EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH
SKRIPSI
OLEH:
RABIATUL ALFANI D 110301210
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH
SKRIPSI
OLEH:
RABIATUL ALFANI D
110301210/ AGROEKOTEKNOLOGI
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH
SKRIPSI
OLEH:
RABIATUL ALFANI D
110301210/ AGROEKOTEKNOLOGI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara,Medan
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Evaluasi Virulensi Ganoderma sp. Pada Bibit Kelapa Sawit Yang Ditanam Pada Beberapa Ordo Tanah
Nama : Rabiatul Alfani D
NIM : 110301210
Program Studi : Agroekoteknologi
Minat : Hama dan Penyakit Tumbuhan
Disetujui Oleh:
Komisi Pembimbing
( Dr. Lisnawita, SP, M.Si ) ( Ir. Fatimah Zahara ) Ketua Anggota
Diketahui Oleh :
(Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Agr.Sc., P.hD.)
Ketua Program Studi
ABSTRACT
Rabiatul Alfani D. 2016. ”Virulence Evaluation of Ganoderma sp. On Palm Trees Which Planted in several soils orders”. Under supervision of Lisnawita and Fatimah Zahara.
Basal Stem Rot (G. boninense) continues to hurt the yield which quietly high and the cause of Elaeis guineensis Jacq. mortality. Known as soil born phatogens, various factors in the soil give effect to its virulence. The objective of this study was to know how the virulence of Ganoderma on different soil types. The research was conducted at Faculty Greenhouse, Agroecotechnology Program Study, Faculty of Agriculture, Universitas Sumatera Utara, Medan from November 2015 to Mei 2016. It was done by using Completely Randomized Design (CRD) Non Factorial with six treatments : Andisol, Inceptisol, Histosol, Inceptisol + Kapur, Ultisol and Entisol. respectively. The result showed: fastest symtomps in disease incidence is on Ultisol treatment while the lowest symptomps in plant height is on Entisol treatment.
Key word: Ganoderma sp., Andisol, Inceptisol, Histosol, Ultisol, Entisol, Palm
Oil.
ABSTRAK
Rabiatul Alfani D. 2016. “Evaluasi Virulensi Ganoderma sp. Pada Bibit Kelapa Sawit Yang Ditanam Pada Beberapa Ordo Tanah”. Dibimbing oleh Lisnawita dan Fatimah Zahara.
Jamur busuk pangkal batang (G. boninense) terus merugikan hasil yang cukup tinggi dan sering sebagai penyebab kematian kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Diketahui sebagai patogen tular tanah, berbagai faktor didalam tanah memberikan pengaruh terhadap virulensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana virulensi Ganoderma Pada Jenis-jenis tanah yang berbeda.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan November 2015 - Mei 2016. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap nonfaktorial dengan perlakuan 6 jenis tanah yang berbeda yaitu: Andisol, Inceptisol, Histosol, Inceptisol + Kapur, Ultisol dan Entisol. Hasil penelitian menunjukan gejala tercepat dengan persen kejadian penyakit tertinggi terdapat pada perlakuan Ultisol sedangkan tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan Entisol.
Kata kunci : Ganoderma sp., Andisol, Inceptisol, Histosol, Ultisol, Entisol, kelapa
sawit.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, Kecamatan Medan Area, Kota Madya Medan pada tanggal 14 September 1993, anak dari bapak Ahmad Zulkifli Daulay dan Ibu Eni Maharani, putri pertama dari 5 bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Muhammadiyah 01, Medan pada tahun 2005, pendidikan menengah pertama di Sekolah Menengah Pertama Negri 16, Medan 2008, Pendidikan Menengah Kejuruan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri III Medan. Semenjak tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program Strata I (S1) Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di PT. Anglo Eastern
Plantation Kebun Simpang Ampat Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai pada
bulan Juli-Agustus 2014. Penulis juga aktif dalam organisasi IMAGROTEK
(Ikatan Mahasiswa Agroekoteknologi) Periode 2011/2012. Penulis juga menjadi
asisten Laboratorium Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu Tahun 2014-
2015, asisten Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan Tahun 2015, dan asisten
Laboratorium Mikrobiologi Pertanian Tahun 2016.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Adapun judul dari skripsi ini adalah “ Virulensi Ganoderma sp. Pada Beberapa Ordo Tanah Secara Invivo” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Lisnawita SP, M.Si sebagai dosen ketua dan Ibu Ir. Fatimah Zahara sebagai dosen anggota komisi pembimbing yang telah memberi banyak saran dan bimbingan kepada penulis untuk mempersiapkan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Juli 2016
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN Latar belakang ... 1
Tujuan penelitian ... 3
Hipotesis penelitian ... 3
Kegunaan penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense Pat.) ... Gejala Serangan Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense Pat. . 4
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ... 7
Karakteristik Tanah yang digunakan Untuk Budidaya ... 8
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian ... 11
Bahan dan alat ... 11
Metode penelitian ... 11
Pelaksanaan penelitian ... 13
Pengambilan Media Tanah ... 13
Persiapan Bibit Kelapa Sawit ... 14
Perbanyakan Ganoderma sp. ... 14
Inokulasi Ganoderma sp ... 15
Pemeliharaan Tanaman
... 15
Penyiraman ... 16
Pemupukan ... 16
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman ... 16
Peubah amatan ... 17
Periode Inkubasi (hsa)
... 17
... 17
Keparahan penyakit (%) ... 19
Tinggi tanaman (cm) ... 20
pH tanah ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah hambatan (Inhibiting Zone) ... 23
Diameter koloni F. oxysporum ... 26
Luas pertumbuhan F. oxysporum ... 29
Bentuk interaksi ... 32
Periode inkubasi (hsi), kejadian penyakit (%), dan keparahan penyakit (%)... 34
Tinggi tanaman (cm) ... 39
Panjang akar (cm), berat akar basah (g), dan berat akar kering (g) ... 42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45
Saran ... 45 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
1. Dosis Pemupukan ... 14 2. Tanda dan gejala pada tanaman yang diskor berdasarkan
skala penyakit 0-4 (Abullah et al, 2003; Ilias 2000) ... 15 3. Deskripsi tanah yang digunakan sebagai perlakuan ... 31 4. Hasil analisis tanah ... 32 5. Periode inkubasi serangan Ganoderma sp. pada 6 jenis
tanah ... 35 6. Persentase kejadian penyakit pada 6 bulan pengamatan ... 37 7. Persentase keparahan penyakit ... 40 8. Pengaruh tinggi tanaman terhadap virulensi Ganoderma sp.
