• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Ja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Ja"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja

dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air

Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang

Oleh: Fitria Dian Istianie 105120401111011

Program Studi Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya

(2)

i

HALAMAN PERSETUJUAN

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air

SKRIPSI

Disusun Oleh: Fitria Dian Istianie NIM.105120401111011

Telah disetujui oleh dosen pembimbing :

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si NIP. 197908082014042001

Tanggal: 14 November 2014

Mengetahui,

Ketua Program Studi Hubungan Internasional

(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air

SKRIPSI Disusun Oleh: Fitria Dian Istianie NIM. 105120401111011

Telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam ujian Sarjana Pada tanggal: 19 Oktober 2014

Ketua Majelis Penguji Sekretaris Majelis Penguji

Aswin Ariyanto Azis, S.IP.,MdevSt Yustika Citra Mahendra, S.Sos.,MA

NIP. 197802202010121001 NIK. 840823 11 1 1 0335

Anggota Majelis Penguji I Anggota Majelis Penguji II

Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si

NIP. 197908082014042001

Malang,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

(4)

iii

SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI

Nama: Fitria Dian Istianie NIM: 10512040101111011

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skirpsi berjudul: Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut telah diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut tidak benar,

saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut.

Malang, 8 Oktober 2014

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan Strata 1 Hubungan Internasional. Terselesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasi sebesar-besarnya kepada:

1.Mama Irma Khuswardani, Alm Papa Djajoeswadi, Abah Malik Ibrahim, Kakak Brigita Julita, Adek Agatha Valerie terkasih dan tersayang yang selalu

memberikan semangat serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan. Terimakasih semuanya. Keluarga terbaik yang paling berarti dalam hidup penulis.

2.Ibu Henny Rosalinda, S.IP, M.A selaku dosen pembimbing pertama yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan serta semangat bagi

penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

3.Ibu Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan banyak sekali masukan dan arahan bagi penulis untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Aswin Ariyanto Azis, S.IP, M.DevSt selaku dosen penguji I dan Bapak

(6)

v

6. Andrea, Christine, dan Vrizza selaku sahabat penulis yang selalu mendukung dan senantiasa menghibur penulis

7. Yoki, Danny, dan Fahril selaku teman-teman jurusan Hubungan Internasional

lainnya yang membuat masa perkuliahan penulis semakin berkesan.

8. Reynaldi Angga Pratama selaku teman spesial penulis yang selalu mendengar

keluh kesah dan menghibur penulis.

9. Teman-teman @daisy_official yang selalu berbagi kisah lewat musik dan mewarnai hari-hari di masa penulisan skripsi dengan gigs yang seru.

10. Sevensoul selaku sahabat-sahabat nan jauh disana yang selalu mendukung dan menginspirasi penulis

11. Tanjung Indraswari, Galih Mehaga Ginting, Dimas Nugroho, Rama Dimas, Tommi Prastawa, Dhia Lestari dan gentyo-gentyo lainnya yang selalu menghibur dan menginspirasi penulis.

Demikianlah kata pengantar dari penulis, semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca. Akhir kata skripsi ini penulis persembahkan bagi keluarga dan yang tersayang. Terimakasih.

Work More Than Others, Think More Than Others, and Expect Less Than Others

William

Shakespeare,-Malang,19 November 2014

(7)

vi

ABSTRAK

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air”

Penelitian ini berupaya untuk menganalisis “bargaining power” antara

host dan MNC, yaitu Pemprov DKI Jakarta sebagai host dan PT Palyja sebagai

MNC. Adanya dampak-dampak dari privatisasi perusahaan air Jakarta seperti kenaikan tarif dan hutang PAM Jaya yang semakin menumpuk adalah hasil dari

negosiasi kontrak yang selama ini dijalankan oleh kedua belah pihak. Hasil dari negosiasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta tentunya tidak terlepas dari adanya

penentuan “bargaining power” antara ke-dua aktor. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan menganalisis dan menggambarkan mengenai “bargaining power” antara Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi

kontrak privatisasi perusahaan air.

Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,

(8)

vii

ABSTRACT

This research attempts to analyze Bargaining Power about two actors.

Pemprov DKI Jakarta as a host country and PT Palyja as a MNC. The effect

about privatization Jakarta such as the increases water price and the increases of

PAM Jaya debt are related with negotiation contract by two actors. The result

about negotiation, include the unequal distribution benefit about host and MNC

bring back to question about what determines the bargaining power of host

countries and Foreign Investor. Furthermore, this research will explain the

determinan of bargaining power of Pemprov DKI Jakarta as a host country and

PT Palyja as a MNC in contract negotiation water privatization Jakarta.

Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

1.4Manfaat Penelitian ... 12

BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulu... 13

2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Konsep Bargaining Power... 17

2.2.2 Operasionalisasi Konsep ... 22

3.3 Teknik Pengumpulan Data... 28

3.4 Sistematika Penulisan... 28

BAB IV. GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA 4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta... 31

(10)

ix

4.2.1 Prinsip dan Tanggung Jawab Kerjasama ... 38

4.2.2 Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya ... 40

4.2.3 Target Teknis dan Standart Pelayanan... 42

4.3 Aktor yang Terlibat dalam Kontrak Privatisasi Air Jakarta ... 44

4.3.1 PAM Jaya ... 44

4.3.2 Palyja... 47

BAB V. ANALISIS BARGAINING POWER PEMPROV DKI JAKARTA dan PT PALYJA DALAM NEGOSIASI KONTRAK PRIVATISASI AIR JAKARTA 5.1 Characteristic of Project 5.1.1 Tingkat Investasi Palyja... 52

5.1.2 Ongkos Biaya Palyja... 58

5.1.3 Tingkat Teknologi yang di gunakan PALYJA ... 62

5.1.4 Variasi produk pengganti dari air bersih... 65

5.2 Characteristic of Host 5.2.1 Kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam Bernegosiasi ...67

5.2.2 Jumlah Penduduk Jakarta yang menggunakan air Palyja.... 70

5.2.3 Tingkat mobilisasi masyarakat kota Jakarta... 73

5.2.4 Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih di Jakarta ... 77

5.3 Exogenous Factor 5.3.1 Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001... 82

5.3.2 Pesaing Suez Environment di level Global... 87

5.4 Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ... 93

BAB VI: PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 100

6.2 Saran 6.2.1 Saran Bagi Pembuat Kebijakan ... 102

6.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 102

(11)

x

DAFTAR BAGAN

GAMBAR HALAMAN

1. Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta... 35

2. Pembagian wilayah antara Palyja dan Thames Pam Jaya... 79

TABEL

1. Operasionalisasi Konsep... 24

2. Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya dalam kontrak

Privatisasi Air Jakarta... 41

3. Standart dan Teknis Pelayanandalam kontrak Privatisasi Air

Jakarta... 42

4. Investasi PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya

1998-2008... 53

5. Ongkos Biaya PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya

1998-2002... 60

6. Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun

1992-2009... 71

7. Daftar Perusahaan Multinasional sektor air bersih di seluruh

dunia... ... 88

8. Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam

Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air... 93

GRAFIK

1. Trend FDI di Indonesia tahun

(12)

xi

2. Pertumbuhan FDI di ASEAN tahun

1990-2008... 85

3. Data Penjualan Volume Air oleh Perusahaan Multinasional air bersih di

Dunia... 89

4. Joint Venture antara Perusahaan Multinasional di dunia ...91

(13)

xii

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

FDI : Foreign Direct Investment

GDF : Gaz De France

MNC : Multi National Corporation

MOU : Memorandum Of Understanding

NGO : Non-Govermental Organization

Palyja : Perusahaan Air Minum Lyonaaise Jaya

PAM Jaya : Perusahaan Air Minum Jakarta

PEMPROV DKI : Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

PMA : Perusahaan Multinasional Asing

SK : Surat Keputusan

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Perusahaan Multinasional atau MNC adalah salah satu aktor baru dalam

kajian Hubungan Internasional pasca perang dingin. Kehadiran MNC juga disebut

sebagai pemain kunci (central players)1 karena peran dan pengaruhnya yang

semakin kuat dalam tatanan ekonomi global. Dalam perkembangannya, MNC

memiliki beberapa strategi untuk dapat masuk ke dalam sebuah negara. Diantaranya adalah dengan membentuk cabang perusahaan dengan menggunakan

modal sendiri, membeli saham perusahaan nasional di sebuah negara, dan berpartisipasi dalam pengelolaan perusahaan nasional melalui program privatisasi2

