•
Banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik dari kisah Ali bin al-Husain atau Zainal Abidin.
Penyusun mendapat pelajaran dan kisah beliau dari ceramah Dr. Muhammad Musa asy-Syarif, dari ulasan yang disampaikan Dr. Khalid Abdul Alim dalam salah satu ceramahnya, dan dari kitab-kitab sejarah.
Kisah beliau—di antara hikmahnya—mengingatkan kita akan pentingnya ibadah dengan khusyu dan tuma’ninah.
Diceritakan bahwa Ali Zainal Abidin sedang bersujud lama, dan terjadilah kebakaran. Orang-orang pun berseru memanggil beliau agar menghindari kobaran api, tetapi beliau tetap sujud.
Alhamdulillâh beliau selamat, dan api tadi padam. Saat ditanya,
beliau berkata tidak mendengar teriakan manusia. Demikian karena kekhusyuan dalam berdoa, memohon kepada Allah agar terhindar dari azab api Neraka.
Membaca biografi Ali bin al-Husain, Zainal Abidin , mengingatkan kita akan pentingnya rajin membaca dan juga mentadaburi al-Quran, memahami tafsirnya, mengamalkan dan mendakwahkan kandungannya. Semoga Allah mengampuni segala kekurangan dan kelalaian kita terhadap Kitab-Nya ini, pun diberi taufik hingga menjadi Ahlul Quran (pencinta al-Quran), dan dengan begitu Dia merahmati kita. Amin.
Ali Zainal Abidin gemar berdoa. Baginya, doa adalah ibadah. Di antara doa Ali Zainal Abidin ketika berada di teras Ka’bah:
َﻚُﻠِﺋﺎَﺳ ، َﻚِﺋﺎَﻨِﻔِﺑ َكُﺮْﻴِﻘَﻓ ، َﻚِﺋﺎَﻨِﻔِﺑ َﻚُﻨْﻴِﻜْﺴِ� ، َﻚِﺋﺎَﻨِﻔِﺑ َكُﺪْﻴَﺒُ� ،ْ ِّ�َرﺎَﻳ
. َﻚِﺋﺎَﻨِﻔِﺑ
“Wahai Rabb, hamba-Mu yang kecil ini berada di rumah-Mu, orang yang patut dikasihani-Mu berada di rumah-Mu, orang yang faqir membutuhkan-Mu di rumah-Mu, pemohon-Mu berada di rumah-Mu.”
Doa beliau yang lainnya:
َﺢِّﺒَﻘُ�َو ْﻲِﺘَّ�ِﻧ َﻼَﻋ ِنْﻮُﻴُﻌْﻟا ِﻊِﻣاَﻮَ� ﻲِﻓ َﻦِّﺴَﺤُﺗ ْنَأ َﻚِﺑُذْﻮُﻋَأ ْﻲِّﻧِإ �َا
َّﻲَﻟِإ َﺖْﻨَﺴْﺣَأَو ُتْﺄَﺳَأ ﺎَﻤَﻛ �ا ،ْ ِ�َﺮْ�ِﺮَﺳ ِنْﻮُﻴُﻌْﻟا ِتﺎَّﻴِﻔَﺧ ْﻲِﻓ
. َّﻲَﻠَﻋ ْﺪُﻌَ� ُتْﺪُﻋ اَذِﺈَﻓ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu jangan sampai ditampakkan baik dalam pandangan manusia padahal tersimpan hati yang buruk. Ya Allah, ketika aku berbuat keburukan, Engkau berbuat baik kepadaku maka ketika aku kembali maka berilah kembali kebaikan untukku.”
Dr. Muhammad Musa asy-Syarif menyatakan; idealnya, kondisi batin orang muslim lebih baik daripada kondisi lahirnya. Imam Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya, Shaidul Khathir: “Tanda orang ikhlas adalah apabila berada di hadapan orang lain sama dengan pada waktu sendirian. Sebab boleh jadi seseorang memaksa diri tersenyum kepada manusia serta berpenampilan sederhana supaya disebut zuhud. Ibnu Sirin biasa tersenyum di siang hari; namun saat malam tiba, dia menangis seakan-akan telah membunuh penduduk satu kampung.”2
Ali Zainal Abidin sering menangis sewaktu berdoa dan bermunajat. Pernah saat mengucapkan kalimat talbiyah, yakni
Labbaik Allâhumma labbaik ( َﻚْﻴَّﺒَﻟ �ا َﻚْﻴَّﺒَﻟ ), beliau pingsan lalu terjatuh dari kendaraannya.
