L A P O R A N K A J I A N
PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN DEFORMASI
VERTIKAL DAN HORISONTAL CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT
Disusun oleh :
Brahmantara, S.T
Joni Setiyawan, S.T
Yenny Supandi, S.Si
Ajar Priyanto
Pramudianto Dwi Hanggoro
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
BALAI KONSERVASI BOROBUDUR
Jl. Badrawati, Borobobudur, Magelang, Jawa Tengah
Telp. (0293) 788225, 788175, Fax. (0293) 788367
www.konservasiborobudur.org
2 0 1 4
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN HASIL KAJIAN
PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN DEFORMASI VERTIKAL
DAN HORISONTAL CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT
Tim Pelaksana : Brahmantara, S.T Joni Setiyawan, S.T Yenny Supandi, S.Si
Ajar Priyanto
Pramudianto Dwi Hanggoro
Menyetujui
Kasie Layanan Konservasi
Iskandar Mulia Siregar, S.Si NIP. 19691118 199903 1 001 Borobudur, Desember 2014 Ketua Tim Brahmantara, S.T NIP. 19800911 200502 1 001 Mengetahui
Kepala Balai Konservasi Borobudur
Drs. Marsis Sutopo, M.Si. NIP. 19591119 199103 1 001
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... .. i
Halaman Pengesahan ... ii
Daftar Isi ... iii
Daftar Tabel ... v
Daftar Gambar ... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
I.1. Dasar hukum ... 1
I.2. Latar belakang ... 1
I.3. Rumusan masalah ... 2
I.4. Tujuan ... 2
I.5. Manfaat ... 3
I.6. Ruang Lingkup ... 3
BAB II. LANDASAN TEORI ... 4
II.1. Poligon tertutup ... 4
II.2. Hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter ... 4
II.2.1. Mencari nilai parameter dan nilai ukuran terkoreksi apabila diketahui bobot ukuran ... 4
II.2.2. Kontrol hitungan ... 4
II.2.3. Linierisasi persamaan pengamatan ... 6
II.2.4. Linierisasi persamaan pengamatan jarak ... 6
II.2.5. Linierisasi persamaan pengamatan sudut ... 7
II.2.6. Uji statisitik hasil hitungan perataan ... 13
II.2.7. Elips kesalahan ... 15
BAB III. PELAKSANAAN ... 20
III.1. Persiapan ... 20
III.1.1. Pengumpulan bahan ... 20
III.1.2. Peralatan ... 20
III.2. Pelaksanaan ... 21
III.2.1. Tahap pengumpulan data ... 22
III.2.2. Perhitungan poligon dengan metode bowdith ... 23
III.2.3. Hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter ... 24
III.2.5. Analisis kualitas jaring ... 27
III.3. Studi lapangan ... 29
III.4. Pembuatan rancangan jaring kontrol deformasi alternatif ... 29
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
IV.1. Hasil hitungan perataan poligon dengan metode bowdith ... ... 31
IV.2. Hasil hitungan perataan dengan hitung kuadrat terkecil metode parameter 33 IV.2.1. Hasil hitungan poligon lorong I dengan 40 titik ... 22
IV.2.2. Hasil hitungan poligon lorong I dengan 8 titik ... 35
IV.3. Hasil analisis kualitas jaring ... 36
IV.4. Hasil studi lapangan di waduk sermo ... 40
IV.4.1. Prinsip pemantauan deformasi bendungan berbasis GPS/GNSS 41 IV.4.2. Pengukuran deformasi bendungan waduk sermo dengan robotic total station ... 42
IV.5. Pembuatan rancangan jaring kontrol deformasi alternatif ... 44
IV.5.1. Pembuatan rancangan jaring pengukuran dengan robotic total station ... 45
IV.5.2. Pembuatan pilar / tugu ... 47
. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50
V.1. Kesimpulan ... 50
V.2. Saran ... 51
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Kelas ketelitian poligon ... 21
Tabel II.2. Tabel statistik nilai kemungkinan ... 22
Tabel II.3. Kelas (pengukuran) jaring titik kontrol horizontal ... 22
Tabel III.1. Pemilihan kuadrant untuk sudut 2t ... 22
Tabel IV.1. Hasil perhitungan bowdith lorong I dengan 8 titik ... 23
Tabel IV.2. Hasil perhitungan bowdith lorong I dengan 40 titik ... 24
Tabel IV.3. Hasil pengujian data ukuran poligon lorong I dengan 40 titik ... 24
Tabel IV.4. Hasil estimasi koordinat poligon lorong I dengan 40 titik kontrol .... 24
Tabel IV.5. Hasil pengujian data ukuran poligon lorong I dengan 8 titik ... 24
Tabel IV.6. Hasil estimasi koordinat poligon lorong I dengan 8 titik kontrol ... 24
Tabel IV.7. Elemen elips kesalahan poligon lorong I dengan 40 titik ... 24
Tabel IV.8. Elemen elips kesalahan poligon lorong I dengan 40 titik ... 24
Tabel IV.9. Nilai r (sumbu panjang) hasil perhitungan sesuai SNI JKH ... 25
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1. Poligon tertutup ... 5
Gambar II.2. Jarak antara koordinat A dan B ... 7
Gambar II.3. Pengamatan sudut A ... 11
Gambar II.4. Elips kesalahan (Ghilani, 2005) ... 12
Gambar III.1. Tahapan pelaksanaan kajian ... 14
Gambar III.2. Sketsa pengukuran poligon lorong I ... 18
Gambar IV.1 Desain jaring pengukuran poligon lorong I ... 20
Gambar IV.2. Elips kesalahan pada poligon lorong I dengan 40 titik ... 24
Gambar IV.3. Elips kesalahan pada poligon lorong I dengan 8 titik ... 24
Gambar IV.4. Sistem CORS ... 24
Gambar IV.5. Letak sensor robotic total station dan target monitoring ... 25
Gambar IV.6. Desain pilar permanen untuk station monitoring ... 26
Gambar IV.7. Prisma target monitoring ... 27
Gambar IV.8. Sketsa jaring pengukuran dengan robotic total station ... 28
Gambar IV.9. Posisi target monitoring dan prisma target monitoring ... 29
Gambar IV.10. Titik target monitoring ... 30
Gambar IV.11. Desain pilar titik referensi ... 31
ABSTRAK
Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi bangsa Indonesia sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Penjagaan dan pelestarian candi Borobudur dari unsur manusia maupun alam perlu dilakukan secara intensif dan periodik. Salah satu bentuk antisipasi pencegahan kerusakan yang terjadi adalah dengan melakukan pemantauan stabilitas struktur candi Borobudur terhadap kemungkinan terjadinya deformasi. Dalam hal ini Balai Konservasi Peninggalan Borobudur telah melakukan pemantauan stabilitas candi Borobudur melalui pengukuran yang secara periodik dan berkelanjutan setiap tahun sejak 1983 sampai dengan sekarang. Permasalahannya adalah pengukuran yang selama ini dilakukan belum memperoleh ketelitian yang diharapkan, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap peralatan maupun metode pengukuran yang sudah digunakan.
Studi dilakukan pada data hasil pengukuran jarak, sudut, dan beda tinggi pada jaring kontrol deformasi poligon III yang berada di halaman atas candi Borobudur. Pengukuran jarak dilakukan dengan alat EDM TS Leica TCR 805 U, pengukuran sudut dilakukan dengan alat Theodolit Wild T2 dan TS Leica TCR 805 U, pengukuran sipat datar dilakukan dengan alat Topcon AT G2 dan Leica Sprinter 200M. Untuk menghitung koordinat titik poligon III menggunakan metode Bowditch dan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter. Uji kualitas data dilakukan dengan uji statistik berupa uji global.
Hasil analisa ketelitian alat menunjukkan bahwa Theodolit Wild T2 mempunyai tingkat ketelitian yang lebih tinggi dari TS Leica TCR 805 U, dan Topcon AT G2 dengan rambu ukur invar mempunyai tingkat ketelitian yang lebih tinggi dari Leica Sprinter 200M dengan rambu ukur barcode. Hasil analisa ketelitian metode hitung perataan menunjukkan bahwa dari metode Bowditch hanya dapat diperoleh ketelitian linier dan koreksi perataan hanya memperhitungkan jarak sisi poligon, sedangkan dari hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter dapat diperoleh ketelitian dari tiap koordinat titik poligon III dan koreksi perataan juga memperhitungkan bobot yang dapat berupa ketelitian alat maupun ketelitian pengukuran, sehingga koordinat yang diperoleh dari hitung perataan metode parameter lebih tepat dan lebih teliti dari hitung perataan metode Bowditch. Hasil uji global data pengamatan yang digunakan tidak mengandung kesalahan tak acak.
ABSTRACT
Borobudur temple as a national historic legacy for Indonesia has been established as the world's cultural heritage. Protection and preservation of Borobudur temple from human and natural activity needs to be done intensively and periodically. One kind of anticipation or damage prevention is to monitor the stability of the structure of Borobudur temple from the possibility of deformation. In this case Borobudur Heritage Conservation Office has already conducted monitoring the stability of Borobudur temple through periodic measurement and sustainable every year since 1983 until now. The problem is that during the measurement is done not obtain the expected accuracy yet, so it is need to conduct evaluation for measurement equipment and measurement methods that used.