Privatisasi merupakan salah satu bentuk neo-liberalisme yang sempat mendominasi kebijakan pembangunan di awal tahun 1980-an. Indonesia sebagai negara berkembang, juga mengikuti trend privatisasi tersebut termasuk di sektor

air. Privatisasi perusahaan air di Indonesia dipelopori oleh munculnya The Dublin Statement on Water and Sustainable Development yang diselenggarakan di

Dublin, Irlandia tahun 1992. Dublin Statement on Water and Sustainable Development atau yang biasa disebut dengan Dublin Principles memuat 4 prinsip

1 Sorcha Macleod and Douglas Lewis, Transnasional Corporations: Power, Influence, and Responsibility (London:Global Social Policy ,vol.4,2004) hal 77. Melalui

http://www.uk.sagepub.com/suder/Chapter%2010%20-%20Macleod%20&%20Lewis.pdf (diakses 7 Februari 2014)

2 Thomas M. Leonard, Encyclopedia Of The Developing World (New york:Routledge, vol.1,2006)

(15)

2

terkait kebijakan dan pembangunan di sektor sumber daya air3. Salah satu isi dari

prinsip tersebut adalah air memiliki nilai ekonomi dan keberadaan air harus diakui

sebagai barang ekonomi.

World Bank sendiri pada tahun 1993 mengeluarkan kebijakan “Water Resource Management Policy” yang berisi dukungan reformasi bagi

negara-negara peminjam dana untuk membantu dan mengupayakan sistem pengelolaan

sumber daya air di masing-masing negara4. Kebijakan tersebut mencakup

kerangka kerja berdasarkan prioritas yang paling dibutuhkan (perencanaan

holistik), sistem perundang-udangan yang menunjang terjadinya perubahan partisipasi dan desentralisasi, serta permasalahan keuangan dari air bersih dan kegunaannya dalam berkompetisi (air sebagai barang ekonomi). Semenjak

diberlakukannya kebijakan ini, tingkat pinjaman Bank Dunia di sektor air semakin meningkat. Total pinjaman bank dunia dalam bidang air adalah sebanyak

US$ 17 milyar5. Dari tahun 1993-2001 sekitar 17 persen anggaran Bank Dunia

adalah untuk proyek-proyek yang berhubungan dengan sumber daya air.

Dalam privatisasi air Jakarta sendiri, Lembaga Internasional turut

memberikan bantuan teknis dan pinjaman terkait proyek privatisasi air Jakarta. Seperti yang dilakukan world bank dalam kebijakan program Water Resource

Structural Adjustment Loan (WATSAL). Program ini berawal dari krisis

ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, dimana World Bank mengeluarkan

3

UN Documents: Gathering a Body of Global Agreements,

http://www.un-documents.net/h2o-dub.htm (diakses 8 Februari 2014) 4

Nadia Hadad, Privatisasi Air di Indonesia, (Indonesia, INFID Annual Lobby, 2003) hal 14

5

(16)

3

program pinjaman untuk merestrukturasi sektor sumber daya air di Indonesia. World Bank mengeluarkan pinjaman sebesar US$ 300 Juta dengan beberapa poin

yang harus dipenuhi. Salah satu poin tersebut diantaranya adalah menjadikan air

bersih sebagai barang ekonomi6. Poin ini kemudian membuka pintu bagi sektor

swasta untuk menjadi mitra pemerintah sesuai dengan konsep yang diinginkan

oleh world bank. Melalui program WATSAL, world bank mencoba untuk memperbesar peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia. WATSAL bahkan juga mempromosikan pengalihan kepemilikan perusahaan air

dari pemerintah ke tangan publik/swasta.

Dari berbagai faktor Internasional dan faktor pinjaman dari worldbank diatas, kemudian perusahaan air di wilayah Indonesia mulai di privatisasi

termasuk kota Jakarta. Di kota Jakarta sendiri, perjanjian privatisasi antara publik dan swasta diresmikan pada tahun 1997. Perusahaan Air Minum Daerah Khusus

Ibu Kota Jakarta (PAM Jaya) bekerjasama dengan dua Perusahaan Multinasional milik Inggris dan Perancis. Mitra dari Perancis mengelola bagian barat Jakarta melalui PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan mitra dari Inggris mengelola bagian

timur Jakarta melalui PT Thames PAM Jaya (TPJ). Namun, pada penelitian ini penulis mengambil aktor PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sebagai fokus kajian.

Dalam kerjasama berbentuk konsesi tahun 1997, Instruksi Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa setiap kegiatan PAM Jaya dengan Palyja diarahkan untuk peningkatan pelayanan yang mencangkup peningkatan kuantitas,

peningkatan kualitas, peningkatan kontinuitas, peningkatan efisiensi, dan

6

(17)

4

peningkatan kesejahteraan masyarakat7. Kerjasama dilaksanakan dalam bentuk

konsesi yang berlaku selama 25 tahun. Tim negosiasi dibentuk oleh pemerintah DKI Jakarta untuk melaksanakan kerjasama kemitraan antara PAM Jaya dan

swasta oleh Gubernur DKI.

Menurut perjanjian kerjasama, Palyja yang menjadi pihak kedua memiliki keahlian dalam bentuk dana maupun sumber daya lainnya yang berkaitan dengan

rancangan, konstruksi, pengelolaan, dan pengoperasian fasilitas-fasilitas produksi

serta distribusi dalam bidang air bersih8. Oleh karena itu, pembagian tugas antara

Palyja dan PAM Jaya yang diatur dalam kontrak cukup berbeda. Palyja bertanggung jawab atas seluruh pengelolaan perusahaan air Jakarta yang mencakup pencapaian target teknis dan standart pelayanan, pendanaan,

pelaksanaan, operasional, pemeliharaan, dan rencana investasi untuk 5 tahun ke depan. Sedangkan PAM Jaya bertanggung jawab atas monitoring pendanaan,

monitoring pelaksanaan, monitoring operasi, dan evaluasi target teknis dan

standart pelayanan9.

