PENGARUH PEMBERIAN PROPOFOL TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN
YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga
Oleh :
Danu Indra Putra S 501108024
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2015
YANG MENJALANI ANESTESI UMUM
Oleh :
Danu Indra Putra S 501108024
Telah disetujui oleh tim pembimbing Pada Tanggal 13 Juni 2015
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Nama
Dr. Hari Wujoso dr, SpF, MM NIP. 19621022 199503 1 001 dr. MH. Soedjito, SpAn - KNA
NIP. 19510917 197903 1 002
Tanda tangan
...
...
Tangga l
...
...
Surakarta, Juni 2015
Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Dr. Hari Wujoso dr, SpF, MM NIP. 19621022 199503 1 001
YANG MENJALANI ANESTESI UMUM NIP. 19481107 197310 1 003
Prof. DR. Harsono Salimo,dr,Sp.A(K) NIP. 19441226 197310 1 001
Tanda
Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal 10 Juli 2015
Direktur PPS UNS Ketua Program Studi MKK
Prof. DR. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd Prof. DR. A.A. Subiyanto,dr,MS NIP. 19600727 198702 1 001 NIP. 19481107 197310 1 003
Penulis menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
1. Tesis yang berjudul :”PENGARUH PEMBERIAN PROPOFOL TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM”ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai
acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perudang-undangan
(Permendiknas No 17, tahun 2010).
2. Publikasi dari sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain
harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai
institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan
sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau
keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Kedokteran Keluarga UNS berhak
mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan Prodi Kedokteran
Keluarga UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini,
maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku. Surakarta, …….Juni 2015
Danu Indra Putra S501108024 KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur kepada Allah S.W.T. atas segala
kekuatan,kemudahan, dan anugerah hingga terwujudnya karya ini yang
berjudul:“Pengaruh Pemberian Propofol Terhadap Kadar Magnesium Serum
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Pada kesempatan
ini dengan segala kerendahan hati ijinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis
ini,
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs. MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. Hartono, dr, M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
4. Dr. Hari Wujoso, dr, SpF, MM, selaku Ketua Progrma Studi Magister
Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta dan selaku
pembimbing statistik, atas waktu dan bimbingan yang diberikan dalam rangka
penyusunan usulan tesis ini.
5. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn, KNA selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM dan selaku
pembimbing substansi, atas kesediaannya meluangkan waktu dan memberikan
masukan dalam penyusunan usulan tesis ini dan yang telah memberikan
kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
6. H. Marthunus Judin, dr, SpAn selaku Kepala Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi
Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan
dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
7. ”Guru-guruku” yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi kesempatan
penulis untuk menimba ilmu di IK Anestesiologi dan Intensive Care UNS.
8. Kedua orang tua penulis, Alm. Bapak Djafri Arda dan Ibu Nurlela serta orang
tua mertua Bapak Surya Amri dan Ibu Sri Mulyani yang sangat penulis hormati
dan sayangi yang selalu memberi dukungan, bantuan, perhatian, kasih sayang,
dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk penulis agar penulis cepat dapat
menyelesaikan pendidikan.
9. Istri tercinta dan tersayang, Irma Suryani, yang tak pernah lelah memberi
dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan perhatiannya, serta anak -
anakku, yang menjadikan hidup lebih berwarna selama penulis menjalani
pendidikan.
10.Kakak dan Adik kandung yang penulis cintai dan sayangi, yang selalu memberi
dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan.
11.Teman - teman Residen Anestesiologi dan Therapi Intensif yang memberikan
perhatian dan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Surakarta, Juni 2015 Penulis
Danu Indra Putra
ABSTRACT
Danu Indra Putra, S501108024. 2015.The Effect of Propofol Administration to Magnesium Serum Level in Patients Undergoing General Anesthesia 1st Advisor : Dr. Hari Wujoso dr, SpF,MM. 2nd Advisor : dr. MH. Soedjito, SpAN, KNA. Anesthesiology and Intensive Therapy Faculty of Medicine, Post Graduate Program. Study Program Magister of Family Medicine, Sebelas Maret University Surakarta.
Background : Magnesium plays a fundamental role in many cellular functions, and
thus there is increasing interest in its role in clinical medicine. Decrease in blood magnesium is associated with an increase in the incidence of arrhythmia, especially during the induction period of general anesthesia. Therefore, it is important to evaluate the effects of propofol as induction in general anesthesia on serum concentrations of magnesium.
Purpose : To proof the effect of propofol administration as an induction agent in
general anesthesia with propofol dosage of 1.5 mg/Kg body weight to serum magnesium level, by measuring the difference of serum magnesium before and three minutes after the administration of propofol.
Methods : This research is quantitative observational research with cross sectional
approach with pre and post research design. Population/ research subjects are 30 patients and the patients were male or female who undergoing elective surgery with general anesthesia with physical status of ASA I and II, aged between 17-60 years old and met inclusive criteria requirement. The examination of serum magnesium level was using colorimeter method and point with normal value of 1.7-2.4 mg/dl.
Result : It showed a significant decrease of serum magnesium level with p= 0.000; p
< 0.05. Average value of magnesium serum before and after propofol administration showed a decrease after propofol administration.
Conclusion : Propofol administration with 1.5 mg/Kg body weight as an induction
agent in general anesthesia can significantly decrease serum magnesium level compared to before administration.
Keywords : Serum Magnesium Level, Propofol, General Anesthesia.
ABSTRAK
Danu Indra Putra, S501108024. 2015. Pengaruh Pemberian Propofol Terhadap Kadar Magnesium Serum Pada Pasien Yang Menjalani Anestesi Umum. Pembimbing I : Dr. Hari Wujoso dr, SpF,MM. Pembimbing II : dr. MH. Soedjito, SpAN, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar Belakang : Magnesium memainkan peranan penting di dalam banyak fungsi selular, dan karenanya meningkatkan ketertarikan pada peranannya di bidang kedokteran klinis. Penurunan kadar magnesium serum dihubungkan dengan peningkatan kejadian aritmia, terutama pada saat periode induksi anestesi umum. Oleh karena itu, adalah hal yang penting untuk mengevaluasi efek dari propofol sebagai obat induksi pada anestesi umum terhadap kadar magnesium serum
Tujuan : Untuk membuktikan pengaruh pemberian propofol sebagai obat induksi pada anestesi umum dengan dosis 1,5 mg/kgbb terhadap kadar magnesium serum, dengan mengukur perbedaan kadar magnesium serum sebelum dan tiga menit sesudah pemberian propofol.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian kwantitatif observasional dengan pendekatan Cross Sectional dengan rancangan penelitian pre dan post. Populasi sekaligus subjek penelitian berjumlah 30 pasien adalah pasien berjenis kelamin laki-laki atau perempuan yang menjalani pembedahan elektif dalam anestesi umum dengan status fisik ASA I dan II berumur antara 17 – 60 tahun dan memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan kadar magnesium serum dengan menggunakan metode colorimeter and point dengan nilai normal 1,7 – 2,4 mg/dl.
Hasil : Menunjukkan adanya penurunan kadar magnesium serum yang bermakna dengan p=0,000 ; p < 0,05. Nilai rata-rata kadar magnesium serum sebelum dan sesudah pemberian propofol memperlihatkan penurunan sesudah pemberian propofol.
Kesimpulan : Pemberian propofol dengan dosis 1,5 mg/kgbb sebagai obat induksi pada anestesi umum dapat menurunkan secara bermakna nilai kadar magnesium serum dibandingkan dengan nilai sebelum pemberian.
Kata Kunci : Kadar Magnesium serum, Propofol, Anestesi umum.
IV. Peranan Magnesium……… 1. Peran magnesium pada jantung……… 2. Hipertensi pulmonal dan magnesium……… 3. Peran dalam obstetric……….
4. Peran dalam ICU………
5. Magnesium dan tetanus……… 6. Magnesium dan asma……… 7. Magnesium dan respon intubasi laringoskopi……… 8. Magnesium dalam menurunkan kebutuhan analgetik 9. Intra venous regional anestesi (IVRA) menggunakan lidokain dan magnesium………
A.3. Efek Propofol Terhadap Magnesium di Membran Sel ……. B. Penelitian Yang Relevan……….
