Strategi Coping Pada Penyesuaian Diri Siswa Tuna Rungu
Yudha Eka Nugraha, Dwi Amalia Chandra Sekar
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected], [email protected]
Abstrak
Skripsi ini memiliki tema Strategi Coping pada Penyesuaian Diri Siswa Tuna Rungu di Sekolah dengan jenis Studi Deskriptif pada 4 Siswa Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Kelas B di SLBN 2 Jakarta. Penelitian ini menggambarkan jenis strategi coping yang digunakan untuk penyesuaian diri dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan strategi coping yang digunakan siswa selama mengalami masalah penyesuaian diri di sekolah terbagi menjadi dua yaitu strategi problem focused coping, strategi emotion
focused coping. Strategi coping tersebut ditemukan juga dipengaruhi oleh faktor internal serta faktor eksternal yang
memengaruhi strategi penyesuaian diri siswa tuna rungu sehingga siswa dapat melakukan penyesuaian diri hingga saat ini.
Kata Kunci:
Penyesuaian Diri, Strategi Coping, Tuna Rungu
Coping Strategies for Adjustment of Deaf Student in School
Abstract
The themes of this thesis is about coping strategy for adjustment of deaf students in school using descriptive study of 4 high school student class B in SLBN 2 Jakarta. This research trying to describe coping strategy that usually used for adjustment in school with qualitative research method approach. The result of this research is about coping strategy for adjustment studies of 4 deaf students during fascinating every problems in school divide in two kind of coping strategy. Each students has their coping strategy with problem focused coping, emotion focused coping, and also this research will reveal every factor both internal and external that influence deaf student to choose the coping strategies to get adjust in school.
Keywords:
PENDAHULUAN
Setiap anak sebagai individu akan bertumbuh dan mengalami perkembangan di dunia ini dan hal tersebut dimulai sejak anak tersebut lahir ke dunia sampai pada akhir batas hidup dengan pengaruh lingkungan sosial. Pengaruh lingkungan sosial sangat penting karena aspek perkembangan manusia dipengaruhi oleh
perkembangan masyarakat sebagai
lingkungan sosial anak sepanjang hidup (Van den Berg, 1986; Muchow, 1962, dalam Rumini, Sri, dan Siti 2006 : 1).
Berdasarkan pasal UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam konteks Negara Indonesia di pasal yang ke empat, setiap anak harus memperoleh perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang untuk dapat menjalani hidup sesuai dengan fase kehidupan yang seharusnya dilewati (dalam Kompas, 2012).
Hal tersebut berhubungan dengan tugas-tugas yang harus dipenuhi dimana Havighurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan (developmental task), yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan norma kebudayaan (Havighurst dalam
Rumini, Sri, dan Siti 2006 : 22) termasuk bagi seseorang yang berkebutuhan khusus.
Data Indonesia, tahun 2012 menurut Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial tahun 2012, jumlah individu berkebutuhan khusus di Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 orang, dengan 330.764 orang (21,42%) berada dalam rentang usia 5-24 tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak
berkebutuhan khusus yang belum
mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi
(dalam Kompas, 2012). Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah individu berkebutuhan khusus di Indonesia besar sehingga membutuhkan perhatian lebih karena sangat berlawanan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Mangunsong (2009 : 3), dikemukakan bahwa anak yang tergolong luar biasa atau memiliki kebutuhan khusus adalah : Anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara
maksimal, sehingga memerlukan
profesional (Suran & Rizzo, 1979 dalam Mangunsong 2009 : 3).
Kebutuhan utama anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan, dimana kunci utama dari pendidikan luar biasa adalah prinsip normalisasi yang memiliki arti mengenai tujuan akhir dimana anak berkebutuhan khusus harus sebisa mungkin menyamai teman-temannya yang tidak memiliki keterbatasan. (Bank-Mikkelsen dalam Hallahan & Kauffman, 2006; dalam Mangunsong 2009 : 12).
Di sekolah, semua anak
berkebutuhan khusus akan bersosialisasi dengan lingkungannya dalam hal ini lingkungan sosial termasuk tuna rungu sehingga membutuhkan penyesuaian diri (Piaget dalam Hurlock 2009 : 208).
Mendukung pendapat diatas, Hurlock (1991 : 287) mengartikan penyesuaian diri di lingkungan sosial sebagai keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri dengan orang lain seperti kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain baik teman ataupun orang lain yang baru ditemuinya. Hal ini penting bagi penderita tuna rungu sehubungan dengan kemampuan komunikasi penderita tuna rungu terhambat sehingga terbatas dalam perkembangan bahasa dan membutuhkan strategi coping khusus bagi penyandang tuna rungu untuk dapat
menyesuaikan diri. (Novan dan Muryantinah 2013 : 2).
Salah satu bentuk kesulitan yaitu ketika mengikuti petunjuk lisan dan ikut partisipasi dalam kegiatan yang memerlukan kemampuan oral (Delphie 2006 : 103). Padahal individu tuna rungu juga akan hidup dan bersosialisasi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Atas dasar hal inilah kemudian penyesuaian diri pada remaja tuna rungu menjadi sangat penting karena seseorang yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik akan mengalami masalah seperti isolasi diri dan tidak percaya diri.
Berdasarkan hasil wawancara, kendala-kendala yang sering terjadi di SLBN 02 Jakarta, siswa tunarungu mengalami beberapa masalah, terutama saat menerima sesuatu yang baru selama di sekolah. Hal ini sering ditemui anak ketika mereka mulai menerima materi baru dalam pelajaran, menerima peraturan baru dari sekolah, kebijakan-kebijakan sekolah, datangnya guru baru, dan berbagai macam perubahan baru yang menuntut anak untuk melakukan strategi dalam mengatasi tekanan yang muncul dari hal baru tersebut. Hal ini
menyebabkan siswa tunarungu
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menyesuaikan diri.