Studies conducted on the data of distance measurement, angle measurement, and height measurement of polygon III deformation control net in the upper yard of the Borobudur temple. Distance measurement conducted with EDM in TS TCR 805 U, angle measurement is done by Theodolite Wild T2 and TS Leica TCR 805 U, height measurement performed by Topcon AT G2 and Leica Sprinter 200M. To calculate the coordinates of the polygon III using Bowditch method and least squares adjustment with parameter method. Data quality test carried out by statistical test which is global test.
Equipment precision analysis result indicates that Theodolite Wild T2 has a higher accuracy level than TS Leica TCR 805 U, and Topcon AT G2 with invar signs has a higher accuracy level than Leica Sprinter 200M with barcode signs. Precision analysis of calculating method shows that from Bowditch method can only be obtained linear accuracy and alignment correction only considering the distance of polygon points, while from least squares adjustment with parameter method can be obtained accuracy of every points of polygon III coordinates and alignment correction also considering the weight of measurement which is equipment accuracy or measurement accuracy, that is why coordinates obtained from least squares adjustment with parameter method is more precise and more accurate than Bowditch method. Global test result indicates that data used not containing gross error and systematic error.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Dasar hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya 2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 55 tahun 2012 tentang Organisasi dan tatakerja Balai Konservasi Borobudur
5. DIPA Balai Konservasi Borobudur Tahun 2014 Nomor DIPA
023.15.2.427775/2014 tanggal 5 Desember 2013
I.2. Latar belakang
Candi Borobudur sebagai sebuah bangunan peninggalan bersejarah bagi bangsa Indonesia telah diakui sebagai salah satu warisan kebudayaan dunia (World Cultural
Heritage). Dilihat dari sejarahnya candi Borobudur telah mengalami dua kali pemugaran.
Pemugaran yang pertama dilakukan oleh Van Erp pada tahun 1907 - 1911, sedangkan pemugaran yang kedua dilakukan oleh Prof. Dr. R. Soekmono pada tahun 1975 -1983 bekerjasama dengan UNESCO.
Sejak tahun 1983 dengan selesainya pemugaran candi Borobudur, dilakukan pengamatan stabilitas baik pada struktur candi maupun pada bukit pendukungnya. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari hasil pertemuan para ahli dari beberapa negara yang terlibat pada pemugaran candi Borobudur. Pengamatan bagian atas (upper structure) untuk mengetahui adanya kemungkinan perubahan kedudukan candi baik penurunan, kemiringan maupun pergerakan ke arah horisontal.
Berdasarkan rekomendasi UNESCO Expert Meeting, maka tim monitoring dan evaluasi stabilitas struktur candi Borobudur dari Balai Konservasi Borobudur (BKB) melakukan pemantauan stabilitas candi Borobudur melalui pengukuran yang secara kontinyu setiap tahun sejak 1983 sampai dengan sekarang. Pengukuran tersebut menggunakan metode poligon untuk jaring kontrol horisontal dan metode sipat datar untuk jaring kontrol vertikal. Kemudian dari kedua metode pengukuran tersebut diperoleh informasi geometrik berupa posisi titik-titik jaring kontrol deformasi dalam koordinat XYZ (3 dimensi) sehingga dapat dievaluasi perubahan yang terjadi baik secara horisontal maupun vertikal.
Hasil pengukuran titik kontrol deformasi mulai tahun 2011 menunjukkan telah terjadi pergeseran yang cukup signifikan (fraksi cm) pada beberapa titik kontrol terutama yang terletak pada lantai lorong candi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proses pembersihan lantai candi Borobudur dari abu vulkanik hasil erupsi gunung Merapi yang terjadi pada bulan November 2010. Untuk membersihkan lantai candi Borobudur pasca erupsi Merapi kemudian batu lantai candi dibongkar sehingga kemungkinan besar titik kontrol yang ada pada batu lantai setelah dipasang kembali tidak tepat pada posisi sebelum dibongkar.
Pada bulan Juni 2012 UNESCO mengirimkan tim ahli dari Jepang yaitu Dr. Shimoda dkk. untuk mengevaluasi sistem monitoring dan evaluasi candi Borobudur termasuk di dalamnya monitoring dan evaluasi stabilitas struktur candi Borobudur dan bukit. Dalam laporan tentang evaluasi pengukuran titik kontrol deformasi Dr. Shimoda menyatakan bahwa titik kontrol yang ada terlalu banyak dan jaraknya terlalu rapat, juga blok batu lantai tempat titik kontrol tersebut berada tidak stabil sehingga sebaiknya titik kontrol dipindah ke tempat yang lebih stabil. Kemudian metode pegukurannya juga masih menggunakan alat pengukuran manual sehingga akan membutuhkan waktu pengukuran yang terlalu lama dan juga besar kemungkinan akan mengakibatkan human error dalam proses pengumpulan data.
Perkembangan di bidang teknologi pengukuran saat ini sudah berkembang pesat dibanding tahun 1983 sejak mulai dilakukan pemantauan stabiltas struktur candi Borobudur dan bukit. Salah satu alternatif yang bisa diterapkan untuk pemantauan stabilitas struktur candi Borobudur adalah pengukuran dengan Global Positioning System (GPS) yang dapat menentukan posisi suatu obyek dalam koordinat internasional dengan waktu pengukuran yang lebih cepat daripada pengukuran terrestris lainnya. Pada awal tahun 2014 Balai Konservasi Borobudur mendapatkan bantuan alat pengukuran dari tim pengadaan pusat berupa Total Station Topcon MS01AX tipe robotic. Melihat spesifikasi dari alat ini maka sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai salah satu alternatif alat pengukuran untuk monitoring stabilitas struktur candi Borobudur. Namun sebelumnya tentu perlu dikaji tentang metode pengukuran menggunakan alat pengukuran apa dan juga jaring kontrol deformasi bagaimana yang paling tepat untuk pemantauan stabilitas struktur candi Borobudur dan bukit.
I.3. Rumusan masalah
Titik kontrol yang ada pada poligon lorong I dan poligon lorong IV terletak pada blok batu yang terdapat nat antara masing-masing blok batu sehingga menjadikan titik kontrol tersebut tidak stabil. Pengukuran titik kontrol yang ada pada lorong tersebut juga terganggu oleh banyaknya pengunjung candi Borobudur yang melewati lorong pada saat dilakukan
pengukuran. Pasca erupsi Merapi titik kontrol yang ada pada batu lantai candi telah dibongkar dan dipasang kembali yang kemungkinan besar tidak kembali pada posisi awal. Jaring titik kontrol deformasi pada poligon lorong I dan poligon lorong IV yang terlalu rapat dengan jarak antar titik kontrol yang terlalu dekat selain butuh waktu yang lama untuk pengumpulan data kemungkinan juga kurang ideal dalam hal kualitas geometri jaring pengukuran titik kontrol.
I.4. Tujuan
Studi ini dilaksanakan untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi jaring kontrol deformasi candi Borobudur yang ada pada tubuh candi yaitu poligon lorong I dan poligon lorong IV, baik dari aspek bentuk geometri jaringan, sebaran dan letak titik kontrol, maupun desain titiknya, dan juga untuk mengembangkan alternatif metode pengukuran untuk pemantauan deformasi yang baru dengan mengikuti perkembangan teknologi peralatan dan metode pengukuran sehingga akan mengurangi waktu pengumpulan data tetapi data yang diperoleh lebih akurat sehingga analisa data bisa lebih mendalam.
I.5. Manfaat
Hasil studi ini akan bermanfaat untuk pengembangan metode pengukuran untuk monitoring dan evaluasi stabilitas struktur candi Borobudur dan bukit khususnya, maupun bangunan cagar budaya lainnya yang rentan terhadap deformasi baik horisontal maupun vertikal, dan dapat dilakukan oleh tenaga teknis sesuai dengan peralatan yang tersedia.
I.6. Ruang lingkup
Evaluasi untuk pengukuran jaring kontrol deformasi pada kajian ini hanya dilakukan untuk titik kontrol yang ada pada poligon lorong I dan poligon lorong IV candi Borobudur.
BAB II LANDASAN TEORI II.1. Poligon tertutup
Ada beberapa metode dalam penentuan kerangka kontrol horisontal tetapi metode poligon atau traverse adalah metode yang paling sering untuk digunakan. Ada berbagai macam bentuk poligon dan salah satu kriteria dari penentuan kerangka dasar pengukuran dengan metode poligon adalah berdasarkan bentuk dari poligon yaitu poligon terbuka, tertutup dan poligon cabang. Poligon tertutup adalah rangkaian titik-titik secara berurutan sebagai kerangka dasar pengukuran dengan titik-titik awal dan akhir pengukuran adalah pada titik yang sama. Meskipun berbeda secara bentuk geometri namun fungsi dari poligon tetaplah sama yaitu untuk menentukan nilai dari titik-titik koordinat yang ada pada poligon dengan cara melakukan pengukuran azimut, sudut antar titik dan juga jarak antar titik poligon.
Gambar II.1. Poligon tertutup Keterangan Gambar II.1
U : arah utara poligon tertutup
1,2,3... : titik-titik pada poligon tertutup
▲ : tanda titik referensi
● : tanda titik poligon
θ : sudut bantu perhitungan
s1, s2 : sudut ukuran ke-1 dan ke-2
d1,2 : jarak sisi dari titik 1 ke titik 2
Dalam gambar (II.1) ditunjukkan contoh poligon tertutup. Titik 1 adalah titik yang dijadikan sebagai acuan (titik ikat) dengan α1,2 adalah azimut dari polygon tertutup.
