• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH SKRIPSI OLEH: RABIATUL ALFANI D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH SKRIPSI OLEH: RABIATUL ALFANI D"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH

SKRIPSI

OLEH:

RABIATUL ALFANI D 110301210

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH

SKRIPSI

OLEH:

RABIATUL ALFANI D

110301210/ AGROEKOTEKNOLOGI

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

EVALUASI VIRULENSI Ganoderma sp. PADA BIBIT KELAPA SAWIT YANG DITANAM PADA BEBERAPA ORDO TANAH

SKRIPSI

OLEH:

RABIATUL ALFANI D

110301210/ AGROEKOTEKNOLOGI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara,Medan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Judul : Evaluasi Virulensi Ganoderma sp. Pada Bibit Kelapa Sawit Yang Ditanam Pada Beberapa Ordo Tanah

Nama : Rabiatul Alfani D

NIM : 110301210

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Hama dan Penyakit Tumbuhan

Disetujui Oleh:

Komisi Pembimbing

( Dr. Lisnawita, SP, M.Si ) ( Ir. Fatimah Zahara ) Ketua Anggota

Diketahui Oleh :

(Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Agr.Sc., P.hD.)

Ketua Program Studi

(5)

ABSTRACT

Rabiatul Alfani D. 2016. ”Virulence Evaluation of Ganoderma sp. On Palm Trees Which Planted in several soils orders”. Under supervision of Lisnawita and Fatimah Zahara.

Basal Stem Rot (G. boninense) continues to hurt the yield which quietly high and the cause of Elaeis guineensis Jacq. mortality. Known as soil born phatogens, various factors in the soil give effect to its virulence. The objective of this study was to know how the virulence of Ganoderma on different soil types. The research was conducted at Faculty Greenhouse, Agroecotechnology Program Study, Faculty of Agriculture, Universitas Sumatera Utara, Medan from November 2015 to Mei 2016. It was done by using Completely Randomized Design (CRD) Non Factorial with six treatments : Andisol, Inceptisol, Histosol, Inceptisol + Kapur, Ultisol and Entisol. respectively. The result showed: fastest symtomps in disease incidence is on Ultisol treatment while the lowest symptomps in plant height is on Entisol treatment.

Key word: Ganoderma sp., Andisol, Inceptisol, Histosol, Ultisol, Entisol, Palm

Oil.

(6)

ABSTRAK

Rabiatul Alfani D. 2016. “Evaluasi Virulensi Ganoderma sp. Pada Bibit Kelapa Sawit Yang Ditanam Pada Beberapa Ordo Tanah”. Dibimbing oleh Lisnawita dan Fatimah Zahara.

Jamur busuk pangkal batang (G. boninense) terus merugikan hasil yang cukup tinggi dan sering sebagai penyebab kematian kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Diketahui sebagai patogen tular tanah, berbagai faktor didalam tanah memberikan pengaruh terhadap virulensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana virulensi Ganoderma Pada Jenis-jenis tanah yang berbeda.

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan November 2015 - Mei 2016. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap nonfaktorial dengan perlakuan 6 jenis tanah yang berbeda yaitu: Andisol, Inceptisol, Histosol, Inceptisol + Kapur, Ultisol dan Entisol. Hasil penelitian menunjukan gejala tercepat dengan persen kejadian penyakit tertinggi terdapat pada perlakuan Ultisol sedangkan tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan Entisol.

Kata kunci : Ganoderma sp., Andisol, Inceptisol, Histosol, Ultisol, Entisol, kelapa

sawit.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Kecamatan Medan Area, Kota Madya Medan pada tanggal 14 September 1993, anak dari bapak Ahmad Zulkifli Daulay dan Ibu Eni Maharani, putri pertama dari 5 bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Muhammadiyah 01, Medan pada tahun 2005, pendidikan menengah pertama di Sekolah Menengah Pertama Negri 16, Medan 2008, Pendidikan Menengah Kejuruan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri III Medan. Semenjak tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program Strata I (S1) Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di PT. Anglo Eastern

Plantation Kebun Simpang Ampat Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai pada

bulan Juli-Agustus 2014. Penulis juga aktif dalam organisasi IMAGROTEK

(Ikatan Mahasiswa Agroekoteknologi) Periode 2011/2012. Penulis juga menjadi

asisten Laboratorium Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu Tahun 2014-

2015, asisten Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan Tahun 2015, dan asisten

Laboratorium Mikrobiologi Pertanian Tahun 2016.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “ Virulensi Ganoderma sp. Pada Beberapa Ordo Tanah Secara Invivo” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Lisnawita SP, M.Si sebagai dosen ketua dan Ibu Ir. Fatimah Zahara sebagai dosen anggota komisi pembimbing yang telah memberi banyak saran dan bimbingan kepada penulis untuk mempersiapkan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2016

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar belakang ... 1

Tujuan penelitian ... 3

Hipotesis penelitian ... 3

Kegunaan penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense Pat.) ... Gejala Serangan Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense Pat. . 4

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ... 7

Karakteristik Tanah yang digunakan Untuk Budidaya ... 8

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian ... 11

Bahan dan alat ... 11

Metode penelitian ... 11

Pelaksanaan penelitian ... 13

Pengambilan Media Tanah ... 13

Persiapan Bibit Kelapa Sawit ... 14

Perbanyakan Ganoderma sp. ... 14

Inokulasi Ganoderma sp ... 15

Pemeliharaan Tanaman

... 15

Penyiraman ... 16

Pemupukan ... 16

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman ... 16

Peubah amatan ... 17

Periode Inkubasi (hsa)

... 17

... 17

(10)

Keparahan penyakit (%) ... 19

Tinggi tanaman (cm) ... 20

pH tanah ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah hambatan (Inhibiting Zone) ... 23

Diameter koloni F. oxysporum ... 26

Luas pertumbuhan F. oxysporum ... 29

Bentuk interaksi ... 32

Periode inkubasi (hsi), kejadian penyakit (%), dan keparahan penyakit (%)... 34

Tinggi tanaman (cm) ... 39

Panjang akar (cm), berat akar basah (g), dan berat akar kering (g) ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran ... 45 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

1. Dosis Pemupukan ... 14 2. Tanda dan gejala pada tanaman yang diskor berdasarkan

skala penyakit 0-4 (Abullah et al, 2003; Ilias 2000) ... 15 3. Deskripsi tanah yang digunakan sebagai perlakuan ... 31 4. Hasil analisis tanah ... 32 5. Periode inkubasi serangan Ganoderma sp. pada 6 jenis

tanah ... 35 6. Persentase kejadian penyakit pada 6 bulan pengamatan ... 37 7. Persentase keparahan penyakit ... 40 8. Pengaruh tinggi tanaman terhadap virulensi Ganoderma sp.

pada beberapa jenis tanah secara invivo ... 42 9. Perubahan pH tanah sebelum tanam dan setelah bongkar

dan kaitannya dengan keparahan penyakit ... 45

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman

1. Tubuh buah G. boninense ... 5

2. Perbedaan akar tanaman kelapa sawit (Elaeis gueenensis Jacq.) dari masing-masing perlakuan jenis tanah ... 33

3. A: daun klorosis, B: daun sehat, C: daun klorosis dan nekrosis ... 34

4. Grafik % Kejadian penyakit pada 6 bulan pengamatan ... 38

5. Busuk pada bagian pangkal batan ... 40

6. Perbedaan akar tanaman sehat dan yang terserang ... 41

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkebunan merupakan sumber pendapatan yang cukup tinggi bagi Indonesia. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, ekspor CPO yang menghasilkan devisa dan menyediakan kesempatan kerja (Ditjenbun, 2014)

Indonesia termasuk penghasil minyak kelapa sawit didunia. Pada tahun 2009, Indonesia sudah menempati posisi pertama produsen sawit dunia. Untuk meningkatkan produksi kelapa sawit dilakukan kegiatan perluasan areal

pertanaman, rehabilitasi kebun yang sudah ada dan intensifikasi (Kiswanto et al., 2008).

Selama dua dekade terakhir telah terjadi ekspansi yang cepat di daerah yang ditanami kelapa sawit. Perkembangan kelapa sawit besar di Indonesia tidak hanya mencakup Sumatera, tetapi juga Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Banten.

