• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai) SKRIPSI"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Dedy Herianto Damanik 130200181

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 8

(2)

2

(3)

ABSTRAK

Dedy Herianto Damanik*) Edy Ikhsan**)

Syamsul Rizal***)

Prinsip itikad baik pada umumnya telah menjadi landasan fundamental bagi pembuatan dan pelaksanaan kontrak, sebab tanpa dilandasi dengan itikad baik para pihak yang terlibat dalam perjanjian mustahil perjanjian itu akan berjalan dengan baik sebagaimana yang telah disepakati bersama. Permasalahan dalam penelitian ini pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Mdan Sukaramai telah memenuhi asas itikad baik. Penyebab terpenuhi atau tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Medan Sukaramai. Upaya pihak bank dalam hal debitur tidak beritikad baik.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, Sifat penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research dan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif.

Pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan telah memenuhi asas itikad baik sebelum dilaksanakannya perjanjian kredit, pihak Bank Mandiri KCP Sukaramai akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk melihat apakah agunan yang dijaminkan itu bebas dari masalah dan dapat digunakan sebagai pengamandari perjanjian tersebut. Meskipun pihak kreditur telah melakukan, tetapi masih ditemukannya permasalahan dalam perjanjian kredit. Permasalahan yang dimaksud merupakan hambatan-hambatan yang didapat dari suatu pelaksanaan perjanjian kredit. Penyebab terpenuhi atau tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan Untuk mengetahui penyebab terpenuhi atau tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Sukaramai yaitu mulai dari tahap awal perjanjian serta pencairan dana dan pembayaran cicilan kredit terpenuhi. Dimana masalah memiliki karakter baik untuk tujuan bersama dalam niat pelunasan utang yang telah tertera dengan angunan yang sesuai. Tindakan Bank Mandiri KCP Sukaramai terhadap debitur yang menunggak yaitu menyampaikan surat peringatan pertama 15 hari setelah satu bulan menunggak dan selanjutnya jika tidak ditenggarai juga dilanjutkan surat peringatan kedua 15 hari setelah surat peringatan pertama. Begitu juga untuk selanjutnya sampai peringatan ketiga jika tidak direspon, maka pihak Bank Mandiri KCP Sukaramai akan melakukan tindakan menyelenggarakan ke badan lelang yang ada di Medan.

Kata Kunci : Itikad Baik, Kredit, Perbankan, Perjanjian

1

*) Mahasiswa FH USU

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(4)

4

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Perbankan (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai). Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H, MHum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Edy Iksan S.H., M.A selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Syamsul Rizal., S.H., M.Hum, sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

10. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis Bonar Damanik dan Linda Sinaga, yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

11. Buat adik-adik saya yang selalu memberi hiburan dan semangat serta yang menjadikan motivasi saya untuk menjadi panutan bagi mereka Edwin Damanik dan Apriando Damanik.

12. Buat teman seperjuangan saya Yakup Sinulingga, Vicky Damanik,

Chrismansyah Sinaga yang senantiasa memberikan penyegaran yang

setiap harinya menanyakkan perkembangan skripsi saya.

(6)

6

13. Buat seseorang yang special Jelita Hutasoit yang banyak mengorbankan waktu dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Buat abang dan kakak yang bertugas Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan terkhusus bang Ivan Butar-butar yang membantu penelitian saya.

15. Buat boau saya Christina Damanik yang selalu sabar memberi nasehat dan motivasi untuk menjadi seorang sarjana.

16. Dan segenap pihak yang membantu secara langsung ataupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih untuk setiap do‟a dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Agustus 2018 Penulis,

Dedy Herianto Damanik

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit ... 16

B. Asas-Asas Perjanjian Kredit ... 24

C. Bentuk Perjanjian Kredit dan Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit... 31

D. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kredit ... 35

E. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kredit ... 37

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS ITIKAD BAIK DAN BANK A. Tinjauan Umum tentang Asas Itikad Baik ... 40

1. Pengertian Asas Itikad Baik ... 40

2. Fungsi Asas Itikad Baik dalam Perjanjian ... 42

(8)

8

B. Tinjauan Umum Tentang Bank ... 44

1. Pengettian Bank ... 45

2. Sejarah Perbankan ... 46

3. Jenis-jenis Bank ... 50

4. Kegiatan-Kegiatan Usaha Bank ... 58

BAB IV PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN (STUDI PADA PTBANK MANDIRI (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai) 1. Pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan telah memenuhi asas itikad baik ... 60