C. Kerangka Pikir……….
D. Hipotesis………..
BAB III. METODE PENELITIAN………. A. Tempat dan Waktu Penelitian………..
B. Jenis Penelitian……….
C. Populasi………...
D. Besar Sampel………
E. Identifikasi Variabel Penelitian……… F. Definisi Operasional Variabel Penelitian……… G. Cara pengukuran variable ………...
H. Perijinan penelitian..………
I. Rancangan Penelitian ...……….. J. Jalannya penelitian………...
L. Pengolahan data………... M. Jadwal kegiatan dan organisasi penelitian………... BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...
A. HASIL ... 1. Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian... 2. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 3. Uji Hipotesis ... B. PEMBAHASAN ... BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTAR PUSTAKA……….……. LAMPIRAN
39 40 41 41 42 43 43 45 49 50
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Medical Uses of Magnesium ...……… 21
Tabel 2.2. Magnesium Levels and Toxicity... 24
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan dan Organisasi Penelitian .………... 40
Tabel 4.1. Deskripsi Karesteristik Subjek Penelitian ... 42
Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 43
Tabel 4.3. Hasil Uji Paired Sample t-Test ... 44
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Struktur Kimia Propofol ……… 4
Gambar 2.2. Kompleks protein Heterooligomerik Reseptor GABAA ... 25
Gambar 2.3. Hubungan Reseptor GABA dan Reseptor Glutamat ... 27
Gambar 2.4. Kerangka Pikir……….. 31
Gambar 3.1. Desain Penelitian……….. 33
Gambar 3.2. Rancangan Penelitian ……….. 37
Gambar 4.1. Perbandingan Kadar Magnesium Serum sebelum dan sesudah .. 45 perlakuan
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Data Sampel Penelitian “Kadar Magnesium (Mg) Serum” ... 55
LAMPIRAN 2. Hasil penghitungan dengan SPSS 17 ... 56
LAMPIRAN 3. Hasil Uji Normalitas ... 57
LAMPIRAN 4. Hasil Uji Paired Sample T test ... 58
LAMPIRAN 5. Ethical Clearance ... 59
DAFTAR SINGKATAN
AMPA : Alpha – amino – 3 – hydroxy – 5 – methyl – 4 – izoxazolepropionic acid.
CABG : Coronary Artery Bypass Grafting
CRMO2 : Cerebral Metabolism Rate terhadap Oksigen
EDTA : Ethylenediaminetetra acetic
EEG : Electro Enchepalo Graf
GABA : Gamma Amino Butiric Acid
ICU : Intensive Care Unit
Mg : Magnesium
N2O : DiNitroOxide
NMDA : N – Methyl – D – Aspartate
PaCO2 : Tekanan CO2 di arteri
PPHN : Persisten Pulmonal Hipertensi
PAF : Platelet Activating Factor
TIK : Tekanan Intra Kranial
TIO : Tekanan Intra Orbita
RCT : Random Control Trial
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pasien yang menjalani anestesi umum biasanya membutuhkan fase induksi sebelum dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Meskipun banyak obat yang berfungsi sebagai obat induksi pada anestesi umum, tetapi pada saat ini propofol dengan onset yang relative cepat, durasi yang pendek dan dengan efek samping minimal menjadikannya sebagai salah satu obat yang paling popular sebagai obat induksi (Stoelting dan Hillier, 2006).
Propofol adalah salah satu obat anestesi intravena non barbiturat yang saat ini banyak sekali digunakan. Propofol memiliki beberapa keuntungan dibanding obat induksi intravena lainnya (etomidate dan ketamine) yaitu mula kerja yang relative singkat (± 30 detik), pemulihan50%-70% lebih cepat, efek terhadap susunan saraf pusat dan terhadap hati minimal, dan terdapat efek terapeutik non hipnotik seperti misalnya efek anti emetik, efek anti pruritus, efek anti kejang dan efek bronkokonstriksi yang lebih minimal (Miller, 2009; Stoelting dan Hillier, 2006).
Ketika digunakan dalam dosis 1,5-2,5 mg/kgBB dengan penyuntikan cepat (<15 detik) akan menyebabkan penurunan kesadaran dalam 30 detik. Sedangkan waktu pemulihan kesadaran akan dicapai dalam waktu 30 sampai 90 menit kemudian dengan kualitas kesadaran sangat baik. Hal ini yang menjadikan salah satu keuntungan penggunaan propofol yang paling penting dibandingkan dengan obat induksi intravena lainnya. Dengan mula kerja dan lama kerja yang relative singkat menjadikan propofol sebagai obat pilihan pada semua jenis operasi berdasarkan lama operasi, terutama operasi singkat, terlebih lagi jika dikombinasikan dengan opioid.(Stoelting dan Hillier, 2006; Miller, 2009).
Terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa pemberian propofol baik pada saat induksi maupun pada saat pemeliharaan operasi namun dapat menyebabkan penurunan magnesium serum yang cukup bermakna. Hal ini disebabkan karena perpindahan magnesium ke intra seluler akibat efek langsung obat-obat induksi anestesi terhadap membrane sel itu sendiri (Kweon TD., et al,
Magnesium adalah salah satu dari empat kation utama dalam tubuh dan merupakan kation intraseluler kedua yang paling penting setelah kalium. Magnesium sering dihubungkan dengan pengaturan fosforilasi dan kanal ion, dan terlibat penting sebagai faktor penunjang dalam metabolisme energi dan sintesis asam nukleat (Kweon TD., et al, 2009).
Karena diduga terdapat pengaruh propofol terhadap penurunan magnesium pada pasien yang akan menjalani operasi dan tentunya kurang menguntungkan pada pasien-pasien yang memiliki riwayat gangguan jantung dan pembuluh darah, pasien-pasien yang memiliki riwayat kejang, riwayat gangguan susunan saraf pusat dan lain-lain, maka dilakukanlah penelitian efek propofol sebagai obat induksi terhadap penurunan kadar magnesium serum.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian propofol terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Membuktikan pengaruh pemberian propofol 1,5 mg/kgBB intravena sebagai obat induksi terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.
2. Tujuan Khusus
Mengukur kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah pemberian propofol 1,5 mg/kgbb sebagai obat induksi.
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan teori dalam upaya menerangkan pengaruh pemberian propofol sebagai obat induksi terhadap kadar magnesium serum.
2. Dengan mengetahui pengaruh propofol terhadap kadar magnesium serum, maka dapat dijadikan sebagai dasar penggunaan propofol terhadap pasien dengan gangguan keseimbangan magnesium serum.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA A.1. Propofol
I. Definisi Propofol
Propofol merupakan obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Propofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml/10mg) serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide yang dimurnikan dan mudah larut dalam lemak. Propofol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Penggunaan propofol 1,5-2,5 mg/kgBB dengan penyuntikan cepat (<15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu kurang dari 30 detik. (Stoelting , 2006)
Propofol menyebabkan anestesi dengan kecepatan yang sama dengan barbiturat intravena, tetapi pemulihannya lebih cepat. Propofol mempunyai sifat antiemetik. Obat ini tampaknya tidak menimbulkan efek kumulatif ataupun keterlambatan bangun setelah penggunaan jangka lama. Karakteristik yang menguntungkan ini menyebabkan penggunaan propofol secara luas sebagai komponen pada anestesi berimbang dan popularitasnya sebagai anestesi yang digunakan dalam rawat sehari. Obat ini juga efektif untuk memperpanjang sedasi pasien-pasien dalam kondisi kegawatdaruratan (Morgan et all, 2013). Propofol juga sangat baik sebagai agen untuk intubasi endotrakea tanpa pelumpuh otot. Oleh karena itu, propofol diperlukan dan jadi obat pilihan untuk induksi anestesi. Setelah pemberian intravena, distribusi dengan waktu paruh ( t ½ á ) 2-8menit, waktu paruh eliminasi(t ½ â ) 30-60 menit. Bersifat lipid solubility, beronset cepat (40 detik), dosis anestesi 1,5-2,5 mg/kgBB, durasi 5-10 menit. Dimetabolisme di hati dengan sangat cepat (10 kali lebih cepat dari penthotal) melalui konjugasi dengan glukuronid dan sulfat, kemudian di ekskresi
melalui urine. Kurang dari 1 % dari obat ini diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah (Stoelting, 2006)
II. Sifat Fisik dan Kimia Propofol
Propofol sedikit larut dalam air, memiliki pKa 11, serta memiliki koefisien partisi 6761:1 pada pH 6-8,5.Propofol memiliki nama kimia 2,6-diisopropilfenol dengan bobot molekul 178,27 dan struktur kimia sebagai berikut :
Gambar 2.1 Struktur kimia Propofol (Stoelting, 2006)
Propofol biasa tersedia dalam sediaan emulsi injeksi steril dan bebas pirogen (DIPRIVAN®). Propofol injeksi biasa digunakan secara intravena (Stoelting, 2006).