Karena unsur pengukuran dalam poligon adalah sudut dan arah maka harus ditentukan hubungan antara keduanya. Dengan menggunakan koordinat dari titik yang diketahui nilainya yaitu titik 1, maka didapat persamaan penentuan koordinat secara umum yaitu:
X2= X1+ d1,2α1,2... (II.1)
Y2= Y1+ d1,2α1,2... (II.2)
Dari persamaan (II.1) di atas untuk mencari azimut berikutnya dari masing-masing titik koordinat digunakan cara penambahan hasil azimut awal ditambah dengan sudut antar titik koordinat. Azimut dari masing-masing titik ini ditentukan atas dasar sketsa pengukuran yang telah dibuat di lapangan pada saat dilakukan pengukuran, agar hasil perhitungan koordinat yang dihasilkan sesuai dengan posisi koordinat sebenarnya di lapangan. Pada gambar (II.1) digunakan azimuth awal adalah α1,2 sehingga azimut α2,3
dicari dengan persamaan sebagai berikut.
θ = 360o– α 1,2 α2, 1 = 180o– 360o+ α1,2 = α1, 2– 180o α2, 3 = α2, 1+ (360o– s2) = α1, 2– 180o+ 360o– s2 = α1, 2+ 180o– s2... (II.3)
Dengan cara yang sama ditentukan azimut dari titik-titik berikutnya, sehingga untuk menentukan azimut yang benar maka hasil pengukuran sudut dari masing-masing titik juga harus benar atau dengan kata lain hasil ukurannya harus terkoreksi. Kesalahan dalam pengukuran sudut di dalam perhitungan koordinat dengan menggunakan metode bowdith, dilakukan sesuai dengan persamaan berikut ini:
Σβ = (n – 2) . 180o, jika menggunakan sudut dalam ... (II.4)
Σβ = (n + 2) . 180o, jika menggunakan sudut luar ... (II.5)
Komponen dari sebuah poligon adalah sudut, azimut dan juga pengukuran jarak. Jika data ukuran dalam poligon adalah sudut dan jarak maka pasti koreksi harus dilakukan terhadap kesalahan yang ada pada pengukuran keduanya. Karena telah dikoreksi
pengukuran sudut maka perlu juga dilakukan koreksi terhadap pengukuran jarak caranya adalah dengan mengurangkan atau menambahkan selisih jumlah hitungan absis (d sin α) dan ordinat (d cos α) yang seharusnya bernilai 0, persamaannya adalah sebagai berikut.
Σ d sin α = 0 ... (I I.6) Σ d cos α = 0 ... (I I.7)
Dengan demikian dari komponen sudut dan jarak dapat ditentukan tingkat ketelitian dari pengukuran suatu poligon. Pada poligon yang tertutup atau terikat sempurna dimana jumlah sudut hasil pengukuran serta jumlah d sin α dan d cos α sudah tertentu maka tingkat ketelitian poligon didasarkan pada besarnya kesalahan penutup sudut dan jarak. Dengan dasar tersebut kelas poligon dibedakan menjadi (Basuki, 2006).
Tabel II.1. Kelas ketelitian poligon
Kelas ketelitian poligon I II III IV
Kesalahan penutup sudut 2”√N 10”√N 30”√N 60”√N
Kesalahan maksimum persudut 1” 2” 3” 6”
Kesalahan penutup jarak 1:35000 1:10000 1:5000 1:2000
Keterangan Tabel II.1
N : banyaknya titik dalam poligon.
Metode Bowdith dalam penentuan nilai koordinat posisi horisontal terkadang diperlukan, sebab nilai koordinat yang dihitung dengan menggunakan metode Bowdith digunakan sebagai nilai koordinat pendekatan yang nantinya digunakan pada proses perhitungan dengan metode hitung kuadrat terkecil.
II.2. Hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter
Metode perataan standar II atau hitung kuadrat terkecil metode parameter adalah metode hitungan estimasi parameter yang menyatakan hubungan fungsional antara besaran pengukuran dan besaran parameter. Menurut Wolf (1997) prinsip hitungan perataan dengan kuadrat terkecil adalah jumlah kuadrat dari koreksi yang diberikan pada hasil ukuran adalah minimum dengan besaran pengamatan pada persamaan tersebut merupakan fungsi dari persamaan parameter. Model matematis yang menunjukkan pengamatan adalah fungsi dari parameter ditunjukkan sebagai berikut (Wolf, 1997):
La = f(Xa) ... (II.8) F(Xa) = f(Xo+X) ... (I I.9) La = Lb + V ... ... (II.10) Lb + V = f(Xo + X) ... (II.11)
Untuk model matematika yang tidak linier dapat dilinierisasikan menggunakan deret Taylor sebagai berikut:
Lb + V = f(Xo + X) Lb + V = f(Xo) + │xa=x + + ... Lb + V = f(Xo) + AX V = AX + f(Xo) – Lb ... (II.12) V = AX + F ... (II.13) Xa = Xo + X ... (II.14) Dalam hal ini,
La : nilai estimasi pengamatan Xa : nilai estimasi parameter Lb : nilai pengamatan
F : selisih nilai fungsi estimasi pengamatan dengan nilai pengamatan V : residu / koreksi pengamatan
Xo : nilai pendekatan parameter X : nilai koreksi parameter
Dari persamaan di atas nilai X atau nilai koreksi parameter dapat dihitung dengan memasukkan komponen matriks bobot (P) dalam perhitungan sesuai dengan persamaan berikut ini:
X = - (ATPA)-1(ATPF) ... (II.15)
Xa = Xo + X ... (II.16)
II.2.1. Mencari nilai parameter dan nilai ukuran terkoreksi apabila diketahui bobot ukuran.
Dari persamaan (II.15) nilai X koreksi parameter harus ditentukan untuk mencari nilai estimasi parameter (Xa). Dalam teori hitung kuadrat terkecil metode parameter, harga X dapat ditentukan berdasarkan data hasil perhitungan dari data pengukuran yaitu mencari nilai parameter dan nilai ukuran terkoreksi. Terkadang ketelitian pengukuran yang digunakan pada hitung kuadrat terkecil tidak sama sehingga untuk hasil estimasi yang lebih realistis pada proses hitungan diberikan bobot sesuai dengan ketelitian saat pengukuran.
Penentuan bobot ukuran dapat dinyatakan dengan persamaan (Mikhail, 1981). P = σo2/ σl2 ... (II.17)
Dalam hal ini, σ02= varian apriori
σ2= varian pengukuran
Apabila antar data ukuran tidak berkorelasi maka matriks P adalah matriks diagonal dengan element entri pada diagonal utamanya adalah:
P = σ02. ΣLb−1... (I I.18)
Apabila varian apriori σ02 telah ditentukan nilainya yaitu 1, matriks P dapat
ditulis:
Sesuai dengan teori kuadrat terkecil maka untuk mendapatkan nilai La terbaik jumlah kuadrat residu (V) harus minimum dan dalam bentuk matriks hasil perhitungannya akan sama dengan V transpose dikalikan dengan V, sehingga persamaannya menjadi (Hadiman, 2001):
= (XTAT+ FT)P(AX + F)
= XTATPAX + XTATPF + FTPAX + FTPF
= XTATPAX + 2FTPAX + FTPF ... (II.20)
Dengan menggunakan diferensial parsial ke vektor X diperoleh:
= 0
2XTATPA + 2FTPAXTATPA + FTPA = 0
-(ATPA)-1(ATPF) = X ... (II.21)
Berdasarkan nilai X yang dihitung dari persamaan di atas dapat ditentukan nilai estimasi pengamatan (La) dan juga beberapa persamaan yang nantinya akan digunakan dalam analisis jaringan.
La = L + V = L – A(ATPA)-1(ATPF) + F ... (II.22)
σ02 = VTPV / n – u ... (II.23)
Σxx = σ02(ATPA)-1... (II.24)
Σvv = σ02( P-1– A(ATPA)-1AT) ... (II.25)
Dalam hal ini :
σ02 = varian aposteori
Σxx = matriks varian kovarian parameter Σvv = matriks varian kovarian residu
II.2.2. Kontrol hitungan.