2. Penyebab terpenuhi atau tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan ... 70

3. Upaya pihak bank dalam hal debitur tidak beritikad baik ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perjanjian merupakan suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

2

Realita yang terjadi dalam suatu interaksi pergaulan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup tidak mungkin dapat disimpangi. Seperti suatu peristiwa jual beli yang kerap kali dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun seringkali tanpa disadari bahwa peristiwa jual beli yang dilakukan tanpa disadari adalah suatu perbuatan hukum yang juga dapat menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum yang ditimbulkan dapat saja berdampak positif dan negatif.

Berdampak positif apabila sedari awal dilakukannya suatu perbuatan hukum itu didasari oleh adanya itikad baik yang tidak datang hanya dari satu pihak, tetapi dari pihak lain yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Apabila tidak didasari oleh itikad baik, maka sudah barang tentu akan berakibat negatif yang berujung pada timbulnya suatu permasalahan, konflik ataupun suatu sengketa.

3

Dalam hukum perdata asas itikad baik merupakan suatu aturan yang terdapat dalam perjanjian, baik perjanjian antara individu dengan individu atau individu dengan badan hukum. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) dinyatakakan bahwa :“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

2

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 2002, hal. 7

3

R.Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar Maju, 2002,

hal 102

(10)

10

Maksud itikat baik disini bertindak sebagai pribadi yang baik.

4

Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan pembuatan hukum sedangkan itikad baik dalam pengertian objektif yaitu merupakan pelaksanan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau sesuatu yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.

Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan itikad baik yang objektif yaitu itkad baik dalam pelaksanaan perjanjian. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal „„pelaksanaan‟‟ dari suatu kontrak, bukan pada

“pembuatan” suatu kontrak karena unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak (itikad baik subjektif) sudah dapat dicakup oleh unsur “sebab yang halal”

yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Asas itikad baik merupakan landasan utama yang mendasari setiap pembuatan perjanjian guna untuk memberikan keadilan bagi para pihak yang membuat kesepakatan dan sebagai pernyataan berlakunya suatu perjanjian. Suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum disebut dengan perjanjian. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang, suatu perjanjian yang di buat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain, menurut kenyataanya mengikat itu dapat berupa perbuatan.

5

4

Ibid

5

Ibid

(11)

Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh civil law. Dalam perkembangannya diterima pula dalam hukum kontrak di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australian, Selandia baru, dan Kanada. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan terutama yang berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut “Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum.

6

Prinsip itikad baik pada umumnya telah menjadi landasan fundamental bagi pembuatan dan pelaksanaan kontrak, sebab tanpa dilandasi dengan itikad baik para pihak yang terlibat dalam perjanjian mustahil perjanjian itu akan berjalan dengan baik sebagaimana yang telah disepakati bersama. Munculnya asas itikad baik ini berawal dari kesepakatan atau persesuaian kehendak yang dibuat oleh para pihak sebagai implementasi dari asas konsensualisme dalam perjanjian.

7

Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja harus ada pada saat pelaksanaan kontrak, tetapi juga ada pada saat dibuat atau ditandatanganinya perjanjian.

8

Dengan demikian, asas itikad baik mengandung definisi bahwa kebebasan suatu

6

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 2003, hal 112

7

I Gusti Agung Wisudawan. Prinsip Itikad Baik Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Sebagai Upaya Meminimalisasi Terjadinya Kredit Bermasalah Pada Lembaga Keuangan Koperasi GaneÇ Swara Vol. 7 No.2 September 2013, hal 58

8

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Prenada Media, 2014,

hal 4

(12)

12

pihak membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan secara bebas, tetapi dibatasi oleh itikad baik dari para pihak yang terikat perjanjian.

Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis haruslah diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan, terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini, Suharnoko

9

menyatakan bahwa secara implisit Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari. Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental dari seseorang.

Itikad baik merupakan niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum.

10

Wirjono Prodjodikoro,

11

menyatakan bahwa para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar menganggap bahwa, selain adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan (billikheid, redelijkheid).

Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua belah pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat

9

Ibid., hal. 5

10

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal.112.

11

R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit.,hal.7

(13)

subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif).

Namun adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.

