• Tidak ada hasil yang ditemukan

FA_HKT_MEI_2015.indb 1 13/05/ :27:31

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FA_HKT_MEI_2015.indb 1 13/05/ :27:31"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGANTAR PENULIS

Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya. Segala puji bagi Dia yang telah mengajarkan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Mahasuci Engkau, kami tidak mempunyai ilmu kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para Sahabatnya , para Tabi’in,

dan kaum muslimin yang setia mengikuti jejak langkah mereka sampai akhir zaman.

Banyak dari kisah sejarah hidup Rasulullah , keluarga

beliau, para Sahabat beliau, para Tabi’in, dan ulama-ulama shalih yang belum kita ketahui ataupun yang kita lupakan. Wahai Rabb, kami telah menzalimi diri sendiri; jika Engkau tidak mengampuni dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. Ya Allah, aku pun memohon ilmu yang bermanfaat kepada-Mu; tambahkanlah, dan berilah aku pemahaman. Amin.

Alhamdulillâh, banyak buku sirah Nabi Muhammad

yang sudah diterbitkan; antara lain tulisan Ibnu Hisyam, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, dan Prof. Dr. Zaid Abdul Karim. Begitu pula buku sirah para Sahabat ; seperti tulisan Syaikh

Mahmud al-Mishri, Khalid Muhammad Khalid (tahqiq Sulaiman al-Khurasyi), serta Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya. Sedangkan kisah para Tabi’in, banyak muslim yang belum mengenalnya.

(3)

Sebaliknya, para remaja dan pemuda muslim lebih mengenal biografi Napoleon Bonaparte, Mahatma Gandhi, Helen Keller, Agatha Christie, Bill Gates, ataupun pemain sepakbola dunia dibandingkan biografi tokoh-tokoh Islam dari kalangan Tabi’in. Padahal, dengan mengenal tokoh mukmin tersebut niscaya kita termotivasi dan tergerak untuk meneladani kebaikan mereka.

Beberapa waktu lalu saya membaca biografi tiga tokoh Tabi’in dari sebuah buku terbitan Pustaka at-Tibyan, Solo, yang berjudul

Jejak Para Tabi’in. Dari tiga puluh tokoh Tabi’in yang diuraikan

biografinya dalam buku itu, saya membaca kisah tiga orang ini: Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khathab, Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, dan Ahnaf bin Qais . Dari situlah saya

termotivasi untuk menyusun buku yang berisi keteladanan sikap mereka disertai pelajaran yang bisa kita petik; semoga, kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Lantas, saya menyampaikan ide penyusunan buku ini kepada seorang teman. Dan, dia berkomentar: “Ide bagus, masya Allah! Namun, menurutku, hendaknya diperhatikan dua poin berikut:

pertama, sebaiknya dimuat juga kisah-kisah dan contoh-contoh

konkret dari orang sekarang; kedua, bagaimana menyajikannya secara apik hingga seperti orang dahulu bercerita tentang sosok Salafush Shalih, dari lubuk hati sampai si pembicara menangis. Kita memaklumi, dan ini amat disayangkan, bahwa manusia kini menceritakannya dengan hati yang lalai bahkan sambil tertawa. Memang mudah menyampaikan sirah Nabi, para Sahabat, dan para Tabi’in; yang sulit itu meneladani sikap istiqamah mereka dalam menghadapi musibah maupun ujian kehidupan. Banyak yang pandai bercerita atau menulis kisah tetapi tidak istiqamah!”

(4)

Ucapan teman saya amat berkesan di hati dan selalu teringang dalam pikiran. Maka saya pun berusaha menghadirkan buku ini sebaik mungkin, agar kita dapat memetik pelajaran dan hikmah dari kisah mereka. Semoga keimanan kita semakin bertambah, pemahaman kita semakin lurus, kesungguhan kita memperbaiki kesalahan di masa lalu terpelihara, dan semoga keteladanan yang diutarakan mampu menggugah hati kita untuk menerapkannya. Wahai Rabb, jangan Engkau palingkan hati kami setelah hidayah memasuki relung-relungnya, dan berilah kami kasih sayang-Mu; sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Pemberi. Ya Allah, Rabb yang membolakbalikkan hati, teguhkanlah hati ini supaya tetap berada di atas jalur lurus dien-Mu yang hakiki.

Buku ini tidak memuat biografi lengkap atas setiap tokohnya. Untuk faedah (pelajaran) serta hikmah yang ditulis terbatas pula. Maka saya berharap pembaca turut memberi tambahan pelajaran dan hikmah yang terlewatkan atau yang tidak didapatkan di sini. Saran dan kritik atas segala kekurangan pun begitu saya nantikan. Semoga saja manfaat yang terkandung di dalamnya lebih banyak daripada kekurangan dan kesalahan.

Ya Allah, berilah taufik untuk kami, lapangkanlah dada kami, dan mudahkanlah segala urusan kami. Wahai Rabb, yang hamba inginkan hanyalah perbaikan, sedangkan tidak ada hasil apa pun yang disebabkan oleh kesungguhan serta usaha kami, melainkan semuanya itu karena taufik dan keberkahan dari-Mu .

Cirebon, 4 Rajab 1436 H / 23 April 2015 M

Fariq Gasim Anuz

(5)

PENGANTAR PENERBIT

Segala puji bagi Allah  , Rabb yang telah memilih para

Sahabat sebagai pendamping Rasul-Nya, Muhammad ,

dalam mendakwahkan agama ini. Lantas, Dia memilih beberapa muslim sebagai murid Sahabat-Sahabat beliau, yang di kemudian hari menjadi “penyambung lidah” dakwah Islam; mereka itulah yang diistilahkan Tabi’in.

Ketiganya adalah generasi utama umat ini, Salafush Shalih, sebagaimana dalam hadits riwayat Imran bin al-Hushain :

“Sebaik-baik umatku adalah di masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang

setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari [no. 3650])

Ustad Fariq Gasim Anuz, penyusun buku ini, merasa prihatin terhadap kecenderungan pemuda-pemudi muslim sekarang yang lebih mengenal tokoh-tokoh Barat daripada tokoh-tokoh muslim. Padahal Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khathab tentu lebih baik daripada Bill Gates, Zainal Abidin bin Ali bin Abu Thalib pun tidak sebanding dengan Steve Jobs, juga Ahnaf bin Qais yang niscaya lebih mulia dibanding David Beckham.

Biografi tiga Tabi’in itu diuraikan di sini, berikut faedah serta hikmah dari keteladanan hidup mereka. Anda akan mendapatkan samudera ilmu dalam sosok tiga tokoh mukmin ini, insya Allah.

Jakarta, Rajab 1436 H / Mei 2015 Pustaka Imam asy-Syafi’i

(6)

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS — v PENGANTAR PENERBIT — viii DAFTAR ISI — ix

1. SALIM BIN ABDULLAH BIN UMAR BIN AL-KHATHAB — 1

Belajar dari “Bintang-Bintang”

— 1

Tabi’in yang Zuhud dan Cinta Akhirat

— 27

Salim bin Abdullah dan Hajjaj bin Yusuf — 50 •

Mencintai Ahlul Bait — 62 •

2. ALI BIN HUSAIN BIN ALI BIN ABU THALIB — 83

Zainal Abidin, Cucu Rasulullah

— 83

Ahlul Bait dan Sahabat Nabi — 93 •

Memaafkan Kesalahan dan Tidak Mendendam

— 97

Tabi’in yang Gemar Bersedekah

— 110

3. AHNAF BIN QAIS — 117

Didoakan Nabi Muhammad

— 117

Tabi’in Teladan Setiap Zaman

— 126

Berguru kepada Umar bin al-Khathab

— 137

Ahnaf bin Qais dan Muhasabah

— 151

PENUTUP — 157

DAFTAR PUSTAKA — 163 INDEKS HADITS — 167

(7)

FAEDAH DAN HIKMAH

BELAJAR DARI “BINTANG-BINTANG”

• Hidup adalah Kesempatan — 3

• Nasihat dengan Perbuatan Lebih Berkesan — 7 • Keutamaan Sahabat — 10

• Anda Tidak Ditanya Ihkwal Perbuatan Mereka — 17 • Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bait dan Sahabat - 20 • Hukum Mencela Sahabat - 23

• Guru Menjadi Mualaf karena Cita-cita Muridnya - 26

TABI’IN YANG ZUHUD DAN CINTA AKHIRAT

• Ilmu dan Pemahaman Meninggikan Martabat - 30 • Menjadikan Akhirat Sebagai Pusat Perhatian - 32 • Tidak Bisa Dijual ke Pihak Mana pun - 33

• Kisah Fudhail bin Iyadh dengan Khalifah Harun al-Rasyid - 35 • Doa Kebaikan untuk Penguasa - 43

• Amanat dalam Mengelola Lembaga Milik Umat - 44 • Bekerja Menjaga Kehormatan Diri - 46

• Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi - 47

SALIM BIN ABDULLAH DAN HAJJAJ BIN YUSUF

• Menyikapi Hukuman Allah - 54 • Seni Berdiplomasi - 56

(8)

• Keutamaan Shalat Subuh - 61

• Ancaman bagi yang Meninggalkan Shalat Subuh - 62

MENCINTAI AHLUL BAIT

• Cinta Nabi, Cinta Ahlul Bait - 68 • Kemuliaan Nasab Saja Tidak Cukup - 69

• Penjelasan Prof. Dr. Hamka tentang Ahlul Bait - 70 • Penjelasan Syaikh bin Baz tentang Ahlul Bait - 76 • Penjelasan Syaikh Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi

tentang Ahlul Bait — 77

ZAINAL ABIDIN, CUCU RASULULLAH

• Tanda Orang yang Ikhlas - 88

• Tawadhu merupakan Sifat Mulia - 90

• Kasihanilah para Bangsawan yang Terhina - 92

AHLUL BAIT DAN SAHABAT NABI

• Ahlul Bait Mencintai Sahabat - 95

MEMAAFKAN KESALAHAN DAN TIDAK MENDENDAM

• Memaafkan Manusia, Mengharap Ampunan Allah - 95 • Kisah Syaikh bin Baz dan Pencuri - 101