Perluasan ini telah melibatkan baik penggunaan lahan hutan dan konversi perkebunan tanaman yang ada. Salah satu kendala utama untuk budidaya kelapa sawit adalah adanya penyakit. Penyakit yang terjadi di perkebunan kelapa sawit, Basal Stem Rot disebabkan oleh Ganoderma boninense adalah yang paling merusak (Susanto et al, 2005)

Jamur busuk pangkal batang G. boninense terus merugikan hasil yang

cukup tinggi dan sering sebagai penyebab kematian kelapa sawit

(14)

(Elaeis guineensis Jacq.) di Asia Tenggara dan Papua Nugini. Dengan belum diketahui penyembuhannya saat ini, busuk batang basal (BSR) yang disebabkan oleh Ganoderma adalah penyakit utama kelapa sawit. Semua usia kelapa sawit rentan terhadap serangan G. boninense. Daerah terbesar terkena penyakit BSR adalah kelapa sawit dewasa (lebih dari 16 tahun), diikuti oleh kelapa sawit muda (8-16 tahun), dan daerah yang paling terkena dampak dari usia kelapa sawit kurang dari 8 tahun (Agribolic, 2011).

Menurut Miller (1995) Ganoderma menyebar di dalam tanah melalui akar dan melalui udara. Studi kompatibilitas telah menunjukkan bahwa jamur dikumpulkan dari bidang yang sama atau daerah yang mungkin memiliki asal-usul yang berbeda sehingga pertumbuhan miselium mungkin bukan satu-satunya metode penularan penyakit. Meskipun pengembangan dan penyebaran jamur yang berbeda dari jamur ke jamur atau kesesuaian dengan jenis tanaman, tetap ditemukan kesamaan dalam penyebarannya. Basidiomycetes, seperti G.

boninense, memiliki dua cara reproduksi yaitu spora dan miselia. Pilotti et al.

(2002) mengatakan basidiomycetes lain yang menginfeksi akar seperti Heterobasidi onannosum menyebar tanaman ke tanaman melalui tanah dengan

pertumbuhan vegetatif, sering sebagai salah satu genet tetapi studi dari G.

boninense telah ditemukan bahwa terdapat keragaman seperti di perkebunan

kelapa sawit yang diinfeksi oleh lebih dari satu genotipe melalui rekombinasi secara seksual oleh penyebaran basidiospora melalui tanah maupun udara (Hushiarian et al, 2013)

Tujuan Penelitian

Untuk melihat virulensi Ganoderma sp. pada 5 Jenis tanah.

(15)

Hipotesis Penelitian

1. Ganoderma sp. memiliki virulensi yang berbeda pada 5 jenis tanah.

2. Ganoderma sp. memiliki virulensi yang berbeda pada tingkat kesuburan tanah yang berbeda.

3. Ganoderma sp. memiliki virulensi yang berbeda pada kisaran pH yang berbeda.

Kegunaan Penelitian

Sebagai salah satu sumbangsih pengetahuan dan informasi bagi para petani

kelapa sawit Indonesia untuk mewaspadai penyakit Ganoderma pada tanaman

kelapa sawit sejak pembukaan lahan.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense Pat.) Menurut Alexopoulus and Mims (1996) Penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Myceteae Divisio : Eumycophyta Class : Basidiomycetes Subclass : Hymenomycetes Ordo : Aphyllophorales Family : Ganodermataceae Genus : Ganoderma

Spesies : Ganoderma boninense Pat.

Ganoderma diketahui memiliki ukuran basidiokarp yang besar, bertahan lama, memiliki kurung kayu yang dilapisi lignin dan kasar, dan terkadang memiliki batang. Tubuh buah biasanya tumbuh berbentuk seperti kipas atau kuku pada batang-batang pohon, berdinding ganda, dan apabila spora dipotong akan terlihat berwarna kuning sampai coklat pada lapisan dalamnya. Basidiospora diproduksi dalam jumlah produktif (2-11,000 / m3) selama 24 jam periode sampel, dengan rilis maksimal di malam hari. Dengan demikian, dapat dipastikan terdapat inokulum potensial yang konstan akan menyerang luka-luka akar tanaman di seluruh perkebunan (Cooper et al, 2011).

Hasil penelitian Abadi (1987) menunjukkan, bahwa basidiokarp

G. boninense yang ditemukan di Sumatera Utara memiliki lapisan kutis (atas)

(17)

yang terdiri dari sel-sel berukuran 20-30 μm x 4-10 μm dengan ketebalan 0,1 mm.

Diameter pori 150-400μm, dengan disepimen (jaringan antara) sebesar 30-60 μm.

Basidiospora berbentuk bulat panjang, berwarna keemasan, bagian atas kurang rata, berduri, terkadang memiliki vakuola. Cendawan G. boninense memiliki pemanjangan basidiospora dan keseragaman konteks berwarna coklat.

Basidiospora yang dibentuk mencapai 9-13 μm x 5-7 μm (Seo and Kirk, 2000).

Gambar 1. Tubuh buah G. Boninense Sumber : Agribolic (2012) Gejala Serangan

Busuk Pangkal Batang dicirikan oleh peluruhan pada batang. Gejala yang terlihat pada tajuk seperti terdapatnya beberapa daun tombak atau pelepah yang tidak membuka dan terdapatnya kurung atau badan buah pada dasar batang.

Dalam serangan yang parah, tajuk kelapa sawit dapat tumbang (Flood et al, 2000).

Singh (1991) mengatakan gejala penyakit berlangsung perlahan, namun

biasanya setiap tanaman yang terinfeksi akhirnya mati. Umumnya, penyakit ini

berkembang dari akar tetapi gejala eksternal yang muncul di pangkal muda

(18)

ditunjukkan dengan menguningnya beberapa daun pada pelepah muda atau terjadi pembengkakan dimulai dari daun yang lebih rendah, diikuti oleh nekrosis. Daun yang baru membuka lebih pendek dan klorosis. Infeksi pada tanaman yang lebih tua menghasilkan beberapa daun tombak dan berwarna pucat. Gejala yang jelas terlihat pada daun menunjukkan bahwa jamur telah membunuh setengah dari jaringan tanaman (Arrifin et al., 2000).

Hasan et al. (2005) mengatakan bahwa busuk pangkal batang memiliki gejala yang mirip dengan busuk tombak, tunas busuk, sekelompok busuk dan busuk batang basal yang disebabkan oleh penyakit akar. Awalnya daun yang lebih rendah menjadi kuning dan mati dari ujung ke dasar. Kondisi ini berlangsung hingga pertengahan mahkota, akhirnya mempengaruhi daun tombak. Jaringan batang menunjukkan busuk bewarna coklat meskipun bagian akar terlihat tidak menunjukkan gejala. Gejala Busuk Pangkal Batang pada bagian bawah batang terlihat dari munculnya basidiocarps dan kadang-kadang juga terjadi pembusukan akar. Akar yang membusuk membatasi penyerapan air dan nutrisi ke daun, sehingga menyebabkan klorosis (Hushiarian et al, 2013).

Cooper (1984) menyebutkan untuk berhasil melakukan penetrasi dan

degradasi akar dengan sempurna, dibutuhkan produksi enzim pendegradasi

dinding sel (CWDE) kemungkinan akan diperlukan untuk menembus jaringan

terluar, yang terdiri dari polimer bandel selulosa, lignin dan suberin. Menurut

Rees (2006), aktivitas enzim dari G. boninense sesuai dengan lignin dan semua

polimer dinding sel struktural utama lainnya yang terdeteksi bersama dengan

efeknya pada komposisi dinding tanaman inang selama infeksi. Dan Adaskaveg et

al, (1990) mengatakan bahwa satu bulan setelah inokulasi pemutihan pada akar

(19)

tampak jelas pertautan miselium yang mencerminkan kerusakan oksidatif lignin dan status membusuk putih berasal genus ini. Invasi akar korteks dan batang parenkim mengakibatkan pengembangan lubang melalui semua lapisan dinding sel mengindikasikan serangan dinding sel. Peroksidase mangan (MNP) dan produksi lakase telah tercatat sebagai penyebab degradasi dinding sel untuk G.

lucidum oleh d'Souza et al. (1996) (Cooper et al, 2011).

