DAN GERAK HARMONIK SEDERHANA
Winarti dan Affa Ardhi SaputriProgram Studi Pendidikan Fisika UIN Sunan Kalijaga email: [email protected]
ABSTRACT
Metacognition is one of the factors that influence academic achievement. This study aims to 1) produce physics-based metacognition module on material elasticity and simple harmonic motion, 2) determine the quality of metacognition-based physics modules in the subject matter of elasticity and simple harmonic motion, and 3) determine students’ response to metacognition-based physics modules in the subject matter elasticity and simple harmonic motion.
This Research is the R & D with model 4-D, which define, design, develop, and disseminate. Results of this study are: 1) has been generated based physics modules metacognition in the subject matter of elasticity and simple harmonic motion, 2) quality of metacognition-based physics modules in the subject matter of elasticity and simple harmonic motion very well. 3) students’ response to metacognition-based module is also very good
Keywords: physics module, metacognition, elasticity and simple harmonic motion. ABSTRAK
Metakognisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi akademik. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menghasilkan modul fisika berbasis metakognisi pada materi elastisitas dan gerak harmonik sederhana; 2) mengetahui kualitas modul fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana; dan 3) mengetahui respon siswa terhadap modul fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana. Penelitian ini merupakan penelitian R & D yang mengadaptasi prosedur pengembangan perangkat model 4-D, yakni define, design, develop, dan disseminate. Hasil penelitian ini antara lain: 1) telah dihasilkan modul fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana; 2) kualitas modul fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana sangat baik 3) respon siswa terhadap modul fisika berbasis metakognisi juga sangat baik.
Kata Kunci: modul fisika, metakognisi, elastisitas dan gerak harmonik sederhana. PENDAHULUAN
Sejak tahun 2000 penelitian pendidikan fisika berfokus pada bagaimana proses siswa mengkonstruksi pengetahuan yang dimi-likinya (Rebello & Zollman, 2005). Salah satu faktor yang berperan dalam konstruksi pengetahuan adalah metakognisi. Metakognisi diakui sebagai variabel yang penting untuk
pembelajaran (Dosoete, 2007). Kemampuan metakognisi dapat meningkatkan kapasitas belajar yang penuh makna, membentuk serta mempengaruhi konstruksi pemahaman siswa (Anderson & Nashon, 2006). Berdasarkan pengkajian terhadap 179 penelitian tentang prestasi belajar, Chun Yi Shen & Hsiu Chuan Liu (2011) mengemukakan bahwa
metakog-nisi menduduki peringkat pertama dari 200 faktor yang mempengaruhi hasil pendidikan. Metakognisi adalah kemampuan untuk men-gaitkan pesan penting dengan pengetahuan sebelumnya, menarik kesimpulan, dan me-mantau atau menilai kinerja pribadi yang ditunjukkan ketika proses belajar. Selain itu, pembelajaran berbasis metakognisi membantu penyelesaian masalah secara efektif (David-son, Deuser, & Stenberg dalam Manavipour, 2012)dan membantu menyusun konsep yang tepat (Georghiades, 2000).
Fisika merupakan sains atau ilmu penge-tahuan paling fundamental karena merupa-kan dasar dari semua bidang sains (Tipler, 1998). Fisika berhubungan dengan materi dan energi; hukum-hukum yang mengatur gerakan partikel dan gelombang; interaksi antar partikel; sifat-sifat molekul, atom, dan inti; dan sistem-sistem berskala lebih besar seperti gas, cair, dan padat. Hollabaugh dalam Sears & Zemansky (2002) menyatakan fisika meliputi hal yang besar dan yang kecil, yang lama dan yang baru. Dari atom sampai galaksi, dari rangkaian listrik ke aerodinamika, fisika menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, fisika dianggap sebagai salah satu mata pelajaran yang sulit oleh sebagian besar siswa. Hal ini dikarenakan fisika mem-butuhkan matematika yang rumit (Nashon, dalam Campbell, 2007); materi yang terlalu banyak, bergantung pada buku teks, abstrak dan kompleks (Sheppard dan Robin, dalam Campbell, 2007); membutuhkan kegiatan laboratorium dan sering terjadi miskonsepsi (Heller & Heller, 1999).