• Menyucikan Hati dengan Mengubur Dendam - 105 • Bahaya Hasad dan Obatnya - 107

(9)

TABI'IN YANG GEMAR BERSEDEKAH

• Kedermawanan Ali Zainal Abidin — 111

• Wasiat Ali Zainal Abidin kepada Anaknya — 112 • Keutamaan Amal Tersembunyi — 113

• Tidak Ada yang Tersembunyi bagi Allah - 114

DIDOAKAN NABI MUHAMMAD

• Keutamaan Anak Yatim — 119

• Terimalah Kebenaran meskipun dari Anak Kecil — 120 • Menggembirakan Seorang Muslim — 120

• Lisanmu Kudamu — 121

• Kisah Mu’awiyah dan Abdullah bin Zubair - 124

TABI'IN TELADAN SETIAP ZAMAN

• Bergaul, Jalan Menggapai Kebijaksanaan — 129 • Menghukum Diri Sendiri — 130

• Allah Tidak Menyiksa Hamba yang Bertakwa — 133 • Kriteria Pemimpin yang Dicintai — 136

BERGURU KEPADA UMAR BIN AL-KHATHAB

• Berbohong Satu Kali Seumur Hidup - 148 • Buktikan dengan Perbuatan - 148

AHNAF BIN QAIS DAN MUHASABAH

(10)

1

SALIM BIN ABDULLAH

BIN UMAR BIN AL-KHATHAB

Belajar dari “Bintang-Bintang”

Kita memasuki zaman khilafah (kekhalifahan) al-Faruq Umar bin al-Khathab . Saat ketika kota Madinah melimpah ruah

dengan hasil ghanimah yang diperoleh kaum muslimin dari harta Kisra Persia yang terakhir, Yazdajurd. Ada mahkota-mahkota yang bertabur permata, selendang yang tersusun dari butiran mutiara, juga pedang-pedang emas bertatahkan permata dan marjan (intan) yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Selain barang-barang berharga di atas, terdapat serombongan tawanan yang banyak. Di antara yang menjadi tawanan ini adalah tiga putri sang Kisra. Atas inisiatif Ali bin Abu Thalib , harga

tebusan ketiga putri itu dipasang setinggi mungkin, lalu mereka diberi kebebasan agar memilih pemuda Islam yang secara finansial mampu membayar tebusan tersebut.

Putri pertama memilih Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq yang di kemudian hari melahirkan seorang tokoh ulama Madinah, Qasim bin Muhammad. Putri kedua memilih Abdullah bin Umar bin al-Khathab yang kemudian melahirkan tokoh ulama Madinah pula, Salim, yang sangat mirip dengan kakeknya, Umar al-Faruq. Adapun putri ketiga memilih Husain bin Ali bin Abu Thalib yang akhirnya melahirkan Ali Zainal Abidin.

(11)

Mari, sekarang kita menelusuri indahnya perjalanan hidup Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khathab; semoga Allah 

meridhainya, ayahnya, dan kakeknya.

Salim lahir di Madinah al-Munawarah, kota tempat Rasulullah

 dimakamkan, kota tujuan hijrah yang udaranya penuh

keharuman nubuwah (kenabian), tempat turunnya wahyu-wahyu ilahi dari Rabb semesta alam.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan ayahandanya yang zuhud,

shawwam-qawwam (rajin berpuasa dan suka shalat malam), yang

memiliki tabiat serta akhlak Umar. Sejak awal, sang ayah sudah melihat tanda-tanda ketakwaan dan hidayah Allah pada diri Salim. Tercermin pada akhlak islami yang kokoh di atas al-Quran yang melebihi saudara-saudaranya. Abdullah begitu mencintai Salim, hingga orang-orang menegur sikapnya yang terkesan pilih kasih. Ibnu Umar pun menanggapi: “Mereka menegurku atas cintaku yang

teramat dalam atas Salim. Memang, kulit antara mata dan hidung ini (wajahku) adalah Salim.”

Dada Salim dipenuhi oleh hadits-hadits Rasulullah ,

pemahamannya akan agama Allah begitu mendalam, di samping dia diajari tentang tafsir hingga menjadi ahlinya, dan selanjutnya terus dibina di tanah suci yang mulia.

Situasi dan kondisi semasa hidup Salim mendukung kebaikan pertumbuhan pribadinya. Masjid Nabawi dipenuhi para Sahabat sang Nabi . Setiap pemuda ini masuk ke dalamnya, dijumpai

"bintang-bintang” penebar cahaya kenabian beserta risalah Islam. Ke mana pun beliau melayangkan pandangan, yang dilihat adalah kebaikan. Demikian pula; tiap kali Salim memasang telinga, yang didengar adalah kebajikan.

(12)

Kesempatan ini tidak disia-siakan Salim. Beliau mendulang ilmu dari para Sahabat, di antara mereka Abu Ayyub al-Anshari, Abu Hurairah, Abu Rafi, Abu Lubabah, Zaid bin al-Khathab, dan ayahandanya, Abdullah bin Umar . Maka di kemudian hari

Salim pun menjadi tokoh panutan bagi kaum muslimin, pemuka di kalangan Tabi’in, serta salah seorang ahli fiqih Madinah yang menjadi tempat rujukan umat Islam dalam bertanya ihwal agama mereka. Beliau dijadikan rujukan untuk menimba ilmu syariat, dan tempat berkonsultasi tentang problem-problem agama, juga mengenai masalah-masalah kehidupan yang pelik.”1

FAEDAH DAN HIKMAH

Hidup adalah Kesempatan

Ya, hidup adalah kesempatan. Sungguh, kesempatan itu tidak datang dua kali. Salim bin Abdullah  pandai memanfaatkan

kesempatan ini. Perjumpaannya dengan beberapa Sahabat Rasul dimanfaatkan dengan menuntut ilmu di Masjid Nabawi, tempat mereka mengajar perkara-perkara tentang syariat Islam.

Semoga Allah  menjadikan kita seperti Salim, seorang

yang pandai membaca peluang dan memanfaatkan kesempatan. Semoga Dia meluruskan niat kita memanfaatkan kesempatan tersebut demi memperoleh kebaikan dan supaya terhindar dari keburukan. Sebab, kita sering bertindak tanpa berpikir panjang; maka akhirnya kita pun menyesal, dan kesempatan yang terbuka sebelumnya berlalu begitu saja.

1 Shuwar min Hayâti at-Tâbi’în (hlm. 369-372) atau buku terjemahnya yang berjudul

(13)

Dr. Salwa al-Udhaidhan berkata: “Ketika kesempatan datang mengetuk pintumu, janganlah terlambat untuk membuka lantas menerimanya, sebelum kesempatan itu berpaling dan mencari orang lain yang pandai melayaninya.”2

Sebagai contohnya, kita tinggal di lingkungan yang mudah mendapatkan ustad namun tidak memanfaatkan kesempatan menimba ilmu agama secara maksimal. Perhatikanlah keadaan saudara-saudara kita di daerah terpencil ataupun di pedalaman! Mereka haus ilmu, mendambakan guru atau ustad yang tulus ikhlas membimbing keislaman mereka; maka saat kedatangan seorang ustad, mereka begitu berbahagia, meski hanya bertemu beberapa hari. Seorang ustad bercerita ketika akan pulang dari safari dakwahnya di daerah pedalaman, penduduk di sana pun menangis, sedih dan merasa berat serta kehilangan saat melepas kepergian sang guru.

Manusia sering kali baru merasakan betapa besarnya nikmat Allah setelah nikmat tersebut dicabut dari dirinya.

Ada kata-kata hikmah:

ﻰ َﺿْﺮَﻤْ�ا

ﻻِإ ُهاَﺮَﻳ

َّ

ﻻ ،َءﺎَّﺤ ِﺻ

َ

ﻷا ِسْوُؤُر ﻰَﻠَﻋ ٌجﺎَﺗ ُﺔَّﺤ ِّﺼ�

َ ْ

َا

kesehatan bagai mahkota di kepala orang-orang sehat hanya orang-orang sakit yang bisa melihat mahkota itu

Penyusun teringat wasiat Dr. Muhammad al-Rusyaid ,

mantan Menteri Pendidikan Saudi Arabia. Beliau memberikan wasiat atau nasihat berharga dalam akun twitter-nya beberapa waktu sebelum ajal menjemput.

(14)

Isi wasiat beliau teruntai dalam paragraf-paragraf berikut: “Ruang isolasi (ICU) dipenuhi dengan fasilitas seperti lemari baju, pakaian-pakaian yang baru, kamar mandi yang bersih, dan perawatan yang intensif. Tapi ada dua hal yang tidak didapatkan, kesehatan dan kebebasan!

Di ruang isolasi, saya seperti dipenjara! Saya pun merasakan kesulitan-kesulitan yang dialami para penghuni sel (penjara). Saya menyadari kebodohan diri ini yang menganggap mereka mudah beradaptasi terhadap situasi dan kondisi. Sungguh, betapa agungnya pejuang-pejuang kebenaran yang sabar menghabiskan waktu lama tinggal di balik jeruji besi!

Berempatilah kalian terhadap orang-orang yang di penjara baik mereka bersalah ataupun tidak bersalah, juga doakanlah kebaikan untuk mereka! Yakinlah bahwa terisolasinya mereka dari dunia luar itu ‘membunuh jiwa’. Kesendirian menimbulkan waswas luar biasa, membukakan pintu depresi, menyebabkan penyakit fisik dan mental!

Warna putih yang mendominasi rumah sakit ini tidak hanya mengingatkanku akan kain kafan. Warna putih yang membuatku ingat akan noda-noda hitam dalam kehidupanku pada masa lalu. Dan, warna putih yang memotivasi diri untuk membersihkan segala noda hitam yang terpendam di jiwa ini.