III.Farmakokinetik
Propofol dengan cepat diabsorbsi tubuh dan didistribusikan dari darah ke jaringan. Distribusi propofol melalui 2 fase. Dengan fase kedua merupakan fase yang lebih lambat karena terjadi metabolisme di hati yang signifikan (konjugasi) sebelum diekskresi lewat urin. Lebih kurang 2% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui feses. Propofol dapat menembus plasenta dan diekskresi melalui susu. (Miller, 2009)
dalam darah. Pemberian infus jangka panjang (10 hari pada sedasi pasien ICU) menyebabkan akumulasi signifikan propofol dalam jaringan, maka sedasi propofol menjadi lambat dan waktu sadar kembali menjadi meningkat. (ICU book, 2014)
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome P-450. Namun metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. (Barash, 2006)
Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukkan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis. Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi metabolisme bersihan propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun menunjukkan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien dewasa. Kecepatan bersihan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan secara terus menerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi plasenta namun secara cepat dibersihkan dari sirkulasi fetus. (Zhang et all, 2012)
1. Efek pada Susunan Saraf Pusat
Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intrakranial (TIK). Pada pasien dengan
TIK normal terjadi penurunan TIK (30 %) yang berhubungan dengan penurunan sedikit tekanan perfusi serebral (10 %). Pemberian fentanyl dosis rendah bersama dengan propofol dosis suplemen mencegah kenaikan TIK pada intubasi endotrakeal. (Stoelting, 2006)
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besar propofol mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran darah ke otak yang mengubah PaCo2 tidak dipengaruhi oleh propofol.
Akan tetapi, aliran darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang
mendapatkan propofol dan midazolam. Propofol menyebabkan perubahan gambaran EEG yang mirip pada pasien yang mendapatkan thiopental. Cortical somatosensory evoked potentials yang digunakan sebagai alat untuk memantau fungsi sumsum tulang belakang menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil (penurunan amplitudo) antara pasien yang mendapatkan propofol saja dan yang mendapatkan propofol, N2O atau zat volatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan ganguan ingatan yang mana thiopental memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan. (Stoelting, 2006; D.L. Herr, et al, 2000)
2. Efek pada Sistem Respiratorik
Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. Terdapat resioko apnea sebesar 25%-35% pada pasien yang mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan resiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon dioksida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan
menurunkan resiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsentrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapneia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral. (Stoelting, 2006; Zhang et al, 2012)
3. Efek pada Sistem Kardiovaskuler (Stoelting, 2006)
Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik dari pada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi. Stimulasi langsung laringoskop dan itubasi trakea membalikkan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airways. Sebagai tambahan N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien yang
diberikan propofol. Suatu penekan respon misalnya ephedrin dapat dimanfaatkan pada pasien ini.
Bradikardi dan asistol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan propofol sehingga disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya juga meningkatkan respon syaraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis.
Resiko bradikardia related death selama anestesi propofol sebesar 1,4/100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi lain meningkatkan refleks oculokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian antikolinergik.
Respon denyut jantung selama pemberian atropin intravena berbeda tipis pasien yang mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah dengan pemberian beta agonis contohnya isoproterenol.
4. Efek pada fungsi hepar dan ginjal
luka pada sel hepar akibat asidosis laktat. Infus propofol yang lama menyebabkan urin berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapatkan propofol yang ditandai dengan urin yang keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek ini menandai gangguan ginjal akibat propofol. (Stoelting, 2006)
5. Efek pada tekanan intraokular
Pembedahan laparaskopi dinilai berhubungan dengan peningkatan TIO dan posisi pasien saat laparoskopi meningkatkan resiko hipertensi okular. Pada kasus ini propofol menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO ini meningkat pada pasein yang juga mendapatkan isofluran. (Stoelting, 2006)
6. Efek pada koagulasi
Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada laporan yang menunjukkan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil mempengaruhi koagulasi darah dan menghambat agregasi trombosit melalui pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk tromboxan A2 dan faktor-faktor
pengaktivasi platelet/platelet-activating factor (PAF). (Stoelting, 2006) 7. Aplikasi Terapeutik Nonhipnotik
a. Efek antiemetik
Insiden mual dan muntah post operasi menurun pada pasien yang diberikan propofol. Dosis subhipnotik propofol (10-15 mg iv) mungkin digunakan untuk mengobati rasa mual dan muntah terutama jika bukan disebabkan rangsangan nervus vagus. Selama masa postoperasi, keuntungan propofol adalah onset kerja yang cepat dan tiada efek samping obat yang serius. Propofol memiliki efek umum dalam menatalaksana mual dan muntah pada konsentrasi yang tidak menimbukan efek sedasi. Efek antiemetik timbul pada pemberian propofol 10 mg diikuti dengan 10 mikrogram/kgBB/menit. Dosis subhipnotik propofol efektif menatalaksana rasa mual dan muntah akibat kemoterapi. Ketika induksi dan mempertahankan anestesi, penggunaan
propofol lebih efektif daripada pemberian ondansentron. (Stoelting, 2006)
b. Efek anti pruritus
Propofol 10 mg iv efektif untuk menatalaksana pruritus yang dihunbungkan dengan opioid neuraxis atau kolestasis. Kualitas analgesia tidak dipengaruhi propofol. Mekanisme efek antipruritus berhubungan kemampuan obat menekan aktifitas spinal. Terdapat suatu penelitian yang menunjukkan bahwa intratekal opioid menimbulkan pruritus melaliu eksitasi segmental dari sumsum tulang. (Stoelting, 2006)
c. Aktivitas antikonvulsan
Propofol merupakan antiepileptik dengan merefleksi GABA mediated presinaps dan postsinaps inhibition dari kanal ion klorida. Dosis propofol> 1 mg/kgBB iv menurunkan durasi kejang 35%-45% pada pasien yang mengalami elektrokonvulsif. (Stoelting, 2006)
d. Attenuation Bronkokonstriksi
Dibandingkan thiopental, propofol menurunkan prevalensi terjadinya mengi/wheezing setelah induksi dengan anestesia dan intubasi trakea pada pasien tanpa riwayat asma dan pasien dengan riwayat asma. Formula baru propofol yang menggunakan metabisulfit sebagai pengawet. Metabisulfit menimbulkan bronkokontriksi pada pasien asma. Pada studi di hewan, propofol tanpa metabisulfit menimbulkan stimulus ke nervus vagus yang menginduksi bronkokontriksi dan metabisulfit sendiri dapat meningkatkan kurang responnya saluran pernapasan. Setelah intubasi trakea, pasien dengan riwayat merokok, resistensi saluran pernapasan meningkat pada pasien yang mendapat propofol dan metabisulfit serta ethylenediaminetetraacetic (EDTA). Sehingga penggunaan bahan pengawet propofol meningkatkan resiko terjadinya bronkokontriksi. Propofol yang menginduksi bronkokontriksi pernah dilaporkan pada pasien dengan riwayat alergi. (Stoelting, 2006; D.L. Herr, et al, 2000)
A. 2 . Magnesium
I. Definisi
Magnesium adalah kation intraseluler yang penting sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzim. Sekitar 1-2% dari total magnesium yang ada di tubuh manusia tersimpan di dalam kompartmen, 67% tersimpan di tulang, dimana 31% sisanya terdapat diintraseluler. (Morgan, 2012)
Magnesium merupakan kation terpenting keempat didalam tubuh dan kedua terbesar di intrseluler setelah kalium. (Stoelting, 2006).