Berdasarkan karakteristik fisika, belajar fisika bukan hanya mencari jalan penyelesa-ian dari persamaan, tetapi juga belajar mend-eskripsikan, belajar tentang suatu fenomena, dan memahami bagaimana sistem fisika ber-langsung. Peserta didik membutuhkan penge-tahuan tentang apa yang diketahui dan tidak diketahui, bagaimana memecahkan masalah, membuat perencanaan pemecahan masalah, membuat tahap-tahap pemecahan masalah,
memberi alasan mengapa melakukan pemeca-han masalah dengan cara yang ditempuhnya, memonitor proses belajar dan kemajuannya ke arah tujuan saat melaksanakan rencana, serta mengevaluasi apa yang sudah dilakukan (Tolga Gok, 2010). Proses-proses tersebut merupakan proses metakognisi. Metakognisi membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan, mengap-likasikan konsep fisika, menyelesiakan per-masalahan fisika, dan memperdalam konsep fisika. Kipnis dan Hofstein dalam Simanjuntak (2012) menyatakan pada pembelajaran sains ditemukan bahwa proses-proses metakognisi memberikan pelajaran yang penuh arti atau be-lajar dengan mengembangkan pemahaman.
Hasil wawancara dengan guru fisika menunjukkan bahwa proses belajar mengajar fisika di kelas belum menerapkan upaya pen-genalan metakognisi secara optimal. Menurut guru metakognisi merupakan hal yang sulit untuk diakses meskipun diakui sangat penting keberadaannya. Guru mengalami kesulitan dalam menerapkan metakognisi secara kon-sisten di dalam kelas. Penyebab utamanya adalah tuntutan yang diberikan kepada guru agar mampu membawa semua siswa menca-pai target ketuntasan materi fisika, sedangkan waktu belajar/kegiatan tatap muka di dalam kelas terbatas. Sehingga, fokus kegiatan belajar mengajar seringkali didominasi oleh penyampaian informasi sebanyak-banyaknya, tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya send-iri. Joyce dan Marsha (1996) menyebutkan bahwa dalam metakognisi ada proses “letting the student in on the secret” sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan dan kemampuan mereka, memutuskan strategi belajar apa yang akan digunakan, pemecahan masalah, dan menemukan sendiri ilmu yang akan dipelajari. Berdasarkan hasil wawan-cara tersebut dapat disimpulkan bahwa guru mengalami kesulitan untuk menerapkan meta-kognisi pada pembelajaran fisika, sehingga metakognisi sangat terbatas penerapannya dalam kegiatan belajar siswa di kelas.
Permasalahan di atas menjadi semakin besar ketika mengetahui hasil observasi keg-iatan belajar siswa di kelas yang menunjukkan kurangnya metakognisi siswa. Siswa terfokus pada menghafal rumus serta definisi-definisi penting dan mengabaikan esensi fisika yang sesungguhnya. Hal ini terbukti ketika diberi-kan soal serupa tapi berbeda, siswa kesulitan mengerjakannya. Ketika diberikan persamaan dalam bentuk yang berbeda tetapi esensinya sama, siswa tampak bingung bahkan men-ganggap persamaan tersebut salah sehingga membutuhkan waktu untuk menjelaskan kembali. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kemandirian siswa untuk belajar masih kurang. Kesadaran untuk mengetahui seberapa besar pengetahuannya serta mengontrol aktivi-tas kognisinya masih rendah.
Berdasarkan analisis berbagai permasala-han di atas guru dan siswa membutuhkan media belajar berbasis metakognisi untuk mengatasi keterbatasan penerapan metakog-nisi dalam kegiatan belajar di kelas. Media belajar tersebut juga harus mampu digunakan secara mandiri oleh siswa sehingga tanpa guru pun mereka dapat melakukan kegiatan belajar sendiri. Sehingga, dimanapun dan kapanpun siswa melakukan kegiatan belajar dapat mengaktifkan metakognisinya. Dengan demikian, intensitas penggunaan metakognisi akan meningkat dan teraktifkan setiap kali siswa melaksanakan kegiatan belajar.