Di ruang isolasi ini saya punya banyak kesempatan merenung. Saya hanya mendengar suara muazin dan panggilan para perawat, suara lainnya tidak ada yang saya dengar. Ya, setiap kita butuh atau harus menggunakan sebagian waktunya untuk menyendiri, untuk merenung dan bertafakur. Cobalah!

(15)

Kesehatan bagai mahkota di kepala orang-orang sehat, hanya orang-orang sakit yang bisa melihat mahkota itu. Saya sudah hafal

ungkapan ini sejak kecil, tapi baru paham kedalaman maknanya setelah saya dewasa. Untuk mengetahui suatu hakikat, tidak perlu mengalami pengalaman pahit terlebih dahulu.

Ya, setelah dilakukan pencangkokan sumsum tulang belakang dan pengobatan kemoterapi terhadap tubuh ini, selama enam belas hari tanpa asupan makan, maka hilanglah selera makan. Minum pun hanya seseruput dan terpaksa. Sesungguhnya nilai kesehatan itu mahal, seakan saya baru tahu hakikat ini; siapakah yang mau memberi peringatan kepada orang-orang yang sehat?

Tidak semua penyakit manusia diketahui sebabnya, seperti penyakitku ini, walau lebih banyak yang diketahui sebabnya. Orang yang pandai adalah yang memohon pertolongan kepada Allah agar selalu diberi kesehatan, kemudian dia menghindari penyebab penyakit dan menjaga kesehatan jiwa-raganya.

Kanker darah (leukemia), penyakit saya. Ia menjangkiti tubuh ini sejak delapan bulan sebelum diadakan check-up yang teliti. Hampir-hampir sebagian dokter yang berbisnis dengan ilmunya dan kurang amanat hampir menyia-nyiakanku. Bagaimanapun, penyakit itu ialah nikmat di satu sisi. Dengan menderita sakit ketergantunganku kepada Allah semakin kuat. Orang-orang yang saya cintai berdatangan menjengukku. Alhamdulillâh, dengan merasakan sakit, jiwaku terasa lebih jernih: tenteram.

Bacalah curahan hatiku dengan hikmat, agar kita merasakan bahwa hidup ini dipenuhi dengan kenikmatan! Wahai Rabb, langgengkanlah kenikmatan untuk kami. Namun ingatlah selalu; studimu sewaktu SMA dan di Universitas, semua spesialisasimu

(16)

bagaikan debu, tiada bermanfaat saat malam pertama di kubur. Yang tersisa hanyalah pelajaran di bangku SD, yaitu pertanyaan: ‘Siapa Rabbmu? Apa Agamamu? Siapa Nabimu?’

Yang bisa menjawab pertanyaan di atas dengan benar hanyalah orang orang yang beriman dan beramal shalih. Semoga segala peluang yang Allah berikan kepada kita untuk bertaubat serta beramal shalih dalam sisa umur ini bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Amin.

Rasulullah  bersabda: ‘Manfaatkanlah lima kesempatan

sebelum datangnya lima hal lainnya. Hidupmu sebelum matimu. Sehatmu sebelum sakitmu. Waktu luangmu sebelum sibukmu. Masa mudamu sebelum masa tuamu. Kayamu sebelum miskinmu.’” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi; Shahîh al-Jâmi’ [no. 1077])

Nasihat dengan Perbuatan Lebih Berkesan

Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat berpengaruh signifikan dalam membentuk kepribadian seorang anak. Salim bin Abdullah sejak kecil mendapatkan pendidikan yang baik. Beliau belajar dari ayahnya yaitu Abdullah bin Umar  dan

dari para ulama Sahabat  yang mengajar di Masjid Nabawi.

Salim melihat langsung keluhuran akhlak sang ayah dan para gurunya saat menimba ilmu dan berinteraksi dengan mereka. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita dan anak-anak kita berupa guru-guru yang pemahamannya lurus, baik akhlaknya, dan takut kepada Allah.

Ibu Imam Malik berpesan kepada putranya: “Temui Rabi’ah. Contohlah akhlaknya sebelum kamu mengambil ilmu darinya.”

(17)

Ketika dalam masyarakat terdapat banyak ulama yang takut kepada Allah, ikhlas, serta mengamalkan ilmu yang diajarkan maka kebaikan pun tersebar luas. Keburukan semakin terhimpit dan sempit ruang geraknya. Semoga Dia  memberikan taufik

dalam mendidik anak-anak kita. Semoga Allah menampilkan dari mereka para ulama Rabbani yang menjadi panutan umat dalam keimanan, ibadah, dan akhlak. Amin.

Imam Ibnul Jauzi  berkata dalam kitab Shaidul Khathir:

“Saya berjumpa dengan banyak guru, dan tingkatan keilmuan mereka tidak sama. Yang paling saya rasakan manfaatnya selama bergaul dengan mereka yaitu dari yang mengamalkan ilmunya, meskipun ada orang lain yang lebih berilmu daripada dia.

Saya pun berjumpa dengan beberapa ulama hadits yang kuat hafalannya dan luas disiplin ilmunya tetapi suka berbuat ghibah di luar konteks jarh wat ta'dil, mengambil upah atas hadits yang dibacakannya, serta terburu-buru menjawab pertanyaan untuk menjaga wibawa hingga jawabannya sering salah.

Saya pernah berjumpa dengan Abdul Wahab al-Anmathi .

Seperti kebiasaan kaum Salaf, engkau tidak pernah mendengar ghibah di majelisnya, juga dia tidak meminta upah pada waktu membacakan hadits. Sewaktu saya membacakan hadits-hadits

raqaiq (mengenai kelembutan hati) kepada beliau, sungguh air

mata mengalir deras pada pipinya; beliau menangis cukup lama. Pada waktu itu aku masih kecil, dan sungguh tangisannya sangat berkesan di hatiku. Cermin untaian ketakwaan yang membangun suatu fondasi yang amat kuat demi membentuk kepribadianku. Sifat-sifatnya seperti yang saya baca dari kehidupan Sahabat atau kehidupan Tabi’in.

(18)

Saya berjumpa juga dengan Abu Manshur al-Jawaliqi. Sejauh pantauanku, beliau seorang pendiam, hati-hati dalam berbicara, sangat teliti dalam bertindak dan tidak terburu-buru. Setiap kali ditanya dengan suatu permasalahan yang mudah dijawab oleh murid-murid pemula, beliau tidak langsung menjawab sampai yakin jawabannya itu benar dan tuntas. Beliau dikenal sebagai pribadi yang gemar berpuasa dan tidak banyak bicara.

Manfaat yang saya ambil dari perjumpaan dengan keduanya (Abdul Wahab serta Abu Manshur) jauh lebih banyak daripada guru-guru yang lain. Saya baru paham alasannya sejak itu, bahwa nasihat yang disertai dengan perbuatan jauh lebih berkesan jika dibandingkan nasihat dengan ucapan semata.

Saya mendapati dari beberapa orang berilmu sikap sering bercanda dan hidup secara glamor, yang tidak berkesan di hati. Mereka kurang mengamalkan ilmunya, sedikit manfaat yang didapat dari kehidupan mereka. Manusia pun melupakan mereka setelah meninggalnya, bahkan hampir-hampir tidak ada seorang pun yang memperhatikan karya-karya tulis mereka.

Maka itu saya berwasiat kepada Anda; ingatlah kepada Allah! Ingat selalu kepada Allah! Amalkanlah ilmu yang Anda miliki! Sungguh, hal ini sangat mendasar!

Sungguh merugi! Sekali lagi, sungguh merugi! Yakni bagi yang menyia-nyiakan umurnya untuk menuntut ilmu tetapi ia tidak diamalkan. Dia tidak akan merasakan kelezatan dunia dan kebaikan akhirat. Dia menjadi bangkrut karena ilmunya itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, di akhirat!”3

(19)

Keutamaan Sahabat

Sahabat Nabi  bagai bintang di langit. Mereka sebagai

petunjuk jalan untuk manusia dalam menempuh ridha ilahi. Sahabat adalah: “Siapa saja yang bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan beriman kepada beliau, dan dia meninggal dalam keadaan beriman pula.” Definisi ini diutarakan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan gurunya, Imam al-Iraqi ; ini sebagaimana

disebutkan Dr. Abdullah al-Qahthani dalam salah satu bukunya,

ash-Shahâbatu wash Shuhbah.

Para Sahabat  memiliki kedudukan tinggi dalam Islam.

Karena itu sikap kita yang seharusnya ialah mencintai mereka, pun mendoakan kebaikan bagi mereka. Hati kita harus bersih dari rasa dengki dan benci kepada Sahabat. Lisan kita harus selamat dari mencela, mendiskreditkan, ataupun memfitnah mereka.

Allah  berfirman:

) ( ' & % $ # " ! [

5 4 3 2 1 0 / . - , + *

Z 8 7 6

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.’”

(20)

Abu Musa al-Asy’ari  berkata: “Kami telah selesai shalat

Magrib bersama Rasulullah. Lalu, kami berkata satu sama lain: “Seandainya kita duduk sampai dapat shalat Isya (berjamaah) bersama beliau.”

“Maka kami pun duduk (menunggu shalat Isya itu),” lanjut Abu Musa. “Kamudian Nabi keluar dari rumahnya dan menemui kami seraya bertanya: ‘Kalian masih di sini?’

Kami menjawab: ‘Wahai Rasulullah, kami telah shalat Magrib bersama engkau, kemudian kami sepakat untuk duduk sampai dapat shalat Isya bersama engkau.’

‘Kalian telah berbuat baik, atau berbuat benar,’ puji sang Nabi.” Abu Musa meneruskan: “Kemudian Nabi mengangkat kepala beliau ke arah langit, dan memang beliau sering berbuat begitu, kemudian bersabda: “Bintang-bintang adalah pengaman langit.