12

Perjanjian kredit yang dibuat oleh Bank Mandiri (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai Medan debiturnya tentu tidak lepas dari permasalahan- permasalahan kredit yang salah satunya menyangkut pelanggaran atas norma kepatutan dan kejujuran. Seperti pada kasus perjanjian kredit antara debitur dengan kreditur, yang mana perjanjian kredit tersebut mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang sesuai dengan asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum) yang keseluruhannya tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Perjanjian kredit antara debitur dan kreditur tentu dibentuk melalui serangkaian tahapan penyusunan kontrak yang mana dalam setiap tahapnya, rawan untuk timbulnya pelanggaran atas asas itikad baik. Kenyataannya, para ahli berbeda pandangannya tentang tahap-tahap dalam perancangan kontrak.

13

Mengacu pada tahapan yang dikemukakan oleh Salim, HS yang mana terbagi menjadi tiga tahapan yaitu pra perancangan kontrak, perancangan kontrak, serta pasca perancangan kontrak. Pra perancangan kontrak merupakan tahap sebelum kontrak dirancang atau disusun, sedangkan perancangan kontrak merupakan tahap dimana

12

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 53.

13

Salim H.S., dkk, Perancangan Kontrak Memorandum of Understanding (MoU), Cet.

Ke VI, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hal. 83

(14)

14

kontrak disusun oleh kedua belah pihak yang meliputi pembuatan draft kontrak, saling menukar draft kontrak, revisi kontrak, penyelesaian akhir, serta penutup.

Tahap terakhir yang merupakan pasca perancangan merupakan tahap pelaksanaan serta alternatif penyelesaian sengketa.

Perjanjian kredit antara debitur dan kreditur dibuat untuk menentukan isi kontrak yang menjadi landasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing- masing pihak. Hak nasabah sebagai selaku debitur diantaranya meliputi menerima sejumlah pinjaman kredit sesuai dengan kesepakatan dan memperoleh pembinaan dari kreditur. Sementara itu hak kreditur diantaranya adalah memperoleh pengembalian dana yang dipinjam oleh debitur. Selain menerima hak, kedua belah pihak mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pokok debitur adalah berupa mengembalikan dana yang dipinjamnya dari kreditur, sedangkan kewajiban pihak kreditur meliputi melakukan pemeriksaan dan pembinaan atas usaha debiturnya.

Penerapan itikad baik dalam suatu perjanjian dapat dikatakan menjadi

suatu permasalahan, karena sangat sulit apabila dipahami secara subjektif, oleh

karena itu itikad baik hanya dapat dilihat apabila secara objektif yaitu pelaksanaan

kewajiban berdasarkan perjanjian. Tindakan-tindakan yang melanggar asas itikad

baik pernah pada perjanjian kredit PT. Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan

pernah mengalami kerugian dikarenakan pihak debitur tidak melaksanakan

kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian. Di sadari bahwa, itikad baik ini

sifatnya sangat subjektif karena ukurannya tidak dapat ditentukan, akan tetapi

nilai subjektif tersebut akan dapat terlihat dari pelaksanaan perjanjian tersebut.

(15)

Pentingya itikad baik dalam suatu perjanjian khususnya perjanjian kredit dikarenakan akan terbentuknya suatu kepercayaan, sehingga pelaksanaan perjanjian tersebut dapat berjalan dan pada akhirnya masing-masing pihak akan mendapatkan keuntungan.

14

Proses pemberian kredit merupakan sebelum debitur mendapatkan persetujuan kredit. Tahap yang umumnya dilalui oleh debitur untuk dinilai oleh petugas bank

15

pengajuan kredit permohonan kredit dilakukan oleh calon debitur dengan tujuan mendapatkan kredit sesuai dengan yang dibutuhkan. Permohonan ini harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada pihak bank. Analisis kredit merupakan proses pengolahan informasi dasar yang telah diperoleh menjadi informasi yang lengkap. Informasi yang lengkap terdiri dari beberapa faktor, diantaranya peluang dan ancaman yang akan mempengaruhi usaha serta kelancaran pembayaran kredit. Analisis kredit juga dilengkapi dengan evaluasi atas kebutuhan modal yang dibutuhkan calon debitur.

Dalam prakteknya di PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk KCP Medan Sukaramai bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk KCP Medan. Namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memerhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata

14

Hasil wawancara dengan Ivan Yolessa Butar-Butar selaku Mikro Kredit Analis. PT.