Menurut Rees et al. (2009), infeksi akar oleh G. boninense tampaknya melibatkan switch perkembangan. Ada fase biotrofik yang jelas pada awal infeksi dikedua korteks akar dan batang dasar, yang melibatkan penjajahan terutama intraseluler oleh perluasan hifa dalam sel inang yang masih dimiliki dinding sel sepenuhnya utuh dan dalam beberapa kasus serangan terjadi pada sitoplasma (Cooper et al, 2011).

Patogen penyebab penyakit busuk batang atas pada kelapa sawit merupakan patogen primer karena tanda penyakit berupa tubuh buah ditemukan pada tanaman yang masih hidup. Tubuh buah ini juga ditemukan pada tanaman yang sudah menunjukkan gejala busuk batang atas. Gejala busuk batang atas atau busuk pangkal batang ditentukan melalui pembedahan pada pangkal batang.

Batang terinfeksi atau tidak ditandai dengan terdapatnya pembusukan dari arah bawah (Susanto et al., 2013).

Singh (1991) mengatakan akar pohon yang terinfeksi sangat rapuh, dan

jaringan internal mereka menjadi sangat kering dan bertepung. Jaringan kortikal

berwarna coklat dan hancur dengan mudah, dan prasasti yang menjadi berwarna

hitam. Menurut Arrifin et al., (2000), biasanya tanaman muda yang terinfeksi

(20)

akan mati dalam 6-24 bulan setelah gejala ini muncul, sedangkan tanaman dewasa selama 2-3 tahun untuk mati. Sebuah rumah kaca studi percobaan menemukan bahwa tingkat keparahan penyakit adalah 8,3% di akar pada bibit kelapa sawit enam bulan tapi daun tidak menunjukkan gejala. Untuk alasan ini BPB disebut silent killer tanaman kelapa sawit. Jaringan basal di penampang muncul sebagai

daerah coklat jaringan membusuk, sedangkan daun yang masih hidup. Turner (1981) dan Ariffin et al. (1989) menyebutkan bahwa bidang jaringan membusuk atau zona kuning gelap didefinisikan sebagai zona reaksi adalah hasil dari beberapa mekanisme pertahanan sawit terhadap infeksi. Kesamaan, dalam penelitian kami sebelumnya, kami mengamati respon pertahanan, di mana gen kitinase di kelapa sawit lebih tinggi pada jaringan akar dibandingkan dengan jaringan daun (Naher et al., 2011).

Selanjutnya, penelitian Yeoh et al. (2012) juga menemukan beberapa gen respon pertahanan seperti glukosa atau stearoil-asil protein pembawa desaturase (SAD) dan tipe 3 ekspresi metallothionein meningkat pada jaringan akar ketika kelapa sawit terinfeksi G. boninense. Studi-studi ini telah disebutkan bahwa pertumbuhan tanaman dan metabolisme pada awalnya menurun selama pengembangan penyakit lanjut, tetapi kemudian ekspresi gen respon pertahanan menyebabkan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Namun, tingkat ekspresi akhirnya menurun, menunjukkan situasi rentan kelapa sawit untuk patogen (Naher et al., 2011).

Wilayah yang terinfeksi di dasar batang menunjukkan perubahan warna coklat dengan perimeter wilayah terinfeksi dibatasi oleh band coklat gelap.

Penetrasi lapisan luar akar oleh G. boninense tidak mudah dilihat secara

(21)

mikroskopis karena sifat non-sinkron infeksi. Entri diikuti oleh masuknya hifa ke dalam korteks bagian yang lebih mudah terdegradasi dan perkembangan memanjang di sepanjang akar. Selama kolonisasi awal jaringan inang, G.

boninense muncul untuk bertindak sebagai hemibiotroph, dengan berlimpah, hifa

diperbesar dalam sel yang baru dijajah terutama di korteks bagian dalam. Hal ini diikuti oleh kerusakan besar dinding sel kortikal. Dinding sel diserang di beberapa daerah lokal oleh patogen. Semua lapisan dinding sel diserang yang mengakibatkan kerusakan lengkap dari dinding sel termasuk lamella tengah. Fase ini difasilitasi oleh interaksi antar dan intra-seluler dan intra-mural dari akar kelapa sawit (Flood et al, 2011).

Inokulum G. boninense di puing-puing tanah atau pelepah untuk memulai infeksi atau pertumbuhan jauh dari akar yang sakit. Oleh karena itu tampaknya tidak mungkin bahwa busuk batang atas muncul dari kolonisasi puing-puing yang ditemukan di axils basis pelepah, dan untuk infeksi BPB terjadi, akar kelapa perlu menghubungi inokulum daripada miselium G. boninense aktif menghubungi akar tanaman inang (Cooper et al., 2011)

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyakit

Infeksi melalui luka dipermukaan dari daun awalnya diutarakan oleh

Thompson (1931). Sanderson dan Pilotti (1997) memotong kembali rachis basis

pelepah yang membusuk dan diikuti lesi ke dasar batang. Mereka menyimpulkan

bahwa ketika telapak mengembang, infeksi awal ini akan muncul di dekat pusat

basis sawit, meskipun muncul dari rachis tetapi bagian yang membusuk ini

terhubung pada jaringan pembuluh dari pangkal batang. Penyebaran melalui tanah

lebih memungkinkan dibandingkan infeksi melalui udara

(22)

Penyakit busuk pangkal batang lebih banyak terdapat di dekat pantai. Hal ini bukan disebabkan oleh faktor lingkungan alamiah, tetapi karena kebun – kebun kelapa sawit di dekat pantai banyak yang dibuat di bekas pertanaman kelapa.

Tunggul – tunggul kelapa dan kelapa sawit adalah sumber infeksi yang paling kuat, kebun kelapa sawit transplanting atau bekas kebun kelapa pada umumnya menderita penyakit yang lebih berat daripada kebun dibekas hutan atau bekas kebun karet (Semangun, 2008).

Lahan dengan tekstur tanah berpasir mempunyai kecenderungan kejadian penyakit busuk pangkal batang yang lebih besar. Hal ini sangat dipengaruhi sifat matriks tanah (Chang 2003). Kecepatan laju infeksi Ganoderma di tanah pasir disebabkan sifat fisik tanah pasir yang longgar atau porositas tinggi sehingga akar tanaman akan lebih cepat bergerak menuju sumber inokulum Ganoderma. Sifat kimia tanah yang mempengaruhi laju infeksi Ganoderma di dalam tanah ialah pH.

Berdasarkan uji laboratorium, G. boninense dapat tumbuh pada pH 3.0–8.5 dengan suhu optimal 30 °C dan terganggu pertumbuhannya pada suhu 15 dan 35

°C, serta tidak dapat tumbuh pada suhu 40 °C (Susanto et al., 2013).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit pada

tanaman. Pengamatan kami pada kelapa sawit di PNG menunjukkan bahwa stres

karena jenis tanah, kedalaman tanah dan unsure hara buruk dapat meningkatkan

kadar penyakit. Namun, tidak ada korelasi yang jelas dengan faktor tunggal atau

kombinasi faktor. Kaitan terdekat antara tingkat penyakit dan gizi sawit telah

terlihat di pupuk percobaan di mana kalium (KCl) tampaknya memiliki efek

positif yang signifikan pada tingkat penyakit. Hal ini ditunjukkan di dua lokasi

yang dipisahkan oleh jarak beberapa kilometer di mana tanah yang diketahui

(23)

kekurangan kalium. Sangat mungkin bahwa perbaikan unsure hara memungkinkan toleransi yang lebih besar terhadap penyakit di tanaman sawit daripada benar-benar mencegah infeksi. Tidak ada korelasi yang jelas antara insiden penyakit dan sejarah tanaman sebelumnya telah ditemukan meskipun tingkat sedikit lebih tinggi dari kerugian kelapa ditemukan di daerah bekas kelapa dibandingkan dengan daerah bekas hutan. Namun, perbedaan tidak tampak signifikan karena faktor situs lainnya seperti banjir, drainase dan jenis tanah juga dapat mempengaruhi tingkat penyakit. Pemantauan jangka panjang dari tingkat penyakit diperlukan untuk menyelesaikan beberapa masalah ini (Pilotti, 2005).

