• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA DALAM KERANGKA POLITIK ISLAM DI INDONESIA PRESPEKTIF PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI SKRIPSI. (S1) Hukum Tata Negara (Siyasah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANCASILA DALAM KERANGKA POLITIK ISLAM DI INDONESIA PRESPEKTIF PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI SKRIPSI. (S1) Hukum Tata Negara (Siyasah)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Strata 1 (S1) Hukum Tata Negara (Siyasah)

Oleh

MUHAMMAD ARIF 1315019

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI 1442 H/2020 M

(2)

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda di bawah ini:

Nama : Muhammad Arif

NIM 1315019

Tempat/Tanggal Lahir :

Program Studi : Hukum Tata Negara (Siyasah)

Fakultas : Syariah

Judul Skripsi : Pancasila dalam Kerangka Politik Islam di Indonesia Prespektif Pemikiran Munawir Sjadzali

Menyatakan dengan ini sesungguhnya bahwa karya ilmiah (skripsi) penulis dengan judul di atas adalah benar asli karya penulis. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya sendiri, maka penulis bersedia diproses sesuai hukum yang berlaku dan gelar keserjanaan penulis dicopot hingga batas waktu yang ditentukan. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bukittinggi, 02 Desember 2020 Yang Menyatakan,

MUHAMMAD ARIF 1315019

(3)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Pancasila dalam Kerangka Politik Islam di Indonesia Perspektif Pemikiran Munawir Sjadzali” yang ditulis oleh Muhammad Arif, NIM 1315.019, Program Studi Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Skripsi ini ditulis karena yang menjadi latar belakang masalah adalah kekhawatiran akan semakin banyaknya warga masyarakat yang tidak mengetahui dan memahami pancasila dan nilai-nilai yang dikandungnya, maka kondisi ini sungguh membahayakan kehidupan bangsa sehingga dapat kehilangan arah dan titik orientasi. Pada kondisi yang semacam ini penting rasanya melakukan berbagai upaya agar Pancasila semakin berperan dalam menguatkan eksistensi bangsa ini.

Jika dilihat sepintas lalu, sistem politik tersebut seakan mengesampingkan aspirasi umat Islam. Sebab di negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, tidak secara tegas mengakomodasi sumber-sumber hukum Islam dalam sistem politik dan hukumnya.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research). Yang bersifat deskriptif kualitatif. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini, sumber dari sebuah data penulis ambil dan olah dari berbagai sumber-sumber tertulis seperti buku, surat kabar, jurnal dari berbagai literatur yang berkaitan dengan tema penelitian yang terkait dengan masalah yang menjadi objek pada kajian ini.

Setelah melalui proses dan kajian terhadap pemikiran Munawir Sjadzali tentang pancasila dalam kerangka politik Islam di Indonesia, perlu kiranya penulis mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis tentang hal-hal tersebut diatas, yaitu perlu penelitian yang lebih komprehensif terkait pemikiran MunawirSjadzali, sehingga mampu memberikan informasi lebih utuh dan konkret.

Dengan pemahaman bahwa posisi pancasila telahdapat diakui secara final sebagai dasar dan ideologi negara yang diterima sebagai aspirasi umat Islam dalam perjalanan terbentuknya. Indonesia adalah negara yang berdasar pancasila dan bukan merupakan negara agama ataupun negara sekuler.Untuk itu tidak adalagi alasan atau istilah mewujudkan sisi simbol formal Islam sepert inegara Islam atau negara theokrasi bagi kalangan yang masih mencurigai penafsiran pancasila.

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya, Shalawat dan salam penulis doakan pada Allah SWT agar tetap tercurahkan buat Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah berhasil membimbing kita para umatnya dari alam yang penuh dengan kebodohan menuju alam yang penuh dengan pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul: “Pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia prespektif pemikiran Munawir Sjadzali”.

Dengan selesainya penelitian ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta (Amsal dan Erida) yang telah memberikan cinta serta kasih sayang dan bersusah payah membesarkan, mendidik, dan memotivasi penulis untuk terus berjuang menuntut ilmu dan tidak boleh berputusasa dalam mencapai cita-cita. Selanjutnya kepada saudara/i penulis serta seluruh keluarga besar penulis, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu penulis sendiri.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai dengan baik dan tepat waktu tanpa adanya dukungan dan bimbingan serta bantuan dari pihak lain. Oleh sebab itu izinkan penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini diantaranya:

(5)

a. IbuDr. Ridha Ahida, M.Hum, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri IAIN Bukittinggi beserta bapak wakil Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

b. Bapak Dr. Ismail, M.Ag,selaku Dekan Fakultas Syariah beserta wakil DekanI, wakil Dekan II dan wakil Dekan III.

c. Bapak Dr. Helfi, M. Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah) Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk menuntut ilmu di IAIN Bukitinggi.

d. Bapak Dr. Saipul Amin, M. Ag, selaku Pembimbing I dan Bapak H.Bustamar, M. H selaku Pembimbing II, terimakasih atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini pada Program StudiHukum Tatanegara (Siyasah) Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi.

e. Bapak H. AdlanTsanurTh, M. Ag, selaku Penasehat Akademik (PA) yang telah memberikan motivasi dan nasehatnya demi kelancaran proses belajar penulis selama perkuliahan.

f. Seluruh Dosen, Karyawan/karyawati Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

g. Bapak/ibu pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi yang telah memberikan kemudahan penulis berupa literatur dalam proses penyelesaikan skripsi ini.

h. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Syariah angkatan 2015, teman- teman satu lokal Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah), senior serta sahabat yang selalu memberikan semangat dan dorongan kepada penulis

(6)

iv

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, serta keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Tatanegara (Siyasah).

Kemudian penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal kebaikan mereka dibalas dengan pahala oleh Allah SWT.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar lebih baik guna memperkuat dan memperkaya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis.

Bukittinggi, 29 Oktober 2020

Penulis

Muhammad Arif 1315.019

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 13

D. Penjelasan Judul ... 14

E. Tinjauan Kepustakaan ... 15

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan... 20

BAB II PANCASILA DAN ISLAM DI INDONESIA: EKSISTENSI DAN POSISI A. Pengertian dan Sejarah Perumusan Pancasila ... 22

1. Pengertian Pancasila ... 22

2. Sejarah Perumusan Pancasila ... 24

B. Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara ... 43

(8)

vi

1. Pancasila sebagai Dasar Negara ... 43 2. Pancasila sebagai Ideologi Negara ... 47 C. Kedudukan dan Hubungan Pancasila dan Islam di Indonesia ... 53 BAB III MUNAWIR SJADZALI : SOSOK DAN PEMIKIRANNYA

A. Riwayat Hidup: Masa Kecil, Pendidikan, dan Perjuangan ... 66 B. Membina Karir sebagai Seorang Diplomat, Birokrat dan Pemikir ... 71 C. Pemikiran Keislaman dan Karya-Karya Munawir Sjadzali ... 73 BAB IV POSISI PANCASILA DALAM KERANGKA POLITIK INDONESIA

A. Pancasila Aspirasi Politik dalam Perspektif Munawir Sjadzali ... 78 B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Munawir Sjadzali tentang

Pancasila dan kerangka Politik Islam ... 96 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 103 B. Saran ... 104 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perhatian mengenai pancasila dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Kemunduran yang terjadi hampir pada semua komponen bangsa di antaranya mengenai politik dan negara. Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar berdirinya NKRI. Selain itu juga sebagai dasar dalam mengatur penyelenggaraan negara. Pancasila juga merupakan pandangan hidup yang memiliki peran dan fungsi lainnya. Fungsi pancasila menunjukkan peranan yang signifikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.1

Kekhawatiran akan semakin banyaknya warga masyarakat yang tidak mengetahui dan memahami pancasila dan nilai-nilai yang dikandungnya, maka kondisi ini sungguh membahayakan kehidupan bangsa sehingga dapat kehilangan arah dan titik orientasi. Pada kondisi yang semacam ini penting rasanya melakukan berbagai upaya agar Pancasila semakin berperan dalam menguatkan eksistensi bangsa ini. Berbagai upaya penting lainnya agar nilai- nilai pancasila dapat dioperasionalkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ikhtiar interpretasi dan kontekstual pancasila memang harus dilakukan secara terus-menerus karena tidak ada satupun sistem pemikiran atau ideologi yang tidak diuji oleh sejarah. Interpretasi dan kontekstualisasi pancasila bertujuan agar pancasila

1NgainunNaim, Islam dan Pancasila RekonstruksipemikiranNurcholisMadjid, Episteme, Vol. 10, no. 2 Desember 2015, hal. 436.