Bank Mandiri (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai, tanggal 12 Maret 2018

15

Ade Arthesa, dan Edia Handiman, Bank & Lembanga Keuangan Bukan Bank,

Bandung, Indeks Kelompok Gramedia, 2006, hal. 170-178

(16)

16

cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut perlu guna mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat (invalidity), sehingga pada saat dilakukannya perbuatan hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pejabat bank harus dapat memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah selesai dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.

16

Seperti pada putusan No. 04/Pdt.Sus/BPSK/2017/PN-Lbp, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) PERMA No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara mengajukaan keberatan terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berbunyi pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkaraa, hal mana memberikan pengertian bahwa kewenangan hakim pengadilaan negeri dalam memeriksa perkara keberatan atas putusan BPSK hanya dalam ruang lingkup isi putusan dan berkas perkara terkait.

BPSK Kabupaten Batubara dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan dalam perkara a quo telah keliru menerapkan hukum dan melampaui Undang- Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman dalam mencantumkan title eksekutorial atau irah-irah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. BPSK tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang hukum perdata atau suatu sengketa/perdata yang terbit berdasarkan wanprestasi terhadap perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

16

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-5, Jakarta, Erlangga,

1999, hal.51

(17)

Berdasarkan penjelasan di atas maka itikad baik telah menjadi asas yang sangat penting di dalam sebuah perjanjian baik pada tahap pra kontrak maupun tahap pelaksanaan kontrak, dari uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Penerapan Asas Itikad Baik dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Perbankan (Studi pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

4. Apakah pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Medan Sukaramai telah memenuhi asas itikad baik?

5. Apakah yang menjadi penyebab terpenuhi atau tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Medan Sukaramai?

6. Apa upaya pihak bank dalam hal debitur tidak beritikad baik?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis melalui penelitian ini dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Medan Sukaramai telah memenuhi asas itikad baik.

2. Untuk mengetahui penyebab terpenuhi atau tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Medan Sukaramai.

3. Untuk mengetahui upaya pihak bank dalam hal debitur tidak beritikad baik.

(18)

18

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya hukum perdata berkaitan dengan penerapan asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit perbankan.

2. Manfaat praktis

Diharapkan dapat lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penyusun dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

E. Keaslian Penulisan

Keaslian penulisan skripsi ini benar merupakan hasil dari pemikiran dengan

mengambil panduan dari buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan judul

dari skripsi, ditambah sumber riset dari lapangan di PT. Bank Mandiri (Persero)

Tbk KCP Medan Sukaramai. Dalam kesempatan ini akan dibahas tentang

Penerapan Asas Itikad Baik dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Perbankan (Studi

pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai), berdasarkan

penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

Fakultas Hukum yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online tidak

ditemukan judul tersebut di atas, namun ada beberapa judul yang membahas

tentang penerapan asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian antara lain:

(19)

Ridzki Sethya Cahya Yahtiano. Fakultas Hukum Universitas Jember (2012) dengan judul penelitian Pelaksanaan Asas Itikad Baik Nasabah Dalam Perjanjian Kredit Bank. Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Upaya bank untuk mencegah terjadinya perjanjian kredit yang tidak dilaksanakan dengan itikad baik.

2. Pelaksanaan asas itikad baik dalam perjanjian kredit bank.

3. Konsekuensi Hukum Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Kredit Bank.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademi.

F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Untuk membahas permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini penulis

menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan

yuridis normatif merupakan pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan

menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas

hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin

hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada

diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang

diteliti. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yatu cara prosedur yang

dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data

(20)

20

sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan

17

.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung yang bertujuan agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian, sehingga mampu menggali hal–hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang–undangan.

18

Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran atau suatu fenomena yang berhubungan dengan penerapan asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit perbankan.

3. Sumber penelitian

Sumber data yang digunakan data sekunder sebagai bahan penelitian dan bahan hukum primer. Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari instrumen hukum nasional, terdiri dari

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undng-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

17

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif SuatuTinjauan Singkat., Jakarta, Rajawali Pers, 2013, hal. 52

18

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal 223.

(21)

3) Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

b. Bahan hukum sekunder dari penelitian ini yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer penerapan asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit perbankan, bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain: pendapat para pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa; buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan judul skripsi.

c. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan berupa kamus hukum dan ensiklopedia.