Kesepakatan yang terjadi pada tahun 1997 menunjukkan bahwa Palyja

memegang peranan besar dalam hal fasilitas dan infrastruktur sektor air di Jakarta Barat. Mulai dari pasokan air baku hingga tagihan kepada pelanggan. Kontrak

7 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA

Institute for Water Leteracy) hal 5. Melalui

http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses pada 20 Mei 2014)

8 Ibid, hal6

9

(18)

5

privatisasi air Jakarta juga memisahkan mekanisme antara pendapatan perusahaan yang diperoleh dari pelanggan layanan air (tarif air) dan pendapatan yang diterima perusahaan swasta dari PAM Jaya atas jasanya mengelola air di Jakarta (imbalan

air)10. Tarif air adalah harga yang di bayarkan oleh pelanggan, sedangkan imbalan

air adalah harga yang harus di bayar PAM Jaya kepada mitra swasta yaitu Palyja,

atas jasanya memproduksi dan mengelola sistem air di wilayah Jakarta.

Kontrak konsesi yang telah disepakati bersama mitra swasta tahun 1997-2001 menempatkan proyeksi keuangan sebagai faktor paling menentukan dalam

menetapkan imbalan air. Proyeksi keuangan yang dimaksud berkaitan dengan kebutuhan finansial dari pihak swasta, termasuk Palyja. Penentuan imbalan air yang harus dibayar PAM Jaya kepada mitra swasta sama sekali tidak berdasarkan

performance-based atau kinerja perusahaan, melainkan ditetapkan berdasarkan

kebutuhan uang yang diminta oleh pihak swasta11. Hal ini menyebabkan

berapa-pun imbalan air/uang yang diminta oleh swasta, PAM Jaya harus mampu untuk memenuhinya. Kondisi tersebut nyatanya menyulitkan pemerintah Jakarta melalui PAM Jaya. Perusahaan milik pemerintah daerah ini harus mematuhi klausa

kontrak tersebut untuk membayar imbalan air yang semakin naik di tiap periodenya. Secara tidak langsung, klausa ini memberikan jaminan keuntungan

kepada Palyja selama kerja sama berlangsung.

10 Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession,

(Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 6. Melalui

http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro-poor%20Jakarta_0.pdf (diakses 15 Mei 2014)

11

(19)

6

Sebaliknya, imbalan air yang ditetapkan dalam kontrak menyebabkan PAM Jaya berhutang kepada pihak swasta. Diperkirakan, hutang PAM Jaya kepada pihak swasta di akhir kontrak pada tahun 2022 adalah sebesar Rp 18

triliun12. Pelunasan hutang ini, nantinya akan dibayarkan oleh Pemenrintah

Provinsi Daerah Jakarta yang diambil melalui dana APBD. Kerugian yang sangat

besar akan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari klausa kontrak yang membahas mengenai imbalan tarif tersebut.

Kontrak tersebut juga menjelaskan mengenai denda pembayaran atas

pembatalan dan pemutusan kontrak. Jika PAM Jaya ingin memutuskan kontrak kerjasama yang telah di sepakati oleh kedua mitra swasta, maka PAM Jaya harus membayar denda sebagai biaya ganti rugi kepada Thames Water dan Suez

Environment. Pembayaran tersebut meliputi biaya dari semua investasi yang

dibuat oleh perusahaan asing, biaya asuransi, dan penghasilan bruto yang

diharapkan selama setengah sisa kontrak13. Poin ini menunjukkan bahwa kontrak

konsesi bersifat mengikat dan sulit untuk melakukan pemutusan kontrak secara sepihak karena harga dari denda yang harus di bayar sangat besar, dan seluruh

dana kerugian ditanggung oleh Pemerintah DKI melalui perusahaan daerah PAM Jaya.

Selain itu, kontrak konsesi antara PAM Jaya dan pihak swasta juga menyebutkan bahwa tarif air akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali.

12 Tim Advokasi Hak Atas Air Gugat Privatisasi Air,

http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/13/18260894/Tim.Advokasi.Hak.Atas.Air.Gugat.Pri vatisasi.Air (diakses 16 Mei 2014)

13 Privatisasi PDAM,

(20)

7

Kesepakatan tersebut disesuaikan atas dasar tingkat produksi dan pelayanan yang

diberikan mitra swasta kepada pelanggan14 . Tarif air yang meningkat, berkaitan

dengan pelanggan dari perusahaan air yang merupakan penduduk Jakarta.

Kesepakatan ini, nantinya akan berimbas kepada masyarakat Jakarta yang harus membayar harga air yang semakin lama semakin tinggi. Padahal air bersih

seharusnya merupakan hak yang diambil bebas melalui alam, dan tidak menjadi

sesuatu yang diperjual-belikan oleh pasar melalui perusahaan15. Apalagi

perusahaan yang mengelola adalah milik asing yang masuk melalui negara karena

adanya kebijakan-kebijakan kapitalisme. Kenaikan tarif yang diberlakukan dalam kontrak konsesi nantinya akan memberatkan penduduk kota Jakarta, terutama

penduduk Jakarta dengan tingkat penghasilan yang rendah. Masyarakat miskin

tidak dapat mengakses fasilitas yang diberikan Palyja16, karena harga air yang

diberlakukan semakin mahal.

Kontrak privatisasi air tahun 1997 juga membahas mengenai standart dan teknis pelayanan. Standart ini ditetapkan, agar kinerja dari pihak swasta dapat terus meningkat dan kebutuhan air masyarakat Jakarta dapat terpenuhi. Namun,

standart ini nyatanya justru dipagari dengan berbagai syarat yang tidak

mengikat17. Target dan standar teknis dapat diubah jika ada retribusi baru yang

dibebankan pemerintah, munculnya permasalahan terkait air baku, penyimpangan

14 Asri Fitrianti, Op.cit, hal 76 15

Jason Segers, Privatization of Water in Latin America: A Case Study in Bolivia, (California: San Luis Obispo, 2010) hal 24. Melalui

http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=socssp (diakses 16 Mei 2014)

16

Water Privatization Challanged After 16 Years,

http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/05/water-privatization-challenged-after-16-years.html (diakses 20 Mei 2014)

17

(21)

8

realisasi keuangan, dan proyeksi keuangan yang berbeda dengan PKS18. Dari sini

terbukti bahwa poin tersebut memberikan kelonggaran tersendiri bagi Palyja

karema kelonggaran standart teknis yang seharusnya dapat dipenuhi pihak swasta.

Kontrak konsesi privatisasi air Jakarta yang diresmikan pada tahun 1997, kemudian di renegosiasikan kembali di tahun 2001 karena adanya ketidakstabilan ekonomi akibat krisis Asia dan ketidak stabilan politik di Indonesia. Poin dalam

kontrak renegosiasi selanjutnya adalah mengenai pengaturan tarif yang harus dibayar pelanggan. Sesuai dengan kontrak tahun 1997, disebutkan bahwa tarif air

akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali. Tetapi dalam perkembangannya, tarif air tidak dapat dinaikkan setiap 6 bulan sekali semenjak tahun 1997 karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi

masyarakat Jakarta seperti krisis keuangan dan ketidak stabilan politik negara saat itu19.

Renegosiasi kemudian mulai membahas kembali mengenai tarif air yang harus dibayar pelanggan dengan kenaikan tarif setiap 6 bulannya. Kenaikan tarif air yang pertama adalah sebesar 35 persen pada bulan April 2001 hingga naik

kembali sebesar 40 persen pada tahun 2003. Harga tarif air kemudian semakin lama semakin meningkat hingga tahun 2007. Tercatat dari tahun 1998 harga tarif

air rata-rata yang tadinya sebesar Rp 1600 per meter kubik menjadi meningkat

drastis sebesar RP 7450 per meter kubik pada tahun 200720. Kenaikan tarif yang

18

Ibid

19 Asri Fitrianti, Op.Cit, hal 76

20 Fiona Zakaria, Assessing Pro-Poor Water Supply Programs in Jakarta (Royal Geographical

(22)

9

disepakati nyatanya tidak menguntungkan bagi Pemprov DKI. Karena hasil dana dari kenaikan tarif ini selanjutnya dibagi lagi kepada Departemen Keuangan, pemasukan PAM JAYA, mitra swasta, dan masih banyak lagi. Pendapatan PAM

JAYA dari sektor tarif air masih belum dapat menutupi imbalan air yang diminta swasta. Justru kenaikan tarif ini malah memberatkan pelanggan air, karena harga

yang di bayar semakin mahal dan meningkat drastis per semesternya.

