•
Imam adz-Dzahabi berkata tentang al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dalam kitabnya, Siyar A’lam an-Nubalâ': “Al-Hajjaj, Allah mencabut nyawanya pada bulan Ramadhan tahun 95 H. Dia seorang yang zalim, bengis, Nashibi (pembenci Ahlul Bait), keji, suka menumpahkan darah, mempunyai keberanian ekstrem, dikenal karena tipu daya dan kecerdikannya, seorang yang fasih, ahli bahasa, serta cinta terhadap al-Quran.
Aku telah menulis ihwal sejarah hidupnya yang buruk dalam kitab at-Târîkh al-Kabîr, pengepungannya terhadap Abdullah bin az-Zubair dan Ka’bah, serta perbuatannya melempar Ka’bah dengan manjanik, penghinaannya atas penduduk al-Haramain (dua Tanah Suci), serta penguasaannya terhadap Irak dan wilayah timur; semuanya, selama 20 tahun. Juga peperangannya dengan Ibnul Asy’ats, termasuk sikapnya yang berlambat-lambat dalam menunaikan shalat hingga Allah mematikannya.
Maka kami mencelanya dan tidak mencintainya. Sebaliknya, kami membencinya karena Allah. Yang demikian termasuk tali keimanan yang sangat kokoh. Dia memiliki kebaikan-kebaikan, tetapi tertutup dengan lautan dosanya. Secara umum dia orang yang bertauhid, pun termasuk penguasa yang tirani dan zalim. Urusan dia kami serahkan kepada Allah.”
Imam Hasan al-Bashri , ketika mendengar salah seorang mencela Hajjaj bin Yusuf sesudah meninggalnya di suatu majelis, beliau memandang orang itu sambil marah seraya berseru:
“Wahai keponakanku, Hajjaj telah wafat. Dan sungguh kamu, tatkala menghadap Allah, akan mendapati serendah-rendah dosa yang kamu perbuat di dunia dan dirasakan ia lebih berat dibandingkan dosa Hajjaj yang paling besar. Setiap kalian sibuk dengan urusan masing-masing di akhirat. Ketahuilah, sungguh Allah akan membalas atas kezaliman Hajjaj kepada orang-orang yang dia zalimi sama seperti balasan atas kezaliman orang-orang yang telah menzaliminya. Oleh sebab itu, mulai sekarang jangan sekali-kali kamu menyibukkan diri—atau menghabiskan waktu —untuk mencela siapa pun!’”20
Imam Hasan al-Bashri juga berkata: “Keberadaan Hajjaj merupakan azab Allah. Janganlah kalian membalas azab-Nya ini dengan tangan kalian. Akan tetapi, hendaklah kalian tunduk dan merendahkan diri kepada Dia.
Sesungguhnya Allah berfirman:
Z 6 5 4 3 2 1 0 / . [
‘Dan sungguh Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Rabbnya, dan (juga) tidak
merendahkan diri’ (QS. Al-Mu’minûn [23]: 76).”21
Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa tunduk dan merendahkan diri kepada Rabbul ‘alamin, Sang Pencipta alam semesta. Juga semoga Allah menjadikan kita sebagai atau termasuk golongan orang-orang yang khusyu dan tawadhu. Amin.
20 Hilyatul Auliya’ (II/271)
Seni Berdiplomasi •
Di antara pelajaran dari kisah Salim bin Abdullah yaitu pentingnya seni berdiplomasi demi menghindari kekecewaan orang lain atau meringankan mudharat yang mungkin timbul.
Bayangkan bagaimana sikap Khalifah jika tawarannya untuk memberi bantuan langsung dijawab dengan penolakan keras?
Bagaimana sikap Hajjaj yang dikenal zalim, kejam, dan mudah menumpahkan darah jika perintahnya supaya Salim membunuh salah seorang tawanan langsung ditolak saat itu juga? Padahal, Salim ragu-ragu atau tidak percaya atas tuduhan Gubernur yang mencap para tawanan tersebut sebagai pemberontak dan orang yang menghalalkan darah kaum muslimin. Karena itulah, beliau berdiplomasi sebelum memutuskan untuk menolak permintaan Hajjaj agar dia menjadi eksekutor hukuman mati ini.
Salah satu manfaat berdiplomasi adalah dapat menghindari salah paham, meredam amarah, dan bahkan membuat gembira orang yang mendengarnya.
Seorang anak muda menemui penyusun dan mengadu bahwa ayahnya marah sehingga melarangnya menghadiri majelis ilmu. Penyebabnya adalah saat si Ayah menyuruhnya membeli rokok di warung, dia langsung menolak dan mengatakan bahwa rokok hukumnya haram maka membelikan rokok juga haram karena termasuk tolong-menolong di dalam kemaksiatan. Setelah tahu faktor pemicu kemarahan tersebut, penyusun menasihati bahwa seorang anak wajib bersikap sopan serta santun kepada orang tua baik dalam bertutur maupun bersikap, dalam setiap kondisi dan situasi. Inilah bagian terpenting dari seni berdiplomasi.