4. Teknik pengumpulan data

Dalam rangka pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua cara pengumpulan data :

a. Studi kepustakaan (library research) penulis menggunakan studi kepustakaan dengan menelaah perundang-undangan serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan.

b. Studi lapangan (fiel research). Dalam studi lapangan penulis melakukan

pengumpulan data dengan membuat wawancara. Wawancara dilakukan

kepada Ivan Yolessa Butar-Butar selaku Mikro Kredit Analis PT. Bank

Mandiri KCP Sukaramai Medan.

(22)

22

5. Analisis data

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk dapat memberikan gambaran secara jelas atas permasalahan yang ada yang akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif analisis.

G. Sistematika Penulisan

Sitematika penyusunan skripsi ini tertuang dalam 5 (lima) bab yang tersusun dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan, dam di setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Guna memberikan gambaran mengenai skripsi ini nantinya, maka penulis akan memberikan gambaran secara garis besar sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan awla dari penelitian yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan dan metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

\ Bab ini berisikan pengertian kredit dan perjanjian kredit, asas-asas

perjanjian kredit, bentuk perjanjian kredit dan syarat-syarat sahnya

perjanjian kredit, pihak-pihak dalam perjanjian kredit, dan hak dan

kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian kredit.

(23)

\BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS ITIKAD BAIK DAN BANK Bab ini merupakan tinjauan umum tentang asas itikad baik yang terdiri atas pengertian asas itikad baik dan fungsi asas itikad baik dalam perjanjian. Tinjauan umum tentang bank, yang terdiri atas pengettian bank, sejarah perbankan, jenis-jenis bank dan kegiatan-kegiatan usaha bank.

BAB IV PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN (STUDI PADA PTBANK MANDIRI (Persero) Tbk KCP Medan Sukaramai)

Bab ini merupakan hasil penelitian yang berisikan pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan telah memenuhi asas itikad baik. Penyebab terpenuhi atau tidak terpenuhinya asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Mandiri KCP Sukaramai Medan dan upaya pihak bank dalam hal debitur tidak beritikad baik.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan penutup yang akan berisi kesimpulan dan saran

sekaligus sebagai akhir dari penulisan skripsi ini.

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

F. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Istilah kredit dalam bahasa latin disebut “credere”yang artinya percaya.

Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada sipenerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama. Kredit didasari oleh kepercayaan atau keyakinan dan kreditur bahwa pihak lain pada masa yang akan datang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.

19

Menurut Rachmadi Usman, kredit merupakan penyedia uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antar bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

20

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (11), pengertian kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antarabank

19

Eugenia Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya Denngan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Jakarta, Harvaindo, 2003 hlm. 8.

20

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta, Gramedia

Pustaka Utama,2009, hlm. 237.

(25)

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Kredit dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka tertentu dengan pemberian bunga. Pengertian kredit tersebut tercantum kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam.

Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan kredit merupakan hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang berbentuk pinjam meminjam. Perjanjian kredit sendiri mengacu pada perjanjian pinjam meminjam.

21

Berdasarkan pengertian di atas menunjukan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata- mata melunasi utangnya, tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

Perjanjian merupakan suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

22

Realita yang terjadi dalam suatu interaksi pergaulan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup tidak mungkin dapat disimpangi. Seperti suatu peristiwa jual beli yang kerap kali dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. namun

21

Iswi Hariyani, Restrukturisasi & Penghapusan Kredit Macet, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2010, hlm. 9.

22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm. 78

(26)

26

seringkali tanpa disadari bahwa peristiwa jual beli yang dilakukan tanpa disadari adalah suatu perbuatan hukum yang juga dapat menimbulkan akibat hukum.

akibat hukum yang ditimbulkan saja saja berdampak positif maupun negatif.

Berdampak positif apabila sedari awal dilakukannya suatu perbuatan hukum itu didasari oleh adanya itikad baik yang tidak datang hanya dari satu pihak, tetapi dari pihak lain yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Apabila tidak didasari oleh itikad baik, maka sudah barang tentu akan berakibat negatif yang berujung pada timbulnya suatu permasalahan, konflik ataupun suatu sengketa.

23

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat rill.

Sebagai perjanjian yang bersifar prinsipil, maka perjanjian jaminan merupakan assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian

pokok. Arti rill ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh kreditur kepada debitur.

