• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

2.1.1 Defensive Structural Realism

Bagi penganut realisme, power layaknya dapat diibaratkan sebagai mata uang dalam politik internasional (Tim Dunne; Milja Kurki; dan Steve Smith, 2013: 77). Peran mata uang dalam kehidupan seorang manusia sama halnya seperti negara membutuhkan sebuah power demi melanjutkan kelangsungan hidup aktor tersebut. Maka dari itu perhitungan relative power3 dalam politik internasional menjadi sangat substansial dalam melakukan aktivitas serta meraih kepentingannya. Penganut realisme percaya bahwa tujuan akhir dari politik internasional adalah kekuasaan (Frans Bona Sihombing, 1983: 97). Dengan demikian segala aktivitas politik antar aktor dalam dunia internasional dipenuhi oleh permainan persaingan power antar satu aktor dengan yang lainnya.

Mengingat pentingnya peran power yang menjadi tolak ukur substansial negara dalam menjalankan kepentingannya di lingkungan internasional. Maka tak mengherankan bila para penganut realisme percaya bahwa negara penyandang status

great powers4 dapat menjadi main actors5 penggerak sistem internasional. Tentu saja

kita melihat sebuah fakta bahwa power telah bermetamorfosis menjadi suatu hal yang penting dalam menjalankan aktivitas di dunia internasional. Banyak indikator yang dapat menjadi tolak ukur power bagi sebuah negara dimulai dari segi geografis, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiagaan militer, populasi, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi hingga pada kualitas pemerintahan (Frans Bona Sihombing, 1983: 111-128). Maka dari itu sungguh tak mengherankan bila setiap aktor negara menempatkan kapabilitas power sebagai hal primer yang perlu dimilikinya.

3 Relative power adalah perbandingan power yang dimiliki satu aktor dengan aktor lainnya. 4 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon.

5 Main actor adalah pemain utama atau beberapa aktor yang memiliki pengaruh kuat dalam mengatur dinamika politik hubungan internasional.

(2)

7

Pembahasan mengenai hasrat negara dalam hal power menjadi satu hal yang kompleks. Sebuah pertanyaan penting muncul bagi kaum realis “why do states want

power ?”Dengan munculnya pertanyaan ini, argumentasi penganut realisme terpecah

menjadi dua perspektif yakni classical realism dan structural realism (Tim Dunne; Milija Kurki; dan Steve Smith, 2013: 78).Bagi para penganut classical realism, negara membutuhkan sebuah power atas refleksi dari human nature6 yang bersifat egois dan

selalu mencoba untuk mendominasi aktor lainnya (Jahawir Thontowi, 2016: 35). Namun bagi para penganut structural realism atau neo-realism, negara membutuhkan sebuah power atas desakan sistem internasional yang anarkis sehingga setiap aktor berusaha untuk survive7 (Jahawir Thontowi, 2016: 37). Tentu saja hal ini telah

menciptakan setiap aktor negara selalu dikondisikan berada dalam ketakutan antar satu aktor dengan aktor lainnya.

Tentu saja sistem internasional yang anarkis membentuk politik dunia internasional sebagai lahan perebutan power. Maka akan menjadi menarik jika timbul sebuah pertanyaan baru “Who’s can be the great powers ?” Bagi penganut structural

realism, sistem internasional yang anarkis telah menciptakan kesempatan yang sama

bagi semua great powers tanpa memandang perbedaan kultural dan rezim pemerintahan (Tim Dunne; Milija Kurki; dan Steve Smith, 2013: 78). Hal ini disebabkan karena setiap aktor memiliki desakan yang sama untuk ikutserta dalam perlombaan power di sistem internasional. Maka pada dasarnya semua negara memiliki kesempatan untuk dapat menjadi great powers.8 Namun satu hal yang dapat membedakan berbagai aktor negara terkait tersebut adalah sistem black boxes yang mengasumsikan kondisi suatu negara apakah lebih kuat ataupun sebaliknya (Tim Dunne; Milija Kurki; dan Steve Smith, 2013: 78).

Pertanyaan berlanjut pada “how much power is enough ?”. Konsepsi “cukup” dapat terbilang subjektif hingga mampu membedakan persepsi antar aktor negara dalam sistem internasional. Bagi penganut defensive realism, Kenneth Waltz dalam

6 Human nature adalah sifat dasar manusia atau ciri dasar sebuah aktor negara dalam konteks ilmu hubungan internasional.

7 Survive adalah tujuan utama setiap aktor negara untuk mempertahankan keberadaannya dalam sistem internasional.

(3)