Ada sebuah kejadian yang hampir sama, yaitu seorang ayah menyuruh anaknya membeli rokok di warung. Si anak berkata kepada ayahnya: “Sebuah kehormatan bagi anak untuk mentaati orang tua. Apa pun yang ayahanda minta, dengan senang hati akan ananda penuhi. Tapi ada satu permintaan ayah yang terasa berat untuk ananda laksanakan, yaitu membelikan rokok. Sebab apabila nanti ayah sakit dengan sebab rokok itu, niscaya ananda merasa bersalah karena membantu membelikannya. Jadi ayah, silakan perintahkan ananda apa saja selain itu, maka insya Allah ke mana saja ananda siap memenuhinya.”
Sang ayah hanya tersenyum mendengar kesantunan si anak, dan dia tidak jadi menyuruhnya membelikan rokok. Bahkan dia bangga memiliki anak yang patuh dan taat kepada orang tua.
Subhanallah! Inti jawaban dua anak tadi sama, tapi hasilnya
berbeda. Kemasan kata-kata amat berpengaruh bagi pendengar! Contoh lain; seorang ibu ditinggal mati suaminya. Suaminya meninggalkan warisan berupa rumah yang besar. Lalu suatu hari sang ibu memberi tahu salah seorang anaknya: “Rumah ini mau dibeli kakakmu,” seraya menyebut nilai jualnya. Spontan hal itu ditanggapi si anak: “Aku tidak setuju! Tawarannya rendah.” Maka sang ibu langsung marah kepada anaknya itu, dan menganggap bahwa dia telah durhaka dan tidak taat kepada orang tua.
Anak ini menyesali sikapnya dan berkata kepada penyusun: “Andaikan saya diam saja, tidak membantah ibu waktu itu, tetapi saya menemui kakak dan memintanya agar meninggikan nilai penawarannya. Lalu setelah terjadi kecocokan dan kesepakatan harga jual rumah itu, baru kami memberi tahu ibu. Insya Allah, dengan begitu ibu tidak akan marah.”
Perlu diketahui, usia anak itu lebih tua dari usia penyusun. Sebenarnya, beliau termasuk guru yang kerap memberi nasihat dan hikmah semenjak penyusun duduk di bangku SMP. Beliau sering menasihati penyusun agar bersikap bijak; yang di antara faktor penentunya ialah ilmu, kecerdasan, dan pengalaman. Dari situ kita memaklumi bahwa umumnya orang yang bijak itu adalah orang tua, meski tidak tiap orang tua bisa bersikap bijak. Nasihat beliau sekitar tiga puluh tahun lalu ini amat berkesan hingga tertanam kuat dalam hati. Akan tetapi, kami menyadari bahwa mempraktikkan untuk bersikap bijak itu tidak mudah.
Semoga Allah mengaruniai kita sikap bijak dan hikmah. Karena, siapa yang diberi hikmah oleh Allah berarti telah diberi kebaikan yang banyak.
Seorang ulama menuturkan kisah seorang raja yang bermimpi giginya tanggal, yakni dalam ceramahnya. Sang Raja pun segera meminta orang yang bisa menakwilkan mimpi agar menghadap. Lalu seseorang menakwilkan mimpi itu, bahwa anak-anak Raja akan meninggal lebih dahulu sebelum dirinya. Serta-merta Raja marah dan memenjarakan si penakwil. Lantas datang orang lain yang menakwilkan mimpi tersebut: “Usia Baginda, insya Allah, lebih lama dibandingkan usia anak-anak Baginda. Sang raja pun gembira mendengar jawaban orang ini, maka dia diberi hadiah yang banyak.
Inti dua jawaban penakwil mimpi tersebut sama, hanya saja redaksi penyampainnya berbeda!
Kisah lain; Seorang pemuda berpamitan dengan ibunya saat hendak berangkat ke Jakarta esok pagi. Ibunya sempat berpesan: “Jangan lupa mampir ke rumah pamanmu di sana!”
Pemuda itu menjawab: “Insya Allah. Setelah urusan pekerjaan selesai, Abdullah akan bersilaturahim ke rumah paman.”
Sang ibu pun senang mendengar jawaban anaknya ini.
Bayangkan apabila anak tersebut menolak dan mengatakan: “Maaf, Bu, Abdullah tidak ada waktu untuk berkunjung ke rumah Paman!” Jawaban kedua ini pasti membuat ibunya kecewa.