Sekolah sebagai tempat siswa
tunarungu menempuh pendidikan
menyediakan layanan bagi siswa untuk dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa. Hal inilah yang membantu siswa tunarungu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Meskipun setiap siswa tunarungu memiliki masalah dalam dirinya terutama karena terbatasnya daya tangkapnya dalam komunikasi, siswa tunarungu tetap memiliki daya kembang yang positif dan hal ini dapat dibuktikan dengan kemampuan setiap siswa tunarungu untuk mengikuti dengan baik setiap kegiatan yang ada di sekolah, peminatan sesuai dengan hobi, bahkan sampai mengikuti kejuaraan lomba misalnya bulu tangkis yang sudah juara sampai level internasional.
TINJAUAN TEORITIS
Dalam bagian ini yang akan dibahas mengenai pengertian penyesuaian diri dan hubungannya dengan coping serta faktor internal dan eksternal yang membantu penyesuaian diri. Grasha dan Kirschenbaum (1980) mengatakan bahwa penyesuaian diri dapat dilihat sebagai proses, yakni segala usaha yang kita pilih dan jalani mengikuti perubahan-perubahan yang terus menerus, serta sebagai hasil (outcome atau
achievement) dari usaha yang telah kita lakukan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka batasan penyesuaian diri dalam penelitian ini disesuaikan dengan lingkungan dimana siswa tuna rungu paling banyak melakukan aktivitas yaitu di sekolah.
Sedangkan coping berasal dari kata cope yang berarti lawan, menghadapi, mengatasi. Lebih lanjut Menurut Sarafino (1990), coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola ketidaksesuaian yang dirasakannya antara tuntutan-tuntutan dengan sumber-sumber daya yang mereka nilai dalam menghadapi situasi stress.
Kesimpulan dari pendapat ahli diatas dapat dikatakan coping merupakan upaya kognitif yang dilakukan individu untuk dapat mengatasi situasi stress karena lingkungan yang terus berubah. Lingkungan yang berubah dan menimbulkan tuntutan merupakan hubungan antara coping dan penyesuaian diri.
Strategi atau metode yang digunakan oleh individu dalam menghadapi masalah ini disebut oleh Lazarus sebagai coping masalah dengan tujuan untuk menghilangkan atau mengurangi stress (Auerbach & Gramling 1998:29). Jenis coping yang biasa digunakan adalah :
(1) Problem-Focused Coping yaitu usaha yang dilakukan untuk menghilangkan atau meminimalisir emosi negatif dari pengalaman dengan cara memodifikasi, menghilangkan atau meminimalisir situasi yang membuat tidak nyaman tersebut. Terdiri atas :
(+) Confrontive coping, proses mengambil langkah-langkah aktif untuk mengubah situasi, termasuk berani mengambil risiko. (+) Planful problem-solving, suatu usaha untuk mengurangi stress dengan melakukan pendekatan analisa dan pemecahan masalah. (+) Seeking social support (Problem-Focused), usaha untuk mencari informasi mengenai stressor dan untuk mendapatkan dukungan yang nyata.
(2) Emotion-Focused Coping yaitu usaha individu untuk meminimalisir emosi yang tidak menyenangkan dengan menggunakan mekanisme pertahanan, terdiri atas :
(+) Distancing, merupakan usaha untuk menjauhkan diri dari stressor, atau dengan menciptakan cara pandang yang positif. (+) Self control, usaha untuk mengontrol perasaan atau perilaku.
(+) Accepting responsibility, mengakui adanya peran individu dalam masalah dan melakukan usaha untuk menempatkan sesuatu dengan benar.
(+) Escape or Avoidance, berpikir dan berusaha untuk menghindar atau kabur dengan menyibukkan diri dengan kegiatan lain.
(+) Positive reappraisal, menggambarkan usaha untuk merancang makna positif dengan fokus pada beragam aspek perkembangan diri misalnya aspek ibadah dan agama.
(+) Seeking social support (Emotion-Focused), usaha untuk mencari informasi mengenai stressor dan untuk mendapatkan dukungan nyata berupa emosi.
Faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri dinyatakan oleh Powell (1983) yang menyebut hal ini dengan istilah
resources. Adanya resources dan
kemudahan untuk memperolehnya sangat penting dalam membantu penyesuaian diri individu yang dapat berasal dari luar dan dalam diri individu. Resources yang berasal dari dalam individu, antara lain :
(+) Kemampuan dan Kekuatan Fisik
Secara umum, kesehatan, tingkat energi, dan daya tahan tubuh sangat berperan bagi individu dalam menghadapi persoalan dalam hidupnya.
(+) Kecerdasan (Kemampuan Kognitif) Kemampuan-kemampuan ini seringkali membuat seseorang tidak memerlukan bantuan profesional dalam memecahkan
berbagai masalah dalam hidupnya (Powell 1983).
(+) Minat pada bidang tertentu, hobi dan rekreasi
Minat dapat berfungsi sebagai buffer (penahan) yang bisa meminimalkan dan membantu kita dalam mentolerir ketegangan dan kecemasan yang kita rasakan serta membantu kita dalam mempertahankan penyesuaian diri yang sehat.
(+) Impian (dream)
Impian disini bisa berupa cita-cita, tujuan hidup, ideologi, atau a sense of self – persepsi dan sikap individu mengenai dirinya sendiri (Powell, 1983).
(+) Keyakinan (religious faith), Faith disini adalah sesuatu yang kita yakini lebih berkuasa daripada diri kita sendiri (something greater than ourselves) adanya keyakinan bahwa ada sesuatu yang dapat kita jadikan tumpuan harapan dan tempat bergantung dapat membuat kita bertahan dan berjuang.
Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari luar individu, antara lain :
(+) Kemampuan ekonomi dan lingkungan yang menguntungkan., tersedianya dan kemudahan memperoleh hal-hal tersebut dapat membantu individu menyelesaikan
masalah sehingga dapat membantu
mempermudah proses penyesuaian diri yang dilakukan individu.
