Penulis : Diana Yulita Sari

Prodi : Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas : Syariah dan Hukum

Tahun : 2010

Judul : HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT

PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006) Perbedaan skripsi yang di tulis oleh Diana Yulita Sari adalah lebih menjelaskan mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hanya mengatur kuasa asuh dan hal tersebut dapat dicabut bila diketahui orang tua melantarkan anak-anak atau tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak. Hakim telah menetapkan hak asuh anaknya yang jatuh kepada bapak non Muslim. Oleh karenanya orang tua disini bertanggung jawab atas hak asuhnya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kualitatif.

2. Pendekatan studi

Pendekatan yang penyusun gunakan adalah pendekatan normatif yuridis, pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji apakah sesuai

(18)

9

dengan norma kebutuhan masayarakat yang didasarkan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.

3. Sumber data

a. Data primer (hasil wawancara dengan hakim yang memutus perkara nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.)

b. Data skunder

Buku-buku (textbooks) yang ditulis (para ahli hukum yang berpengaruh (de herseendeleer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan salinan putusan perkara gugatan dengan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA Tng.

4. Tekhnik pengumpulan data a. Studi kepustakaan

Pengumpulan data yang dilakukan dengan merujuk kepada buku – buku, jurnal, artikel, dan sumber tertulis lain yang terkait dengan penelitian ini.

b. Studi dokumenter

Pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan dokumentasi secara langsung di tempat penelitian dalam hal ini adalah pengadilan agama Tangerang.

c. Wawancara

Pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan wawancara secara langsung terhadap ketua majelis hakim yang memutus perkara

(19)

10

nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. dan juga kepada panitera Pengadilan Agama Tangerang.

5. Analisis data

Analisis dilakukan secara deduktif-analitik yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi.

G. Tekhnik Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

Bab pertama diawali dengan Latar Belakang Masalah, Batasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua menjelaskan tentang Konsep Hak Asuh Anak dan Prosedur Penyelesaiannya. Meliputi Pengertian Hak Asuh Anak dan Dasar Hukumnya, Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fiqh, Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia, dan Tata Cara Penyelesaian Perkara Hak Asuh Anak.

Bab ketiga menjelaskan tentang Penyelesaian Perkara Hak Asuh Anak di Pengadilan Agama Tangerang. MeliputiSejarah Pengadilan Agama

(20)

11

Tangerang, Kewenangan Pengadilan Agama Tangerang, Perkara Hak Asuh Anak di Peradilan Agama Tangerang.

Bab keempat yaitu membahas tentang Suami non Muslim sebagai Pemegang Hadhanah dalam Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. Meliputi Deskripsi Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng, Alasan Hakim Menetapkan Pertimbangan Hukum seperti yang tertera dalam Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng., Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.yang memberikan Hak Asuh Anak pada Suami non Muslim ditinjau dari Perspektif Fiqh, dan Pandangan Hukum Positif pada Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.

Bab Kelima yaitu berisi mengenai Penutup. Meliputi Kesimpulan dan Saran.

(21)

12

BAB II

KONSEP HAK ASUH ANAK DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA A. Pengertian Hak Asuh Anak dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Hak Asuh Anak

Hadhanah berasal dari kata نََع ح berarti memeluk, mendekap, mendidik, mengasuh, mengerami. Di samping itu, kata ٌََُدِح berarti pengakuan dan dada. َُتَََبَعَح berarti perawatan dan pengasuhan, sementara َُتَََبَعِح berarti pendidikan, penguasaan, nasihat. Kalimat َِطْئَبناَ تَََ بَعِح berarti pengeraman telur.7

Menurut Wahbah al-Zuhaili, hadhanah secara bahasa terambil dari kata ٍََُعَحناyang berarti َُبَُْجنا; sisi, pinggang, pinggul, lambung, rusuk; yaitu mengumpulkan dekat ke samping. Mengepit antara ketiak sampai pusar (pinggul), bentuk jamaknya ٌَبَع ْحَا,ٌََبَعِخ ْحاmaknanya membawa sesuatu dan mengepitnya di ketiak seperti wanita yang mengepit anaknya dan membawanya dengan salah satu punggungnya, seperti burung yang mengeram/mengepit telur yang dikumpulkan di bawah sayapnya.8

Sedangkan menurut Imam Taqiyudin hadhanah ialah ibarat menjalankan untuk menjaga orang (anak) yang belum mumayyiz atau tidak berakal dan mengajarkannya akan kebaikan serta menjaganya dari sesuatu yang sangat membahayakan.9

7 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,

(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), cet-1, h. 775-6.