Renegoisasi kontrak selanjutnya juga menjelaskan mengenai tingkat rebasing. Rebasing adalah ketentuan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak

berkaitan dengan imbalan air yang harus dibayarkan PAM JAYA kepada mitra

swasta21. Dalam renegosiasi kontrak tahun 2001, terlihat mitra swasta selalu

mengajukan kenaikan rebasing, dimana imbalan air yang diminta semakin lama

semakin mahal. Seperti kontrak 1997 yang sebelumnya, kenaikan rebasing tidak didasarkan berdasarkan performance based tetapi di titik beratkan pada kebutuhan

finansial pihak swasta. Terlihat dari imbalan air per meter kubik pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 4.257, tahun 2005 sebesar Rp 4.997, tahun 2006 sebesar Rp 5.624, tahun 2007 sebesar Rp 6.407, hingga tahun 2009 sebesar Rp 7.452 per

m322.

Kontrak konsesi tahun 1997 maupun renegosiasi kontrak tahun 2001 yang

seharusnya menguntungkan kedua belah pihak nyatanya malah cenderung banyak menguntungkan PT Palyja daripada Pemprov Jakarta secara keuangan. Pada tahun

21Betapa Rapuhnya Eksistensi Badan Regulator PAM,

http://www.indonesiawaters.com/2009/05/rapuhnya-eksistensi-badan-regulator-pam.html (Diakses 20 Mei 2014)

22 Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan

Dampaknya Bagi Pelanggan (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy, 2011) Hal 7. Melalui

(23)

10

2004, Palyja berhasil meraup laba bersih sebesar Rp 114 Milyar atau rata-rata sebesar Rp 125 Milyar per tahunnya. Sedangkan hutang PAM Jaya yang harus dibayarkan ke mitra swasta sampai dengan akhir 2003 adalah sebesar Rp 737,6

Milyar atau rata-rata sebesar Rp 123 Milyar per tahunnya. Artinya, hutang PAM Jaya terhadap kedua mitra swasta sebenarnya dapat ditutup hanya dengan

keuntungan dari Palyja23.

Penelitian ini menjadi urgen, karena berkaitan dengan kebutuhan utama manusia yaitu air bersih. Air bersih adalah barang pokok yang diperlukan manusia

dan keberadaannya tidak dapat digantikan dengan barang lain. Air bersih

merupakan Sumber Daya Alam yang bersifat common property24 sehingga setiap

individu seharusnya memiliki akses terhadap air bersih. Tetapi saat ini, terdapat

regulasi tertentu dari perusahaan air agar setiap individu dapat mendapatkan air bersih. Salah satunya adalah dengan penggunaan dan penetapan tarif air bersih

kepada pelanggan.

Negoisasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta selaku host dan PT Palyja

yang merupakan anak cabang dari Suez Environment selaku MNC ditentukan oleh

Bargaining Power dari masing-masing aktor. Adanya ketimpangan/ketidakseimbangan keuntungan dimana MNC selaku PT Palyja lebih

banyak mendapatkan keuntungan dari Pemprov DKI Jakarta selaku host antara seperti yang telah dijelaskan diatas, ditentukan oleh Bargaining Power dari

23

Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhianie, Op.cit, hal 8 24

(24)

11

masing-masing aktor25. Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka

penulis dapat menarik rumusan masalah, “Bagaimana analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi

Perusahaan Air ?”

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT

Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengkaji lebih dalam mengenai analisis “bargaining power” Pemerintah Provinsi Jakarta dan PT Palyja terkait negosiasi kontrak

privatisasi perusahaan air Jakarta.

2. Memenuhi syarat skripsi untuk memenuhi gelar Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Brawijaya

25

(25)

12

1.4 Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna memberikan

informasi terkait dengan analisis “bargaining power” Pemprov Jakarta dan PT Palyja

b. Membantu program studi Hubungan Internasional dalam

memberikan informasi dan data yang terkait dengan

permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi

peneliti lain yang ingin meneliti tentang analisis

“bargaining power” Jakarta dan PT Palyja dalam kasus privatisasi perusahaan air Jakarta.

b. Diharapkan dapat menjadi sebuah karya penelitian yang

digunakan sebagai referensi bahan pemecahan masalah

(26)

13

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, akan dicantumkan hasil

studi terdahulu yang telah dilakukan oleh penulis sebelumnya. Studi terdahulu yang pertama yaitu penelitian yang dilakukan oleh Trnik yang berjudul Local Goverments and Foreign Direct Investment. Examining the Relationship between

MNC’s and Local Goverments in Slovakia26. Dalam penelitian ini, Trnik

menjelaskan mengenai hubungan antara MNC dan host-countries/goverment yang

berfokus pada pemerintah lokal dalam lingkup sub-nasional.

Trnik juga menjelaskan mengenai bargaining power yang dimiliki oleh pemerintah lokal dengan MNC. Studi kasus yang dikaji dalam penelitian ini

adalah dua kota dari Slovakia yaitu Levice dan Vrable dimana dua kota tersebut membuktikan bargaining power-nya yang cukup kuat dalam menarik investasi asing secara otonom. Kedua kota tersebut secara aktif menarik Foreign Direct

Investment untuk masuk dan menjadi wilayah yang memiliki banyak MNC.

Secara tidak langsung, Levice dan Vrable dari negara Slovakia mencerminkan

bargaining position yang kuat melalui pemerintah local melalui banyaknya MNC

dan Foreign Direct Investment yang tumbuh dalam kota tersebut.

26

Michal Trnik, Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship

between MNC’s and Local Goverments in Slovakia (Budapest: Central European University,

(27)

14

Trnik menggunakan operasionalisasi bargaining power milik Theodore Moran dalam menentukan posisi pemerintah lokal dari kota Levice dan Vrable. Penelitiannya menjelaskan bahwa karakteristik project dapat berpengaruh

terhadap bargaining position pemerintah lokal. Seperti yang dicontohkan dalam penelitian, yaitu perusahaan Hancook milik Korea yang memiliki karakteristik

teknologi yang canggih dan tinggi dimana hal ini berpengaruh terhadap bargaining pemerintah-lokal dari kota Levice yang menjadi sedikit lemah.

Selanjutnya sumber daya dari host. Salah satu kelebihan yang ditawarkan kedua

kota tersebut adalah tersedianya daerah industri dan kualitas pendidikan angkatan kerja yang baik. Kompetisi MNC di kedua wilayah juga tinggi sehingga menarik

minat investor. Banyaknya MNC dan Foreign Direct Investment yang tumbuh di kota tersebut menyebabkan bargain yang lemah dari MNC ketika hendak

melakukan negoisasi dengan pemerintah kota Levice dan Vrable27.