pada beberapa jenis tanah secara invivo ... 42 9. Perubahan pH tanah sebelum tanam dan setelah bongkar
dan kaitannya dengan keparahan penyakit ... 45
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
1. Tubuh buah G. boninense ... 5
2. Perbedaan akar tanaman kelapa sawit (Elaeis gueenensis Jacq.) dari masing-masing perlakuan jenis tanah ... 33
3. A: daun klorosis, B: daun sehat, C: daun klorosis dan nekrosis ... 34
4. Grafik % Kejadian penyakit pada 6 bulan pengamatan ... 38
5. Busuk pada bagian pangkal batan ... 40
6. Perbedaan akar tanaman sehat dan yang terserang ... 41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkebunan merupakan sumber pendapatan yang cukup tinggi bagi Indonesia. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, ekspor CPO yang menghasilkan devisa dan menyediakan kesempatan kerja (Ditjenbun, 2014)
Indonesia termasuk penghasil minyak kelapa sawit didunia. Pada tahun 2009, Indonesia sudah menempati posisi pertama produsen sawit dunia. Untuk meningkatkan produksi kelapa sawit dilakukan kegiatan perluasan areal
pertanaman, rehabilitasi kebun yang sudah ada dan intensifikasi (Kiswanto et al., 2008).
Selama dua dekade terakhir telah terjadi ekspansi yang cepat di daerah yang ditanami kelapa sawit. Perkembangan kelapa sawit besar di Indonesia tidak hanya mencakup Sumatera, tetapi juga Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Banten.
Perluasan ini telah melibatkan baik penggunaan lahan hutan dan konversi perkebunan tanaman yang ada. Salah satu kendala utama untuk budidaya kelapa sawit adalah adanya penyakit. Penyakit yang terjadi di perkebunan kelapa sawit, Basal Stem Rot disebabkan oleh Ganoderma boninense adalah yang paling merusak (Susanto et al, 2005)
Jamur busuk pangkal batang G. boninense terus merugikan hasil yang
cukup tinggi dan sering sebagai penyebab kematian kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di Asia Tenggara dan Papua Nugini. Dengan belum diketahui penyembuhannya saat ini, busuk batang basal (BSR) yang disebabkan oleh Ganoderma adalah penyakit utama kelapa sawit. Semua usia kelapa sawit rentan terhadap serangan G. boninense. Daerah terbesar terkena penyakit BSR adalah kelapa sawit dewasa (lebih dari 16 tahun), diikuti oleh kelapa sawit muda (8-16 tahun), dan daerah yang paling terkena dampak dari usia kelapa sawit kurang dari 8 tahun (Agribolic, 2011).
Menurut Miller (1995) Ganoderma menyebar di dalam tanah melalui akar dan melalui udara. Studi kompatibilitas telah menunjukkan bahwa jamur dikumpulkan dari bidang yang sama atau daerah yang mungkin memiliki asal-usul yang berbeda sehingga pertumbuhan miselium mungkin bukan satu-satunya metode penularan penyakit. Meskipun pengembangan dan penyebaran jamur yang berbeda dari jamur ke jamur atau kesesuaian dengan jenis tanaman, tetap ditemukan kesamaan dalam penyebarannya. Basidiomycetes, seperti G.
boninense, memiliki dua cara reproduksi yaitu spora dan miselia. Pilotti et al.
(2002) mengatakan basidiomycetes lain yang menginfeksi akar seperti Heterobasidi onannosum menyebar tanaman ke tanaman melalui tanah dengan
pertumbuhan vegetatif, sering sebagai salah satu genet tetapi studi dari G.
boninense telah ditemukan bahwa terdapat keragaman seperti di perkebunan
kelapa sawit yang diinfeksi oleh lebih dari satu genotipe melalui rekombinasi secara seksual oleh penyebaran basidiospora melalui tanah maupun udara (Hushiarian et al, 2013)
Tujuan Penelitian
Untuk melihat virulensi Ganoderma sp. pada 5 Jenis tanah.
Hipotesis Penelitian
1. Ganoderma sp. memiliki virulensi yang berbeda pada 5 jenis tanah.
2. Ganoderma sp. memiliki virulensi yang berbeda pada tingkat kesuburan tanah yang berbeda.
3. Ganoderma sp. memiliki virulensi yang berbeda pada kisaran pH yang berbeda.
Kegunaan Penelitian
Sebagai salah satu sumbangsih pengetahuan dan informasi bagi para petani
kelapa sawit Indonesia untuk mewaspadai penyakit Ganoderma pada tanaman
kelapa sawit sejak pembukaan lahan.
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense Pat.) Menurut Alexopoulus and Mims (1996) Penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Myceteae Divisio : Eumycophyta Class : Basidiomycetes Subclass : Hymenomycetes Ordo : Aphyllophorales Family : Ganodermataceae Genus : Ganoderma
Spesies : Ganoderma boninense Pat.