II. Keseimbangan Magnesium Normal
Rata-rata intake kalsium pada orang dewasa adalah 20-30mEq/d (240-370mg/d). Dari jumlah tersebut, hanya 30-40% yang diserap, utamanya di usus halus bagian distal. Ekskresi utamanya melalui ginjal, rata-rata 6-12mEq/d magnesium direabsorbsi secara efisien oleh ginjal. Duapuluh lima persen dari total magnesium yang di filtrasi direabsorbsi di tubulus proksimal, sedangkan 50-60% sisanya dreabsorbsi di bagian tebal pada lengkung henle. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium oleh ginjal diantaranya yaitu hipomagnesia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi ECF, alkalosis metabolik. Faktor-faktor yang meningkatkan ekskresi ginjal yaitu, hipermagnesia, acute volume expansion, hiperaldosteronism, hiperkalsemia, ketoasidosis, diuretik, deplesi fosfat, dan alkohol. (Morgan, 2012)
III. Konsentrasi Magnesium Plasma
Magnesium[Mg2+] plasma selalu diregulasi antara 1.7 dan 2.1mEq/L (0.7-1 mmol/dL atau 1.7-2.4 mg/dL). Walaupun mekanisme yang terlibat masih belum jelas, regulasi tersebut melibatkan interaksi dari traktus gastrointestinal(absorbsi), tulang(penyimpanan), dan ginjal(ekskresi). Sekitar 50-60% magnesium plasma berada dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi. (Stoelting, 2006; Akhtar et al, 2011).
IV. Peranan Magnesium
Magnesium merupakan penanda penting yang berfungsi sebagai kofaktor dalam banyak enzim pathway. Mg memodulasi dan mengontrol masuknya kalsium sel dan pelepasan kalsium dari membran sarkoplasma dan reticularendoplasma . Kontrol transportasi kalsium ini bertanggung jawab untuk banyak berperan terhadap fisiologis, di antaranya yang mengendalikan aktivitas neuron, rangsangan jantung, transmisi neuromuskuler, kontraksi otot, tonus vasomotor, tekanan darah dan aliran darah perifer. Peran fisiologis Mg seperti kalsium channel blocking di otot polos, otot rangka, dan sistem konduksi. Peranan magnesium juga sebagai analgesik seperti pada block reseptor NMDA. (Akhtar, et al, 2011)
Magnesium sangat kuat mempengaruhi fungsi transportasi ion membran sel jantung dan penting untuk mengaktivasi sekitar 300 sistem enzim, termasuk sebagian besar enzim yang dilibatkan dalam metabolisme energi. Adenosin trifosfat (ATP) benar-benar fungsional apabila dichelasi menjadi magnesium. Ion ini merupakan pengatur sel yang penting untuk akses kalsium kedalam dan aksi kalsium didalam sel. Magnesium mengatur tingkat kalsium intrasleuler dengan mengaktivasi pompa membran didalam sel yang mengekstrusi kalsium dan dengan bersaing dengan kalsium memperebutkan saluran transmembran yang dengannya kalsium ekstraseluler memperoleh akses ke bagian dalam sel. Magnesium merupakan antagonist fisiologis alami dari kalsium. Pelepasan presinaptik asetilkolin tergantung kepada aksi magnesium. Magnesium dapat memberikan efek analgesik dengan beraksi sebagai reseptor antagonist N-methyl-D-aspartate (NMDA). Meskipun demikian, pemberian magnesium IV perioperatif (50 mg/kg IV yang dikuti oleh 15 mg/kg/jam) tidak memiliki efek terhadap nyeri pasca operasi. Magnesium menghasilkan vasodilasi sistemik dan koroner, menghambat fungsi platelet dan mengurangi cedera reperfusi. (Morgan, 2012) 1. Peran Magnesium pada Jantung
bertindak sebagai antagonis kanal kalsium, Mg menstimulasi produksi postasiklin dan nitrit oksida vasodilator dan Mg juga merubah respon pembuluh darah terhadap agen vasokonstriktor. (Akhtar, et al, 2011)
Perubahan konsentrasi Mg serum dapat terjadi secara intraoperasi sesuai studi yang dilakukan Universitas Polandia.
Studi ini melibatkan dua puluh pasien pria berusia 50-69 tahun yang menjalani pompa CABG dibawah pengaruhi anestesi umum. Semuanya dioperasi karena penyakit koroner. Konsentrasi Mg dalam darah diperiksa dalam lima tahap: 1) sebelum induksi anestesi; 2) selama sirkulasi ekstrakorporeal; 3) setelah operasi; 4) pagi hari pertama pasca operasi; 5) pagi hari kedua pasca operasi. Konsentrasi Mg dalam darah ditentukan menggunakan metode spektofotometri. Konsentrasi Mg darah menurun selama sirkulasi ekstrakorporeal dan sesaat setelah operasi, sementara peningkatan konsentrasi Mg ditemukan pada pagi hari pertama dan kedua pasca operasi. CABG dengan sirkulasi ekstrakorporeal akan menimbulkan penurunan konsentrasi Mg darah yang signifikan. (David. S, et al,2011)
dibutuhkan untuk mengkonfirmasi apakan magnesium intravena dapat memperbaiki outcome pasien dalam kejadian aritmia yang berbeda-beda.(Dina. S, et al, 2014)
Magnesium direkomendasian untuk takikardi ventrikel tanpa pulsasi atau fibrilasi yang menyerupai Torsade de points. Mekanisme aksi magnesium pada Torsade de points masih belum jelas tapi diduga untuk memperpendek potensial aksi melalui kanal potasium miokard. Direkomendasikan dosis sebesar 1 hingga 2 gram dilarutkan dalam 10mL dekstrose 5% dan diberikan selama 5 hingga 20 menit. Pemberian yang cepat akan menimbulkan hipotensi, yang reversibel dengan pemberian kalsium.(Nidhi. B, et al, 2013)
Sifat antihipertensi magnesium berhubungan dengan sifat blokade kanal kalsium yang dimilikinya. Status magnesium memiliki efek langsung terhadap kemampuan relaksasi otot polos pembuluh darah dan regulasi penempatan seluler kation lain yang penting pada tekanan darah – rasio sodium:potasium seluler (Na:K) dan kalsium intraseluler (iCa2+). Sebagai hasilnya, magnesium nutrisional memiliki dampak langsung dan tak langsung pada tekanan darah pada kejadian hipertensi. (Nidhi. B, et al, 2013)
Telah terbukti bahwa suplementasi magnesium pada pasien anak-anak yang menjalani operasi jantung akan mencegah timbulnya takikardi ektopik jungsional.( Dina. S, et al, 2011)
2. Hipertensi Pulmonal dan Magnesium (Akhtar, et al, 2011)
Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonal rata-rata yang lebih dari 25 mmHg saat istirahat dan lebih dari 30 mmHg ketika beraktivitas.
yang tidak berespon terhadap hiperventilasi mekanis lalu dirawat dengan infus magnesium sulfat. Sembilan dari sepuluh bayi selamat dan satu meinggal. Perbedaan antara rata-rata AaDo2, indeks oksigen dan PH setelah hiperventilasi mekanis dan pemberian magnesium sulfat ternyata signifikan. Magnesium memiliki peran dalam terapi pasien PPHN yang tidak berespon terhadap hiperventilasi.
Strategi pencarian standar pada Cochrane Neonatal Review Group (CNRG) digunakan untuk mengetahui peran Mg. Dilakukan pencarian randomized maupun quasi-randomized trial yang relevan pada COCHRANE CENTRAL dan MEDLINE (1966 hingga 20 April 2007). Magnesium sulfat dapat mendilatasi konstriksi otot pada arteri pulmonal. Namun, aksi ini tidak spesifik dan ketika diberikan melalui infus, malah akan bertindak pada otot lain di tubuh termasuk arteri lain. Ini berarti bahwa bahkan jika ditemukan efektif untuk hipertensi pulmonal, aksi yang tidak diinginkan pada bagian tubuh lain bisa menimbulkan masalah.
Review ini menemukan bahwa penggunaan magnesium sulfat untuk PPHN masih belum diuji dalam RCT. Untuk dapat membuktikan manfaatnya, maka diperlukan RCT.