Salah satu bahan ajar yang dapat digu-nakan secara mandiri adalah modul. Modul merupakan bahan ajar berbentuk media cetak yang dirancang untuk dipelajari sendiri oleh siswa. Modul disebut juga media untuk belajar mandiri karena di dalamnya telah dilengkapi petunjuk untuk belajar sendiri. Artinya, pembaca dapat melakukan kegiatan pembelajaran tanpa kehadiran pengajar secara langsung (Surya Dharma, 2008). Modul ber-basis metakognisi dapat digunakan sebagai alternatif media belajar berbasis metakognisi yang mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu belajar. Akan tetapi, guru belum
pernah mengembangkan modul fisika berbasis metakognisi.
Tinjauan materi, fasilitas serta sarana dan prasarana di MAN Temanggung mendapat-kan kesimpulan bahwa elastisitas dan gerak harmonik sederhana merupakan materi fisika yang sangat potensial jika diterapkan meta-kognisi. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor terkait dengan karakteristik materi dan minat siswa terhadap materi. Elastisitas dan gerak harmonik sederhana tidak membutuh-kan penurunan persamaan yang rumit seperti kinematika gerak dengan analisis vektor. Se-hingga, penyampaian materi dapat dilaksana-kan secara seimbang antara analisis fisis dan matematis. Banyak aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat digali dari materi ini sehingga siswa lebih mudah mengidentifikasi dan membentuk pengetahuan dari peristiwa yang dialaminya sehari-hari. Materi ini juga dapat disajikan dalam berbagai metode dan strategi, terutaman dikemas dalam kegiatan laboratorium.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: menghasilkan modul fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana, mengetahui kuali-tas modul fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana, dan mengetahui respon siswa ter-hadap modul fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana.
TINJAUAN PUSTAKA Metakognisi
Istilah metakognisi dalam bahasa inggris dinyatakan dengan metacognition, berasal dari dua kata yang dirangkai yaitu meta dan kognisi atau cognition. Istilah “meta” berasal dari bahasa yunani yang dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan after, beyond, with, adjacent, yang merupakan suatu prefik yang digunakan untuk menunjukkan pada suatu abstraksi dari suatu konsep. Sedangkan cogni-tion berasal dari bahasa latin yaitu cognoscere,
yang berarti mengetahui (to know) dan men-genal (to recognize). Kognisi disebut juga gejala-gejala pengenalan, merupakan “the act or proses of knowing including both aware-ness and judgement”, sedangkan kemampuan metakognisi mencakup aspek kognisi (kun-todjojo, 2009:1).
Konsep metakognisi pertama kali diper-kenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976 (Malone, 2007: 7). Flavell mendefinisikan metakognisisebagai pengetahuan tentang objek-objek kognitif, yaitu tentang segala ses-uatu yang berhubungan dengan kognisi. Dika-langan para ahli psikologi timbul perdebatan pada pendefinisian dari istilah metakognisi. Hal ini berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai bidang pene-litian psikologi, dan juga tidak dapat diterap-kan pada satu bidang psikologi saja. Namun, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi mem-berikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya. Wel-man (1985) dalam UsWel-man Mulbar (2008: 4) menyatakan bahwa “Metacognition is a form of cognition, a second or higher order thingk-ing process wich involves active control over cognitive processes. It can be simply define as thinking or as a person’s cognition about cognition”. Metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang meibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri. Selain itu, metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tantang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya (Livingston, 1997:
Dalam Livingston (1997: 1) Flavell mem-bagi metakognisi menjadi dua komponen penting, yaitu: a. Pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge). Pengetahuan metakognitif menunjuk pada diperolehnya
pengetahuan tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat dipakai untuk men-gontrol proses kognitif. b. Pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive expe-riences or regulation). Merupakan proses-proses yang dapat diterapkan untuk mengon-trol aktivitas-aktivitas kognitif dan mencapai tujuan-tujuan kognitif. Jacob secara lebih rinci menjabarkan metakognisi terdiri dari 4 komponen (Rahmayani, 2009: 15).
