• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan persoalan, serta tujuan dan sasaran studi. Uraian dalam bab ditujukan untuk mengantarkan pembaca pada penelitian yang dikerjakan. Bab ini juga memberikan ruang lingkup bagi pelaksanaan penelitian serta metode studi yang dilakukan yang mencakup pendekatan studi, metode analisis data dan metode pengumpulan data. Dengan membaca Bab Pendahuluan ini, pembaca mendapatkan aspek-aspek kunci dari penelitian secara sepintas, seperti alasan mengapa studi ini penting untuk dilakukan.

I.1 Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir tiap tahun di Indonesia. Kebakaran hebat pernah terjadi pada tahun 1997/1998 yang tidak hanya menimbulkan dampak asap di negara Indonesia, namun juga mempengaruhi kualitas udara negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Kebakaran yang terjadi di Indonesia ini sangat terkait dengan aktivitas pembersihan dan penyiapan lahan yang diperuntukkan terutama untuk tanaman-tanaman perkebunan. Suatu penelitian (Glover dan Jessup, 2002) menyebutkan bahwa kebakaran tahun 1997/1998 secara konservatif telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$ 4,47 milyar (perhitungan di tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura). Angka ini tidak termasuk beberapa kerugian yang sulit diukur dalam bentuk uang seperti kematian, dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan berbagai bentuk hilangnya keanekaragaman hayati. Untuk menangani permasalahan ini, maka Indonesia telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menerbitkan berbagai produk hukum seperti undang-undang, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksana dan memperkuat kapasitas institusi pengendali kebakaran hutan di berbagai tingkat pemerintahan (nasional, propinsi dan kabupaten/kota).

(2)

Usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melibatkan banyak lembaga/institusi, mulai dari lembaga pemerintah sampai organisasi non-pemerintah. Banyaknya lembaga tersebut menimbulkan banyak persoalan, seperti sulitnya koordinasi dan tumpang tindihnya wewenang. Seperti yang dilaporkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (1998) sedikitnya ada 6 (enam) masalah kelembagaan, yaitu : (1) sentralistik yang mengakibatkan keputusan penanggulangan menjadi lambat, (2) banyaknya organisasi menyulitkan koordinasi, (3) tumpang tindih kepemimpinan, (4) pola kepemimpinan yang bersifat non-struktural sehingga mengabaikan prinsip profesionalisme dan pendelegasian wewenang, (5) sifat kelembagaan yang ad-hoc sehingga menimbulkan inefisiensi dan (6) pengerahan satuan tugas pengendali kebakaran yang masih bersifat mobilisasi dan instruksional.

Selain permasalahan di atas, masih banyak lagi persoalan-persoalan kelembagaan yang perlu diperbaiki, salah satunya adalah belum adanya manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi. Peraturan atau pun program institusi masih lebih merefleksikan pendekatan sektoral dalam menangani kebakaran hutan dan lahan daripada pendekatan yang sifatnya integral (Simorangkir dan Sumantri, 2002:35). Padahal sesungguhnya pengelolaan bencana haruslah bersifat terpadu yang dapat mengarahkan semua stakeholder dari pengelolaan bencana sub-sektor ke sektor silang. Pengelolaan bencana terpadu meliputi tiga elemen penting, yaitu the enabling environment (suatu pengkondisian yang memungkinkan terjadi), peran-peran institusi (institutional roles) dan alat-alat manajemen (management instruments) (Kodoatie dan Sjarief, 2006:78).