8

Al-Imam Abu Zakaria Muhyiddin ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu „Syarh al-Mazhab, Dar al-Fikr, tt. j-18, h. 322-3.

9 Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al Huasini, Kifayah a-Akhyar (Beirut Dar

(22)

13

Secara keseluruhan hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.10 Rumah tangga merupakan bangunan kokoh yang tidak akan pernah sempurna kecuali dengan kepastian nasab anak kepada bapaknya supaya tidak kehilangan silsilah keturunan, penyusunan yang merupakan awal tegaknya kehidupan, pemeliharaan pada fase-fase lemah dan masa kanak-kanak yang sangat memerlukan perlindungan, perwalian atas diri dan harta mereka, kebutuhan pada orang yang mengurusi mereka dalam perawatan dan pengajaran, menjaga harta dan penghasilannya. Sehingga anak memiliki macam hak, hak penyusuan, hak hadhanah, hak perwalian dan hak nafkah.

Hadhanah juga berarti hak perwalian dan penguasaan anak, kaum perempuan lebih berhak menerima hak hadhanah karena mereka lebih lembut dalam hak belas kasih, perhatian dalam perawatan dan kesabaran serta selalu bersamanya. Selanjutnya, bila anak sampai pada usia tertentu, maka hak perawatannya pindah ke kaum laki-laki karena lebih mampu untuk menjaga dan melindungi anak. Hukum menjalankan hadhanah wajib karena jika dilalaikan akan merusak anak sehingga wajib menjaga dari kehancuran, begitu juga wajib menafkahi dan menghindarkannya dari hal-hal yang dapat mencelakakannya.

Sabda Nabi:

10 Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islam Wa adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Fikr,

(23)

14

َٗهصَٙبُناَٗهعَمخدَ٘زَبصَلأاةدَببعٍَبَضٔأٌَأَ:ضَببعٍَباٍَعَٗظَٕيَٕبأَٖٔزٔ

َ،ثًٕنببٍَٓٛهعٕعدأبَأَٔ،ثٍَبَٙنٌَإَ،اللهاَلٕظزبَٚ:لبقفَ،ىهظََِّٔىهعٓهناا

ٍٓٛهعٕعدحا

،

،تًعُناَدُعَثلايَاٍََْ،ةدعبظٍَبابَٚ:مقفَ،ثَبُبناَٙفَتكسبنابَئف

،تبٛصنأ

َ

بظسًنأ

َ

ث

دُع

َ

،ةدشنا

َ

ٍٓهقث

َ

ٗهع

َ

،ضزلأا

َ

ٍٓقشزٔ

َ

ٗهع

َ

الله

َ

“Riwayat Musa dari Ibn Abbas, bahwa Aus ibn „Ubadah al-Anshari menemui Nabi dan berkata wahai Rasulullah sesungguhnya aku mempunyai beberapa putri dan aku mendoakan supaya mereka mati saja, maka Nabi bersabda wahai Ibna Saidah jangan mendoakan kejelekan mereka karena sesungguhnya berkah ada pada anak-anak perempuan, mereka penghias keindahan nikmat, penolong ketika musibah, dan pelipur ketika kesulitan, tanggunglah mereka di dunia dan beri mereka nafkah rezeki demi Allah.” (HR Muslim dan Abu Daud dari Jabir ibn Abdullah).11

Di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hadhanah sebagai pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.

Hadhanah adalah ungkapan kata yang artinya memelihara, anak yang belum mumayyiz dan belum mampu mengurus dirinya sendiri, serta mendidik anak tersebut dengan pendidikan yang bermanfaat untuknya, dan menjaganya dari hal-hal yang dapat menyakiti.12

Ditinjau dari segi kebutuhan anak yang masih kecil dan belum mandiri, hadhanah adalah suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya, karena tanpa hadhanah akan mengakibatkan anak akan menjadi terlantar dan tersia-sia hidupnya. Oleh karena itu, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara hadhanah itu haruslah bersikap hati-hati, harus mempertimbangkan dari para pihak yang berperkara dapat terpenuhi. Jika putusan tentang hadhanah telah diucapkan dan pihak yang menguasai anak

11

Imam Bukhari Muslim, Syarah Hadis Imam Bukhari (Libanon: Dar el-Beirut, 1998), h. 401.

12 Imam Taqiyyudin Abu Bakar Huasini, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Daar

(24)

15

tidak bersedia menyerahkan anak-anaknya sesuai dengan putusan hakim tersebut maka hendaklah ditempuh jalan persuasif, sehingga putusan ini dapat dilaksanakan secara sukarela. Apabila pihak yang menguasai anak itu tetap tidak bersedia menyerahkan anak-anaknya sesuai dengan putusan hakim tersebut, maka para yang mempunyai hak dalam putusan hakim itu mengajukan perkara tersebut agar amar putusan hakim itu supaya dilaksanakan secara paksa.