Faktor lain yang mempengaruhi laju infeksi Ganoderma pada tanah pasir adalah populasi mikroorganisme di dalam tanah. Tanah pasir relatif mempunyai populasi mikroorganisme yang lebih sedikit. Rizosfer tanah mineral banyak mengandung bakteri dan cendawan. Salah satu jenis cendawan yang sering ditemukan ialah Trichoderma sp. yang sudah banyak digunakan sebagai agens pengendali hayati untuk penyakit busuk pangkal batang. Trichoderma menekan patogen Ganoderma melalui kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim kitinase dan glukanase, dan hiperparasit melalui lilitan hifa atau miselium. Salah satu jenis bakteri yang mampu menekan penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit ialah bakteri endofit (Zaiton et al. 2006, 2008). Menurut Abdullah et al., (2005) Semua bakteri dan cendawan di daerah rizosfer saling berinteraksi dengan G. boninense (Susanto et al., 2013).

Faktor penentu lainnya ialah kesuburan tanah pasir. Tanah yang miskin

unsur hara akan menyebabkan tanaman menurun daya tahannya terhadap infeksi

patogen. Tanaman yang lemah akan mudah terinfeksi patogen. Lemahnya

(24)

tanaman ini dapat disebabkan karena kurangnya hara bagi tanaman. Pemberian unsur Cu dan Ca dapat mengurangi kejadian penyakit di pembibitan kelapa sawit (Nursabrina et al. 2012). Peningkatan mekanisme ketahanan tanaman kelapa sawit ini melalui proses pembentukan lignin yang meningkat sehingga mampu mengurangi degradasi lignin oleh patogen (Paterson et al. 2009), dengan demikian penggunaan enzim penghambat seharusnya juga dapat mencegah degradasi lignin tanaman (Susanto et al., 2013).

Karakteristik Tanah yang Digunakan Untuk Budidaya Kelapa Sawit Ultisol

Tanah Ultisol bercirikan penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Subowo et al. 1990).

Menurut Prasetya and Suriadikarta (2006), nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (> 60%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol berhubungan erat dengan pH tanah. Dan berdasarkan USDA (2006), tanah Ultisol mempunyai horizon argilik, dengan reaksi agak masam sampai masam dengan kandungan basa-basa rendah yang diukur dengan kejenuhan basa pH 7 <

50 % pada kedalaman 125 cm dibawah atas horizon argilik/kandik atau 180 cm

dari permukaan tanah (Prasetyo and Suriadikarta, 2006).

(25)

Inceptisol

Warna tanah Inceptisol beranekaragam tergantung dari jenis bahan induknya. Warna kelabu bahan induknya dari endapan sungai, warna coklat kemerah-merahan karena mengalami proses reduksi, warna hitam mengandung bahan organic yang tinggi. Sifat fisik dan kimia tanah Inceptisol antara lain; bobot jenis 1,0 g/cm3, kalsium karbonat kurang dari 40 %, pH mendekati netral atau lebih (pH < 4 tanah bermasalah), kejenuhan basa kurang dari 50 % pada kedalaman 1,8 m, COLE antara 0,07 dan 0,09, nilai porositas 68 % sampai 85 %, air yang tersedia cukup banyak antara 0,1 – 1 atm (Resman et al., 2006).

Semua pedon lahan kering secara umum bereaksi agak masam sampai netral. Hal ini menunjukkan pencucian lebih intensif jika terjadi hujan karena drainase lebih baik. Walaupun demikian, nilai pH masih tergolong agak masam sebagaimana tanah inceptisol merupakan endapan lakustrin. Nilai pH pada horison bagian atas umumnya lebih rendah dari horison bagian bawah sebagai akibat dari pencucian ke bawah solum dan serapan hara oleh tanaman. Hubungan keeratan antara C-organik dengan pH menunjukkan korelasi negatif. Semakin tinggi pH tanah, maka kadar C-organik semakin rendah. Hal ini kontras dengan hasil penelitian Prasetyo (2005) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pH tanah, maka C-organik semakin tinggi pula (Nurdin, 2012).

Histosol

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan

oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan

umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat

(26)

kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan

(Agus and Subiksa, 2008).

Menurut Mutalib et al. (1991), kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya. Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Menurut Nugroho et al, (1997), Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Dan menurut Tie and Lim (1991), gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bias memiliki BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral (Agus and Subiksa, 2008).

Menurut Driessen and Suhardjo (1976) gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan. Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat.

Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan

menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar

tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel,

menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman

(27)

menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati (Agus and Subiksa, 2008).

Andisol

Secara garis besar menurut Puslittanak (2000) tanah Andisol yang dijumpai di Indonesia terletak pada daerah dengan bentuk wilayah datar- berombak sampai bergunung. Tanah Andosol di Indonesia sebagian besar (61,99%) menempati daerah dengan bentuk wilayah bergunung, urutan kedua di daerah berbukit (16,38%) dan yang paling sedikit menempati daerah datar sampai berombak (8,69%). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu penghambat penggunaan tanah Andosol untuk pertanian adalah masalah kelerengan yang curam. Oleh karena itu, penerapan teknologi konservasi tanah dan air mutlak diperlukan (Sukarman and Dariah, 2014).

Bahan induk yang membentuk tanah Andosol adalah bahan vulkanik hasil erupsi gunung berapi yang disebut tephra. Karena tephra merupakan bahan dari magma yang mengalami pendinginan yang cepat, sehingga mineral utama yang dominan adalah gelas vulkanik. Menurut Shoji et al. (1975) tephra sebagai bahan induk tanah Andosol, berdasarkan tingkat kemasamannya yang dicirikan oleh kandungan SiO

2

dibagi menjadi lima jenis, yaitu: (1) riolit (70 sampai 100%

SiO

2

), (2) dasit (62 sampai 70% SiO

2

), (3) andesit (58 sampai 62% SiO

2

), (4) andesit basaltik (53,5 sampai 58% SiO

2

), dan (5) basalt (45 sampai 53,5% SiO

2

) (Sukarman and Dariah, 2014).

Entisol

Sifat tanah Entisol tergantung dari komposisi bahan endapan yang

membentuknya. Entisol memiliki kelas tekstur yang sangat beragam, dari

(28)

berpasir, berliat, sampai lempung dengan kandungan debu tinggi. Reaksi tanah juga bervariasi mulai masam hingga agak masam. Lapisan bawah lebih asam daripada lapisan atas. Kandungan bahan organik beragam dari sedang sampai tinggi, bahkan ada yang sangat rendah sampai rendah. Nilai ratio C/N tergolong sedang sampai tinggi, kandungan P potensial bervariasi, sebagian sangat rendah sampai rendah dan sebagian sedang sampai tinggi. Demikian juga K potensial.

Jumlah basa dapat bertukar, KB dan KTK juga bervariasi dari rendah sampai

tinggi. Psamment umumnya lebih miskin hara sedangkan orthens dan fluvens

bervariasi dari sedang sampai tinggi (Damanik et al., 2011).

(29)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Dilaksanakannya Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m di atas permukaan laut mulai bulan September 2015 sampai dengan Mei 2016.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ganoderma sp.

sebagai patogen yang akan diuji, Balok Karet Ukuran 5cmx5cmx3cm sebagai

media pertumbuhan Ganoderma sp., bibit tanaman kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) umur 3 bulan varietas rentan, tanah ordo Inceptisol,

Andisol, Ultisol, tanah kapur dan tanah gambut, dan polibeg ukuran 4 kg.

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, ember, gembor, mikroskop, kamera, dan meteran.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan jenis tanah sebagai perlakuan, yaitu:

J1 = Andisol J2 = Inceptisol J3 = Histosol

J4 = Tanah kapur + Inceptisol

J5 = Ultisol

J6 = Entisol

Jumlah ulangan : 9 ulangan

Jumlah perlakuan : 6 perlakuan

(30)

Jumlah sampel/perlakuan : 9 tanaman Jumlah seluruh tanaman : 56 tanaman

Data hasil penelitian dianalis dengan sidik ragam model linier sebagai berikut:

Yij = µ + αi + εij

i = 1,2,3,4,5,6 j = 1,2,3,4,5,6,7,8,9

Dimana:

Yij = Hasil pengamatan dari jenis tanah pada jenis ke-i dan ulangan ke-j µ = Efek dari nilai tengah

αi = Efek dari jenis tanah pada jenis ke-i

εij = Galat dari jenis tanah pada jenis ke-idan ulangan ke-j

Jika perlakuan (jenis tanah) nyata maka dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada α = 5% (Steel danTorrie, 1995).