Perjalanan menuju Jakarta bisa ditempuh dalam beberapa jam, karena itu si anak berniat pulang pada sore harinya. Setibanya di Ibukota, dia segera menyelesaikan urusan pekerjaannya. Ternyata pekerjaannya baru selesai jam empat sore. Dia menelepon ibunya dan berkata: “Bu, urusan Abdullah baru selesai. Sekarang sudah jam empat sore. Kalau sekarang Abdullah ke rumah paman, jadi tidak mungkin pulang ke rumah malam ini sebab rumah paman jauh dan Abdullah tidak akan dapat menaiki kereta api terakhir. Berarti Abdullah mau tidak mau bermalam lalu pulang besok. Tadi Abdurrahim—nama anaknya—menelepon lantas meminta Abdullah supaya lekas pulang. Bagaimana menurut ibu, apakah Abdullah pulang sekarang atau besok?”
Sang ibu menjawab tanpa ragu: “Ibu merasa sebaiknya kamu pulang saja sekarang! Kasihan anakmu, dia menunggu dan rindu kepada ayahnya. Berkunjung ke rumah pamanmu bisa dilakukan di lain waktu, insya Allah.”
Si anak tidak menyengaja untuk tidak berkunjung ke rumah pamannya. Meski sudah memperkirakan saat pagi bahwa kecil kemungkinannya untuk bisa bersilaturahim, dia tidak tahu pasti karena bisa saja urusannya selesai lebih cepat dan yang terutama dia tidak ingin ibunya kecewa dengan penolakan langsung.”
Ada lagi cerita; Seorang ibu meminta dijemput oleh anaknya. Si anak pun menjawab: “Bu, maaf mobil saya masih di bengkel.” Sang ibu marah besar serta bersumpah tidak akan lagi meminta tolong atau bantuan kepada anaknya itu, untuk selamanya.
Sampai wafat ibunya masih marah kepada si anak. Seharusnya orang tua bersabar dan terus membimbing anaknya dengan cara yang baik, yakni ketika dia bersalah atau keliru dalam bersikap.
Di sisi lain, ketika seorang anak disuruh orang tuanya jangan memberikan alasan atau halangan meskipun benar. Hal itu bisa disalahpahami oleh orang tua dan dianggap sebagai alasan untuk menolak perintah.
Hendaknya si anak menjawab dengan wajah ceria dan bersiap melaksanakan perintah orang tua. Baru setelah itu dia meminta pendapat orang tua dan bermusyawarah apabila ada halangan. Berdialoglah tentang bagaimana mengatasi halangan tersebut, sehingga anak tetap menaati perintah orang tua atau orang tua yang akan memaklumi kondisi anaknya.
Tidak termasuk berdiplomasi jika seseorang mengucapkan kata-kata yang mengandung kemaksiatan, kefasikan, dan/atau kekufuran. Hendaknya seseorang tak mengharap ridha manusia dengan risiko menerima murka Allah .
Kesimpulannya, kita harus terus berlatih agar bisa mengontrol serta menyusun kata-kata dan tulisan sehingga menggembirakan dan tidak mengecewakan orang lain. Ya, agar menjadi pembuka pintu kebaikan dan menjadi penutup pintu keburukan.
Kita berdoa serta berlindung kepada Allah supaya senantiasa menjaga lisan dan tulisan kita, di mana dan kapan pun. Amin.
Keutamaan Shalat Subuh •
Di antara keutamaan shalat Subuh adalah:
Pertama; Salah satu penyebab masuk Surga. Nabi
bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu
shalat Subuh dan shalat Asar) maka dia akan masuk Surga.” (HR. Al-Bukhari [no. 574] dan Muslim [no. 635])
Kedua; Salah satu penghalang masuk Neraka. Nabi
bersabda: “Tidaklah akan masuk Neraka orang yang mengerjakan
shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat Subuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat Asar).”
(HR. Muslim [no. 634])
Ketiga; Berada di dalam jaminan Allah. Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang shalat Subuh maka dia berada dalam
jaminan Allah. Oleh karena itulah, jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya
dalam Neraka Jahanam.” (HR. Muslim [no. 163])
Keempat; Dihitung pahalanya seperti shalat semalam penuh. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang shalat Isya berjamaah,
maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka seolah-olah
dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR. Muslim [no. 656])
Kelima; Disaksikan para malaikat. Rasul bersabda:
“Sungguh para malaikat malam serta malaikat siang berkumpul pada shalat Fajar (shalat Subuh).”
Ancaman bagi yang Meninggalkan Shalat Subuh •
Padahal banyak keutamaan yang bisa didapat oleh seseorang yang mengerjakan shalat Subuh. Tidakkah kita takut disebutkan sebagai orang munafik karena meninggalkan shalat Subuh? Dan banyak orang yang meninggalkan shalat Subuh karena tertidur. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya shalat yang paling
berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan
merangkak.” (HR. Al-Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
Cukuplah ancaman sebagai “orang munafik” membuat kita selalu memperhatikan ibadah yang satu ini.
Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita semua, terkhusus bagi para laki-laki supaya dapat melaksanakan shalat berjamaah di masjid.22
• • •