(+) Kerja, suatu kegiatan disebut kerja jika terdapat perasaan berkewajiban, pengeluaran energy dan pengalaman menjadikan sesuatu dalam diri individu yang mengerjakannya, serta adanya persetujuan masyarakat terhadap kegiatan tersebut (Powell, 1983). (+) Adanya jalinan hubungan yang suportif Didalam jalinan hubungan yang suportif terdapat hubungan yang erat dan hangat, saling memberikan perhatian dan dukungan; perasaan-perasaan dapat diekspresikan dan masalah atau konflik-konflik yang tidak terhambat (Powell, 1983).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dalam (Neuman, 2013:44) dikatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk ”memberikan gambaran” Sehingga jenis penelitian deskriptif dapat menggambarkan secara terperinci mengenai strategi coping yang dilakukan dalam penyesuaian diri siswa tunarungu.
Pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk mengetahui fenomena secara menyeluruh mengenai
strategi coping pada penyesuaian diri siswa tuna rungu.
Dalam penelitian ini informan dipilih berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu teknik pemilihan informan dengan mengambil beberapa orang yang benar-benar dipilih sesuai dengan ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh informan (Nasution, 2002: 99). Dalam hal ini, informan adalah sebagai berikut :
(+) Siswa tuna rungu SLBN 2 Kelas 11 Siswa penyandang tuna rungu dan
dapat berkomunikasi dengan baik
menggunakan Bahasa isyarat lisan maupun tulisan, duduk di tingkat SMALB, dan memiliki kegiatan non-formal selain kegiatan formalnya di kelas. Berdasarkan kriteria ini, terdapat 4 orang.
(+) Guru Siswa Tuna Rungu SLBN 2 Jakarta Guru yang menjadi pengajar siswa tuna rungu kelas 11 dan mengamati kegiatan siswa tuna rungu selama di sekolah. Terdapat 2 orang guru siswa tuna rungu yang mengajar pada kelas 11 di SLBN 2 Jakarta.
(+) Kepala Sekolah SLBN 2 Jakarta
Kriteria kepala sekolah yang akan dijadikan informan adalah; mengetahui semua informasi mengenai kebijakan dan program SLB 2 Jakarta. Terdapat 1 orang kepala sekolah yang ada di SLBN 2 Jakarta.
(+) Orangtua Siswa Tuna Rungu yang bersekolah di SLBN 2 Jakarta
Kriteria orangtua yang dipilih adalah ibu dari masing-masing informan siswa, pertimbangan memilih ibu mengingat semua informan siswa lebih memiliki kedekatan dengan ibu daripada ayah.
Proses pengumpulan data ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri 2 Jakarta. Pemilihan lokasi ditentukan mengingat SLBN 2 Jakarta adalah satu-satunya sekolah luar biasa negeri yang ada di Jakarta Selatan dengan tingkat prestasi yang baik dalam bidang olahraga, misalnya Juara 1 Lomba Bulu Tangkis Tuna Rungu untuk tuna rungu.
Waktu pengumpulan data yang akan dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini yaitu mulai Bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014.
Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi beberapa cara, antara lain; (1) Studi literatur yang dilakukan dengan penelusuran melalui bahan-bahan literatur di berbagai perpustakaan, media online, buku-buku, skripsi. (2) Wawancara Mendalam dengan siswa, guru dan juga orangtua selaku significant others subjek penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. (3) Observasi terhadap anak meliputi, perilaku subjek selama
wawancara dan berada di sekolah maupun rumah juga interaksi subjek dengan peneliti, guru, teman, dan juga orangtuanya.
Dalam penelitian ini, observasi juga dilakukan di sekolah ketika kegiatan belajar mengajar, olahraga, dan selama interaksi di sekolah serta di rumah ketika melakukan kunjungan ke rumah informan.
Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan Neuman 2013, dimana secara singkat tahapannya sebagai berikut: (1) Mengorganisasikan data mentah yang terkumpul dari hasil wawancara, pengamatan yang dilakukan di SLBN 2 Jakarta. (2) Pengolahan data, pada tahap ini dilakukan penyatuan data dari hasil review data yang telah diterima. Kemudian, data yang sama dijadikan dalam satu kategori untuk memudahkan dalam menganalisa data. (3) Selanjutnya adalah tahap penafsiran data. Pada tahap ini dilakukan identifikasi hasil review data sebagai hasil temuan lapangan yang kemudian dianalisa sesuai teman lapangan untuk dibahas dan dikaitkan dengan kerangka teori. (4) Tahap terakhir adalah tahap pengambilan kesimpulan berdasarkan dari temuan lapangan dan pembahasan. Kesimpulan ini berisi jawaban akan pertanyaan penelitian, yaitu strategi coping pada penyesuaian siswa tuna rungu SLBN 02 Jakarta dan faktor internal serta
eksternal yang memengaruhi penyesuaian diri siswa tuna rungu SLBN 02 Jakarta. Dari kesimpulan tersebut, dilanjutkan dengan
pemberian saran yang dapat
dipertimbangkan untuk perbaikan program.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil dari temuan lapangan, informan melakukan berbagai macam jenis strategi coping untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada di lingkungan sosialnya terutama di sekolah. Namun dari hasil temuan yang ada, jenis strategi coping yang digunakan untuk menyesuaikan diri sebagian besar berpusat pada emotion focus coping. Hal ini terjadi karena informan memilih untuk lebih banyak meminimalisir emosi yang tidak
menyenangkan dengan mekanisme
pertahanan diri. Namun bukan berarti informan siswa tuna rungu tidak menggunakan jenis strategi problem focused coping dalam menyesuaikan dirinya. Berikut pembahasan hasil lapangan sesuai dengan kategori strategi coping yang digunakan siswa tuna rungu dalam melakukan penyesuaian diri selama di sekolah.