1

(10)

2

mampu menunjukkan kiprahnya di tengah dinamika sejarah yang dinamis.2 Sejarah menjadi tolak ukur dalam menentukan masa depan bangsa dan negara. Sejarah bangsa Indonesia terdapat beberapa macam versi dan dari sumber bermacam-macam. Pemahaman akan sejarah bangsa Indonesia yang setengah-setengah menimbulkan pemahaman dangkal akan makna filosofis dari sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Salah satu sejarah Indonesia yang sangat penting adalah diskursus tokoh Islam dalam merumuskan ideologi negara. Perumusan ideologi negara ini terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang menghendaki adanya dasar negara yang berdasarkan Islam dengan asumsi sosiologis bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Dan diperkuat dengan perjuangan umat Islam masa lalu, namun tidak diterima oleh kalangan nasionalis karena kalangan nasionalis menghendaki atau melihat bangsa Indonesia yang sangat plural.

Diskursus tokoh Islam terjadi sejak 29 Mei 1945 sampai 18 Agustus 1945. Pada sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945 disusun “Piagam Jakarta”

yang menegaskan sila dari rumusan dasar negara tersebut adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.3 Selanjutnya pada 18 Agustus 1945 mengalami perubahan dikarenakan alasan politik persatuan bangsa yaitu penghapusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” diganti dengan “Yang Maha Esa” atas usulan Mohammad Hatta.

2 Ngainun Naim, Ibid, hal. 436.

3 Syarifudin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 163.

(11)

Diskursus mengenai ideologi apa yang dijadikan sebagai dasar negara berakhir pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Alasan tokoh Islam meyetujui penghapusan kalimat “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah pertama tokoh Islam mempercayai integritas Mohammad Hatta. Kedua, tokoh Islam menyadari sepenuhnya situasi yang gawat dihadapi oleh Negara Indonesia yaitu menjelang kemerdekaan sehingga tokoh Islam lebih mementingkan persatuan bangsa dan memilih pendekatan substansial dari pada pendekatan skripturalis, atau lebih mementingkan nilai- nilai keislaman dari pada simbol-simbol keislaman.4

Diskursus dasar negara Indonesia merupakan suatu proses yang singkat, polemik dan sangat penting bagi sejarah Indonesia. Adanya dua arus pemikiran tokoh nasionalis-Islam dalam perumusan dasar negara Indonesia menyebabkan proses perumusan berjalan lama. Hal ini disebabkan pengaruh latar belakang, pendidikan, lingkungan yang berbeda dari tokoh-tokoh Islam.

Landasan agama menjadi titik temu dari diskursus ini apalagi golongan nasionalis sekuler mayoritas beragama Islam serta masih menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan budaya.5

Hasil diskursus tokoh Islam yang begitu lama adalah Piagam Jakarta dan merupakan kesepakatan yang diterima oleh tokoh Islam karena nilai-nilai Islam terwujud didalamnya. Piagam Jakarta yang dalam Undang- Undang Dasar 1945 menjadi pancasila secara politis merupakan hasil

4Suciyani, DiskursusTokoh Islam dalam Perumusan Pancasila sebagai Ideologi Negara, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017. hal. 2

5Ibid, hal. 4.

(12)

4

kompromi tokoh nasionalis Islam dan tokoh nasionalis sekuler dalam suatu konsensus nasional demi terciptanya persatuan bangsa. Kesepakatan dalam konsensus tersebut seharusnya mampu menjadikan pancasila diterima oleh seluruh bangsa Indonesia.6

Lahirnya pancasila tidak terlepas dari sifat heterogen komponen bangsa Indonesia. Namun pola gerakan Indonesia dengan kolonial barat, memiliki perbedaan yang sangat jauh, karena Indonesia berlandaskan nasionalisme yang bertentangan dengan ideologi kolonialisme dan imperialisme yang kental dengan dehumanisasi. Dalam pandangan nasionalisme yang berbeda, pancasila hadir sebagai alat pemersatu bangsa bersama ragamnya kondisi aliran, agama, dan latar belakang rakyat Indonesia.7

Pancasila memberikan suntikan semangat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh dan menyeluruh. Dalam keadaan realitas masyarakat Indonesia yang terjajah serta diperlakukan tidak manusiawi, pancasila membawa semangat untuk tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan agama, ras, dan budaya. Tatanan masyarakat modern sebagai percontohan masyarakat dunia.8

Sementara itu, hubungan politik antara Islam dan negara Indonesia sendiri pada sebagian bahkan sejarahnya merupakan cerita antagonistis dalam kecurigaan satu sama lain. Hubungan yang tidak harmonis ini terutama

6Ibid ,hal. 4.

7 Tobibatussaadah, Pancasila Sebagai Filsafat Kenegaraan Islam, NIZAM, Vol. 06, no 01, hal. 50.

8 Hariyono, Ideologi Pancasila: Roh Progresif Nasionalisme Indonesia, (Malang: Intans Publishing, 2014), hal. 128.

(13)

disebabkan oleh perbedaan pandangan pendiri republik ini yang sebagian besar muslim mengenai Indonesia yang di cita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan adalah apakah negara bercorak Islami atau nasionalis.9

Sesuai pengalaman masyarakat Indonesia dalam berbangsa, akar budaya tersebut di artikulasikan dalam rumusan filosofis pancasila.

Berdasarkan konsep ideologi sosial Indonesia adalah pancasila, strukturisasi konsep ideologi tersebut disusun dengan rumusan secara agak berbeda umat Islam.10 Dari perbedaan tersebut sehingga munculah ketegangan antara keduanya.

Perbedaan pandangan tentang korelasi agama (Islam) dan negara, khususnya setelah kemerdekaan ketika masa-masa pembentukan konstitusi negara Indonesia, secara lebih nyata ini dapat dilihat ketika terjadi polemik- polemik pada awal 1940an, polemik itu menyentuh yang lebih penting, yakni hubungan politik antara agama dan negara. Dalam periode ini, tidak berlebihan jika di katakan tokoh yang terlibat antara Soekarno dan Natsir yang bersifat eksploratif.11

Soekarno pada dasarnya mendukung pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Akan tetapi ia tidak menyatakan dengan tegas bahwa sama sekali tidak boleh ada hubungan apapun antara keduanya. Dia tegas

9 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara :TransformasiPemikiran dan PraktekPolitik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pramadina, 1998), hal. 60.

10 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Prilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965- 1987 dalam Prespektif Sosiologis, cet. 1, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal. 4.

11 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara :Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pramadina, 1998), hal. 93

(14)

6

menentang pandangan mengenai formal-legal antara Islam dan negara, dan oleh M. Natsir ide tersebut ditolaknya, kemudian mempertegas kembali pendiriannya tersebut didepan Majelis Konstituante pada tahun 1957 tentang Islam dan Negara Indonesia. Dengan pidatonya yang berjudul “Islam sebagai dasar negara” dan beliau berdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (La-diniyyah) atau paham agama.