Ganoderma diketahui memiliki ukuran basidiokarp yang besar, bertahan lama, memiliki kurung kayu yang dilapisi lignin dan kasar, dan terkadang memiliki batang. Tubuh buah biasanya tumbuh berbentuk seperti kipas atau kuku pada batang-batang pohon, berdinding ganda, dan apabila spora dipotong akan terlihat berwarna kuning sampai coklat pada lapisan dalamnya. Basidiospora diproduksi dalam jumlah produktif (2-11,000 / m3) selama 24 jam periode sampel, dengan rilis maksimal di malam hari. Dengan demikian, dapat dipastikan terdapat inokulum potensial yang konstan akan menyerang luka-luka akar tanaman di seluruh perkebunan (Cooper et al, 2011).
Hasil penelitian Abadi (1987) menunjukkan, bahwa basidiokarp
G. boninense yang ditemukan di Sumatera Utara memiliki lapisan kutis (atas)
yang terdiri dari sel-sel berukuran 20-30 μm x 4-10 μm dengan ketebalan 0,1 mm.
Diameter pori 150-400μm, dengan disepimen (jaringan antara) sebesar 30-60 μm.
Basidiospora berbentuk bulat panjang, berwarna keemasan, bagian atas kurang rata, berduri, terkadang memiliki vakuola. Cendawan G. boninense memiliki pemanjangan basidiospora dan keseragaman konteks berwarna coklat.
Basidiospora yang dibentuk mencapai 9-13 μm x 5-7 μm (Seo and Kirk, 2000).
Gambar 1. Tubuh buah G. Boninense Sumber : Agribolic (2012) Gejala Serangan
Busuk Pangkal Batang dicirikan oleh peluruhan pada batang. Gejala yang terlihat pada tajuk seperti terdapatnya beberapa daun tombak atau pelepah yang tidak membuka dan terdapatnya kurung atau badan buah pada dasar batang.
Dalam serangan yang parah, tajuk kelapa sawit dapat tumbang (Flood et al, 2000).
Singh (1991) mengatakan gejala penyakit berlangsung perlahan, namun
biasanya setiap tanaman yang terinfeksi akhirnya mati. Umumnya, penyakit ini
berkembang dari akar tetapi gejala eksternal yang muncul di pangkal muda
ditunjukkan dengan menguningnya beberapa daun pada pelepah muda atau terjadi pembengkakan dimulai dari daun yang lebih rendah, diikuti oleh nekrosis. Daun yang baru membuka lebih pendek dan klorosis. Infeksi pada tanaman yang lebih tua menghasilkan beberapa daun tombak dan berwarna pucat. Gejala yang jelas terlihat pada daun menunjukkan bahwa jamur telah membunuh setengah dari jaringan tanaman (Arrifin et al., 2000).
Hasan et al. (2005) mengatakan bahwa busuk pangkal batang memiliki gejala yang mirip dengan busuk tombak, tunas busuk, sekelompok busuk dan busuk batang basal yang disebabkan oleh penyakit akar. Awalnya daun yang lebih rendah menjadi kuning dan mati dari ujung ke dasar. Kondisi ini berlangsung hingga pertengahan mahkota, akhirnya mempengaruhi daun tombak. Jaringan batang menunjukkan busuk bewarna coklat meskipun bagian akar terlihat tidak menunjukkan gejala. Gejala Busuk Pangkal Batang pada bagian bawah batang terlihat dari munculnya basidiocarps dan kadang-kadang juga terjadi pembusukan akar. Akar yang membusuk membatasi penyerapan air dan nutrisi ke daun, sehingga menyebabkan klorosis (Hushiarian et al, 2013).
Cooper (1984) menyebutkan untuk berhasil melakukan penetrasi dan
degradasi akar dengan sempurna, dibutuhkan produksi enzim pendegradasi
dinding sel (CWDE) kemungkinan akan diperlukan untuk menembus jaringan
terluar, yang terdiri dari polimer bandel selulosa, lignin dan suberin. Menurut
Rees (2006), aktivitas enzim dari G. boninense sesuai dengan lignin dan semua
polimer dinding sel struktural utama lainnya yang terdeteksi bersama dengan
efeknya pada komposisi dinding tanaman inang selama infeksi. Dan Adaskaveg et
al, (1990) mengatakan bahwa satu bulan setelah inokulasi pemutihan pada akar
tampak jelas pertautan miselium yang mencerminkan kerusakan oksidatif lignin dan status membusuk putih berasal genus ini. Invasi akar korteks dan batang parenkim mengakibatkan pengembangan lubang melalui semua lapisan dinding sel mengindikasikan serangan dinding sel. Peroksidase mangan (MNP) dan produksi lakase telah tercatat sebagai penyebab degradasi dinding sel untuk G.
lucidum oleh d'Souza et al. (1996) (Cooper et al, 2011).
Menurut Rees et al. (2009), infeksi akar oleh G. boninense tampaknya melibatkan switch perkembangan. Ada fase biotrofik yang jelas pada awal infeksi dikedua korteks akar dan batang dasar, yang melibatkan penjajahan terutama intraseluler oleh perluasan hifa dalam sel inang yang masih dimiliki dinding sel sepenuhnya utuh dan dalam beberapa kasus serangan terjadi pada sitoplasma (Cooper et al, 2011).
Patogen penyebab penyakit busuk batang atas pada kelapa sawit merupakan patogen primer karena tanda penyakit berupa tubuh buah ditemukan pada tanaman yang masih hidup. Tubuh buah ini juga ditemukan pada tanaman yang sudah menunjukkan gejala busuk batang atas. Gejala busuk batang atas atau busuk pangkal batang ditentukan melalui pembedahan pada pangkal batang.
Batang terinfeksi atau tidak ditandai dengan terdapatnya pembusukan dari arah bawah (Susanto et al., 2013).
