• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transparansi Informasi, Kebebasan Komunikasi dan Karakteristik Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Transparansi Informasi, Kebebasan Komunikasi dan Karakteristik Masyarakat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

dan Karakteristik Masyarakat

Eko Harry Susanto Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta

ekos@fikom.untar.ac.id

Pendahuluan

Transparansi informasi merupakan salah satu perwujudan dari demokratisasi komunikiasi pasca reformasi politik tahun 1998. Hak masyarakat mencari, memperoleh dan menggunakan informasi sesuai dengan kebutuhannya dijamin oleh peraturan yang berupaya untuk menciptakan masyarakat informasi berkeadilan. Informasi merupakan kebutuhan penting ditengah derasnya arus informasi yang menerpa masyarakat. Tanpa pedoman yang terarah, informasi menjadi tidak bermanfaat, bahkan dapat membahayakan jika berasal dari sumber yang tidak jelas. Peraturan yang mendukung transparansi informasi adalah Undang – Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Didalamnya mengatur hak masyarakat untuk mengetahui dan mengawasai penyelenggaraan negara yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan dukungan UU KIP, Upaya masyarakat untuk mendapatkan informasi dari sumber yang dapat dipercaya memiliki landasan hukum kuat. Upaya mendapatkan informasi berkualitas merupakan hak azasi masyarakat di era demokratisasi komunikasi. Jika Prinsip transparansi informasi dilakukan dengan baik, maka partisipasi ataupun kepedulian masyarakat terhadap kinerja badan publik semakin nyata dalam kehidupan bernegara,

Namun persoalannya, ada berbagai faktor yang membuat transparansi informasi belum maksimal dilingkungan badan publik.

(2)

Laporan Triwulan ke 3 (tiga) dari Komisi Informasi Pusat, menunjukkan bahwa kepedulian badan publik terhadap transparansi informasi belum maksimal. Pengiriman 393 kuesioner kepada badan publik yang berkaitan dengan pelaksanaan UU KIP, hanya 198 kuesioner (50,3%) yang mengisi dan mengembalikan kepada Komis Informasi Pusat. Badan Publik tersebut menyangkut Kementerian, Pemerintah Provinsi, Lembaga Negara, Lembaga Non Struktural, BUMN, Perguruan Tinggi Negeri, dan Partai Politik Nasional (Sekretariat KIP, 2016)

Lembaga dalam sub-ordinat pemerintah ini mungkin saja menghadapi masalah birokrasi pelaporan atau masih merasa sebagai entitas dominan yang berhak mengatur rakyat dengan segala kewajibannya. Badan publik mengunggulkan nilai birokrasi dengan prosedur baku, tetapi kurang peduli terhadap faktor lain yang ideal. Ciri – ciri birokrasi menurut Max Weber adalah, adanya pembagian kerja, struktur hirarki berjenjang, memiliki aturan dan prosedur, profesionalisme dalam pekerjaan, dan dalam organisasi bersifat tidak pribadi / impersonal. (Myers dan Myers, 1988 : 21). Seharusnya badan publik dapat memotivasi masyarakat dalam membangun budaya keterbukaan untuk mencapai kesejahteraan rakyat dengan kerja profesional.

Di pihak lain, masyarakat juga memiliki berbagai karakteristik sosial kultural yang tidak sejalan dengan prinsip keterbukaan, khususnya jika menyangkut posisi atau peran elite dalam kekuasaan negara, tokoh masyakat dan pihak – pihak yang dihormati. Tidak dapat diabaikan, perilaku paternalistik yang selalu mengunggulkan kekuasaan masih melekat di masyarakat. Kondisi ini jelas tidak mendukung tercapainya transparansi informasi secara maksimal, karena ada perilaku inferior dari masyarakat ketika berhadapan dengan elite yang berkuasa di badan – badan publik.

Secara esensial, prinsip keterbukaan informasi publik masih menghadapi kendala dalam pelaksanaanya. Keterbukaan Informasi Publik belum mampu mengubah perilaku ketertutupan dengan segala dalih kerahasaiaan di lingkungan badan publik. Partisipasi masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap kinerja badan publik juga belum menjadi kebiasaan yang melekat untuk mendukung tercapainya masyarakat informasi yang sejahtera.

(3)

Berpijak pada uraian tersebut diatas, masalah penelitian ini adalah pelaksanaan transparansi informasi belum berjalan maksimal. Badan publik yang pada konteks ini institusi pemerintah, masih merasa sebagai organ kekuasaan yang berhak mengontrol informasi. Sedangkan masyarakat tetap mengunggulkan budaya komunikasi yang cenderung tertutup sebagai upayaa menjaga norma dalam kehidupan sehari - hari. Padahal UU KIP sudah memberikan keleluasaan bahwa setiap orang berhak memperoleh, mengetahui informasi publik pertemuan publik yang terbuka untuk umum melalui permintaan khusus kepada badan publik.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui manfaat dari transparansi informasi yang secara formal sudah berlaku sejak tahun 2008, apakah prinsip – prinsip legal dalam transparansi informasi sejalan dengan karakteristik masyarakat Indonesia, apa tujuan makro apa yang diharapkan dalam pelaksanaan transparansi informasi. Dengan penetapan tujuan diharapkan dapat memperoleh temuan yang memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas informasi publik.