M. Natsir adalah diantara tokoh golongan nasionalis Islam yang gencar mengusulkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Bagi Natsir, pancasila diambil dari pemikiran dan konsep manusia sekuler, walaupun di dalamnya ada rumusan “Ketuhanan”, namun itu tidak berasal dari wahyu Tuhan, pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat Nusantara. Argumen lain yang dipakai oleh Natsir bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, sehingga tepat jika di jadikan Islam sebagai dasar negara bukan pancasila.

Polemik Soekarno dan Natsir yang masih bersifat eksploratif tersebut.

Sejak semula, keduanya tidak bermaksud merumuskan konsepsi- konsepsi yang siap pakai mengenai hubungan negara dan agama. Namun keduanya juga tidak bermaksud untuk menemukan kesamaan-kesamaan antara mereka.

Keduanya hanya ingin menunjukkan posisi-posisi ideologis- politis masing- masing. Konsekuensinya, perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan yang tampaknya tak terjembatani

(15)

antara dua kelompok politik yang berseberangan.12

Untuk itulah dalam sejarah pertumbuhan setelah kemerdekaan, ketegangan konflik antara pemerintah dan umat Islam secara terbuka tentang dasar negara tersebut berlangsung hampir sepanjang periode, hingga untuk waktu yang agak lama sejarah Islam Indonesia ditandai kemandekan politik dan sikap saling curiga antara islam politik dan negara. Dalam berbagai episode politik selama orde lama dan orde baru, menunjukkan bahwa upaya untuk membangun hubungan formalis dan legalistik antara Islam dengan sistem politik berimplikasi pada rentetan umat dalam kehidupan sosial ekonomi.13

Problem hubungan agama dan negara, seperti yang telah diurai dan dipahami di atas, merupakan gejala umum dari sebuah negara yang baru merdeka, seperti Indonesia yang ingin menata kelembagaan negara yang akan dibangun. Ada dua realitas yang kondusif yang memunculkan problem ini.

Pertama, realitas yang diperkenalkan dan dibangun oleh penjajah, terutama ide dan praktik demokrasi dan nasionalisme.14 Kedua, realitas warisan politik Islam, yang berbeda dengan realitas pertama. Dalam pergumulan dua realitas itu, sering menemui hambatan, karena tarik-menarik di antara dua pendapat sebagai refleksi dari dua realitas tersebut.

Berkembangnya sikap di antara dua pendapat yang saling curiga dan

12 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara :Transformasi Pemikiran dan Praktek Poitik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pramadina, 1998), hal. 93.

13Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, cet. 1.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 12.

14Suardiputro, Mohammed Arkeun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 52.

(16)

8

permusuhan politik inilah yang diredusir oleh tokoh intelektual generasi baru tahun70-an dan 80-an, dengan salah satu tujuan mengembangkan format baru politik Islam yang dianggap sesuai dengan konstruk ideologis negara kebangsaan Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid , K.H Ahmad Shiddiq, dan Munawir Sjadzali. Nurcholis Madjid (disebut Cak Nur) sosok yang sangat mengakomodasi keberagaman/kebhinekaan yang ada di Indonesia, dan sebagai cendikiawan Muslim yang fenomenal dan kontroversional sebagaimana K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sama- sama berasal dari Jombang, dan berasal dari keluarga kyia/ulama.15

Nurcholis Madjid memberikan gagasan yang kontroversional bahwa

“Pancasila sebagai Ideologi terbuka” yang tidak harus dirumuskan secara detail sekali untuk selamanya (once and for all), dan diperlukan keterbukaan dalam memahami pancasila. Bagi Cak Nur, pancasila merupakan kalimatun sawa’

yang diterjemahkan menjadi common platform.Yang merupakan prinsip- prinsip yang menjadi titik pertemuan dan persamaan antara warga negara muslim dan non-Muslim untuk mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).16

Kemudian menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah negara perang (dar al-harb), bukan pula negara Islam (dar al-Islam), akan tetapi negara damai (dar al- salam) yang mengedepankan kedamaian untuk semesta khususnya

15Syamsun Ni’an dkk, Pancasila vis A Vis Islam Pandangan Tokoh Muslim terhadap Upaya De-ideologi Pancasila dan Implikasinya dalam Kehidupan Kebangsaan di Indonesia, (Tulungagung:Kurnia Kalam Semesta & IAIN Tulungagung, 2018),hal. 112.

16 Ibid, hal. 124.

(17)

masyarakat Indonesia. Karena Negara Indonesia masih menjalankan syariat Islam sebagai tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Negara yang pelaksanaan syariat Islam secara substantif, bukan simbolik legal formal. Gus Dur sepakat bahwa pancasila merupakan kesepakatan luhur di antara berbagai golongan, dan mesti dilaksanakan secara konsekuen dan bertanggung jawab.17

K.H Ahmad Shiddiq melihat bahwa hubungan agama dan pancasila, keduanya saling menunjang dan mengokohkan. Beliau juga memberikan pandangan tentang ideologi pancasila dan Islam. Pada dasarnya pancasila adalah ideologi dan Islam adalah agama. Ideologi dan agama tidak bisa diartikan dengan sama. Ideologi itu diartikan sebagai cita-cita, strategi dan lain sebagainya. Selanjutnya ideologi dapat mempengaruhi pemikiran manusia, tapi tetap sebagus apapun ideologi dia adalah hasil pemikiran manusia dan tidak mampu menyamakan derajat agama. Sedangkan agama Islam adalah bukan dari hasil pemikiran manusia, Islam merupakan ciptaan Allah SWT. Jadi ideologi tidak boleh disetarakan dengan Islam, namun Islam dapat membentuk buah pikir manusia menjadi ideologi yang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.18

Argumen K.H. Ahmad Shiddiq tersebut mampu mensugesti sementara kalangan muslim nasionalis. Terutama kalangan Nahdiyyin. Sehingga berhasil meredakan sementara diskursus mempertentangkan pancasila dan Islam dalam kerangka ideologi bernegara.

17 Ibid, hal. 97.

18 Ibid, hal. 84.

(18)

10

Pandangan serupa, namun dilegitimasi negara pada sekitar tahun 80- an, adalah argumentasi Munawir Sjadzali. Munawir yang menjabat menteri agama pada periode tersebut mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaannya dan mengaitkannya dengan gagasan politik strategis berbangsa dan bernegara.19 Terutama yang bersentuhan langsung dengan hubungan Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara, -sebagai diskursus yang tidak pernah benar-benar final-.

Munawir, melalui pemikirannya, menawarkan sebuah gagasan yang cukup kontroversial pada era 80-an. Bagaimana tidak, Munawir memulai gagasannya dalam kerangka “negara pancasila bukan negara agama”. Gagasan tersebut disuarakan Munawir dari rahim rezim Orde Baru. Sehingga tawaran Munawir itu dilegitimasi Orde Baru, menjadi tafsiran baru rezim terhadap ideologi negara.

Lebih lanjut Munawir, mengurai pemikirannya tentang negara agama.

Munawir berpendapat bahwa sebuah negara dapat dikatakan negara agama, apabila terdapat tiga unsur, kalau salah satunya terdapat dalam satu unsur, maka negara tersebut dapat dikatakan negara agama, atau teokrasi.