Singh (1991) mengatakan akar pohon yang terinfeksi sangat rapuh, dan
jaringan internal mereka menjadi sangat kering dan bertepung. Jaringan kortikal
berwarna coklat dan hancur dengan mudah, dan prasasti yang menjadi berwarna
hitam. Menurut Arrifin et al., (2000), biasanya tanaman muda yang terinfeksi
akan mati dalam 6-24 bulan setelah gejala ini muncul, sedangkan tanaman dewasa selama 2-3 tahun untuk mati. Sebuah rumah kaca studi percobaan menemukan bahwa tingkat keparahan penyakit adalah 8,3% di akar pada bibit kelapa sawit enam bulan tapi daun tidak menunjukkan gejala. Untuk alasan ini BPB disebut silent killer tanaman kelapa sawit. Jaringan basal di penampang muncul sebagai
daerah coklat jaringan membusuk, sedangkan daun yang masih hidup. Turner (1981) dan Ariffin et al. (1989) menyebutkan bahwa bidang jaringan membusuk atau zona kuning gelap didefinisikan sebagai zona reaksi adalah hasil dari beberapa mekanisme pertahanan sawit terhadap infeksi. Kesamaan, dalam penelitian kami sebelumnya, kami mengamati respon pertahanan, di mana gen kitinase di kelapa sawit lebih tinggi pada jaringan akar dibandingkan dengan jaringan daun (Naher et al., 2011).
Selanjutnya, penelitian Yeoh et al. (2012) juga menemukan beberapa gen respon pertahanan seperti glukosa atau stearoil-asil protein pembawa desaturase (SAD) dan tipe 3 ekspresi metallothionein meningkat pada jaringan akar ketika kelapa sawit terinfeksi G. boninense. Studi-studi ini telah disebutkan bahwa pertumbuhan tanaman dan metabolisme pada awalnya menurun selama pengembangan penyakit lanjut, tetapi kemudian ekspresi gen respon pertahanan menyebabkan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Namun, tingkat ekspresi akhirnya menurun, menunjukkan situasi rentan kelapa sawit untuk patogen (Naher et al., 2011).
Wilayah yang terinfeksi di dasar batang menunjukkan perubahan warna coklat dengan perimeter wilayah terinfeksi dibatasi oleh band coklat gelap.
Penetrasi lapisan luar akar oleh G. boninense tidak mudah dilihat secara
mikroskopis karena sifat non-sinkron infeksi. Entri diikuti oleh masuknya hifa ke dalam korteks bagian yang lebih mudah terdegradasi dan perkembangan memanjang di sepanjang akar. Selama kolonisasi awal jaringan inang, G.
boninense muncul untuk bertindak sebagai hemibiotroph, dengan berlimpah, hifa
diperbesar dalam sel yang baru dijajah terutama di korteks bagian dalam. Hal ini diikuti oleh kerusakan besar dinding sel kortikal. Dinding sel diserang di beberapa daerah lokal oleh patogen. Semua lapisan dinding sel diserang yang mengakibatkan kerusakan lengkap dari dinding sel termasuk lamella tengah. Fase ini difasilitasi oleh interaksi antar dan intra-seluler dan intra-mural dari akar kelapa sawit (Flood et al, 2011).
Inokulum G. boninense di puing-puing tanah atau pelepah untuk memulai infeksi atau pertumbuhan jauh dari akar yang sakit. Oleh karena itu tampaknya tidak mungkin bahwa busuk batang atas muncul dari kolonisasi puing-puing yang ditemukan di axils basis pelepah, dan untuk infeksi BPB terjadi, akar kelapa perlu menghubungi inokulum daripada miselium G. boninense aktif menghubungi akar tanaman inang (Cooper et al., 2011)
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyakit
Infeksi melalui luka dipermukaan dari daun awalnya diutarakan oleh
Thompson (1931). Sanderson dan Pilotti (1997) memotong kembali rachis basis
pelepah yang membusuk dan diikuti lesi ke dasar batang. Mereka menyimpulkan
bahwa ketika telapak mengembang, infeksi awal ini akan muncul di dekat pusat
basis sawit, meskipun muncul dari rachis tetapi bagian yang membusuk ini
terhubung pada jaringan pembuluh dari pangkal batang. Penyebaran melalui tanah
lebih memungkinkan dibandingkan infeksi melalui udara
Penyakit busuk pangkal batang lebih banyak terdapat di dekat pantai. Hal ini bukan disebabkan oleh faktor lingkungan alamiah, tetapi karena kebun – kebun kelapa sawit di dekat pantai banyak yang dibuat di bekas pertanaman kelapa.
Tunggul – tunggul kelapa dan kelapa sawit adalah sumber infeksi yang paling kuat, kebun kelapa sawit transplanting atau bekas kebun kelapa pada umumnya menderita penyakit yang lebih berat daripada kebun dibekas hutan atau bekas kebun karet (Semangun, 2008).
Lahan dengan tekstur tanah berpasir mempunyai kecenderungan kejadian penyakit busuk pangkal batang yang lebih besar. Hal ini sangat dipengaruhi sifat matriks tanah (Chang 2003). Kecepatan laju infeksi Ganoderma di tanah pasir disebabkan sifat fisik tanah pasir yang longgar atau porositas tinggi sehingga akar tanaman akan lebih cepat bergerak menuju sumber inokulum Ganoderma. Sifat kimia tanah yang mempengaruhi laju infeksi Ganoderma di dalam tanah ialah pH.