Pada proses hitung perataan yang melibatkan hitungan dengan persamaan tidak linier, kontrol hitungan menjadi suatu prosedur yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan pada proses hitungan dengan persamaan tidak linier dibutuhkan proses iterasi yang berulang-ulang agar diperoleh nilai estimasi parameter yang sesuai. Terkadang pada saat melakukan proses perhitungan, dari iterasi didapatkan hasil nilai koreksi parameter (X) dan juga harga residu (V) yang semakin membesar. Melihat hasil ini terkadang diasumsikan bahwa data pengukuran yang diperoleh adalah data yang kurang bagus karena semakin besarnya nilai koreksi (V) yang secara otomatis harga dari
varian aposteori σ02juga akan semakin menjadi besar, yang berakibat uji data pengukuran
akan ditolak. Untuk itulah kontrol perhitungan menjadi proses yang penting untuk dilakukan apakah perhitungan yang dilakukan telah benar dan sesuai dengan hasil yang diinginkan. Menurut Hadiman (2001), kontrol hitungan pada metode parameter dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
VTPV= FTPV ... (I I.26)
Bila terjadi perbedaan, karena pembulatan dalam proses hitungan, berarti secara keseluruhan ada kesalahan dalam proses hitungan. Meskipun kontrol hitungan dapat ditentukan, namun prosedur ini hanyalah untuk mengontrol proses perhitungan yang dilakukan, bukan kontrol kebenaran penyelesaian yang juga tergantung dengan jumlah pengamatan dan parameter yang digunakan. Terkadang pada hitungan awal terjadi perbedaan selisih harga yang besar antara nilai VTPV dan FTPV. Untuk itu, agar perbedaan
ini tidak terlalu besar atau mungkin selisih antara keduanya bernilai nol, maka caranya adalah dengan menggunakan harga pendekatan parameter yang diperkirakan nilainya sama dengan nilai parameter hasil estimasi perhitungan.
II.2.3. Linierisasi persamaan pengamatan
Persamaan yang membentuk hubungan antara pengukuran sudut maupun jarak dengan koordinat titik-titik estimasi merupakan persamaan non-linier. Untuk itu perlu dilakukan linierisasi menggunakan deret Taylor (Soeta’at, 1996). Secara umum proses linierisasi dengan menggunakan deret Taylor adalah melakukan diferential persamaan terhadap parameter yang ingin diketahui nilainya sampai suku pertama dan menganggap suku kedua hingga seterusnya (atau suku ke-n) mendekati nol.
II.2.4. Linierisasi persamaan pengamatan jarak.
Fungsi data ukuran jarak terhadap parameter posisi 2D (x,y) merupakan persamaan yang tidak linier sehingga perlu dilakukan proses linierisasi menggunakan deret Taylor yang secara umum seperti dalam persamaan berikut.
F(x) = Lb + V = F(x0) + ( )
( ) x + ... (II.27)
Gambar II.2. Jarak antara koordinat A dan B
Diasumsikan bahwa koordinat A telah diketahui maka dengan menggunakan deret Taylor dapat dilakukan linierisasi persamaan (I.28) terhadap xB dan yB sehingga diperoleh persamaan linierisasi sebagai berikut:
dAB + VdAB = d0
AB+ │XA=XAOXA+ │YA=YAOYA+
│XB=XBOXB+ │YB=YBOYB+ ... (II.29)
Jika f u = F x = dAB maka dengan notasi Leibnitz suatu persamaan diferensial dapat dinyatakan dengan
= . ... (II.30)
Sehingga persamaan jarak dABdapat dibentuk menjadi
y = √u ;
u = (xB− xA)2+ (yB− yA)2
dan dari kedua persamaan di atas didapatkan hasil diferensial =
√ ;
dengan menggunakan aturan Leibneitz pada persamaan (II.30) didapatkan hasil diferensial terhadap koordinat xB , begitu juga dengan cara yang sama dilakukan
proses diferensial terhadap koordinat yBmenghasilkan:
F’ (x) = =
( ) ( ) ... (II.31)
F’ (x) = =
( ) ( ) ... (II.32) II.2.5. Linierisasi persamaan pengamatan sudut.
Besar sudut horisontal suatu geometri jaring adalah selisih bacaan arah horisontal yang satu dengan arah horisontal lainnya pada azimut tertentu yang diilustrasikan pada gambar (I.4). Dari gambar (I.4) dapat diperoleh model matematik pengamatan sudut yaitu
F x = θ = 360o+ α
AC− αAB... (II.33)
Gambar II.3. Pengamatan sudut A
Karena sudut θ merupakan persamaan tidak linier maka perlu dilinierisaikan dengan menggunakan deret Taylor, sehingga persamaan sudut θ menjadi:
F(x) = θ + V = F(xo) + ( )
Diasumsikan koordinat titik referensi adalah koordinat A (xA, yA) dan B (xB, yB).
Persamaan sudut di atas dibentuk dari persamaan fungsi sinklometri yaitu kebalikan (inverse) fungsi dari trigonometri. Karena dalam kasus ini diferensial hanya pada titik koordinat C (xc , yc) maka dengan menggunakan aturan Leibneitz pada persamaan (II.30) didapatkan dua persamaan yaitu:
f (u) = arc tan u ;
u = ( )
( )
karena f (u) merupakan fungsi sinklometri maka diperlukan suatu metode khusus dalam proses diferensial f (u) terhadap u , sehingga dalam perhitungan ini juga diperlukan hasil diferensial dari fungsi trigonometri tangent sebagai berikut:
( ) =
( )
( ) = sec
2f(u)
ingat bahwa dalam persamaan trigonometri sec2f(u) − tan2f(u) = 1 , maka didapatkan
sec u = 1 + x2
dengan menggunakan fungsi invers didapat
Hasil akhir dari proses ini didapat dengan menggunakan aturan Leibneitz pada persamaan (II.30), dengan proses diferensial terhadap koordinat xB , begitu juga
dengan cara yang sama yang dilakukan terhadap koordinat yBmenghasilkan:
F’ (x) = =
( ) ( ) ... (II.35)
F’ (x) = = ( )
( ) ( ) ... (II.36) II.2.6. Uji statisitik hasil hitungan perataan
Untuk mengetahui bahwa hasil pengamatan di lapangan tidak mengandung kesalahan tak acak maka nilai varian dan koreksi ukuran hasil pengamatan dilakukan pengujian secara statistik untuk daerah kepercayaan tertentu. Pengujian statistik yang dilakukan berupa data snooping untuk mengetahui atau mendeteksi adanya kesalahan blunder. Kesalahan suatu pengamatan dalam konsep hitung kuadrat terkecil,
diasumsikan mengikuti sebaran normal. Kebenaran asumsi ini perlu diuji dengan menggunakan uji statistik. Salah satu uji statistik untuk mendeteksi adanya kesalahan kasar (gross error) dapat dilakukan dengan uji Tau. Uji ini merupakan hasil pengembangan data snooping untuk mencari data pengamatan yang dihinggapi kesalahan kasar. Uji Tau diterapkan untuk menghindari kesalahan estimasi nilai varian apriori (σo2) yang menyebabkan kurang terwakilinya kondisi pengukuran di lapangan
sebenarnya (Kuang, 1996). Pada pendeteksian ini setiap data diuji dengan tujuan menemukan data pengamatan yang mengandung kesalahan besar. Oleh karena itu perlu dicari penyebab penolakan Hipotesis nol (Ho), sehingga perlu disusun lagi Ho dan hipotesis alternatif atau tandingan (Ha) sebagai berikut :
Ho : hasil pengamatan tidak dipengaruhi kesalahan kasar Ha : hasil pengamatan dipengaruhi kesalahan kasar Tahapan pengujiannya adalah sebagai berikut.
1. Menyusun hipotesis :
Hipotesa nol (Ho, merupakan perumusan sementara yang akan diuji kebenarannya) yang berarti pengamatan ke li tidak dipengaruhi kesalahan kasar. Hipotesa tandingan (Ha, sebagai lawan dari hipotesa nol) yang berarti pengamatan ke li dipengaruhi kesalahan kasar.
2. Menetapkan taraf uji (αo).
3. Menentukan nilai tα /2 dari tabel fungsi distribusi t-student dengan argument
αodan r (derajat kebebasan).
4. Menentukan nilai batas tαo /2 yang dapat dihitung dari hubungan dengan
distribusi t-student dengan rumus (Kuang, 1996) :
5. Menghitung nilai Tiuntuk setiap data pengamatan
Ti = Vi/ σvi ... (II.38)
dalam hal ini :
σvi : simpangan baku koreksi pengamatan ke-i (akar dari elemen diagonal matriks ∑vv )
6. Menguji hipotesis nol (Ho)
Hipotesis nol diterima jika : | τi | < ταo /2 ... (II.39)
Penerimaan Ho bermakna bahwa ukuran li tidak dipengaruhi kesalahan kasar, ini artinya data ukuran tersebut tidak perlu dihilangkan atau diulang. Hal yang sebaliknya berlaku untuk penolakan Ho yang bermakna bahwa ukuran li dipengaruhi kesalahan kasar, sehingga perlu dilakukan cek data ukuran atau pengukuran dengan kesalahan kasar tersebut tidak disertakan dalam proses hitungan.
II.2.7. Elips kesalahan
Hasil perhitungan dari data pengukuran sudut, azimut dan jarak menghasilkan nilai koordinat dari suatu titik. Dengan menggunakan metode hitung kuadrat terkecil dapat ditentukan koordinat titik stasiun dan juga varian kovarian parameter, sehingga setiap titik hasil estimasi pasti berpasangan dengan ketelitiannya atau standar deviasinya. Namun, dengan hanya mengetahui simpangan bakunya belum dapat ditentukan kualitas dari posisi yang dihasilkan, sebab posisi x dan y bukanlah posisi yang dihitung secara terpisah tetapi penentuan kesalahan melibatkan distribusi kesalahan gabungan dari x dan y. Dari permasalahan ini untuk menunjukkan hubungan kesalahan dua variabel dan sekaligus untuk menunjukkan kualitas titik stasiun hasil perhitungan diperlukan suatu tampilan secara visual maupun nilai numeris dengan cara membentuk elips kesalahan pada setiap titik koordinat hasil estimasi.