8

buku hasil tulisan Tim Dunne; Milija Kurki; dan Steve Smith (2013: 78), melihat bahwa menjadi suatu strategi yang tidak bijak bagi aktor negara yang mencoba menjadi hegemon karena sistem internasional yang anarkis dapat menghukum beberapa aktor negara itu jika memaksimalkan power secara berlebihan. Dengan demikian Keneth Waltz pada buku hasil tulisan Tim Dunne; Milija Kurki; dan Steve Smith (2013: 78) melanjutkan bahwa menjadi hegemon merupakan strategi yang terkesan konyol. Hal terpenting dalam defensive realism adalah mengontrol distribusi

power antarnegara agar setara berdasarkan struktur sistem yang berkesinambungan

maupun dapat berubah sewaktu-waktu (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999: 110). Hingga mampu membawa satu aktor negara pada titik aman atau dapat mencegah setiap potential aggressor9 yang dapat mengancamnya. Dengan demikian

konsepsi survive10 dalam pandangan defensive realism berada pada tahap pencapaian

deterrence dari setiap aktor yang berpotensi dapat mengancamnya.

Tidak dapat terbantahkan bila kasus kontestasi politik yang terjadi di wilayah Eropa utara dapat melukiskan bagaimana teori structural realism ini bekerja. Dalam hal ini kondisi politik yang dapat terlukiskan di wilayah Eropa utara saat ini berada pada titik anarkis. Dengan mengindikasikan bahwa setiap aktor terkait perlu atau mendapat desakan untuk melakukan perlombaan power. Maka peningkatan power menjadi satu elemen yang penting untuk survive11 dari keberadaan sistem internasional. Kehadiran Rusia tentunya membuat negara-negara Eropa utara merasa tidak aman. Hal ini didasarkan pada ketidakmampuan power negara-negara Eropa utara untuk mengimbangi power dari Rusia.

Mengingat begitu kentalnya power sebagai elemen utama penggerak sistem internasional. Kesadaran akan ketidakmampuan power negara-negara Eropa utara telah mendorong mereka untuk bergabung bersama NATO. Bagi negara-negara Eropa utara, kehadiran NATO akan menjadi penting bukan hanya dalam mengimbangi power Rusia, melainkan dapat menjauhkan negara-negara itu dari ancaman yang tidak dapat

9 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya. 10 Survive adalah tujuan utama setia aktor negara untuk mempertahankan keberadaanya dalam sistem internasional.

11 Survive adalah tujuan utama setiap aktor negara untuk mempertahankan keberadaannya dalam sistem internasional.

(4)

9

diprediksikan keberadaanya. Perlombaan power adalah bagian dari realitas warna politik di wilayah Eropa utara yang tidak dapat terbantahkan. Implikasi penggunaan

power pada kerjasama delapan negara Eropa utara bersama dengan NATO yang telah

menggambarkan bekerjanya pendekatan defensive realism. Kehadiran NATO menjadi penting bagi lima negara Nordik dan tiga negara Baltik dalam mengontrol distribusi

power dengan Rusia. Bergabungnya tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia dengan

aliansi militer NATO telah menjadi strategi yang baik dalam hal mencegah dominasi Rusia di wilayah Eropa utara. Dengan demikian tercapilah tujuan kolektif lima negara Eropa utara dan NATO pada konteks ini yakni menciptakan kondisi balance of

power.12

2.2 Kerangka Konsep

2.2.1 Deterrence

Dalam tatanan politik keamanan global, metode deterrence seringkali digunakan sebagai elemen utama terciptanya keamanan nasional suatu negara.Tentu saja konsep ini merujuk pada keterkaitan hubungan yang erat antar aktor dalam dunia internasional. Dalam pandagan Patrick Morgan (2012: 86) mengenai sistem politik keamanan internasional, dirinya menyatakan bahwa “disaat satu aktor memiliki potensi akan melakukan tindakan agresif, tentunya aktor lain akan merespon guna mencegah suatu hal yang dapat merugikan bagi mereka.” Dengan kata lain, kehadiran aktor negara yang memberikan ancaman akan selalu mempengaruhi aktor negara lain untuk mencegahnya terlebih dahulu.

Pengaplikasian deterrence menawarkan banyak cara yang dapat digunakan berdasarkan persepsi masing-masing aktor negara. Mulai dari kebijakan wajib militer, pengembangan senjata nuklir, dan pembentukan sebuah aliansi. Namun pada beberapa dekade terakhir ini, manajemen sistem keamanan secara kolektif menjadi pilihan bagi beberapa aktor pada beberapa kasus spesifik (Patrick Morgan, 2012 : 93). Namun hal

12 Balance of power adalah perimbangan kekuatan antar dua aktor hubungan internasional atau lebih yang saling berhadapan satu sama lain.