Penelitian tentang transparansi informasi dari Universitas Padjadjaran, dengan topik “Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik (Analisis Kritis Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Pemerintahan Kota Bandung kepada Warga Kota)”, menunjukkan, bahwa sebagian besar masyarakat Kota Bandung kurang atau belum memahami keterbukaan informasi publik. (Setiaman dkk, 2013). Penelitian lain sebelumnya dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan Yayasan TIFA dengan topik Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi Dalam Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Hasil penelitian antara lain menunjukkan, bahwa perlu langkah serius untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan keterbukaan informasi publik (Pratikno dkk, 2012).

Untuk membahas dan mengkaji topik dalam penelitian digunakan konsep, teori dan paradigma yang menyangkut tentang transparansi informasi yang berkaitan dengan kebebasan komunikasi dalam kaitannya dengan hak masyarakat untuk tahu, komunikasi publik yang memfokuskan pada pesan, informasi dari badan publik, demokrasi

(4)

universal yang tidak ditafsirkan secara integralistik untuk kepentingan sendiri, dan karakteristik masyarakat tradisional yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Transparansi informasi merupakan kualitas informasi yang transparan dan dapat diakses oleh pengguna dari penyedia informasi (Turilli and Floridi, 2009 : 106). Dalam komunikasi, seringkali dihubungkan dengan kebebasan komunikasi dalam kerangka Freedom of Information Act - FOIA di berbagai negara,   merupakan suatu kebebasan dalam komunikasi yang dijamin oleh peraturan. Dalam konteks ini hak atas informasi merupakan hak azasi warganegara dalam mencari, memperoleh dan menggunakan informasi dilindungi oleh hokum yang berlaku.

Komunikasi publik seringkali dikaitkan dengan informasi yang disampaikan untuk publik, public affair, public hearing. Biasa dilakukan di tempat yang biasa disebut sebagai ranah publik sehingga harus dilakukan dengan terencana, berpijak kepada aturan dan norma yang berlaku. Tujuan supaya publik dapat menerima pesan atau informasi dengan jelas dan dapat memeprkecil munculnya penolakan terhadap isi pesan yang disampaikan. Komunikasi publik merupakan, “pernyataan yang ditujukan kepada publik tertentu dengan tekanan bahwa publik dimaksud memiliki minat dan kepentingan yang sama terhadap sesuatu hal” (Susanto, 2013 :53).

Sedangkan informasi publik menurut UU No.8/2008 tentang KIP merupakan informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Badan Publik dalam penelitian ini adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran

(5)

Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam Demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem pemerintahan, berkembang menjadi mitos yang dipandang dapat membawa kesejahteraan bagi bangsa – bangsa beradab (Huntington, 1995 :5) Sumber utama kewenangan ada di tangan rakyat, semua kekuasaan di pemerintahan harus berasal dari rakyat, dan harus diterima sebagai sesuatu yang sah (Urofsky, 2000 : 6). Tiga Prinsip dasar demokrasi adalah adanya pembagian kekuasaan sehingga tidak ada bagian yang sangat kuat, hak – hak individu dan minoritas harus dihargai karena itu mayoritas tidak boleh memakai kekuatannya untuk mencabut kemerdekaan mendasar setiap orang. Hakikatnya, demokrasi merupakan pertanggungjawaban pemerintahan demokratis, yang mungkin saja tidak bisa bertindak cepat tetapi setiap tindakan mendapat dukungan publik.

Karakter masyarakat Indonesia seringkali dihubungkan dengan kekuatan menjaga nilai sosial budaya dan memelihara norma dalam kehidupan sehari – hari. Namun masih memiliki kelemahan mentalitas akibat sistem nilai budaya negatif yang berasal dari bangsa sendiri, dan dari luar akibat penjajahan bangsa lain. Kelemahan mentalitas manusia Indonesia, diantaranya: (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; (2) sifat mentalitas yang suka menerabas; (3) sifat tak percaya kepada diri (Koentjaraningrat, 2004: 37-38)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif. Melalui metode kualitatif dapat mempelajari dan mengetahui lebih terinci situasi individu maupun kelompok – kelompok dan berbagai pengalaman yang sebelumnya tidak diketahui sama sekali. (Bogdan dan Taylor, 1992 : 24). Sejalan dengan itu, penelitian kualitatif mengandalkan sumber – sumber tertulis seperti dokumen, arsip, buku, makalah, website dan lain – lain. (Daulay, 2015:31). Pencarian data tentang transparansi informasi dan perilaku masyarakat, dititikberatkan pada data sekunder dan pustaka dari

(6)

berbagai sumber yang relevan dengan permasalahan yang muncul dalam penelitian.