Tujuan metakognitif (metacognitive goals)
1. Mengembangkan kebiasaan mengelola diri dalam memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar.
2. Mengembangkan kebiasaan untuk ber-pikir secara konstruktif.
3. Mengembangkan kebiasaan untuk ber-tanya.
Modul
Salah satu bahan ajar cetak yang masih bertahan penggunaannya dan mampu bersa-ing dengan bahan ajar lain sampai saat ini adalah modul. Modul merupakan bahan ajar cetak yang dirancang untuk dapat dipelajari secara mandiri oleh siswa (Depdiknas, 2008: 3). Modul disebut juga mediauntuk belajar mandiri karena didalamnya telah dilengkapi petunjuk untuk belajar sendiri. Artinya, siswa dapat melakukan kegiatan belajar tanpa kehad-iran pengajar secara langsung. Bahasa, pola, dan sifat kelengkapan lainnya yang terdapat dalam modul ini diatur sehingga seolah-olah merupakan “bahasa pengajar” atau bahasa guru yang sedang memberikan pengajaran kepada murid-muridnya. Maka dari itulah, media ini sering disebut bahan instruksional mandiri. Pengajar tidak secara langsung memberi pelajaran atau mengajarkan sesuatu kepada para siswa dengan tatap muka, tetapi cukup dengan modul-modul ini.
Sebuah modul bisa dikatakan baik dan menarik apabila terdapat karakteristik sebagai berikut (Depdiknas, 2008: 3-5):
a. Self Instructional; yaitu melalui modul tersebut seseorang atau siswa mampu membelajarkan diri sendiri, tidak tergan-tung pada pihak lain.
b. Self Contained; yaitu seluruh materi pem-belajaran dari satu unit kompetensi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu modul secara utuh. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan kesempa-tan siswa mempelajari materi pembelaja-ran dengan tuntas, karena materi dikemas ke dalam satu kesatuan yang utuh.
c. Stand Alone (berdiri sendiri); yaitu modul yang dikembangkan tidak tergantung pada media lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan media pembela-jaran lain. Dengan menggunakan modul, siswa tidak tergantung dan harus menggu-nakan media yang lain untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika masih menggunakan dan bergantung pada media lain selain modul yang digunakan, maka media tersebut tidak dikategorikan sebagai media yang berdiri sendiri.
d. Adaptive; modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkemban-gan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul dapat menyesuaikan perkem-bangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel untuk pembelajaran. Dengan memperhatikan percepatan perkembangan ilmu dan teknologi, pengembangan modul multimedia hendaknya tetap “up to date”. Modul yang adaptif adalah jika isi materi pembelajaran dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu.
e. User Friendly; modul hendaknya bersaha-bat dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pe-makainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon, mengakses sesuai den-gan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, dan istilah yang umum dalam kehidupan merupakan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (research and development/ R&D) yang mengadaptasi pada pengemban-gan perangkat model 4-D (four D model) dikemukakan olehThiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974). Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan,yaitu Define, Design, Develop, and Disseminate yang dibatasi sampai pada tahap Develop.
Tahap Define atau pendefinisian adalah tahapan untuk menetapkan dan mendefinisi-kan kebutuhan-kebutuhan di dalam proses pembelajaran. Hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan kebutuhan pembelajaran antara lain mengenai kesesuaian kebutuhan pembelajaran dengan kurikulum yang ber-laku, tingkat atau tahap perkembangan siswa, dan menganalisis materi yang sesuai dengan kurikulum. Kemudian menetapkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, selanjutnya memilih dan menentukan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dipilih dan dikem-bangkan berupa modul berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak har-monik sederhana.
Tahap Develop dilakukan perancangan perangkat pembelajaran. Tahap perancangan ini terdiri dari pemilihan format, pengum-pulan referensi materi, dan membuat desain awal modul. Pemilihan format disesuaikan dengan format kriteria modul. Pada tahap ini disusun rubrik penyusunan modul yang berupa indikator metakognisi dan penerapan-nya dalam modul. Selain itu dilakukan pula pecancangan kisi-kisi instrumen dan instru-men penelitian yang akan digunakan dalam proses penilaian modul berbasis metakognisi oleh ahli media, ahli materi, dan guru fisika SMA/MA, serta uji coba terbatas maupun uji coba luas untuk mengetahui tanggapan siswa. Pengumpulan referensi materi ini dilakukan agar mendapatkan banyak sumber yang akurat untuk menyusun modul. Modul fisika berba-sis metakognisi disusun dengan menerpakan indikator-indikator metakognisi dalam modul.
Pada tahap ini dihasilkan desain awal modul berdasarkan rubrik penyusunan modul yang telah disusun.
Validasi produk bertujuan untuk mendap-atkan masukan dari validator baik kebenaran materinya maupun bentuk dan format draft modul sebagai media pembelajaran yang baik. Setelah divalidasi dan direvisi produk dinilai untuk mendapatkan penilaian dari ahli materi, ahli media, dan guru fisika SMA/MA me-nyangkut kualitas modul. Modul yang sudah dinilai memasuki tahap selanjutnya yaitu uji coba siswa. Uji coba dilakukan kepada siswa kelas XI IPA melalui dua tahap. Yang pertama adalah uji coba terbatas untuk mendapatkan gambaran awal tentang respon siswa terhadap modul yang sudah dihasilkan. Hasil uji terba-tas digunakan sebagai bahan masukan untuk menyempurnakan modul. Kedua uji coba luas untuk mengetahui respon siswa terhadap modul. Jika terdapat kekurangan dilakukan revisi pada Modul. Hasil revisi ini merupakan produk akhir.
HASIL
Penelitian ini telah berhasil menghasilkan produk berupa modul fisika berbasis meta-kognisi. Materi pokok yang disajikan dalam modul adalah elastisitas dan gerak harmonik sederhana. Fokus pengembangan modul adalah pada pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Berikut indikator-indikator metakognisi yang dikembangkan dalam modul.
Pengetahuan metakognitif a.
Mengidentifikasi sifat atau ciri masalah 1.
diterapkan dalam uraian materi. Mengkonstruksi hubungan antara 2.
pengetahuan yang telah dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya dit-erapkan dalam penyampaian uraian materi.
Menggunakan pengalaman sehari-3.
hari (kontekstual) diterapkan dalam penyampaian materi dan sekilas info fisika.
Elaborasi termuat dalam setian kegia-4.
tan belajar siswa.
Penggunaan dan pemilihan prosedur 5.
penyelesaian masalah yang tepat, ter-muat dalam uraian persamaan, contoh soal, dan latihan soal.
Pengalaman metakognitif b.
Merencanakan aktivitas belajar, dit-1.
erapkan pada bagian rencana belajar siswa.
Merangkum informasi yang sudah 2.
dipelajari, diterapkan pada jurnal belajar.
Refleksi siswa, diterapkan pada jurnal 3.
belajar.
Indikator metakognisi menurut Simon & Brown yang diterapkan dalam modul ada-lah:
Pengetahuan metakognitif a.
Memberi contoh, diterapkan dalam 1.
uraian materi, latihan, dan tugas. Mengetahui perbedaan, diterapkan da-2.
lam uraian materi, latihan, dan tugas. Mengetahui perbandingan antara yang 3.
satu dengan yang lain, diterapkan da-lam uraian materi, latihan, dan tugas. Mengetahui langkah-langkah apa yang 4.
akan dilakukan dalam penyelidikan, diterapkan dalam eksperimen seder-hana, latihan, dan tugas.
Mengetahui alasan mengapa melaku-5.
kan sesuatu, diterapkan dalam eksperi-men sederhana, latihan, dan tugas. Pengalaman metakognitif
b.
Memprediksi jawaban sementara 1.
dari masalah yang dihadapi sebelum melakukan penyelidikan lebih lanjut, diterapkan dalam eksperimen seder-hana, latihan, dan tugas.