Ketiga unsur tersebut adalah:

1. Negara mempunyai agama resmi atau agama negara.

2. Sumber hukum negara adalah kitab suci dari agama resmi/negara.

3. Pimpinan negara berada di tangan tokoh-tokoh agama karena ketokohan

19 Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara Di Indonesia: Munawwir Sjadzali dan Pengembangan Dasar-Dasar Teologi Politik Islam , dalam Muhammad wahyuni Nafis (ed), kontektuslisasi ajaran Islam, 70 tahun Prof. Dr. Munawirsjadzali, MA , cet 1. (Jakarta:

Paramadina,1995 ), hal. 403

(19)

agamanya.20

Pemikiran Munawir ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan realitas ke-Indonesia-an. Realitas Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim -lebih kurang 90% penduduk Indonesia beragama Islam-, dinaungi sistem politik yang tidak mengharuskan pemimpin negara seorang beragama Islam.

Sistem politik itu juga tidak mengharuskan Islam sebagai agama resmi negara, atau menjadikan kitab suci Islam sebagai sumber hukum satu-satunya dalam bernegara. Sistem politik tersebut dianut dalam konstitusi negara, - yang hanya mengharuskan seorang pemimpin negara warga negara Indonesia- berdasarkan penafsiran terhadap pancasila sebagai ideologi negara.21

Jika dilihat sepintas lalu, sistem politik tersebut seakan mengesampingkan aspirasi umat Islam. Sebab di negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, tidak secara tegas mengakomodasi sumber-sumber hukum Islam dalam sistem politik dan hukumnya. Persoalan ini tidak ayal menjadi diskursus tak pernah usai.

Diskursus itu akan kembali digoreng, pada setiap pesta demokrasi oleh oknum politisi berbaju agama. Seolah tidak pernah final, isu tentang negara Islam kembali muncul dalam kehidupan bernegara. Kalau pada era awal kemerdekaan isu negara Islam digandengkan kontra pancasila, pada era pasca reformasi yang dipertentangkan adalah tafsir terhadap pancasila. Pancasila masih diterima dengan berat hati sebagai aspirasi politik umat

20 Ibid, hal. 210.

21 UUD 1945 Pasal 6 ayat 1 : Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia ...

(20)

12

Islam. Hal itu terlihat dalam usaha tanpa usai dalam menggiring isu negara Islam, sebagai tafsiran baru terhadap pancasila. Pancasila terkesan dipaksakan untuk ditafsirkan menampung aspirasi menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Diskursus itulah yang hendak penulis tawarkan solusinya dari elaborasi ulang terhadap pemikiran Munawir Sjadzali. Sebagaimana kata munawir umat Islam harus dengan ikhlas menerima pancasila sebagai ideologi negara yang mengakomodir aspirasi politik umat. Dengan judul penelitian

“Pancasila dalam Kerangka Politik Islam di Indonesia Prespektif pemikiran Munawir Sjadzali”, penulis akan mengupas posisi pancasila sebagai aspirasi politik umat Islam itu, menurut Munawir Sjadzali.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dengan mengamati latar belakang yang ada, penulis merasa tertarik untuk mengkaji pokok permasalahan yang perlu mendapat penjelasan lebih detail untuk diteliti, yaitu:

1. Bagaimana Pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia prespektif pemikiran Munawir Sjadzali?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan Munawir Sjadzali tentang Pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia?

(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis dari penulisan ini adalah:

i. Untuk mengetahui Pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia prespektif pemikiran Munawir Sjadzali.

j. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Pemikiran Munawir Sjadzali tentang pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini berguna sebagai bahan masukan dan informasi bagi pembaca peminat kajian politik untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang tersebut, terutama pemikiran Munawir Sjadzali tentang pancasila dalam kerangka politik Islam di Indonesia.

b. Sebagai sumbangan pemikiran dan kontribusi penulis terhadap pembaca mengenai Pancasila dalam kerangka Politik Islam perspektif Pemikiran Munawir Sjadzali.

c. Agar dapat digunakan sebagai bahan tambahan referensi dan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

(22)

14

d. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S- 1) dalam bidang Hukum Tata Negara Islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

D. Penjelasan Judul

Untuk menghindari keraguan dan kesalah pahaman, maka penulis merasa perlu untuk menjelaskan judul penelitian“ Pancasila dalam kerangka Politik Islam Prespektif Pemikiran Munawir Sjadzali”

Pancasila: Dasar negara serta falsafah bangsa negara yang terdiri dari lima sila yaitu, Ketuhanan Yang MahaEsa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Politik Islam: Pengaturan urusan negara dalam Islam yang tidak terdapat nash jelas mengenai hukumnya atau yang kondisinya berubah-ubah (dinamis) yang mengandung kemaslahatan bagi umat dimana hal tersebut sejalan (sesuai) dengan hukum-hukum syariat dan dasar-dasar secara umum.22

Munawir Sjadzali: tokoh Intelektual Muslim Indonesia yang lahir di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 07 November 1925, juga pernah menjabat sebagai Mentri Agama sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V (1988-1993), dan disamping itu seorang intelektual produktif, sehingga cukup banyak karyanya.

22https://www.google.com/amp/s/suaramuslim.net/pengertian-politik-islam-dan-bidang- kajiannya/amp/diakses pada hari Kamis tanggal 19 Maret 2020 pada jam 07.36 WIB.

(23)

Jadi yang penulis maksud dengan judul di atas secara keseluruhan adalah: bagaimana posisi pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia menurut pandangan Munawir Sjadzali dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Munawir Sjadzali tersebut.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan kepustakaan yang penulis lakukan terhadap penelitian ilmiah yang ada, sampai saat ini yang berkaitan dengan pemikiran Munawir Sjadzali beberapa sudah ada yang membahas diantaranya, penelitian skripsi yang berjudul Analisa Terhadap Pemikiran Munawir Sjadzali tentang ketatanegaraan dalam Islam ditulis oleh Afrianto23 tamatan 2006 jurusan jinayah siyasah Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi, dengan rumusan masalah, bagaimana konsep ketatanegaraan dalam Islam menurut pemikiran Munawir Sjadzali. Lalu Jurnal ilmiah ditulis oleh Sulthan Syahril24, dengan judul Munawir Sjadzali (Sejarah pemikiran dan kontribusinya bagi perkembangan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer). Artikel tersebut membahas tentang sosok Munawir serta pemikirannya terkait konsep Reaktualisasi (hukum) Islam, kemudian diperluas dengan melihat latar sosial-politis, dan diakhiri dengan analisis historis dalam tinjauan tarikhtasyri’ sebagai basis utama lahirnya pandangan Munawir.

23Afrianto, Analisa terhadap pemikiran Munawir Sjadzali tentang ketatanegaraan dalam Islam, IAIN Bukittinggi, 2006

24SulthanSyahril, Munawir Sjadzali (Sejarah pemikiran dan kontribusinya bagi Perkembangan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer), Analisis, Volume XI, no. 2, IAIN Raden Intan Lampung, 2011

(24)

16

Selanjutnya skripsi yang berjudul, Pinsip Prinsip Bernegara menurut Pandangan Munawir Sjadzali, ditulis oleh Ahmat Dulah25 tamatan 2018 program studi Siyasah (Hukum Tata Negara) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung yang mengkaji bagaimana prinsip-prinsip negara menurut Munawir Sjadzali, dan relevansi prinsip-prinsip bernegara di Indonesia.Kemudian skripsi dengan judul, Konsep Pembagian harta Warisan menurut Munawir Sjadzali. Oleh Muhammad Al-Furqan26 tahun 2015 program studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Zakiyah Cotkala Langsa, dengan rumusan masalah bagaimana konsep menyamakan bagian antara laki- laki dan perempuan, argumen Munawir Sjadzali dalam memberikan konsep pembagian harta warisan.