Jika bintang-bintang telah pergi (hilang), maka datanglah kepada langit perkaranya; sungguh aku (Nabi) adalah pengaman bagi para Sahabatku, jika aku telah pergi (wafat) maka datanglah kepada para Sahabatku apa yang telah dijanjikan. Para Sahabatku adalah pengaman bagi umatku, jika mereka ini telah pergi (wafat) maka datanglah kepada umatku apa yang telah dijanjikan (perpecahan).” (HR. Muslim [no. 2531])

Orang-orang Munafik di masa Nabi Muhammad 

dan orang-orang Islam yang berbalik atau murtad, setelah beliau wafat, bukanlah Sahabat. Sesungguhnya Allah menyebutkan ciri-ciri kaum munafik tersebut, yakni mereka yang secara licik menyembunyikan kekafiran dan menampakkan diri seolah-olah sebagai bagian dari Sahabat dan pembela Islam.

(21)

Allah juga menyebutkan ciri-ciri Sahabat dalam Al-Quran, yaitu dalam firman-Nya:

- ,+ * ) ( ' & % $# " ! [

9 8 7 6 54 3 2 1 0 / .

F E D C B A@ ? > = <; :

O N M L K J I H G

Z Y X W V U T S RQ P

Z] \ [

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat-sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang-orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.”

(22)

Sahabat bukan manusia sempurna yang tak punya kesalahan. Lagi pula, ada kesalahan yang sifatnya ijtihadi; yang bukan dosa. Jika Sahabat berbuat dosa, bisa jadi dia telah bertaubat lalu Allah mengampuni dan menerima taubatnya. Jika para Sahabat berbuat dosa maka Allah menghapusnya dengan berbagai kebaikan dari perjuangan serta jihad yang tidak ada bandingan dengan amalan orang sesudah mereka. Jika para Sahabat berbuat dosa, maka Allah mengampuninya dengan musibah yang menimpa mereka.

Terdapat kesalahan yang dilakukan pertama kali sebab belum turun wahyu yang melarangnya. Sahabat tidak tahu bahwa itu pelanggaran syariat. Seperti yang dilakukan beberapa Sahabat saat masa paceklik, ketika mereka meninggalkan khutbah Jum’at untuk menemui dan membeli barang dagangan yang baru datang. Lalu turun firman Allah  berikut:

V U T S R QP O N M L K J I H [

Z _ ^ ] \ [Z Y X W

“Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: ‘Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,’ dan Allah pemberi rezeki yang terbaik.”

(QS. Al-Jumu’ah [62]: 11)

Dan setelah itu, tidak seorang Sahabat pun berbuat kesalahan yang sama meninggalkan khutbah. Tepatlah apa yang dinyatakan di dalam ayat: “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami

(23)

Ketahuilah, kedudukan Sahabat amat istimewa di sisi Allah. Ini terbukti dari kesalahan besar Hathib bin Abu Baltha’ah ,

yaitu menulis surat untuk orang-orang kafir Quraisy di Makkah. Tindakan pengkhianatan ini diampuni Allah, karena Sahabat ini termasuk pejuang Perang Badar di barisan Rasulullah.

Kisah ini diceritakan Ali bin Abu Thalib . Beliau bertutur:

“Nabi mengutus kami: aku, Zubair, dan Miqdad. Beliau bersabda kepada kami: ‘Pergilah kalian ke Raudhah Khakh! Di sana ada seorang wanita yang sedang membawa sepucuk surat. Ambillah surat tersebut!”

Lantas kami berangkat, dengan pacuan kuda yang kencang. Beberapa waktu kemudian, kami bertemu dengan wanita yang dimaksudkan oleh Rasulullah. Kami berseru kepada wanita itu: “Keluarkan surat yang kamu bawa!”

“Aku tidak membawa surat.” Wanita ini mengelak.

“Keluarkan surat itu atau akan kami tanggalkan pakaianmu!” Akhirnya, dia mengeluarkan surat itu dari sela-sela kepangan rambutnya.

Maka kami segera membawa surat itu kepada Nabi .

Ternyata di dalamnya tercantum nama Hathib bin Abu Balta’ah, dia yang mengirimnya untuk orang-orang musyrik di Makkah. Dia memberitahukan beberapa rencana Rasulullah.

Rasulullah memanggil Hathib dan bertanya: “Wahai Hathib, apa maksudnya ini?”

Hathib menanggapi: “Jangan terburu-buru, wahai Rasulullah! Sungguh aku dahulu (yakni sebelum memeluk Islam) tergolong salah seorang Arab yang berhubungan akrab dengan orang-orang dari suku Quraisy.”

(24)

[Sufyan, salah seorang perawi menambahkan: “Dia pernah bersekutu dengan Quraisy meski bukan bagian darinya.”]

Hathib melanjutkan: “Kaum Muhajirin yang bersama engkau mempunyai kerabat yang dapat melindungi anggota keluarga mereka di Makkah. Namun aku tidak memiliki hubungan nasab di tengah-tengah mereka, dan agar dapat melindungi keluargaku, aku harus berjasa kepada mereka, agar mereka mau menolongku. Aku berbuat ini bukan karena kekufuran, bukan karena murtad, dan bukan karena rela atas kekufuran setelah memeluk Islam.”

Setelah mendengarkan alasan Hathib, Rasulullah pun berkata: “Dia benar.”

Tapi Umar al-Faruq menyela: “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku memenggal leher orang munafik ini!”

Beliau  menegaskan: “Sungguh, dia ikut serta dalam

Perang Badar. Kita tidak tahu, barangkali Allah melihat kepada para Sahabat yang turut berjuang pada perang ini lalu berfirman: ‘Berbuatlah sekehendak hati kalian, karena sesungguhnya Aku telah

mengampuni kalian!’”

Lalu Allah  menurunkan ayat ke-1 surah Mumtahanah:

* ) ( ' & % $ # " ! [

7 6 54 3 2 1 0 / . - , +

D C BA @ ? > = < ; : 9 8

Q P O N M LK J I H G F E

Z T S R

(25)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu menyampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal, mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih menge-tahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kesimpulannya, Allah ridha kepada para Sahabat Nabi .

Karena itulah Dia berfirman:

Z; .... - , + * ) ...[

“Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 100)

Adapun kita, seluruh manusia yang hidup saat ini, pada akhir zaman, tidak ada jaminan bahwa Allah  ridha kepada kita.

Maka janganlah sekali-kali kita menjadi seorang yang sombong. Jangan pula sekali-kali kita lancang dengan mencela seorang pun dari Sahabat Nabi Muhammad .

Semoga Allah—setelah memberi pemahaman akan kemuliaan para Sahabat—menjadikan kita sebagai orang yang tawadhu, dan membuat kita tahu akan kadar keimanan diri sendiri.

(26)

Anda Tidak Ditanya Ihwal Perbuatan Mereka

Jika dicermati, sikap para Sahabat  itu benar, tidak salah.

Akan tetapi, kepicikan dan kedangkalan ilmu agama menjadikan sebagian orang berani atau lebih tepatnya lancang menyatakan bahwa Abu Bakar—misalnya—telah berbuat zalim dan perbuatan buruk lainnya, wal ‘iyâdzu billah!

Adakah yang tidak mengenal Abu Bakar, ash-Shiddiq ?

Allah menyebutkan dirinya di dalam Al-Quran sebagai Sahabat Rasulullah , yakni dalam ayat:

ZÆ .... ®¬ « ª © ¨ § ¦ ¥ ... [

“Ketika itu dia (Nabi) berkata kepada sahabatnya: ‘Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’”

(QS. At-Taubah [9]: 40)

Simaklah kisah ini yang mengambarkan kemuliaannya .

Abu Darda  bercerita: “Suatu ketika aku duduk di sebelah

Nabi. Tiba-tiba datanglah Abu Bakar menghadap beliau sambil menjinjing ujung pakaiannya, hingga lututnya terlihat oleh kami. Nabi berkata lirih: ‘Teman kalian ini sedang gundah.’

Lalu Abu Bakar mengadu: ‘Wahai Rasulullah, antara aku dan Ibnul Khathab (yakni Umar) terjadi perselisihan. Aku pun segera mendatanginya untuk meminta maaf. Dengan sungguh-sungguh aku meminta maaf, namun dia enggan memaafkanku. Karenanya aku menghadap engkau sekarang.’

Nabi lalu menanggapi: ‘Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar.’ Tiga kali beliau mendoakan demikian.

(27)

Di tempat lain, Umar menyesal atas perbuatannya yang tak mau memaafkan ash-Shiddiq. Maka dia pun mendatangi rumah Abu Bakar, kemudian dia bertanya kepada seseorang dari balik pintu rumah: “Apakah Abu Bakar ada di dalam?”

‘Tidak ada,’ jawab keluarganya.

Umar segera mendatangi Rasulullah . Saat itu wajah

beliau terlihat memerah karena marah, hingga Abu Bakar merasa kasihan kepada Umar dan memohon sambil bersimpuh, duduk di atas kedua lutut: ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, akulah yang bersalah.’ Dua kali dia berusaha meyakinkan beliau.

Namun, Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya ketika aku diutus

oleh Allah kepada kalian, ketika itu kalian berkata: ‘Muhammad, kamu ini pendusta,’ sedangkan Abu Bakar berkata: “Engkau benar, wahai Muhammad.” Bahkan, kemudian dia membela aku dengan segenap jiwa dan harta. Maka tidakkah kalian jera dari menyakiti sahabatku ini?‘

Beliau menegaskan fakta tersebut dua kali, dan sejak saat itu Abu Bakar tidak pernah disakiti.” (HR. Al-Bukhari)

Pada kesempatan lain, Amru bin al-Ash  bertanya kepada

Rasulullah: “Siapa orang yang kau cintai?” ‘Aisyah,’ jawab beliau.

Aku—Amru bin al-Ash—bertanya lagi: ‘Kalau laki-laki?’ Beliau menjawab: ‘Ayahnya (yaitu Abu Bakar)” (HR. Muslim)

Banyak pujian Rasulullah kepada Abu Bakar ash-Shiddiq yang bisa kita dapati dalam hadits-hadits shahih. Mencela Sahabat ini sama dengan menyakiti hati sang Nabi dan menodai agama-Nya.