Mengurutkan tahap-tahap yang akan 2.
dilakukan dalam pemecahan masalah, diterapkan dalam eksperimen seder-hana, latihan, dan tugas.
Mengecek jawaban dari hasil penye-3.
lidikan, diterapkan dalam eksperimen sederhana, latihan, dan tugas.
Memperbaiki kesalahan, diterapkan 4.
dalam eksperimen sederhana, latihan, dan tugas.
Menilai pencapaian tujuan, diterapkan 5.
dalam jurnal belajar.
Membuat kesimpulan, diterapkan da-6.
lam jurnal belajar.
Semua indikator metakognisi menurut Simon & Brown digunakan sebagai tujuan pembelajaran dalam setiap unit kegiatan belajar.
Berdasarkan hasil penilaian oleh 2 orang ahli materi, kualitas modul fi sika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana dikategorikan memiliki kualitas Sangat Baik (SB) dengan persentase keidealan sebesar 93,75%, Sangat Baik (SB) dengan persentase keidealan sebesar 95,63% berdasarkan 2 orang ahli media, dan Sangat Baik (SB) dengan persentase keidealan sebesar 80,25% menurut guru fi sika SMA.
Gambar 1. Hasil Penilaian Modul Metakognisi dari Ahli
Hasil tanggapan siswa uji coba terbatas terhadap modul fi sika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak har-monik sederhana terhadap 9 orang siswa kelas XI IPA memperoleh skor rata-rata 29,78 atau 87,58% dari skor ideal. Hasil uji terbatas menunjukkan bahwa kekurangan produk ini adalah pada daya tarik terutama pada sampul modul yang dianggap kurang menarik. Uji coba luas dilaksanakan pada dua kelas yaitu XI IPA 3 dan XI IPA 4. Jumlah responden pada uji luas adalah 55 orang memperoleh skor
rata-rata 22,82 atau 82,99% dari skor ideal. Tanggapan siswa terhadap modul fi sika berbasis metakognisi sangat baik dilihat dari komentar pada lembar masukan untuk siswa. Sebagai kesimpulannya, diberikan dua pilihan terhadap modul fi sika berbasis metakognisi yang telah dihasilkan. Pilihan tersebut adalah menarik dan tidak menarik. Seluruh siswa baik uji coba terbatas maupun uji coba luas yang berjumlah 64 orang memilih opsi menarik.
Gambar 2. Respon Siswa terhadap Modul Metakognisi
Kelebihan produk yang dikembangkan adalah:
Menyajikan konsep fisika pada meteri 1.
pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana secara kontekstual.
Materi disajikan dengan identifi kasi sifat 2.
dan ciri permasalah fi sika
Mengontruksi hubungan antara pengeta-3.
huan yang telah dipelajari dengan penge-tahuan sebelumnya
Memuat Kegiatan elaborasi 4.
Memuat rencana belajar siswa 5.
Memuat kegiatan refl eksi diri siswa 6.
Dapat digunakan dengan atau tanpa pen-7.
didik (tidak terbatas ruang dan waktu) Sedangkan kurangan dari produk yang dikembangkan adalah:
Daya tarik modul bagi siswa belum sep-1.
enuhnya dikatakan sangat baik
Kemampuan modul untuk digunakan seba-2.
gai media belajar yang berdiri sendiri be-lum sepenuhnya dikatakan sangat baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari pe-nelitian ini adalah
Telah dihasilkan produk berupa modul 1.
fisika berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana. Modul berisi materi fisika ting-kat SMA/MA yang di dalamnya memuat kemampuan metakognisi yang mengacu pada dua komponen metakognisi yaitu pengetahuan metakognitif dan pengala-man metakognitif.
Kualitas modul fisika berbasis metakog-2.
nisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana sangat baik (SB) berdasarkan penilaian 2 ahli materi dengan persentase 93,75% dari skor ideal, sangat baik (SB) berdasarkan penilaian 2 ahli media dengan persentase 95,63% dari skor ideal, dan sangat baik (SB) dengan persentase 80,25% dari skor ideal berdasarkan penilaian 3 orang guru fisika SMA/MA.