Berdasarkan uji laboratorium, G. boninense dapat tumbuh pada pH 3.0–8.5 dengan suhu optimal 30 °C dan terganggu pertumbuhannya pada suhu 15 dan 35
°C, serta tidak dapat tumbuh pada suhu 40 °C (Susanto et al., 2013).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit pada
tanaman. Pengamatan kami pada kelapa sawit di PNG menunjukkan bahwa stres
karena jenis tanah, kedalaman tanah dan unsure hara buruk dapat meningkatkan
kadar penyakit. Namun, tidak ada korelasi yang jelas dengan faktor tunggal atau
kombinasi faktor. Kaitan terdekat antara tingkat penyakit dan gizi sawit telah
terlihat di pupuk percobaan di mana kalium (KCl) tampaknya memiliki efek
positif yang signifikan pada tingkat penyakit. Hal ini ditunjukkan di dua lokasi
yang dipisahkan oleh jarak beberapa kilometer di mana tanah yang diketahui
kekurangan kalium. Sangat mungkin bahwa perbaikan unsure hara memungkinkan toleransi yang lebih besar terhadap penyakit di tanaman sawit daripada benar-benar mencegah infeksi. Tidak ada korelasi yang jelas antara insiden penyakit dan sejarah tanaman sebelumnya telah ditemukan meskipun tingkat sedikit lebih tinggi dari kerugian kelapa ditemukan di daerah bekas kelapa dibandingkan dengan daerah bekas hutan. Namun, perbedaan tidak tampak signifikan karena faktor situs lainnya seperti banjir, drainase dan jenis tanah juga dapat mempengaruhi tingkat penyakit. Pemantauan jangka panjang dari tingkat penyakit diperlukan untuk menyelesaikan beberapa masalah ini (Pilotti, 2005).
Faktor lain yang mempengaruhi laju infeksi Ganoderma pada tanah pasir adalah populasi mikroorganisme di dalam tanah. Tanah pasir relatif mempunyai populasi mikroorganisme yang lebih sedikit. Rizosfer tanah mineral banyak mengandung bakteri dan cendawan. Salah satu jenis cendawan yang sering ditemukan ialah Trichoderma sp. yang sudah banyak digunakan sebagai agens pengendali hayati untuk penyakit busuk pangkal batang. Trichoderma menekan patogen Ganoderma melalui kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim kitinase dan glukanase, dan hiperparasit melalui lilitan hifa atau miselium. Salah satu jenis bakteri yang mampu menekan penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit ialah bakteri endofit (Zaiton et al. 2006, 2008). Menurut Abdullah et al., (2005) Semua bakteri dan cendawan di daerah rizosfer saling berinteraksi dengan G. boninense (Susanto et al., 2013).
Faktor penentu lainnya ialah kesuburan tanah pasir. Tanah yang miskin
unsur hara akan menyebabkan tanaman menurun daya tahannya terhadap infeksi
patogen. Tanaman yang lemah akan mudah terinfeksi patogen. Lemahnya
tanaman ini dapat disebabkan karena kurangnya hara bagi tanaman. Pemberian unsur Cu dan Ca dapat mengurangi kejadian penyakit di pembibitan kelapa sawit (Nursabrina et al. 2012). Peningkatan mekanisme ketahanan tanaman kelapa sawit ini melalui proses pembentukan lignin yang meningkat sehingga mampu mengurangi degradasi lignin oleh patogen (Paterson et al. 2009), dengan demikian penggunaan enzim penghambat seharusnya juga dapat mencegah degradasi lignin tanaman (Susanto et al., 2013).
Karakteristik Tanah yang Digunakan Untuk Budidaya Kelapa Sawit Ultisol
Tanah Ultisol bercirikan penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Subowo et al. 1990).
Menurut Prasetya and Suriadikarta (2006), nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (> 60%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol berhubungan erat dengan pH tanah. Dan berdasarkan USDA (2006), tanah Ultisol mempunyai horizon argilik, dengan reaksi agak masam sampai masam dengan kandungan basa-basa rendah yang diukur dengan kejenuhan basa pH 7 <
50 % pada kedalaman 125 cm dibawah atas horizon argilik/kandik atau 180 cm
dari permukaan tanah (Prasetyo and Suriadikarta, 2006).
Inceptisol
Warna tanah Inceptisol beranekaragam tergantung dari jenis bahan induknya. Warna kelabu bahan induknya dari endapan sungai, warna coklat kemerah-merahan karena mengalami proses reduksi, warna hitam mengandung bahan organic yang tinggi. Sifat fisik dan kimia tanah Inceptisol antara lain; bobot jenis 1,0 g/cm3, kalsium karbonat kurang dari 40 %, pH mendekati netral atau lebih (pH < 4 tanah bermasalah), kejenuhan basa kurang dari 50 % pada kedalaman 1,8 m, COLE antara 0,07 dan 0,09, nilai porositas 68 % sampai 85 %, air yang tersedia cukup banyak antara 0,1 – 1 atm (Resman et al., 2006).
Semua pedon lahan kering secara umum bereaksi agak masam sampai netral. Hal ini menunjukkan pencucian lebih intensif jika terjadi hujan karena drainase lebih baik. Walaupun demikian, nilai pH masih tergolong agak masam sebagaimana tanah inceptisol merupakan endapan lakustrin. Nilai pH pada horison bagian atas umumnya lebih rendah dari horison bagian bawah sebagai akibat dari pencucian ke bawah solum dan serapan hara oleh tanaman. Hubungan keeratan antara C-organik dengan pH menunjukkan korelasi negatif. Semakin tinggi pH tanah, maka kadar C-organik semakin rendah. Hal ini kontras dengan hasil penelitian Prasetyo (2005) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pH tanah, maka C-organik semakin tinggi pula (Nurdin, 2012).
Histosol
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan
oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan
umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat
kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan
(Agus and Subiksa, 2008).
Menurut Mutalib et al. (1991), kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya. Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Menurut Nugroho et al, (1997), Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Dan menurut Tie and Lim (1991), gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bias memiliki BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral (Agus and Subiksa, 2008).
Menurut Driessen and Suhardjo (1976) gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan. Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat.
Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar
tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel,
menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman
menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati (Agus and Subiksa, 2008).