3. Peran dalam Obstetri (Douglas, et al, 2013)
Mg berperan dalam manajemen preeklamsia dan eklamsia. Magnesium mencegah atau mengontrol kejang dengan memblok transmisi neuromuskuler dan menurunkan pelepasan asetilkolin pada terminal saraf motoris. Efek antihipertensinya dikarenakan sifatnya pada blokade kanal kalsium.
meringankan iskemi serebral, vasodilatasi ini dapat membantu menjelaskan kenapa magnesium sulfat memiliki sifat anti kejang pada preeklamsi. Namun aturan dosis dan efektivitasnya masih empiris, karena tidak ada RCT yang menunjukkan apakah magnesium sulfat berguna dan berapa level terapetiknya untuk dapat mencegah kejang, tapi nilai sebesar 3-6mg% dianggap sebagai terapetik.
Pemberian magnesium pada pasien obstetri dengan risiko kelahiran preterm akan memberikan neuroproteksi pada bayi preterm sebagaimana terbukti pada banyak studi.
Penggunaan magnesium untuk terapi kelahiran preterm masih belum seberapa terbukti. Magnesium sulfat kadang digunakan sebagai tokolitik untuk memperlambat kontraksi uterin selama kelahiran preterm. Tapi beberapa studi menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak menghentikan kelahiran preterm dan ini magnesium sulfat dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayi.
Karena magnesium sulfat merelaksasikan hampir sebagian besar otot, bayi yang terpapar magnesium melebihi periode waktu tertentu akan terlihat lemah ketika lahir. Efek ini biasanya akan menghilang ketika obat ini telah dibersihkan dari sistem sirkulasi bayi.
Tidak boleh memberikan magnesium sulfat atau obat serupa pada wanita dengan kondisi medis yang dapat memberat akibat efek samping di atas. Ini termasuk wanita dengan miastenia gravis (gangguan otot) atau distrofi otot.
4. Peran dalam ICU (David. S, et al, 2011)
Defisiensi magnesium seringnya terjadi pada penyakit kritis dan berhubungan dengan tingginya mortalitas dan outcome klinis yang buruk di ICU.
Sebuah studi retrospektif dilakukan pada 100 pasien berusia 16 tahun dan dirawat di ICU bedah medis pada Rumah Sakit Universitas selama periode 2 tahun. Observasi dilakukan pada kadar magnesium serum total ketika masuk, sejumlah tes lab terkait magnesium, kebutuhan akan ventilator, durasi ventilasi mekanis, lama waktu mondok/ICU, dan demografi pasien secara umum. Dapat disimpulkan bahwa berkembangnya dipomagnesemia selama dirawat di ICU berhubungan dengan prognosis yang mengkhawatirkan. Monitoring level
magnesium serum berdampak pada prognosis dan mungkin efek terapetiknya juga.
5. Magnesium dan Tetanus (Emily, et al, 2010)
Penyebab kematian tersering seseorang dengan tetanus berat tanpa ventilasi mekanis adalah gagal napas terkait spasme, sementara pada pasien dengan ventilasi adalah disfungsi otonom terkait tetanus. Sebuah randomized double blinded placebo controlled study dilakukan utnuk menemukan apakah infus magnesium sulfat kontinyu akan menurunkan perlunya ventilasi mekanis dan apakah akan memperbaiki kontrol spasme otot dan instabilitas otonom. Tidak ada perbedaan dalam kebutuhan ventilasi mekanis antara individu yang dirawat dengan magnesium dan plasebo (OR 0,71, 95% CI 0,36-1,40; p=0,324), tingkat survival juga sama pada kedua kelompok. Namun, dibandingkan dengan kelompok plasebo, pasien yang mendapat magnesium akan secara signifikan lebih sedikit memerlukan midazolam (7,1 mg/kg per hari [0,1-47,9] vs 1,4 mg/kg per hari [0,0-17,3]; p=0,026) dan pipecuronium (2,3 mg/kg per hari [0,0-33,0] vs 0,00 mg/kg per hari [0,0-14,8]; p=0,005) untuk mengontrol spasme otot dan takikardi yang terjadi. Individu yang mendapat magnesium akan 3,7 (1,4-15,9) kali lebih tidak membutukan verapamil untuk mengatasi instabilitas kardiovaskuler dibanding pada kelompok plasebo. Insidensi kejadian tidak diinginkan pada kedua kelomopok tidaklah berbeda. Dapat disimpulkan bahwa infus magnesium tidak menurunkan kebutuhan ventilasi mekanis pada orang dewasa dengan tetanus berat tapi memang menurunkan kebutuhan akan obat-obatan lain untuk mengontrol spasme otot dan instabilitas kardiovaskuler.
6. Magnesium dan Asma (Gautam, et al, 2013)
Pada asma alergi didapatkan peningkatan stimulasi IgE yang menimbulkan pelepasan histamin. histamin menyebabkan bronkospasme melalui kontraksi otot polos yang diperantarai kalsium. Magnesium merupakan antagonis bronkospasme karena memiliki sifat blokade kanal kalsium.
dari sejumlah pilihan terapi yang bisa diberikan selama eksaserbasi akut. Disaat efikasi magnesium sulfat intravena telah dibuktikan, masih sedikit yang diketahui mengenai magnesium sulfat inhalan. RCT didapatkan dari Cochrane Airways Group “Asthma and Wheeze”. Penelitian ini disuplemen dengan trial yang
ditemukan dalam daftar referensi studi yang diterbitkan. Studi-studi ini ditemukan menggunakan teknik pencarian elektronik ekstensif, begitu juga review mengenai gray literature dan conference proceedings. Didapatkan enam penelitian yang melibatkan 296 pasien. Empat penelitian membandingkan antara nebulasi MgSO4
disertai beta2 agonis dengan beta agonis. Dua studi membandingkan MgSO4
dengan beta2 agonis saja. Tiga studi hanya melibatkan orang dewasa dan 2 studi hanya melibatkan pasien pediatri. Tiga studi melibatkan pasien dengan asma berat. Secara keseluruhan, ada perbedaan signifikan pada fungsi paru antar pasien yang mendapat terapi nebulasi MgSO4 disertai beta2 agonis, namun lama mondok
pada kedua kelompok tidak jauh beda. Analisis subgrup tidak menunjukan perbedaan signifikan pada perbaikan fungsi paru antara orang dewasa dan anak, atau antara asma berat, ringan maupun moderat. Simpulan terkait terapi dengan nebulasi MgSO4 saja sulit dibuat karena masih sedikitnya penelitian di bidang ini.
Nebulasi MgSO4 disertai beta2 agonis pada terapi eksaserbasi asma akut
tampaknya memiliki manfaat terkait perbaikan fungsi paru dan ada kecenderungan pada waktu mondok yang lebih baik. Heterogenitas antar penelitian yang dilibatkan dalam review ini membuat tidak bisa menarik simpulan yang lebih definitif.
Lima randomised placebo controlled trials yang melibatkan total 182 pasien telah didapatkan. Mereka membandingkan magnesium sulfat intravena dengan plasebo dalam menerapi pasien pediatri dengan serangan asma moderat hingga berat di IGD, dengan terapi tambahan berupa inhalasi beta2 agonis dan steroid sistemik. Magnesium sulfat intravena memberikan manfaat tambahan pada asma akut sedang hingga berat pada anak yang diterapi dengan bronkodilator dan steroid.