Permasalahan lainnya adalah upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang lebih fokus kepada upaya yang bersifat pemadaman daripada pencegahan. Meskipun peraturan yang ada memberikan dukungan terhadap upaya pencegahan daripada pemadaman, namun kenyataan yang terjadi adalah berbeda, contohnya adalah institusi-institusi di setiap jenjang pemerintahan (nasional/propinsi/kabupaten/kota) bertindak jika kebakaran sudah terjadi dan bukan sebelumnya. Selain itu program-program jangka pendek yang dijalankan oleh institusi tersebut lebih mencerminkan upaya pemadaman daripada

(3)

pencegahan. Lainnya adalah komitmen atau kemauan untuk mengalokasikan sumberdaya (manusia, dana, peralatan, teknologi) terhadap upaya pencegahan lebih rendah dibandingkan upaya pemadaman (Simorangkir dan Sumantri, 2002: 36). Seperti yang dinyatakan oleh Osborne dan Gaebler (1992) pada prinsip-prinsip kelembagaan yang dikemukakannya disebutkan bahwa seharusnya suatu kelembagaan bersifat antisipatif artinya lebih mementingkan tindakan preventif daripada tindakan kuratif. Selain itu juga mementingkan sinergi dan keterpaduan baik dari segi program maupun keterlibatan seluruh unsur kelembagaan yang berkepentingan (Institutional Stakeholders).

Pendekatan penanggulangan bencana (disaster management) yang seharusnya dilakukan adalah bersifat kontinyu karena penanggulangan bencana adalah suatu proses yang dinamis yang secara umum mencakup pengelolaan fungsi perencanaan, organisasi, personel, kepeloporan dan pengendalian. Carter (1991) menyatakan bahwa pada daur penanggulangan bencana seharusnya mencakup kegiatan-kegiatan yang terdiri dari pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), pengendalian/tanggap darurat (response), pemulihan (recovery) dan pengembangan (development). Pendekatan lainnya tentang pengelolaan bencana menyebutkan bahwa pengelolaan bencana adalah suatu siklus yang meliputi empat aspek yaitu Jauh Sebelum Bencana, Pra-Bencana Sampai Menjelang Pra-Bencana, Saat Pra-Bencana dan Pasca Pra-Bencana (Kodoatie dan Sjarief, 2006). Sedangkan pengelolaan bencana kebakaran hutan dan lahan yang lebih spesifik dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan yang memuat aspek-aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan serta peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Memperhatikan masih banyaknya permasalahan yang harus diselesaikan, maka pemerintah harus secara kontinyu berupaya memperbaiki kelembagaan penanggulangan bencana kebakarannya. Di sisi lain adanya komitmen baru di tingkat regional, yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang perlu ditindaklanjuti oleh Indonesia memberikan sebuah peluang untuk lebih memacu perbaikan dan penguatan kelembagaan tersebut. Melalui

(4)

Persetujuan ini diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan komitmen yang ada pada Persetujuan tersebut guna peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaannya dalam menangani kebakaran hutan dan lahan.

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)1 ditandatangani pada tanggal 10 Juni 2002 dan telah berlaku (entry into force) pada tanggal 25 November 2003 setelah sedikitnya 6 (enam) negara meratifikasinya. Persetujuan ini mengatur pencegahan, pemantauan dan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang menimbulkan pencemaran asap lintas batas Negara. Pemerintah Indonesia saat ini dalam proses untuk meratifikasi Persetujuan ini ke dalam peraturan perundang-undangan.

Memperhatikan secara menyeluruh terhadap isi Persetujuan tersebut, maka Indonesia tidak hanya harus memenuhi ketentuan yang ada pada butir-butir Persetujuan (AATHP) namun juga mendapatkan peluang dari pemberlakuan Persetujuan ini. Peluang tersebut diantaranya adalah mendapatkan bantuan materil dan/atau immateril yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kapasitas pengendalian kebakaran hutan dan lahan, mendapatkan momentum untuk mengembangkan peraturan nasional, kelembagaan, infrastruktur dan sarana teknis pengendalian kebakaran, dan mendapatkan “pelajaran berharga” dari pihak lain (negara lain) khususnya pada aspek-aspek yang belum dikuasai sepenuhnya oleh Indonesia seperti pengadopsian pengetahuan atau ilmu terapan tertentu yang terkait dengan pengendalian kebakaran2. Selain itu pada butir-butir Persetujuan juga terdapat hal-hal yang dapat mendorong upaya pengendalian kebakaran di Indonesia menjadi lebih baik, seperti pada aspek Pencegahan yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib mengembangkan dan melaksanakan tindakan legislatif dan peraturan lainnya, maupun program dan strategi untuk mempromosikan kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar sehubungan dengan kebakaran lahan dan/atau hutan yang mengakibatkan pencemaran asap lintas batas. Hal ini dapat

1

Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas bertujuan untuk mencegah dan memantau pencemaran asap lintas batas sebagai akibat dari kebakaran lahan dan/atau hutan yang harus ditanggulangi, melalui upaya nasional dan mengintensifkan kerjasama regional dan internasional.

2

Seperti yang disampaikan oleh Deputi VI MENLH pada Lokakarya Kebijakan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Permasalahan dan Tantangan serta kecenderungan ke depan, Juli 2004, Palembang

(5)

menjadi sebuah momentum penting guna pengembangan peraturan nasional demi mendukung pemberlakuan Persetujuan tersebut.

I.2 Rumusan Persoalan

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun di wilayah Sumatera dan Kalimantan dapat mengakibatkan pencemaran asap lintas batas negara. Pencemaran asap tersebut dapat merugikan kesehatan, mencemari lingkungan dan merusak ekosistem serta mengganggu transportasi.

Indonesia telah melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan, namun untuk penanganan pencemaran asap lintas batas negara, Indonesia beserta negara ASEAN lainnya menyadari bahwa pencegahan dan penanggulangannnya harus dilakukan secara bersama-sama. Alasan perlunya kerjasama antar negara didasari persamaan kepentingan dalam menghadapi berbagai kendala seperti kurangnya teknologi untuk penanganan kebakaran, lemahnya kelembagaan, dan kondisi ekonomi beberapa negara ASEAN. Berpijak pada latar belakang tersebut, maka Indonesia dan negara ASEAN lainnya sepakat untuk mengatasi permasalahan kebakaran dan dampak asapnya bersama-sama yang diwujudkan melalui penandatanganan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) pada tanggal 10 Juni 2002.

Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas telah berlaku sejak 25 November 2003, namun bencana kebakaran dan asap yang menimbulkan pencemaran asap lintas batas negara ASEAN yang terjadi pada tahun 2005 dan 2006 yang lalu membuktikan bahwa Indonesia belum memanfaatkan dan melaksanakan AATHP ini sebaik-baiknya untuk memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahannya. Padahal dengan pemberlakuan AATHP tersebut telah memberikan peluang bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkannya guna memacu perbaikan persoalan kelembagaan di Indonesia melalui upaya di tingkat nasional serta mengintensifkan kerjasama regional dan internasional.

Berdasarkan uraian di atas, maka persoalan yang akan diangkat dalam studi ini adalah berkaitan dengan upaya untuk lebih mengenali implikasi

(6)

kelembagaan dari pemberlakuan AATHP. Dengan diketahuinya bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP khususnya yang dapat mendorong perbaikan persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia maka diharapkan Indonesia dapat lebih mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan serta dampak asapnya. Untuk mengetahui hal tersebut maka selain diperlukan kajian terhadap isi AATHP, juga diperlukan kesamaan pendapat dari para stakeholder terkait. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian studi ini adalah “bagaimana merumuskan implikasi kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution” ?

I.3 Tujuan dan Sasaran Studi

Berdasarkan latar belakang dan rumusan persoalan yang diuraikan di atas maka studi ini bertujuan untuk merumuskan implikasi kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas). Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu dicapai beberapa sasaran sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia,

b. Merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP,

c. Menentukan responden yang mencerminkan unsur stakeholder yang terkait dengan pelaksanaan AATHP,

d. Menentukan kesamaan pendapat para responden terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP,

e. Menentukan pendapat peneliti terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP.

I.4 Ruang Lingkup Studi

Penelitian ini dilakukan dengan membatasi ruang lingkup studi, baik dalam arti ruang lingkup materi bahasan (substantif) maupun ruang lingkup wilayah otoritas.

(7)

I.4.1 Lingkup Materi Bahasan

Secara substantif, studi ini mencoba merumuskan implikasi kelembagaan atas pemberlakuan AATHP. Hasil analisis tersebut berguna untuk menentukan implikasi kelembagaan atas AATHP ditinjau dari persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran dan isi AATHP. Penelitian ini hanya dibatasi pada analisis untuk mengenali persoalan-persoalan kelembagaan apa saja yang dapat dipacu perbaikannya melalui pemberlakukan AATHP.

Implikasi kelembagaan yang dianalisis dibatasi pada bentuk-bentuk implikasi kelembagaan yang diidentifikasi dapat memacu perbaikan persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia secara internal beserta perangkat kelembagaan yang terdapat dalam AATHP yang juga dapat mempengaruhi perbaikan persoalan kelembagaan di Indonesia.

Kelembagaan yang dianalisis dalam studi ini dibatasi pada kelembagaan yang bersifat formal (kesepakatan) dan prosedural beserta jaringan dukungan yang dikembangkan di dalamnya secara terorganisasi, termasuk program, sumberdaya dan struktur intern.

Faktor eksternal, yaitu pengaruh-pengaruh non kelembagaan yang mungkin juga dapat mempengaruhi kelembagaan penanggulangan kebakaran secara internal di Indonesia tidak dianalisis dalam studi ini dengan alasan studi ini hanya memfokuskan kepada upaya untuk lebih mengenali bentuk-bentuk implikasi kelembagaan atas AATHP yang dapat memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut pandangan stakeholder di Indonesia, khususnya implikasi kelembagaan yang langsung bersinggungan dengan persoalan kelembagaan penanggulangan kebakaran di Indonesia.

Studi ini tidak dimaksudkan untuk mendukung atau tidak mendukung pemberlakuan AATHP namun hanya untuk mengetahui bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP yang dapat memberikan implikasi dalam memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

(8)

I.4.2 Lingkup Wilayah Otoritas

Studi ini akan memfokuskan pada penggalian kesamaan pendapat responden pada institusi-institusi di tingkat pusat (nasional) saja. Hal ini dengan beberapa pertimbangan atau alasan sebagai berikut :

1. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) merupakan Perjanjian Internasional dan pemerintah pusat merupakan pihak yang menjadi anggota AATHP tersebut sehingga pemerintah pusatlah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan AATHP. Pemerintah propinsi, kabupaten atau kota perlu menyesuaikan diri dengan komitmen yang telah disepakati di dalam AATHP tersebut.

2. Perangkat kelembagaan implementasi AATHP (National Focal Point, National Monitoring Centre dan Competent Authorities) yang telah ditunjuk dan ditetapkan melekat pada institusi-institusi di tingkat pusat (nasional). 3. Meskipun kebakaran hutan dan lahan terjadi di daerah, namun segala hal

yang berkaitan dengan implementasi AATHP seperti ketentuan pemberian bantuan sumberdaya dan kerjasama teknis yang melibatkan pemerintah daerah harus tetap melibatkan pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan.

4. Adanya ketentuan mekanisme pemberian bantuan dari negara ASEAN lainnya atau dunia internasional yang ada pada saat tanggap darurat bencana yang ada pada AATHP sangat berkaitan dengan penetapan bencana yang diputuskan oleh pemerintah pusat.

I.5 Metode Studi

Pada bagian ini akan dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan studi, metode analisis data dan metode pengumpulan data yang dipilih untuk mencapai tujuan studi.

I.5.1 Pendekatan Studi

Pendekatan studi yang dilakukan melalui metode eksploratif. Metode eksploratif menurut Kuntjaraningrat (1996) adalah metode penelitian yang digunakan untuk menggali dan lebih mengenal terhadap suatu fenomena atau

(9)

gejala yang akan diteliti. Dalam studi ini dimaksudkan untuk menggali dan memperdalam pengetahuan baik dari isi AATHP maupun pendapat dari para stakeholder mengenai bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari AATHP yang dapat memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia.

I.5.2 Metode Analisis Data

Dalam mencapai tujuan studi, maka peneliti menggunakan metode analisis sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan

Untuk mengidentifikasi persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan, maka dilakukan penelusuran literatur untuk mengetahui persoalan-persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan yang ada di Indonesia. Setelah melakukan penelusuran terhadap literatur, maka dilakukan identifikasi persoalan kelembagaan melalui pengamatan terhadap kesamaan pendapat diantara berbagai literatur yang menjadi rujukan.

2. Merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP

Untuk merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP, maka dilakukan content analysis (kajian isi), yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis (Muhadjir, 1989). Kajian isi dilakukan untuk mengetahui implikasi kelembagaan yang dapat dipacu perbaikannya melalui pemberlakuan AATHP.

3. Menentukan responden yang mencerminkan unsur stakeholder yang terkait dengan pelaksanaan AATHP

Untuk mengetahui pendapat responden terhadap implikasi kelembagaan atas pemberlakuan AATHP maka perlu menentukan responden yang dianggap mencerminkan unsur stakehoder yang terkait dengan pelaksanaan AATHP. Untuk mencerminkan unsur-unsur stakeholder dalam tata pemerintahan yang baik, maka responden tersebut akan diambil dari unsur-unsur sebagai berikut :

(10)

(a) unsur pemerintah dalam hal ini yang terkait dengan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di tingkat nasional. Penentuan institusi yang dipilih didasarkan atas tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku serta kelembagaan yang ada pada AATHP, sedangkan pemilihan responden ahli didasarkan kepada keterlibatannya dalam forum pertemuan nasional dan regional yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan AATHP, (b) unsur DPR pusat. Pemilihan responden didasarkan kepada keterlibatannya dalam membahas RUU Pengesahan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (AATHP) dan RUU Penanggulangan Bencana, (c) unsur swasta (dunia usaha) yang bergerak dalam usaha kehutanan atau perkebunan, dan (d) unsur organisasi masyarakat (LSM) di tingkat nasional yang intensif mencermati masalah-masalah lingkungan dan penanggulangan bencana di Indonesia.

4. Menentukan kesamaan pendapat para responden terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP

Untuk dapat menentukan kesamaan pendapat maka dilakukan eksplorasi (penggalian pendapat) terhadap para responden dengan menggunakan metode Delphi. Metode Delphi yang digunakan adalah Metode Delphi Conventional. Metode Delphi dipilih karena teknik ini sangat tepat digunakan untuk memecahkan masalah yang rumit. Salah satu masalah yang sifatnya rumit adalah bahwa alternatif kebijakan dan konsekuensinya tidak dapat diketahui. Teknik Delphi adalah prosedur peramalan pendapat untuk memperoleh, menukar, dan membuat opini tentang peristiwa di masa depan (Dunn, 1999 : 366). Harold dan Turrof (1975) menjelaskan terdapat satu atau lebih ciri yang menentukan perlunya digunakan meteode Delphi. Ciri tersebut diantaranya adalah pemecahan membutuhkan pendapat dari individu-individu dengan latar belakang yang berbeda seperti pengalaman dan keahlian dan permasalahan yang dihadapi tidak memungkinkan untuk menggunakan metode analisis tertentu tetapi melalui pendapat-pendapat subyektif yang diberikan secara kolektif. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penggunaan metode ini sangat tepat digunakan untuk studi ini.

(11)

5. Menentukan pendapat peneliti terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP Untuk menentukan pendapat peneliti terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP, maka akan diberikan pendapat peneliti baik terhadap pendapat yang memiliki kesamaan maupun tidak diantara para responden yang diperoleh melalui metode Delphi. Pendapat yang diberikan selain didasarkan kepada ketentuan yang ada pada AATHP, juga didasarkan kepada ketentuan yang sudah berlaku sebelum adanya AATHP. Dari analisis ini, diharapkan bisa terumuskan implikasi kelembagaan secara menyeluruh atas AATHP.

I.5.3 Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh dan mengumpulkan data, ada beberapa metode yang digunakan dalam studi ini. Metode tersebut adalah :

1. Survei Data Primer

a. Kegiatan wawancara semi terstruktur kepada para responden yang mencerminkan unsur stakeholder yang terkait dengan pemberlakuan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Wawancara dilakukan untuk menggali pendapat responden mengenai implikasi kelembagaan atas AATHP.

b. Penyebaran kuisioner umpan balik tahap II dan III kepada responden yang sama pada wawancara eksploratif tahap pertama.

2. Survei Data Sekunder

Survei data sekunder dilakukan untuk memperoleh data-data atau dokumen mengenai ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution serta peraturan perundangan yang terkait dengan tugas dan fungsi institusi yang terkait dengan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan.

3. Survei Literatur

Survei literatur dilakukan untuk memperoleh informasi tentang persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan.

I.6 Sistematika Pembahasan

Secara garis besar sistematika pembahasan dalam penyusunan tesis ini memuat substansi sebagai berikut :

(12)

Bab 2 Kajian Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan dan Perumusan Implikasi Kelembagaannya Berdasarkan Isi AATHP

Bab ini berisikan mengenai tinjauan literatur kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan dan persoalannya, perumusan persoalan kelembagaan, sejarah serta kelembagaan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) serta rumusan awal implikasi kelembagaan berdasarkan persoalan kelembagaan dan isi AATHP.

Bab 3 Analisis Penentuan Responden dan Implikasi Kelembagaan atas AATHP (ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION)

Pada bab ini membahas penentuan responden yang terkait dengan pemberlakuan AATHP, hasil pengolahan implikasi kelembagaan atas AATHP berdasarkan pendapat responden serta pendapat peneliti

Bab 4 Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini berisi temuan studi, kesimpulan, kelemahan studi yang mempengaruhi hasil studi serta saran studi lanjutan yang diperlukan.

(13)

Gambar I.1 Kerangka Pemikiran Studi

Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan lahan

memilki banyak persoalan

Perlu kesamaan pendapat stakeholder tentang implikasi kelembagaan atas AATHP

Pendapat para responden Hasil Umpan Balik Tahap III Pendapat para responden Hasil Umpan Balik Tahap II

Identifikasi Persoalan Kelembagaan Berlakunya ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (AATHP) menimbulkan implikasi kelembagaan

Melakukan studi literatur terhadap persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran

Melakukan Kajian Isi terhadap isi AATHP untuk merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP

Check List Wawancara

Eksploratif Perlu perumusan implikasi kelembagaan atas

AATHP

Rekomendasi terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP Pemerintah Legislatif Dunia Usaha Masyarakat

Penentuan responden yang mencerminkan unsur stakeholder

Daftar Implikasi kelembagaan Hasil Eksplorasi Tahap I

Wawancara Eksploratif (Delphi Tahap I)

Umpan Balik Tahap III Umpan Balik Tahap II Para Responden yang mencerminkan unsur stakeholder

Sintesis terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP berdasarkan Kajian Isi dan Metode Delphi

Gambar

Gambar I.1   Kerangka Pemikiran Studi

Referensi

Dokumen terkait

In terms of faculty driven by different motivations be- fore and after receiving tenure, our results indicate that, for pretenured faculty, research productivity is dominated by

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki, dengan lesi terdiri dari beberapa tipe, bervariasi dari ringan, kronis

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari dan mengakui bahwa banyak sekali kesulitan-kesulitan yang penulis temui, namun berkat ketekunan, kesabaran, serta atas

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan membaca teks narasi untuk siswa kelas delapan SMP N

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Dalam konstruksi berkelanjutan tidak cukup hanya tiga aspek tersebut, namun harus dipikirkan pula aspek lain yaitu sumberdaya yang digunakan dalam proyek konstruksi, emisi