Pelaksanaan Penelitian Pengambilan Media Tanah

Tanah yang akan digunakan sebagai perlakuan diambil langsung dari

lapangan dengan menggunakan cangkul. Tanah ultisol diambil di Dolok Marawa

Kecamatan Silou Kahean, Tanah Kalsit diambil di Tinggi Raja Kecamatan Silou

Kahean, Tanah Histosol diambil di Air Hitam Kecamatan Aek Kuasan, Tanah

Andisol diambil di Tiga Panah Berastagi, Tanah Inceptisol diambil di Simalingkar

B Kecamatan Kuala Bekala. Tanah Entisol diambil di desa Sena Kecamatan

Batang Kuis. Selanjutnya tanah dianalisis sifat fisikanya di Laboratorium Riset

dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(31)

Persiapan Bibit Kelapa Sawit

Bibit kelapa sawit yang digunakan berasal dari PT. Socfindo Indonesia Medan, Sumatera Utara. Varietas bibit kelapa sawit yang digunakan yaitu varietas rentan S-9409(YA). Bibit ditanam pada masing-masing media tanam sesuai perlakuan. Media tanam dimasukkan ke dalam polibag berukuran 10 cm x 25 cm.

Masing-masing polibeg diisi 3,5 kg media. Bibit ditanam pada lubang sedalam 8 cm.

Perbanyakan Ganoderma sp.

Isolat Ganoderma didapatkan dari koleksi Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, kemudian diperbanyak menggunakan media Malt Ekstra Agar (MEA). Setelah tumbuh kemudian dibiakan kembali ke

Rubber Wood Block (RWB) untuk pengaplikasian ke lapangan (Susanto et al., 2008).

Inokulasi Jamur Ganoderma sp.

Cendawan Ganoderma diinokulasikan sebelum penanaman bibit kelapa sawit. Inokulasi dilakukan dengan cara memasukkan RWB kedalam tanah dengan jarak 10 cm dari dasar polibeg kemudian ditambah lapisan tanah di atasnya.

Keadaan ini di biarkan selama 3 hari (Alviodinasyari et al., 2015).

Pemeliharaan Tanaman Penyiraman

Penyiraman dilakukan setiap hari, dan jika cuaca sangat panas maka dapat

dilakukan penyiraman pagi dan sore hingga tanah benar-benar basah dan dalam

kapasitas lapang.

(32)

Pemupukan

Pupuk yang digunakan adalah pupuk anorganik NPKMg (15:15:6:4).

Aplikasi dilakukan dari bibit berumur 3 bulan dengan cara disebar dipermukaan tanah. Adapun dosis yang diberikan adalah sesuai rekomendasi dari PT. Socfindo sebagai berikut.

Tabel 1. Dosis pemupukan

Bulan MingguSetelahTanam NPKMg (gram/polibag)

4 17 4

19 7,5

5 21 7,5

23 7,5

6 25 7,5

27 7,5

7 29 10

31 10

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara mekanis atau kimia jika gejala serangan berat atau sangat berat.

Peubah Amatan Periode Inkubasi

Pengamatan masa inkubasi serangan jamur Ganoderma sp. pada bibit kelapa sawit dilakukan setiap hari untuk melihat gejala muncul pada daun pertama kali, yaitu dengan adanya gejala pada daun berwarna hijau pucat (klorosis) atau kekuningan yang dimulai dari bagian pinggir daun pada daun termuda.

Kejadian Penyakit (disease incidence)

Kejadian penyakit dihitung pada bulan ke 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 setelah

inkubasi dengan menghitung jumlah tanaman yang menunjukkan gejala terinfeksi

(33)

Ganoderma dengan mencatat ciri-ciri yang ada seperti daun klorosis, kering,

tejadi perubahan warna atau terdapatnya tubuh buah. Dari hasil pengamatan ini akan dihitung persentase kejadian penyakit dengan menggunakan rumus Abott (1925) dengan formulasi :

KPj = Jumlah tanaman yang terinfeksi x 100%

Total seluruh tanaman Dimana:

KPj : Kejadian Penyakit

Keparahan Penyakit (disease severity)

Indeks keparahan penyakit ditentukan dengan metode skor dengan skala (Tabel 1; Gambar 2). Selanjutnya keparahan penyakit dihitung dengan menggunakan formula seperti yang didiskripsikan oleh

(Abdullah et al, 2003 dan Ilias 2000) :

Keparahan Penyakit (KP) =  (A x B) x 100 B x 4 Dimana :

A = kelas penyakit (0, 1, 2, 3, atau 4)

B = jumlah tanaman yang menunjukkan gejala kelas penyakit setiap perlakuan

Pengamatan indeks keparahan penyakit dilakukan pada saat panen.

Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman dihitung dengan mengukur tinggi tanaman dimulai dari

pangkal batang sampai ujung pucuk pertama. Pengukuran menggunakan meteran

dan dilakukan setiap bulan dimulai dari bulan pertama penanaman hingga panen.

(34)

pH Tanah

Masing-masing tanah diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter yang bekerja secara potensiometri. pH diukur sebelum tanam dan setelah panen.

Tabel 2. Tanda dan gejala pada tanaman yang diskor berdasarkan skala penyakit 0-4 (Abullah et al, 2003; Ilias 2000).

Kelas penyakit Tanda dan gejala infeksi

0 Tanaman sehat dengan daun berwarna hijau, tidak terdapat miselium jamur pada semua bagian tanaman

1 Terdapat massa jamur berwarna putih pada bagian tanaman, dengan atau tanpa daun yang klorosis 2 Terdapat basidioma pada bagian tanaman dengan

1-3 daun klorosis

3 Terdapat formulasi basidioma (tubuh buah) dengan lebih dari 3 daun klorosis

4 Basidioma (tubuh buah) terbentuk dengan baik dan

tanaman mati

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Tanah Sebagai Perlakuan

Pengambilan sampel tanah dan pemilihan tanah sebagai perlakuan dirangkum dalam tabel 3.

Tabel 3. Deskripsi Tanah Yang Digunakan Sebagai Perlakuan Lokasi Analisa

vegetasi Deskripsi tanah Jenis

tanah Rujukan Dolok

Marawa Kec.

Silou Kahean, Tinggi Raja Sumatera Utara

Mimosa pudica, Cyperus rotundus,

Berlempung halus sampai berliat, pH sangat masam sampai masam (4.1-4.8), C/N rendah

Ultisol Damanik et.al, 2011

Dolok

Marawa Kec.

Silou Kahean, Tinggi Raja Sumatera Utara

Cyperus rotundus

Horizon tanah tidak jelas, fisika dan kimia tanah bergantung pada bahan induk, tekstur umumnya kasar, pH sedang hingga tinggi (normal-basa)

Kapur / Aluvial

Hardjowige no, 1993

Air Hitam Kec. Aek Kuasan, Pulo Raja

Sumatera Utara

Elaeis guineensis, Cyperus rotundus

Bulk density rendah, mudah kering, C-organik tinggi, pH masam- sangat masam (3- 4), kandungan asam anorganik tinggi, KTK tinggi

Histosol Hartatik et.al, 2007

Tiga Panah Berastagi, Sumatera Utara

Berliat sampai berlempung kasar, pH agak masam, C/N rendah

Andisol Damanik et.al, 2011

Simalingkar B Kecamatan Kuala Bekala Sumatera Utara

Cyperus rotundus

Kandungan liat tinggi (35-78%) sebagian

berlempung halus liat rendah (18- 35%), pH 4.6-5.5 atau 5.6-6.8, C/N

Inceptiso l

Damanik

et.al, 2011

(36)

Desa Sena Kec. Batang Kuis

Sumatera Utara

Musa

paradisiaca, Cyperus rotundus,

Bergantung pada komposisi bahan endapan, ratio C/N sedang sampai tinggi

Entisol Damanik et.al, 2011

Dari tabel 3. diketahui masing-masing tanah memiliki deskripsi yang berbeda. Sifat fisika tanah berdasarkan deskripsi juga didukung oleh hasil analisis tanah di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang dirangkum pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil Analisis Tanah

Parameter Satuan Andisol Inceptisol Histosol Inceptisol

+ Kapur Ultisol Entisol

Pasir % 64.56 54.56 26.56 24.56 50.56 34.56

Debu % 27.28 17.28 5.28 49.28 21.28 35.28

Liat % 8.16 28.16 8.16 26.16 28.16 30.16

Tekstur USDA Lp Llip Pl L Ll Lli

pH(

2

O)

1:2.5 6.03 5.81 4.20 8.09 5.66 6.83

C-

organik % 1.20 1.08 1.19 1.20 1.31 1.25

KTK m.e/100g 10.54 10.19 9.85 10.37 9.61 12.31

Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan ukuran tanaman kelapa sawit (Elaeis gueenensis Jacq.) yaitu berdasarkan tinggi tanaman dan jumlah akar yang terlihat pada Gambar 2.