Tinjauan kepustakaan yang penulis lakukan terhadap skripsi dan karya ilmiah yang telah ada, berkaitan dengan masalah yang penulis bahas belum ada, adapun yang menjadi pembeda dari tulisan dengan judul Pancasila dalam Kerangka Politik Islam di Indonesia Prespektif Pemikiran Munawir Sjadzali adalah penulis ingin menjelaskan posisi pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia prespektif pemikiran Munawir Sjadzali, lalu faktor-faktor yang mempengaruhi pandangannya tentang pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia.

25 Ahmat Dulah, Pinsip Prinsip Bernegara menurut Pandangan Munawir Sjadzali, UIN Raden Intan Lampung, 2018

26 Muhammad Al-Furqan, Konsep Pembagian harta Warisan menurut Munawir Sjadzali, IAIN Zawiyah Langsa, 2015

(25)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan prosedur dalam melakukan penelitian, oleh karena itu penulis membagi pada beberapa bagian:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk memahami keadaan atau fenomena, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research). Yang bersifat deskriptif kualitatif. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini, sumber dari sebuah data penulis ambil dan olah dari berbagai sumber- sumber tertulis seperti buku, surat kabar, jurnal dari berbagai literatur yang berkaitan dengan tema penelitian yang terkait dengan masalah yang menjadi objek pada kajian ini.

Penelitian Deskriptif-Analisis adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul, merumuskan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulan.

2. Sumber Data a. Data Primer

(26)

18

Sumber data primer adalah sumber pokok yang sesuai dengan pembahasan dalam skripsi ini. Sumber data primer merupakan bahan orisinil yang menjadi dasar bagi penelitian lain. Sumber ini biasanya merupakan penyajian formal pertama dari hasil penelitian dalam literatur cetak atau elektronik yang menyajikan dalam bentuk asli, tidak di interpretasi maupun diringkas atau dievaluasi oleh penulis lain.27. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah karya- karya karangan Munawir Sjadzali, yang berjudul Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, dan Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa.

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh melalui studi lanjutan yang bertujuan untuk memperoleh teori, Al-qur’an menjadi landasan teori dalam data sekunder ini disamping itu data dari pustaka juga digali melalui sumber dari buku-buku, kamus, artikel-artikel dari website, jurnal dan karya lainnya yang relevan dengan pembahasan tersebut yang ada kaitannya dengan materi yang diteliti.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sumber data baik primer maupun sekunder yang sudah terkumpul maka langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dan mengolahnya, yakni mendeskripsikan pancasila dalam kerangka Politik

27 Suharsamil Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 108.

(27)

Islam di Indonesia pemikiran Munawir Sjadzali, kemudian menganalisis pemikiran tersebut.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis melakukan identifikasi wacana secara deduktif dan mengumpulkan data yang bersifat kualitatif dengan jalan mencari dan mengumpulkan data primer dan data sekunder dari buku-buku, makalah, artikel, majalah, jurnal, web (internet) yang berkaitan dengan tulisan penulis.

3. Analisis Data

Data yang terkumpul oleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan teknik analisis isi (content analisis) dan analisis deskriptif, penganalisisan menggunakan tahapan sebagai berikut

28

a. Menentukan tujuan analisis, langkah pertama untuk mengidentifikasi tujuan analisis dapat dilakukan dengan cara mendiskripsikan terlebih dahulu permasalahan yang ada.

b. Mengumpulkan data, untuk itu penulis akan membaca, mengkaji, dan mencatat data-data yang diambil dari berbagai sumber yang diperoleh.

c. Mengidentifikasi bukti-bukti kontekstual. Dalam hal ini, penulis akan memulai dengan pengidentifikasian terhadap bukti-bukti

28 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet IIV, (Bandung:

Alfabeta), hal. 245.

(28)

20

kontekstual dengan cara mencari hubungan antara data yang ada dengan realitas yang sedang penulis teliti.

d. Mereduksi data, pada tahap penulis akan melakukan sortir atau memilah terhadap data yang telah penulis kumpulkan dengan cara mana yang dapat digunakan dan mana yang tidak dapat digunakan.

e. Menganalisis dan menafsirkan data, dalam hal yang terakhir ini, penulis akan menganalisis data yang ada dan mengambil sebuah kesimpulan.29

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi merupakan suatu kaidah dalam karya ilmiah untuk memudahkan pembaca memahami sebuah karya ilmiah tersebut.

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam lima bab :

BAB I Adalah pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan dan Batasan Masalah, Penjelasan Judul, Tujuan dan Kegunaan penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan yang terakhir adalah Sistematika Penulisan.

BAB II Pancasila dan Islam di Indonesia: Eksistensi dan Posisi.

Pengertian Pancasila dan sejarah perumusan Pancasila, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara,kedudukan dan hubungan Pancasila dan Islam di Negara Indonesia.

29Ibid, hal. 245.

(29)

BAB III Membahas Munawir Sjadzali : sosok dan pemikirannya, yang secara ringkas berisikan Riwayat hidup: masa kecil, pendidikan dan perjuangan. Membina karir sebagai diplomat, birokrat dan Pemikir, serta pemikiran keislaman dan karya-karyanya.

BAB IV Posisi Pancasila dalam sistem Politik di Indonesia, Pancasila aspirasi politik menurut pemikiran Munawir Sjadzali. Dan faktor- faktor yang mempengaruhi pandangan Munawir Sjadzali tentang Pancasila dalam kerangka Politik Islam di Indonesia.

BAB V Merupakan bab yang terakhir atau penutup yang berisikan kesimpulan dan saran. Bab ini penting untuk di paparkan karena merupakan inti dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan dan bab ini dimaksudkan untuk menjelaskan dan menjawab permasalahan serta memberikan saran- saran dengan bertitik tolak pada kesimpulan tersebut.

(30)

BAB II

PANCASILA DAN ISLAM DI INDONESIA: EKSISTENSI DAN POSISI

A. Pengertian dan Sejarah Perumusan Pancasila 1. Pengertian Pancasila

Istilah pancasila sudah dikenal sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit di mana nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila sudah diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan maupun kenegaraaan meskipun sila-silanya belum dirumuskan secara konkrit. Kata pancasila sudah tertulis dalam buku Nagara Kertagama karangan Empu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular, istilah pancasila ini mempunyai arti berbatu sendi yang lima, pelaksanaan kesusilaan yang lima. Lima sendi utama penyusun pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.30

Islam datang menggantikan kejayaan Majapahit, kata pancasila yang kental dengan muatan nilai-nilai Jawa tersebut mengalami pengaruh Islam. Kelima ajaran moral Budha tercermin dalam tradisi Islam Jawa yang dikenal dengan “lima larangan” atau “lima pantangan” dalam tata kehidupan masyarakat. Kelima norma ini adalah larangan bagi

30 Fais Yonas Bo’a dan Sri Handayani, Memahami Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), hal. 24

22

(31)

masyarakat Jawa yang sesungguhnya bersifat universal, yaitu : 1. Mateni, artinya membunuh;

2. Maling, artinya mencuri;

3. Madon, artinya berzina;

4. Mabok, artinya meminum minuman keras atau mengisap candu;

5. Main, artinya berjudi.

Kelima larangan ini tidak lain merupakan norma-norma sosial yang berlaku pada zamannya, jika dilanggar bisa berakibat pada kekacauan sosial, atau setidaknya terjadi pelanggaran hak asasi seseorang oleh anggota masyarakat lainnya.31

Menurut Abdul Hadi W.M, hubungan Pancasila dengan ajaran etika agama-agama yang ada di dunia Melayu, khususnya Islam sangatlah kental. Pepatah Melayu mengatakan “adat besandi syarak, syarak bersandi kitabullah” (adat kebiasaan Melayu bersandar pada syariat dan syariat bersandar pada kitabullah) menyiratkan keselarasan pancasila dengan Islam, karena sila-sila pada pancasila merupakan hasil penggalian dari budaya beragam etnik Nusantara (Aceh, Minangkabau, Jawa, Sunda, Madura, Bugis dan sebegainya) yang memeluk Islam. Jauh sebelum lahirnya pancasila sebagai dasar negara Indonesia, jelas Abdul Hadi, uraian kitab Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari tentang etika politik selaras dengan yang tertuang dalam kandungan sila-sila

31A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hal. 36-37

(32)

24

Pancasila.32

Pada dasarnya argumen dari Abdul Hadi menimbulkan persoalan, karena pepatah “adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah” ini merupakan pepatah suku Minangkabau yang cukup populer, namun Abdul Hadi menyebutkan pepatah tersebut adalah pepatah Melayu. Hal ini karena memang suku Minangkabau masih termasuk bagian rumpun Melayu.