7. Magnesium dan Respon Intubasi Laringoskopik
Peran magnesium dalam menurunkan respon intubasi telah berkembang. Magnesium memiliki sifat vasodilatasi langsung pada arteri koroner dan magnesium juga dapat menghambat pelepasan katerkolamin, sehingga menurunkan efek hemodinamik selama intubasi endotrakea. Magnesium juga merupakan antagonis fisiologi dari kalsium, yang memainkan peran penting pada pelepasan katekolamin dalam responnya terhadap stimulasi simpatetik. Puri et al menemukan magnesium lebih baik dalam menurunkan respon tekanan pada intubasi endotrakeal begitu juga dalam menimbulkan perubahan ST yang lebih rendah pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang akan menjalani operasi CABG. (Dina, et al, 2014)
Sebuah studi dilakukan untuk menemukan dosis optimal magnesium yang menyebabkan penurunak respon kardiovaskuler setelah laringoskopi dan intubasi endotrakeal. (Dina, et al, 2014)
Dalam sebuah RCT double blind, 120 pasien ASA-1 berusia 15-50 tahun, yang merupakan kandidat operasi elektif, dipilih dan diklasifikasikan dalam 6 grup (masing-masing 20 pasien). Denyut nadi dan tekanan darah diukur dan direkam pada 5 menit sebelum pemberian obat, berdasarkan kelompok yang berbeda, pasien yang mendapat magnesium sulfat adalah sama dalam semua grup dan denyut nadi serta tekanan darah diukur dan direkam sebelum intubasi dan juga pada 1, 3 dan 5 menit setelah intubasi (sebelum insisi). Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada tekanan daarah, denyut nadi, Train of Four (TOF), dan komplikasi antara kelompok yang mendapat magnesium tapi perbedaan signifikan pada parameter ini tampak antara magnesium dan Lidokain. (Dina, et al, 2014; Nidhi, et al, 2013)
Dapat disimpulkan bahwa preterapi dengan dosis magnesium berbeda memiliki efek penurunan yang aman pada respon kardiovaskuler yang lebih efektif daripara preterapi dengan Lidokain. (Dina, et al, 2014)
8. Magnesium dalam Menurunkan Kebutuhan Analgesik
banyak diketahui untuk menerapkan pendekatan polifarmakologi pada terapi nyeri postoperasi, karena belum ada agen khusus yang diketahui menghambat nosisepsi tanpa menimbulkan efek samping.(Mahendra, et al, 2013)
Magnesium merupakan calcium channel blocker dan antagonis reseptor non-competitive N-methyl-D-aspartate (NMDA). Magnesium sulfat telah terbukti sebagai ajuvan untuk analgesi intra dan postoperasi pada proses operasi yang berbeda termasuk ginekologi, ortopedi, toraks dan lain-lain. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa magnesium sulfar perioperasi akan menurunkan kebutuhan anestesi dan memperbaiki analgesi postoperasi. Namun, beberapa studi telah menyimpulkan bahwa magnesium memiliki efek yang terbatas bahkan sama sekali tidak ada.(Christopher, et al,2010)
9. Intravenous Regional Anesthesia (IVRA) Menggunakan Lidokain dan Magnesium (Akhtar, et al. 2011)
IVRA merupakan salah satu bentuk anestesi regional paling sederhana dengan keberhasilan yang tinggi. Namun, IVRA terbatas pada nyeri torniket dan IVRA tidak mampu menghasilkan analgesi postoperasi. Untuk memperbaiki kualitas blok, memperpanjang analgesi postdeflasi, dan menurunkan nyeri torniket, aditif berbeda telah digabungkan dengan anestesi lokal dengan keberhasilan yang terbatas.
Mekanisme aksi magnesium sebagai ajuvan IVRA bersifat multifaktorial. Mekanisme aksi magnesium selain yang disebutkan di atas juga telah banyak diteliti. Studi melaporkan bahwa magnesium memiliki efek vasodilatasi yang dipicu oleh endothelium-derived nitic oxide. Nitrit oksida menyebabkan aktivasi guanil siklase dan meningkatkan siklik guanin monofosfat, yang memperantarai relaksasi otot polos vaskuler. Nitrit oksida juga merupakan inhibitor poten adesi netrofil pada endotel pembuluh darah.
mg/kg lidokain 0,5% yang dilarutkan dengan salin hingga total 40 mL pada kelompok C atau dengan 10 mL magnesium sulfat 15% (12,4 mmol) ditambah 3 mg/kg lidokain 0,5% yang dilarutkan dengan salin hingga total 40 mL pada kelompok M. Kualitas anestesi, sebagaimana ditentukan oleh ahli anestesi dan dokter bedah, lebih baik pada kelompok M (p<0,05). Waktu hingga permintaan analgesi postoperasi pertama pada kelompok C adalah 95 ± 29 menit dan pada kelompok M 155 ± 38 menit (p<0,05). Konsumsi diklofenak secara signifikan lebih rendah pada kelompok M (50 ± 35 mg) ketika dibandingkan dengan kelompok C (130 ± 55 mg) (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa magnesium sebagai ajuvan lidokain akan memperbaiki kualitas anestesi dan analgesi pada IVRA.
10.Magnesium dan Menggigil (David, et al, 2011)
Hipotermi mungkin merupakan terapi efektif untuk stroke atau infark miokard akut; hipotermi menimbulkan gigilan yang hebat, yang berpotensi menyebabkan respon hemodinamik berbahaya dan mencegah timbulnya hipotermi lebih lanjut. Magnesium merupakan agen anti menggigil atraktif karena magnesium digunakan untuk terapi menggigil pasca operasi dan memberikan proteksi terhadap injuri iskemik pada binatang percobaan. Kami menguji hipotesis bahwa magnesium menurunkan ambang batas (memicu temperatur inti) dan menambah menggigil tanpa sedasi substansial atau kelemahan otot.
Magnesium secara signifikan menurunkan ambang batas menggigil. Namun, dalam sudut pandang penurunan yang absolut, temuan ini dianggap tidak penting secara klinis untuk induksi hipotermi terapetik.
Table 2.1. Medical Uses of Magnesium
11.Peran Magnesium dalam Peokromositoma (Miller, 2009)
Magnesium memiliki efek anti adrenergik. Efek anti adrenergik ini merupakan satu dari sekian banyak yang dimiliki magnesium terutama efeknya sebagai antagonis kalsium. Kalsium bertanggung jawab untuk respon stimulus dengan meningkatkan pelepasan katekolamin dari medula adrenal dan terminal saraf adrenergik. Efek anti adrenergik bersamaan dengan sifat anti aritmia dan vasodilator akan berujung pada peran Mg pada operasi peokromositoma.
Pada salah satu uji klinis, kelompok studi diberikan magnesium sulfat intravena 60 mg/kg sebelum intubasi. Kelompok studi tersebut secara nyata menunjukkan peningkatan lonjakan katekolamin yang lebih sedikit setelah intubasi dan perubahan heart rate dan tekanan darah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok kontrol
V. Gejala Klinis yang berhubungan dengan ketidakseimbangan Kadar Magnesium Serum
(Douglas, et al 2013)
Defisiensi magnesium disebabkan oleh multifaktorial. Defisiensi magnesium ditemukan pada 7-11% pasien mondok dan dibarengi dengan ketidakseimbangan elektrolit lainnya seperti potasium dan fosfat pada 40% kasus dan sisanya sodium dan kalsium. Absorbsi magnesium dan kalsium saling berhubungan, maka defisiensi keduanya sering ditemukan bersama-sama. Hipokalsemia meningkatkan sekresi hormon paratiroid (PTH). Hipomagnesemia mengganggu pelepasan PTH yang dipicu hipokalsemia, dapat dikoreksi dalam beberapa menit dengan infus magnesium. Magnesium juga diperlukan untuk sensitivitas jaringan target terhadap PTH dan metabolit vitamin D. Selain interaksi dengan kalsium, magnesium memiliki efek yang besar pada regulasi pergerakan sodium dan potasium transmembran. Hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D menstimulasi penyerapan kembali (reabsorbsi) magnesium di ginjal dan usus halus, dimana insulin dapat menurunkan ekskresi magnesium di ginjal dan meningkatkan pengambilan tingkat sel ( David et al, 2011).
Definisi hypomagnesemia adalah suatu keadaan dimana kadar magnesium plasma kurang dari 0,7 mMol/L dan disebabkan terutama oleh asupan diet yang inadequate dan atau ekskresi dari ginjal dan system gastrointestinal.