(5)

10

terpenting dari konsep ini adalah mengeliminasi aktivitas potential aggressor13 tersebut. Branislav L. Slantchev (2005: 3) memaparkan aturan main dari strategi ini dengan pembentukan ancaman tersirat akan konsekuensi dari aktivitas yang ditimbulkan satu aktor dapat dibalas secara lebih buruk. Tentu saja keberhasilan strategi ini dapat menjadi indikator penting dalam hal menjamin keamanan nasional aktor negara tersebut.

Bagi Branislav L. Slantchev (2005: 7) ada dua cara penggunaan metode

deterrence yakni direct deterrence, dengan substansi pembentukan sebuah ancaman

dari pihak defender kepada pihak agresor untuk mencegah penyerangan; dan extended

deterrence, dengan substansi penggunaan pihak ketiga sebagai benteng pertahanan

aktor negara tersebut. Berdasarkan dimensi waktunya, penggunaan metode deterrence digolongkan Branislav L. Slantchev (2005: 7) menjadi dua klasifikasi antara lain yaitu

general deterrence, kondisi disaat belum ada ancaman signifikan dari satu aktor

negara namun dianggap penting sebagai bentuk kesiagaan terhadap setiap ancaman eksternal; dan immediate deterrence, kondisi disaat sebuah negara berada dalam resiko dapat diserang pihak agresor dalam jangka waktu dekat.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa penggunaan deterrence menjadi elemen kebijakan strategis yang penting dalam menghadapi anarkisme dunia politik internasional. Untuk mencapai tingkat deterrence, Branislav L. Slantchev (2005: 10) merumuskan ada empat parameter penting yang perlu dicapai antara lain:

1. Mereduksi kemungkinan pihak musuh untuk menang.

2. Meningkatkan cost of losing dengan memberikan ancaman terhadap pihak musuh, jika serangan yang dilakukan dapat dibayar dengan kalkulasi kerugian musuh yang lebih merugikan.

3. Meningkatkan cost of fighting dengan membangun kapabilitas militer yang kuat untuk menghancurkan beberapa titik markas pusat pertahanan musuh ataupun dengan menargetkan populasi pihak musuh.

4. Menciptakan moral kepercayaan kapabilitas militer negara untuk dapat

(6)

11

mengalahkan setiap musuh yang mengancamnya.

Sumber : Branislav L. Slantchev. Introduction to International Relations: Detterence

and Compellence. 10. Diolah penulis

Dengan kehadiran NATO sebagai fasilitator atau penjamin keamanan dari tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia pada konteks ini. Agenda pertahanan kolektif

NATO Northeastern Flank telah menjadi media untuk mencapai empat parameter yang

dipaparkan tersebut. Berkaca dari implementasi agenda pertahanan kolektif NATO

Northeastern Flank, setidaknya aktivitas ini telah menghambat laju pergerakan

manuver politik Rusia. Terhambatnya Rusia dalam membawa isu perlombaan pengaruh kedalam bentuk conventional warfare telah menjadi bentuk nyata dari tercapainya empat parameter deterrence tersebut. Dengan tercapainya empat parameter deterrence dari hasil kerjasama pertahanan kolektif antara tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia bersama dengan NATO, seolah olah Rusia telah dipaksa untuk menarik diri dalam memutuskan kecendrungan politik luar negeri yang terbilang sedikit agresif dibandingkan aktor negara lainnya.

Kehadiran NATO bagi lima negara Eropa utara dianggap menjadi suatu hal yang penting sebagai langkah deterrence dari ancaman politik luar negeri Rusia yang tidak dapat diprediksikan keberadaanya. Mengacu pada sifat ancaman yang tidak dapat diprediksikan keberadaannya ini, akan sangat rasional jika kita dapat mengklasifikasikan pembentukan kerjasama pertahanan kolektif NATO Northeastern

Flank sebagai bentuk dari general deterrence berdasarkan pada dimensi waktunya.

Hal ini dapat dilihat dari data lapangan yang menunjukan belum ada ancaman yang bersifat militeristik. Kondisi saat ini menunjukan bahwa perlombaan pengaruh di wilayah Lautan Baltik berhenti pada tahap irregular warfare atau ancaman yang masih bersifat non-militeristik. Dengan demikian pembentukan agenda pertahanan kolektif

NATO Northeastern Flank hanya dapat dilihat sebagai bentuk kesiagaan terhadap

ancaman eksternal yang belum dapat diklarifikasikan keberadaanya dalam jangka waktu dekat.