Persamaan penelitian ini dengan penulis adalah operasionalisasi yang diambil dalam menjelaskan fenomena, yaitu bargaining power milik Theodore Moran. Trnik juga mengambil studi kasus host dari level kota yaitu Levice dan

Vrable yang sama dengan penulis yang juga mengambil kota Jakarta sebagai bagian dari penelitian. Sedangkan perbedaannya adalah fenomena dan aktor yang

diangkat. Trnik mengambil negara Slovakia dan keberhasilan kota Levice dan Vrable dalam menarik investasi asing, sedangkan penulis lebih fokus terhadap salah satu FDI dari Perancis yaitu Suez Environment yang berinvestasi melalui

27

(28)

15

PT Palyja dan kerugian host yang didapatkan dari kontrak yang telah disepakati kedua belah pihak.

Studi terdahulu kedua yang penulis ambil adalah milik Ardhianie yang

berjudul Jakarta Water Privatization: Seven Years Of Dirty Water28. Penelitian

dilakukan dalam bentuk tesis yang menjelaskan mengenai dampak yang ditimbulkan dari adanya privatisasi perusahaan air PAM JAYA di Jakarta dari

tahun 1998 hingga tahun 2003. Kerugian ini meliputi adanya kegagalan pemenuhan target dan naiknya harga yang merugikan konsumen terutama

konsumen di tingkat kelas bawah. Naiknya harga kemudian di tanggung oleh konsumen dan sisanya dibayar oleh PAM JAYA yang disebut Water Charge. Defisit yang harus di tanggung dari tahun 1998 hingga tahun 2004 adalah sebesar

900,10 miliar rupiah29.

Kerugian lainnya yang harus ditanggung pihak Indonesia adalah berkaitan

dengan dampak pekerja dari perusahaan air tersebut. Privatisasi membuat hak-hak pekerja menjadi dihapuskan. Pekerja harus menunggu 4 tahun untuk mendapatkan seragam setelah melewati training dan birokrasi yang rumit.

Pekerja yang telah pensiun dan mengabdi lebih dari 10 tahun juga hanya mendapatkan dana tunjangan pensiun sebesar 150.000 rupiah perbulan. Fakta ini

tidak setara dengan pekerja asing yang bekerja di dua perusahaan yang sama dan mendapat gaji sebesar 150 juta hingga 200 juta perbulan. Terbukti bahwa jumlah

28

Nila Ardhianie, Jakarta Water Privatization: Seven Years Of “Dirty” Water, (Washington: Transnasional International) melalui

http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/books/waterindonesia.pdf (diakses 28 Februari 2014)

29

(29)

16

pensiun yang didapat pekerja Indonesia hanya 0,001% dari pendapatan pekerja

asing30. Ardhianie juga berpendapat bahwa sebagian besar privatisasi yang

dijalankan di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil dan malah menimbulkan

hutang yang besar karena adanya desakan dari lembaga-lembaga Internasional.

Penelitian Ardhianie menjelaskan tentang kerugian yang ditanggung Indonesia dari adanya kasus privatisasi perusahaan air PAM JAYA Jakarta. Hal

ini berbeda dengan fokus penelitian yang akan dijelaskan penulis, yaitu mengenai Bargaining Power antara Jakarta sebagai host dan Palyja sebagai

MNC. Penelitian yang dilakukan penulis cenderung menjawab permasalahan mengenai penyebab adanya kerugian dari kontrak privatisasi perusahaan air Jakarta melalui bargaining power. Sedangkan persamaan antara penelitian

Ardhianie dan penelitian yang akan penulis kaji adalah aktornya yaitu PAM Jaya yang melibatkan PT Palyja sebagai perusahaan yang turut melakukan privatisasi.

Studi terdahulu yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Wambua Sammy tahun 2004 yang dikeluarkan oleh e Heinrich Böll Foundation

dengan judul “water privatization in Kenya”31. Penelitian ini membahas analisa

kebijakan privatisasi air di Kenya. Penyedian air pada awalnya dipegang oleh negara yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tetapi semenjak

dilaksanakannya reformasi ekonomi di akhir tahun 1980-an, IMF dan Worldbank mulai melakukan penekanan yang lebih besar terhadap Kenya. Sektor air sendiri merupakan salah satu bidang yang ditargetkan Worldbank sebagai privatisasi.

30 Nila Ardhianie,Loc. Cit, hal 231

31

Wambua Sammy, Water Privatization in Kenya,

(30)

17

Lampiran kebijakan privatisasi di sektor air diterbitkan pada tahun 1992 yang diperbaharui tahun 1994 dan 1996.

Semenjak dilakukannya kebijakan privatisasi, jumlah partisipasi

perusahaan swasta di Kenya semakin meningkat. Peningkatan peran swasta dalam penyediaan air di Kenya juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi pemerintah. Adanya tindak korupsi dan kerangka yang tidak jelas membuat

privatisasi air yang di jalankan Kenya kurang maksimal. Selain itu, privatisasi melahirkan komersialisasi yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Hal ini

berpengaruh terhadap kemampuan membeli konsumen miskin dalam mendapatkan air bersih.

Persamaan antara penelitian yang dijelaskan diatas dan penelitian ini

adalah sama sama meneliti mengenai kebijakan privatisasi di sektor air beserta permasalahan yang ditimbulkan terkait privatisasi. Sedangkan perbedaannya

adalah fokus negara yang diambil, jika peneliti sebelumnya berfokus pada negara Kenya, penulis lebih berfokus pada negara Indonesia tepatnya di kota Jakarta.

2.2 Kerangka Konseptual

2.2.1 Konsep Bargaining Power

Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau

(31)

18

memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut32. Ketika aktor

memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor

tersebut. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih

menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih kuat dari aktor tersebut. Sedangkan Bargaining Power yang ditawarkan pada

penelitian ini, berangkat dari preposisi dependensia yang menyatakan:

The benefits of foreign investments are “poorly” (or “unfair” or “unequally”) distributed between the multinational annd the host, or the country pays “too high” a price for what it gets, or the company siphons off an economic “surplus” that could otherwise be used to finance internal development33

Preposisi diatas menyebutkan bahwa keuntungan dari masuknya investasi

asing tidak terdistribusi secara merata dimana host membayar harga terlalu tinggi kepada FDI dari surplus ekonomi yang seharusnya dapat digunakan untuk

pengembangan dan pembiayaan internal dari host itu sendiri34. Foregn Direct

Investment terjadi karena perusahaan memiliki investasi berupa tehnik dan

keahlian khusus dimana hal ini tidak dimiliki oleh pengusaha lokal. Tehnik dan

keahlian khusus tersebut menjadi halangan bagi host-goverment sehingga secara

tidak langsung host harus melakukan kerjasama dengan MNC35. Untuk

menghindari adanya eksploitasi, Moran menyarankan agar host-country harus

32

Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and

Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3 33 Ibid. hal 80

34 Ibid, hal 80 35

(32)

19

mampu untuk menjaga harga dari pelayanan tersebut dengan cara mengatur jumlah pembayaran yang diberikan kepada perusahaan asing.

Adanya ketimpangan distribusi keuntungan juga berkaitan dengan

bargaining power yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Bargaining power

berfungsi untuk mengukur dan menentukan distribusi keuntungan dari kedua aktor. Adanya ketimpangan keuntungan dari kedua belah pihak di sebabkan

karena kekuatan/bargaining power yang berbeda dari masing-masing pihak. Theodore Moran sendiri menyebutkan terdapat tiga variabel yang dapat mengukur

dan memperkirakan posisi tawar.