(28)

Para Sahabat , jika berbuat kesalahan, tidak gengsi untuk

bertaubat. Jika kita mau jujur, bandingkanlah kesalahan seorang Sahabat dengan lautan kebaikan dan jasanya yang sangat banyak untuk umat Islam!

Hati-hatilah dalam berbicara! Janganlah berkata atau berbuat sesuatu yang Anda tidak memiliki ilmu atasnya! Masih banyak masalah agama yang belum kita tahu! Masih banyak dari sejarah orang-orang terdahulu yang tidak kita ketahui hakikatnya!

Jujurlah! Luruskan niat! Jadilah hamba yang merdeka, tidak terkungkung dengan taklid buta, apalagi doktrin yang jumud! Hilangkanlah dendam! Hiasilah hati dengan berbaik sangka! Bertanyalah kepada ahli ilmu jika ada perkara agama yang tidak Anda ketahui! Berdoalah agar Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya.

Perhatikanlah, dan renungkanlah, kalimat ilahi dalam firman Allah  berikut:

Ô Ó Ò ÑÐ Ï Î Í Ì Ë ÊÉ È Ç Æ [

Z× Ö Õ

“Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usaha-kan dan bagimu apa yang telah kamu usahausaha-kan. Dan kamu tidak akan dimintai (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu

mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 134)

Ayat di atas diulang lagi dalam surah Al-Baqarah ayat 141. Tidakkah cukup ayat Allah tersebut dijadikan peringatan bagi kita, para hamba-Nya yang zalim dan bodoh?

(29)

Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bait dan Sahabat

Berikut penjelasan dari Syaikh Dr. Said bin Wahf al-Qahthani

ُﷲا ُﻪ َﻈِﻔَﺣ mengenai sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap para Sahabat dan keluarga Nabi Muhammad .

Salah satu prinsip Ahlus Sunnah ialah menjaga kesucian hati dari kedengkian, kebencian, dan permusuhan terhadap Sahabat Rasulullah. Lidah kaum ini dijaga dari perbuatan mencaci dan mencela mereka. Sungguh kaum ini selalu memohon keridhaan untuk mereka, dan mendoakan mereka:

Z 8 ...., + * ) ( ' & ... [

“Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”

(QS. Al-Hasyr [59]: 10)

Ahlus Sunnah menaati perintah Nabi  yang bersabda:

“Janganlah kalian mencela Sahabat-Sahabatku. (Demi Allah) Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfak dengan emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak dapat menyamai infaknya salah seorang di antara mereka (dalam kadar) satu mud (seukuran dua telapak tangan orang dewasa) dan tidak juga (bisa menyamai) setengah mudnya.” (HR. Al-Bukhari—Fathul Bâri VII/21; dan Muslim IV/1967)

Ahlus Sunnah mengakui keutamaan-keutamaan para Sahabat sebagaimana diisyaratkan Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Sunnah. Kaum ini lebih mengutamakan para Sahabat yang telah berinfak dan berperang sejak sebelum Penaklukan Makkah. Begitu pula, Sahabat Muhajirin lebih diutamakan daripada Sahabat Anshar.

(30)

Ahlus Sunnah pun mengutamakan sepuluh Sahabat Muhajirin yang diberi kabar gembira masuk Surga. Mereka meyakini bahwa Allah telah melihat kepada Ahlul Badr (mujahidin Perang Badar) yang berjumlah tiga ratus orang lebih lalu berfirman: “Berbuatlah

kalian semau (sekehendak hati) kalian, karena sesungguhnya Aku

telah mengampuni kalian.” (HR. Al-Bukhari—Fathul Bâri [VII/305]—

dan Muslim [IV/1941])

Ahlus Sunnah meyakini bahwa tidak ada seorang Sahabat pun yang berbaiat “di bawah pohon” (dalam peristiwa Bai’atur Ridwan) yang kelak masuk Neraka. Karena, Nabi bersabda: “Tidak akan

masuk Neraka—insya Allah—seorang pun yang telah berbaiat

di bawah pohon.’” (HR. Muslim [IV/1942]); jumlah mereka adalah

1.400 orang.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga meyakini; akan masuk Surga orang-orang yang diberitahukan oleh Rasul akan memasukinya, seperti Tsabit bin Qais bin Syamas . Beliau bersaksi bahwa

Sahabat ini kelak masuk Surga. (HR. Muslim [I/110]).

Demikian pula sepuluh Sahabat yang dikabarkan masuk Surga oleh Rasulullah . Yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,

az-Zubair, Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin al-Jarah, serta Sa’id bin Zaid ‘ (HR. Abu Dawud—‘Aunul Ma’bûd [XXI/4]—dan at-Tirmidzi [V/647])

Ahlus Sunnah mengakui bahwa sebaik-baik umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, dan baru kemudian Ali (HR. Al-Bukhari—Fathul Bâri [VII/53]).

Ahlus Sunnah berlepas diri dari paham Syiah Rafidhah, juga kaum Nawashib, yang mengkafirkan dan mencela Ahlul Bait, serta yang memusuhi keluarga Rasulullah .

(31)

Ahlus Sunnah menahan diri dari membahas perselisihan di antara Sahabat dan apa saja yang benar-benar terjadi atas mereka. Sebab mereka adalah para mujtahid yang benar, atau kalau tidak mereka adalah mujtahid yang keliru. Kita berkeyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang maksum, terbebas dari dosa, kecuali para nabi utusan Allah ُم َﻼَّﺴ�اَو ُة َﻼ َّﺼ�ا ُﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ.

Para Sahabat tentu saja melakukan dosa-dosa, tetapi mereka mempunyai banyak keutamaan yang menghapus keburukan itu. Merekalah sebaik-baik generasi (HR. Muslim [IV/1964]). Bisa jadi pula, Sahabat yang berdosa itu telah bertaubat. Mereka juga orang yang paling berbahagia dengan syafaat Muhammad .

Ahlus Sunnah mencintai Ahlul Bait Nabi, sebagaimana hal ini telah diwasiatkan oleh beliau (HR. Muslim IV/1873, IV/1782).

Ahlus Sunnah berwala kepada istri-istri Nabi, memohonkan keridhaan untuk mereka. Diyakini juga bahwa istri-istri beliau itu adalah istri-istri beliau di akhirat. Merekalah ibu bagi kaum mukmin (Umahatul Mukminin) dipandang dari penghormatan, pengagungan, dan pengharaman untuk dinikahi. Mereka wanita suci yang bebas dari tiap keburukan. Maka kita pun berlepas diri dari siapa yang menyakiti maupun mencela mereka. Dengan tegas diharamkan mencaci dan menuduh mereka. Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan para Ummul Mukminin ini; kaji kembalilah hadits tersebut. (HR. Al-Bukhari—Fathul Bâri [VII/133, VII/106] dan Muslim [IV/1886, IV/1895])

Semoga Allah  meridhai Ahlul Bait dan beserta semua

Sahabat Rasulullah.4

4 Syarh ‘Aqidah al-Wasithiyyah karya Dr. Said bin Wahf al-Qahthani, terbitan Pustaka

(32)

Hukum Mencela Sahabat

Dari Abu Said al-Khudri , dia berkata bahwa Rasulullah

pernah bersabda: “Janganlah kalian mencela para Sahabatku!

Seandainya seorang di antara kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, niscaya ia (infak tersebut) belum bisa menandingi satu mud (dua genggaman tangan) mereka, bahkan separuhnya pun tidak.” (HR. Al-Bukhari)

Dari Abdullah bin Mughaffal; Bahwa Nabi  bersabda:

“Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah terhadap para

Sahabatku. Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah terhadap para Sahabatku. Janganlah menjadikan para Sahabatku sebagai sasaran (kedengkian dan permusuhan) sepeninggalku. Siapa yang mencintai mereka, hendaklah dia mencintai mereka karena cintaku kepada mereka. Siapa yang membenci mereka, maka berarti dia telah membenciku. Siapa yang telah menyakiti mereka maka itu berarti dia telah menyakitiku. Siapa yang menyakitiku maka itu berarti dia telah menyakiti Allah. Dan siapa yang menyakiti Allah,

berarti telah dekat waktunya Allah mengazabnya.” (HR. Ahmad,

at-Tirmidzi, dan selainnya)5

Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memilihku

dan Dia memilih Sahabat-Sahabat untukku. Allah menjadikan untukku dari para Sahabatku para pendukung, para penolong, dan orang-orang yang terikat tali pernikahan denganku. Siapa yang mencela para Sahabatku maka laknat Allah, laknat malaikat, dan laknat seluruh manusia akan menimpanya. Pada hari Kiamat, amal wajib dan sunnah yang dikerjakan (selama hidup di dunia)

tidak diterima darinya.” (HR. Al-Hakim; dishahihkan olehnya, dan

disepakati adz-Dzahabi)

(33)

Imam adz-Dzahabi  mengungkapkan: “Yang mengetahui

keutamaan-keutamaan para Sahabat Nabi hanyalah orang yang memperhatikan keadaan mereka, sirah mereka, dan jejak sejarah mereka dalam kehidupan Rasulullah. Setelah beliau wafat, mereka terus berlomba-lomba dalam keimanan, berjihad melawan kaum kafir, menyebarkan agama, menjunjung syiar-Nya, meninggikan kalimat Allah dan sabda Rasul-Nya, mengajarkan banyak perkara yang fardhu (wajib) dan sunnah (anjuran). Melalui mereka, Islam sampai kepada kita; baik dasar atau pokok maupun cabangnya. Melalui merekalah kita dapat mengetahui mana yang fardhu dan mana yang sunnah. Melalui mereka pula, kita dapat mengetahui hadits-hadits dan informasi-informasi lain tentang agama Islam. Siapa yang mencela atau mencaci mereka, dia sudah keluar dari agama dan menyimpang dari keyakinan dasar kaum muslimin. Sungguh, mencela hanya terwujud atas dasar keyakinan adanya keburukan atas mereka, menyembunyikan kebencian dalam hati. Mencela Sahabat berarti mengingkari Yang memuji mereka, Allah; Yang menyebutkan keutamaan-keutamaan mereka, serta Yang mencintai mereka dalam Kitab-Nya. Para Sahabat sebagai sarana dan perantara ma’tsur (sesuai syariat) yang bisa diterima dari apa-apa yang dinukil dari sang Nabi. Mencela sarana berarti mencela asal, menghina penukil berarti menghina yang dinukil. Ini jelas bagi yang bertafakur; dia pun selamat dari kemunafikan, sifat zindiq, dan penyimpangan dalam aqidahnya.”6

Imam an-Nawawi  berkata dalam Syarh Shahîh Muslim

(V/400): “Ketahuilah, mencaci para Sahabat  adalah haram

dan termasuk perkara haram yang sangat buruk (berdosa besar), 6 Lihat Ash-hâbur Rasûl karya Mahmud al-Mishri (I/hlm. 101-102).