Gambar (II.4) menjelaskan tentang visualisasi dari elips kesalahan. Arah orientasi dari elips kesalahan bergantung dari sudut t, yang merupakan sudut yang dibentuk dari sumbu y searah jarum jam dengan sumbu kedua u dan sumbu v yang saling tegak lurus membentuk sudut 90o. Sudut t diperlukan untuk mencari besarnya sumbu
maksimum u dan sumbu minimum v. Sumbu u memperlihatkan kesalahan maksimum dari hasil estimasi begitu juga sebaliknya, sumbu v memperlihatkan kesalahan minimum dari perhitungan koordinat hasil estimasi. Dari gambar (II.4) diperlihatkan hubungan antara sumbu kartesi (x, y) dan (u, v).
Gambar II.4. Elips kesalahan (Ghilani, 2005)
Untuk mendapatkan koordinat kartesi dari u dan v, dari gambar di atas dapat ditarik hubungan matematis:
Sui = Sxi sin t + Syi cos t ... (II.40) Svi = −Sxi cos t + Syi sin t ... (II.41) Dalam bentuk matriks dapat ditulis
dalam bentuk yang sederhana adalah
Z = R . X ... (II.43) dengan:
ui = sumbu maksimum elips vi = sumbu minimum elips
t = sudut rotasi elips terhadap sumbu kartesi 2D R = matriks rotasi
Untuk permasalahan hitung perataan pada sistem koordinat (x,y), dapat dihasilkan matriks kofaktor QXX. Matriks ini kemudian dikembangkan ke dalam sistem
koordinat (u, v) sesuai dengan persamaan (Ghilani, 2005):
Penjabaran matriks QZZ adalah
Dimana entri kofaktor QXX adalah varian dan kovarian dari nilai koordinat.
Jika persamaan (I.46) dimasukkan dalam persamaan (I.44) didapatkan:
Sesuai dengan persamaan di atas maka dapat ditulis:
quu = qxx sin2t + 2qxy cos t sin t + qyy cos2t ... (II.48) qvv = qxx cos2t − 2qxy cos t sin t + qyy sin2t ... (II.49)
Untuk membuat nilai sudut t berharga maksimal terhadap quu maka lakukan diferential quu terhadap sudut t dan aturlah hasil akhir dari persamaan quu dengan nilai 0.
= 2 sin 2t + 2qxycos 2t = 0
sehingga didapat hasil diferensial quu terhadap t yaitu:
= tan 2t = ... (II.50)
Dalam kasus analisis jaring sangatlah diperlukan perbandingan elips kesalahan dari setiap titik yang ada pada jaring. Hal ini diperlukan agar dapat diketahui kualitas dari masing–masing jaring menggunakan uji statistik dengan tingkat kepercayaan tertentu. Menggunakan uji statistik Fisher hubungan antara elips kesalahan dengan kualitas jaring dapat ditentukan, persamaannya adalah (Ghilani, 2005).
Su%= Suc = Su√ 2 Fα,2,derajad kebebasan... (II.51)
Sv%= Svc = Sv√ 2Fα,2,derajad kebebasan... (II.51)
Dari persamaan di atas dapat ditarik hubungan jika jumlah derajad kebebasan meningkat maka presisi akan meningkat dan ukuran dari kesalahan elips akan
mengecil. Harga F ditentukan dari tingkat kepercayaan yang digunakan sesuai dengan tabel I.2 (Ghilani, 2005).
Tabel II.2. Tabel statistik nilai kemungkinan Derajad bebas bebas Kemungkinan 90% 95% 99% 1 49,50 199,50 4999,50 2 9,00 19,00 99,00 3 5,46 9,55 30,82 4 4,32 6,94 18,00 5 3,78 5,79 13,27 10 2,92 4,10 7,56 15 2,70 3,68 6,36 20 2,59 3,49 5,85 30 2,49 3,32 5,39 60 2,39 3,15 4,98
Disamping menyediakan informasi kepresesian dalam bentuk angka, keuntungan lain dari elips kesalahan adalah menampilkan informasi secara visual kepresesian antara dua koordinat (Ghilani, 2005), sebab dengan menggunakan informasi secara numeris maupun grafis, dapat ditentukan kualitas dari suatu jaring titik kontrol. Dalam pekerjaan survei pengukuran, bentuk, ukuran, dan sudut orientasi dari elips kesalahan bergantung dari ketelitian dan jumlah titik kontrol yang digunakan, kepresesian pengukuran dan bentuk geometri jaring dari survey. Dalam desain jaring ketiga hal ini sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil perhitungan posisi yang handal.
Dalam proses analisis tingkat kepresesian dari titik-titik pantau, selain menggunakan analisis secara visual digunakan juga klasifikasi jaring titik kontrol horisontal sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Kelas suatu jaring titik kontrol horizontal ditentukan berdasarkan panjang sumbu-panjang (semi-major axis) dari setiap elipss kesalahan relatif (antar titik) dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan jaringan kuadrat terkecil terkendala minimal (minimal constrained). Dalam hal ini panjang maksimum dari sumbu panjang elipss kesalahan relatif yang digunakan untuk menentukan kelas jaringan adalah :
r = c ( d + 0.2 )... ... (II.53) keterangan:
r = panjang maksimum dari sumbu-panjang yang diperbolehkan, dalam milimeter c = faktor empirik yang menggambarkan tingkat presisi survei;
d = jarak antar titik, dalam kilometer.
Berdasarkan nilai faktor c tersebut, kategorisasi kelas jaring titik kontrol horizontal yang diusulkan diberikan pada Tabel I.3 (SNI JKH, 2002).
Tabel II.3. Kelas (pengukuran) jaring titik kontrol horisontal
Kelas c Aplikasi Tipikal
3A 0,01 jaringan tetap (kontinu) GPS
2A 0,1 survey geodetik berskala nasional
A 1 survey geodetik berskala regional
B 10 survey geodetik berskala lokal
C 30 survey geodetik untuk perapatan
BAB III PELAKSANAAN
Pelaksanaan kajian meliputi tahap persiapan dan tahap peaksanaan. Kedua tahapan ini akan diuraikan sebagai berikut:
III.1. Persiapan
Tahapan persiapan ini meliputi kegiatan pengumpulan bahan / data dan peralatan yang digunakan dalam penelitian, yaitu:
III.1.1. Pengumpulan bahan
Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah data dari dua desain jaring titik kontrol yang diperoleh dari masing-masing pengukuran. Penjelasan dari masing-masing data adalah sebagai berikut:
1. Data pengukuran poligon lorong I dengan 40 titik yang meliputi data ukuran sudut horisontal dan jarak horisontal.
2. Data pengukuran poligon lorong I dengan 8 titik yang meliputi data ukuran sudut horisontal dan jarak horisontal.
III.1.2. Peralatan
Beberapa peralatan yang digunakan untuk kajian ini adalah: 1. Perangkat keras yang digunakan antara lain
a. Notebook b. Flashdisk c. Kalkulator d. Printer
2. Perangkat lunak yang digunakan antara lain a. Sistem operasi Windows 7
b. Autodesk Survey 2004 c. Microsoft Office Excell 2007 d. Microsoft Office Word 2007 3. Peralatan ukur yaitu
a. Total Station Leica TCR805 Ultra b. Statif
III.2. Pelaksanaan
Pada tahapan ini dipaparkan tentang proses pengumpulan data, proses perhitungan poligon dengan metode bowdith untuk data ukuran, hitungan perbandingan dengan metode parameter, uji statistik hasil hitungan perbandingan dari masing-masing hitung perataan, dan analisis kualitas jaring horisontal yang disesuaikan dengan tujuan dari kajian. Tahapan pelaksanaan secara umum dapa dilihat pada gambar II.1.
Gambar III.1. Tahapan pelaksanaan kajian Ya
Pembuatan Rancangan Pengukuran Jaring Kontrol Deformasi Alternatif Pengumpulan Data
Hitung Perataan Kuadrat Terkecil Metode Parameter - Sprinter 200M
Pengolahan Metode Bowdith
Pembuatan pilar / tugu untuk station monitoring dan titik referensi
Perhitungan Elips Kesalahan
Studi lapangan
Kesimpulan
Pengembangan Metode Pengukuran Deformasi Vertikal dan Horisontal Candi Borobudur
Analisis Perbandingan Kualitas Geometri Jaring Pengukuran
Uji data Snooping α0= 95 %
Penulisan Laporan
Tidak
Penentuan titik target monitoring
Pendefinisian koordinat station monitoring dan titik referensi
Penentuan lokasi titik station monitoring dan titik referensi
Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tahapan pokok yang tersaji dalam diagram alir pelaksanaan kajian
III.2.1. Tahap pengumpulan data
Pengumpulan data terbagi kedalam dua proses pengukuran, yaitu pengukuran jaring kontrol deformasi eksisting dan jaring kontrol deformasi yang disederhanakan. Dalam hal ini jaring kontrol yang dimaksud adah jaring kontrol deformasi lorong I dan jaring kontrol deformasi lorong IV. Untuk pengukuran poligon lorong I eksisting dengan 40 titik kontrol dan pengukuran poligon lorong I yang disederhanakan menjadi 8 titik kontrol dapat dilaksanakan, sedangkan untuk poligon lorong 4 eksisting dengan 24 titik kontrol dan poligon lorong 4 yang akan disederhanakan menjadi 8 titik belum dapat dilakukan perbandingan karena pada waktu dilakukan pengukuran poligon yang disederhanakan menjadi 8 titik kontrol ada satu titik yang tidak bisa terlihat dari titik yang lain sehingga agar bisa disederhanakan sebelumnya harus menggeser titik tersebut atau membuat satu titik kontrol baru .