Dari beberapa definisi diatas penulis dapat disimpulkan bahwa hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak kecil maupun yang kurang akal, baik itu berupa jasmani maupun rohani dalam rangka mempersiapkan diri mereka agar mampu berdiri sendiri menjalani kehidupan yang sempurna dan dapat bertanggung jawab.

2. Dasar Hukum Hadhanah

Para ulama sepakat bahwa pemeliharaan anak itu adalah wajib, sebagaimana wajib memelihara selama dalam pernikahan, adapun dasar hukum dari hadhanah atau pengasuh anak adalah pada (Q.S. At-Tahrim (66) : 6) : 13

َُكَعُفََْأَإُقَإَُُيآَ ٍَِٚرَّناَبََُّٓٚأَبَٚ

ٌَداَدِشٌَظلاِغٌَتَكِئلاَيَََّْٛهَعَُةَزبَجِحْنأََ ُضبَُّناَبَُْدُٕقََٔاًزبَََْىُكِٛهَْْأََْٔى

ٌََُٕصْعََٚلا

َ

ٌََُٔسَيْؤَُٚبَيَ ٌَُٕهَعْفَََْٚٔىَُْسَيَأَبَيََ َّالله

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,َ peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

(25)

16

Yang dimaksud dengan memelihara keluarga pada ayat di atas yakni mengasuh dan mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi agama.14

Kewajiban pemeliharaan anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga anak agar tetap terjamin kebutuhan, terjaga dari hal-hal yang dapat membahayakan anak.15

Dasar hukum hadhanah lainnya adalah sebagaimana firman Allah pada (Q.S. Al-Baqarah (2) : 233):16

َِدُٕن ًَْْٕناََٗهَعَََٔتَعبَظَّسناََّىِخَُٚ ٌَْأََداَزَأَ ًٍَِْنٍََِْٛهِيبَكٍََِْٛنَْٕحٍَََُّْدلأَْأَ ٍَْعِظْسَُٚ ُثاَدِنإَْنأَ

َ

ََُّن

َُنَْٕيَلأََبَِْدَنَِٕبٌَةَدِنأَََّزبَعُحَلاَبََٓعْظَُٔلاِإَ ٌطْفَََ ُفَّهَكُحَلاَِفُٔسْعًَْنبِبٍََُُّٓحَْٕعِكٍَََُُّٔٓقْشِز

ٌَدٕ

ََحبَُُجَلاَفٍَزُٔبَشَحََٔبًَُُِْٓيٍَضاَسَحَ ٍَْعَلابَصِفَاَداَزَأَ ٌِْئَفََكِنَذَُمْثِيَِدِزإَْناََٗهَعََِِِٔدَنَِٕبََُّن

َْىُكَدلا َْٔأَإُعِظ ْسَخْعَخََْأَْىُحْدَزَأَ ٌِْإََٔبًََِْٓٛهَع

َ

ُٔسْعًَْنبِبَْىُخَْٛحآَبَيَْىُخًَّْهَظَاَذِإَْىُكَْٛهَعََحبَُُجَلاَف

َِف

ٌَسِٛصَبَ ٌَُٕهًَْعَحَبًَِبََ َّاللهٌَََّأَإًَُهْعأَََ َّاللهَإُقَّحأَ

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 233).

Maksud dalil diatas adalah bahwasannya orang tua berkewajiban untuk menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak serta

14

Syaikh Hasan Ayuub, Fiqh Keluarga, Cet. IV, h. 391.

15 Syarifuddin, Hukum Hadhanah(Jakarta: 2006), h. 328.

16 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

(26)

17

kesehatan baik secara fisik maupun psikis, karena masa-masa itulah sangat mempengaruhi anak dari segi perawatan, asuhan dan pendidikan yang harus diberikan dan diperhatikan oleh kedua orangtuanya. Hal tersebut merupakan upaya mewujudkan manusia yang berkualitas dan berakhlak tinggi.17

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.18 Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dua orang yang mendidiknya. Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pengakuan ibu bapaknya, karena adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang.19

B. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fiqh

Konsep pemeliharaan dan perlindungan anak dalam hukum Islam (fiqh) lebih dikenal dengan hadhanah yang merupakan salah satu dari hak anak yang wajib dipenuhi. Menurut Muhammad Mugniyah, pemeliharaan dan

17

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h.150.

18 Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta Kencana, 2006), h. 177. 19 Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia, 1999), h. 172.