Gejala klinis secara signifikan terlihat pada keadaan dimana kadar magnesium serum dibawah 0,5 mMol/L yang sering kali berhubungan dengan diare, muntah- muntah, penggunaan diuretik kuat dan thiazide, ACE inhibitor, cisplatin, aminoglycoside, atau penggunaan obat-obat nefrotoksik, dan beberapa kelainan endokrin seperti penyakit parathyroid, hyperaldosteronism, dan kronik alcoholism. Diabetes mellitus sangat kuat berhubungan dengan hypomagnesemia, kemungkinan karena peningkatan ekskresi urin. Hypomagnesemia juga dapat terjadi pada pasien-pasien perioperatif dan sering ditemukan pada pasien yang menjalani prosedur operasi cardiothoracic atau operasi abdominal mayor dan thyroidectomi. ( Akthar et al, 2011)
Defisiensi magnesium sering berdampak pada gangguan jantung dan neuromuscular. Gejala klinis termasuk mual muntah, kelemahan otot, kejang, fasiculasi otot, dan perubahan pada gambaran electrocardiogram seperti perpanjangan PR interval, QT interval, penyusutan gelombang T, aritmia seperti
Torsades de pointes. Hypomagnesemia juga sering kali berhubungan dengan gangguan elektrolit sebagai hypokalemia dan hypocalcemia. (David et al 2011)
VI. Toksisitas Magnesium
Toksisitas magnesium sangat jarang terjadi kecuali pada kasus tertentu dimana gagal ginjal mencegah eksresi urin (misal, pada situasi dimana obat mengandung magnesium diberikan pada pasien dengan disfungsi ginjal). Gejala seperti depresi SSP, paralisis otot skelet, dan pada kasus ekstrim berupa koma dan kematian. Seiring meningkatkan magnesium plasma melebihi 4 meq/L, refleks tendon dalam adalah yang pertama kali menurun dan kemudian menghilang seiring kadar plasma mendekati 10 meq/L. Pada level ini dapat terjadi paralisis respiratoris. Henti jantung juga dapat disebabkan oleh kadar magnesium plasma yang rendah. Konsentrasi magnesium serum lebih dari 12 meq/L juga bisa berakibat fatal.(Barash, 2006)
Antidotum toksisitas magnesium adalah kalsium glukonat (10% dalam 10 mL larutan selama 10 menit) melalui injeksi intravena perlahan. Pasien akan memerlukan monitoring EKG selama dan setelah injeksi karena berpotensi timbul aritmia. Resusitasi dan ventilator harus tersedia selama dan sesudah pemberian magnesium sulfat dan kalsium glukonat.(Akhtar, et al, 2011)
A.3. Efek Propofol Terhadap Magnesium di Membran Sel
Propofol adalah relative modulator selektif dari reseptor GABAA dan tidak
menunjukkan aktivitas memodulasi ikatan kanal ion lainnya pada konsentrasi klinis. Ketika reseptor GABAA teraktivasi, terjadi peningkatan konduksi
chloride di transmembran, yang menghasilkan hyperpolarisasi pada membrane sel postsinaps dan berfungsi menghambat neuron postsinaps (Stoelting, 2006).
Propofol memiliki multi efek yang nyata pada fungsi reseptor GABAA, yaitu
mempotensiasi aliran GABA, aktivasi langsung terhadap reseptor, dan memodulasi efek desensitivasi (Donglin et al, 1999). Propofol bersifat inotropik negatif melalui penurunan kalsium intra sel dan menghambat influks kalsium trans sarkolema ( Muzzi et al, 1997 ).
Gamma Amino Butiric Acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitor, artinya akan menghalangi penghantaran impuls di serabut saraf. GABA akan membuka gerbang ion chloride yang bermuatan negative sehingga serabut saraf
Douglas, et al, 2013
akan bermuatan sangat negative. Dengan begitu impuls sulit untuk dihantarkan melalui serabut saraf (Ikawati , 2008).
Reseptor GABA terbagi dalam tiga tipe, yaitu reseptor GABAA, GABAB,
GABAC. Reseptor GABAA dan GABAC merupakan keluarga reseptor
ionotropik, sedangkan GABAB adalah reseptor metabotropik (terkait dengan
protein G). Reseptor GABAA dan GABAC masing-masing terkait dengan kanal
Cl dan memperantarai penghambatan sinaptik yang cepat. Namun walaupun sama-sama ionotropik, reseptor GABAA dan GABAc berbeda secara biokimia,
farmakologi, fisiologi. Reseptor GABAA secara selektif dapat dibolak-balik oleh
alkaloid bicuculin dan dimodulasi oleh obat golongan benzodiazepine, barbiturate, dan steroid, sedangkan reseptor GABAC tidak ( Ikawati , 2008 ).
GABAA merupakan neurotransmitter inhibitor utama di system saraf pusat
mamalia dan terdapat pada hampir 40% saraf. Reseptor GABAA merupakan
komplek protein heterooligomerik yang terdiri dari sebuah tempat ikatan GABA (GABA binding side) yang terhubung dengan kanal ion Cl .
Gambar 2.2. Kompleks protein Heterooligomerik Reseptor GABAA.
Reseptor GABA tersebut terdiri dari lima subunit yaitu dua alpha, dua beta dan satu sub-unit gamma. Mengaktifkan molekul GABA dengan mengikat reseptornya pada bagian subunit alpha. Sekali diaktifkan reseptor tersebut memungkinkan bagian dari ion ke bermuatan negative sitoplasma, yang menghasilkan hiperpolarisasi dan inhibisi dari neurotransmission.
Proses neurotransmitter GABA :
1. GABA diseintesis pada ujung saraf presinaptik, dan disimpan didalam vesikel sebelum di lepaskan.
2. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi menyebrangi celah sinap.
3. Setelah GABA berdifusi, GABA akan menduduki tempatnya yaitu di GABA binding site, diamana GABA jenis ini terkait ion Cl sehingga memperantarai ion Cl untuk masuk dan menyebabkan efek pada postsinap.
4. GABA yang sudah terdisosiasi dari reseptornya akan diambil kembali sehingga tertutupnya kanal Cl , GABA yang diambil untuk di re-uptake kembali kedalam ujung presinaptik atau ke dalam sel glia dalam bentuk GABA dengan bantuan transporter GABA.
5. Reseptor GABA A juga memiliki tempat ikatan untuk obat-obat golongan barbiturat yang disebut barbiturate binding site dan untuk golongan benzodiazepine disebut benzodiazepine binding site atau sisi alosterik reseptor. Suatu obat dapat bereaksi dengan sisi alosterik menyebabkan efek agonis. Aktivasi GABA oleh neurotransmitternya menyebabkan membukanya kanal Cl dan lebih lanjut akan memicu terjadinya hiperpolarisasi yang akan menghambat penghantaran potensial aksi, inilah yang menyebabkan efek sedasi dan anestesi.
6. Benzodiazepine dapat mempotensiasi penghambatan transmisi sinaptik GABAergik dengan cara berikatan dengan reseptor GABA A dan bekerja dengan meningkatkan afinitas reseptor GABA pada tempat ikatannya (binding site) sehingga meningkatkan frekuensi pembukan kanal ion Cl dan memaksimalkan kesempatan Cl mengalir.
Gambar 2.3. Hubungan Reseptor GABA dan Reseptor Glutamat.
Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemberian anestesi intravena seperti propofol memiliki efek potensial terhadap parameter laboratorium, salah satunya adalah efek terhadap penurunan kadar ion magnesium dalam serum. Dari beberapa jurnal diketahui bahwa hiperglikemia berhubungan erat dengan penurunan kadar magnesium serum (Liamis et al. 2014).
Telah diketahui sebelumnya bahwa prinsip utama mekanisme aksi anestesi intravena adalah menginduksi transmisi inhibisi dan menghambat transmisi ekstasi pada neuron (Morgan et al. 2013). Anestesi intravena dalam hal ini propofol bekerja dengan mengaktivasi reseptor neurotransmiter inhibisi seperti GABAA , serta mengaktivasi kanal ion kalium sehingga menyebabkan influk
kalium dan terjadi hiperpolarisasi pada level presinapsis dan postsinapsis. Selain itu, anestesi intravena juga bekerja dengan menghambat transmisi eksitasi melalui inhibisi terhadap reseptor glutamat (NMDA dan AMPA), kanal ion natrium, dan kalsium sehingga mencegah timbulnya depolarisasi neuron (Perouansky et al. 2009).
neurotransmiter eksitasi utama pada SSP. Ikatan pada reseptor glutamat akan meningkatkan pembukaan kanal dan mempertahankan neurotransmisi dengan meningkatkan konduksi natrium dan kalsium. Reseptor ini secara fisiologis memiliki peran dalam area memori dan pembelajaran di dalam hipocampus. Selain konduksi natrium dan kalsium, ikatan reseptor glutamat juga meningkatkan konduksi magnesium (Dilger 2002, Campagna et al. 2003). Ketika agen anestesi intravena diberikan, maka terjadi hambatan pada reseptor glutamat. Dengan begitu, tidak terbentuk ikatan pada reseptor glutamat sehingga neurotransmisi akan terhambat karena hilangnya konduksi natrium dan kalsium, begitu juga dengan konduksi magnesium. Hilangnya konduksi magnesium akan membuat magnesium tetap berada di dalam sel dan tidak bisa berpindah menuju ekstrasel. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar magnesium ekstrasel yang berpengaruh pada penurunan kadar magnesium serum (Traynelis et al. 2010). Mekanisme inilah yang menjelaskan pengaruh pemberian propofol terhadap penurunan kadar magnesium serum.