Dari Gambar 2. terlihat jelas bahwa tanaman kelapa sawit pada perlakuan jenis

tanah Ultisol memiliki ukuran paling kerdil dan jumlah akar paling sedikit

dibandingkan kelima perlakuan lain. Sedangkan ukuran tanaman paling besar

dengan jumlah akar sekunder terbanyak terlihat pada perlakuan jenis tanah

histosol. Ukuran tanaman normal terlihat pada perlakuan jenis tanah Inceptisol

dan Inceptisol + Kapur dengan jumlah akar sedikit. Hal ini menunjukkan

(37)

perbedaan sifat kimia, fisika maupun biologinya dan diduga mempengaruhi virulensi Ganoderma.

Gambar 2. Perbedaan akar tanaman kelapa sawit (Elaeis gueenensis Jacq.) dari masing-masing perlakuan jenis tanah.

Perbedaan deskripsi tanah terlihat jelas mempengaruhi kemampuan tanah

dalam memberikan pengaruh pada tanaman. Respon tanaman terhadap tanah

menunjukkan bahwa keadaan fisika dan kimia tanah sangat mempengaruhi

tanaman yang terlihat pada gambar 2. dan dikaitkan dengan tabel 2. Hasil analisis

tanah menunjukkan tanah-tanah dengan tekstur lempung, pH yang mendekati

netral, dan kapasitas tukar kation yang tinggi yaitu andisol, entisol, dan inceptisol

+ kapur memiliki jumlah akar primer yang lebih dominan dibandingkan tanah-

tanah yang memiliki pH rendah dengan tekstur tanah pasir yaitu histosol yang

cenderung memiliki perakaran sekunder yang lebih dominan. Perbedaan ini

terlihat jelas pada gambar 2. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan akar yang

beradaptasi dengan serapan hara P yang dibutuhkan tanaman. Rendahnya kadar P

pada tanah masam menyebabkan pertumbuhan akar sekunder menyebar untuk

mencari unsur hara. Hal ini sesuai dengan literatur Hairiah et al. (2003) yang

(38)

menyatakan akar tanaman akan mencari tempat yang menguntungkan untuk tumbuh, pada tanah-tanah masam akar akan bergerak mencari unsure hara P yang umum sangat dibutuhkan oleh tanaman.

Periode Inkubasi

Ganoderma sp. merupakan patogen tular tanah yang menyerang melalui

infeksi pada jaringan akar. Mampu bertahan didalam tanah dalam waktu yang panjang. Dalam hal ini, tanah merupakan faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh besar terhadap daya serang, waktu yang dibutuhkan untuk menginfeksi maupun panjangnya waktu atau kemampuan bertahan didalam tanah dimana hal ini sesuai dengan pernyataan Susanto et.all (2013), tanah yang miskin unsur hara akan menyebabkan tanaman menurun daya tahannya terhadap infeksi patogen. Tanaman yang lemah sangat mudah terinfeksi pathogen. Bahkan jenis dan morfologi dari pathogen ini dapat menunjukkan perbedaan berdasarkan jenis tanah inokulumnya seperti pada penelitian Wicaksono dkk (2011) yaitu terdapat keragaman yang besar antar kedua isolat Ganoderma yang kemungkinan disebabkan kondisi lingkungan yang berbeda. Isolat BPME 15 berasal dari kebun Bumi Palma dengan jenis tanah gambut, sedangkan isolat PHLE 26-10 dengan jenis tanah mineral.

Pengamatan periode inkubasi dilihat dari gejala visual yang ditunjukkan

oleh tanaman yaitu klorosis pada helai daun termuda yang diikuti dengan nekrosis

dan kering pada daun-daun tua. Gejala visual pertama kali muncul pada bulan

ketiga setelah inkubasi. Sebagian besar tanaman yang menunjukkan gejala berupa

klorosis pada helaian daun. Setiap perlakuan menunjukkan waktu kemunculan

gejala visual yang berbeda.

(39)

Gambar 3. A: daun klorosis, B: daun sehat, C: daun klorosis dan nekrosis Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai periode inkubasi masing- masing perlakuan memiliki perbedaan yang nyata. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Periode Inkubasi serangan Ganoderma sp. pada 6 jenis tanah Jenis tanah Hari setelah inokulasi (his)

ultisol 74d

inceptisol+kapur 92cd

entisol 93cd

histosol 102bc

inceptisol 124ab

andisol 146a

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat adalah pada perlakuan tanah Ultisol yaitu 74 hari setelah inkubasi, pada tanah histosol 102 hari setelah inkubasi, sedangkan periode inkubasi terlama ditunjukkan pada perlakuan tanah andisol yaitu 146 hari setelah inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapatnya perbedaan waktu infeksi Ganoderma sp. pada jenis tanah yang berbeda. Setiap tanah menunjukkan perbedaan waktu yang

A B C

(40)

signifikan. Berdasarkan analisis tanah diketahui bahwa masing-masing tanah perlakuan memiliki pH, tekstur dan kandungan bahan organik yang berbeda, diduga hal inilah yang menjadi penyebab perbedaan waktu serangan. Hal ini sesuai dengan penelitian Susanto et.all (2013) yang menyimpulkan bahwa penularan penyakit busuk pangkal batang melalui tanah dan kontak akar sangat dipengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Gejala busuk pangkal batang tercepat terdapat pada tanaman yang ditanam pada tanah Ultisol. Tanah Ultisol merupakan tanah tua yang sudah mengalami erosi, sehingga menyebabkan tanah jenuh, kesuburannya sangat menurun.

Berdasarkan hasil analisa tanah, Ultisol memiliki tekstur lempung liat, pH 5.66, C-organik 1.31, KTK 9.61 yang menggambarkan kesuburan tanah yang cukup rendah. Sesuai dengan Subagyo et al., (2000) yang menjelaskan Ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia, menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4,1 – 4,8), kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8-12 cm), umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5-10). Kandungan P-potensial yang rendah dan K-potensial yang bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik lapisan atas maupun lapisan bawah.

Jumlah basa-basa tukar rendah sehingga dapat disimpulkan potensi kesuburan alami Ultisol sangat rendah sampai rendah.

Kejadian Penyakit

Pengamatan kejadian penyakit tiap bulan dilakukan dengan menghitung

jumlah tanaman yang menunjukkan gejala visual dimasing-masing perlakuan

setiap bulannya. Gejala visual yang dilihat adalah klorosis pada helai daun muda.

(41)

Hasil pengamatan selama 6 bulan inkubasi pada setiap perlakuan dirangkum dalam tabel 5. dan grafik 2.