Andisol
Secara garis besar menurut Puslittanak (2000) tanah Andisol yang dijumpai di Indonesia terletak pada daerah dengan bentuk wilayah datar- berombak sampai bergunung. Tanah Andosol di Indonesia sebagian besar (61,99%) menempati daerah dengan bentuk wilayah bergunung, urutan kedua di daerah berbukit (16,38%) dan yang paling sedikit menempati daerah datar sampai berombak (8,69%). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu penghambat penggunaan tanah Andosol untuk pertanian adalah masalah kelerengan yang curam. Oleh karena itu, penerapan teknologi konservasi tanah dan air mutlak diperlukan (Sukarman and Dariah, 2014).
Bahan induk yang membentuk tanah Andosol adalah bahan vulkanik hasil erupsi gunung berapi yang disebut tephra. Karena tephra merupakan bahan dari magma yang mengalami pendinginan yang cepat, sehingga mineral utama yang dominan adalah gelas vulkanik. Menurut Shoji et al. (1975) tephra sebagai bahan induk tanah Andosol, berdasarkan tingkat kemasamannya yang dicirikan oleh kandungan SiO
2dibagi menjadi lima jenis, yaitu: (1) riolit (70 sampai 100%
SiO
2), (2) dasit (62 sampai 70% SiO
2), (3) andesit (58 sampai 62% SiO
2), (4) andesit basaltik (53,5 sampai 58% SiO
2), dan (5) basalt (45 sampai 53,5% SiO
2) (Sukarman and Dariah, 2014).
Entisol
Sifat tanah Entisol tergantung dari komposisi bahan endapan yang
membentuknya. Entisol memiliki kelas tekstur yang sangat beragam, dari
berpasir, berliat, sampai lempung dengan kandungan debu tinggi. Reaksi tanah juga bervariasi mulai masam hingga agak masam. Lapisan bawah lebih asam daripada lapisan atas. Kandungan bahan organik beragam dari sedang sampai tinggi, bahkan ada yang sangat rendah sampai rendah. Nilai ratio C/N tergolong sedang sampai tinggi, kandungan P potensial bervariasi, sebagian sangat rendah sampai rendah dan sebagian sedang sampai tinggi. Demikian juga K potensial.
Jumlah basa dapat bertukar, KB dan KTK juga bervariasi dari rendah sampai
tinggi. Psamment umumnya lebih miskin hara sedangkan orthens dan fluvens
bervariasi dari sedang sampai tinggi (Damanik et al., 2011).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Dilaksanakannya Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m di atas permukaan laut mulai bulan September 2015 sampai dengan Mei 2016.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ganoderma sp.
sebagai patogen yang akan diuji, Balok Karet Ukuran 5cmx5cmx3cm sebagai
media pertumbuhan Ganoderma sp., bibit tanaman kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) umur 3 bulan varietas rentan, tanah ordo Inceptisol,
Andisol, Ultisol, tanah kapur dan tanah gambut, dan polibeg ukuran 4 kg.
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, ember, gembor, mikroskop, kamera, dan meteran.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan jenis tanah sebagai perlakuan, yaitu:
J1 = Andisol J2 = Inceptisol J3 = Histosol
J4 = Tanah kapur + Inceptisol
J5 = UltisolJ6 = Entisol
Jumlah ulangan : 9 ulangan
Jumlah perlakuan : 6 perlakuan
Jumlah sampel/perlakuan : 9 tanaman Jumlah seluruh tanaman : 56 tanaman
Data hasil penelitian dianalis dengan sidik ragam model linier sebagai berikut:
Yij = µ + αi + εij
i = 1,2,3,4,5,6 j = 1,2,3,4,5,6,7,8,9
Dimana:Yij = Hasil pengamatan dari jenis tanah pada jenis ke-i dan ulangan ke-j µ = Efek dari nilai tengah
αi = Efek dari jenis tanah pada jenis ke-i
εij = Galat dari jenis tanah pada jenis ke-idan ulangan ke-j
Jika perlakuan (jenis tanah) nyata maka dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada α = 5% (Steel danTorrie, 1995).
Pelaksanaan Penelitian Pengambilan Media Tanah
Tanah yang akan digunakan sebagai perlakuan diambil langsung dari
lapangan dengan menggunakan cangkul. Tanah ultisol diambil di Dolok Marawa
Kecamatan Silou Kahean, Tanah Kalsit diambil di Tinggi Raja Kecamatan Silou
Kahean, Tanah Histosol diambil di Air Hitam Kecamatan Aek Kuasan, Tanah
Andisol diambil di Tiga Panah Berastagi, Tanah Inceptisol diambil di Simalingkar
B Kecamatan Kuala Bekala. Tanah Entisol diambil di desa Sena Kecamatan
Batang Kuis. Selanjutnya tanah dianalisis sifat fisikanya di Laboratorium Riset
dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Persiapan Bibit Kelapa Sawit
Bibit kelapa sawit yang digunakan berasal dari PT. Socfindo Indonesia Medan, Sumatera Utara. Varietas bibit kelapa sawit yang digunakan yaitu varietas rentan S-9409(YA). Bibit ditanam pada masing-masing media tanam sesuai perlakuan. Media tanam dimasukkan ke dalam polibag berukuran 10 cm x 25 cm.
Masing-masing polibeg diisi 3,5 kg media. Bibit ditanam pada lubang sedalam 8 cm.
Perbanyakan Ganoderma sp.
Isolat Ganoderma didapatkan dari koleksi Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, kemudian diperbanyak menggunakan media Malt Ekstra Agar (MEA). Setelah tumbuh kemudian dibiakan kembali ke
Rubber Wood Block (RWB) untuk pengaplikasian ke lapangan (Susanto et al., 2008).
Inokulasi Jamur Ganoderma sp.
Cendawan Ganoderma diinokulasikan sebelum penanaman bibit kelapa sawit. Inokulasi dilakukan dengan cara memasukkan RWB kedalam tanah dengan jarak 10 cm dari dasar polibeg kemudian ditambah lapisan tanah di atasnya.