(27)

18

pengawasan harta itu bukan hanya anak yatim saja tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil, safih dan bangkrut.20

Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat orang yang menjadi Hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadapat anak yang menjadi asuhannya, seorang hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang di asuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.21

Melaksanakan tugas hadhanah bukanlah suatu tugas yang mudah karena bukan saja memelihara dengan memenuhi kebutuhan jasmani anak saja akan tetapi pendidikan atau moral anak pun menjadi tanggung jawab pelaksana hadhanah itu sendiri. Karena itu tidak sembarangan orang yang dapat melaksanakan hadhanah. Ada kriteria atau syarat-syarat ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggerakan hadhanahnya.22Persyaratannya yang diajukan Imam Taqiyuddin, bahwa pemelihara atau pengasuh harus:

23

َُتَيَبَقِلاْاَ،)ُوَِلاْظَِلاْا(َ ٍََُّْٚدناَ،ِجََْٔشَ ٍِّيَُقُهُحنْاَ،ُتَََبَيََلاْاَ،ُتَّقِعنْاَ،َََُّّٚسُحنُاَ،ُمْقَعنْا

Artinya: “Berakal sehat, merdeka, memiliki kasih sayang dapat dipercaya, tidakbersuami, beragama Islam, dan bertempat tinggal.”

20 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.166.

21 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:

Kencana, 2004), h. 172.

22 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 179

23 Imam Taqiyuddin Abi Bakr, Khifayah Al-Ahyar, (Surabaya: Al-Hidayah, t.th), Juz. 2,

(28)

19

Persyaratan yang dikemukakan tentang pemeliharaan anak memang hanya berkisar pada hal tersebut di atas, karena hal tersebut merupakan hal pokok, misalnya seperti seorang pengasuh harus berakal sehat. Jelas bagi orang yang tidak berakal sehat atau gila tentunya tidak akan mampu mendidik anak karena mereka saja tidak dapat mengurus keperluan dirinya sendiri, oleh karena itu berakal sehat merupakan syarat utama.

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau disebut madhun atau hadinah. Baik masih dalam ikatan perkawinan atau setelah perceraian, kedua orang tua berkewajiban untuk memelihara anaknya dengan baik. Adapun syarat-syarat hadhin adalah sebagai berikut:24

1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan. 2. Berpikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak akan

mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.

3. Beragama Islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan

24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan

(29)

20

mengarahkan agama yang diasuh. Kalau oleh orang yang bukan agama Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.

4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama, orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh anak yang masih kecil.

Sayyid sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah memberikan persyaratan untuk hadhinah sebagai berikut:25

1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani hadhanah.

2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. 3. Mampu mendidik, karena tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta

atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus.

4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak masih kecil dan tidak dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik.

5. Islam, anak kecil tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Sebab, hadhanah merupakan masalah perwalian, sedangkan Allah tidak

(30)

21

membolehkan orang Mukmin dibawah perwalian orang kafir, sesuai yang tersirat dalam firman Allah SWT. Surat An-Nisa’ Ayat 141:26

6. Ibunya belum kawin lagi. 7. Merdeka

Para ulama sepakat bahwa, dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa orang yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, bukan penari, bukan peminum khamr, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuannya dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut diatas adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan pertumbuhan moralnya.27

C. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

1. Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Hak asuh anak dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal-pasal yang mengatur mengenai hak asuh anak yang tercantum dalam UU No.1 Tahun 1974 terdapat pada pasal 41. Pasal 41 UU No.1 Tahun 1974 tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian menerangkan kewajiban kedua belah pihak orang tua menjaga kepentingan anak yang meliputi penghidupan dan pendidikan dan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ditanggung oleh pihak ayah, yang berbunyi akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

26 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, h. 290.

(31)

22

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.28

Dalam PP. No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 pembahasan mengenai hak asuh anak tidak diatur. Akan tetapi, dalam pasal 24 ayat 2 berbunyi: Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat:

1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami.

(32)

23

2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.

3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Hal tersebut menerangkan bahwa, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya anak, walaupun masih dalam proses persidangan. Sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan terpeliharanya anak, meskipun kedua orang tuanya sedang menjalani proses sidang perceraian. Tidak bisa dipungkiri bahwa, perceraian merupakan sesuatu yang tidak diinginkan oleh anak, maka keadaan jiwa seorang anak pastilah terganggu dengan perceraian kedua orang tuanya, sudah barang tentu di antara kedua orang tua wajib menjaga keadaan jiwa maupun raga anak dalam rangka terpeliharanya si anak.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan tentang pengusaan anak secara tegas yang merupakan rangakaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-kitab fikih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun

(33)

24

1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama di beri wewenang untuk menyelesaikannya.29

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib nmemelihara dan mendidik anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga dapat meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar Pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti luas yaitu kebutuhan primer dan skunder sesuai dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakakn bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.30

Pada pasal 45 bab X mengenai hak dan kewajiban antara Orang tua dan anak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan

29

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 429.