Menurut A.A Navis, Minangkabau lebih merujuk kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Dan seharusnya Abdul Hadi tetap menyebutkan pepatah tersebut dari Minangkabau meskipun suku Minangkabau adalah bagian dari rumpun Melayu.

Menurut Prof. Mr Muhammad Yamin, perkataan Pancasila sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata dan mengandung dua macam arti, yaitu Panca berarti “lima” dan Syila artinya

“batu sendi, alas atau dasar”. Sedangkan menurut huruf Dewanagari

“syiila” yang artinya peraturan tingkah yang penting/baik/senonoh. Dari kata “Syiila” ini dalam bahasa Indonesia menjadi “susila” artinya tingkah laku yang baik.33

2. Sejarah Perumusan Pancasila

Secara historis, Munculnya pancasila tak bisa dilepaskan dari

32Ibid,hal. 36-37.

33Fachrudin Pohan, Kembali Memahami Pancasila, (Bandung: Citapustaka Media, 2002), hal. 113.

(33)

situasi perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan. Keinginan lepas dari belenggu penjajahan asing dan belenggu pemikiran ideologi saat itu, yakni liberalisme dan komunisme, para tokoh bangsa (founding father) salah satunya Soekarno, yang berpandangan dengan sungguh- sungguh menggali nilai-nilai dari negerinya sendiri yang akan dijadikan panduan dan dasar bagi Indonesia merdeka. Panduan dan dasar negara Indonesia, menurut Soekarno mestilah bukan meminjam dari unsur-unsur asing yang tidak sepenuhnya sesuai dengan jati diri bangsa, tetapi harus di gali dari rahim kebudayaan Indonesia sendiri.34

Tanpa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tanah kelahirannya, tegas Soekarno, akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaannya. Upaya sungguh-sungguh ini terbukti mendapatkan apresiasi setidaknya dari tokoh filsuf Inggris Bertrand Russel seperti dinyatakan Latif bahwa pancasila merupakan sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi kapitalis) dan Manifesto Komunis (yang merepresentsikan ideologi komunis).35

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia sebelum disahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, nilai-nilainya telah diimplementasikan dan mereka jiwai pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu sebelum bangsa Indonesia mendirikan negara, yang berupa nilai- nilai adat istiadat, kebudayaan serta religious. Nilai-nilai tersebut

34Ibid,hal. 37.

35A. Ubaedillah, Op. Cit, hal. 37.

(34)

26

sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman hidup.

Nilai-nilai itu kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara (Founding Father) untuk dijadikan sebagai filsafat negara Indonesia. Proses perumusan materi pancasila secara formal tersebut dilakukan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha- usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pertama sidang panitia sembilan, sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan sebagai dasar filsafat maupun ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).36

Sejarah lahirnya pancasila berawal dari pemberian janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia oleh perdana Menteri Jepang saat itu, yaitu Kuniaki Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Pada tanggal 28 Mei 1945 bersamaan ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito, Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia yaitu janji kedua pemerintah Jepang berupa “kemerdekaan tanpa syarat”.37 Janji ini diberikan karena Jepang terdesak oleh tentara Sekutu dalam perang Asia Timur Raya. Bangsa Indonesia diperbolehkan memperjuangkan kemerdekaannya, dan untuk mendapatkan simpati dan dukungan bangsa Indonesia. Pemerintah Jepang kemudian membentuk suatu badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau lebih dikenal BPUPKI atau Dokuritsu Junbi Cosakai.38

36Ibid,hal. 37.

37Irfan Idris, Islam dan Konstitusionalisme Kontribusi Islam dalam Penyusunan UUD Indonesia Modern, (Yogyakarta: Antolib-Indonesia,2009), hal. 55.

38Muhammad Chairul Huda, Meneguhkan Pancasila sebagai Ideologi Bernegara:

Implementasi Nilai-Nilai Keseimbangan dalam upaya Pembangunan Hukum di Indonesia, Resolusi, Vol. 1 no, 1 juni 2018, hal. 85.

(35)

Tanggal 28 Mei 1945, BPUPKI diresmikan oleh pemerintah Jepang dan diketuai oleh Dr. KRT. Radjiman Widyodiningrat. Pembentukan BPUPKI bertujuan menjalankan tugas menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan usaha pembentukan Indonesia merdeka yang berhubungan dengan segi, politik, ekonomi, hukum serta tata pemerintahan.39 BPUPKI yang beranggotakan 62 orang sehari setelah dilantik dan diresmikan segera menyelenggarakan sidang. Masa sidang BPUPKI terbagi dua, tahap pertama tanggal 29 Mei- 1 Juni 1945, dan tahap kedua 10 Juli- 17 Juli 1945.40

Gagasan Pancasila dibahas untuk pertama kali dalam sidang BPUPKI, atas usulan Dr. Radjiman Widyodiningrat selaku ketua saat itu, melontarkan gagasan tentang rumusan sebuah dasar negara bagi Indonesia yang akan dibentuk. Merespon gagasan ini, sejumlah tokoh pergerakan nasional antara lain Mohammad Yamin, Prof. Soepomo, dan Soekarno masing-masing menguraikan buah pikiran mereka tentang dasar negara pada perhelatan resmi tersebut.41

Pada persidangan pertama BPUPKI 29 Mei 1945, Mr. Mohammad Yamin dalam pidatonya mengusulkan pemikirannya tentang dasar negara yang mencerminkan lima asas dasar negara Indonesia Merdeka. Kelima asas usulan Mr. Moh.Yamin ini, yaitu: 1). Peri kebangsaan, 2). Peri

hal. 8.

39T. Prasetyo, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, (Bandung: Nusamedia, 2014),

40Irfan Idris, Op. Cit, hal. 56.

41A. Ubaedillah, Op. Cit, hal. 38.

(36)

28

Kemanusiaan, 3). Peri Ketuhanan, 4). Peri Kerakyatan, dan 5).

Kesejahteraan Rakyat.42

Dalam masa sidang pertama BPUPKI, masalah hubungan mendasar tentang kehidupan bernegara menjadi salah satu perdebatan yang sangat dinamis di antara para peserta hadir. Hal ini disebabkan adanya perbedaan paham yang cukup tajam antara dua pandangan, secara garis besar antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Merespon dari kalangan nasionalis Islam yang mengusulkan menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia merdeka, pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. Soepomo menjabarkan tentang gagasan negara Islam, serta berdasarkan cita-cita luhur dari Islam.43

Menurut pengusul konsep negara kebangsaan ini, dalam negara yang tersusun sebagai negara Islam, negara tidak dapat dipisahkan dari agama. Soepomo lalu menganjurkan agar negara Indonesia tidak menjadi Negara Islam, tetapi menjadi “negara yang memakan dasar moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam”. Alasan Soepomo inilah yang menjadi argumen kesediaan kalangan nasionalis Islam untuk menerima usulan penggantian “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dengan

“Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam pancasila, sebagaimana dijelaskan kemudian. Dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai

42 Ibid,hal. 38.

43Ibid,hal. 38.