(34)

baik Sahabat yang terlibat fitnah atau yang tidak terlibat fitnah. Sebab mereka adalah orang-orang yang berijtihad dalam perang tersebut dan bertakwil, sebagaimana telah kami jelaskan di awal Bab ‘Fadhâ-ilush Shahâbah’ dalam syarah ini. Al-Qadhi berkata: ‘Mencaci salah seorang dari mereka termasuk kemaksiatan besar. Mazhab kami sama dengan madzhab Jumhur, bahwa orang yang mencaci Sahabat di-taʹzir dan tidaklah dihukum mati. Berbeda dengan Malikiyah yang mengharuskan orang itu dibunuh.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar  berkata dalam Fathul Bâri (VII/36):

“Orang yang mencaci Sahabat diperselisihkan. Al-Qadhi Iyadh menukilkan pendapat jumhur ulama, bahwa dia di-ta'zir; sedang menurut beberapa ulama Malikiyyah, orang itu dihukum mati.” Beberapa ulama Syafi'iyyah mengkhususkan hukuman mati bagi si pencaci Abu Bakar dan Umar, juga al-Hasan dan al-Husain. Al-Qadhi Husain mengungkapkan dua pendapat dalam hal ini. As-Subki menguatkan pendapat yang menyatakan orang yang mencaci Abu Bakar dan Umar pantas dihukum mati, demikian pula seorang yang mengkafirkan Sahabat yang telah ditegaskan keimanannya oleh Nabi atau telah diberi jaminan masuk Surga, yakni asal haditsnya diriwayatkan dari beliau secara mutawatir, karena orang yang mencaci itu dinilai sama dengan orang yang mendustakan Rasulullah.”7

Pelaksanaan hukuman mati bagi orang yang mencaci Sahabat Muhammad  dilakukan oleh penguasa atau pemerintah.

Penjelasan hukum terkait mencela dan mencaci para Sahabat Rasulullah  sangatlah penting, agar kita waspada serta

hati-hati dan takut kepada Allah dalam hal ini. 7 Dinukil dari catatan kaki kitab Ash-hâbur Rasûl (hlm. 100).

(35)

Guru Menjadi Mualaf karena Cita-cita Muridnya

Merupakan “pekerjaan rumah” (PR) untuk kita semua dalam mempelajari sirah Nabi Muhammad , sirah Sahabat, dan

sirah Salafush Shalih dari Tabi’in dan selain mereka. Merupakan tugas kita pula menuturkan atau membacakan kisah keteladanan mereka kepada anak-cucu kita.

Abdullah Abdul Mu’thi, pemerhati pendidikan Mesir, berkata: “Di salah satu negara Eropa, seorang guru SD bertanya tentang cita-cita para murid. Terungkaplah cita-cita mereka, ada yang mau jadi dokter, tentara, ilmuwan, pesepakbola, dan selainnya.

Satu-satunya murid yang beragama Islam menyampaikan kepada si guru bahwa dia bercita-cita menjadi ‘Sahabat’. Karena bingung dan tidak mengerti apa yang dikatakan muridnya, dia bertanya: “Apa makna Sahabat? Di mana dia bekerja?” Murid ini berusaha menjelaskan maknanya, tapi sang guru tidak paham.

Akhirnya guru tadi menelpon orang tua si murid, kemudian berkunjung ke rumahnya. Orang tua murid menjelaskan makna Sahabat, kepahlawanan mereka, serta sirah Rasulullah .

Spontan sang guru kagum atas perjalanan hidup Nabi Muhammad serta para Sahabat, sehingga guru ini bertekad dan memutuskan untuk masuk Islam.

Subhanallah! Guru tersebut memeluk Islam disebabkan anak

kecil yang bercita-cita menjadi ‘Sahabat’. Orang tua anak ini rajin menceritakan biografi para Sahabat setiap malam.”8

• • •

(36)

Tabi’in yang Zuhud dan Cinta Akhirat

Salim bin Abdullah tinggal di kota Madinah. Saat itu Madinah penuh dengan kenikmatan dan kekayaan, harta yang berlimpah ruah dibanding keadaan sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru kota ini. Ya, para khalifah Bani Umayyah memenuhinya dengan kekayaan yang tidak pernah terbayangkan.

Meski demikian, Salim bin Abdullah tidak tergoda oleh rayuan dunia yang fana. Beliau bersikap zuhud, tidak butuh dengan apa yang dimiliki orang lain. Beliau lebih memilih apa yang ada di sisi Allah  . Orientasinya hanya mengharap kenikmatan yang

abadi kelak, di akhirat.

Khalifah Bani Umayyah berusaha memberi hadiah untuk beliau, maupun pemberian lainnya, namun semua itu ditolak. Salim tetap berpegang teguh pada pendiriannya, tidak rakus kepada harta, sebab dunia di matanya sangat kecil dan tidak bernilai.

Suatu ketika, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik  datang

ke kota Makkah untuk menunaikan haji. Pada saat thawaf qudum (permulaan), beliau melihat Salim bin Abdullah sedang duduk di bawah naungan Ka’bah. Dengan khusyuk Tabi’in ini berdoa dan membaca Al-Quran. Air matanya berlinang deras, membasahi kedua pipinya.

Seusai tawaf dan shalat sunnah dua rakaat, sang Khalifah pun menghampiri Salim. Orang-orang memberinya jalan hingga dia duduk di hadapan Salim, hampir-hampir lututnya bersentuhan dengan lutut putra Abdullah bin Umar ini. Namun, Salim tidak perhatian terhadap kehadiran Sulaiman, maka dia meneruskan bacaan Al-Quran dan dzikirnya.

(37)

Khalifah sabar menanti, hingga Salim berhenti sejenak dari bacaan ayat-ayat suci dan tangisnya pun mereda. Ketika terbuka kesempatan itu, khalifah mengucap salam: “Assalâmu’alaikum, wahai Abu Umar!”

“Wa’alaikumussalâm warahmatullâhi wabarakâtuh.” Salim menoleh ke samping dan menjawabnya.

Sang Khalifah menawarkan: “Katakanlah, Abu Umar, apa yang engkau butuhkan, niscaya akan saya penuhi.”

Salim terdiam, tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Sulaiman. Khalifah mengulangi tawarannya, sambil mendekat lagi: “Saya senang jika engkau memberi tahu kebutuhan pribadi agar saya bisa memenuhinya.”

Salim pun menjawab: “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin aku yang kini sedang berada di rumah-Nya meminta kepada selain Dia?”

Kali ini Khalifah Sulaiman yang terdiam, malu, tetapi dia tidak beranjak dan tetap duduk di dekat Salim.

Selesai shalat, Salim beranjak meninggalkan Masjidil Haram menuju kendaraannya. Orang-orang mengikuti beliau seraya bertanya tentang suatu hadits, ada pula yang meminta fatwa dan ada juga yang meminta didoakan.

Lalu terlihat Khalifah Sulaiman mengikuti Salim dari belakang. Banyak yang memberinya jalan sehingga Khalifah bisa mengejar dan mendekati Salim. Saat mendekat, dia kembali menawarkan: “Sekarang kita sudah di luar Masjid, maka mintalah kebutuhan engkau, agar saya dapat memenuhinya.”

(38)

Salim balik bertanya “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?” “Tentu saja dari kebutuhan dunia!” sahut sang Khalifah. Salim menanggapinya: “Saya jarang meminta kebutuhan dunia kepada yang memilikinya (Allah), maka bagaimana saya meminta kepada yang bukan pemiliknya?”

Khalifah pun malu sekaligus kagum kepada Salim. Dia berkata: “Alangkah mulianya engkau dengan keteguhan sikap zuhud dan takwa, wahai keturunan al-Khathab. Sungguh, alangkah kayanya engkau berkat kedekatan cahaya ilahiah. Semoga Allah 

memberkahi engkau sekeluarga.”

Tahun sebelumnya, Khalifah al-Walid bin Abdul Malik —

Khalifah sebelum Sulaiman bin Abdul Malik—juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, Khalifah berjumpa dengan Salim bin Abdullah di Muzdalifah. Ketika itu, Ibnu Abdullah (Salim ) mengenakan pakaian ihram.

Al-Walid pun mengucapkan salam dan doa, lalu memandangi tubuh Salim yang terbuka, yang tampak begitu sehat dan kekar bagaikan bangunan yang begitu kokoh. “Postur tubuh yang ideal. Wahai Abu Umar, apakah makanan engkau sehari-hari?”

“Roti dan minyak zaitun. Terkadang juga daging, apabila saya mendapatinya.” Salim menjelaskan.

“Hanya roti dan minyak Zaitun?” “Benar.”

“Apakah kamu berselera memakan itu?” tanya al-Walid “Jika tidak berselera, saya tinggalkan ia hingga terasa lapar.””9

9 Dikutip dari Shuwar min Hayâti at-Tabi’în (hlm. 379-383) dan terjemahannya yang

(39)

FAEDAH DAN HIKMAH

Ilmu dan Pemahaman Meninggikan Martabat

Salim bin Abdullah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan hidup sederhana.