Keadaan ini di biarkan selama 3 hari (Alviodinasyari et al., 2015).
Pemeliharaan Tanaman Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap hari, dan jika cuaca sangat panas maka dapat
dilakukan penyiraman pagi dan sore hingga tanah benar-benar basah dan dalam
kapasitas lapang.
Pemupukan
Pupuk yang digunakan adalah pupuk anorganik NPKMg (15:15:6:4).
Aplikasi dilakukan dari bibit berumur 3 bulan dengan cara disebar dipermukaan tanah. Adapun dosis yang diberikan adalah sesuai rekomendasi dari PT. Socfindo sebagai berikut.
Tabel 1. Dosis pemupukan
Bulan MingguSetelahTanam NPKMg (gram/polibag)
4 17 4
19 7,5
5 21 7,5
23 7,5
6 25 7,5
27 7,5
7 29 10
31 10
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara mekanis atau kimia jika gejala serangan berat atau sangat berat.
Peubah Amatan Periode Inkubasi
Pengamatan masa inkubasi serangan jamur Ganoderma sp. pada bibit kelapa sawit dilakukan setiap hari untuk melihat gejala muncul pada daun pertama kali, yaitu dengan adanya gejala pada daun berwarna hijau pucat (klorosis) atau kekuningan yang dimulai dari bagian pinggir daun pada daun termuda.
Kejadian Penyakit (disease incidence)
Kejadian penyakit dihitung pada bulan ke 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 setelah
inkubasi dengan menghitung jumlah tanaman yang menunjukkan gejala terinfeksi
Ganoderma dengan mencatat ciri-ciri yang ada seperti daun klorosis, kering,
tejadi perubahan warna atau terdapatnya tubuh buah. Dari hasil pengamatan ini akan dihitung persentase kejadian penyakit dengan menggunakan rumus Abott (1925) dengan formulasi :
KPj = Jumlah tanaman yang terinfeksi x 100%
Total seluruh tanaman Dimana:
KPj : Kejadian Penyakit
Keparahan Penyakit (disease severity)
Indeks keparahan penyakit ditentukan dengan metode skor dengan skala (Tabel 1; Gambar 2). Selanjutnya keparahan penyakit dihitung dengan menggunakan formula seperti yang didiskripsikan oleh
(Abdullah et al, 2003 dan Ilias 2000) :
Keparahan Penyakit (KP) = (A x B) x 100 B x 4 Dimana :
A = kelas penyakit (0, 1, 2, 3, atau 4)
B = jumlah tanaman yang menunjukkan gejala kelas penyakit setiap perlakuan
Pengamatan indeks keparahan penyakit dilakukan pada saat panen.
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman dihitung dengan mengukur tinggi tanaman dimulai dari
pangkal batang sampai ujung pucuk pertama. Pengukuran menggunakan meteran
dan dilakukan setiap bulan dimulai dari bulan pertama penanaman hingga panen.
pH Tanah
Masing-masing tanah diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter yang bekerja secara potensiometri. pH diukur sebelum tanam dan setelah panen.
Tabel 2. Tanda dan gejala pada tanaman yang diskor berdasarkan skala penyakit 0-4 (Abullah et al, 2003; Ilias 2000).
Kelas penyakit Tanda dan gejala infeksi
0 Tanaman sehat dengan daun berwarna hijau, tidak terdapat miselium jamur pada semua bagian tanaman
1 Terdapat massa jamur berwarna putih pada bagian tanaman, dengan atau tanpa daun yang klorosis 2 Terdapat basidioma pada bagian tanaman dengan
1-3 daun klorosis
3 Terdapat formulasi basidioma (tubuh buah) dengan lebih dari 3 daun klorosis
4 Basidioma (tubuh buah) terbentuk dengan baik dan
tanaman mati
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemilihan Tanah Sebagai Perlakuan
Pengambilan sampel tanah dan pemilihan tanah sebagai perlakuan dirangkum dalam tabel 3.
Tabel 3. Deskripsi Tanah Yang Digunakan Sebagai Perlakuan Lokasi Analisa
vegetasi Deskripsi tanah Jenis
tanah Rujukan Dolok
Marawa Kec.
Silou Kahean, Tinggi Raja Sumatera Utara
Mimosa pudica, Cyperus rotundus,
Berlempung halus sampai berliat, pH sangat masam sampai masam (4.1-4.8), C/N rendah
Ultisol Damanik et.al, 2011
Dolok
Marawa Kec.
Silou Kahean, Tinggi Raja Sumatera Utara
Cyperus rotundus
Horizon tanah tidak jelas, fisika dan kimia tanah bergantung pada bahan induk, tekstur umumnya kasar, pH sedang hingga tinggi (normal-basa)
Kapur / Aluvial
Hardjowige no, 1993
Air Hitam Kec. Aek Kuasan, Pulo Raja
Sumatera Utara
Elaeis guineensis, Cyperus rotundus
Bulk density rendah, mudah kering, C-organik tinggi, pH masam- sangat masam (3- 4), kandungan asam anorganik tinggi, KTK tinggi
Histosol Hartatik et.al, 2007
Tiga Panah Berastagi, Sumatera Utara
Berliat sampai berlempung kasar, pH agak masam, C/N rendah
Andisol Damanik et.al, 2011
Simalingkar B Kecamatan Kuala Bekala Sumatera Utara
Cyperus rotundus
Kandungan liat tinggi (35-78%) sebagian
berlempung halus liat rendah (18- 35%), pH 4.6-5.5 atau 5.6-6.8, C/N
Inceptiso l
Damanik
et.al, 2011
Desa Sena Kec. Batang Kuis
Sumatera Utara
Musa
paradisiaca, Cyperus rotundus,
Bergantung pada komposisi bahan endapan, ratio C/N sedang sampai tinggi
Entisol Damanik et.al, 2011
Dari tabel 3. diketahui masing-masing tanah memiliki deskripsi yang berbeda. Sifat fisika tanah berdasarkan deskripsi juga didukung oleh hasil analisis tanah di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang dirangkum pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Tanah
Parameter Satuan Andisol Inceptisol Histosol Inceptisol
+ Kapur Ultisol Entisol
Pasir % 64.56 54.56 26.56 24.56 50.56 34.56
Debu % 27.28 17.28 5.28 49.28 21.28 35.28
Liat % 8.16 28.16 8.16 26.16 28.16 30.16
Tekstur USDA Lp Llip Pl L Ll Lli
pH(
2O)
1:2.5 6.03 5.81 4.20 8.09 5.66 6.83
C-
organik % 1.20 1.08 1.19 1.20 1.31 1.25
KTK m.e/100g 10.54 10.19 9.85 10.37 9.61 12.31
Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan ukuran tanaman kelapa sawit (Elaeis gueenensis Jacq.) yaitu berdasarkan tinggi tanaman dan jumlah akar yang terlihat pada Gambar 2.