Pertama adalah karakteristik dari project. Karakteristik dari project meliputi ukuran dari investasi project, biaya ongkos, tingkat kestabilan

tekhnologi, dan diferensiasi produk dari MNC36. Project yang memerlukan

investasi rendah, ongkos biaya tetap rendah, teknologi yang berkembang, dan

memiliki tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan mendapatkan daya tawar yang tinggi bagi MNC ketika hendak melakukan negoisasi dengan host. Hal ini berbanding terbalik dengan project yang memerlukan investasi tinggi, ongkos

biaya tinggi dan perkembangan teknologi yang lambat sehingga rentan terhadap tuntutan-tuntutan yang diminta oleh negara-host. Seperti contohnya project

investasi di bidang minyak, pertanian, atau golongan produksi sumber daya alam

lainnya37. Investasi dalam bidang ini sangat rentan terhadap tuntutan dan

permintaan dari negara-host. Project di bidang pertambangan memerlukan biaya

36Brainslav L. Slantchev, Loc. Cit, hal 82

(33)

20

investasi dan ongkos tetap yang tinggi. Hal ini melemahkan bargain MNC, dan ketika project tersebut mulai terlihat menguntungkan, maka pemerintah

negara-host biasanya akan mengajukan tuntutan nasionalisasi atau renegosiasi investasi.

Dalam investasi di industri manufatkur dimana dibutuhkan dimana tingkat diferensiasi produk tinggi, perusahaan asing lebih santai dalam menghadapi

tuntutan negara host38. Tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan menguatkan

bargain dari MNC. Untuk melawan tuntutan yang diberikan negara-host,

perusahaan biasanya melakukan diversifikasi produk, menambahkan teknologi

baru, atau bahkan mengancam untuk menarik seluruh investasinya dari negara-host. Hal tersebut cukup berbeda dengan kelompok perusahaan di bidang

pengetahuan dan teknologi seperti komputer dan alat elektronik. Kelompok

perusahaan di bidang high-technology, memiliki bargain power yang kuat sehingga terbilang relatif aman dari tuntuntan dan permintaan negara-host.

Industri yang baru-baru ini berkembang di negara dunia ketiga tersebut memiliki pengetahuan yang lebih di bidang komputer dan elektronik. Bidang ini merupakan bidang yang dikuasai oleh MNC, dimana kapabilitas dan jangkauan pemerintah

negara-host di negara dunia ketiga masih belum mampu menjangkaunya39.

Kedua adalah karakteristik dari country. Karakteristik dari

host-country meliputi keadaan dari host itu sendiri. Hal ini meliputi ukuran dari jumlah

pasar/konsumen, keadaan mobilisasi kelas menengah dari penduduk host, kemampuan dan keahlian birokrasi lokal, dan besarnya kesempatan/alternatif host

38 Shah M. Tarzi, Loc. Cit, hal 159 39

(34)

21

untuk memilih FDI lain40. Host dengan jumlah tawaran pasar/pelanggan yang

tinggi, adanya peningkatan mobilisasi kelas menengah, keahlian birokrasi host yang baik, dan banyaknya pesaing FDI yang tumbuh dalam host akan

meningkatkan bargain dari host-country itu sendiri. Bangkitnya mobilisasi dari kelas sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Populasi

yang menuntut pekerjaan dan program sosial (sebagian pembiayaan yang diperoleh didapatkan dari pendapatan investor asing) akan menekan politisi lokal untuk mendapaatkan manfaat yang lebih besar dari kehadiran MNC. Kemampuan

birokrasi yang berpengalaman akan mengurangi kecenderungan penipuan harga dalam pembiayaan MNC, perjanjian bisnis yang membatasi, dan manipulasi MNC

lainnya. Kehadiran industri domestik yang kuat juga akan meningkatkan kredibilitas lokal dalam hal nasionalisasi (jika ada tuntutan nasionalisasi) dan

menurunkan kesempatan dalam kerugian pembiayaan host.

Ketiga adalah berkaitan dengan faktor eksternal yang meliputi tingkat

ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi perusahaan asing41. Tingkat

ketidakpastian investasi yang tinggi akan melemahkan bargaining power dari

host-goverment dan tingkat ketidakpastian investasi yang lemah akan memperkuat

bargaining power dari host-goverment. Terkait dengan tingkat kompetensi MNC,

jika jumlah MNC dalam bidang yang sama sedikit, maka bargaining power yang dimiliki host-country akan melemah. Sebaliknya, jika jumlah persaingan MNC

meningkat, maka bargaining power dari host-country akan meningkat.

40 Theodore H. Moran, Op.Cit. hal 83 41

(35)

22

Tiga faktor diatas dapat digunakan untuk mengukur bargain power dari berbagai bentuk dan macam investasi. Mulai dari investasi di level mikro hingga level makro, bahkan untuk menganalisa bentuk hubungan ekonomi antara center

dan periferi. Dalam hal ini, penulis juga akan menggunakan konsep bargaining power milik Moran untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan.

2.2.2 Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan konsep yang telah dijabarkan diatas, maka penulis dapat membagi konsep berdasarkan 3 variabel, yaitu characteristic of project,

characteristic of host, dan exogenous factor42. Characteristic of Project dalam mengukur bargain power menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan project yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, penulis ingin mengukur ukuran investasi

Palyja, ongkos biaya dari Palyja, tingkat tekhnologi yang digunakan Palyja, dan tingkat diferensiasi produk dari air bersih.

Sedangkan characteristics of Host-Country dalam melihat bargain power

mencakup hal-hal yang berkaitan dengan host43. Dalam kasus privatisasi

perusahaan air Jakarta, karakteristik host dapat dioperasionalisasikan melalui keahlian/kemampuan birokrasi lokal Pemprov DKI Jakarta. Penulis hendak meneliti lebih jauh mengenai kemampuan dari birokrasi lokal yang melakukan

negosiasi langsung dengan Palyja. Operasionalisasi selanjutnya adalah jumlah pasar/konsumen yang ditawarkan Jakarta sebagai host kepada Palyja. Jumlah

konsumen yang tinggi akan menguatkan bargain dari host. Jumlah konsumen

42

Theodore H. Moran, Loc. Cit, hal 82-83 43

(36)

23

sama saja dengan menawarkan pasar untuk MNC. Sedangkan Jakarta sendiri merupakan ibukota dari Indonesia yang memiliki penduduk sebanyak 9.809.857

jiwa pada tahun 201144 dimana penduduk tersebut pasti memerlukan air bersih

sebagai kebutuhan sehari-hari.

Indikator selanjutnya adalah tingkat mobilisasi kekuatan sosial yang tinggi akan menguatkan bargain host. Menurut Moran, bangkitnya mobilisasi dari kelas

sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Dalam hal ini penulis hendak melihat tingkat mobilisasi kelas menengah dari masyarakat kota

Jakarta. Selain itu, adanya pesaing dari Palyja yang juga mengurusi sektor perairan di Jakarta mempengaruhi bargain dari host maupun MNC. Adanya pesaing MNC lain yang menguasai air bersih di Jakarta, maka bargain host

semakin kuat. Di Jakarta sendiri, terdapat beberapa investasi asing di sektor air yang berjalan, yaitu Suez Environment dari lini usaha GDF Suez asal Perancis

yang beroperasi sejak tahun 199845, Thames Water Overseas Limited asal Inggris

sejak tahun 1998 hingga 2007, dan Acuatico Pte Ltd dalam Acuatico Group asal

Singapura yang beroperasi sejak tahun 200746.