(7)

12 Country Military ranking Available Manpower Aircraft Strenght Ranking Helicopter Strenght Ranking Combat Tanks Ranking

Defence Budget Land Area

Rusia 2 142,122,766 2 2 1 $44,000,000,000 17,098,242 km Estonia 122 596,014 110 87 137 $335,000,000 45,228 km Latvia 105 840,595 110 86 137 $280,000,000 64,589 km Lithuania 81 1,779,322 107 85 137 $430,000,000 65,300 km Finlandia 63 2,307,420 48 68 65 $3,660,000,000 338,145 km Swedia 31 4,116,808 47 56 71 $5,886,418,500 450,295 km

Sumber : Global Firepower. 2019. Military Strenght. Diolah penulis

Merujuk dari data tabel diatas, superioritas kekuatan militer Rusia menjadi satu hal yang tak dapat terbantahkan keberadaanya. Dengan ketimpangan gap kekuatan militer yang cukup jauh antara Rusia jika dibandingkan pada tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia, situasi ini telah mengindikasikan bahwa kekuatan militer lima negara Eropa utara tak cukup kuat untuk memghadapi ancaman Rusia. Maka dari itu telah menjadi pertimbangan yang rasional bila lima negara Eropa utara mengimplementasikan metode extended deterrence, dengan membutuhkan peran NATO sebagai pihak ketiga untuk mencegah potensi ancaman politik luar negeri Rusia.

2.2.2 Eropa utara

(8)

13

Eropa utara merupakan satu dari empat pembagian wilayah Eropa. Dalam dunia ilmu geografis, sulit untuk mengkalisifikasikan berbagai negara Eropa utara. Hal ini disebabkan karena timbul perbedaan perspektif dalam pengklasifikasian beberapa negara yang termasuk kedalam wilayah Eropa utara. Berdasarkan penelitian geografis PBB yang masih berlaku hingga saat ini, wilayah Eropa utara memiliki 17 negara meliputi Aland Islands; Denmark; Estonia; Faroe Islands; Finlandia; Guernsey; Islandia; Irlandia; Jersey; Isle of Man; Latvia; Lithuania; Norwegia; Sark; Svalbard

and Jan Mayen; Swedia; dan Britania Raya.dilihat dari letak geografis yang

menyangkut bagian wilayah utara dan selatan Lautan Baltik (Oishimaya Sen Nag, 2018). Dengan substansi menyangkut wilayah Fennoscandia, daratan Baltik, semenanjung Jutland, dan beberapa pulau termasuk kepulauan Britania dan Islandia (Oishimaya Sen Nag, 2018).

Namun pada penelitian Victor Kiprop (2018), wilayah Eropa utara hanya menyangkut 10 negara saja dipisahkan oleh pegunungan Alps di utara. Dalam penelitiannya letak geografis juga menjadi elemen utama pengklasifikasian negara yang termasuk kedalam wilayah Eropa utara. Dengan demikian delapan negara yang dapat diklasifikasikan sebagai Eropa utara adalah lima negara Nordik (Finlandia, Swedia, Norwegia, Denmark, dan Islandia), tiga negara Baltik (Estonia, Latvia, dan Lithuania) dan dua negara kepulauan Britania (Britania Raya dan Irlandia). Dalam hal ini wilayah perbatasan Eropa utara dapat didefinisikan melalui pegunungan merapi Jan Mayen dan Islandia di barat laut; pegunungan Alps pada membatasi di wilayah selatan; pegunungan Skandinavia dan perbukitan Swedia membatasi di wilayah utara; sepanjang wilayah pegunungan Britania membatasi di wilayah barat; beserta daratan Baltik membatasi di wilayah timur (Victor Kiprop, 2018).

Penelitian ini merujuk pada peta politik hasil dari penelitian Victor Kiprop. Dengan substansi menggunakan delapan negara Eropa utara meliputi lima negara Nordik (Finlandia, Swedia, Norwegia, Denmark, dan Islandia) dan tiga negara Baltik (Estonia, Latvia, dan Lithuania) sebagai bagian utama pengamatan pada penelitian ini. Penelitian ini juga mengesampingkan dua negara yang terletak pada kepulauan Britania (Britania Raya dan Irlandia) karena dianggap kurang relevan pada topik

(9)

14

penelitian terkait “pengaruh kebijakan politik luar negeri Rusia terhadap pembentukan perspektif keamanan tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia.” Berdasarkan pada hasil Warsaw Summit 2016 dalam menyusun agenda NATO Eastern Flank yang merujuk pada klasifikasi NATO mengenai ancaman dari timur yakni Rusia.

2.2.3 NATO

Secara garis besar, North Atlantic Treaty Organization atau NATO dikenal sebagai bentuk aliansi pertahanan beranggotakan beberapa negara di Lautan Atlantik.Dengan demikian cakupan wilayah NATO menyangkut dua kontinen benua yakni Eropa dan Amerika utara (NATO, 2018). Saat ini NATO beranggotakan 29 negara meliputi Albania, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Montenegro, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Turki, Britania Raya, dan Amerika Serikat (NATO, 2018). NATO dibentuk pada tahun 1949 dengan ditandatanganinya the

Washington Treaty serta berpegang teguh pada prinsip one against all (NATO, 2018).