(37)

tidak bertentangan dengan prinsip tauhid dan prinsip moral pendirian negara dalam ajaran Islam.44

Tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno pada gilirannya menyampaikan pidato tentang dasar negara dengan menguraikan lima unsur dasar negara.

Untuk yang pertama kalinya Soekarno mengusulkankan lima dasar negara yang ia beri nama pancasila. Bersandar pada usulannya ini, banyak ahli menyimpulkan 1 Juni sebagai hari lahirnya pancasila. Kelima unsur uraian Soekarno adalah:45

1. Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia.

2. Internasionalisme dan Perikemanusiaan.

3. Mufakat dan Demokrasi.

4. Kesejahteraan Sosial.

5. Ketuhanan yang Berkebudayaan.

Kelima prinsip dasar negara tersebut kemudian diringkas Soekarno menjadi Trisila (tiga dasar) yaitu: 1. Sosionasionalisme (kebangsaan), 2.

Sosiodemokrasi (mufakat), dan 3. Ketuhanan. Tak cukup hingga di sini, ketiga sila ini disarikan lagi oleh Soekarno menjadi satu sila (Ekasila) yakni, gotong royong.

Tiga minggu berselang setelah pidato Seokarno 1 Juni tentang pancasila, pada 22 juni 1945 sembilan tokoh pengerakan nasional yang bergabung dalam Panitia Sembilan diberi mandat untuk merumuskan beragam usulan dan pandangan yang telah dikemukakan oleh para tokoh

44Ibid,hal. 38.

45Ibid,hal. 39.

(38)

30

pengerakan nasional. Kesembilan anggota ini antara lain: Ir.seorkarno, Drs.Moh.Hatta, Mr.A.A Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Moezakir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad soebardjo, K.H. Wachid Hasjim, dan Mr. Moh. Yamin. Setelah membahas beragam usulan tentang dasar negara Indonesia merdeka pada sidang sidang sebelumnya, PanitiaSembilan akhirnya berhasil menyusun sebuah piagam yang kemudian dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”(The Jakarta Charter).46

Piagam Jakarta pertama kalinya diberikan oleh Muhammad Yamin karena penandatangan Piagam tersebut bertepatan dengan tanggal hari jadi kota Jakarta yang juga jatuh pada tanggal 22 Juni. Nama ini kemudian disepakati secara bulat oleh BPUPKI untuk menyebut preambul/pembukaan UUD 1945.47 Piagam Jakarta ini, menurut Soekarno selaku ketua Panitia Sembilan, merupakan hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan nasionalis Islam.48Perumusan butir-butir pancasila dalam Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2. Kemanusian yang adil dan beradab.

46Ibid,hal. 39.

47Mujar Ibnu Syarif, Spirit Piagam Jakarta Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal Cita Hukum Fak. Syariah UIN Jakarta, Vol. 4 No.1, Juni 2016, hal. 16.

48Mr. Mohammad Roem, ”Kata pengantar”,dalam Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945- 1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),hal. xiv.

(39)

3. Persatuan Indonesian

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan dan sistematika Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta bentukan Panitia Sembilan ini kemudian diterima oleh Badan Penyelidikan dalam sidang keduannya pada 14-16 juli 1945. Secara keseluruhan isi Piagam Jakarta sama dengan pembukaan UUD 1945 yang sekarang. Bedanya, pada rumusan sila pertama pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta terdapat tujuh kata yang sangat bersejarah, yakni:

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”. Sementara dalam pembukaan UUD 1945 yang kita kenal sekarang tujuh kata tersebut dihilangkan. Sebagai gantinya pada sila Ketuhanan ditambah kata-kata “Yang Maha Esa”, sehingga menjadi

“Ketuhanan Yang Maha Esa”.49

Dengan mencermati rumusan sila pertama yang tercantum dalam alinea keempat Piagam Jakarta tersebut jelas sekali terlihat nuansa kompromi antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Lebih lanjut tampak kelompok Islam mempertahankan posisi awal mereka dengan menyatakan bahwa rumusan tersebut tidak cukup kuat untuk menempatkan negara dalam posisi yang tidak seimbang di bawah Islam, untuk alasan itu, Wahid Hasjim menegaskan bahwa “hanya orang-orang

49Mujar Ibnu Syarif, Op cit, hal. 17.

(40)

32

Islam yang dapat dipilih sebagai presiden dan wakil presiden Republik ini”. Lebih jauh, ia juga menegaskan bahwa Islam harus diterima sebagai agama negara.50

Sejalan dengan gagasan tersebut, ketika pada tanggal 13 Juli 1945 ketua Panitia Sembilan mengajukan rancangan pertama pasal 4 ayat 2 UUD 1945 tentang presiden kepada sidang paripurna BPUPKI, yang berbunyi: “Yang dapat menjadi Presiden dan wakil Presiden hanya orang Indonesia asli”, Wahid Hasjim mengusulkan agar pada akhir pasal 4 ayat 2 tersebut ditambahkan kata-kata “yang beragama Islam”. Selanjutnya, Wahid Hasjim juga mengusulkan agar pada awal pasal 29 tetap agama dicantumkan kata-kata “Agama negara ialah agama Islam”. Usulan Wahid Hasjim tersebut mendapat dukungan dari Sukiman karena apa yang diusulkan Wahid tersebut, menurut dia, tidak akan membawa akibat sama sekali dan juga memuaskan rakyat.51

Untuk alasan-alasan yang sebaliknya, golongan nasionalis sekuler, yang tidak punya asal-usul Islam, semisal Latuharhary, menolak usulan Wahid Hasjim tersebut karena menurut dia, usulan tersebut akan menimbulkan sikap diskriminatif atas agama-agama lain. Selain golongan nasionalis, Agus Salim ternyata juga tidak menyetujui usul sahabatnya itu.

Argumentasinya, karena ususlan Wahid itu, sama artinya dengan mementahkan kembali kompromi yang telah dibuat dengan susah

50Bahtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 88-89.

51Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1959), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal.

33-34.

(41)

payah antara golongan nasionalis kebangsaan dengan golongan Islam.

Lebih dari itu jika usulan Wahid tersebut diterima, maka janji golongan Islam untuk melindungi agama lain tidak akan ada artinya lagi.52

Hampir senada dengan Wahid Hasjim, pada sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Residen/Pejabat Kediri Pratalykrama juga mengusulkan agar “kepala negara/presiden Republik Indonesia hendaknya orang Indonesia yang asli, berumur sedikit-dikitnya 40 tahun dan beragama Islam”. Mengenai masalah tersebut Soepomo mengingatkan dia pada Piagam Jakarta, usul tersebut menurut pendapatnya tidak menghormati Piagam ini. Ia mengingatkan bahwa 95% penduduk Indonesia beragama Islam, maka hal tersebut menjadi jaminan bahwa yang akan terpilih sebagai presiden adalah seorang Muslim. Akan tetapi usul dari Pratalykrama mendapat dukungan Masjkur. Kalau di dalam Republik Indonesia ini ada kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya, katanya maka presiden haruslah seorang Muslim, karena jika bukan tidak akan menjalankan hukum dengan seksama dan serta tidak diterima oleh golongan Islam.53

Sejalan dengan pendapatnya tersebut, Masjkur yang melihat adanya kontradiksi antara pasal 9 dan pasal 28 rancangan UUD 1945, menyarankan agar isi kedua pasal tersebut disinkronkan satu sama lain.