30 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h.

(34)

25

kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.31 Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dari kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. 2. Perspektif KHI (Kompilasi Hukum Islam)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf g dikatakan bahwa: “Hadhanah atau memelihara anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri”.

Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.32

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan:

31 Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk

Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.138.

32 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo,

(35)

26

a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai perbuatan segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Selanjutnya dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah:33

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita dalam garis lurus keatas dari ibu, ayah, wanita dalam garis lurus ayah, saudara perempuan dari anak tersebut, wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibu.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

33 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo,

(36)

27

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusnya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.34

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.35

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakmampuan orang tua atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah

34 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 138.

35 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

(37)

28

laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.36

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut diatas maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka ia tidak berhak lagi mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuh terhadap anak tersebut.

Akan tetapi didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 104 semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.37

Oleh karena itu walaupun ulama sepakat bahwa ibu yang lebih kuat dalam melaksanakan hadhanah, namun dalam kenyataannya sang ibu tersebut memiliki perilaku atau akhlak yang baik atau jika sang ibu mempunyai keyakinan yang berbeda yaitu seorang yang bukan beragama Islam maka demi kemaslahatan anak, bahkan sang ibu pergi meninggalkan rumah dan tidak diketahui keberadaannya walaupun telah dilakukan upaya pencarian namun tidak juga diketahui. Maka hadhanah digantikan oleh ayahnya, jika sang ayah telah memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan hadhanah. 3. Perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

36 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.

(38)

29

Perwujudan adanya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan usaha negara dalam melindungi anak untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak untuk hidup. Anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dimana di dalamnya terdapat potensi sebagai generasi muda bangsa yang memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, seperti yang diperjuangkan para pahlawan terdahulu.

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan dalam pasal 26 mengenai begitu pentingnya peran orang tua terhadap kesejahteraan anak. Hal tersebut tercantum dalam pasal 26 dan pasal 30. Disebutkan dalam pasal 26,pada prinsipnya orang tua adalah sebagai subjek penting dalam pencapaian tumbuh kembang yang baik bagi anak. Sedangkan dalam pasal 30 mengenai kuasa hak asuh orang tua terhadap anak dapat dicabut kuasa asuhnya, jika sebagai orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan anak sebagaimana yang dimaksud pasal 26. Akan tetapi hal tersebut tidak menghapuskan hubungan darah antara anak dan orang tua serta tidak menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan anak sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang disebut dalam pasal 32.

Mengenai Hak dan Kewajiban Anak, diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 pasal 4 sampai dengan pasal 18 dimana semua pasal itu menerangkan hak-hak yang harus diterima sebagai anak. Diantara hak-hak anak itu antara lain adalah :

a. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan

(39)

30

harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

b. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

c. Dalam pasal 8 disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

d. Dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

e. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

f. Dalam pasal 13 disebutkan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Mengenai Perlindungan Agama anak, diatur dalam Pasal 42 dan pasal 43 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 42 (1) berbunyi bahwa setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut

(40)

31

agamanya. Sedangkan dalam Pasal 42 (2) menyebutkan bahwa sebelum anak dapat menentukan pilihannya maka agama anak tersebut ikut orang tuanya.

Sedangkan UU No. 23 Tahun 2002 pasal 43 (1) menyebutkan Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam menjalankan agamanya. Pasal (2) menyebutkan perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

Dalam lingkungan keluarga semua ini tidak akan dapat terwujud tanpa perlindungan ayah dan ibu sebagai orang tua. Syariat islam telah menjadikan orang tua bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan anak, dengan dasar anak adalah titipan yang dipercayakan tuhan untuk dipelihara dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.38

4. Perspektif Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Mengenai pentingnya hak asuh anak guna mencapai tujuan yang diinginkan yaitu perkembangan anak yang baik, maka UU No. 39 Tahun 1999 yang diatur dalam pasal 51 (2) menyebutkan bahwa setelah putusnya perkawinan seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak.

38 Muhammad Alwi Al-Maliki, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga, Penejemah Faruk

(41)

32

Hal di atas begitu pentingnya peran orang tua dalam pengasuhan sebagai usaha untuk menumbuh kembangkan anak. Sehingga peran orang tua dalam hal ini tidak boleh dikesampingkan.