Esensinya, metodologi penelitian ini, menitikberatkan pada pencarian data dan informasi dari dokumen tertulis maupun dokumen online yang berhubungan dengan masalah yang dieksplorasi. Penelusuran data dimulai dengan pemahaman terhadap eksistensi dari pengertian dan pemahaman terhadap transparansi informasi yang tercantum dalam Undang – Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selanjutnya berbagai pernyataan dan teks yang krusial dengan transparansi informasi dipilih untuk dieksplorasi untuk dikaitkan dengan data maupun informasi karakteristik masyarakat tradisional. Dengan motode kualitatif, diharapkan mampu mengetahui lebih mendalam terhadap fokus penelitian yang diamati, permasalahan maupun pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian yang ditetapkan (Susanto, 2015:33)

Hasil Penelitian dan Diskusi

Pembahasan hasil penelitian dipaparkan dalam tiga temuan yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Ketiga hal tersebut adalah, pertama, transparansi merupakan faktor penting sebagai pendukung kebebasan komunikasi. Kedua, perilaku dan karakteristik ketertutupan masyarakat yang masih melekat dan dipertahankan dalam kehidupan sehari – hari merupakan hambatan dalam pelaksanaan transparansi informasi. Sedangkan yang ketiga, transparansi merupakan fondasi menuju masyarakat informasi berkeadilan di Indonesia.

Transparansi Informasi Sebagai Pendukung Kebebasan Komunikasi

Transparansi informasi diperlukan dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis dalam pelayanan publik. Dengan prinsip keterbukaan, masyarakat dapat berperanserta dalam menagawasi kinerja institusi dibawah kekuasaan negara agar tidak menyimpang dari tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan publik yang baik. Sebagaimana dikemukakan dalam UU No.14/2008, informasi merupakan keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

(7)

secara elektronik ataupun nonelektronik. Dalam perspektif demokrasi komunikasi, informasi yang disebarkan pemerintah atau badan publik harus dikelola untuk kepentingan masyarakat.

UU KIP, adalah payung hukum upaya masyarakat dalam mencari, memilih sumber dan menyalurkan informasi yang faktual dan dapat dipercaya. Badan publik, harus menyesuaikan dengan ketentuan yang memberikan hak memperoleh informasi kepada masyarakat yang membutuhkan, untuk mewujudkan penyelengaraan negara yang terbuka. Hak atas informasi merupakan Upaya untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan pemerintah yang demokratis. Setiap orang berhak memperoleh informasi publik, mengetahui informasi publik, menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk memperoleh informasi publik, mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan, dan dapat menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundangundangan. 

Meskipun demikian, informasi publik tidak bisa mengalir dengan bebas, karena ada informasi publik yang dikecualikan. Aturan ini, pada satu sisi, memberikan aspek positif untuk memilah jenis informasi, tetapi di sisi lain melembagakan kebiasaan ketertutupan badan publik. Harian Terbit menuliskan,  Kejaksaan Agung  memenangkan gugatan perkara Sengketa Informasi Publik yang diajukan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di Komisi Informasi Pusat (KIP) untuk tidak membuka informasi yang berhubungan dengan Second Opinion hasil pemeriksaan kesehatan terpidana mati, Rodrigo Gularte yang telah dieksekusi April 2015 yang silam. (Harian Terbit.com, 2016).

Padahal badan publik wajib menyediakan informasi dibawah kewenangannya yang mengandung kebenaran dan mudah dijangkau oleh masyarakat seperti kinerja badan publik, laporan keuangan dan informasi lain yang diatur oleh peraturan perundangan. Selain itu, ada informasi yang wajib diumumkan serta merta oleh badan publik yaitu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Informasi yang bersifat serta merta adalah informasi yang spontan bersifat mendesak dan penting untuk segera diketahui oleh masyarakat atau pengguna informasi

Untuk mendorong partisipasi masyarakat, badan publik wajib memberikan informasi yang tersedia setiap saat, yang meliputi (1)

(8)

informasi publik dibawah pengelolaan badan publik, (2) keputusan dan pertimbangan badan publik, (3) kebijakan berikut dokumen pendukung , (4) rencana kerja proyek, (5) perjanjjian badan publik dengan pihak ketiga, (6) kebijakan badan publik, (7) Prosedur kerja pegawai, (8) laporan pelayanan akses informasi. Merujuk pada ketentuan ini, badan publik harus mengelola informasi dengan prinsip pengorganisasian terbuka, untuk memberikan kejelasan kepada pengguna informasi. Menurut Pearce dan Cronen, “komunikasi harus ditata ulang dan disesuaikan kembali terhadap konteks” (West dan Turner, 2008 : 116).

Namun ada informasi publik yang dikecualikan dengan pertimbangan kalau dibuka berdampak negatif. Mencakup, pertama informasi jika dibuka menghambat proses penegakan hukum. Kedua, mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha yang tidak sehat. Ketiga, membahayakan pertahanan dan keamanan negara. Keempat, mengungkapkan kekayaan alam Indonesia. Kelima, merugikan ketahahan ekonomi nasdional, Keenam, merugikan hubungan kepentingan luar negeri, ketujuh, mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kedelapan adalah, mengungkap rahasia pribadi.