Suatu ketika Maimun bin Mihran masuk ke rumah Salim dan menilai semua perabotan rumah miliknya, lalu ditaksir bahwa harga seluruhnya tidak lebih dari seratus dirham.

Allah  memberikan taufik kepada Ibnu Abdullah dengan menjadikan dunia hina di matanya; dan sebaliknya, di hatinya penuh akan pengagungan atas akhirat. Beliau sangat dihormati orang-orang shalih, penguasa pun segan dan memuliakannya. Semoga Allah meninggikan derajat beliau di Surga-Nya.

Syaikh Shalih al-Maghamisi, Imam Masjid Quba di Madinah, dalam ceramahnya menceritakan kisah Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khathab: “Dalam kitab-kitab sejarah diceritakan bahwa Salim mendatangi Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Khalifah menyambut dan memuliakan Salim, bahkan meminta beliau duduk di singgasana Khalifah. Saat itu Salim mengenakan pakaian yang sederhana. Di sekitar Khalifah banyak orang besar yang hadir, di antaranya Umar bin Abdul Aziz yang masih punya ikatan kekerabatan dengan Salim.

Salah seorang yang hadir di situ dengan pakaian yang mewah menyindir Umar bin Abdul Aziz: “Apakah pamanmu ini tidak punya pakaian yang bagus untuk menemui Amirul Mukminin?” “Pakaian lusuh pamanku tidak menjatuhkan kedudukan tingginya, dan pakaian mewahmu tidak pula meninggikan kedudukanmu!”

(40)

Jawaban yang indah dan tepat pada tempatnya!

Wahai Saudaraku, siapa saja yang memulai berbuat keburukan maka keburukan itu akan kembali kepadanya.

Allah  berfirman:

Z Í .... »º ¹ ¸ ¶ µ ´ ...[

“Rencana yang jahat itu hanya akan menimpa orang yang

meren-canakannya sendiri” (QS. Fathir [35]: 43)

Dalam ayat lainnya, Dia  berfirman:

Z £ .... u t s r ... [

“Sesungguhnya kezalimanmu, bahayanya akan menimpa dirimu sendiri” (QS. Yunus [10]: 23)

Oleh karena itulah, orang yang berbahagia adalah orang yang berhasil memelihara lisannya.”

Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Musnid  berkata:

“Demikianlah kalangan yang lebih mempedulikan sisi rohaniah. Mereka ini tidak peduli dengan hal-hal yang bersifat lahiriah. Orang-orang shalih tidak menilai manusia dari materi ataupun pakaian yang dikenakan. Penampilan yang sederhana tidaklah menurunkan martabat orang yang bertakwa di mata manusia. Bukankah pada waktu melihat permata, umumnya manusia tidak melihat pada bungkusnya yang sederhana. Ilmu dan pemahaman meninggikan martabat manusia.”10

(41)

Menjadikan Akhirat Sebagai Pusat Perhatian

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi  menerangkan: “Zuhud

adalah istilah dari berpalingnya keinginan dari sesuatu menuju hal lain yang lebih baik daripada sesuatu itu. Syarat utamanya, dia mencintai apa yang ditinggalkannya. Maka siapa saja yang meninggalkan sesuatu yang tidak dicintai dan tidak disuka hati, maka dia tidak dikatakan zahid (orang yang zuhud).”11

Imam Ibnu Rajab  menjelaskan: “Maksud zuhud di dunia

adalah mengosongkan hati dari menyibukkan diri dengan dunia, sehingga seorang hamba dapat berkonsentrasi dalam mencari ridha Allah, mengenal-Nya, berupaya dekat kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya, dan rindu menghadap-Nya.”12

Menurut Imam Ahmad , zuhud terdiri atas tiga bentuk. Pertama, meninggalkan yang haram; demikianlah zuhud bagi orang-orang awam. Kedua, meninggalkan yang berlebih-lebihan dari yang halal; demikianlah zuhud orang-orang khusus. Ketiga, meninggalkan semua perkara yang menyibukkan diri dari Allah; demikianlah zuhudnya orang-orang ‘arif (bijaksana).13

Imam Ibnul Jauzi , saat menulis pasal atau bahasan yang

berjudul “Hakikat Zuhud Ulama”, menyatakan dengan gamblang: “Aku merenungi perihal sifat saling hasad yang terjadi antara ulama, dan aku menyimpulkan penyebabnya yaitu cinta dunia. Sesungguhnya ulama akhirat, mereka saling mencintai dan tidak akan saling hasad ….”14

11 Mukhtashar Minhaj al-Qashidin. 12 Jâmi’ul Ulûm wal Hikam. 13 Madârijus Sâlikin. 14 Shaidul Khathir (hlm. 25)

(42)

Orientasi seorang ulama, da’i, dan setiap muslim ialah mencari ridha Allah dan negeri akhirat. Allah  berfirman:

à  Á À¿ ¾ ½ ¼ » º [

Z Ø ... ÆÅ Ä

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah di-anugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu melupakan

bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)

Rasulullah  bersabda: “Siapa yang menjadikan akhirat

sebagai pusat perhatiannya, niscaya Allah membuat hatinya kaya, segala urusannya menjadi teratur, serta dunia datang kepadanya tanpa perlu dikejar-kejar. Adapun siapa yang menjadikan dunia sebagai pusat perhatiannya, niscaya Allah menjadikan kefakiran berada di depan matanya, segala urusannya menjadi kacau, dan dunia datang kepadanya sekadar yang telah ditakdirkan.”

(HR. At-Tirmidzi. Lihat Silsilah ash-Shahîhah [no. 949]) Tidak Bisa Dijual ke Pihak Mana pun

Kemuliaan serta kehormatan ulama rabbani dinilai dari tidak meminta harta, menolak pemberian penguasa atau donatur yang tidak tulus. Seorang ulama terhormat ketika telah menjadi insan yang mandiri dan merdeka.

Tidak sedikit orang—amat disayangkan—ketika memberikan bantuan kepada orang lain, baik secara materil maupun moril, memiliki motif untuk “menguasai” orang yang dibantu. Sehingga secara hakikat, orang yang mau dibantu dengan syarat itu menjadi manusia yang terjajah jiwanya.

(43)

Maka Nabi  mengajarkan doa kepada kita:

ِﻞ

ْﺨُﺒْﻟاَو ،ِﻞَﺴَﻜْﻟاَو ِﺰْﺠَﻌْﻟاَو ،ِنَﺰَﺤْﻟاَو ِّﻢَﻬْ�ا َﻦِﻣ َﻚِﺑُذﻮُﻋ

َ

أ ﻲِّﻧِإ َّﻢُﻬ

ّٰ

ﻠ�َا

.ِلﺎَﺟِّﺮ�ا ِﺔَﺒَﻠَﻏَو ، ِﻦْﻳَّﺪﻟا ِﻊَﻠَﺿَو ،ِﻦْﺒُﺠْﻟاَو

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, sifat kikir, pengecut, lilitan utang

dan dikuasai orang lain.” (HR. Al-Bukhari)

Sebagian da’i dan kyai sering dimanfaatkan oleh para politikus atau calon pemimpin dan tim suksesnya, sehingga tanpa terasa seruan dakwah tidak murni lagi! Semoga Allah mengaruniakan kepada kita keikhlasan dan sebenar-benar tawakal kepada-Nya. Semoga Allah memudahkan serta memenuhi segala kebutuhan kita dan keluarga kita, pun keperluan dakwah tanpa harus minta kepada makhluk dengan menghinakan atau “melacurkan diri”. Semoga Allah memuliakan pribadi kita di sisi-Nya, dan dimata orang-orang yang shalih. Amin.

Prof. Dr. Hamka  berkata: “Hakikatnya kita telah menjual

diri ini kepada Allah semata. Ulama yang telah menjual dirinya kepada Allah tidak bisa dijual lagi kepada pihak mana pun!”

Allah  berfirman:

¯ ® ¬ « ª © ¨ § ¦ [

Z

Ó

.... ²± °

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 111)

(44)

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita sahabat-sahabat dari para ulama rabbani, aktivis dakwah, dan para penuntut ilmu yang lurus imannya, baik ibadah dan akhlaknya, ikhlas niatnya demi mengharap ridha Allah, dan berorientasi pada akhirat.

Para ulama Salafus Shalih begitu hati-hati di dalam bersikap. Banyak di antara mereka yang menolak bantuan dari penguasa agar jiwa mereka tetap mandiri. Dengan begini, mereka bisa terus memberikan nasihat dan melakukan amar makruf nahi mungkar kepada pemimpin kaum muslimin.

Rasulullah  bersabda: “Malaikat Jibril mendatangiku

dan berkata: ‘Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, sungguh kamu pasti akan merasakan kematian. Cintailah siapa saja sesuai kehendak hatimu, sungguh kamu pasti akan berpisah dengannya. Berbuatlah segala apa sesuka jiwamu. sungguh kamu pasti akan mendapatkan balasannya. Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah shalatnya di waktu malam (shalat Tahajud). Dan kehormatannya adalah ketika dia merasa cukup dari (bantuan)

manusia.’” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Hakim dalam

al-Mustadrak; dishahihkan al-Hakim, dan disepakati adz-Dzahabi)

Kisah Fudhail bin Iyadh dan Khalifah Harun al-Rasyid

Berikut ini kisah yang berkesan di antara Imam Fudhail bin Iyadh dengan Khalifah Harun al-Rasyid .

Al-Fudhail bin ar-Rabi  menuturkan: “Amirul Mukminin

Harun ar-Rasyid pergi ke Makkah untuk menunaikan haji. Beliau datang kepada saya, maka saya pun segera keluar menyambutnya, lantas saya bertanya: ‘Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau tidak mengutus seseorang agar saya yang datang menghadap?’

(45)

Sang Khalifah mengadu: ‘Sungguh, kegelisahan menyelimuti hati ini, maka carilah seseorang yang bisa kumintai nasihat!’

‘Di sini (Makkah) ada Sufyan bin Uyainah,’ jawabku. Beliau pun menyahut: ‘Ayo, kita pergi menemuinya!’