Tabel 6. % Kejadian Penyakit Pada 6 Bulan Pengamatan

Jenis Tanah % Kejadian Penyakit

1 bsi 2 bsi 3 bsi 4 bsi 5 bsi 6 bsi

Andisol 0 0c 0c 22b 55b 55b

Inceptisol 0 0c 0c 67ab 89ab 89ab

Histosol 0 0c 22bc 100a 100a 100a

Inceptisol +

Kapur 0 0c 55ab 89a 89a 100a

Ultisol 0 67a 79a 89a 89ab 89ab

Entisol 0 22b 33abc 67ab 78ab 78ab

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanaman belum menunjukkan gejala serangan busuk pangkal batang pada 1 bsi. Dengan kata lain, miselium Ganoderma sp. belum menginfeksi sel plasmalema yang merupakan pembatas

perlintasan ion unsur hara kedalam tubuh akar. Apabila miselium telah berhasil menginfeksi sel ini, unsur hara yang paling terganggu untuk masuk adalah zat besi. Kepekaan tanaman terhadap klorosis merupakan takaran dari jumlah serapan zat besi (Damanik et al., 2011). Inilah yang menyebabkan tanaman menunjukkan gejala klorosis pada infeksi Ganoderma.

Pengamatan pada 2bsi terdapat 67% serangan pada perlakuan tanah Ultisol

dan 22% serangan pada perlakuan tanah Entisol. Dikaitkan dengan persen pasir,

debu dan liat diketahui bahwa perlakuan tanah dengan tekstur lempung, lempung

berliat (Ultisol) dan lempung-liat (Entisol) menunjukkan gejala paling cepat

dibandingkan perlakuan lain. Tanah-tanah ini mengandung % debu dan liat yang

tinggi dibandingkan perlakuan lain yang belum menunjukkan gejala. Tanah

dengan % debu dan liat lebih tinggi dibandingkan pasir memiliki tekstur yang

lebih padat dibandingkan jenis tanah yang memiliki tekstur dengan % pasir lebih

(42)

tinggi dibandingkan % debu dan liat sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan akar tertekan dan miselium lebih mudah menginfeksi akar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayah dan Djajadi (2009) yang mengatakan kondisi tekstur tanah berpengaruh terhadap kesuburan dan kesehatan akar. Tanah dengan kandungan liat dan debu tinggi mendukung perkembangan penyakit busuk akar karena drainasenya jelek, sehingga akan lebih banyak tersedia kelembaban bagi reproduksi jamur patogen.

Pengamatan pada 3 bsi didapat 55% serangan pada perlakuan tanah histosol atau sebanyak 6 dari 9 tanaman menunjukkan gejala serangan.

Berdasarkan perbandingan % debu, pasir dan liatnya tanah histosol memiliki kadar debu terkecil yaitu sebesar 5.28%. Histosol merupakan tanah dengan kandungan unsur hara yang sangat rendah, terutama unsur K, Ca, Mg dan Na yang mudah terjerap dan menjadi penyebab asam pada tanah gambut. Unsur-unsur hara ini sangat dibutuhkan dalam pembibitan sehingga tanaman kekurangan unsur hara yang menyebabkan mudahnya miselium Ganoderma menginfeksi akar. Hal ini sesuai dengan literatur Hartatik et.al (2007) yang mengatakan secara alamiah tanah gambut memiliki tingkat kesuburan rendah, karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman.

Pada 4bsi terdapat 89% serangan atau 8 dari 9 tanaman menunjukkan

gejala serangan pada tanah inceptisol. Inceptisol memiliki kandungan liat yang

cukup tinggi yaitu 28.16%. Tanah-tanah perlakuan yang memiliki kadar liat tinggi

seperti Entisol, Inceptisol, Inceptisol + Kapur dan Ultisol menunjukkan %

kejadian penyakit paling cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wing et.al

(43)

(1995) yang mengatakan tanah dengan kadar liat tinggi memungkinkan terjadinya pemadatan sehingga pertumbuhan akar tertekan, kondisi ini memudahkan patogen untuk melakukan infeksi yang akan meningkatkan serangan penyakit.

Grafik 1. % Kejadian Penyakit Pada 6 Bulan Pengamatan

Andisol merupakan tanah dengan persen kejadian penyakit terendah, yaitu

sebesar 22% pada 4bsi dan 48% pada pengamatan terakhir. Diketahui dari hasil

analisis tanah, % pasir, debu dan liat tanah Andisol adalah 64.56%, 27.28% dan

8.16%. Tanah ini mengandung kadar pasir tertinggi dan menunjukkan gejala

paling lambat. Kandungan pasir yang tinggi menyebabkan tekstur tanah remah

(drainase baik). Bila dikaitkan dengan kesuburan tanah, andisol memiliki

kandungan P dan K potensial yang cukup tinggi, KTK sedang, jumlah basa tukar

sedang sampai tinggi dengan Kejenuhan Basa sedang. Tanaman mendapatkan

asupan hara yang cukup sehingga pertumbuhan akar dan tajuk normal. Deskripsi

tanah ini sesuai dengan deskripsi dari Damanik et.al (2011) yaitu, potensi

kesuburan Andisol tergolong sedang sampai tinggi dengan reaksi tanah agak

(44)

masam, kandungan bahan organik lapisan atas sedang sampai tinggi, P dan K potensial bervariasi mulai rendah sampai tinggi dan dinominasi ion Ca dan Mg, sedangkan KTK tanah sedang sampai tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kesuburan tanah yang tinggi dapat mempengaruhi virulensi Ganoderma didalam tanah.

Jumlah tanaman yang terserang mencapai 100% pada tanah histosol di 4 bsi. Berdasarkan perbandingan % debu, pasir dan liatnya tanah histosol memiliki kadar debu terkecil yaitu sebesar 5.28%. Damanik et al., (2011) medeskripsikan fraksi debu berukuran 2-20 mm dapat mengikat kation sehingga tingginya persen fraksi ini menentukan kapasitas tukar kation dan anion yang sangat mempengaruhi kelasahan unsur hara itu sendiri. Hal ini menunjukkan rendahnya kemampuan tanah histosol untuk menyediakan unsur hara yang tersedia untuk tanaman sebagai akibat dari rendahnya fraksi debu menyebabkan menurunnya ketahanan tanaman terhadap Ganoderma sp.

Keparahan Penyakit

Pengamatan persen keparahan penyakit dilakukan dengan mengamati perakaran dan tajuk tanaman percobaan berdasarkan kelas keparahan penyakit busuk pangkal batang.

Tabel 7. Persentase Keparahan Penyakit

Jenis Tanah % Keparahan Penyakit

Andisol 15.3bc

Inceptisol 34.7ab

Histosol 47.3a

Inceptisol + Kapur 13.7c

Ultisol 11.0c

Entisol 27.5abc

(45)

Hasil analisa tanah menunjukkan bahwa tanah Histosol memiliki kadar pH terendah yaitu sebesar 4.20 dengan keparahan penyakit tertinggi yaitu sebesar 47.3%. pH merupakan faktor penting untuk menentukan kelarutan unsur Fe dan Al, mempengaruhi reaksi redoks, kegiatan jasad renik, KTK dan reaksi-reaksi kimia lain yang sangat mempengaruhi kimia lain yang sangat mempengaruhi kepekatan unsur hara didalam tanah (Damanik et al., 2011). Tanah dengan pH rendah memiliki Ca-fosfat yang sangat rendah (terjerap Al dan Fe). Tanaman dapat dipastikan kekurangan unsur fosfat yang sangat mempengaruhi kerentanan tanaman terhadap patogen.

Gambar 4. Busuk pada bagian pangkal batang pada tanah Histosol.

pH tanah jelas pengaruhnya terhadap persen keparahan penyakit. Terdapat

pebedaan yang nyata antara dua perlakuan yaitu pada Inceptisol + Kapur dan

Inceptisol tanpa aplikasi kapur. Inceptisol + kapur terserang 13.7%, sementara

tanah Inceptisol tanpa aplikasi kapur terserang 34.7%. Ganoderma sp. dapat

bertahan pada pH tinggi hingga 8.09 tetapi serangannya cukup rendah. Menurut

(46)

Sementara Ganoderma sp. dapat bertahan pada kisaran pH 3.0-8.5 (Abadi dan Dharmaputra 1998; Susanto et.al, 2013). Serangan pada tanah Ultisol rendah yaitu 11% diakibatkan tingginya kadar C-organik pada tanah yang digunakan. Kadar C- organik didalam tanah menggambarkan ketersediaan N untuk tanaman (Damanik et.al, 2011). Tanaman mendapatkan unsur hara N yang cukup, sehingga ketahanan terhadap penyakit lebih tinggi.