Materi perkecualian informasi publik, bukan sebagai ketentuan yang dipakai sebagai alat untuk menghindar dari kewajiban menyampaikan informasi kepada publik. Tetapi sebagai pedoman untuk menetapkan informasi yang bersifat terbuka atau yang tertutup untuk diakses publik. Tidak dapat diabaikan, jika informasi sudah disebarkan, dapat berjalan linier menembus berbagai macam lapisan khalayak tanpa menghiraukan implikasinya. Informasi dari badan publik yang menyangkut kinerja juga menghasilkan umpan balik yang membentuk persepsi masyarakat tentang tugas dan tanggungjawab pemerintah secara makro.

Dalam prakteknya ternyata pengecualian informasi dimanfaatkan oleh badan publik untuk tidak mengeluarkan informasi kepada publik dengan dalih rahasia negara. Akibatnya, hubungan antara masyarakat dengan pemerintah dalam hal informasi publik menjadi terganggu. Padahal di era reformasi, komunikasi antara masyarakat yang direpresentasikan oleh keberadaan media massa, dengan pemerintah berjalan baik.

(9)

Namun dengan munculnya peraturan keterbukaan informasi, terjadi berbagai perbedaan penafsiran terhadap informasi publik. Toriq Hadad, berpendapat ” kecenderungan negara sedang berkembang pelit terhadap informasi pada warganegaranya”. Celakanya lagi, bila pemerintah menolak memberikan informasi yang diminta, maka penolakan hampir tidak pernah diberikan secara tertulis. (Dewan Pers, 2008: 32).Karena itu, muncul asumsi bahwa pemerintah secara sengaja menciptakan jarak kekuasaan, dengan menutup diri dan membatasi akses transparansi informasi yang dituntut masyarakat.

Terkait dengan hal ini, catatan dari Kantor Berita Radio Jakarta, Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan dokumen TPF Munir merupakan informasi publik yang wajib diumumkan oleh pemerintah. Namun sejauh ini putusan-putusan KIP banyak diabaikan oleh lembaga yang kalah. Berikut diantara lembaga-lembaga yang mengabaikan putusan KIP yaitu (1). Dinas Pendidikan DKI terkait penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP).(2) . Mabes Polri tentang informasi 17 rekening petinggi Polri (3) PSSI menolak membuka laporan keuangannya kepada masyarakat terkait tiket pertandingan timnas dan hak siar pertandingan timnas, (4) Kementerian Agraria dan Tata Ruang menolak permintaan dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit di Kalimantan dengan alasan sebagai informasi yang dikecualikan. (kbr.id,2016)

Memang dalam upaya menuju demokrasi bernegara, muncul problem yang berkaitan dengan penafsiran terhadap berbagai aturan yang mengunggulkan kebebasan. Karena itu, sangat wajar jika muncul pendapat bahwa ”problem – problem pemerintahan konstitusional dalam abad ke 21 muncul di dalam pemerintahan yang dianggap demokratis” (Russel, 2000:9). Secara kontekstual, pelaksanaan UU KIP yang memiliki semangat untuk membangun masyarakat informasi juga tidak mudah dicapai. Padahal keterbukaan informasi jelas sebagai pendukung kebebasan komunikasi dan kebebasan berekspresi sebagai hak yang melekat dalam masyarakat. Dalam perspektif Hak Azasi Manusia, kebebasan berekspresi adalah kebebasan milik setiap orang yang semestinya dijamin oleh setiap negara. Demikian juga kebebasan untuk mencari dan mendapat informasi yang merupakan bagian dari kebebasan pers yang dijamin dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Etika Berita Dewan Pers, 2014:4)

(10)

Budaya Ketertutupan Masyarakat sebagai Penghambat Transparansi

Keterbukaan Informasi Publik berjalan seiring dengan kebebasan komunikasi di Indonesia. Badan Publik sebagai organ dari pemerintah, dituntut untuk terbuka dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang melekat. Di pihak lain, masyarakat diharapkan dapat mengetahui dan ikut melakukan pengawasan terhadap kinerja badan publik. Jika badan publik dan pemerintah menjalankan fungsinya dalam pelaksanaan transparansi informasi, maka tercapai tujuan untuk membentuk masyarakat informasi yang sejahtera dan berkeadilan. Sebab keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi badan publik, akan meminimalisir tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat.