Data yang dikumpulkan adalah data ukuran sudut dan jarak untuk mendapatkan posisi 2 dimensi. Pengambilan data poligon lorong I dengan 40 titik kontrol dilakukan selama 10 hari dari tanggal 25 Agustus sampai dengan 5 September 2014, sedangkan untuk poligon lorong I dengan 8 titik dilakukan selama 2 hari yaitu 8-9 September 2014. Sketsa pengukuran kedua jaring poligon tersebut disajikan pada gambar III.2.
III.2.2. Perhitungan poligon dengan metode bowdith
Dalam suatu pengukuran terristris khususnya pada pengukuran suatu jaring poligon tertutup, diperlukan suatu metode yang relatif mudah dan cepat dalam proses perhitungan data ukuran yang didapat agar diperoleh nilai koordinat dari titik-titik yang ada pada poligon tertutup. Untuk melaksanakan tujuan ini maka digunakanlah metode Bowdith pada perhitungan awal data ukuran, sebelum data ukuran ini dihitung dengan menggunakan metode perhitungan yang melibatkan uji statistik di dalamnya. Selain itu, metode Bowdith ini juga diperlukan untuk menentukan tingkat kelas daripada poligon tertutup yang diukur, sebab pada proses monitoring jaring deformasi diperlukan suatu jaring yang memiliki tingkat ketelitian yang tinggi.
Tahapan perhitungan dari metode Bowdith untuk data ukuran poligon disajikan secara umum sebagai berikut:
1. Menetukan dan menghitung syarat sudut yang digunakan sesuai dengan persamaan (II.4), sehingga selisih perhitungan antara syarat sudut dan jumlah sudut yang diperoleh dikoreksikan kepada masing-masing sudut ukuran.
2. Menghitung azimuth setiap sisi dengan menggunakan sudut pada hasil koreksi dari perhitungan sebelumnya dan untuk perhitungan azimuth setiap sisi poligon lorong I digunakan persamaan (II.3).
3. Menghitung jarak absis dan ordinat dari titik-titik yang akan ditentukan nilainya dengan menggunakan persamaan jarak absis adalah d sin α dan jarak ordinat adalah d cos α.
4. Lakukanlah koreksi pada perhitungan jarak absis dan ordinat, sebelum kedua jarak ini digunakan untuk menghitung nilai dari koordinat masing-masing titik, dengan cara menambahkan koreksi pada kedua jarak sesuai dengan persamaan (II.6) dan persamaan (II.7).
5. Koordinat titik-titik poligon dihitung sesuai dengan persamaan (II.1) dan persamaan (II.2).
6. Mengjitung ketelitian penutup jarak dari poligon dengan membandingkan antara kesalahan linier poligon yang didapat dengan jumlah jarak semua sisi dalam poligon seperti persamaan berikut ini.
Salah satu pertimbangan dalam pembuatan desain kerangka dasar pengukuran adalah tujuan dari pembuatannya. Pada kajian ini pengukuran kerangka dasar bertujuan untuk memantau stabilitas struktur candi Borobudur dan bukit untuk keperluan monitoring deformasi. Selain itu, penentuan nilai koordinat dari masing-masing titik yang ada pada jaring poligon tertutup juga nantinya dapat digunakan sebagai nilai koordinat pendekatan pada proses pengolahan data ukuran dan estimasi nilai koordinat pada hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter.
III.2.3. Hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter
Setelah pengolahan data ukuran dengan metode bowdith, maka tahapan selanjutnya adalah pengolahan data ukuran dengan menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter. Proses ini dilakukan karena data ukuran yang digunakan memiliki ukuran lebih (r) dan juga metode ini digunakan untuk menentukan nilai koordinat dari titik-titik pemantau yang ada pada jaring poligon. Perbandingan yang terlihat pada kedua metode perhitungan ini adalah pada hasil nilai koordinat titik pemantau yang dihasilkan, jika pada metode bowdith dihasilkan hanya nilai koordinat dari titik pemantau maka pada perhitungan metode parameter ini didapat hasil nilai koordinat dan juga simpangan baku dari nilai koordinat. Simpangan baku hasil estimasi inilah yang nantinya digunakan untuk analisis data ukuran dan analisis kualitas jaring deformasi.
Bentuk desain jaring titik pemantau pada candi Borobudur adalah poligon tertutup, sehingga perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap kualitas jaring pengukuran terutama jika dikaitkan dengan tujuan pengukuran. Untuk pengukuran deformasi horisontal, diperlukan suatu desain jaring yang berkualitas. Seperti dijelaskan sebelumnya, suatu bentuk jaring pengukuran dikatakan berkualitas jika mempunyai data ukuran yang bebas dari kesalahan tidak acak dan juga mempunyai ukuran elips kesalahan yang kecil, sehingga dengan kedua hal tersebut dapat dilakukan analisis perbandingan terhadap bentuk jaring yang telah diukur selama ini dan juga bentuk jaring yang telah disederhanakan. Untuk tujuan analisis kualitas ini dilakukan perhitungan perbandingan dengan metode parameter dengan data ukuran dan hasil estimasi nilai koordinat yang berbeda. Berikut ini adalah tahapan proses hitung perataan metode parameter pada masing-masing data ukuran.
Pada tahap hitung perbandingan ke-1 digunakan jaring pemantauan poligon lorong I dengan 40 titik kontrol. Pengukuran kedua jaring poligon lorong I menggunakan alat yang sama yaitu Total Station Leica TCR805 Ultra sehingga dengan ketelitian alat yang sama dapat dilakukan perbandingan elips kesalahan diantara kedua jaring poligon tersebut manakah yang akan menghasilkan tingkat kepresisian titik kontrol yang lebih baik.
Pada uraian sebelumnya telah disinggung bahwa untuk penentuan estimasi koordinat titik kontrol 2 dimensi digunakan data ukuran jarak dan sudut. Dari kedua pengukuran ini dibentuk fungsi matematis dari parameter yang dicari yaitu koordinat (x,y) sesuai dengan persamaan pengukuran berikut ini.
L1+ V1= 360o–{ ( ) ( ) ( ) ( )} ... (III.2) L2+ V2= √ (x2– x1)2+ (y2– y1)2... (III.3) Ln + Vn = ...
Dari persamaan diatas dibentuk matriks F yang merupakan vektor sisa fungsi parameter dikurangi dengan matriks L dan juga matriks A yang merupakan diferensial persamaan pengukuran ke masing-masing parameter. Pada penentuan estimasi parameter dengan proses hitung perataan ini digunakan matriks bobot yang berfungsi agar estimasi nilai koordinat sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Berikut ini adalah tahapan perhitungan dan juga pembentukan matriks desain yang digunakan pada pengamatan.
1. Pembentukan matriks desain F pada hitungan awal didasarkan pada matriks hasil perhitungan fungsi pengukuran terhadap parameter dikurangi dengan matriks L (matriks pengukuran). Untuk itu diperlukan parameter pendekatan untuk menghitung fungsi pengukuran dimana parameter pendekatan ini diperoleh dari perhitungan estimasi koordinat titik kontrol dengan metode bowdith pada perhitungan sebelumnya.
F(nx1)= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡ 1( 1, 1; 2, 2; 8, 8) − 1. . . ( … … … . … … … … . . ) − ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤
2. Pembentukan matriks desain A pada hitungan awal didasarkan pada differensial persamaan pengukuran ke masing-masing parameter yang akan diestimasi, dengan nilai parameter yang digunakan pada persamaan hasil diferensial merupakan parameter pendekatan hasil estimasi dengan metode bowdith.
...
A(nxu)= . . . . . .
. . . . . . ...
3. Matriks desain P (matriks bobot) dibentuk berdasarkan simpangan baku dari masing-masing pengukuran sudut dan jarak. Matriks ini disusun berdasarkan persamaan (II.18) karena data pengukuran tidak berkorelasi dan matriks P pada perhitungan ini didesain sesuai dengan pesamaan (II.19).
1/(σL1)2 0 ... 0
P(nxn)= 0 1/(σL2)2 ... 0
... ... ... 0 0 0 0 1/(σLn)2
4. Setelah ketiga matriks desain disusun maka tahapan selanjutnya adalah menghitung nilai estimasi X dengan menggunakan persamaan (II.21), dengan menggunakan koordinat awal (Xo) adalah nilai koordinat hasil estimasi perhitungan bowdith.
5. Menghitung matriks V (residu) dengan menggunakan persamaan (II.13) yang dilanjutkan dengan menghitung varian global dari perhitungan yaitu varian aposteori dengan menggunakan persamaan (II.23).
6. Setelah varian aposteori dihitung maka tahapan selanjutnya adalah menghitung ketelitian dari estimasi nilai koordinat dengan menggunakan persamaan (II.24). Dikarenakan matriks hasil pada perhitungan ini berbentuk matriks bujur sangkar maka simpangan baku dari estimasi koordinat didapat dengan melakukan akar kuadrat dari diagonal utama.