Dari Gambar 2. terlihat jelas bahwa tanaman kelapa sawit pada perlakuan jenis
tanah Ultisol memiliki ukuran paling kerdil dan jumlah akar paling sedikit
dibandingkan kelima perlakuan lain. Sedangkan ukuran tanaman paling besar
dengan jumlah akar sekunder terbanyak terlihat pada perlakuan jenis tanah
histosol. Ukuran tanaman normal terlihat pada perlakuan jenis tanah Inceptisol
dan Inceptisol + Kapur dengan jumlah akar sedikit. Hal ini menunjukkan
perbedaan sifat kimia, fisika maupun biologinya dan diduga mempengaruhi virulensi Ganoderma.
Gambar 2. Perbedaan akar tanaman kelapa sawit (Elaeis gueenensis Jacq.) dari masing-masing perlakuan jenis tanah.
Perbedaan deskripsi tanah terlihat jelas mempengaruhi kemampuan tanah
dalam memberikan pengaruh pada tanaman. Respon tanaman terhadap tanah
menunjukkan bahwa keadaan fisika dan kimia tanah sangat mempengaruhi
tanaman yang terlihat pada gambar 2. dan dikaitkan dengan tabel 2. Hasil analisis
tanah menunjukkan tanah-tanah dengan tekstur lempung, pH yang mendekati
netral, dan kapasitas tukar kation yang tinggi yaitu andisol, entisol, dan inceptisol
+ kapur memiliki jumlah akar primer yang lebih dominan dibandingkan tanah-
tanah yang memiliki pH rendah dengan tekstur tanah pasir yaitu histosol yang
cenderung memiliki perakaran sekunder yang lebih dominan. Perbedaan ini
terlihat jelas pada gambar 2. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan akar yang
beradaptasi dengan serapan hara P yang dibutuhkan tanaman. Rendahnya kadar P
pada tanah masam menyebabkan pertumbuhan akar sekunder menyebar untuk
mencari unsur hara. Hal ini sesuai dengan literatur Hairiah et al. (2003) yang
menyatakan akar tanaman akan mencari tempat yang menguntungkan untuk tumbuh, pada tanah-tanah masam akar akan bergerak mencari unsure hara P yang umum sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Periode Inkubasi
Ganoderma sp. merupakan patogen tular tanah yang menyerang melalui
infeksi pada jaringan akar. Mampu bertahan didalam tanah dalam waktu yang panjang. Dalam hal ini, tanah merupakan faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh besar terhadap daya serang, waktu yang dibutuhkan untuk menginfeksi maupun panjangnya waktu atau kemampuan bertahan didalam tanah dimana hal ini sesuai dengan pernyataan Susanto et.all (2013), tanah yang miskin unsur hara akan menyebabkan tanaman menurun daya tahannya terhadap infeksi patogen. Tanaman yang lemah sangat mudah terinfeksi pathogen. Bahkan jenis dan morfologi dari pathogen ini dapat menunjukkan perbedaan berdasarkan jenis tanah inokulumnya seperti pada penelitian Wicaksono dkk (2011) yaitu terdapat keragaman yang besar antar kedua isolat Ganoderma yang kemungkinan disebabkan kondisi lingkungan yang berbeda. Isolat BPME 15 berasal dari kebun Bumi Palma dengan jenis tanah gambut, sedangkan isolat PHLE 26-10 dengan jenis tanah mineral.
Pengamatan periode inkubasi dilihat dari gejala visual yang ditunjukkan
oleh tanaman yaitu klorosis pada helai daun termuda yang diikuti dengan nekrosis
dan kering pada daun-daun tua. Gejala visual pertama kali muncul pada bulan
ketiga setelah inkubasi. Sebagian besar tanaman yang menunjukkan gejala berupa
klorosis pada helaian daun. Setiap perlakuan menunjukkan waktu kemunculan
gejala visual yang berbeda.
Gambar 3. A: daun klorosis, B: daun sehat, C: daun klorosis dan nekrosis Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai periode inkubasi masing- masing perlakuan memiliki perbedaan yang nyata. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Periode Inkubasi serangan Ganoderma sp. pada 6 jenis tanah Jenis tanah Hari setelah inokulasi (his)
ultisol 74d
inceptisol+kapur 92cd
entisol 93cd
histosol 102bc
inceptisol 124ab
andisol 146a
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat adalah pada perlakuan tanah Ultisol yaitu 74 hari setelah inkubasi, pada tanah histosol 102 hari setelah inkubasi, sedangkan periode inkubasi terlama ditunjukkan pada perlakuan tanah andisol yaitu 146 hari setelah inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapatnya perbedaan waktu infeksi Ganoderma sp. pada jenis tanah yang berbeda. Setiap tanah menunjukkan perbedaan waktu yang
A B C