Tawadhu merupakan Sifat Mulia •
Ali Zainal Abidin, cucu Rasulullah , amat tawadhu dan tidak sombong. Kemuliaan nasab tidak membuat dirinya sombong. Beliau tidak merasa aman dari azab, bahkan sering berdoa merengek dan menangis mohon ampunan kepada-Nya. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang lambat amalnya, maka
kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahîh Muslim: “Siapa saja yang kurang amalnya, maka tidaklah bisa mencapai kedudukan orang yang gemar beramal. Maka sudah seharusnya seseorang tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan tidak pula bersandar pada keutamaan nenek moyang hingga menyebabkan dirinya tidak banyak atau malas mengerjakan amal shalih.” 2 Lihat al-Akhfiyâ' (hlm. 58)
Janganlah seseorang yang memiliki keturunan mulia merasa sudah dijamin selamat dari azab Neraka sehingga meremehkan dosa dan merasa aman dari makar Allah.
Nabi kita mengingatkan: “Sesungguhnya Ahlul Baitku
memandang diri sebagai orang yang paling berhak terhadap aku. Padahal tidak seperti itu. Ketahuilah, wali-waliku di antara kalian adalah orang-orang yang bertakwa, siapa pun mereka dan di mana
pun mereka berada ....” (Hadits shahih riwayat Ibnu Abi Ashim dalam
as-Sunnah [no. 212, 1011] dan ath-Thabrani dalam al-Kabîr [20/120-121,
no. 241])
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: “Wahai Bani Abdi
Manaf, tebuslah diri-diri kalian dari Allah! Wahai Bani Abdil Muthallib, tebuslah diri-diri kalian dari Allah! Wahai Ummuz Zubair bin al-Awwam bibi Rasulullah, dan wahai Fathimah binti Muhammad, tebuslah diri kalian dari Allah. Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku
harta sesuka kalian.” (HR. Al-Bukhari)
Ali Zainal Abidin dikenal sebagai orang yang tawadhu, memiliki sifat rendah hati. Beliau hadir lantas duduk menyimak lagi belajar di majelis Zaid bin Aslam . Maka beliau ditegur sebab keturunan Quraisy duduk di majelis anak mantan budak. Namun beliau menjawab dengan tegas, bahwa seseorang dalam bermajelis untuk menuntut ilmu demi mengikuti kebenaran itu di mana saja bisa didapat (yakni tidak memandang status orang yang menyampaikan kebenaran tersebut).
Dr. Muhammad Musa asy-Syarif pun berkata: “Ada dua jenis manusia yang tidak mendapatkan ilmu, yaitu orang yang malu dan orang yang sombong.”
Saat sedang menunggangi bighalnya di kota Madinah dan mendapati keramaian di depannya, beliau tidak meminta orang untuk membuka jalan. Beliau berkata bahwa jalan umum milik semua orang.
Dalam perjalanan Madinah-Makkah-Madinah, beliau tidak pernah mencambuk bighalnya agar berjalan lebih cepat.
Di antara ketawadhuan beliau yakni sikap tidak suka dilayani untuk keperluan-keperluan yang mampu dilakukannya sendiri, seperti mengambil air untuk berwudhu.
Beliau tidak pernah meninggalkan shalat Tahajud baik di kala berada di dalam kota atau di kala bersafar di luar kota.
Di antara perkataan beliau: “Saya heran kepada si sombong. Sebelumnya dia air mani, kemudian akan menjadi bangkai.”
Perkataan beliau lainnya: “Saya heran kepada manusia yang ragu-ragu akan keberadaan Allah padahal melihat makhluk-Nya. Saya pun heran kepada orang yang mengingkari akhirat padahal melihat dunia. Saya juga heran kepada yang giat beramal untuk negeri yang fana dan tidak beramal untuk negeri yang kekal.”
Jika pengemis atau orang yang minta bantuan datang, beliau menyambutnya dengan hangat: “Selamat datang, wahai tamu yang akan membawa bekalku untuk negeri akhirat!”
Kasihanilah Para Bangsawan yang Terhina •
Mengenai hadits: “Kasihanilah para bangsawan yang terhina”, para ulama menegaskan bahwa derajatnya maudhu’, atau palsu. Demikian penilaian Imam Ibnul Jauzi, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam asy-Syaukani .
Imam asy-Syaukani dan Ibnul Jauzi menyandarkan perkataan di atas kepada Imam Fudhail bin Iyadh . Wallâhu a’lam.
Maka, jangan sampai kita sengaja berdusta atas nama Nabi. Kita juga berusaha untuk lebih teliti saat menyampaikan hadits Nabi, sehingga kita terhindar dari menyampaikan hadits lemah (dha’if), apalagi yang palsu (maudhu’).
Terlepas dari derajatnya, yang dinilai maudhu’, makna hadits tersebut baik.
Termasuk kebaikan jika ada pejabat yang pensiun, atau orang kaya yang jatuh miskin, maka kita perlakukan mereka dengan hormat dan kita hargai mereka. Jangan sampai sikap kita berbeda atau bahkan meremehkan mereka. Terlebih pada dasarnya kita dituntut agar menghormati dan menghargai orang lain baik dia pejabat tinggi atau pegawai rendahan, berada maupun papa.
• • •