Dalam arti tindakan agresi satu aktor anggota non-NATO pada satu negara anggota NATO, akan berakibat pada perlawanan seluruh negara anggota NATO.

Hingga saat ini NATO memiliki dua agenda utama yakni bidang politik dan keamanan. Pada bidang politik, enlargement14 NATO akan berpacu pada proteksi

beserta promosi nilai-nilai demokrasi dan building trust15 pada beberapa non-negara

anggota NATO (NATO, 2018). Sementara pada bidang keamanan, NATO berpegang teguh pada kesatuan identitas sebagai collective defence16 yang bergerak dengan

penekanan resolusi perdamaian (NATO, 2018). Tentu saja pembentukan NATO dianggap penting berkenaan dengan kehadiran existential threats17 yang mampu

mengancam seluruh negara anggota. Maka dari itu pembentukan aliansi pertahanan

14 Enlargement adalah perluasan pengaruh politik dari satu aktor negara berkepentingan.

15 Building trust adalah pembangunan kepercayaan atau kesepemahaman antara dua aktor hubungan internasional atau lebih dalam membangun sebuah kerjasama.

16 Collective defence adalah pembentukan aliansi pertahanan bersama yang meliputi beberapa aktor negara. 17 Existential threat adalah ancaman nyata yang mengindikasikan sudah mampu mendesak sebuah aksi dari aktor negara yang menghadapi sebuah ancaman tersebut.

(10)

15

NATO dapat menjadi solusi bagi kekhawatiran seluruh negara anggota untuk mengeliminasi setiap potential aggressor.18

2.2.4 Revisionist states

Secara teoritis, revisionist states dapat diartikan sebagai sejumlah negara yang merasa tidak puas dengan sistem internasional yang berjalan saat ini (Benjamin Miller dan Moran Mandelbaum, 2010: 8). Umumnya karakterisasi revisionist states akan mengambil resiko besar dalam usaha untuk mengubah kondisi status quo baik secara teritorial maupun pengaruh (Benjamin Miller dan Moran Mandelbaum, 2010: 8). Dengan kata lain revisionist states akan cenderung bergerak secara lebih agresif dalam mengupayakan sistem unifikasi nasionalisme sebagai indikator utama dari revisionist

states (Benjamin Miller dan Moran Mandelbaum, 2010: 14). Pada intinya yang

diinginkan bagi revisionist states adalah perubahan kondisi, status, posisi pada sistem internasional yang sedang berjalan saat ini. Dengan demikian revisionist states adalah konsep yang berlawanan dengan status quo states.19 Sebagaimana karakterisasi status

quo states yang lebih berusaha mempertahankan kondisi dalam sistem internasional

dan sudah merasa puas dengan kondisi yang berjalan pada sistem internasional saat ini. Melihat karakterisasi revisionist states seperti demikian, seringkali revisionist

states dikaitkan sebagai manifestasi perlawanan unipolar order.20 Banyak metode yang dapat ditawarkan untuk mengidentifikasikan sebagai revisionist states, tak selalu

revisionist states bergerak dalam ranah perlawanan terhadap negara hegemon.

Beberapa diantaranya dengan metode soft power seperti intervensi politik internal dengan perubahan rezim pada negara yang dituju dan perubahan keberpihakan posisi satu aktor negara (Benjamin Miller dan Moran Mandelbaum, 2010: 2).

Dengan upaya Rusia dalam mempertahankan beserta memperluas dominasi pengaruh Rusia di wilayah Eurasia pada masa kepemimpinan Vladimir Putin, akan sangat tak mengherankan bila Rusia dapat diidentifikasikan sebagai revisionist power.

18 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya. 19 Status quo states adalah negara yang sudah puas atau terus berusaha mempertahankan kondisi dalam sistem internasional.

20 Unipolar order adalah kondisi distribusi power yang dikuasai oleh satu aktor negara baik dari segi pengaruh politik, ekonomi, maupun social budaya.

(11)

16

Peran Rusia sebagai revisionist power telah diaplikasikan dalam beberapa isu seperti konflik bersenjata di Georgia dan Ukraina. Begitupun juga keterlibatan aktivitas Rusia dalam menciptakan hybrid warfare pada sejumlah negara Baltik, Nordik, dan Visegard sehingga telah menjadi bentuk implementasi politik revisionisme Rusia di wilayah Eropa utara dan Eropa timur. Melihat dari kepentingan Rusia untuk mempertahankan dominasinya di wilayah Lautan Baltik, telah jelas hal ini sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi barat dalam dunia internasional. Pada kasus ini Estonia, Latvia, Lithuania, Finlandia, dan Swedia dilihat Rusia sebagai bagian dari instrumen pengaruh barat. Inilah faktor pemicu yang mendorong aktivitas politik luar negeri Rusia yang terkesan lebih agresif.

2.2.5 Hybrid Warfare

Hybrid warfare dapat didefinisikan sebagai sebuah kombinasi dari bentuk

ancaman konflik conventional warfare dan irregular warfare yang meliputi aktor negara dan non-state actors seperti berbagai perusahaan media informasi pada konteks ini tanpa dibatasi ruang fisik (Jitka Richterova, 2015: 4). Hybrid Warfare adalah sebuah terminologi yang mampu membuat conventional warfare dan irregular warfare saling berkaitan erat satu sama lain. Dalam beberapa isu konflik militer seperti yang terjadi di Krimea pada tahun 2014, penggunaan konsep hybrid warfare seringkali digunakan untuk mengklarifikasi beserta mendefinisikan isu yang terjadi pada studi kasus tersebut. Maka dari itu terlebih dahulu kita perlu mengetahui konsepsi conventional warfare dan

irregular warfare untuk lebih memahami secara mendalam berkenaan dengan

penggunaan konsep ini.

Mengutip dari definisi yang diberikan NATO mengenai conventional warfare, konsep ini dapat didefinisikan sebagai penggunaan metode aktivitas beserta taktik perang terbuka oleh negara yang harus dibarengi dengan menghormati sejumlah perjanjian internasional, konvensi internasional, dan hukum internasional (Jitka Richterova, 2015: 4). Sementara pada definisi irregular warfare, konsep ini dapat didefinisikan sebagai penggunaan metode perang indirect melalui penciptaan pengaruh oleh aktor negara maupun non-state actors terhadap populasi yang dituju (Jitka

(12)

17

Richterova, 2015: 4). Dalam hybrid warfare, kedua konsep itu dapat disandingkan maupun dijalankan secara bersamaan untuk mencapai sebuah tujuan politik.

Sumber : Ben Heap. Hybrid Threats: A Strategic Communications Perspective. NATO

Centre of Excellence

Berbagai metode perang baik konvensional maupun irregular dapat diklarifikasikan sebagai hybrid warfare. Namun keunikan dari hybrid warfare terletak pada sirkulasi tahap strategi yang digunakan oleh aktor tersebut. Dalam arti penggunaan taktik hybrid warfare tidak akan terlepaskan dari rentetan tahap yang selalu dimulai dengan taktik perang irregular, sebelum menuju pada perang konvensional. Seringkali penggunaan berbagai metode seperti disinformation campaign, subversive intelligence,

cyber attacks, sabotase, beserta political support pada kelompok separatis digunakan

dalam mendukung atau melengkapi taktik full scale military invansion (Jitka Richterova, 2015: 5). Dalam hal ini konsep hybrid warfare dapat terbilang bersifat rigid berkenaan dengan rentetan tahap yang tak pernah berubah. Kemenangan dalam bentuk

irregular pada konteks informasi, persepsi, interpretasi, dan decision-making akan

selalu memiliki pengaruh signifikan pada tahap konvensional (Ben Heap, 2018: 9). Selain itu adapun beberapa elemen yang ikutserta membangun maupun mempengaruhi ketiga dimensi tersebut yakni diplomasi atau politik, informasi media, militer, ekonomi,

(13)

18

finansial, pengetahuan atau intelejensi, dan legal (Ben Heap, 2018: 10). Dengan demikian kombinasi ini dibutuhkan dalam penggunaan konsep ini dalam memenangkan pertarungan fisik, psikologis, kultural, politik, dan dimensi kemanusiaan secara bersamaan (Jitka Richterova, 2015: 5).

Sumber : Ben Heap. Hybrid Threats: A Strategic Communications Perspective. NATO

Centre of Excellence

Fokus mengenai hybrid warfare tak cukup hanya sampai mengenai kombinasi dari kedua konsep yang disebutkan sebelumnya. Selanjutnya akan dibahas secara lebih mendalam mengenai konsep ini hingga mampu membedakannya dengan conventional

warfare dan irregular warfare. Aspek kunci yang terkandung dalam konsep hybrid warfare terletak pada istilah ambiguity yang mengandung makna sebagai ancaman yang

sulit diidentifikasikan dan dicari penyebabnya oleh otoritas pemerintah (Ben Heap, 2018: 9). Dalam meresponnya attribution adalah hal yang perlu dilarifikasikan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan memahami aktor beserta kepentingannya (Ben Heap,

(14)

19

2018: 9). Namun memahami aktor beserta kepentingannya belumlah cukup. Bentuk ancaman ini menjadi sulit karena dapat datang dari berbagai bentuk. Tujuan utama dari strategi ini adalah penciptaan pengaruh. Hal inilah yang kemudian dinamakan sebagai

information environment. Information environment adalah sebuah model untuk

memahami hubungan interaksi antara aktor berkepentingan dan target audience yang menghasilkan sebuah konstruksi dalam melihat berbagai hal (Ben Heap, 2018: 9). Ruang konseptual ini dibagi dalam tiga dimensi yakni :

1 Cognitive Ruang disaat individu memahami sesuatu dan membuat keputusan

2 Physical Individu, organisasi, dan infrastruktur

3 Information Fakta, pengetahuan, dan data

Sumber : Ben Heap. Hybrid Threats: A Strategic Communications Perspective. 9. Diolah penulis

Melalui sinergi antara ketiga dimensi tersebut, diharapkan dapat memberikan dampak signifikan terhadap pembentukan persepsi, dukungan opini publik, dan manipulasi

decision-making process.

Dengan kesadaran akan munculnya ancaman dalam bentuk hybrid warfare, tak mengherankan bila bentuk ancaman ini dijadikan sebagai salah satu agenda utama pertahanan NATO. Melalui hasil Wales Summit 2014 telah dijelaskan bila ancaman

hybrid warfare telah menjadi tantangan yang perlu dihadapi NATO beserta aliansinya

pada era modern ini. Berkaca dari keberhasilan Rusia dalam konflik militer di Krimea pada tahun 2014, tentu saja isu ini telah membuka mata dunia akan berbahayanya ancaman ini. Strategi ini tidak hanya terlihat sebatas pada isu konflik militer di Krimea saja, melainkan pada perlombaan pengaruh melalui media informasi bagi tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia. Saat ini sejumlah negara Eropa utara sudah mulai memasuki tahap bentuk ancaman hybrid warfare. Hal ini dapat terlihat pada perlombaan pengaruh yang terjadi antara pro-barat dan pro Rusia hingga telah menciptakan dualitas pandangan politik bagi masyarakat di sejumlah negara Eropa utara tersebut. Selain itu perlobaan kekuatan militer pun juga diperlihatkan oleh kedua pihak di wilayah Lautan Baltik. Maka kombinasi antara potential conventional warfare dan irregular warfare telah mampu terlukiskan melalui kasus yang terjadi pada Estonia, Latvia, Lithuania,

(15)

20

Finlandia, dan Swedia sehingga mampu membentuk satu kesimpulan yang melihat situasi di wilayah Lautan Baltik sedang berada dalam kondisi hybrid warfare.

Situasi hybrid warfare yang meliputi tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia masih mencapai tahap irregular warfare. Hal ini dapat dilihat melalui perlombaan pengaruh dalam dimensi information environment. Pada konteks ini, sinergi hubungan antara pemerintah dan perusahaan media informasi memegang kendali penuh pada permainan perebutan pengaruh politik di bidang domestik tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia. Dengan kata lain, koneksi hubungan antara pemerintah dan perusahaan media informasi dapat ditempatkan sebagai aktor utama pada konteks ini. Koneksi hubungan antara kepentingan politik luar negeri Rusia dengan perusahaan media televisi berbahasa Rusia di wilayah Baltik, presensi media pro-Kremlin seperti Russian Times,

Sputnik News, LoveFM radio pada Finlandia dan Swedia telah memiliki peran penting

dalam mendapatkan dukungan opini publik. Begitupun juga sebaliknya dengan usaha tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia bersama dengan NATO untuk membatasi arus perkembangan dukungan opini publik terhadap aktivitas politik luar negeri Rusia. Dalam hal ini, implementasi metode political support telah digunakan kedua pihak dalam membangun pandangan opini publik. Dengan kata lain opini publik menjadi tujuan atau dampak yang diharapkan dalam hal pembangunan pengaruh pada tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia.

2.3 Penelitian Terdahulu

Pada umumnya untuk menguji originalitas, penciptaan sebuah penelitian perlu melampirkan beberapa penelitian sebelumnya. Penggunaan metode ini seringkali dilakukan dengan memaparkan hasil penelitian terdahulu secara singkat. Lalu dilakukanlah sebuah perbandingan antara persamaan dan perbedaan dari hasil penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Dalam hal ini peneliti mengambil tiga hasil penelitian terdahulu untuk dijadikan sebagai bahan analisa singkat untuk menunjukan originalitas untuk hasil penelitian penulis.