Menurut dia, berdasarkan pasal 9 yang berbunyi, “Presiden bersumpah

52Ibid, hal. 33-34.

53Mujar Ibnu Syarif, Op.Cit, hal. 19.

(42)

34

sesuai dengan agamanya”, dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden RI tidak harus seorang Muslim. Hal ini, menurut dia, bertentangan dengan pasal 28 yang berbunyi, “Negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”, karena sulit untuk menerapkan syariat Islam jika presiden adalah non-Muslim. Sehingga menurutnya pasal 28 harus memuat hal yang lebih jelas lagi menjadi, “Agama resmi negara Republik Indonesia adalah Islam”. Akan tetapi, bila bunyi pasal 28 tetap dipertahankan, maka pasal 7 harus diubah menjadi, “Presiden harus seorang Muslim”.54

Dalam kesempatan sidang 15 Juli ini, Soekarno tampil dan menyatakan bahwa dia memahami betul apa yang telah disampaikan oleh Masjkur. Dengan menyatakan, “Kami berkepercayaan bahwa yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia ialah orang yang bisa menjalankan ayat (1) dalam pasal 28. Kalau tuan Haji Masjkur menanyakan hal itu kepada diri saya person Seokarno, saya seyakin-yakinnya, bahwa presiden Indonesia tentu orang Islam, oleh karena saya melihat dan mengetahui bahwa sebagian besar penduduk bangsa Indonesia adalah beragama Islam.”55

Kemudian ia mengingatkan Masjkur bahwa pendapat Panitia Perancang adalah yang paling bijaksana, yang membawa perdamaian dan menghindarkan pertentangan antara dua pihak yang saling berhadapan muka. “Kita telah membikin gentleman’s agreement”. Katanya pula,

“Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah suatu penghormatan

54Ibid, hal. 19.

55Endang Saifuddin Anshari, Op.Cit , hal. 39.

(43)

kepada gentleman’s agreement”.56 A. Kahar Muzzakir, yang merasa kecewa mengetahui usulan golongan Islam tidak diindahkan oleh Soekarno, sambil memukul meja, meminta supaya daari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang- Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut agama Islam, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu.57 Pada pihak lain, tampil Sukardjo Wirjopranoto menyatakan ketidaksetujuannya atas usul Kiai Masjkur, dan mengatakan bahwa ususl tersebut bertentangan dengan pasal 27 Undang-Undang Dasar ini: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan”.58

Guna menghindari macetnya jalan sidang kedua tersebut, Radjiman, ketua BPUPKI, menyarankan agar sidang mengadakan pemungutan suara untuk menentukan yang mana akan diterima, panitiakah, ataukah usulan Pratalykrama yang didukung oleh Masjkur.

Saran Radjiman disetujui oleh Soekarno, akan tetapi ditentang oleh Kiai Sanusi yang berkata bahwa masalah agama tidak dapat begitu saja ditentukan oleh suara terbanyak. Dia meminta agar sidang menerima salah satu dari dua usul. Yakni usul dari Kiai Masjkur atau usul Muzzakir.59

Soekarno, sebagai ketua Panitia Sembilan, kontan menjawab:

“Tuan Ketua, kami Panitia tidak mufakat dengan usul tuan Muzakkir itu.

56Ibid, hal. 39.

57Ibid, hal. 39.

58Ibid, hal. 39.

59Mujar Ibnu Syarif, Op. Cit, hal. 21.

(44)

36

Terima kasih”. Ketika Ketua Umum bertanya kepada Muzakkir mengenai pernyataan Soekarno, Muzakkir menjawab tetap pada pendiriannya agar usulannya dipertimbangkan. Kemudian Hadikusumo tampil mendukung usul Muzakkir seraya berkata: “Bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abd. Kahar Muzakkir, kalau ideologi Islam tidak diterima, jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral”.60

Sidang ditutup oleh Ketua Umum Radjiman tanpa keputusan apa pun. Ketidaktentuan dan kegelisahan yang telah ditimbulkan oleh sidang pada hari itu tercermin jelas dalam pembicaraan Soekarno ketika membuka sidang pada pagi berikutnya tanggal 16 Juli. Dia berkata bahwa ia yakin banyak para anggota BPUPKI di samping dia sendiri yang malamnya tidak dapat tidur. Selanjutnya ia menyatakan bahwa antara beberapa perwakilan golongan kebangsaan dan golongan Islam sudah mengadakan perundingan dan telah saatnya disampaikan. Seraya berkata: “Saya sebagai Ketua Panitia, mengemukaan... pendapat saya

...tentang masalah itu”.61

Kemudian Soekarno menghimbau segenap anggota, terutama pada pihak kebangsaan, untuk berkorban seraya berkata: “Yang saya usulkan, ialah: baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang-Undang Dasar dituliskan bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia

60Endang Saifuddin Anshari, Op.Cit, hal. 40.

61Ibid,hal. 40.

(45)

asli yang beragama Islam. Saya mengetahui buat sebagian pihak ini berarti suatu pengorbanan keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita hadir di sini, dikatakan 100% telah yakin, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah beragama Islam.”62

Soekarno menyambung bahwa dia menyadari bahwa hal ini merupakan pengorbanan yang besar terutama bagi para patriot seperti Latuharhari dan Maramis yang tidak beragama Islam, lalu mengutarakan hal: “Saya meminta sengan rasa menangis,... Saya harap, Paduka Tuan yang mulia suka mengusahakan supaya sedapat mungkin lekas, mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi itu.”63

Setelah jelas sudah tidak ada lagi keberatan di dalam sidang, Ketua Radjiman menutup sidang seraya mempersilahkan para anggota berdiri.

Yamin termasuk yang paling akhir berdiri, ketika Ketua dengan resmi mengumumkan: “Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi saya ulangi, Undang-Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat- bulatnya”.

Kata-kata terakhir Ketua Radjiman tersebut diterima dengan suara bulat dan disambut tepuk tangan.64

Di samping menyetujui usul syarat presiden Republik Indonesia harus beragama Islam, panitia Konstitusi dalam sidang kedua BPUPKI, termasuk yang non muslim, yakni Laturhari dan A.A Maramis, juga

62Ibid,hal. 41.

63Ibid,hal. 41.

64Ibid,hal. 42.

Referensi

Dokumen terkait

The researcher analyzed the data by using independent sample t-test, the result was that there was an influence of using VAK Learning Model toward students’ narrative

Kami dari kelompok Hi_Mush menyusun suatu konsep budidaya jamur tiram dengan penerapan GAP yaitu panduan umum dalam melaksanakan budidaya jamur tiram secara

Apabila dicermati diberbagai media massa, beberapa produsen mulai gencar mengiklankan produk dengan tema peduli terhadap lingkungan. Salah satu produsen yang

Pada karya pencipta yang lainnya dengan format kanvas yang bentuk manusia yang kotak dengan hiasan garis ornamen batik, ini pencipta maksudkan sebagai perluasan medium pada bentuk

6.2.1 Setiap peserta Rakernas Pordirga Aeromodelling PB FASI Ke-6 tahun 2011 harus memenuhi klasifikasi utusan Pengprov Aeromodelling FASI Prov se Indonesia yang

Survei pendahuluan di Puskesmas Mergangsan membuktikan bahwa dari populasi sebanyak 120 bayi usia 12-24 bulan, terdapat 9 kasus bayi gizi kurang, 4 kasus bayi gizi buruk, 3

Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat penelitian sebelumnya khususnya mengenai faktor-faktor apa saja yang secara signifikan berpengaruh pada ketepatan

Maka pada dasarnya variabel kontrak psikologi dan komitmen organisasi merupakan variabel yang dapat meningkatkan kinerja karyawan walaupun pada hasil penelitian ini tidak