7. Pada tahapan selanjutnya akan dilakukan uji statistik pada data ukuran dengan menggunakan uji data snooping, sehingga diperlukan perhitungan untuk mendapatkan simpangan baku dari residu. Maka dengan menggunakan persamaan (II.25) dilakukan perhitungan estimasi ketelitian dari residu dengan melakukan akar kuadrat dari diagonal utama hasil matriks perhitungan.
8. Lakukan proses iterasi atau pengulangan hitungan dengan nilai koordinat yang akan dijadikan pendekatan (Xo) adalah matriks Xa pada perhitungan awal sampai didapat hasil matriks X yang sesuai.
III.2.4. Uji statistik hasil hitungan perataan (data snooping)
Uji data snooping dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya kesalahan tak acak yang mempengaruhi tiap data pengamatan pada masing-masing jaring poligon. Data snooping dilakukan dengan cara membagi setiap elemen matriks residu (Vi) dengan elemen
tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai kritis Ƭαo/2(critical value) yang didapat dari
tabel distribusi t (student’s t-distribution). Perhitungan ini dilakukan terpisah untuk masing-masing jaring poligon.
Untuk tahapan pengujiannya, dilakukan sesuai dengan bab I pada sub bab uji statistik data ukuran hanya saja tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan derajad kebebasan yang sesuai dengan masing-masing desain jaring poligon. Setelah itu menguji Ho dengan menggunakan persamaan (II.39). Penerimaan Ho mempunyai arti bahwa hasil pengukuran sudut horisontal atau jarak datar ke-i tidak dipengaruhi kesalahan tak acak. Penolakan Ho menunjukkan indikasi bahwa pengukuran ke-i dipengaruhi kesalahan tak acak. Apabila terindikasi adanya kesalahan pada pengukuran ke-i, maka langkah selanjutnya adalah menghilangkan data yang mengandung kesalahan tak acak tersebut dan tidak digunakan untuk tahapan hitungan selanjutnya. Proses uji data pengamatan ini akan berhenti hingga tidak ada lagi data pengamatan yang terdeteksi kesalahan tak acak.
III.2.5. Analisis kualitas jaring
Dari hitung perataan yang telah dilakukan sebelumnya dan juga pengujian secara statistik data pengukuran maka didapat nilai estimasi koordinat titik kontrol dan juga ketelitiannya sehingga tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap kedua jaring poligon dengan tujuan untuk menentukan pengaruh dari jumlah dan ketelitian titik kontrol dan juga bentuk geometri dari jaring pengukuran. Proses analisis ini dilakukan secara visual dengan melakukan penggambaran elips kesalahan pada titik titik kontrol yang ada pada masing-masing desain jaring pengukuran, dengan asumsi dasar bahwa ukuran dan bentuk dari elips menunjukkan kualitas kelas daripada jaring kerangka kontrol deformasi.
Analisis menggunakan elips kesalahan ini dimulai dengan penghitungan sudut orientasi daripada elips kesalahan. Sudut orientasi ini dimulai dari sumbu kartesi y yang mengarah ke utara dan berputar searah putaran jarum jam dengan sudut maksimal adalah 360o. Sudut t dihitung dengan menggunakan persamaan (II.50) dan perlu diketahui bahwa
untuk menentukan sudut t arah orientasi elips perlu diperhatikan tanda +/- dari pembilang dan penyebut dari persamaan (II.50). Sesuai dengan Ghilani (2005) pengaruh tanda dari pembilang dan penyebut untuk menyelesaikan sudut orientasi t disajikan dalam tabel (II.1) berikut ini.
Tabel III.1. Pemilihan kuadrant untuk sudut 2t
Tanda Aljabar Kuadran
Sin 2t (pembilang) Cos 2t (penyebut)
+ + 1
+ - 2
- - 3
- + 4
Dalam geometri elips kesalahan sudut orientasi t mempengaruhi bentuk sedangkan sumbu panjang dan sumbu pendek mempengaruhi ukuran dari elips kesalahan. Setelah sudut t diketahui dan ditentukan nilainya maka dengan persamaan (II.48) dan persamaan (II.49) ditentukan sumbu panjang dan sumbu pendek dari elips kesalahan. Jadi dapat diketahui bahwa elips kesalahan dibuat berdasarkan matriks varian kovarian parameter, untuk itu setelah dihitung panjang dari kedua sumbu maka dapat ditentukan juga simpangan baku dari kedua sumbu elips kesalahan dengan menggunakan persamaan berikut ini.
Su= S0√quu... (I II.4)
Sv= S0√qvv... ( III.5)
Fungsi dan tujuan awal dari perhitungan elips kesalahan adalah analisis visual kepresisian titik kontrol, maka hasil dari perhitungan sumbu panjang dan sumbu pendek harus disajikan secara visual. Proses penyajian elips kesalahan secara visual ini menggunakan software autodesk survey dengan penggambaran meliputi elemen-elemen dari elips kesalahan yaitu sudut t, sumbu panjang dan sumbu pendek yang ditempatkan pada titik kontrol hasil perhitungan. Analisis kualitas jaring ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan jumlah titik kontrol dan perbedaan bentuk geometri dari jaring poligon.
Setelah dilakukan perhitungan elips kesalahan yang berfungsi untuk analisis kualitas secara visual maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis kualitas jaring untuk mengetahui kelas dari desain jaring kontrol deformasi. Seperti dijelaskan pada sub bab II.2.7. analisis kualitas jaring dilakukan dengan menghitung elemen c sesuai dengan persamaan (II.53) pada masing-masing analisis kualitas jaring. Untuk analisis kualitas, hanya digunakan klasifikasi kualitas jaring pada tingkat kelas saja dan tingkat orde tidak dilakukan, karena sesuai dengan penjelasan pada sub bab II.2.7. bahwa kualifikasi pada tingkat kelas hanya bertujuan untuk menentukan tingkat desain jaring yang menggunakan
jumlah titik ikat yang sesuai dengan kekurangan rank-nya atau disebut juga dengan perataan kendala minimum (minimum constraint adjusment).
III.3. Studi lapangan
Kegiatan studi lapangan dalam kajian ini adalah dengan mengunjungi waduk sermo untuk mengetahui metode monitoring deformasi di waduk sermo khususnya pengukuran yang menggunakan robotic total station.. Maksud dari kegiatan studi lapangan ini adalah untuk mengetahui desain statif permanen robotic total station, tata letak prisma taget, dan pengolahan data monitoring deformasi di waduk sermo. Kemudian dari pengetahuan yang diperoleh diharapkan bisa diterapkan untuk monitoring deformasi Candi Borobudur sesuai dengan kondisi yang ada di Candi Borobudur.
III.4. Pembuatan rancangan jaring kontrol deformasi alternatif
Pada kajian ini akan dibahas tentang pengembangan metode pengukuran deformasi candi Borobudur menggunakan Robotic Total Station. Pertimbangan yang pertama adalah karena pada tahun ini Balai Konservasi Borobudur mendapatkan bantuan dari tim pengadaan pusat yang salah satunya adalah berupa Robotic Total Station merk Topcon MS01AX sehingga alat ini seharusnya bisa dimanfaatkan secara optimal. Pertimbangan yang kedua adalah alat ini memang dikembangkan untuk digunakan sebagai alat monitoring deformasi secara otomatis / ADMS (Automated Deformation Monitoring
System) yang sebelum bisa digunakan sebaiknya perlu dikaji terlebih dulu kelebihan dan
kekurangannya sehingga nantinya bisa digunakan secara optimal.
Untuk merancang pengukuran jaring kontrol deformasi menggunakan robotic total station maka tim kajian melakukan konsultasi dengan narasumber kajian yaitu akademisi dari Teknik Geodesi UGM dan purnakarya dari Balai Konservasi Borobudur yang terlibat langsung dalam pemugaran kedua dan pengukuran jaring kontrol deformasi candi Borobudur. Konsultasi tersebut untuk dapat menentukan beberapa hal sebagai berikut :
Pemilihan lokasi-lokasi titik kontrol monitoring a. Titik stasion monitoring
b. Titik referensi
Pemilihan lokasi-lokasi target monitoring
Selain itu tim kajian juga melakukan konsultasi dengan pihak vendor atau pihak penyedia alat ukur dan software untuk merancang sistem yang ideal menyesuaikan dengan kondisi yang ada di lokasi yaitu antara lain :
Penyiapan fasilitas pendukung: rumah alat, power supply, keamanan, prisma, pilar dll.
Instalasi alat ukur, alat komunikasi dan software
Pengaturan system, testing, setting untuk mendapatkan hasil ketelitian yang maksimal
Analisa: analisa data, penentuan limit, peringatan dini ( oleh ahli yang kompeten)
Perawatan untuk semua system: software maintenance, kalibrasi hardware, service dll.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab IV disajikan hasil yang diperoleh dari kajian beserta pembahasannya. Adapun hasil dari kajian ini adalah hasil hitungan perataan poligon dengan metode bowdith, hasil hitungan perataan dengan hitung kuadrat terkecil metde parameter, analisis kualitas jaring kontrol deformasi, hasil studi banding di waduk sermo, serta rancangan jaring pengukuran deformasi candi Borobudur menggunakan robotic total station.