Namun tidak mudah untuk mendorong masyarakat terlibat aktif dalam pengawasan terhadap badan publik. Sebab secara historis, ada hubungan yang tidak setaraf antara pemerintah dengan masyarakat. Birokrasi mempunyai kedudukan super, serba kuat dan sulit untuk disalahkan. Komunikasi yang dilakukan bukan dialog tetapi monolog (perintah, instruki, petunjuk, pengarahan). Masyarakat diposisikan sebagai bawahan (dianggap tidak tahu apa – apa). Birokrasi merepresentasikan diri sebagai pengayom, penentu baik dan buruk dalam semua aspek kehidupan (Abdullah, 2002). Pemberitaan di Kabar Bangka menunjukkan hal yang sejalan dengan karakter birokrasi. Dituliskan, bahwa seorang warga yang merasa Surat Permohonan Informasi Publik tidak mendapat respon dari Badan Publik, Romli warga Sungailiat, Senin (6/2/2017) siang mendatangi Kantor Komisi Informasi Daerah (KID) Propinsi Bangka Belitung, guna membuat laporan sengketa informasi (Kabarbangka.com, 2017)

Pengawasan terhadap kinerja badan publik melalui keterbukaan informasi juga terkendala oleh karakter mental yang berpotensi untuk tidak terbuka dan melembagakan budaya ketertutupan yang tampak dari keengganan untuk mengkritisi kinerja badan publik. Mentalitas masyarakat Indonesia termasuk dalam kategori masyarakat statik yang memiliki ciri – ciri sebagai berikut :

1. Lebih berorientasi kebelakang, lebih terpukau oleh masa lampau yang gemerlapan sebagaimana dalam sejarah – sejarah lama, tetapi kurang tanggap terhadap masa depan yang lebih faktual sebagai tantangan.

(11)

2. Fatalistik, menyerah pada nasib sebagai produk sejarah kemiskinan dan kesengsaraan umumnya yang kronis.

3. Kurang inovatif dan kreatif sehingga sulit untuk berinovasi atau berkreasi yang bermakna bagi kesejahteraan masyarakat secara luas.

4. Sifat indolent, lamban atau malas, banyak orang tidak merasa dikejar waktu. Karena dalam pikirannya, beranjak dengan cepat juga tidak ada gunanya, karena keseluruhan sistem sosial tidak mendukung, atau memberikan perangsang baginya. Pola pikir tidak menghargai waktu atau menguasai waktu berjalan linier pula dengan pemikiran diakronik ataupun cyclus dalam masyarakat tradisional.

5. Masyarakat statik bersifat menghadapi lingkungan sekitarnya, tetapi tidak berupaya memecahkan ataupun mencari jalan keluar agar masalah itu dapat diselesaikan dengan baik.

6. Keselarasan dengan lingkungan dijaga benar oleh masyarakat statik. Pola pikir integralistik yang menonjolkan kebenaran sendiri, dikemas dalam bingkai harmoni, yang adakalnya justru melakukan penindasan terhadap mereka yang berbeda. Demi menjaga keselarasan, mereka menghindari tantangan atau gejolak, orang cenderung menggunakan euphemisme atau malah tabu sama sekali membicarakan hal yang buruk, misalnya kemiskinan itu sendiri.

7. Sikap irrasional yang kurang berperan melekat dalam masyarakat statik. Dengan demikian sering tidak jelas antara mana yang realistis dan dan mana yang simbolik atau bayangan (Hamijoyo, 2004).

Selain mentalitas dan sikap statik yang melembaga, masyarakat Indonesia juga termasuk dalam kelompok masyarakat yang memiliki mentalitas dan budaya tradisional yang menilai tinggi dan mempertahankan adat istiadat dan aturan serta prosedur, namun kurang sadar terhadap mutu. Ini dapat terjadi karena terlampau terpikat pada yang sudah ada, dan dianggap terbaik. Oleh sebab itu, mentalitas bekerja asal selesai, dan asal ada hasilnya sangat menonjol. Selanjutnya ditegaskan pula, masyarakat Indonesia : (1) Memiliki sikap tertutup, kurang terbuka pada yang lain atau yang datang dari luar merupakan sikap dan

(12)

perilaku yang khas.(2) Pikiran atau pandangan dan cara – cara alternatif sebagai bahan pengambilan keputusan kurang dikenal dan agak sulit meyakonkan pada orang bermentalitas tradisionalistik. (3) Mentalitas kebersamaan sangat menonjol dibanding individual. kebersamaan itu sendiri sebagai sikap dan perilaku memang mengandung nilai – nilai yang baik . Namun jika direntang terlampau jauh, memang menimbulkan mentalitas Konformisme dan penyakit ketergantungan serta mematikan sikap kemandirian. (Hamijoyo, 2004)

Karakter tersebut diatas menyebabkan masyarakat masih merasa inferior dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan badan publik atau lembaga pemerintah beserta sub-ordinat kekuasaannya. ketidakberdayaan masyarakat menurut Selo Sumardjan, adalah keadaan masyarakat yg tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melawan suatu sumber penindasan, karena itu cenderung mendambakan datangnya seorang ratu adil yg dapat mengentaskan itu dari kesengsaraan (Abdoellah, 2002). Esensinya, ketidakberdayaan masyarakat mengakibatkan sikap skeptis dan semata – mata menunggu nasib baik tanpa Upaya untuk mengubah.