24

Dilihat dari bentuknya, umumnya perjanjian kredit perbankan menggunakan bentuk perjanjian baku. Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan bank. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi jika debitur menolak ia tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit.

23

R.WirjonoProdjodikoro, Op.Cit, hlm.102

24

Hermansah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2005, hlm. 71.

(27)

Dalam membuat perjanjian kredit terdapat beberapa judul dalam praktik perbankan tidak sama satu sama lain, ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit, dan lain sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian tersebut berbeda-beda, tetapi secara yuridis isi perjanjian pada hakekatnya sama yaitu memberikan pinjaman berbentuk uang.

25

Pemberian kredit sendiri sebagai produk dari bank merupakan salah satu fungsi utama dari bisnis perbankan, yakni fungsi menyalurkan dana kepada pihak yang memerlukan setelah menerima pengumpulan dana dari para penyimpan dana. Fungsi ini juga memberikan return atau penghasilan yang paling besar sebanding dengan risiko yang dihadapi perbankan.

26

Pengaturan tentang kredit di Indonesia mengacu kepada ketentuan hukum perbankan. Pengertian tentang kredit sendiri ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

27

25

Sutarno,Aspek-aspek Hukum Perkreditan Bank, Bandung, Alfabeta, 2003,hlm. 97

26

Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta, Kansius, 2003,hlm 75

27

H.R.M. Anton Suyanto, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet (Melalui

Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan), Jakarta, Prenamedia

Group, 2016, hlm 30

(28)

28

Berkaitan dengan pengertian kredit di atas, menurut ketentuan Pasal 1 butir 5 Peraturan Bank Indonesia No. 72/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk:

(a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;

(b) pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak-piutang; dan (c) pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.

28

Usaha perbankan untuk memberikan kredit ini sesuai dengan usaha bank yang khusus bergerak di bidang jasa keuangan. Berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 17 Undang-Undang Perbankan, bank mempunyai kegiatan usaha khusus yaitu:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

b. Memberikan kredit.

c. Melakukan kegiatan valuta asing dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

29

28

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana, 2009, hlm. 71

29

H.R.M. Anton Suyanto, Op.Cit., hlm 30

(29)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kredit adalah persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.” Dari pengertian kredit tersebut, maka didapatkan elemen-eleman, kredit sebagai berikut:

a. Kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang.

b. Penyedia/pemberi pinjaman uang khusus terjadi di dunia perbankan.

c. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit.

d. Dalam jangka waktu tertentu. Adanya prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang disertai sejumlah bunga atau imbalan. Bagi Bank Syariah atau Bank Muamalat, pengembalian utang disertai imbalan atau adanya pembagian keuntungan tetapi bukan bunga.

30

Munir Fuady, elemen-elemen yuridis dari suatu kredit, sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan antara debitur dengan kreditur yang disebut dengan perjanjian kredit.

b. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur. Adanya kesanggupan atau janji untuk membayar utang.

c. Adanya pinjaman berupa pemberian sejumlah uang.

30

Sutamo, Op.Cit., hlm 95

(30)

30

d. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pembayaran kredit.

31

Berdasarkan elemen-elemen kredit di atas, maka suatu pemberian kredit akan dilandasi oleh suatu perjanjian kredit, di mana perjanjian pinjam-meminjam menjadi dasar acuan dalam perjanjian kredit. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sendiri tidak mengatur secara khusus tentang perjanjian kredit. KUHPerdata hanya mengatur tentang utang yang terjadi, karena peminjaman uang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1756 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi utang yang terjadi, karena peminjaman uang hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika, sebelum saat Pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjamkan harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya yang berlaku pada saat itu.

32

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu diantaranya:

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan jaminan).

31

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002,hlm.111

32

R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., hlm 212

(31)

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiaban diantara kreditur dan debitur dan

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

33

Prinsip pemberian kredit dengan analisis 7 P sebagai berikut:

1. Personality,yaitu menilai debitur dari segi kepribadian atau tingkah laku sehari-hari maupun masa lalu.

2. Party, yaitu mengklasifikasikan debitur ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya.

3. Purpose, mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit dan termasuk jenis kredit yang diinginkan calon debitur.

4. Prospect, menilai usaha debitur di masa yang akan datang apakah menguntungkan atau merugikan.

5. Payment, merupakan ukuran bagaimana cara debitur mengembalikan kredit yang telah diambil, atau dari mana saja sumber dana dalam pengembalian kredit.