Gambar 5. Perbedaan akar tanaman sehat dan yang terserang.

Pengaruh Virulensi Ganoderma Terhadap Tinggi Tanaman Pada Beberapa Jenis Tanah Secara Invivo

Pengamatan tinggi pada tiap tanaman dilakukan setiap bulannya dengan mengukur tinggi tajuk dari mulai pangkal batang hingga ujung daun termuda.

Perbedaan tinggi tanaman dan hubungannya dengan kejadian penyakit ditunjukkan pada tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh persentase Kejadian Penyakit (kpj) terhadap tinggi tanaman pada bulan ke 3,5 dan 6

Perlakuan Pengamatan

3 BSI %KPj 5 BSI %KPj 6 BSI %KPj

Andisol 65b 0c 85b 55b 100a 55b

Inceptisol 56c 0c 80bc 89ab 88b 89ab

Histosol 73a 22bc 96a 100a 107a 100a

Inceptisol +

Kapur 66b 55ab 80bc 89a 88b 100a

Ultisol 58bc 79a 77bc 89ab 79bc 89ab

(47)

Entisol 59bc 33abc 726c 78ab 77c 78ab Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanah memberikan perbedaan tinggi tanaman pada masing-masing perlakuan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kesuburan dan kemampuan tanah pada masing-masing perlakuan.

Tinggi tanaman tertinggi pada 6 bsi terlihat pada perlakuan tanah Histosol yaitu sebesar 107 cm. sedangkan tinggi tanaman terendah terlihat pada perlakuan tanah Entisol yaitu sebesar 77 cm. Berdasarkan tabel hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah histosol yang digunakan dalam perlakuan memiliki kadar c-organik cukup rendah yaitu sebesar 1.08% dengan KTK 10.19 m.e/100g. Sedangkan tanah ultisol memiliki kandungan c-organik sebesar 1.31% dengan KTK yang rendah yaitu 9.61%. KTK yang rendah dan c-organik yang tinggi menyebabkan unsur- unsur basa seperti Ca terjerap, dimana unsur hara ini sangat berpengaruh dalam proses fotosintesis yang jelas akan mempengaruhi tinggi tanaman. Hal ini sesuai dengan literatur Nurlaeny (2015) yang mengatakan bahwa senyawa - senyawa organik mempunyai kemampuan untuk menurunkan pH tanah dan membentuk ion kompleks. Sementara fungsi unsur Ca dalam tanaman adalah mengontrol aktivitas enzim, mengendalikan integritas membran, dan 2

nd

messenger dari pusat fotosintesis ke molekul khlorofil, dimana O

2

dilepaskan. Terjerapnya unsur hara ini juga menambah kemasaman tanah yang sangat baik untuk perkembangan patogen tular tanah seperti Ganoderma.

Bila dikaitkan dengan data kejadian penyakit pada bulan pengamatan yang

sama, terlihat bahwa parameter tinggi tanaman tidak memiliki pengaruh yang

nyata terhadap virulensi ganoderma. Persen kejadian penyakit tertinggi pada bulan

ketiga setelah inkubasi adalah pada perlakuan tanah histosol yaitu sebesar 55.6%

(48)

sementara rata-rata tinggi tanaman tertinggi pada bulan yang sama adalah pada perlakuan tanah histosol juga yaitu 73.22 cm. Sedangkan %KPj terendah pada pengamatan 6 bulan setelah inkubasi adalah pada perlakuan tanah Entisol yaitu 0.00% dengan tinggi rata-rata tanaman 76.69 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh virulensi Ganoderma. Faktor keganasan isolat ganoderma yang digunakan juga merupakan salah satu faktor penyebab virulensi dari pathogen ini. Hal ini sesuai dengan literatur Yunasfi (2002) yang menyatakan bahwa berbagai galur atau asal (isolat) suatu jenis patogen dapat beragam keganasannya (virulensinya), tergantung pada gen yang terkandung di dalam inti atau bahan yang bertindak sebagai inti. Mengingat susunan gen karena berbagai proses dapat berubah, maka demikian pula virulensi pada suatu jenis patogen dapat berubah dari waktu ke waktu.

Pengaruh pH Tanah Terhadap Virulensi Ganoderma sp. Pada Beberapa Jenis Tanah Secara Invivo

Pada beberapa literatur interaksi tanah, tanaman dan penyakit

menunjukkan bahwa pH tanah memiliki peran yang paling penting dalam infeksi

dan dormansi penyakit didalam tanah. Setiap patogen memiliki kesesuaian yang

berbeda terhadap pH tanah. Sedangkan pada Ganoderma dikatakan bahwa

patogen ini menghendaki pH yang rendah hingga tinggi, yaitu antara 3.5-8.5. Hal

ini sesuai dengan lieratur Jing (2007) yang mengatakan G. boninense Pat. dapat

tumbuh pada pH 3-8,5 dengan temperature optimal 30

o

C dan terganggu

pertumbuhannya pada temperature 15

o

C dan 35

o

C. dan tidak dapat tumbuh pada

temperature 40

o

C.

(49)

Berdasarkan hasil analisis pH tanah, kaitan antara pH tanah awal, pH tanah setelah panen, keparahan penyakit, dan tinggi tanaman dibulan pengamatan pertama dan tinggi saat panen ditunjukkan pada tabel 7.

Tabel 9. Perubahan pH Tanah Sebelum Tanam dan Setelah Bongkar dan Kaitannya dengan Keparahan Penyakit

Jenis Tanah sebelum Tanam Setelah Panen Keparahan Penyakit (%)

Andisol 6.03 5.48 15.3bc

Inceptisol 5.81 5.33 34.7ab

Histosol 4.20 4.13 47.3a

Inceptisol +

Kapur 8.09 7.07 13.7c

Ultisol 5.66 4.99 11.0c

Entisol 6.83 5.15 27.5abc

Diamati berdasarkan pemaparan pada tabel 7, diketahui terjadi perubahan pH yang cukup tinggi pada 2 tanah perlakuan yaitu pada tanah Inceptisol + kapur yaitu sebesar 1.02 dan pada perlakuan tanah Entisol yaitu sebesar 1.68. Penurunan pH tanah ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pencucian, reaksi-reaksi kimia ditanah, maupun aktifitas mikroorganisme. Faktor pencucian memberikan pengaruh terbesar pada menurunnya kadar pH pada 2 jenis tanah ini, alasannya, pada tanah Inceptisol + kapur terdapat basa-basa aplikatif dimana basa- basa ini sangat mudah tercuci. Sedangkan pada tanah entisol, pH sangat mudah turun diakibatkan rendahnya kandungan bahan organic pada tanah entisols. Asam- asam organic mampu mengikat logam-logam seperti Al, Fe dan Ca dari dalam larutan tanah. Pengikatan logam-logam ini dapat meningkatkan pH tanah.

Rendahnya kandungan bahan organik menyebabkan pH tanah mudah turun. Hal

ini sesuai dengan literature Damanik et al. (2011) yang mengatakan asam-asam

organik seperti asam malonat, tartarat, humat, fulvik akan menghasilkan asam

Referensi

Dokumen terkait

Traffic shaping dapat dilakukan dengan menerapkan Hierarchical Token Bucket (HTB), kelebihan traffic shaping menggunakan metode HTB yaitu dapat membatasi traffic

(Jogiyanto H.M, 2000), “Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari dua atau lebih komponen atau subsistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan”.. (Fathansyah,

ambeyen atau bisa juga disebut ambeien atau wasir adalah suatu kondisi atau keadaan dimana penderita mengalami pembengkakan yang terjadi di sekitar anus karena adanya

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui motif masyarakat Surabaya menonton program acara ”Jam Malam” di Trans 7. Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat

a) Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan

Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa standar waktu yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan perdagangan Kota Pekanbaru dalam mengawasi peredaran handphone

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari bab sebelumnya, Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang di programkan Pemerintah melalui perusahaan penjaminan Jamkrindo

Kita juga beberapa waktu lalu memperkenalkan produk kita kepada khalayak yang mungkin belum mengenal produk kita melalui media televisi yaitu CNN yang