Lebih dari itu, sikap ketertutupan yang melembaga merupakan hambatan untuk terbuka terhadap berbagai masalah yang ada disekelilingnya. Bahkan ketertutupan ini menjadi satu hal yang diunggulkan dalam petuah, moto atau kata – kata bijak seperti diam adalah emas, tong kosong nyaring bunyinya, mulut kamu harimau kamu, memikul tinggi dan memendam dalam - dalam. Secara harfiah tentu saja sangat ideal, tetapi ketika makna itu melekat lebih kuat, maka berimplikasi terhadap perilaku masyarakat dalam komunikasi. Termasuk didalamnya penghormatan terhadap orang – orang yang dituakan, tokoh masyarakat diwujudkan dengan tidak perlu melakukan bantahan dan harus didengarkan.

Dalam kondisi seperti ini sulit untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja badan – badan publik. Akibatnya minimnya partisipasi masyarakat, badan publik tidak merasa perlu untuk mendiseminasikan informasi kepada masyarakat terkait kebijakan – kebijakan pemerintah yang bertujuan menyejahterakan rakyat. Dalam pemberitaan surat kabar, “Penilaian KIP: Hanya Empat Parpol yang Terbuka dalam Informasi Publik”. Salah

(13)

satu lembaga yang belum optimal menjalankan transparansi informasi adalah partai politik.  Dari 10 parpol nasional yang berlaga di Pemilu 2014, enam di antaranya tak merespons pemeringkatan badan publik yang dilakukan KIP.  (Republika.co.id, 2016).

Partisipasi yang ideal adalah pengikutsertaan seluruh anggota masyarakat (keterlibatan mereka mencakup mental dan emosinya) di dalam seluruh kegiatan pengambilan keputusan yang mencakup : (1) Perencanaan (2) Pelaksanaan, (3) Evaluasi (4) Pemanfaatan Hasil (5) Partisipasi dalam pandangan politik, (6). Memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan secara otonom (Abdullah, 2002).

Untuk menciptakan partisipasi ideal dalam mengawasi kinerja badan publik, tentu saja dengan menjalankan keterbukaan informasi publik di lembaga- lembaga pemerintah dengan semangat kebebasan komunikasi. Di pihak lain masyarakat harus meninggalkan kebiasaan untuk menutup diri dengan aktif melakukan komunikasi publik yang mencermati kinerja pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik.

Menuju Masyarakat Informasi Berkeadilan

Undang – Undang Keterbukaan Informasi publik merupakan perwujudan dari niat politik yang baik untuk menciptakan demokrasi dalam komunikasi. Semangat UU KIP sejalan dengan UUD 1945 pasal 28F yang menegaskan, “ Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” .

Dengan demokrasi komunikasi, kebijakan publik dapat dicermati dan dikritisi oleh masyarakat agar pelayanan kepada publik tidak menyimpang. Pelayanan publik merupakan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan, karena itu harus dilakukan dengan kejujuran dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan etika pelayanan publik sebagai fondasi dalam mewujudkan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. ( Lewis dan Gilman, 2005:22). Pernyataan ini menegaskan pentingnya keberpihakan kepada rakyat, dalam menjalankan pemerintahan yang jujur dan terbuka.

(14)

UU KIP memiliki semangat membangun masyarakat informasi yang adil dan beradab. Selain itu, untuk memberdayakan masyarakat agar peduli, sensitif dan mau mengemukakan pendapat terhadap pelaksanaan jalannya pemerintahan. Pada konteks ini, pemberdayaan merupakan upaya membebaskan seseorang dari kendali yg kaku dan memberi orang tsb kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide idenya, keputusan – keputusannya dan tindakan – tindakannya (Cook dan Macauly, 1997).

Sebagai peraturan untuk untuk mendorong munculnya partisipasi aktif masyarakat, UU KIP mempunyai tujuan untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik. Program kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan public harus diketahui oleh masyarakat. Agar masyarakat mau berpartisipasi UU KIP juga mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik maupun pengelolaan badan public yang dibiaya oleh negara maupun masyarakat. Dengan meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan lembaga pemerintah, maka masyarakat juga dapat menerima layanan informasi yang berkualitas, sehingga dapat dipakai sebagai rujukan untuk menilai kinerja badan publik. Dalam perspektif ideal menurut United Nation, partisipasi aktif masyarakat diperlukan untuk mengusahakan kemajuan sosial ekonomi dan demokrasi bernegara, dan sepenuhnya menjadi inisiatif rakyat. (Abdoellah, 2004).

Namun demikian, tidak bisa diabaikan bahwa, mengupayakan transparansi melalui partisipasi bukan hal yang mudah dicapai, mengingat model pengelolaan informasi pada badan publik, khususnya lembaga pemerintah terbisa dalam hegemoni kerahasiaan, berjenjang dan birokratis. Menurut Reddin, model organisasi birokrasi memang gemar berlindung dibalik peraturan dan prosedur demi kepentingan kelembagaan mereka sendiri (Myers dan Myers, 1988).