D. Tata Cara Penyelesaian Perkara Hak Asuh Anak

Perkara hak asuh anak adalah Perkara Contentius karena pada perkara ini ada sengketa antara orang tua dalam memperebutkan antara orang tua dalam memperebutkan hak asuh anak.

Prosedur perkara hak asuh anak di awali dengan mengajukan surat gugatan ke Pengadilan Agama selanjutnya hakim memeriksa dan mengadili perkara hadhanah itu dengan hati-hati. Jika putusan tentang hadhanah telah diucapkan dan pihak yang menguasai anak tidak bersedia menyerahkan anak-anaknya sesuai dengan putusan hakim tersebut maka hendaklah ditempuh jalan persuasif, sehingga putusan ini dapat dilaksanakan secara sukarela. Apabila pihak yang menguasai anak itu tetap tidak bersedia menyerahkan anak-anaknya sesuai dengan putusan hakim tersebut, maka para yang mempunyai hak dalam putusan hakim itu mengajukan perkara tersebut agar amar putusan hakim itu supaya dilaksanakan secara paksa.

Apabila dilihat dari perspektif gender bisa disimpulkan bahwa pasal 105 dan 156 di atas ternyata tidak menunjukkan ketidakadilan gender terhadap laki-laki. Secara implisit, kedua pada istri jika terjadi perceraian. Agaknya, alasan yang dipakai oleh KHI ini tidak akan jauh berbeda dengan alasan yang dipakai oleh fuqaha, bahwa istri lebih mempunyai jiwa keibuan dibanding suami.

(42)

33

Dalam bentuk praktis, ketentuan pasal ini umumnya dijadikan pedoman oleh Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perselisihan tentang pengasuh anak. Bahkan, dalam banyak kasus, ketika perceraian didasarkan atas istri, pengadilan masih sering memberikan hak pengasuh kepada pihak istri, pengadilan masih sering memberikan hak pengasuhan dikhawatirkan suatu saat nanti anaknya akan meniru tingkah laki ibunya yang nakal misalnya.

(43)

34

BAB III

PENYELESAIAN PERKARA HAK ASUH ANAK DI PENGADILAN AGAMA TANGERANG

A. SEJARAH PENGADILAN AGAMA TANGERANG

Kota Tangerang dinyatakan sebagai wilayah Kotamadya (Kota) pada

tanggal 31 Juli 1993. Status kota yang saat itu berada di bawah provinsi Jawa

Barat merupakan upaya pengembangan wilayah daerah tingkat 2 (dua) yang

sebelumnya dipusatkan pada satu wilayah kabupaten Tangerang. Berdasarkan

undang-undang nomor 2 tahun 1993 kota tangerang diberikan otoritas daerah

tersendiri di samping kabupaten kota tangerang yang berpusat di Tigaraksa.

Selanjutnya, setelah provinsi Banten dibentuk Kota Tangerang pun beralih

menjadi wilayah Kota yang berada di bawah provinsi Banten.39

Penelusuran pembentuk Pengadilan Agama Tangerang secara

histories pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Pengadilan

Agama-Pengadilan Agama lainnya yang ada di wilayah negara RI. Fase

sebelum kemerdekaan dimana indonesia mengalami beberapa kali masa

penjajahan oleh bangsa lain seperti Belanda, Jepang dan lain-lain mewarnai

tumbuh kembang dan terbentuknya ilustrasi Peradilan Agama di Indonesia.

39 Pengadilan Agama Tangerang, artikel diakses pada 18 April 2016 dari

(44)

35

Pengadilan Agama Tangerang sudah beberapa kali melakukan

pergantian ketua sejak pertama kali berdiri hingga sekarang, adapun

nama-nama ketua Pengadilan Agama Tangerang sebagai berikut :40

Tabel III.1 Nama-nama Ketua Pengadilan Agama Tangerang

No. NAMA GOL PEND TAHUN

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7 8. 9. 10. KH. Djunaedi KH. Mhd. Sirodj KH. Mursan KH. Abdullah Mu’min KH. Sa’ban Salim

KH. Yusuf Mustafa Harahap

KH. Sumarna

H. Halimi, BA

Drs. Humaidi ZA,ZA

Drs.H.Satibi Abdul Hadi

- - - - - - - - - - - - - - - - - - Sarmud S1 1942-1949 1949-1954 1955-1960 1960-1965 1965-1972 1972-1974 - 1974-1978 1978-1979 1979-1980

40Pengadilan Agama Tangerang, artikeldiaksespada 18 April 2016 dari

(45)