IV.1. Hasil hitungan perataan poligon dengan metode bowdith
Perataan Bowdith dilakukan untuk menetukan nilai koordinat dari titik-titik kontrol, dan juga untuk menentukan tingkat kelas dari jaring poligon. Dengan menggunakan persamaan (II.4), maka didapat nilai dari kesalahan sudut pada pengukuran poligon pada pengamatan poligon lorong I dengan 40 titik dan dengan poligon lorong I yang disederhanakan dengan 8 titik, yaitu sebesar 43” dan -14,39”. Telah diketahui pada bab II (pelaksanaan), bahwa jumlah titik kontrol pada jaring poligon lorong I adalah 40 buah, dan yang sudah disederhanakan adalah 8 buah, maka koreksi setiap sudut ukuran pada masing-masing jaring poligon adalah 1,08 dan -1,79. Setelah itu, dengan persamaan (II.1) dan (II.2) didapat hasil nilai koordinat dan juga tingkat ketelitian dari poligon sesuai dengan tabel IV.1 dan tabel IV.2 yaitu sebagai berikut
Tabel IV.1. Hasil perhitungan bowdith lorong I dengan 8 titik
Titik Koordinat X Y T1 245,995 273,620 5 240,210 233,367 S1 200,000 227,229 14 159,908 233,842 B1 153,500 273,585 23 159,725 313,772 U1 199,964 319,896 32 240,285 313,724 fα 14,3917" koreksi 1,79" ΣD 324,8989 m fl 0,02100 Ketelitian 1:15444
Tabel IV.2. Hasil perhitungan bowdith lorong I dengan 40 titik
Titik Koordinat Titik Koordinat
X Y X Y T1 245,959 273,571 B1 153,526 273,542 1 246,005 266,286 19 153,776 280,475 2 242,298 258,588 20 157,488 288,273 3 243,436 249,517 21 156,454 297,267 4 239,579 241,553 22 160,409 305,334 5 240,183 233,352 23 159,757 313,694 6 231,521 233,190 24 169,177 313,969 7 223,095 229,931 25 176,855 317,149 8 214,620 231,152 26 184,907 315,979 9 206,875 227,254 27 193,055 319,562 S1 200,000 227,229 U1 199,965 319,808 10 193,502 227,324 28 207,181 319,377 11 185,464 231,285 29 214,462 315,946 12 176,137 230,008 30 223,345 317,139 13 168,275 233,813 31 231,824 313,888 14 159,935 233,830 32 240,254 313,642 15 159,466 242,035 33 239,812 305,495 16 156,597 250,657 34 243,299 297,565 17 157,444 258,814 35 242,232 288,433 18 154,139 266,596 36 246,056 281,166 fα 43" koreksi 1,08" ΣD 333,9919 m fl 0,10514 Ketelitian 1:3177
Dengan mengacu pada tabel II.1 yang berisi kelas ketelitian poligon maka dari tabel IV.1 dan tabel IV.2 dapat dilihat bahwa jaring poligon lorong I dengan 8 titik termasuk tingkat kelas ketelitian ke–2, sedangkan jaring poligon lorong I dengan 40 titik termasuk tingkat kelas ketelitian ke-4. Setelah diketahui nilai dari koordinat titik-titik kontrol dengan metode bowdith, maka tahapan selanjutnya adalah hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter dengan nilai pendekatan adalah nilai koordinat dari parameter-parameter estimasi yang diperoleh dari perhitungan metode bowdith.
IV.2. Hasil hitungan perataan dengan hitung kuadrat terkecil metode parameter
Dengan menggunakan nilai koordinat pada hitungan metode bowdith sebagai nilai pendekatan, maka dengan menggunakan hitungan kuadrat terkecil metode parameter dihitung nilai koordinat titik-titik kontrol dan juga simpangan bakunya. Untuk itu, agar diperoleh nilai estimasi dan ketelitian yang benar maka diperlukan suatu persamaan dari data ukuran yang merupakan fungsi dari parameter. Sebab selain berfungsi sebagai metode penentuan nilai koordinat dan simpangan bakunya, metode parameter juga digunakan untuk melakukan uji terhadap data ukuran terhadap kesalahan tak acak. Berikut ini akan dijelaskan hasil dari pembahasan dari data ukuran yang didapat sesuai dengan masing-masing jaring poligon lorong I dengan 8 titik dan jaring poligon lorong I dengan 40 titik.
IV.2.1. Hasil hitungan poligon lorong I dengan 40 titik
Dalam hitungan ini digunakan jaring pengukuran poligon I dengan 40 buah titik koordinat, yaitu titik 1-36, S1, B1, U1, dan T1. Dari 40 titik ini ditentukan dua titik referensi untuk keperluan analisis kualitas jaring yaitu titik S1 dan titik 10.
Seperti dijelaskan pada bab 2 pelaksanaan, pada hitungan ini digunakan uji Pope’s
Tau sebagai pengujian data ukuran. Uji ini dilakukan untuk mengevaluasi data ukuran
apakah data ukuran masih mengandung kesalahan tak acak. Tahap pengujian dilakukan pada data ukuran dengan tingkat kepercayaan terhadap data adalah 95%. Nilai pengujian didapat dari tabel t-student yang disesuaikan dengan derajad kebebasan (r) adalah 3 yang merupakan hasil dari pengurangan jumlah pengukuran (n), yaitu 79 dengan jumlah parameter (u) adalah 76. Nilai dari tabel t dengan tingkat kepercayaan 95% dan derajad kebebasan sama dengan 3 adalah 2,61. Hasil dari pengujian disajikan dalam tabel III.3 berikut ini.
Tabel IV.3. Hasil pengujian data ukuran poligon lorong I dengan 40 titik
UJI DATA UKURAN POLIGON LORONG I DENGAN 40 TITIK
ID V/σ V UJI ID V/σ V UJI L1 0,05000 DITERIMA L41 0,05000 DITERIMA L2 0,30545 DITERIMA L42 0,17180 DITERIMA L3 0,05625 DITERIMA L43 0,01250 DITERIMA L4 0,21910 DITERIMA L44 0,07215 DITERIMA L5 0,04375 DITERIMA L45 0,00625 DITERIMA L6 0,27579 DITERIMA L46 0,04419 DITERIMA L7 0,05000 DITERIMA L47 0,01250 DITERIMA L8 0,19665 DITERIMA L48 0,02883 DITERIMA L9 0,00625 DITERIMA L49 0,01875 DITERIMA L10 0,14695 DITERIMA L50 0,00688 DITERIMA
L11 0,01250 DITERIMA L51 0,03125 DITERIMA L12 0,06989 DITERIMA L52 0,15182 DITERIMA L13 0,01875 DITERIMA L53 0,03125 DITERIMA L14 0,10534 DITERIMA L54 0,19487 DITERIMA L15 0,01250 DITERIMA L55 0,00625 DITERIMA L16 0,16288 DITERIMA L56 0,16408 DITERIMA L17 0,04375 DITERIMA L57 0,05000 DITERIMA L18 0,21053 DITERIMA L58 0,24451 DITERIMA L19 0,00625 DITERIMA L59 0,01250 DITERIMA L20 0,05719 DITERIMA L60 0,23757 DITERIMA L21 0,03125 DITERIMA L61 0,05000 DITERIMA L22 0,03356 DITERIMA L62 0,26290 DITERIMA L23 0,01250 DITERIMA L63 0,05000 DITERIMA L24 0,13839 DITERIMA L64 0,29212 DITERIMA L25 0,05625 DITERIMA L65 0,05000 DITERIMA L26 0,16929 DITERIMA L66 0,25431 DITERIMA L27 0,05000 DITERIMA L67 0,01250 DITERIMA L28 0,15707 DITERIMA L68 0,07718 DITERIMA L29 0,03125 DITERIMA L69 0,05000 DITERIMA L30 0,09931 DITERIMA L70 0,18756 DITERIMA L31 0,05000 DITERIMA L71 0,01250 DITERIMA L32 0,16379 DITERIMA L72 0,03526 DITERIMA L33 0,05000 DITERIMA L73 0,06875 DITERIMA L34 0,20164 DITERIMA L74 0,05000 DITERIMA L35 0,05625 DITERIMA L75 0,27317 DITERIMA L36 0,12222 DITERIMA L76 0,01875 DITERIMA L37 0,04375 DITERIMA L77 0,12529 DITERIMA L38 0,11479 DITERIMA L78 0,05000 DITERIMA L39 0,04375 DITERIMA L79 0,09318 DITERIMA L40 0,17006 DITERIMA
Dari uji yang dilakukan didapat hasil bahwa data ukuran pada jaring poligon tersebut bebas dari kesalahan tak acak, sehingga nilai koordinat hasil estimasi metode parameter beserta dengan ketelitiannya dapat digunakan untuk melakukan analisis kualitas jaring. Hasil penghitungan koordinat dan ketelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel IV.4. Hasil estimasi koordinat poligon lorong I dengan 40 titik kontrol
Titik Koordinat
Simpangan Baku
(m) Titik Koordinat Simpangan Baku(m)
X Y X Y X Y X Y
T1 245,959 273,571 0,1567 0,1868 19 153,776 280,475 0,1454 0,0829
1 246,005 266,286 0,1362 0,1865 20 157,488 288,273 0,1689 0,0765