Berdasarkan temuan lapangan, setiap informan memiliki caranya sendiri dalam memberikan reaksi terhadap masalah yang
dihadapi selama di sekolah dan keempatnya melakukan strategi penyesuaian diri dengan metode problem focused coping. Adapun strategi penyesuaian diri PFC jenis pertama adalah dengan melakukan confrontive
coping. Menurut (Gramling 1998:29)
tindakan confrontive coping dilakukan dengan mengambil langkah aktif untuk mengubah situasi dan berdasarkan temuan lapangan, diketahui hanya Informan E yang melakukan tindakan konfrontasi dengan teman ketika menyesuaikan diri dalam menghadapi masalah di sekolahnya. Reaksi ini timbul karena Informan E dipaksa untuk merokok oleh temannya dan ketika E mengalami kekalahan dalam olahraga bulu tangkis yang lantas menyalahkan teman satu timnya. Kejadian ini termasuk confrontive coping dikarenakan Informan E langsung menunjukkan reaksi dengan mengambil langkah aktif untuk keluar dari situasi tersebut. Informan E melawan dengan membuang rokok yang diberikan oleh temannya karena Informan E tidak mau merokok dan mengungkapkan kekecewaan dengan menggunakan bahasa verbal kasar kepada temannya.
Jenis PFC yang kedua adalah Planful Problem Solving (PPS) yaitu strategi penyesuaian diri dengan melakukan pemecahan masalah untuk kemudian
dilaksanakan. Berdasarkan hasil temuan lapangan terdapat 2 orang informan yang melakukan strategi PFC dengan jenis PPS ini. Informan tersebut adalah An dan K. Pada An yaitu dengan berusaha untuk
memecahkan masalah pemahamannya
terhadap matematika dengan belajar tekun. Strategi yang dilakukan An yaitu mencoba bertanya kepada orang lain untuk berusaha memecahkan permasalahannya di bidang pelajaran matematika. Hal ini menunjukkan bahwa An menyusun strategi untuk dapat membuat tekanan dari pelajaran itu bisa berkurang dengan cara mencari solusi bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya misalnya guru dan orang yang ada dirumahnya.
Tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan K dalam menyesuaikan diri menggunakan PPS. Ketika mendapatkan reaksi kurang menyenangkan dari guru, K berusaha untuk melakukan analisis situasi dan melakukan solusi agar gurunya tidak kecewa kepadanya. Hal ini ditempuh K dengan cara secara langsung meminta maaf kepada gurunya dan tidak jadi berpindah penjurusan.
Jenis ketiga dari PFC adalah strategi yang dilakukan dengan Seeking Social Support Problem Focused (SSSPF) yang dilakukan informan dengan usaha untuk
mencari dukungan nyata. Strategi jenis ini dilakukan oleh 2 informan yaitu F dan An ketika F berusaha membuat catatan dalam pelajaran yang diikutinya didukung oleh gurunya. Tujuan dibuatnya catatan itu adalah untuk mengingatkan dirinya agar tidak lupa dengan pelajaran tersebut. Sedangkan informan An melakukan SSSPF ini pada saat mengalami kejadian dimana dirinya merasa kesal dengan orangtuanya dan berusaha untuk kabur dan meminta temannya berbohong mengenai keberadaan An kepada orangtua An.
Sesuai dengan apa yang telah disinggung sebelumnya pada paragraf
pembuka yang menyebutkan bahwa
sebagian besar informan siswa tuna rungu lebih banyak melakukan strategi dengan emotion focus coping (EFC). Dari temuan-temuan lapangan dan hasil pengamatan, siswa lebih banyak melakukan EFC karena siswa berusaha untuk meminimalisir emosi yang tidak menyenangkan dengan metode pertahanan diri yang dimiliki oleh masing masing informan untuk memperbaiki perasaannya.
Keempat informan menggunakan strategi EFC jenis pertama yaitu distancing ketika informan pertama kali bersekolah di SLBN 2 Jakarta. Lingkungan baru yang harus dihadapi semua informan ternyata
menimbulkan reaksi yang hampir semuanya sama terutama An, E, dan F. Berbeda dengan K yang tidak melakukan distancing di sekolahnya di awal masuk, namun justru lebih melakukan distancing dengan lingkungan dirumahnya. Baik An, E, F bahkan K lebih memilih untuk diam diawal pertama masuk sekolah. Perbedaan terlihat ketika kegiatan belajar mengajar dimulai. Informan A, E, dan F memiliki penyesuaian diri lebih lama daripada K.
Jenis kedua dalam strategi penyesuaian diri EFC adalah dengan melakukan strategi self control dimana siswa tuna rungu mengontrol perasaan atau perilakunya dalam menghadapi tekanan yang timbul di lingkungan sekolah. Dalam jenis self control ini, siswa tuna rungu lebih banyak menyimpan perasaannya sendiri yang muncul akibat tekanan namun tidak berusaha untuk melakukan tindakan konfrontasi. Berdasarkan hal tersebut, keempat informan melakukan jenis strategi penyesuaian diri dengan self control. Self control yang dilakukan kebanyakan terjadi karena penyesuaian yang harus dilakukan dalam bidang pelajaran dan juga pertemanan selama di sekolah. Pada bidang pelajaran, self control dilakukan oleh informan K dan E, dimana pada awalnya mereka berdua mengalami kesulitan mengikuti pelajaran
dikarenakan tingkat kesulitan mata pelajaran di SMA yang mulai bervariasi. Pada informan K, self control dilakukan dengan memilih respon diam saja saat menghadapai tekanan berupa materi pelajaran yang tidak dimengerti. Respon K yang memilih untuk diam disebabkan karena K merasa malu dengan temannya apabila dirinya sampai bertanya dengan guru mengenai apa yang tidak dimengerti.
Lain halnya dengan informan E, E juga lebih memilih untuk diam ketika tidak mengerti. Perbedaannya adalah jika Informan K menahan diri disebabkan oleh malu dengan temannya karena tidak mengerti mengenai pelajaran, informan E lebih memilih menahan diri untuk tidak bertanya karena informan E memiliki adik yang bisa ditanyai ketika dirumah.
Jenis ketiga dalam strategi EFC adalah accepting responsibility, dimana pada jenis ini, siswa mengakui adanya peran dirinya dalam menempatkan sesuatu dengan benar. Pada strategi EFC jenis accepting responsibility terdapat 3 siswa tuna rungu
dimana mereka lebih banyak
memperlihatkan reaksi hubungan antara orangtua dan siswa mengenai tanggung jawab dirinya selama berada di sekolah, siswa tersebut adalah An, E, dan F . Ketiga informan memiliki permasalahan yang sama
dengan hubungannya terkait orangtua mereka masing-masing dimana orangtua menuntut anak agar dapat mengabari apa saja yang terjadi selama berada di sekolah sampai dengan adanya informasi tambahan yang harus diberitakan agar orangtua dapat mengontrol kegiatan anaknya selama berada di sekolah ataupun saat jam sekolah selesai.
Berdasarkan temuan lapangan strategi EFC jenis escaping or avoidance ini tidak dilakukan oleh semua informan siswa tuna rungu. Hanya ada 2 informan yang melakukan strategi EFC dengan metode escaping of avoidance, yaitu informan An dan K. Baik informan An maupun K pernah mengalami situasi unik yang membuat mereka merespon kejadian tersebut dengan jenis escaping or avoidance. Pada Informan An, kejadian yang membuatnya melakukan escaping or avoidance adalah ketika di sekolah, dirinya mengalami kehilangan uang sebesar 100 ribu rupiah. Merespon hal ini, informan An berusaha untuk mengalihkan perhatian dengan bermain bulu tangkis yang menjadi kegemarannya. Sedangkan pada informan K melakukan escaping or avoidance ketika K merasa kesal dengan temannya sendiri dan memilih untuk mengalihkan perhatian dengan membaca buku.
Strategi EFC berikutnya adalah strategi dengan jenis positive reappraisal dimana pada jenis ini, siswa tuna rungu berusaha untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih positif dengan melihat makna positif diri pada beragam aspek pengembangan misalnya beribadah sesuai dengan agama dan pengembangan diri seperti peminatan.
Berdasarkan temuan lapangan, informan An, E, F, dan K memiliki pengalaman sendiri sehingga dirinya dapat mampu bertahan dalam kondisinya yang memiliki kebutuhan khusus dengan menggunakan strategi jenis positive reappraisal ini. Bentuk pengembangan diri positif yang dilakukan oleh keempat informan secara umum adalah dengan melakukan peribadatan dengan tekun seperti sholat. Seperti contohnya yang dilakukan oleh informan An dan K dimana pada informan An memilih untuk berdoa untuk mencoba ikhlas dalam menghadapi tekanan yang muncul dalam hidupnya. Tidak hanya informan An dan K, informan E dan F juga memiliki ketaatan yang tinggi dalam hal kegamaan dan menjalankan kewajiban agamanya, namun ada hal lain yang lebih menonjol dibandingkan aspek keagamaan yang membuat E dan K memiliki pandangan positif terhadap diri.
Sedikit berbeda dengan E yang memandang diri positif karena memiliki sifat fisik dan jiwa yang baik. Informan F juga melakukan strategi jenis positive reappraisal dengan mengembangkan bakatnya dalam bidang komputer.
Jenis strategi yang terakhir dalam EFC adalah Seeking Social Support Emotion Focused (SSSEF). Dukungan dari SSSEF lebih bersifat dukungan emosi yang membuat siswa dapat meminimalisir tekanan yang ada dengan contoh menerima simpati dari seseorang. Berdasarkan temuan lapangan mengenai strategi EFC, secara garis besar, dukungan emosi didapatkan dari keluarga informan, teman dekat informan, kekasih informan, dan komunitas tuna rungu. Seperti yang dialami oleh Informan An ketika mengalami permasalahan kecurian
uang. Tekanan ini membuat An
membutuhkan dukungan emosi sampai akhirnya An dapat memutuskan untuk ikhlas dan mengalihkan tekanannya pada sesuatu yang disukainya.
Selain dukungan yang berasal dari keluarga, dukungan emosi juga didapatkan dari hubungan pertemanan. Berbeda dengan informan K yang lebih mendapatkan dukungan emosional dari kekasihnya.
Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Memengaruhi Strategi Coping Pada Penyesuaian Diri Siswa Tuna Rungu
Terdapat dua faktor besar yang mempengaruhi penyesuaian diri yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor pertama yang dibahas adalah faktor internal, diantaranya: Faktor kemampuan dan kekuatan fisik sebagai faktor internal bukan merupakan faktor utama yang menyebabkan informan dapat melakukan penyesuaian diri sebaik sekarang. Faktor ini dan unik menyumbang pada kemampuan anak dalam melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Kemampuan menggunakan bahasa isyarat adalah salah satu kekuatan yang
dapat digunakan informan untuk
berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya baik dalam komunitas tuna rungu maupun komunitas umum di masyarakat.
Pada faktor internal kedua yang memengaruhi bentuk strategi penyesuaian diri informan adalah faktor kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing informan. Setiap informan memiliki kecerdasannya dibidang masing-masing seperti Informan An yang memiliki kemampuan dalam bidang olahraga dan pelajaran, E yang memiliki kemampuan lebih di bidang olahraga dan pelajaran, F yang memiliki kemampuan di bidang komputer dan pelajaran, serta K yang
memiliki kemampuan di bidang tata boga dan pelajaran. Dalam bidang pelajaran, keempat informan adalah anak yang serius untuk menempuh pendidikan, seperti yang diungkapkan kepala sekolah SLBN 2 Jakarta yang menyatakan bahwa semua informan memiliki ingatan yang luar biasa.
faktor internal lain yang ikut memengaruhi strategi penyesuaian diri informan siswa tuna rungu adalah minat siswa pada bidang tertentu seperti hobi dan rekreasi. Lagi-lagi, setiap informan memiliki peminatannya sendiri dalam memilih hobi. Mereka menentukan peminatannya bisa sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, namun ada juga yang ingin mengembangkan kemampuannya dengan mencoba hobi baru di sekolahnya. Secara umum, hobi yang informan pilih adalah olahraga, hal ini terjadi pada informan An dan E dimana mereka memilih olahraga bulu tangkis untuk dapat menyalurkan hobinya di sekolah. Sedangkan berbeda dengan yang dilakukan oleh F dan K dimana peminatan mereka disalurkan dalam hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan olahraga. Informan F lebih senang menyalurkan hobinya dengan membuat desain untuk kesenangannya. Kesenangan ini berbanding lurus dengan kecerdasan yang dimiliki F sehingga kesenangan ini dijadikan sebagai
hobi yang dapat meminimalisir ketegangan dan kecemasan yang ada dalam diri akibat tekanan dari luar. Hobi ini dapat membantu F untuk mengeluarkan strategi penyesuaian diri positif karena telah menyalurkan energy negatifnya pada sesuatu yang positif seperti dengan mengasah kemampuan mendesain. Sedangkan K, yang memiliki kemampuan beraneka ragam lebih memilih untuk menyalurkan minatnya dengan membaca, menari, dan pantonim. Informan K menyalurkan minat hobinya dibidang kesenian, hal ini dipengaruhi oleh sifatnya yang sensitive dan tenang sehingga lebih menyukai hobi-hobi yang bersifat artistic selain untuk kesenangan tapi untuk meminimalisir tekanan yang muncul dari lingkungan.
Faktor internal selanjutnya yang dapat memengaruhi strategi penyesuaian diri informan siswa tuna rungu adalah impian. Impian disini konteksnya adalah sebuah cita-cita atau harapan yang nantinya akan manjadi gambaran masa depan si anak. Siswa dapat memiliki tujuan, kekuatan, dan ketahan untuk bertahan dari segala frustasi yang muncul akibat tekanan yang muncul dari lingkungan. Dengan memiliki impian, siswa tuna rungu mampu memusatkan diri dan memberi arti pada setiap kegiatan yang dilakukanya termasuk siap dengan
menghadapi tantangan yang muncul kedepannya.
Berdasarkan akan hal ini, keempat informan memiliki harapan masing-masing mengenai apa yang akan mereka dilakukan di masa depan. Informan E memiliki cita-cita untuk menjadi guru olahraga.Tidak jauh berbeda dengan informan K yang memiliki cita-cita untuk menjadi guru bagi siswa tuna rungu. Sedangkan dua informan lainnya yaitu An dan F lebih memilih untuk memiliki harapan dapat bekerja di masa depan,
Faktor internal terakhir yang
membawa pengaruh dalam strategi
penyesuaian diri informan adalah keyakinan. Sesuatu yang diyakini dan lebih berkuasa dari diri sendiri yang membuat siswa yakin bahwa ada sesuatu yang dapat dijadikan tumpuan harapan dan tempat bergantung ketika mereka bertahan dan berjuang. Semua informan siswa tuna rungu menganut agama Islam dan berdasarkan temuan lapangan, mereka semua taat menjalankan tata ibadah agama tersebut.
Beralih kepada faktor eksternal yang dapat memengaruhi strategi informan dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah. Faktor eksternal berasal dari luar informan siswa tuna rungu.
Faktor Eksternal yang pertama adalah faktor kemampuan ekonomi dan lingkungan. Berdasarkan hasil temuan lapangan dan pengamatan yang dilakukan langsug ke rumah informan, informan
termasuk dalam keluarga yang
berkecukupan. Hal ini dilihat dari jenis rumah yang menjadi tempat tinggal dan lokasi dimana informan tinggal. Setiap informan juga memiliki kendaraan lebih dari satu seperti sepeda motor. Kondisi ekonomi yang mendukug tersebut sangat terlihat pada informan K, dari hasil pengamatan, hanya informan K yang memiliki hearing ear yang dapat membantunya dalam melakukan kegiatan sehari-hari di sekolah. Harga yang perlu dibayar untuk mendapatkan hearing ear ini menurut salah satu informan yang bukan orangtua K adalah barang yang cukup mahal untuk didapatkan. Selain dengan
kemampuan ekonomi, kemampuan
lingkungan juga mengambil andil dalam strategi penyesuaian diri informan siswa tuna rungu. Berdasarkan hasil temuan lapangan, kemampuan lingkungan terutama lingkungan di lokasi tempat informan tinggal tidak memberikan dukungan yang baik kepada informan tuna rungu sehingga untuk kenyamanan, informan siswa tuna rungu lebih memilih berada di sekolah dan bertemu teman-teman yang memiliki kesamaan
kebutuhan. Hal ini disebutkan beberapa kali dalam temuan lapangan karena informan merasa malas berkenalan dengan lingkungan rumahya dibandingkan dengan lingkungan sekolahnya yang lebih dapat membawa kenyamanan bagi siswa tuna rungu.
Faktor eksternal kedua yang dapat memengaruhi penyesuaian diri informan adalah kerja. Melalui kerja, siswa tuna rungu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan bergaul dengan orang lain, selain itu dirinya juga dapat memperoleh penghargaan karena merasa dirinya mampu melakukan sesuatu. Dalam faktor kerja ini, tidak semua informan dapat memberikan informasi yang cocok berhubungan dengan kerja. Hal ini dikarenakan informan masih berada di sekolah dan duduk pada tingkat SMA. Namun, dari keempat informan siswa tuna rungu, ada satu orang yang sudah melakukan kerja yang mempengaruhi strategi penyesuaian diri yang dilakukannya. Informan tersebut adalah E yang membantu ibunya berjualan kerudung.
Faktor eksternal terakhir menurut Powell adalah adanya jalinan yang supportif dimana dalam jalinan tersebut terdapat hubugan yang erat dalam pemberian dukungan dan perhatian.
Berdasarkan hasil temuan lapangan, jalinan yang suportif terlihat pada hubungan
pertemanan, keluarga, guru, dan juga komunitas tuna rungu dimana sangat kuat pengaruhnya dalam memberikan dukungan bagi siswa tuna rungu. Jalinan suportif dengan sesama teman terlihat ketika saat ini hubungan antar teman memperlihatkan pola hubungan yang saling berkesinambungan karena keempat informan sering bertukar cerita dan saling mendukung satu sama lainnya. Dukungan ini juga disebutkan sebelumnya pada strategi penyesuaian diri baik PFC maupun EFC telah memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan
kemampuan anak dalam melakukan
penyesuaian diri.
Selain dengan hubungan pertemanan, jalinan suportif juga didapatkan dari orangtua dimana keluarga sebagai agen terkecil sosialisasi bagi anak memberikan pengajaran yang positif untuk anak sesuai dengan pengamatan. Di rumah masing-masing informan orangtua mendukug anaknya untuk dapat menempuh pendidikan dengan maksimal dengan memberikan dukungan maksimal juga berupa materi ataupun non materi. Jalinan yang suportif berikutnya juga datang dari guru dan pihak sekolah yang saling memberikan dukungan berupa pembelajaran dan nasihat kepada anak agar selalu memiliki pandangan positif terhadap diri. Sekaligus untuk meningkatkan
kemampuan setiap informan, sekolah juga menyediakan berbagai fasilitas seperti peminatan sehingga kemampuan siswa semakin berkembang dengan baik sesuai kesenanganya. Kemudian yang terakhir jalinan suportif datang dari komunitas tuna rungu yang selalu mendukung siswa tuna rungu dengan mengadakan pertemuan untuk mengadakan kegiatan dan juga lomba kejuaraan antar tuna rungu untuk mengembangkan potensi dan kepercayaan diri siswa tuna rungu.
KESIMPULAN
Bagian ini akan menjelaskan kesimpulan yang didapatkan berdasarkan temuan lapangan dan analisis pada bagian pertama mengenai kesimpulan strategi penyesuaian diri siswa tuna rungu, dan yang kedua adalah kesimpulan faktor internal dan eksternal yang memengaruhi penyesuaian diri siswa tuna rungu.
Kesimpulan Strategi Coping pada Penyesuaian Diri Siswa Tuna Rungu
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memberi gambaran strategi penyesuaian diri yang dilakukan oleh siswa tuna rungu, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
(+) Strategi penyesuaian diri tidak hanya dilakukan pada awal informan masuk ke dalam kegiatan sekolahnya. Karena penyesuaian diri merupakan proses yang terjadi sepanjang hidup seseorang. Situasi hidup yang selalu berubah membuat individu terus menerus mengubah tujuan hidupnya karena lingkungan sosial juga selalu berubah. Oleh karena itu, penyesuaian diri merupakan hal penting dalam kaitan dengan kesejahteraan seorang individu dalam mengatasi perubahan yang terjadi terus menerus dalam hidupnya.
(+) Selama melakukan strategi penyesuaian diri, keempat informan menggunakan kedua metode strategi penyesuaian diri baik dengan problem focused coping (PFC) maupun emotion focused coping (EFC). Namun, berdasarkan temuan lapangan, keempat informan memiliki kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan strategi EFC, sedangkan strategi PFC mendapatkan porsi yang lebih sedikit.
(+) Pada strategi penyesuaian diri dengan menggunakan PFC yang berfokus pada masalah, dilakukan oleh keempat informan dalam penelitian ini dengan cara melakukan tindakan confronting dengan menolak tawaran secara langsung, tindakan planful problem solving dengan belajar giat ketika menemui mata pelajaran yang tidak disukai
sampai bisa, langsung meminta maaf apabila ada masalah dan yang terakhir adalah seeking social support problem focused dimana informan mencari dukungan konkrit berupa bantuan dari guru saat mengalami permasalah bahkan mencari dukungan ketika sedang kesal kepada orangtua dengan meminta bantuan kepada teman-temannya untuk berbohong.
(+) Strategi penyesuaian diri dengan menggunakan EFC yang berfokus pada emosi dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan strategi PFC.
1. Strategi EFC yang dilakukan informan siswa tuna rungu dalam penelitian ini adalah dengan melakukan distancing seperti lebih memilih untuk menjaga jarak ketika menemui teman baru
2. Kemudian terlihat pula dengan informan yang menggunakan self control dalam melakukan penyesuaian diri ketika tidak mengerti mata pelajaran yang sedang dijelaskan.
3. Strategi EFC yang selanjutnya dilakukan informan adalah dengan melakukan accepting responsibility dimana informan memberikan kabar kepada orangtuanya mengenai apa yang sedang dilakukan setiap waktu.
4. Pada escaping or avoidance dengan mencari jalan lain ketika sedang
menghadapi tekanan untuk meminimalisir tekanan yang muncul ketika misalnya menghadapi pencurian maka informan menyalurkan hobinya untuk dapat melupakan tekanan tersebut.
5. Pada positive reappraisal dilakukan dengan mengembangkan potensi diri serta memandang diri secara positif dalam lingkungan.
6. Serta yang terakhir menggunakan jenis seeking social support emotion focused
yaitu dengan mencari dukungan
emosional yang didapatkan berdasarkan temuan lapangan dari keluarga, teman, kekasih, guru, dan juga komunitas tuna rungu.
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Strategi Coping
Penyesuaian Diri Siswa Tuna Rungu
Tidak hanya untuk memberi gambaran strategi coping pada penyesuaian diri yang dilakukan oleh siswa tuna rungu, tetapi juga untuk menjelaskan faktor internal dan eksternal yang memengaruhi strategi penyesuaian diri siswa tuna rungu, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
(+) Faktor – faktor yang memengaruhi informan dalam melakukan strategi penyesuaian diri adalah faktor yang berasal dari dalam diri (internal) dan faktor yang
berasal dari luar diri (eksternal) informan. Berdasarkan temuan lapangan, informan lebih banyak memiliki faktor pendukung yang berasal dari dalam diri informan yaitu faktor internal. Faktor eksternal juga cukup banyak memengaruhi namun lebih dominan faktor internal karena lebih banyak aspek yang dilihat dalam faktor internal daripada faktor eksternal.