36 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Drs.H.Yusuf Effendi H. Abdullah Juki, SH Drs. H. Muhammad Hasyim Drs. H.Abdurrahman Abror

Drs. H. Zurrihan Ahmad, SH, M.Hum

Drs.HM. Nadjmi, SH. M.Hum

Drs.H.A.H.Chairuddin Ridwan, SH

Drs.H.Ahmad Fathoni, SH, M.Hum

Drs. Tata Sutayuga, SH. Drs. H. Ambo Asse., SH.,MH. Drs. H. Chazim Maksalina., MH. Drs. Nasirudin, M.H. Drs. Muhayah, S.H.,M.H. - - - - - - - IV/b IV/b IV/c IV/c IV/c IV/c S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S2 S2 S2 1980-1984 1984-1987 1987-1989 1989-1994 1994-1999 1999-2002 2002-2004 2004-2007 2007-2010 2010-2012 2012-2013 2013-2015 2015 s/d sekarang

(46)

37

Pengadilan Agama Tangerang yang bertempat di Jalan Perintis

Kemerdekaan II, Komplek Perkantoran Cikokol Kota Tangerang adalah

merupakan Pengadilan Kelas IB yang berada di wilayah hukum Pengadilan

Tinggi Agama Banten.

Pengadilan Agama Tangerang dibangun di atas tanah seluas ± 2.020

m2 dengan status tanah hak pakai berdasarkan sertifikat yang diterbitkan

Badan Pertanahan Nasional Tangerang Nomor 28 dan 29 tanggal 21

September 1984 dan telah dibalik atas nama Pemerintah Republik Indonesia

Mahkamah Agung RI.41

Adapun bangunan gedung Pengadilan Agama Tangerang Seluas ±

1858 m2 lantai yang telah dibangun pada tahun 2009.

Letak geografis kota Tangerang antara 6’ 6’Lintang Selatan sampai

dengan 6’ 13’ Lintang Selatan dan 106 36’ Bujur Timur. Batas wilayahnya;

1. Sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan

Sepatan Kabupaten Tangerang.

2. Sebelah selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug (Kabupaten

Tangerang) dan Kecamatan Serpong, Kecamatan Pondok Aren

(Tangerang Selatan).

41Pengadilan Agama Tangerang, artikeldiaksespada 18 April 2016 dari

(47)

38

3. Sebelah Timur, berbatasan dengan DKI Jakarta.

4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten

Tangerang.42

Wilayah Hukum/Yuridiksi Pengadilan Agama Tangerang meliputi

seluruh wilayah Daerah Tingkat II Kota Tangerang yang terdiri dari 13 (tiga

belas) Kecamatan dan 104 (seratus empat) Kelurahan.

Peta wilayah hukum pengadilan agama tangerang secara astronomis,

Kota tangerang terletak di antara: 6’ 6’- 6’ 13’ LS, 106’ 42’ BT. Kota

tangerang ini meliputi areal seluas 164,539 KM² secara geografis dengan

batas sebagai berikut:

a. Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Serang

b. Sebalah Utara : Laut Jawa

c. Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Tangerang

d. Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Lebak

Pembagian wilayah hukum kota tangerang adalah 1,231 Ha, memiliki

wilayah 13 kecamatan 104 kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah

sebagai berikut:

(1) Kecamatan Ciledug

42Pengadilan Agama Tangerang, artikel diakses pada 15 April 2016 dari

(48)

39

(2) Kecamatan Larangan

(3) Kecamatan Karang Tengah

(4) Kecamatan Cipondoh (5) Kecamatan Binong (6) Kecamatan Tangerang (7) Kecamatan Karawaci (8) Kecamatan Jatiwurung (9) Kecamatan Jatiwurung (10) Kecamatan Priuk (11) Kecamatan Neglasari

(12) Kecamatan Batu Ceper

(13) Kecamatan Benda43

B. KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG

Sebagai pengadilan tingkat pertama atau badan pemeriksa kehakiman

adalah memeriksa, menerima dan memutus perkara perselisihan hukum

antara orang-orang Islam mengenai bidang hukum perdata tertentu yang harus

diputus berdasarkan syari’at Islam. Perkara-perkara yang menjadi weweang

absolut peradilan agama dapat dilihat dalam pasal 2a Statblaad 1937 No. 116

43 Pengadilan Agama Tangerang, artikel diakses pada 18 April 2016 dari

(49)

40

yang isinya sama dengan pasal 3 Staatblaad 1937 No. 638 dan berlaku bagi

peradilan agama di Jawa. Madura dan sebagian Kalimantan Selatan.

Perkara-perkara tersebut adalah:

1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.