Respon siswa terhadap modul fisika 3.
berbasis metakognisi pada materi pokok elastisitas dan gerak harmonik sederhana memperoleh persentase sebesar 87,58% dari skor ideal pada uji coba terbatas dan 82,99% dari skor ideal pada uji coba luas.
Saran yang bisa disampaikan dari hasil penelitian ini adalah:
Penyampaian materi secara kontekstual 1.
lebih ditekankan semaksimal mungkin. Identifikasi sifat dan ciri permasalahan 2.
fisika dibuat semenarik mungkin agar siswa tidak jenuh membacanya.
Modul harus diperkaya dengan ilustrasi 3.
dan gambar yang mendukung.
Penggunaan kata diupayakan seefektif 4.
mungkin agar pesan dapat sampai kepada pembaca dan tidak memakan tempat. Sebaiknya dikembangkan pula dengan 5.
perangkat penilaian metakognisi.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D. & Nashon, S. (2006). Predators of Knowledge Construction: Interpreting Students’ Metacognition in an Amusement Park Physics Program. Wiley Periodicals, Inc. Science Education DOI 10.1002/ sce.
Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (2010). Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen (Revisi Tak-sonomi Pendidikan Bloom). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Campbell, J. (2007). Using Metacogs to Col-laborate with Students to Improve Teach-ing and LearnTeach-ing in Physics. Educational Insights Volume 11, Number 2.
Chun Yi Shen & Hsiu Cuan Liu. (2011). Metacognitive Skills Development: A Web-Based Aprroach in Higher Education. The Turkish Online Journal of Educational Technology, Volume 10 Issue 2.
Dosoete, A. (2007). Evaluating and Improv-ing The Mathematics TeachImprov-ing-LearnImprov-ing Process Through Metacognition. Elec-tronic Journal of Research in Educational Psychology. 5, (13), 705-730.
Georghiades, P. (2000). Beyond Conceptual Change Learning in Science Education: Focusing on Transfer, Durability and Metacognition. Educational Research, 42 (2), 119-139.
Gok, T. (2010). The General Assessment of Problem Solving Proscesses and Meta-cognition in Physics Education. Eurasian Journal of Physics and Chemistry Educa-tion 2(2): 110-122, 2010.
Heller, K., & Heller, P. (1999). Problem-Solving Laboratories. Cooperative Group problem-solving in physics. University of Minnesota.
Joyce, Bruce dan Marsha Weil. 1996. Models of Teaching. New York: Prentice-Hal. Livingston, J. (1997). Metacognition: An
Overview. Diambil pada tanggal 5 febru-ari 2012, dfebru-ari http://gse.buffalo.edu/fas/ shuell/CEP564/Metacog.htm.
Manavipour, D. (2012). Metacognition Test for Iranian Students. Greener Journal of Education Research, Vol. 2 (1), pp. 001-006.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Rebello, N. S. & Zollman, D. A. (2005). Trend in Physics Education Research. Depart-ment of Physics, Kansas State University, Manhattan, KS 66506-2601.
Sears & Zemansky. (2000). Fisika Universitas Edisi Kesepuluh Jilid 2 Young and Freed-man. Jakarta: Erlangga.
Simanjutak, M. P. (2012). Pengembangan Model Pembelajaran Fisika Dasar Berba-sis Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognisi dan Pemaha-man Konsep Mahasiswa. Disertasi doctor,
tidak diterbitkan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Surya Dharma. (2008). Penulisan Modul. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan, Dirjen PMPTK.
Thiagarajan, S., Semmel, D. S. & Semmel, M. (1974). Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Source Book. Bloominton: Center for Innovation on Teaching the Handicapped.
Tipler. (1998). Fisika untuk Sains dan Teknik Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab II Pasal 3 Usman Mulbar. (2008). Metakognisi Siswa
dalam Menyelesaikan Masalah Matema-tika. Makalah Pendidikan. FMIPA UNM Makasar.