Selain mekanisme langsung di atas, terdapat mekanisme tidak langsung yang dapat menjelaskan pengaruh pemberian propofol terhadap penurunan kadar magnesium serum. Propofol telah lama diketahui dapat menginduksi hiperglikemia (Myles P 1995). Kondisi hiperglikemia ini kemudian menyebabkan penurunan kadar magnesium serum pada pasien dengan pemberian propofol.
Peningkatan kadar glukosa setelah pemberian propofol disebabkan karena adanya penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, peningkatan produksi glukosa hepar, dan penurunan respon insulin terhadap glukosa. Penyebab utama dari hiperglikemia ini adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Metabolisme glukosa dipengaruhi oleh beberapa kondisi selama periode perioperatif. Stres operasi meningkatkan aktivitas syaraf simpatis, yang berakibat pada naiknya hormon katabolik dan menurunkan sekresi insulin (Johan JAI 2011).
Terdapat dua mekanisme utama yang dianggap menjadi penyebab penurunan sekresi insulin yaitu jalur K-ATP dependent dan jalur α-2 adrenergik. Anestesi
kalium, termasuk kanal ion K-ATP dependent. Anestesi intravena dalam hal ini
propofol bekerja dengan meningkatkan aktivitas K-ATP dependent. Aktivasi kanal
ini akan membuka kanal K-ATP pada mitokondria pankreas sehingga
menyebabkan perubahan metabolisme mitokondria. Efek yang terjadi pada perubahan metabolisme mitokondria itu adalah menurunnya sekresi insulin dari sel beta pankreas sehingga terjadi hiperglikemia . Agen anestesi intravena lain seperti ketamin memiliki mekanisme aksi dengan meningkatkan aktivitas α-2 adrenergik. Peningkatan aktivitas pada reseptor ini akan menyebabkan produksi glukosa endogen pada sel hepar sehingga terjadi hiperglikemia akut selama pemberian agen anestesi (Myles P 1995).
Insulin merupakan modulator penting bagi magnesium intraseluler. Dalam penelitian in vitro dan in vivo, insulin memodulasi pergeseran magnesium dan mengatur konsentrasi magnesium dengan stimulasi pompa ATPase membran plasma serta uptake magnesium eritrosit (Takaya et al. 2004). Penurunan sekresi insulin akibat pemberian propofol dapat menyebabkan gangguan pada regulasi tersebut dan menimbulkan penurunan kadar magnesium serum. Insensitivitas terhadap insulin berefek pada transport magnesium intraseluler. Selain itu, penurunan kadar magnesium serum pada kondisi hiperglikemia juga disebabkan oleh adanya peningkatan diuresis osmotik sehingga menimbulkan penurunan absorbsi magnesium oleh tubulus ginjal dan peningkatan ekskresi magnesium melalui ginjal (Dasgupta et al. 2012).
Pada perkembangan otak, kebanyakan sinap glutamat bermula dari AMPA silent tetapi dapat mengirim sinyal terhadap reseptor NMDA. Saat aktivitas presinap saling berkombinasi dengan depolarisasi postsinap, penghambatan kanal NMDA yang bergantung pada tegangan Mg2+ kemudian menghilang dan sinyal AMPA menjadi aktif. Karena GABA memiliki efek eksitasi pada perkembangan neuron, maka GABA mungkin mendukung kebutuhan depolarisasi untuk mengaktifkan sinap AMPA silent melalui sebuah mekanisme yang bergantung pada reseptor NMDA ( Doris, 2008 ).
jantung. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengeluaran glukosa hepatik meningkat selama anestesi dengan propofol pada tikus, sehingga menyebabkan hiperglikemi ( Shekoufeh 2013 ).
B. Penelitian yang Relevan
Tae Dong Kweon et al. 2009 meneliti penurunan kadar magnesium serum selama proses anestesi umum, terutama disebabkan oleh efek dari hemodilusi, renal loss, dan stimulasi adrenergic. Dan hypomagnesemia pernah dilaporkan selama induksi anestesi dengan menggunakan propofol.
Cohen et al. 2004 meneliti pada pasien anak (pediatri) memperlihatkan bahwa ion calcium menurun secara signifikan, namun ion magnesium tidak berubah selama proses anestesi umum dengan induksi propofol dan sevoflurane. Dijelaskan bahwa penurunan ion calcium kemungkinan disebabkan oleh tindakan hyperventilasi yang sering dilakukan pada proses anestesi umum.
C. Kerangka Pikir
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Saat ini telah banyak digunakan obat-obat induksi pada anestesi umum. Diantaranya yang sering digunakan adalah propofol sebagai obat induksi anestesi secara intravena. Propofol menyebabkan anestesi dengan kecepatan yang sama dengan barbiturat intravena, tetapi pemulihannya lebih cepat. Propofol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Penggunaan propofol 1,5-2,5 mg/kgBB dengan penyuntikan cepat (<15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu kurang dari 30 detik.
Terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa pemberian propofol baik pada saat induksi maupun pada saat pemeliharaan operasi namun dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum yang cukup bermakna. Hal ini disebabkan karena perpindahan magnesium ke intra seluler akibat efek langsung obat-obat induksi anestesi terhadap membran sel itu sendiri. Kerangka pikir secara skematis dapat dilihat pada diagram dibawah ini.
Keterangan:
Perpindahan Mg2+ intrasel menuju ekstrasel
renal ↑ transport Mg2+intrasel Anestesi Umum Intravena
Memfasilitasi transmisi inhibisi (hiperpolarisasi) dan menghambat transmisi eksitasi (depolarisasi)
Propofol
D. Hipotesis
Terdapat pengaruh pemberian propofol sebagai obat induksi anestesi terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar magnesium serum.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat Rumah Sakit Umum Daerah
Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan April - Mei 2015.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kwantitatif observasional dengan
pendekatan Cross Sectional dengan rancangan penelitian pre dan post yang meneliti
pengaruh pemberian propofol sebagai obat induksi terhadap kadar magnesium
serum.
Gambar 3.1. Desain penelitian Target populasi
Kriteria inklusi/eksklusi
Informed consent
Populasi terpilih
Propofol
Kadar magnesium serum post induksi Kadar magnesium serum pre induksi
3 menit
C. Populasi
Populasi yang diikut sertakan dalam penelitian ini adalah pasien berjenis
kelamin laki-laki atau perempuan yang menjalani pembedahan elektif dalam
anestesi umum dengan status fisik ASA I dan II berumur antara 17-60 tahun di
Instalasi Bedah Pusat RSUD dr. Moewardi dalam kurun waktu bulan April 2015.
D. Besar Sampel
Pada penelitian ini terdapat satu variabel bebas yaitu propofol dan variabel
independent yaitu kadar magnesium serum, maka besar sampel minimal dapat
menggunakan pedoman ”rule of thumb”. Dengan ”rule of thumb” maka besar
sampel yang diperlukan adalah 30 pasien.
1. Kriteria inklusi :
a. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam batas normal.
b. Penderita yang bersedia diikut sertakan dalam penelitian.
c. Pasien dengan status fisik ASA I dan II.
d. Pasien berumur antara 17-60 tahun.
2. Kriteria eksklusi :
a. Penderita dengan riwayat alkoholisme
b. Pasien dengan riwayat diabetes mellitus
c. Pasien defisiensi nutrisi
d. Pasien alergi terhadap propofol
e. Pasien PreEklampsi berat atau Eklampsi.
E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel tergantung: - Kadar magnesium serum.
2. Variable bebas :