2. Perkara NTR (nikah, talak, rujuk dan perceraian).

3. Memberi putusan perceraian.

4. Menyatukan bahwa syarat jatuhnya talak digunakan (ta’lik talak) sudah

ada.

5. Mahar (termasuk Mut’ah).

6. Perkara tentang kehidupan istri yang wajib diadakan suami (nafkah).44

Dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974

maka kekuasaan pengadilan agama selain yang tersebut dalam pasal 2a ayat

(1) Staatblaad 1882 No. 152 jo Statblaad 1937 No. 638 untuk Kalimantan

Selatan, dan pasal 4 ayat (1) undang-undang Perkawinan, maka pengadilan

agama yang diberi tugas pula memeriksa dan menyelesaikan

perkara-perkara:45

44

Abdul Majid, Putusnya perkawinan berdasarkan gugatan yang diakibatkan oleh

pelanggaran ta‟lik talak (Studi kasus Putusan nomor: 266/Pdt.G/2006/PA.Tng.), h.31-34.

45 Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya:

(50)

41

a. Izin seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (pasal 4 ayat (1)

UUP).

b. Izin kawin sebagai dimaksud (pasal 6 ayat (5) UUP).

c. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat (2) UUP).

d. Pencegahan perkawinan (pasal 17 ayat (1) UUP).

e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatatan perkawinan (pasal 21

ayat (3) UUP).

f. Pembatalan perkawinan (pasal 25 UUP)

g. Gugatan suami dan istri atas kelalain pihak lain dalam menunaikan

kewajibannya masing-masing.

h. Penyaksian talak (pasal 39 UUP).

i. Gugatan perceraian (pasal 40 ayat (1) UUP).

j. Penentuan kekuasaan anak-anak (hadhanah) (pasal 41 sub a UUP).

k. Penentuan penghidupan bagi bekas istri (pasal 41 sub b UUP).

l. Penentuan pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub c UUP).

m. Penentuan tentang sah/tidak sahnya anak dasar tuduan zina oleh suami

(51)

42

n. Memberikan pelayanan kebutuhan rohaniawan Islam untuk pelaksaan

penyumpahan pegawai/pejabat yang beragama Islam. (Permenag. No.

1/1989).

o. Melaksanakan hisab rukyat hilal.

p. Menyelesaikan permohonan pertolongan harta peninggalan di luar

sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam (pasal 107 ayat 92) UU No. 7/1989).46

Kewenangan dan kekuasaan pengadilan agama dicantumkan pula

dalam bab III Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang meliputi pasal: 49

sampai dengan pasal 53. Pasal 49 adalah yang menentukan wewenang

peradilan agama secara mutlak, yang berarti bidang-bidang hukum

(Kompetensi Absolut) dari peradilan agama. Bidang-bidang hukum perdata

tersebut adalah:

a. Perkawinan

b. Wasiat

c. Wakaf, hibah dan shadaqah.

Kalau kita lihat bidang-bidang tertentu dan hukum ini, maka yang

dapat kita katakan, bahwa kompetensi absolut peradilan agama adalah bidang

(52)

43

hukum keluarga dari orang-orang yang beragama islam, seperti juga terdapat

di beberapa negara lain.47

Yang dimaksud bidang perkawinan, yaitu yang diatur dalam

undang-udang Perkawinan No. 1 tahun 1974 seperti yang disebutkan diatas.

Kewenangan Pengadilan Agama Tangerang setelah UU No 3 Tahun 2006.Pengaturan tentang kewenangan ini sebelumnya diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dimana disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah; c. wakaf dan shadaqah.

Dari pasal tersebut dengan jelas kita ketahui bahwasanya Pengadilan Agama hanya mempunyai kewenangan mengadili di tiga bidang saja. Apabila kita lihat pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 ternyata kewenangan Pengadilan Agama di perluas menjadi sembilan bidang dimana disebutkan Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

(53)

44 a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; i. ekonomi syari’ah.

Kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk

memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan

perkara tertentu itu. hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan

kebutuhan hukum masyarakat,khususnya masyarakat muslim Perluasan

tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Penyelesaian sengketa

mengenai ekonomi syariah tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,

melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya kemudian yang dimaksud

dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang

atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan

sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi kewenangan

Gambar

Tabel III.1 Nama-nama Ketua Pengadilan Agama Tangerang

Referensi

Dokumen terkait

Bagian yang diterima oleh anak adalah (1) apabila anak laki-laki sendiri, maka ia memperoleh semua harta ibu bapaknya; (2) apabila anak perempuan seorang diri ia mendapat 1/2

Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi