• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas

BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA

BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

SKRIPSI

FITRI KARTIKA SARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

RINGKASAN

FITRI KARTIKA SARI. D14052803. 2010. Pengamatan Keluarnya Ngengat

Attacus atlas Berdasarkan Bobot Kokon pada Berbagai Kondisi Lingkungan.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si Pembimbing Anggota : Yuni Cahya Endrawati, S.Pt

Ngengat sutera liar Attacus atlas merupakan ngengat terbesar di dunia yang memiliki rentangan sayap terbesar diantara ordo Lepidoptera lainnya. Ngengat betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan, hal ini menyebabkan kokon betina memiliki bobot yang lebih besar daripada kokon jantan. Pupa akan keluar dari dalam kokon menjadi ngengat dewasa. Pada saat ngengat berada di dalam pupa inilah terjadi proses pembentukan organ-organ tubuh baru (organogenesis). Berbagai faktor, seperti suhu dan kelembaban akan mempengaruhi pertumbuhan ngengat. Penelitian ini bertujuan untuk memilih lokasi pengokonan yang ideal untuk keluarnya ngengat sebagai tahap awal pembudidayaan A. atlas.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Blok C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, dari bulan Mei-Juli 2009. Materi yang digunakan adalah 102 kokon ulat sutera liar A.

atlas yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Penelitian ini

menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dimana kondisi lingkungan lokasi pemeliharaan sebagai faktor pertama dan bobot kokon sebagai faktor kedua. Lokasi pemeliharaan terdiri dari lokasi pertama adalah lokasi yang beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur (L1), lokasi kedua adalah lokasi

yang beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan (L2), dan lokasi

ketiga adalah lokasi tanpa naungan yang langsung terkena panas dan hujan (L3).

Bobot kokon terdiri dari bobot berat, sedang, dan ringan dengan ulangan yang berbeda-beda. Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui keluarnya ngengat

A. atlas, meliputi jumlah ngengat yang keluar, waktu keluar ngengat, dan kondisi

pupa yang tidak keluar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah ngengat terbanyak yang keluar di semua bobot kokon terdapat pada L1. Lokasi ini merupakan lokasi terbaik (ideal)

yang memiliki kisaran suhu 24,93±2,34 oC dengan kelembaban sebesar 69,63±11,05 %. Rataan umum waktu keluar ngengat pada penelitian ini yaitu 28,67 hari, dimana betina membutuhkan waktu keluar yang lebih lama dibandingkan jantan. Kondisi pupa yang tidak keluar menjadi ngengat terbanyak terdapat pada L3.

Kondisi pupa tersebut mengalami diapause atau mati. Pupa betina yang dicirikan dengan kokon berat lebih banyak berdiapause pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Pencahayaan, sirkulasi udara, dan predator harus diperhatikan pada manajemen pemeliharaan kokon.

(3)

ABSTRACT

The Observation of Attacus atlas Moth’s Emerging Based on Weight Of Cocoon in Many Enviromental Condition

Sari, F.K., H.C.H. Siregar, and Y.C. Endrawati

Attacus atlas is the biggest moth in the world which has the longest reach of wings.

The female moth’s body is longer than the male, so her cocoon is heavier. The perfect environment condition (like temperature and humidity) during organogenesis will influence the moth’s growth. The aim of this research was to find the perfect environment condition for various weight of cocoon. A. atlas cocoon samples were obtained from tea plantation in Purwakarta. Factorial experiment (3x3) with Completely Randomize Design was used in this research. The data were analyzed descriptively. The variable observed were the number of moth, emerging period, and unemerging pupae condition. The results showed that the perfect environment condition was L1, which has the moth mostly emerged for all cocoon weight. The

average days of moth emergence was 28,67 days, where the female took longer time to emerge than the male (29,17 vs 27,43). Unemerging pupae’s condition were caused by diapause or death where the most number was in L3. Light, air circulation,

and predator must be taken into account in cocoon management. Keywords : Attacus atlas, weight of cocoon, environmental condition

(4)

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas

BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA

BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

FITRI KARTIKA SARI D14052803

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(5)

Judul Skripsi : Pengamatan Keluarnya Ngengat Attacus atlas Berdasarkan Bobot Kokon pada Berbagai Kondisi Lingkungan

Nama : Fitri Kartika Sari NIM : D14052803

Menyetujui :

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si NIP. 19620617 199003 2 001

Yuni Cahya Endrawati, S.Pt NIP. 19821109 200501 2 001

Mengetahui : Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 2 Juni 1987, dari pasangan Bapak Agung Susetyanto dan Ibu Tri Lestari Soniyati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Pengadilan III, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan tahun 2002 di SMPN 4 Bogor dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 5 Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006.

Selama mengikuti pendidikan, Penulis pernah aktif sebagai anggota divisi syiar Lembaga Dakwah Fakultas Famm Al An’aam fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb.

Alhamdulillahi Robbil’aalamiin, segala puji hanya bagi Allah, yang telah memberikan rahmat, karunia, rizki dan hidayah-NYA sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, atas keluarganya dan para sahabat serta para pengikut sunnahnya hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul "Pengamatan Keluarnya Ngengat Attacus atlas Berdasarkan Bobot Kokon Pada Berbagai Kondisi Lingkungan" merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok C, Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei-Juli 2009. Materi kokon A. Atlas diperoleh dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Penelitian ini dilakukan karena informasi mengenai A. atlas masih kurang sehingga diharapkan dapat memberikan satu ilmu pengetahuan bagi dunia peternakan, khususnya Non Ruminansia Satwa Harapan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan ilmu dan informasi mengenai

A. atlas.

Bogor, Januari 2010

(8)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... ii RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Taksonomi Ulat Sutera Liar Attacus atlas ... 4

Siklus Hidup ... 4

Morfologi ... 6

Telur ... 6

Larva ... 6

Kokon dan Pupa ... 7

Imago ... 9

Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Pemeliharaan Kokon ... 10

Suhu ... 10

Kelembaban ... 11

Cahaya dan Sirkulasi Udara... 11

METODE ... 12

Lokasi dan Waktu ... 12

Materi ... 12

Rancangan Percobaan... 13

Analisis Data ... 13

Peubah yang Diamati ... 13

Jumlah Ngengat yang Keluar ... 13

Waktu Keluar Ngengat ... 13

Kondisi Pupa yang Tidak Keluar ... 13

Prosedur Penelitian ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

(9)

Jumlah Ngengat yang Keluar ... 21

Jumlah Ngengat yang Keluar pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda ... 21

Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan ... 24

Waktu Keluar Ngengat... 25

Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda ... 25

Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai Kondisi Lingkungan ... 27

Kondisi Pupa yang Tidak Keluar... ... 29

Pupa dalam Kondisi Diapause... 29

Tingkat Kematian Pupa... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMAKASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ketiga Lokasi Pemeliharaan... 17 2. Jumlah Ngengat A. atlas yang Keluar pada Berbagai

Kondisi Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda... 22 3. Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada

Berbagai Kondisi Lingkungan... 24 4. Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon

yang Berbeda... 26 5. Persentase Ngengat yang Waktu Keluarnya Melebihi Kisaran

Awan (2007)... 26 6. Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai

Kondisi Lingkungan... 28 7. Persentase Ngengat Jantan dan Betina yang Waktu Keluarnya

Lebih Cepat dari Rataan... 28 8. Persentase Pupa A. atlas yang Mengalami Diapause atau Mati... 29

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur Sampai Imago... 5 2. Lokasi Pemeliharaan... 12 3. Diagram Penelitian... 16 4. Grafik Suhu Harian pada Lokasi Pemeliharaan L1, L2, dan L3 .... 18

5. Grafik Kelembaban Harian pada Lokasi Pemeliharaan

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kondisi Pupa Mati yang Dicirikan dengan Berkerut... 36

2. Kondisi Pupa Mati yang Dicirikan dengan Munculnya Jamur... 36

3. Pembentukan Pupa... 36

4. Pupa yang Mengalami Diapause... 37

5. Kulit Pupa... 37

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permintaan dunia, khususnya Jepang akan sutera sangat tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pengembangan produk sutera alam, terutama budidaya ulat sutera liar Attacus atlas memiliki potensi yang besar dalam berbagai macam bidang industri. Budidaya A. atlas masih terpusat di daerah Yogyakarta dan Jawa Barat dengan kapasitas produksi benang sutera terbatas.

Ulat sutera liar A. atlas merupakan jenis serangga asli Indonesia yang banyak ditemui di pulau Jawa. A. atlas merupakan ngengat terbesar di dunia yang memiliki rentangan sayap terbesar diantara ordo Lepidoptera lainnya. Tubuh ngengat yang kecil akan terhindar dari bahaya karena dikelilingi sayap yang lebar. Warna dan pola sayap yang dimiliki oleh ngengat ini memberikan kesan suatu tatanan mekanisme pertahanan. Pada saat ngengat terganggu, titik pada sayap menyerupai mata diekspos untuk mengejutkan atau menakuti predator.

A. atlas adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosis

sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan ngengat. Ngengat A. atlas terbentuk pada saat pupa berada di dalam kokon. Pupa yang berada di dalam kokon akan mengalami pembentukan organ-organ tubuh baru, seperti sayap, antena, dan mata sehingga ngengat akan keluar dengan sempurna. Proses pembentukan organ-organ tubuh baru tersebut disebut organogenesis.

Bobot kokon merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan A.

atlas. Kokon dengan pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon dengan pupa

jantan. Begitu pula dengan ukuran tubuh ngengat betina juga lebih besar dibandingkan jantan, hal ini disebabkan betina memiliki abdomen yang besar sebagai tempat telur.

Ngengat A. atlas akan keluar dari lubang ujung anterior kokon. Banyak faktor yang mempengaruhi keluarnya ngengat, salah satunya adalah kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban). Kondisi lingkungan yang ideal akan mempengaruhi keluarnya ngengat dengan sempurna. Suhu yang dibutuhkan saat stadium pupa sampai pengawinan ngengat adalah 26-29 oC (Awan, 2007). Suhu yang terlalu tinggi dan kelembaban yang rendah akan mengakibatkan diapause (masa istirahat pada

(14)

pupa A. atlas, dimana organogenesis mengalami penghentian yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang) sehingga pupa membutuhkan waktu yang lama untuk keluar menjadi ngengat.

A. atlas memiliki potensi yang lebih besar dari ulat sutera murbei (Bombyx mori). A. atlas merupakan hewan polifagus yang berarti dapat memakan 90 golongan

tanaman. Kokon A. atlas yang telah diolah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Satu kilogram benang A. atlas bernilai Rp. 1.500.000 sedangkan 1 kg benang B. mori bernilai Rp 60.000-120.000 (Damardono, 2008). Benang yang dihasilkan dari A.

atlas lebih panjang dengan warna yang eksklusif. Prospek industri benang sutera dari

kokon A. atlas sangat cerah, namun masih terkendala dalam hal budidaya.

Pemeliharaan A. atlas masih dilakukan di alam bebas dengan tingkat keberhasilan menjadi kokon sangat rendah, yaitu hanya sekitar 10% (Situmorang, 1996), jika hal ini terus terjadi maka populasi A. atlas akan terus berkurang dan bahkan punah. Faktor abiotik seperti hujan, angin, dan panas serta faktor biotik seperti predator dapat mengganggu proses organogenesis yang mengakibatkan ngengat tidak keluar dengan sempurna. Ketidaksempurnaan ngengat akan berakibat gagalnya proses perkawinan sehingga siklus hidup A. atlas akan mengalami gangguan.

Mengingat tingkat keberhasilan pemeliharaan A. atlas di alam bebas masih sangat rendah maka perlu dilakukan budidaya yang tepat untuk kelangsungan hidup

A. atlas. Salah satu cara pembudidayaan A. atlas adalah dengan menciptakan kondisi

ruangan yang ideal bagi kokon sehingga faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan di alam bebas dapat diminimalisasi. Suhu lingkungan pemeliharaan untuk pengokonan A. atlas berdasarkan penelitian sebelumnya berkisar antara 26-29 oC dengan kelembaban sebesar 60-75 % (Awan, 2007). Penelitian tentang pemilihan lokasi dengan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) yang tepat untuk penanganan kokon sangat diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi teknik budidaya A. atlas yang tepat untuk menghasilkan ngengat yang sempurna dan dalam penelitian ini akan dicobakan berbagai jenis kondisi lingkungan lokasi pemeliharaan. Tersedia tiga lokasi pemeliharaan yang dapat digunakan sebagai tempat pemeliharaan kokon. Lokasi pertama adalah lokasi yang beratap genteng, berdinding kasa, dan menghadap ke arah timur. Lokasi kedua adalah lokasi

(15)

yang beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke arah selatan. Lokasi ketiga adalah lokasi tanpa naungan yang terkena panas dan hujan secara langsung.

Perumusan Masalah

Kokon A. atlas mulai terbentuk ketika larva instar enam mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau daun. Pada siklus hidup A.

atlas terdapat kesalingtergantungan mulai dari tahap telur hingga ngengat. Apabila

pada tahap telur hingga larva (instar 1-6) A. atlas mendapat perlakuan tepat maka kokon yang dihasilkan akan berkualitas baik dan ngengat akan keluar dengan sempurna. Tingkat mortalitas pemeliharaan A. atlas yang dilakukan di alam bebas masih sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh faktor abiotik (suhu dan kelembaban) serta faktor biotik (predator). Pengambilan kokon di alam bebas merupakan salah satu upaya untuk mengetahui kondisi pemeliharaan ideal kokon agar dapat menghasilkan ngengat yang sempurna.

Kokon yang dihasilkan oleh pemeliharaan A. atlas dari tahap telur akan menentukan ngengat yang keluar. Kualitas kokon yang rendah akibat kondisi lingkungan pemeliharaan sangat mempengaruhi ngengat yang dihasilkan. Hal inilah yang menjadi dasar penelitian tentang pengaruh suhu dan kelembaban lingkungan terhadap keluarnya ngengat A. atlas.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memilih lokasi pengokonan yang ideal untuk keluarnya ngengat sebagai tahap awal pembudidayaan A. atlas.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Ulat Sutera Liar Attacus atlas

Ulat sutera liar A. atlas adalah serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia Tenggara, Asia bagian Selatan, Asia Timur, daerah selatan China, melintasi kepulauan Malaysia, Thailand, dan Indonesia (Peigler, 1989). Penyebaran A. atlas hampir di seluruh wilayah Indonesia, diantaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Awan, 2007). Ulat sutera A. atlas termasuk hewan polivoltin yang berarti hewan ini memiliki siklus lebih dari satu kali dalam setahun dan termasuk serangga polifagus yang dapat hidup pada 90 golongan tumbuhan dari 48 famili yang bisa dimakan oleh larva A. atlas (Peigler, 1989). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut:

Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Super famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub famili : Saturniinae Genus : Attacus Spesies : Attacus atlas

Attacus atlas memakan daun teh (Camellia sinensis), sirsak (Annona muricata), rambutan (Nephelium lappaceum), cengkeh (Syzygium aromaticum),

dadap (Erythrina spp), mangga (Mangifera indica), jambu biji (Psidium guajava L), dan tanaman dikotil lainnya (Kalshoven, 1981). Imago A. atlas dapat ditemui sepanjang tahun (Peigler, 1989).

Siklus Hidup

Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna

yaitu mengalami siklus kehidupan mulai dari fase telur – larva – pupa – imago (Chapman, 1998 dalam Awan 2007). Hasil penelitian Awan (2007) yang menjelaskan tentang siklus hidup ulat sutera A. atlas dengan pakan daun sirsak dapat dilihat pada Gambar 1.

(17)

Telur (1-4 minggu)

Imago

(2-10 hari) Instar I (5-8 hari)

Pupa (20-29 hari) Instar II (5-7 hari)

Instar VI (10-12 hari) Instar III (4-6 hari)

Instar V (6-8 hari) Instar IV (4-6 hari)

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur Sampai Imago

(18)

Ulat sutera ini memiliki bentuk telur bulat agak pipih. Stadium larva berlangsung dalam enam instar dengan tipe erusiform atau polypoid, dimana tubuhnya silindris (Borror et al, 1992). Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 64-88 hari. Instar pertama berlangsung selama 5-8 hari, instar kedua selama 5-7 hari, instar ketiga dan instar keempat membutuhkan waktu yang sama selama 4-6 hari, instar kelima selama 6-8 hari, dan instar keenam berlangsung selama 10-12 hari. Larva instar keenam memiliki waktu yang lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan berubah menjadi pupa dan akan mengokon. Pada instar keenam warna ulat kehijauan ditutupi tepung putih, di bagian punggung terdapat tonjolan putih, dan segmen badan agak panjang (Awan, 2007). Kalshoven (1981) menyatakan stadium telur berlangsung selama 1-4 minggu, larva 40-75 hari, sedangkan pupa 20-29 hari. Kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah 27-29 hari dan 20-28 hari.

Morfologi Telur

Telur ulat sutera liar A. atlas dihasilkan oleh ngengat betina yang telah kawin maupun yang tidak kawin. Betina yang kawin akan menghasilkan telur yang fertil yang akan menetas menjadi larva, sedangkan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan tidak akan menetas menjadi larva karena infertil. Telur memiliki kerabang yang halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna kemerahan hingga coklat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007). Ukuran telur A. atlas yaitu panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm, dan tinggi 2,1 mm. Bentuk telur A. atlas adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas yang dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989).

Larva

Ulat sutera liar memiliki enam tahapan instar pada stadium larva, yang dimulai dari instar satu hingga instar enam. Setiap pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak tanpa serbuk putih. Instar kedua memiliki ciri-ciri kepala berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badannya

(19)

ditutupi oleh serbuk putih. Instar ketiga memiliki ciri-ciri hampir sama dengan instar kedua hanya saja ukuran tubuh lebih besar dan panjang (Awan, 2007).

Instar keempat memiliki ciri-ciri kepala berwarna hijau kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih. Instar kelima memiliki ciri yang hampir sama dengan instar keempat, hal yang membedakannya hanya pada ukuran tubuh yang semakin membesar, gemuk, dan kokoh. Instar keenam merupakan tahap akhir stadium larva. Larva pada instar keenam memiliki ciri-ciri kepala yang berkilau warna hijau terang, tubuh berwarna hijau cerah dengan bintik-bintik berwarna hitam, gerakan lebih lamban, tubuh gemuk dan kokoh, pada badannya terdapat tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar, segmen badan panjang mencapai 15 cm (Pracaya, 2003). Awan (2007) menambahkan aktivitas makan pada instar keenam tinggi karena pada tahapan ini larva mengumpulkan cadangan makanan sebanyak-banyaknya sebelum membentuk kokon dan menjadi pupa.

Menjelang berakhirnya instar keenam larva menjadi kurang aktif makan dan cenderung bergerak ke sudut-sudut untuk bersiap mengokon. Larva instar keenam membutuhkan waktu paling lama dibandingkan dengan instar lain. Hal ini dikarenakan pada instar keenam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya (Awan, 2007).

Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga membutuhkan waktu cukup lama. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain karena terjadi pertumbuhan dan perubahan dari organ tertentu, terjadi proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, dan sekresi protein sutera. Hampir seluruh rongga tubuh larva instar terakhir dipenuhi oleh kelenjar sutera. Ulat sutera menggunakan sebagian besar protein yang dikonsumsinya selama stadium larva untuk mensintesis sutera cair (Awan, 2007).

Kokon dan Pupa

Larva instar enam akan membuat kokon sesuai dengan ukuran tubuhnya. Pembentukan kokon dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering, bagian ini

(20)

biasanya disebut floss. Larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut setelah menguatkan agar tidak jatuh ketika daun mengering, bagian inilah yang biasanya digunakan untuk dipintal menjadi benang yang disebut kulit kokon tanpa floss. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna (kokon utuh) yaitu floss dengan kulit kokon (Awan, 2007).

Larva akan memanfaatkan daun sebagai tempat melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat di bagian ujung dan tepi daun, kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berbentuk larva (Awan, 2007).

Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon juga berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa tetap sesuai dan terjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips silindris, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, dengan pengaruh sinar matahari, dan gerakan angin kokon akan menjadi lebih kuat dan kering (Awan, 2007). Warna kokon bervariasi dari orange hingga coklat tua, tetapi pada umumnya kokon berwarna coklat muda, tekstur permukaan kesat dan terkadang mengkerut (Peigler, 1989).

Stadium pupa merupakan stadium yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago, antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala, dan struktur reproduksi. Oleh karena itu stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila proses ini terganggu maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan pupa menjadi imago (Awan, 2007). Mulyani (2008)

(21)

menambahkan bahwa beragam faktor seperti suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan, dan fotoperiodisme akan berpengaruh terhadap keluarnya ngengat.

Pupa dapat menjadi imago beberapa minggu atau bulan setelah pupasi atau setahun kemudian, atau bahkan lebih dari dua tahun kemudian (Peigler, 1989). Fenomena ini menandakan bahwa terjadi diapause pada pupa A. atlas. Diapause adalah tertundanya perkembangan yang muncul sebagai respon terhadap periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Proses diapause (masa istirahat) tidak terganggu dengan pemeliharaan di dalam ruangan. Organogenesis mengalami penghentian selama diapause pada telur dan pupa, yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang. Indikator yang paling dipercaya dan konsisten dalam peristiwa diapause adalah musim, yaitu panjang hari (fotoperiodisme) dan ini merupakan hal paling penting pada diapause yang mengawali stimuli (Chapman, 1998).

Imago

A. atlas adalah ngengat terbesar di dunia dengan rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera lainnya (Peigler, 1989). Imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, dan sayap belum terbentuk sempurna. Imago yang baru keluar ini akan segera mencari ranting atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Kondisi sayap yang baru mengembang ini masih lemah dan belum dapat digunakan untuk terbang. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup kuat digunakan terbang (Awan, 2007). Mulyani (2008) menambahkan warna dan pola sayap pada A. atlas memberikan kesan suatu tatanan mekanisme pertahanan dari serangan predator.

Secara keseluruhan ukuran betina lebih besar daripada jantan (Mulyani, 2008). Ngengat betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan ukuran tubuhnya labih besar daripada ngengat jantan. Ngengat jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ciri-ciri antenanya, dimana antena jantan lebih besar daripada antena betina. Ngengat betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm sedangkan panjang antena yang dimiliki ngengat jantan adalah

(22)

23-30 mm dan lebar 10-13 mm (Peigler, 1989). Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing.

Ngengat betina biasanya lebih pasif dan mengeluarkan zat pemikat atau feromon yang bisa dideteksi oleh kemoreseptor yang ada di antena ngengat jantan. Beberapa jam setelah melakukan perkawinan, ngengat betina akan segera bertelur dan mampu menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 360 butir. Umur imago jantan adalah 2-4 hari dan umur imago betina adalah 2-10 hari (Awan, 2007).

Awan (2007) menyatakan bahwa variasi waktu keluar ngengat disebabkan adanya perbedaan kepribadian tiap individu pupa yang telah ada, mulai dari stadium telur sampai pupa. Ngengat betina membutuhkan waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan jantan, hal ini disebabkan pada betina terjadi pembentukan telur (oogenesis).

Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Pemeliharaan Kokon

Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup A. atlas adalah hal penting untuk diperhatikan. Kondisi lingkungan ini diantaranya, yaitu suhu, kelembaban, sirkulasi udara, cahaya, dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak diperhatikan akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan A. atlas menjadi terganggu.

Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stress pada larva sehingga larva tidak mau makan yang akan mempengaruhi produktivitas kokon. Meskipun udara panas dan lembab, namun bila ventilasi tempat pemeliharaan baik maka kepadatan dapat dikurangi dan evaporasi dapat ditingkatkan. Bila cuaca dingin dan lembab maka dengan pemanasan dan ventilasi udara yang baik kenaikan suhu serta penurunan kelembaban dapat tercapai (Atmosoedarjo et al., 2000).

Suhu

Ulat sutera adalah hewan berdarah dingin, maka secara alami suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu tempat pemeliharaannya (lingkungan). Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1oC daripada lingkungan di luar tubuhnya. Aktivitas fisiologis dipengaruhi oleh temperatur tubuhnya, sehingga memberi kemungkinan terjadi variasi pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 30oC atau kurang dari 20oC akan

(23)

mengakibatkan aktivitas kehidupannya menjadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan memburuk. Suhu yang ideal bagi pemeliharaan larva A. atlas antara 24-29 oC sedangkan suhu ideal bagi A. atlas yang sedang mengokon hingga pengawinan ngengat adalah 26-29 oC (Awan, 2007).

Kelembaban

Kelembaban mempengaruhi perkembangan ulat sutera baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban tinggi akan meningkatkan berkembangbiaknya bibit penyakit sedangkan kelembaban yang terlalu rendah akan menyebabkan kondisi pemeliharaan menjadi kering yang mengakibatkan stress pada ulat sutera (Atmosoedarjo et al., 2000). Kelembaban untuk pemeliharaan larva instar kecil umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 80-95 %, sedangkan pada larva instar besar sekitar 68-70 %. Kelembaban ideal pada saat A.

atlas sedang mengokon hingga pengawinan ngengat adalah 60-75 % (Awan,

2007).

Cahaya dan Sirkulasi Udara

Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx mori adalah 15-30 lux sedangkan pada saat pengokonan membutuhkan cahaya yang remang-remang dengan intensitas 10-20 lux sedangkan sirkulasi udara yang dibutuhkan pada budidaya B. mori adalah 0,2-1 m/s (Atmosoedarjo et al., 2000).

(24)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok C, Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari bulan Mei sampai Juli 2009.

Materi

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 102 kokon ulat sutera liar

Attacus atlas yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.

Fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah kokon berupa kotak plastik berukuran 37 x 29 x 13 cm3, timbangan digital dengan ketelitian 0,01, termohigrometer (pengukur suhu dan kelembaban), kain kasa, masker, tisu, kamera digital, label, gunting, tali rafia, alat tulis, dan lokasi pemeliharaan kokon, yaitu lokasi pertama (L1), lokasi kedua (L2), dan lokasi ketiga

(L3). Lokasi pertama (L1) merupakan ruangan beratap genteng dengan dinding

tembok 1 m dan dinding kawat kasa setinggi 2 m. Lokasi kedua (L2) merupakan

ruangan beratap asbes dengan dinding tembok setinggi 2,45 m dan jendela penerangan cahaya dengan ukuran 3,72 x 0,47 m2. Lokasi ketiga (L3) merupakan

lokasi di luar ruangan yang hanya sedikit ternaungi atap.

L1 L2

L3

(25)

Rancangan Percobaaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial 3x3. Faktor pertama adalah kondisi lingkungan lokasi pemeliharaan kokon yang terdiri atas lokasi pertama (L1), lokasi kedua (L2), dan

lokasi ketiga (L3) sedangkan faktor kedua adalah bobot kokon yang terdiri dari bobot

kokon berat, sedang, dan ringan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif karena data yang diperoleh adalah data kategorik. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui keluarnya ngengat A. atlas meliputi jumlah ngengat yang keluar, waktu keluar ngengat, dan kondisi pupa yang tidak keluar. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel yang berisikan rataan dan simpangan baku masing-masing peubah yang diamati. Peubah jumlah ngengat yang keluar dan kondisi pupa yang tidak keluar dihitung dengan cara membagi peubah dengan jumlah ulangan pada setiap bobot kokon ataupun membagi peubah dengan jumlah masing-masing jenis kelamin (jantan atau betina) yang terdapat pada setiap lingkungan lokasi pemeliharaan.

Peubah yang Diamati

1. Jumlah Ngengat yang Keluar

Jumlah ngengat adalah banyaknya ngengat yang keluar dari sejumlah kokon. 2. Waktu Keluar Ngengat

Waktu keluar ngengat adalah waktu yang dibutuhkan ngengat untuk menyelesaikan pembentukan organ-organ imago (organogenesis) dan keluar dari kokon. Waktu keluar ngengat dihitung dari awal pembentukan kokon hingga ngengat keluar dari kokon. Ngengat keluar dari kokon pada malam hingga pagi hari, antara pukul 21.00 hingga sekitar pukul 09.00.

3. Kondisi Pupa yang Tidak Keluar

Kondisi pupa yang tidak keluar adalah keadaan pupa di dalam kokon yang tidak keluar menjadi ngengat karena berdiapause atau mati.

(26)

Prosedur Penelitian

Peralatan yang digunakan untuk penelitian dipersiapkan seminggu sebelumnya. Wadah kokon dibersihkan menggunakan detergen kemudian dibilas dengan air bersih. Penelitian ini dilakukan menggunakan contoh kokon berisi pupa

A. atlas berumur satu minggu. Kokon diambil dari perkebunan teh di daerah

Purwakarta sebanyak 102 kokon yang diambil secara purposive yaitu kokon yang berisi pupa yang dapat diketahui dari bobot kokon. Kokon yang berat mencirikan kokon tersebut berisi pupa sedangkan kokon yang ringan mencirikan bahwa pupa dalam kokon mati. Ciri-ciri kokon yang sempurna adalah apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan, hal ini mengindikasikan bahwa pupa telah terbentuk sempurna dan kokon siap dipanen.

Kokon dibersihkan terlebih dahulu dari daun dan kotoran yang menempel pada kokon. Kokon yang telah bersih kemudian ditimbang satu persatu untuk mengetahui bobot kokon utuh (kokon dengan floss). Kokon utuh yang telah ditimbang tersebut kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh rataan umum (×) lalu dihitung pula simpangan baku (sb) dari total keseluruhan kokon.

Kokon dikelompokkan menjadi tiga menurut rataan umum dan simpangan baku bobot kokon, yaitu bobot kokon berat (BKB), bobot kokon sedang (BKS), dan bobot kokon ringan (BKR) dimana masing-masing kelas tersebut berjumlah 7 kokon untuk BKB, 22 untuk BKS, dan 5 kokon untuk BKR. Bobot kokon berat adalah kokon yang memiliki bobot di atas 10,41 g, bobot kokon sedang adalah kokon yang memiliki bobot diantara 5,41-10,41 g sedangkan bobot kokon kecil adalah kokon yang memiliki bobot di bawah 5,41 g (Noor et al., 2006). Belum ada standar yang ideal untuk pengelompokkan kokon menurut bobotnya. Pengelompokkan bobot ini berdasarkan olahan statistik menurut panduan diktat kuliah rancangan percobaan. Masing-masing kokon yang telah dikelompokkan menjadi tiga tersebut kemudian diletakkan pada masing-masing wadah yang telah diberi kode dimana pada bagian atas wadah ditutup kain kasa agar ngengat tidak dapat keluar dari dalam wadah dan dapat diidentifikasi jenis kelaminnya.

Masing-masing kokon yang berada di dalam wadah dan telah ditutupi kain kasa kemudian diberi perlakuan dengan cara ditempatkan pada lokasi pemeliharaan yang berbeda (L1, L2, dan L3). Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mencatat

(27)

jumlah ngengat yang keluar, waktu (hari) yang dibutuhkan ngengat untuk keluar dari kokon, dan kondisi pupa yang tidak keluar menjadi ngengat pada masing-masing perlakuan. Ngengat yang keluar kemudian diidentifikasi jenis kelaminnya. Identifikasi ngengat dilihat dari antena, dan ukuran tubuh ngengat. Ngengat jantan memiliki antena yang besar dibandingkan dengan antena pada ngengat betina tetapi ukuran tubuh ngengat jantan lebih kecil dibandingkan dengan ukuran tubuh ngengat betina. Kokon yang telah kosong (ngengat sudah keluar) diberi tanda untuk memudahkan penanganan. Wadah kokon dibersihkan setiap hari dari kotoran ngengat. Ngengat yang keluar dari kokon akan mengeluarkan cairan keruh sehingga wadah kokon perlu dibersihkan. Pencatatan suhu dan kelembaban lingkungan dilakukan setiap pagi (08.00), siang (12.30), dan sore (16.30) hari selama penelitian.

(28)
(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Kandang

Laboratorium Lapang Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) berlokasi di laboratorium lapang blok C Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dengan ketinggian 250 m di atas permukaan laut. Suhu lingkungan berkisar antara 24-27 oC dengan kelembaban 66-70 % seperti tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ketiga Lokasi Pemeliharaan

Lingkungan Suhu (

o

C) Kelembaban (%)

Pagi Siang Sore Rataan±SD Pagi Siang Sore Rataan±SD

L1 L2 L3 22,35 24,21 23,9 27,31 28,14 30,06 25,12 25,08 24,9 24,93±2,34 25,81±2,26 26,29±3,26 78,66 75,75 75,12 55,49 51,17 48,8 74,75 74,18 75,07 69,63±11,05 67,03±12,39 66,33±13,92

Keterangan : L1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan

Rataan Suhu dan kelembaban pada ketiga lokasi pemeliharaan ini diperoleh selama 40 hari masa penelitian. Rataan suhu terendah terdapat pada L1 sebesar

24,93±2,34 oC dengan kelembaban tertinggi sebesar 69,63±11,05 %. Rataan suhu L2

adalah 25,81±2,26 oC dengan kelembaban sebesar 67,03±12,39 %. L3 memiliki

rataan suhu tertinggi sebesar 26,29±3,26 oC dengan kelembaban terendah sebesar 66,33±13,92 %.

Budidaya A. atlas memerlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang tepat mulai dari tahap telur sampai menjadi ngengat. Kondisi lingkungan ini dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, udara, dan pencahayaan yang akan mendukung siklus hidup

A. atlas. Suhu dan kelembaban yang diperlukan untuk budidaya A. atlas berkisar

antara 22-29 oC dengan kelembaban sebesar 60-95 % (Awan, 2007) sedangkan udara dan pencahayaan yang dibutuhkan untuk budidaya A. atlas belum diteliti lebih lanjut sehingga digunakan pedoman budidaya pada B. mori, yaitu membutuhkan sirkulasi udara 0,2-1 m/s dan pencahayaan 15-30 lux (Atmosoedarjo et al., 2000).

(30)

0 5 10 15 20 25 30 35 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 Ha ri ke -S u h u ( o C ) P agi S iang S ore L1 0 5 10 15 20 25 30 35 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 Ha ri ke -S u h u ( o C ) P agi S iang S ore L2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 Ha ri ke -S u h u ( o C ) P agi S iang S ore L3

(31)

L1 merupakan lokasi pemeliharaan kokon yang terletak di dalam ruangan,

menghadap ke arah Timur, beratap genteng dan dinding terbuat dari kawat kasa. L2

merupakan lokasi yang terletak di dalam ruangan, menghadap ke arah Selatan, beratap asbes, dan berdinding tembok. L3 merupakan lokasi yang terletak di luar

ruangan sehingga sinar matahari dan hujan secara langsung mengenai kokon. Ketiga lokasi pemeliharaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. dan kisaran suhunya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 menunjukkan bahwa suhu pada sore hari relatif stabil (±25oC) dibandingkan dengan suhu di pagi dan siang hari pada ketiga lokasi pemeliharaan. Suhu pagi, siang, dan sore hari di L1 terlihat lebih stabil. Hal ini disebabkan ruangan

pemeliharaan menggunakan atap genteng yang tidak menyerap panas, selain itu dinding ruangan menggunakan kawat kasa sehingga sirkulasi udara dan pencahayaan pada L1 baik (L1 menghadap ke Timur).

Suhu pagi hari pada L2 cenderung fluktuatif, suhu tertinggi pagi hari pada

lokasi ini mencapai 32oC. Hal ini disebabkan ruangan yang menggunakan atap asbes sehingga menyerap panas dan dinding yang terbuat dari tembok menyebabkan tidak adanya sirkulasi udara sehingga suhu ruangan tinggi pada pagi hari.

Grafik suhu pada siang hari di ketiga lokasi pemeliharaan terlihat tinggi, terutama pada L3. Suhu tertinggi pada L3 mencapai 35oC pada beberapa hari selama

penelitian. L3 merupakan lokasi tanpa naungan yang terkena sinar matahari dan

hujan secara langsung sehingga mengakibatkan suhu fluktuatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan suhu pada L1 (24,93oC) dan L2

(25,81oC) lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Awan (2007) yang menyatakan bahwa suhu yang dibutuhkan pada periode pengokonan hingga pengawinan ngengat A. atlas adalah 26-29 oC. Rataan suhu pada L3 (26,29oC) berada

dalam kisaran suhu penelitian Awan (2007). Fluktuasi suhu harian selama 40 hari masa penelitian di ketiga lokasi pemeliharaan adalah 22,59-27,27 oC pada L1,

(32)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 Ha ri ke -K e le m b a b a n ( % ) P agi S iang S ore L1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 Ha ri ke -K e le m b a b a n ( % ) P agi S iang S ore L2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 Ha ri ke -K e le m b a b a n ( % ) P agi S iang S ore L3

Gambar 5. Grafik Kelembaban Harian pada Lokasi Pemeliharaan L1, L2,

(33)

Kelembaban lingkungan mempengaruhi perkembangan siklus hidup A. atlas baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban tinggi akan menyebabkan berkembangbiaknya bibit penyakit sedangkan kelembaban yang terlalu rendah menyebabkan kondisi lingkungan pemeliharaan kering. Kisaran kelembaban pada ketiga lokasi pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 menunjukkan bahwa kelembaban pagi dan sore hari relatif stabil dan lebih tinggi dari siang hari pada ketiga lokasi pemeliharaan. Kelembaban harian yang terjadi di siang hari selama penelitian terlihat fluktuatif pada L2 dan L3. Hal ini

karena tidak ada ventilasi udara pada L2 yang menyebabkan sirkulasi udara tidak

lancar. L3 yang langsung terkena panas (tanpa naungan) menyebabkan kelembaban

lebih berfluktuatif. Kelembaban pada L1 cenderung stabil karena L1 merupakan

lokasi yang cukup menerima pencahayaan dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Awan (2007) menyatakan bahwa kelembaban yang dibutuhkan pada periode pengokonan hingga pengawinan ngengat adalah 60-75 %. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, rataan kelembaban lingkungan pada ketiga lokasi pemeliharaan berada dalam kisaran Awan, yaitu 66,3-69,7 %. Kelembaban harian selama 40 hari masa penelitian pada ketiga lokasi pemeliharaan adalah 58,58-80,68 % pada L1,

54,64-79,42 % pada L2, dan 52,41-80,25 % pada L3.

Jumlah Ngengat yang Keluar

Jumlah Ngengat yang Keluar pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda

Ngengat keluar dari dalam kokon melalui lubang di ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembentukan kokon. Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon juga berfungsi untuk menjaga agar kondisi dalam kokon tetap sesuai dan terjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Jumlah ngengat yang keluar pada ketiga lokasi pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 2.

(34)

Tabel 2. Jumlah Ngengat A. atlas yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda

Lingkungan Peubah Bobot Kokon Rataan±SD KK

(%) B S R L1 Jumlah kokon Jumlah ngengat keluar dari kokon Persentase ngengat keluar dari kokon 7 7 100 22 14 63,64 5 2 40 67,88±30,22 44,52 L2 Jumlah kokon Jumlah ngengat keluar dari kokon Persentase ngengat keluar dari kokon 7 4 57,14 22 13 59,09 5 0 0 38,74±33,57 86,65 L3 Jumlah kokon Jumlah ngengat keluar dari kokon Persentase ngengat keluar dari kokon 7 0 0 22 0 0 5 0 0 0 - Rataan±SD 52,38±50,17 40,91±35,5 13,33±23,09 KK (%) 95,78 86,78 173,22

Keterangan: B = Berat ; S = Sedang ; R = Ringan KK = Koefisien Keragaman

(35)

Rataan persentase ngengat yang keluar pada L1, L2, dan L3 berturut-turut adalah

67,88%, 38,74%, dan 0%. Begitu pula koefisien keragaman di L1 (44,52%) lebih

rendah dari L2 (86,65%) sedangkan di L3 koefisien keragamannya tak terhingga.

Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yang berbeda di ketiga lokasi pemeliharaan tersebut. Perbedaan ini terutama terletak pada kelembaban lingkungan. Kelembaban pada L2 dan L3, terutama pada siang hari sangat rendah,

yaitu berturut-turut adalah 51,17%, 48,8% dibandingkan dengan L1 yaitu 55,49%.

Kelembaban yang relatif rendah akan menyebabkan kokon menjadi kering sehingga mengakibatkan organogenesis terhenti.

Pada L3 tidak ada ngengat yang keluar, hal ini disebabkan kondisi lingkungan

(suhu dan kelembaban) lebih berfluktuatif dari L1 dan L2, yaitu 23,03-29,55 oC

dengan kelembaban 52,41-80,25 %. Selang yang sangat besar terutama terlihat pada kelembaban lingkungan, yang mencapai 28%. Kelembaban yang ekstrim (sangat rendah) pada lokasi ini mengakibatkan organogenesis terhambat pada periode pupa. L3 yang tanpa naungan menyebabkan kokon langsung terkena sinar matahari

yang mengakibatkan kokon menjadi kering. Pada sore hingga malam hari sering terjadi hujan lebat sehingga kokon tergenang beberapa milimeter (mm). Kondisi lingkungan yang ekstrim ini menyebabkan organogenesis terhenti sehingga tidak ada ngengat yang keluar pada L3. Kondisi ini sama seperti pada L2 yang juga memiliki

kelembaban rendah. Mulyani (2008) menyatakan bahwa beragam faktor seperti suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan, dan fotoperiodisme akan berpengaruh terhadap keluarnya ngengat.

Hasil penelitian Awan (2007) menyatakan bahwa suhu yang dibutuhkan pada periode pupa hingga pengawinan ngengat adalah 26-29 oC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa organogenesis pada suhu yang lebih rendah (22,59oC) pada L1

masih dapat terjadi, hal ini ditandai dengan jumlah ngengat yang keluar pada lokasi ini banyak. Kelembaban lingkungan yang dibutuhkan pada periode pupa hingga pengawinan ngengat adalah 60-75 % (Awan, 2007). Kelembaban terendah pada penelitian ini jauh di bawah kelembaban Awan (2007), yaitu 48% pada L3, dimana

tidak ada ngengat yang keluar. Hal ini mengindikasikan bahwa organogenesis akan terhambat pada kondisi lingkungan yang kering (Rh = 52%), namun pada kelembaban 58% (L1) organogenesis dapat berlangsung baik, terlihat dari banyaknya

(36)

ngengat yang keluar pada L1. Kelembaban tertinggi pada penelitian ini mencapai

80% pada L1 dan L3 dimana kelembaban ini lebih tinggi dari Awan (2007), yaitu

75% namun kelembaban yang sangat tinggi ini tidak menghambat organogenesis. Manajemen pemeliharaan (budidaya) pupa A. atlas dapat terjadi pada kelembaban yang berkisar 58-80 % karena organogenesis dapat berlangsung dengan baik.

Persentase ngengat yang keluar pada bobot kokon berat, sedang, dan ringan berturut-turut adalah 52,38%, 40,91%, dan 13,33% sedangkan koefisien keragaman pada ketiga bobot tersebut adalah 95,78%, 86,78%, 173,22%. Semakin ringan bobot kokon, tingkat keberhasilan pupa menjadi ngengat semakin rendah. Hal ini disebabkan cadangan makanan yang sedikit pada pupa ringan sehingga lebih rentan (tidak mampu bertahan hidup) serta proses organogenesis menjadi tidak sempurna.

Pemeliharaan kokon yang baik disarankan pada L1 karena memiliki

persentase terbesar untuk ngengat yang keluar pada semua bobot kokon, sebaliknya pemeliharaan kokon tidak disarankan pada L3 karena tidak ada ngengat

yang keluar dari kokon di semua bobot kokon.

Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan

Persentase ngengat betina yang keluar pada kedua L1 dan L2 relatif sama

(±70%), namun persentase ngengat jantan yang keluar pada L2 berbeda dari L1.

Tidak adanya ngengat yang keluar pada L3 disebabkan kondisi lingkungan

pemeliharaan yang tidak sesuai bagi keluarnya ngengat. Jumlah ngengat jantan dan betina yang keluar pada lingkungan yang berbeda disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Ngengat Jantan dan Betina yang Keluar pada Berbagai Kondisi Lingkungan

Lingkungan Total Keluar menjadi Ngengat

Jantan Betina Jantan Betina

---(ekor)--- (ekor) (%) (ekor) (%) L1 L2 L3 9 15 16 21 14 15 7 7 0 77,78 46,67 0 16 10 0 76,19 71,43 0 Keterangan : L1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur

L2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan

(37)

Tabel 3 memperlihatkan bahwa persentase ngengat jantan yang keluar pada L1

(77,78%) tidak begitu berbeda dari betina (76,19%), namun sebaliknya pada L2,

persentase ngengat jantan (46,67%) lebih sedikit dari betina (71,43%). Hal ini menunjukkan bahwa jantan lebih mampu bertahan pada L1 dengan suhu 22,6-

27,3 oC dan kelembaban sebesar 58,6-80,7 %. Kondisi lingkungan pada L2 yang

kurang sesuai menyebabkan ngengat jantan keluar dalam jumlah yang sedikit. Hal ini disebabkan ukuran tubuh jantan yang kecil dari betina sehingga lebih rentan terhadap cekaman akibat kondisi lingkungan pemeliharaan yang kurang sesuai bagi pengeluaran ngengat.

Persentase ngengat betina yang keluar lebih banyak karena betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar sebagai penyimpan cadangan makanan sehingga betina lebih mampu bertahan walaupun dalam kondisi lingkungan yang kurang sesuai. Persentase betina yang keluar pada kedua lokasi pemeliharaan (L1 dan L2)

tidak berbeda signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ngengat betina dapat bertahan pada kondisi lingkungan L1 dan L2, meskipun L2 kurang sesuai untuk

keluarnya ngengat.

L3 merupakan lokasi dimana tidak ada ngengat yang keluar. Hal ini

disebabkan oleh suhu dan kelembaban yang berubah-ubah secara ekstrim yang mengakibatkan pupa tidak keluar menjadi ngengat.

Waktu Keluar Ngengat

Ngengat membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk keluar dari kokon. Waktu keluar ngengat dihitung dari pembentukan kokon hingga ngengat keluar dari kokon. Waktu keluar ngengat mengindikasikan pembentukan organ-organ imago (organogenesis) telah sempurna sehingga ngengat dapat keluar dengan sempurna pada waktu yang tepat.

Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda Diantara ketiga lokasi pemeliharaan, pada L3 tidak ada ngengat yang keluar.

Sebagian pupa (50%) pada lokasi ini berada dalam kondisi hidup. Pupa seperti ini merupakan pupa yang mengalami penundaan perkembangan (diapause) akibat kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Faktor yang tidak mendukung pada L3 adalah

kondisi kokon yang terkena hujan dan panas secara bergantian. Pupa dapat menjadi ngengat beberapa minggu atau bulan setelah pupasi atau setahun kemudian, atau

(38)

bahkan lebih dari dua tahun kemudian ketika mengalami diapause (Peigler, 1989). Waktu keluar ngengat pada lingkungan dan bobot yang berbeda disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Waktu Keluar Ngengat pada Lingkungan dan Bobot Kokon yang Berbeda

Lingkungan

Waktu Keluar (hari)

Rataan±SD KK (%)

Berat Sedang Ringan

Rataan±SD Rataan±SD Rataan±SD L1 L2 L3 29,71±4,35 29,00±4,24 0 29,07±4,27 28,23±2,92 0 24,5±0,71 0 0 27,76±2,84 - 0 10,23 - - Rataan±SD 29,35±0,50 28,65±0,59 - 28,67* KK (%) 1,70 2,06 -

Keterangan : L1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan

KK = Koefisien Keragaman

* = Rataan umum seluruh data waktu keluar ngengat

Rataan waktu keluar ngengat pada bobot berat dan sedang dihitung tanpa memasukkan L3 karena tidak ada ngengat yang keluar pada lokasi ini. Rataan dan

koefisien keragaman bobot ringan tidak dihitung karena ngengat hanya keluar pada bobot ringan di L1. Rataan umum waktu keluar ngengat pada kedua lokasi

pemeliharaan (L1 dan L2) dan bobot kokon yang berbeda yaitu 28,67 hari. Kisaran

waktu keluar ngengat pada penelitian ini berkisar antara 24-29 hari. Waktu tersebut sesuai (tidak melampaui) dengan hasil penelitian Awan (2007) yang menunjukkan bahwa ngengat akan keluar dari kokon selama 20-29 hari, namun ada beberapa ngengat yang waktu keluarnya melebihi kisaran waktu Awan.

Tabel 5. Persentase Ngengat yang Waktu Keluarnya Melebihi Kisaran Awan

Lingkungan Waktu Keluar (hari)

Berat Sedang ---(%)--- L1 L2 57,14 50 57,14 30,77

Keterangan : L1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan

(39)

Tabel 5 menunjukkan bahwa kokon berukuran sedang pada L2 memiliki waktu

keluar yang melebihi kisaran Awan, sebanyak 30,77%. Hal ini menunjukkan bahwa bobot sedang lebih sedikit yang mengalami diapause. Keseluruhan ngengat yang berada di dalam kokon sedang adalah ngengat yang berjenis kelamin jantan. Ngengat jantan lebih rentan karena ukuran tubuhnya yang lebih kecil sehingga hanya sedikit pupa yang mampu bertahan pada cekaman akibat kondisi lingkungan yang tidak sesuai.

Jumlah ngengat terbanyak yang waktu keluarnya melebihi kisaran Awan terdapat pada bobot kokon berat dan sedang pada L1. Hal ini disebabkan pada kedua

bobot kokon tersebut ngengat yang keluar adalah betina. Begitu pula dengan bobot berat pada L2 yang seluruhnya menghasilkan ngengat betina sehingga pupa betina

membutuhkan waktu keluar yang lebih lama untuk proses pembentukan telur.

Koefisien keragaman pada penelitian ini meliputi lokasi pemeliharaan (L1)

dan bobot kokon (berat dan sedang) berkisar antara 1-10 %. L1 memiliki koefisien

keragaman yang seragam dibandingkan lokasi lainnya, yaitu 10,23%. Nilai koefisien keragaman yang kecil ini berarti bahwa keseragaman tinggi pada waktu keluar tetapi waktu keluar tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini misalnya genetik (Awan 2007).

Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai Kondisi Lingkungan Pada L3 tidak ada ngengat yang keluar, namun 50% pupa yang berada di

lokasi ini dalam kondisi hidup (diapause). Waktu keluar ngengat jantan dan betina pada berbagai kondisi lingkungan disajikan pada Tabel 6.

Seperti waktu keluar ngengat pada lingkungan dan bobot kokon di atas, waktu keluar ngengat jantan dan betina ini dihitung tanpa memasukkan L3 karena

tidak ada ngengat yang keluar. Rataan waktu keluar ngengat jantan dan betina pada kedua lokasi pemeliharaan (L1 dan L2) ini adalah 28,3 hari. Waktu keluar ngengat

jantan lebih cepat (27,43 hari) dari betina (29,17 hari) karena pada betina terjadi pembentukan telur.

(40)

Tabel 6. Waktu Keluar Ngengat Jantan dan Betina pada Berbagai Kondisi Lingkungan

Lingkungan

Waktu Keluar (hari)

Rataan±SD KK (%) Jantan Betina Rataan±SD Rataan±SD L1 L2 L3 26,43±2,99 28,43±3,50 0 29,94±4,33 28,40±3,06 0 28,18±2,48 28,41±0,02 0 8,80 0,07 - Rataan±SD 27,43±1,41 29,17±1,09 28,3 KK (%) 5,14 3,74

Keterangan : L1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan L3 = Lokasi di luar ruangan tanpa naungan

KK = Koefisien Keragaman

Nilai koefisien keragaman pada penelitian ini berkisar antara 0,07-8,8 %, baik untuk masing-masing jenis kelamin ataupun lokasi pemeliharaan. Nilai koefisien keragaman yang rendah ini berarti bahwa waktu keluar ngengat jantan dan betina seragam, tetapi waktu keluar tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini, yaitu genetik.

Tabel 7. Persentase Ngengat Jantan dan Betina yang Waktu Keluarnya Lebih Cepat dari Rataan

Lingkungan Waktu Keluar (hari)

Jantan Betina ---(%)--- L1 L2 71,43 42,86 31,25 60

Keterangan : L1 = Lokasi beratap genteng, berdinding kawat kasa, dan menghadap ke Timur L2 = Lokasi beratap asbes, berdinding tembok, dan menghadap ke Selatan Tabel 7 memperlihatkan bahwa waktu keluar ngengat betina pada L1 yang lebih

cepat dari rataan (28,3 hari) yaitu 31,25%. Hal ini mengindikasikan bahwa pupa betina membutuhkan waktu keluar yang lama dari rataan (68,75%). Awan (2007) menyatakan bahwa ngengat betina membutuhkan waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan jantan, hal ini disebabkan pada betina terjadi pembentukan telur (oogenesis).

(41)

Persentase waktu keluar ngengat jantan yang lebih cepat dari rataan pada L2

sebesar42,86%, hal ini berarti pupa jantan pada L2 lebih banyak mengalami diapause

(57,14%) dikarenakan kondisi L2 yang kurang sesuai terutama bagi jantan yang

memiliki tubuh lebih kecil (cadangan makanan dalam tubuh sedikit) sehingga rentan terhadap cekaman akibat kondisi lingkungan yang tidak sesuai.

Kondisi Pupa yang Tidak Keluar

Pupa yang tidak keluar menjadi ngengat pada L1, L2, dan L3 masing-masing

berjumlah 7 ekor, 12 ekor, dan 31 ekor dimana kondisi pupa tersebut diapause ataupun mati (Tabel 8). Hasil ini dapat diketahui dari pengguntingan ujung anterior kokon untuk melihat kondisi ngengat yang tidak keluar.

Tabel 8. Persentase Pupa A. atlas yang Mengalami Diapause atau Mati

Peubah L1 L2 L3

Diapause Mati Diapause Mati Diapause Mati ---(%)--- Bobot Kokon • Berat • Sedang • Ringan 0 9,09 0 0 13,64 40 0 4,54 20 28,57 31,82 20 85,71 45,45 20 14,29 50 40 Jenis Kelamin • Jantan • Betina 0 9,52 22,22 14,29 13,33 0 40 28,57 43,75 66,67 56,25 33,33

Pupa dalam Kondisi Diapause

Diapause adalah perkembangan yang tertunda sebagai respon terhadap periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Organogenesis A. atlas mengalami penghentian selama diapause (Chapman, 1998). Tabel 8 memperlihatkan bahwa L3 merupakan lingkungan yang pupanya paling

banyak mengalami diapause, baik pada semua bobot kokon dan jenis kelamin. Kondisi lingkungan L3 yang terkena panas dan hujan secara bergantian

mengakibatkan kokon menjadi kering ketika panas atau terendam ketika hujan. Kondisi yang ekstrim ini tidak menyebabkan kematian pada sebagian pupa, melainkan menyebabkan pupa mengalami diapause. Kokon yang paling banyak

(42)

mengalami diapause terutama pada bobot berat (85,71%), sedangkan pada bobot sedang 45,45%, dan bobot ringan 20%. Hal ini disebabkan cadangan makanan pada pupa berat lebih banyak sehingga lebih dapat bertahan hidup. Begitu pula pada pupa betina yang lebih banyak mengalami diapause (66,67%) disebabkan ukuran tubuhnya yang lebih besar dari jantan. Ukuran tubuh yang lebih besar ini disebabkan pupa betina memerlukan cadangan makanan yang lebih banyak untuk oogenesis. Cadangan makanan inilah yang dibutuhkan pupa untuk berdiapause.

Pada L1 pupa yang berdiapause terdapat pada bobot sedang (9,09%) dan

semuanya berjenis kelamin betina (9,52%). Hal ini disebabkan betina lebih banyak memiliki cadangan makanan yang digunakan untuk diapause. Pada L2 pupa yang

paling banyak mengalami diapause adalah bobot ringan (20%) dan semuanya berjenis kelamin jantan, meskipun cadangan makanan pada pupa jantan lebih sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh cahaya pada ruangan pemeliharaan kokon, karena suhu dan kelembaban pada L1 dan L2 tidak begitu berbeda (L1 : 22,59-27,27oC ;

58,58-80,68%) ; (L2 : 23,55-28,07oC ; 54,64-79,42%).

Pada L1 dan L2 jumlah pupa yang mengalami diapause lebih sedikit dari L3

karena lokasi pemeliharaan berada di dalam ruangan sehingga kondisi lingkungan relatif stabil daripada L3 yang tanpa naungan. Peigler (1989) menyatakan bahwa

proses diapause (masa istirahat) tidak terganggu dengan pemeliharaan di dalam ruangan. Peigler (1989) menambahkan bahwa pupa A. atlas yang mengalami diapause dapat menjadi imago beberapa minggu atau bulan setelah pupasi atau setahun bahkan lebih dari dua tahun kemudian.

Inilah perbedaan diapause antara Bombyx mori dengan A. atlas. Pada B. mori diapause terjadi di stadium telur sedangkan pada A. atlas terjadi di stadium pupa sehingga kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan kokon A. atlas harus diperhatikan karena proses pemintalan kokon dilakukan setelah ngengat keluar dari kokon.

Tingkat Kematian Pupa

Selama perkembangan didapatkan bahwa sebagian pupa A. atlas mati dan penyebabnya adalah predator serta kondisi lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kematian pupa yang terjadi pada L1 dan L2 disebabkan oleh

(43)

kulitnya saja. Kematian pupa pada L3 lebih banyak dari L1 dan L2. Hal ini selain

disebabkan oleh predator (semut) juga karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai (ekstrim).

Kondisi pupa yang mati akibat lingkungan ekstrim ini dicirikan oleh munculnya jamur pada pupa dan kondisi pupa yang berkerut. Awan (2007) menyatakan bahwa stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila proses ini terganggu maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ sehingga akan menyebabkan kematian (kegagalan dalam penyelesaian imago). Manajemen pemeliharaan (budidaya) pupa A. atlas harus terhindar dari predator, terutama semut.

(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Lokasi pemeliharaan pertama (L1) yang beratap genteng, berdinding kawat

kasa, dan menghadap ke Timur merupakan lokasi terbaik karena menghasilkan jumlah ngengat keluar terbanyak, baik untuk bobot berat, sedang, dan ringan. Lokasi ini memiliki waktu keluar ngengat yang seragam dibandingkan lokasi lainnya, dimana ngengat betina membutuhkan waktu keluar yang lebih lama dibandingkan jantan. Kondisi pupa yang tidak keluar (diapause atau mati) terbanyak terdapat pada L3 akibat terkena panas secara langsung ataupun terendam air ketika hujan.

Dibandingkan pupa jantan, pupa betina lebih mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang kurang sesuai dengan cara berdiapause.

Saran

Lokasi pemeliharaan kokon yang ideal perlu memperhatikan pengaruh cahaya dan sirkulasi udara, selain itu juga pada lokasi pengokonan pun harus terhindar dari predator yang akan memakan pupa. untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pencahayaan dan udara pada pemeliharaan kokon A.

atlas serta melakukan desinfeksi ruangan dan pengolesan oli pada kaki rak

(45)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas perkenan-Nya skripsi dapat diselesaikan yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu baik secara langsung atau tidak langsung sejak penelitian sampai penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih yang tak terhingga Penulis ucapkan kepada Ibu dan Bapak tercinta, yang telah memberikan doa, kasih sayang dan perhatian dengan penuh keikhlasan untuk kesuksesan dan keberhasilan Penulis. Terima kasih kepada adik-adikku, Ratih dan Puspa yang telah memberikan semangat selama ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si dan Yuni Cahya Endrawati, S.Pt selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar mengarahkan dan membimbing, memberikan waktu, saran dan kritik sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada Ir. B.N. Polii, SU selaku dosen pembahas seminar yang telah memberikan saran. Terima kasih kepada Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas dorongan semangat dan bimbingannya. Terima kasih juga untuk Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS dan Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc selaku penguji sidang yang telah memberikan banyak saran agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Tak lupa Penulis sampaikan terima kasih kepada staf Fakultas Peternakan, IPB dan pegawai Laboratorium Lapang Non Ruminansia Satwa Harapan atas segala bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penelitian.

Terima kasih disampaikan kepada Rizki Fadillah atas semua doa, pengertian, motivasi, dukungan dan bantuannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada tim ulat sutera (Ninu, Anggi, Erly, dan Fery) atas bantuan dan kebersamaannya selama penelitian, serta sahabatku Niken, Fika dan teman-teman IPTP 42 atas segala dukungan dan doa yang telah diberikan.

Bogor, Januari 2010

Gambar

Gambar 1.  Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur Sampai Imago
Gambar 3.  Diagram Penelitian
Tabel 1.  Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ketiga Lokasi Pemeliharaan
Gambar 4.  Grafik Suhu Harian pada Lokasi Pemeliharaan L 1 , L 2 , dan L 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun walaupun demikian dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat di Jawa Barat, wewenang perijinannya oleh Pemerintah Propinsi diserahkan

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peningkatan keunggulan bersaing berbasis knowgledge management melalui intellectual capital dan inovasi, dengan konsep

1) Biaya penerbitan obligasi yang lebih murah dibandingkan dengan saham. 2) Pemegang obligasi merupakan pihak ketiga/kreditur, bukan merupakan pemilik perusahaan yang

Substitusi jamur tiram pada pembuatan bakso ikan lele dapat. meningkatkan kekerasan pada bakso

sekitar usia 20 tahun sebagai awal masa dewasa dan berlangsung hingga sekitar.. usia

Dari banyaknya faktor-faktor penyebab perceraian yang terjadi di kota surakarta yang didaftarkan pada Pengadilan Agama Surakarta, kasus yang paling banyak mendasari

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkaji tentang pola pengambilan keputusan, faktor pendukung, dan penghambat dalam penentuan kebijakan mutu sekolah di SD

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “ Kebijakan