6. Profitability, untuk menganalisa bagaimana cara debitur dalam mencari laba.

7. Protection, tujuannya adalah bagaimana menjaga kredit yang diberikan namun melalui suatu perlindungan. Yang mana perlindungan tersebut dapat berupa barang atau orang atau jaminan asuransi.

34

33

H.R Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm.183.

34

Kasmir, Manajemen Perbankan, Edisi Revisi, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2015, hlm

93

(32)

32

G. Asas-Asas Perjanjian Kredit

Asas hukum bukan merupakan kaedah hukum yang kongkrit, melainkan merupakan latar belakang peraturan umum yang kongkrit dan bersifat abstrak.

35

dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya perjanjian, isi perjanjian dan pelaksanaan perjanjian yang merupakan kehendak para pihak dalam mencapai tujuan yang diinginkan dalam perjanjian.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1319 KUHPerdata, bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun tidak dikenal denan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan. Didalam Buku III KUHPerdata dikenal lima asas, yaitu :

1. Asas kebebasan berkontrak

Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak Perancis. Kehendak itu dapat dinyatakan dengan berbagai cara baik lisan maupun tertulis dan mengikat para pihak dengan segala akibat hukumnya (Donald Harris and Dennis Tallon) sebagaimana diketahui code civil Perancis mempengaruhi Burgerlijk Wetbook (BW) Belanda dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi, maka BW Belanda diadopsi dalam KUH Perdata Indonesia.

36

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak yaitu adanya paham individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui

35

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar); Yogyakarta, Liberty, 2003, hlm 33

36

Suharnoko, Op.Cit., hlm 4.

(33)

ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.

Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak

37

.

Asas kebebasan berkontrak ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang dinyatakan bahwa : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

38

. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Asas kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

37

Salim H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm 9.

38

Ibid.

(34)

34

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

39

Keempat hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur, sehingga para pihak mengesampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

2. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)

Pada mulanya, suatu perjanjian atau kesepakatan harus ditegaskan dengan sumpah, namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah dihapus oleh gereja kemudian terbentuklah paham bahwa dengan adanya kata sepakat di antara para pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.

40

39

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian DiIndonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia,2002, hlm 44

40

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariata, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 29

(35)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata

41

dalam pasal itu dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak, ini mengandung makna, suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat salah satu pihak menyatakan sepakat pokok perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebutlah yang dijadikan dasar kesepakatan (pernyataan kehendak) dari kedua belah pihak.

3. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)

Setiap orang yang membuat kontrak, para pihak harus terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dinyatakan pada Pasal 1338 ayat (1) yang dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.

berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak

41

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Jakarta, Sinar

Grafika, 2014, hlm 10

(36)

36

boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dinyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

42

4. Asas itikad baik (geode trouw)

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3). Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perunding-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khususnya yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani perjanjian atau masing-masing harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup perjanjian yang berkaitan dengan itikad baik.

43

Ada dua asas makna itikad baik, pertama, dalam kaitannya dengan pelaksanaan perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Dalam kaitan ini itikad baik atau bonafides diartikan perilaku yang patut dan layak antara dua belah pihak (redelijkheid en billikheid). Pengujian apakah suatu tingkah laku itu patut dan adil didasarkan pada norma-norma objektif yang

42

Salim H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Loc.Cit.

43

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak , Jakarta, Rajawali Pers 2013,

hlm. 5

(37)

tertulis. Kedua itikad baik juga diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat, seperti pembayaran dengan itikad baik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1386 KUH Perdata.

44

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.

45

Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap pra perjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada tahap perjanjian, sehingga kepentingan pihak yang satu dapat diperhatikan oleh pihak lain.

Dalam pemelitian penulis menggunakan asas itikad baik, dimana tersebut diguna pakai dalam perjanjian kredit antara kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit, dimana kedua belah pihak melaksanakan perjanjuan tersebut dengan itikad baik.

5. Asas kepribadian (personalia)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseoang yang akan melakukan dan/atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perorangan saja. Hal ini dapat dinyatakan pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH

44

Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, (Yang Lahir dari Hubungan Kontraktual, Jakarta, Kencana, 2014, hlm 77.

45

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir

dari Perjanjian), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.80.

(38)

38

Perdata. Asas personalia dinyatakan pada Pasal 1315 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “Pada umumya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya sendiri”.

Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak ketiga).

46

Intinya ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk penting dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antar pihak yang membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang dinyatakan dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan pada Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

47

Asas kepribadian disimpulkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain.

46

Ibid, hlm. 15

47

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Op.Cit, hlm 13.

(39)

H. Bentuk Perjanjian Kredit dan Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Perjanjian kredit yang dibuat selama ini berpedoman pada hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Perjanjian kredit merupakan landasan hukum dalam pemberian kredit bagi para pihak karena merupakan suatu alat bukti tertulis sah yang diperlukan oleh para pihak. Undang-Undang Perbankan tidak menegaskan atau mengatur tentang bentuk perjanjian yang, harus dibuat oleh pihak kreditur dengan debiturnya.

Menurut Budi Untung secara yuridis formal ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit yang digunakan bank dalam memberikan kreditnya pada debitur, yaitu : 1. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan. Akta

di bawah tangan merupakan perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara bank dan debitur tanpa notaris.

Lazimnya penanda tanganan akta perjanjian kredit, saksi tidak turut serta membubuhkan tanda tangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata di pengadilan.

2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris (akta notariil) atau akta otentik. Akta perjanjian kredit bank notariil (autentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris.”

48

Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum, jika telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan oleh undang-

48

Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Edisi Kedua, Yogyakarta, Andi, 2012,

hlm.31

(40)

40

undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam undang-undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang Bersangkutan, karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat perjanjian itu berlaku diantara mereka. Apabila suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau perjanjian itu batal. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian, maka para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini :

a. Kesepakatan atau persetujuan para pihak,

Kesepakatan yaitu penyesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain. Kesepakatan atau persetujuan para pihak mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada penyesuaian kehendak atau persetujuan masing-masing pihak, yang dilahirkan oleh para pihak dan tanpa adanya unsure paksaan, kekeliruan, maupun penipuan. Persetujuan yang mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.

49

b. Kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity)

Kecakapan bertindak merupakan salah satu cakap hukum yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa artinya sudah

49

Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Bandung, Mandar Maju,

2014, hlm. 76

(41)

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan; dan

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. (ketentuan ini telah dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung).

50

Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian adalah perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim. Jika tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap berlaku bagi para pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut.

c. Ada suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu berarti bahwa sesuatu yang diperjanjikan atau yang menjadi objek perjanjian harus jelas, dan dapat ditentukan jenisnya. Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:

a. Memberikan sesuatu.

50

R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta,

Pradnya Paramita, 2006, hlm 341

(42)

42

b. Berbuat sesuatu, dan

c. Tidak berbuat sesuatu Pasal 1234 KUH Perdata

51

Prestasi perjanjian merupakan menyerahkan hak atas rumah itu dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu. Misalnya dalam perjanjian kerja, maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah. Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak

52

d. Ada suatu sebab yang halal (causa)

Causa atau sebab merupakan suatu hal yang menyebabkan/mendorong orang untuk membuat perjanjian. Menurut KUHPerdata Pasal 1335 dinyatakan bahwa ”suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Tapi dalam Pasal 1336 KUH Perdata disebutkan “jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, dari pada yang dinyatakan, perjanjianya namun demikian adalah sah”. Sebab yang halal menurut Pasal 1337 KUHPerdata

51

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia,Op.Cit, hlm 24

52

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi. Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir

dari Perjanjian), Op.Cit., hlm 93

Referensi

Dokumen terkait

Realisasi indikator kinerja pada tahun 2016 telah sesuai dengan target. jangka menengah yang ditetapkan dalam Rencana Strategis

Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru |alur selelsi Mandiri (SM). Program D3 Universitas Negeri Yogyakarta memberikan penghargaan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Operasional

Kereta Api Indonesia, dimana pemakai tinggal memasukkan data yang diperoleh untuk mendapatkan harga tiket dan kemudian tinggal mencetak laporan untuk diberikan pada pelanggan

[r]

Penulis mengambil tema Perancangan Homepage Dinas Pariwisata Kota Bogor dengan maksud untuk memperkenalkan daerah tujuan wisata di kota Bogor yang selama ini belum banyak diketahui

[r]

Efek doppler itu merupakan peristiwa dimana pengamat mendengar frekuensi yang lebih tinggi jika kedudukan antara pengamat dan sumber bunyi mendekat, dan pengamat mendengar