Pada penelitian pertama, penulis mengambil hasil skripsi milik Panji Noor Hamzah berjudul “bergabungnya Kroasia menjadi anggota Uni Eropa.” Melalui hasil penelitiannya,

(16)

21

penulis menemukan beberapa persamaan dengan topik penelitian penulis yakni aktivitas agresif Rusia di wilayah Balkan telah mendorong Kroasia untuk masuk kedalam salah satu blok great powers.21 Dalam hal ini peristiwa terdorongnya negara-negara Eropa utara untuk bekerjasama dengan NATO memiliki kemiripan dengan kasus terdorongnya Kroasia masuk dalam keanggotaan Uni Eropa. Sebagaimana Rusia menjadi aktor utama pendorong aktivitas politik pada dua kasus tersebut.Dengan demikian melalui pemaparan singkat ini, perbedaan pun jelas terlihat pada aktor yang berperan pada dua kasus itu, walaupun persamaan terlihat pada arah penelitian kedua peneliti. Dalam penelitian ini aktor yang berperan akan berfokus pada delapan negara Eropa utara yang berdiri bersama dengan NATO untuk melawan desakan politik revisionisme Rusia. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan bergabungnya Kroasia pada Uni Eropa sebagai instrumen penelitiannya.

Pada penelitian kedua, penulis mengambil hasil skripsi milik Sri Rahyuni berjudul “kebijakan pertahanan Rusia dan dampaknya terhadap NATO.” Melalui hasil penelitiannya, penulis menemukan satu persamaan pemikiran dengan hasil akhir penelitian penulis yakni perluasan kapabilitas kekuatan konvensional dan non-konvensional Rusia sebagai upaya pencapaian balance of power22 dengan NATO. Pada penelitian ini jelas terlihat sebuah

perbedaan pada bagian instrumen utama penelitian kedua penulis. Sebagaimana pada penelitian kali ini, penulis menggunakan kerjasama lima negara Eropa utara bersama dengan NATO sebagai upaya penciptaan balance of power23 dengan Rusia di wilayah Lautan Baltik.

Namun disamping itu juga telah terlihat sebuah persamaan pemikiran yang mencolok diantara kedua peneliti. Persamaan ini berupa pemikiran kedua penulis yang melihat arah aktivitas kebijakan politik suatu aktor negara sebagai upaya untuk menciptakan kondisi

balance of power.24

Pada penelitian ketiga, penulis mengambil hasil skripsi milik Dila Adita berjudul “Strategi Buck-Passing NATO terhadap keanggotaan Georgia di dalam NATO tahun

21 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon.

22 Balance of power adalah perimbangan kekuatan antar dua aktor hubungan internasional atau lebih yang saling berhadapan satu sama lain.

23 Balance of power adalah perimbangan kekuatan antar dua aktor hubungan internasional atau lebih yang saling berhadapan satu sama lain.

24 Balance of power adalah perimbangan kekuatan antar dua aktor hubungan internasional atau lebih yang saling berhadapan satu sama lain.

(17)

22

2014.”Melalui hasil penelitiannya, penulis menemukan persamaan mendasar yakni pembentukan kerjasama beberapa aktor negara dengan NATO sebagai respon terhadap agresi politik Rusia. Dalam hal ini persamaan terlihat jelas pada penggunaan aktor NATO sebagai benteng pertahanan untuk mempertahankan diri dari ancaman Rusia. Perbedaan penelitian diantara kedua penulis hanya terlihat pada aktor yang digunakan. Sebagaimana penelitian terdahulu menggunakan kerjasama Georgia dan NATO untuk mempertahankan diri dari ancaman Rusia. Sedangkan pada penelitian ini, penulis menggunakan kerjasama lima negara Eropa utara dan NATO untuk mencegah politik revisionisme Rusia.

(18)

23

2.4 Kerangka Pikir

Hybrid Threat

Finlandia dan Swedia

Deterrence

Politik Revisionisme Rusia

NATO

Referensi

Dokumen terkait

Peer Tutoring atau tutor sebaya adalah seorang/beberapa orang siswa yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu siswa tertentu yang mengalami kesulitan belajar serta

Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada anak-anak, yaitu anak tumbuh dan berkembang dengan kurang memiliki jiwa sosial terutama sikap toleransi terhadap

kesempatan bagi difabel melalui mainstreaming hak‐hak kesempatan bagi difabel melalui mainstreaming hak hak difabel ke dalam agenda pembangunan pemerintah di segala bidang

Nataga at napatay ni Tata Selo ang Kabesa sa kadahilanang pinaalis ito Nataga at napatay ni Tata Selo ang Kabesa sa kadahilanang pinaalis ito sa kanyang lupang sinasakahan

Di dalam transek sepanjang 100 meter terdapat 4 tipe habitat di bagian tepi danau yang merupakan habitat kodok,

1). Merancang sebuah proses penciptaan yang ergonomis, lebih sistematis, secara holistik, inter disipliner dengan partisipatore, sederhana, efisien, produktif, dengan

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Rokhmah yang menunjukkan mayoritas ODHA memiliki sikap yang positif terhadap HIV/AIDS dan

Dengan adanya peningkatan investasi asing di Daerah Istimewa Yogyakarta yang di dukung dengan adanya regulasi yang mendukung investi asing serta adanya peran