(+) Pada faktor internal, faktor yang paling dominan dan dapat membantu dalam melakukan penyesuaian diri berasal dari faktor minat, dimana pada faktor minat, informan memiliki kesenangan pada bidang tertentu yang kemudian membuat dirinya melupakan tekanan yang muncul selama proses penyesuaian diri.
(+) Selain faktor internal, strategi penyesuaian diri juga didukung oleh faktor eksternal yang ada di sekitar informan siswa tuna rungu. Dukungan dpaling dominan berasal dari kemampuan ekonomi dan lingkungan yang menguntungkan, disini hal yang dapat dilihat adalah keempat informan tuna rungu memiliki keluarga yang
berkecukupan sehingga kemampuan
ekonomi dan lingkungan mereka secara umum memadai.
SARAN
Saran yang dapat diberikan terkait hasil penelitian ini antara lain :
Saran untuk pihak sekolah (Kepala Sekolah) (+) Pihak sekolah dapat merekrut jasa bimbingan konseling atau pekerja sosial yang berada pada setting sekolah untuk dapat menangani permasalahan yang ada di sekolah tersebut. Kasus kenakalan anak seperti pencurian, perkelahian, ataupun tindakan anak yang tidak menyenangkan satu sama lain terjadi karena di SLBN 2 Jakarta belum memiliki jasa pekerja sosial pada setting sekolah. Pertimbangan ini menjadi penting karena guru masih memegang peran yang tidak fokus sehingga selain mengajar, guru juga melakukan bimbingan bagi anak sehingga banyak anak yang tidak terpegang untuk dipantau lalu kemudian muncullah kasus-kasus yang tidak diharapkan seperti pencurian, kenakalan anak, dan lainnya.
(+) Sekolah melakukan pemantauan kegiatan anak berkebutuhan khusus dengan selalu berkoordinasi dengan orangtua anak misalnya komunikasi dengan menggunakan telepon untuk mengetahui pula kegiatan anak selama di rumah.
(+) Pihak sekolah dapat membuat kegiatan yang memudahkan anak untuk berinteraksi
satu sama lain misalnya dengan kegiatan olahraga bersama saat pagi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menghindari anak yang cenderung mengurung diri atau diam karena hanya terbiasa dengan anak-anak yang memiliki jenis ketunaan sama sesuai dengan temuan lapangan yang ada di lapangan. Saran untuk Guru
(+) Beberapa anak yang cenderung pendiam seperti pada temuan lapangan dapat diberikan bantuan oleh guru dengan memaksimalkan peran sebagai pengajar sekaligus mengawasi setiap anak dalam
mengamati anak yang membutuhkan
bantuan dalam menyesuaikan diri. Peran tersebut dilakukan dengan cara misalnya mengajak bicara anak yang pendiam, mencari tahu permasalahan anak dari kegiatan yang diikuti anak, untuk mengetahui keadaan murid-murid yang sedang dididik dan menghindari adanya kenakalan atau isolasi pada anak.
(+) Guru dapat menjalin hubungan yang lebih suportif lagi dengan anak sekaligus mendampingi anak sampai pada mengetahui bagaimana karakter masing-masing anak
agar dapat membantu anak untuk
memberikan masukan dalam menangani permasalahan yang terjadi berhubungan dengan anak tersebut.
(+) Guru dapat memberikan metode pengajaran baru dengan memanfaatkan gambar atau role play atau dengan studi kasus sehingga murid akan lebih mudah menangkap dan suasana kelas akan lebih aktif.
Saran untuk Penelitian Selanjutnya
(+) Saran untuk pengembangan hasil dari penelitian disarankan untuk mengangkat aspek pendekatan kekuatan (strength perspective) yang membuat anak dapat bertahan selama berada berada di sekolah. Mengingat aspek pendekatan kekuatan individu berkebutuhan khusus masih terbatas dalam penelitian ini.
DAFTAR REFERENSI
1. Auerbach, S. M., Gramling, S. E.
(1998). Stress Management:
Psychological Foundations. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
2. Bandi, Delphie. (2006).
Pembelajaran Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Universitas
Terbuka.
3. Grasha, A.F., & Kirchenbaum, D. S. (1980). Psychology of Adjustment and Competence. Massachussets: Winthrop Publisher, Inc.
4. Hurlock, E. B. (1974). Personality Development. New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company.
5. Lazarus, R. S. (1969). Patterns of
Adjustment and Human
Effectiveness. Japan: McGraw-Hill Book Company.
6. Mangunsong, Frieda. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid Kesatu. LPSP 3, Depok.
7. Nasution, (2002). Metode Research :Penelitian Ilmiah, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Fakultas Psikologi UNAIR,
Surabaya (jurnal Psikologi
Pendidikan dan Perkembangan Vol 2. No. 1, April 2013)
8. Neuman, Lawrence. (2013).
Metodologi Penelitian Sosia;
Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif Edisi 7. Indonesia: PT Indeks.
9. Novan Adwiasa, Rr. Muryantinah MH., S.Psi., M.Psyh, (2013). Perbedaan Penyesuaian Diri Antara Siswa Tunarungu Di Sekolah Inklusi dan Di Sekolah Luar Biasa
10. Powell, D. H. (1983). Understanding Human Adjustment. USA: Little, Brown & Co.
11. Rumini, Sri dan Siti Sundari, (2006). Perkembangan Anak dan Remaja. PT Rineka Cipta, Jakarta.
12. Sarafino, E. P. (1990). Health
Psychology: Biopsychosocial
Interactions. Trenton Stage Collage: John Willey & Sons Inc.
13. Akuntono, Indra.(2012). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Akan Dijamin.
http://edukasi.kompas.com/read/2012 /05/07/1503545/function.fopen (diakses Senin, 7 Mei 2014 pukul 15:03 WIB)