Maka kami bergegas mendatangi Sufyan. Setibanya kami di depan rumah Tabi’in mulia ini, saya mengetuk pintunya, lantas dia bertanya dari dalam: ‘Siapa di luar?’

Saya memberitahukan: ‘Sambutlah, ini Amirul Mukminin.’ Spontan dia keluar lantas berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau tidak mengutus seseorang agar saya yang datang menghadap?’

‘Penuhilah keperluan kami, semoga Allah merahmati engkau,’ pinta Khalifah.

Maka Sufyan bin Uyainah berbicara dengan Khalifah selama beberapa waktu, lalu ditanyakan: ‘Apa engkau memiliki utang?’

Sufyan menjawab: ‘Ya.’

Khalifah pun menyuruhku: ‘Abul Abbas, lunasi utangnya!’ Setelah keluar dari rumah Sufyan, Amirul Mukminin berkata: ‘Sahabatmu itu tidak mampu menenangkan hatiku, maka carilah orang lain untuk kumintai nasihat!’

‘Di sini ada Abdur Razzaq bin Hamam,’ saranku. Khalifah menyahut: ‘Ayo, kita menemuinya!’

Kami mendatangi Abdur Razzaq; lalu saya ketuk pintunya, dan dia bertanya dari dalam: ‘Siapa di luar?’

(46)

Dia segera keluar sambil berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau tidak mengutus seseorang agar saya yang datang menghadap?’

‘Penuhilah keperluan kami, semoga Allah merahmati engkau,’ pinta Khalifah.

Maka Abdur Razzaq bin Hamam berbicara dengan Khalifah beberapa waktu, lalu ditanyakan: ‘Apa engkau memiliki utang?’

Abdur Razzaq menjawab: ‘Ya.’

Khalifah pun menyuruhku: ‘Abul Abbas, lunasi utangnya!’ Setelah keluar dari rumah beliau, Amirul Mukminin berkata: ‘Sahabatmu itu tidak mampu menenangkan hatiku, maka carilah orang lain untuk kumintai nasihat!’

‘Di sini ada al-Fudhail bin Iyadh,’ saranku kepada Khalifah. Khalifah menyahut: ‘Ayo, kita menemuinya!’

Lantas kami mendatanginya, ternyata al-Fudhail sedang shalat dan membaca sebuah ayat Al-Qur-an dengan diulang-ulang. Lalu saya mengetuk pintunya, dan dia bertanya: ‘Siapa di luar?’

Saya memberitahukan: ‘Sambutlah, ini Amirul Mukminin.’ ‘Ada urusan apa Amirul Mukminin denganku?’ tanyanya. Saya menimpali: ‘Subhanallah, bukankah engkau wajib taat? Bukankah Nabi bersabda: “Orang mukmin tak boleh merendahkan

dirinya sendiri.’ (Lihat Silsilah ash-Shahihah [no. 613])

Maka Fudhail membuka pintu, lalu masuk kembali ke kamar dan mematikan lampu, lantas menuju sudut rumah. Kami masuk sambil meraba-raba, dan tangan Khalifah menyentuh Fudhail.

(47)

Fudhail berkata lirih: ‘Duhai betapa lembutnya tangan ini jika kelak bisa selamat dari azab Allah .’

Saya bergumam: ‘Sungguh beliau akan menasihati Khalifah malam ini dengan perkataan yang muncul dari hati yang bersih.’

‘Penuhilah keperluan kami, semoga Allah merahmati engkau,’ pinta Khalifah.

Fudhail menanggapi: ‘Saat diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz mengundang Salim bin Abdullah bin Umar, juga Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dan Raja bin Haiwah, lantas beliau meminta: ‘Sesungguhnya aku mendapat musibah dengan jabatan ini, maka berilah aku nasihat!’

Salim bin Abdullah menasihati: ‘Jika Anda kelak ingin selamat dari azab Allah, berpuasalah dari dunia dan jadikan berbukanya dengan kematian!’

Lantas, Muhammad bin Ka’ab menasihati: ‘Jika Anda kelak ingin selamat dari azab Allah, jadikanlah para orang tua dari kalangan muslimin seperti ayah Anda, orang yang sebaya sebagai saudara Anda, serta orang yang lebih muda sebagai anak Anda. Kemudian hormatilah ayah Anda, muliakanlah saudara Anda, dan sayangilah anak Anda itu!’

Giliran Raja bin Haiwah, dia pun menasihati: ‘Jika Anda kelak ingin selamat dari azab Allah, cintailah kebaikan untuk kaum muslimin seperti segala yang Anda cintai untuk diri sendiri; dan bencilah keburukan atas mereka sebagaimana Anda membenci jika keburukan itu menimpa diri sendiri. Lalu meninggallah jika Anda menginginkannya (yakni setelah mampu mempraktikkan amal shalih ini)! Adapun saya, sesungguhnya saya mengatakan

(48)

dari lubuh hati ini bahwa saya benar-benar mengkhawatirkan keselamatan Anda pada hari Kiamat. Yakni hari ketika kaki-kaki umat manusia tergelincir. Maka apakah Anda—semoga Allah merahmati Anda—memiliki orang-orang yang menasihati Anda dengan nasihat semacam ini?’

Amirul Mukminin menangis tersedu-sedu, hingga pingsan. Lalu saya berkata kepada Fudhail: ‘Bersikap lembutlah kepada Amirul Mukminin.’

Namun, Fudhail menjawab: “Hai Ibnu Ummi Rabi, bukankah Anda dan teman-teman Anda yang membinasakannya? Lantas mengapa saya yang diminta agar bersikap lembut kepadanya!”

Setelah siuman, Amirul Mukminin meminta kepada Fudhail: ‘Berilah aku nasihat, semoga Allah merahmati engkau!’

Fudhail berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, aku mendengar bahwa salah seorang gubernur Umar bin Abdul Aziz mengeluh, maka ditulislah surat untuknya:

Wahai saudaraku, aku ingatkan engkau kepada Allah sepanjang waktu penduduk Neraka tidak bisa tidur sepanjang

siang dan malam dalam kekekalan abadi. Semoga saja Malaikat yang ada di sisi-Nya tidak mengusir engkau

sehingga akhir keadaanmu adalah keputusasaan!

Usai membaca surat itu, gubernur tersebut bergegas menghadap Khalifah Umar, lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apa gerangan yang membuat Anda datang kemari?’

Gubernur tadi menjawab: ‘Anda telah mencabut hati saya dengan surat Anda, maka saya tidak mau lagi mengurusi satu wilayah pun hingga saya berjumpa dengan Allah .’

(49)

Amirul Mukminin kembali menangis tersedu-sedu, kemudian beliau berkata kepada Fudhail: ‘Tambahkanlah nasihat untukku, semoga Allah merahmati engkau!’

Fudhail menasihati: ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya al-Abbas, paman al-Musthafa (Rasulullah ), suatu ketika

datang kepada Nabi lantas berkata: ‘Wahai Rasulullah, angkatlah aku menjadi pemimpin?’ Namun, beliau bersabda menanggapi permintaan ini: ‘Sungguh kepemimpinan itu menjadi penyesalan

kelak, pada hari Kiamat. Maka apabila kamu mampu untuk tidak menjadi seorang pemimpin, lakukanlah hal tersebut!’

(Lihat Shahîh al-Bukhari [no. 174])15

Amirul Mukminin kembali menangis tersedu-sedu, kemudian beliau berkata kepada Fudhail: ‘Tambahkanlah nasihat untukku, semoga Allah merahmati engkau!’

Fudhail melanjutkan: ‘Wahai yang berwajah tampan, Andalah yang nanti ditanya oleh Allah tentang hamba-hamba-Nya. Kelak, pada hari Kiamat, pertanyaan tentang itu tertuju kepada Anda. Maka jika Anda mampu menjaga wajah ini dari Neraka, jangan sampai Anda memasuki waktu pagi dan waktu sore hari dalam keadaan di hati Anda terdapat pengkhianatan terhadap seorang pun dari rakyat Anda. Ketahui dan ingatlah sabda Nabi 

yang pernah diutarakan kepada para Sahabat: ‘Siapa saja yang

mengkhianati rakyatnya, sungguh dia tidak akan dapat mencium

bau Surga.’ (Lihat Shahîh al-Bukhari, no. 7150)

Ini ketiga kalinya Amirul Mukminin menangis tersedu-sedu. Setelah menenangkan diri, Khalifah Harun al-Rasydin bertanya kepada Fudhail bin Iyadh, Tabi’in penasihatnya itu: ‘Apa engkau memiliki utang?’

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan Eksternal Lingkungan Internal Lingkungan Sosial Lingkungan Tugas Misi Tujuan Strategi Kebijakan Program/ Kegiatan Internal Struktur Budaya SDO Anggaran

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan cara meningkatkan kemampuan berbicara anak usia 4-5 tahun melalui metode karya wisata

Dalam belas kasihan-Mu, ampunilah kami ya Tuhan, tolonglah kami untuk mengubah diri kami, dan arahkan kami untuk datang padaMu sehingga kami dapat. menyenangkanMu dan

test meter Data skala rotameter Volume udara dan waktu Ulangi dengan variasi skala rotameter lain Hubungkan kembali selang output rotameter dengan kolom. Ukur

27 Benar bahwa pengkajian secara komprehensif terhadap sumber ajaran Islam, baik al-Quran maupun hadis, akan menjurus kepada sebuah kesimpulan bahwa Islam telah

Dari hasil uji regresi yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa mekanisme CG yang diwakili oleh kepemilikan manajerial, proporsi outside directors, dan jumlah BOD

(Shaub dan Lawrence dalam Kushasyandita, 2012) Hubungan antara skeptisisme profesional auditor dengan ketepatan pemberian opini auditor diperkuat dengan adanya

Karakter seleksi jagung hibrida yang berpengaruh langsung terhadap hasil pada kondisi kekeringan adalah tinggi tanaman, luas daun, panjang tongkol, diameter tongkol, dan