Exogenous factors yaitu faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi

bargain dari aktor seperti tingkat ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi

perusahaan asing47. Dalam hal ini penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai

tingkat ketidakpastian dalam investasi di Jakarta dan pertumbuhan perusahaan

44Provinsi DKI Jakarta,

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta (diakses 22 April 2014)

45

Profil Perusahaan, http://id.palyja.co.id/profil/ (diakses 22 April 2014)

46 Profil Perusahaan, http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/profilPerusahaan/page?id=sekilas (diakses 22 April 2014)

47

(37)

24

asing di sektor air. Banyaknya MNC maupun investasi asing yang berada dalam kelompok jasa air bersih akan memperkuat posisi tawar dari negara-host. Sebaiknya, semakin sedikit MNC yang bergerak dalam kelompok air bersih,

maka bargain host semakin lemah dan bargain MNC semakin kuat.

(38)

25

2.4 Argumen Utama

Berdasarkan paparan fenomena dan kajian konseptual diatas, penulis dapat menarik argumen utama bahwa analisis Bargaining Power Pemerintah Provinsi

Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan air Jakarta dapat dilihat melalui karakteristik project, karakteristik host, dan faktor exogenous/ faktor-faktor eksternal. Karakteristik project meliputi tingkat

investasi dari privatisasi air yang ditanam Palyja, ongkos biaya Palyja, tingkat teknologi Palyja, dan produk pengganti dari air bersih. Karakteristik host meliputi

kemampuan Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi, keadaan penduduk kota Jakarta, jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air PAM, dan perusahaan selain Palyja yang mengelola sekor air bersih di Jakarta Barat. Sedangkan

exogenous/ faktor-faktor eksternal adalah keadaan investasi asing di Jakarta tahun

(39)

26

• Jumlah investasi dari project Privatisasi perusahaan air Jakarta

• Ongkos biaya yang diperlukan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta • Tingkat perkembangan teknologi yang

dibutuhkan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta

• Tingkat variasi produk pengganti dalam privatisasi perusahaan air Jakarta

• Dinamika investasi asing di sektor air Jakarta

• Jumlah MNC dalam bidang penyedia air bersih di level global

(40)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif karena hanya terdapat satu variabel. Penelitian deskriptif dipilih penulis karena penulis bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu keadaan dan gejala dalam sebuah

fenomena. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengambarkan Bargaining Power Indonesia dengan PT Palyja (Perancis) dalam privatisasi perusahaan air

Jakarta.

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Sebuah penelitian tentu memiliki ruang lingkup penelitian untuk membatasi lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dimaksudkan agar

penelitian yang dilakukan lebih terarah dan juga memiliki batasan yang jelas. Berdasarkan tujuan penelitian dan rumusan masalah, penulis menentukan batasan

materi yaitu pada dua aktor yaitu bargaining power Jakarta sebagai host dan bargaining power Palyja selaku MNC dari Suez Environment. Sedangkan periode

waktu yang penulis ambil adalah tahun 1997 hingga tahun 2001. Tahun 1997

(41)

28

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik

sekunder. Metode pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur untuk mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen serta materi-materi tertulis. Dokumen yang dimaksud dalam hal ini mengacu pada

teks apapun baik yang tertulis, tampak secara visual ataupun diucapkan melalui media komunikasi yang berkaitan dengan bargaining power Pemprov DKI

Jakarta dan Palyja dalam privatisasi air Jakarta

3.4 Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan yang berisi mengenai kontrak dan analisis bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan PT

Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta. Selain itu bab ini juga berisi tentang rumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian ini.

BAB II Kerangka Pemikiran

Bab ini menjelaskan konsep yang digunakan oleh penulis untuk menganalisa fenomena yang diangkat yaitu dengan mengunakan konsep

Bargaining Power milik Moran. Bab II ini juga menjelaskan indikator yang ada

dalam konsep untuk digunakan kemudian mengoperasionalkanya kedalam

(42)

29

BAB III Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang metode yang dipilih oleh penulis untuk

melakukan penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Ruang lingkup penelitian ini terbatas hanya pada Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam privatisasi

perusahaan air Jakarta tahun 1997 hingga 2001. Teknik pengumpulan data dilakukan oleh penulis melalui teknik sekunder melalui studi literatur untuk

mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen serta materi-materi tertulis.

BAB IV Gambaran Umum Privatisasi Air Jakarta

Bab ini berisikan uraian data temuan yang diperoleh oleh penulis dengan mengunakan menggunakan metode serta prosedur yang diuraikan di bab III.

Dalam bab ini, penulis juga menjelaskan secara lebih rinci mengenai data dari project privatisasi air Jakarta. Mulai dari sejarah privatisasi air Jakarta, kontrak

privatisasi air Jakarta, hingga aktor yang terlibat dalam kontrak privatisasi air

Jakarta.

BAB V Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja

(43)

30

Penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor yang

menggambarkan bargaining power Pemprov DKI dan PT Palyja.

BAB VI Penutup

Bab terakhir dalam penelitian ini akan berisi mengenai kesimpulan akhir

mengenai latar belakang serta hasil dari rumusan masalah. Dalam bab ini peneliti juga berkontribusi dalam memberikan rekomendasi serta saran bagi peneliti

(44)

31

BAB IV

GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA

Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau

kemampuan seorang aktor untuk dapat mempengaruhi lawannya dengan cara

memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut48. Ketika aktor

memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor

tersebut49. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu

aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih

kuat dari aktor tersebut. Pada sub-bab ini penulis akan menjelaskan mengenai kontrak privatisasi Jakarta dan aktor yang berkaitan dalam kontrak tersebut. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai detail dari project privatisasi

air Jakarta seperti sejarah privatisasi air Jakarta dan aktor yang terlibat dalam kontrak.

4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta

Sejarah penyediaan air bersih di Jakarta dimulai semenjak tahun 1985.

Awalnya, tugas penyediaan air bersih diurus oleh Departemen Pekerjaan Umum

48

Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and

Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3. Melalui

http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/04-bargaining-dynamic-commitment.pdf (diakses 20 Juli 2014)

49

(45)

32

Pemerintah Provinsi Jakarta. Kemudian pada tahun 1977, PDAM Jakarta di

dirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah No.3 tahun 199750. Nama

PDAM Jakarta kemudian dirubah menjadi PAM Jaya dengan harapan kinerja

perusahaan air dapat lebih baik. Pemerintah terus melakukan perbaikan pada PAM Jaya, demi meningkatkan penyediaan dan kualitas air di Jakarta.

Banyaknya jumlah penduduk karena arus urbanisasi yang semakin meningkat, membuat air bersih menjadi problem yang harus dihadapi penduduk

Jakarta51. Berbagai masalah terkait pemenuhan ketersediaan air bersih mulai

bermunculan. Seperti hilangnya akses air bersih terhadap sebagian masyarakat, fasilitas infrastruktur yang tidak memadai, kendala keuangan, adanya eksploitasi

air tanah oleh bisnis komersial maupun industri, dan lain-lain. Berbagai permasalahan air bersih yang muncul membuktikan bahwa PAM Jaya sebagai satu-satunya unit yang menangani persediaan air bersih tidak mampu mengatasai

permasalahan air bersih tersebut. Sejauh ini, PAM Jaya hanya mampu melayani sekitar 42 persen populasi yang meliputi 340.000 sambungan rumah. Sedangkan

sisanya sekitar 58 persen dari sekitar 8 juta warga Jakarta masih menggunakan air

tanah sebagai sumber dari penggunaan air bersih52. Hal ini tentunya menunjukkan

kinerja PAM Jaya yang masih belum bisa untuk memenuhi kebutuhan air bersih

penduduk Jakarta.