Pendapat ini sehaluan dengan pelayanan informasi di salah satu daerah yang diwartakan oleh Tribun Kaltim, tentang Pelayanan Informasi di Lima Instansi di Kaltim Masih Buruk. Dalam uji akses informasi perizinan perusahaan perkebunan dan pertambangan, dari enam instansi pemerintah di  Kabupaten Nunukan, hanya satu yang

(15)

merespon dengan memberikan informasi sesuai permintaan yaitu Dinas Perikanan. Sedangkan lainnya tidak bersedia memberikan informasi yaitu Dinas Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan  , Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. (Tribunkaltim.Co, Maret 2017)

Melihat gambaran tersebut, persoalan yang akan terus muncul terkait keterbukaan informasi meskipun hampir satu dasawarsa diberlakukan adalah kegamangan badan publik untuk menjalankan transparansi. Karena itu, tugas badan public untuk meminimalisir hambatan historis kultural yang mewarnai sistem birokrasi, dengan menjalankan transparansi yang konsisten sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Badan publik harus menyikapi transparansi bukan sebagai hambatan, tetapi sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja yang baik di mata masyarakat. ada umumnya. Keterbukaan akan memperlihatkan berbagai kekurangan, ketidakberhasilan dan hal negatif lain kepada publik, tetapi sesungguhnya dapat dipakai sebagai jalan terbaik, agar institusi publik bertindak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan. Bagaimanapun juga, badan publik tidak lepas dari kontrol masyarakat, yang menggunakan hak untuk memperoleh , menggunakan dan menyebarkan informasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hak masyarakat untuk mengetahui seluk beluk dan kinerja badan publik, merupakan upaya untuk mengoptimalkan pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan.

Memang diperlukan semangat berkelanjutan dan kerja keras untuk mewujudkan transparansi informasi, mengingat teramat beragam persoalan yang berpotensi menjadikan lembaga pemerintah terjerat dalam penilaian negatif. Jika keterbukaan sudah dilaksanakan dengan baik, masyarakat akan memberikan respon positif terhadap kinerja badan publik sehingga tercapai masyarakat informasi yang sejahtera dan berkeadilan.

Kesimpulan

Keterbukaan Informasi Publik merupakan upaya untuk mendukung kebebasan informasi dan komunikasi sebagai hak

(16)

masyarakat untuk mencari, memperoleh dan memanfaatkan informasi. Dalam penerapannya selama hampir satu dasawarsa, pelaksanaan keterbukaan informasi belum maksimal karena secara kelembagaan badan publik masih memposisikan sebagai organ kekuasaan negara yang unggul dan berhak untuk mengatur serta mengendalikan informasi yang disebarkan di masyarakat.

Budaya ketertutupan masyarakat yang masih melekat dan dilembagakan, pada satu memiliki aspek positif supaya berbicara dengan beretika, walaupun penasiran positif ini bersifat integralistik sesuai kepentingannya. Namun disisi lain, ketertutupan menghasilkan perilaku komunikasi yang inferior, untuk tidak menilai negatif terhadap individual, kelompok maupun entitas tertentu yang memiliki otoritas di pemerintahan maupun masyarakat. Dalam budaya ketertutupan, maka sulit untuk mendorong masyarakat aktif mengawasi kinerja badan publik.

Transparansi informasi dengan segala aturan yang melekat secara legal formal, dapat menjembatani harmonisasi hubungan antara pemerintah dalam konteks ini badan – badan publik, dengan masyarakat sebagai pengguna informasi.Untuk mencapai masyarakat informasi yang berkeadilan diperlukan konsistensi pemerintah untuk membuka informasi publik yang menjadi tanggungjawabnya.

Mencermati kompleksitas penerapan keterbukaan informasi, selayaknya badan publik untuk terus memberikan pemahaman kepada masyarakat yang cenderung tertutup, tentang perlunya transparansi untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian bukan sebaliknya merasa nyaman karena minimnya kritik dan pengawasan masyarakat.

(17)

Daftar Pustaka

Abdoellah, Oekan S.(2002). Perubahan Sosial Budaya dan Pembangunan. Bandung, Materi Kuliah Pasca Sarjana Bidang Ilmu Sosial

Bogdan, Robert, dan Steven J. Taylor.(1992). Pengantar Metoda

Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu – Ilmu Sosial, terjemahan Arief Furchan ”Introduction to Qualitative Research Methods : A Phenomenological Approach to the Social Sciences. Surabaya, Penerbit Usaha Nasional

Daulay, Richard M.(2015). Agama dan Politik di Indonesia : Umat

Kristen di Tengah Kebangkitan Islam. Jakarta , Penerbit BPK

Gunung Mulia

Dewan Pers. (2008). Keterbukaan Informasi dan Kebebasan Pers. Jakarta, Dewan Pers dan UNESCO

Etika Berita Dewan Pers. 2014. Peringatan Hari Kemerdekaan Pers

Internasional di Paris :Keprihatinan Dunia atas Kekerasan Terhadap Wartawan. Jakarta, Dewan Pers

Giddens, Anthony.(1986). Capitalism And Social Modern Theory :

An Analysis of Writing of Marx, Durkheim and Max Weber,

terjemahan Soeheba Kramadibrata. Jakarta, UI Press

Hamijoyo, Santoso S.(2004). Aplikasi Model Komunikasi Dari

Perubahan Sikap Dalam Riset Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Reinterpretasi Beberapa Data Penelitian Tahun 1969 dan 1993. Bandung, IKIP.

Myers, Michele Tolela and Gail E. Myers .(1988). Managing By

Communication. New York, New Newsey, London, Mc. Graw

Hill Int. Book. Co.

Huntington, Samuel P. (2001). Gelombang Demokrasi Ketiga, terjemahan

The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century

Jakarta, Penerbit Grafiti.

Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta, Penerbit Gramedia

Lewis, Carol W., and Stuart C. Gilman. (2005). The Ethics Challenge

in Publik Service: A Problem-Solving Guide. Market Street, San

(18)

Pratikno dkk. (2012). Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi

Dalam Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Yogyakarta, FISIP UGM dan Yayasan TIFA

Russell, Greg. (2000). Naskah Kedua, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan

Konstitusi Amerika dan Negara – Negara Lain, dalam Melvin

I. Urofsky (ed), Demokrasi. Jakarta ,Office of International Information Programs, US Department of State

Sarah, Cook and Steve Macaulay. (1997). Perfect Empowerment,

Pemberdayaan Yang Tepat. Jakarta, Penerbit PT Elex Media

Komputindo Kelompok Gramedia.

Sekretariat KIP.(2016). Laporan Triwulan 3 Sekretariat Komisi Informasi

Pusat. Jakarta, KIP

Susanto, Eko Harry.(20014). Komunikassi dan Gerakan Perubahan

: Kemajemukan dalam Konstelasi Sosial, Ekonomi dan Politik.

Jakarta, Penerbit Mitra Wacana Media

Susanto, Eko Harry, Neni Yulianita dkk.(2013). Modul Pendidikan

Integritas Dalam Bidang Komunikasi. Jakarta, Tiri Making

Integrity Work, Kingdom of the Nederlands dan Kemitraan Partnership

Setiaman, Agus, Dadang Sugiana, Jimi Narotama. (2013).

Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik (Analisis Kritis Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Pemerintahan Kota Bandung kepada Warga Kota), Jurnal Kajian

Komunikasi, Volume 1(2) 196-205

Turilli, Matteo dan Luciano Floridi (2009). The Ethics of Information

Transparency, Journal of Ethics Information Technology 2009

(11), 105–112, DOI 10.1007/s10676-009-9187-9

Urofsky, Melvin I. (2001). Naskah Pertama, Pendahuluan : Prinsip

– Prinsip Dasar Demokrasi dalam dalam Melvin I. Urofsky

(ed). Demokrasi. Jakarta, Office of International Information Programs, US Department of State

Dokumen Pemerintah

Undang – Undang Dasar 1945. ”Sejarah UUD 1945 Sejak Pembentukan hingga Amandemen pada Zaman Reformasi” , Jakarta : Penerbit Visi Media

(19)

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta : Penerbit Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

Dokumen Online http://kaltim.tribunnews.com/2017/03/31/pelayanan-informasi-di-lima-instansi-ini-masih-buruk http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/05/01/ op8wzz377-penilaian-kip-hanya-empat-parpol-yang-terbuka-dalam-informasi-publik http://kabarbangka.com/2017/02/kasus-sengketa-informasi-sejumlah-badan-publik-dilaporkan-ke-kid/ http://nasional.harianterbit.com/nasional/2016/08/18/67524/0/25/-Kejagung-Menangkan-Gugatan-Sengketa-Informasi-Publik http://kbr.id/berita/10-2016/putusan_putusan_kip_tentang_ sengketa_ informasi_publik_yang_diabaikan/85797.html

Referensi

Dokumen terkait

mana anak dapat menghayati cerita, sehingga anak dapat terbawa perasaan dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh yang ada dalam cerita bergambar, pemberian motivasi

Dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, perusahaan ini masih menggunakan semi komputerisasi dimana hanya penginputan transaksi di Jakarta yang menggunakan sistem yang

Studi ekstensif terus dilakukan dalam upaya ekplorasi semikonduktor fotokatalis yang efisien dalam mereduksi air menjadi hidrogen dan oksigen melalui reaksi yang

mempengaruhi aktivitas biologisnya atau distribusi polimorfnya." (Monograf IARC tentang evaluasi risiko bahan kimia karsinogenik terhadap manusia, Silika, debu silikat dan

Salah satu solusinya adalah dengan membuat sistem informasi manajemen yang dapat menyimpan data bukti fisik tersebut serta data kasus untuk selanjutnya dimunculkan dalam

Pemanfaatan Services Oriented Architecture (SOA) dalam sistem komunikasi data transaksi perbankan di perguruan tinggi dapat diimpelementasikan sesuai dengan

INTERNALISASI NILAI - NILAI MULTIKULTURAL MELALUI PEMBELAJARAN IPS DALAM MENUMBUHKAN SIKAP MULTIKULTURAL PADA SISWA. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Tabel 2.2.a Pengungkapan Risiko Kredit - Tagihan Bersih Berdasarkan Sisa Jangka Waktu Kontrak - Bank secara Individual.. (dalam