50 Hamong Santono, Current Situation of Jakarta Water Privatization, (Jakarta:KruHa Koalisi

Rakyat Untuk Hak atas Air, 2011), hal 1

51

Ibid 52

Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable

Process?, (Indonesia: Jakarta) hal 23. Melalui

(46)

33

Menurut Pemerintah Indonesia, permasalahan air bersih ini dapat

mengganggu upaya peningkatan pendapatan per-kapita rakyat53 sebagaimana

tercantum dalam rencana pengembangan ekonomi pembangunan jangka panjang.

Hal tersebut kemudian mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan yang melibatkan sektor swasta dalam menyediakan air bersih, agar

permasalahan air bersih tersebut dapat terselesaikan.

Privatisasi air bersih yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jakarta juga dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh Lembaga Internasional

world bank. Pada tahun 1990, world bank mengeluarkan konsep yang menjadikan

air sebagai barang ekonomi54. Di Indonesia sendiri, world bank mengeluarkan

Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF) yang berisi

beberapa poin terkait himbauan privatisasi di sektor air. Menurut Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF), untuk mencapai keberhasilan

di sektor air harus ada pemisahan antara pemilik dan pengelola air55. Sektor

swasta dianggap memiliki kapasitas infrastruktur yang memadai, teknologi yang canggih, dan pengalaman yang lebih baik dalam menghadapi problematika air

bersih. Lahirnya prinsip-prinsip tersebut akhirnya semakin mendorong Pemerintah Jakarta untuk melaksanakan privatisasi pada sektor air bersih.

53 Hamong Santono, Op. Cit, hal 1

54

Heni kurniasih, Water Not For All: The Consequance of Water Privatisation In Jakarta,

Indonesia (Melbourne:Australia,2008) hal 5. Melalui

http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014) 55

Alain Locussol, Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (Indonesia discussion paper series: no.10,1997). Melalui

(47)

34

Upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Jakarta sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1992. Tetapi, kerangka hukum yang mengatur adanya partisipasi swasta di sektor air belum memadai. Peraturan

perundang-undangan terkait air bersih yang ada pada saat itu hanyalah UU penanaman modal asing dalam pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967.

Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya melibatkan hajat hidup banyak orang tidak diperkenankan dikelola

dengan modal lain termasuk modal asing56. Kemudian dilanjutkan dengan

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam

Perusahaan yang didirikan melalui penanaman modal asing57

Sedangkan di Jakarta sendiri, terdapat 3 perusahaan swasta yang awalnya

tertarik untuk bekerja sama dengan PAM Jaya dalam rangka project privatisasi air

bersih58. Tetapi upaya tersebut gagal karena tidak ada kesepakatan yang dapat

dicapai antara Pemerintah Provinsi Jakarta dengan ketiga perusahaan tersebut. Kegagalan kesepakatan terjadi karena tidak adanya kecocokan kompensasi yang di berikan pemerintah kepada sektor swasta terkait penjualan volume air dan

masalah kenaikan tarif air59. Selanjutnya, pada tahun 1995 pemerintah Jakarta

sepakat untuk membagi wilayah Jakarta menjadi dua dengan menggunakan

Sungai Ciliwung sebagai garis pemisah. Satu wilayah di sisi Barat sungai Ciliwung dan satu wilayah lainnya ada di sisi timur sungai Ciliwung.

56 Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Layanan Air Bersih di Indonesia,

http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/109/Privatisasi_Air/Sejarah_Keterlibatan_Swasta_ dalam_Peyediaan_Layanan_Air_Bersih_di_Indonesia.html (diakses 21 Juli 2014)

57 Ibid

58 Hamong Santono, Op.Cit, hal 1 59

(48)

35

Selanjutnya, dua perusahaan asing swasta dipilih sebagai mitra dalam privatisasi tanpa melakukan proses tender. Konsorsium yang ditunjuk adalah Thames Water Overseas asal Inggris untuk wilayah Jakarta bagian timur dan Suez

Environment asal Perancis untuk wilayah bagian barat. PAM Jaya dan

masing-masing konsorsium menandatangani Memorandum of Understanding (MOU)

pada tanggal 6 Oktober 199560. MOU tersebut mengharuskan dua perusahaan

swasta untuk mengadakan studi kelayakan yang harus diselesaikan dalam waktu 4 bulan sejak tanggal MOU diresmikan. Kesepakatan akhir kemudian

ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 6 Juni 1997.

Gambar 1: Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta61

Sumber: Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequences of Water Privatisastion

in Jakarta, Indonesia, h.5

60 Hamong Santono,Loc. Cit, hal 2

61

(49)

36

Gambar diatas menunjukkan bahwa Palyja memegang wilayah di zona 1, zona 4, dan zona 5. Sedangkan TPJ memegang wilayah di zona 2, zona 3, dan zona 6. Penjelasan mengenai zona yang dikelola oleh dua perusahaan swasta

tersebut adalah sebagai berikut:

Zona 1 : Zona wilayah I terdiri dari dari daerah Gajah Mada,

Gambir, Slipi, Bendungan Hilir, Taman Sari, Pekojan, Pluit, Tebet,

Jelambar, Setiabudi, Palmerah, dan Gelora Senayan62. Dilayani

oleh instalasi pengelolaan air pejompongan I (2.0001/dt) dan

Pejompongan II (3.600 l/dt).

Zona 2 : Zona wilayah II terdiri dari daerah Kramat, Menteng,

Cempaka Putih, Pulo Gadung, Penggilingan, dan Jatinegara63.

Instalasi yang digunakan adalah Instalasi Pengelolaan Air Pulo Gadung (4.000 1/dt).

Zona 3 : Zona wilayah III terdiri dari daerah Kemayoran,

Kebun Bawang, Cilincing, Tanjung Priok, Tugu, Kelapa Gading,

Sunter, dan Semper. Dengan Instalasi Pengelolaan Air Buaran II (3.000 l/dt)64.

Zona 4 & 5 : Zona wilayah IV & V terdiri dari daerah Kapuk Muara,

Kedawung, Kali Angke, Kebon Jeruk, Sukabumi Udik/Ilir,

62

Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009) hal 56. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE 805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014)

63 Ibid 64

(50)

37

Kebayoran Lama, Melawai, Mampang Prapratan, Grogol Selatan65.

Dengan Pusat Distribusi terletak di wilayah Lebak Bulus dan Kebon Jeruk, dimana airnya berasal dari Instalasi Cisadane milik

PDAM Tanggerang yang berkapasitas 3.000 l/dt dan disalurkan ke

Jakarta sebesar 2.800 l/dt66.

Zona 6 : Zona wilayah VI terdiri dari daerah Klender, Cipinang,

Pondok Bambu, Duren Sawit, Malaka Sari, Malaka Jaya, Pondok Kopi, Pondok Kelapa, Kebon Pala, Halim Perdana Kusuma,

Cipinang Melayu, Cililitan, dan Condet. Dengan Instalasi

pengelolaan Air Buaran I (2.000 l/dt)67.

4.2 Kontrak Privatisasi Air Jakarta

Kontrak Privatisasi air Jakarta pertama resmi di tanda tangani pada tanggal

6 Juni tahun 1997. Kontrak tersebut kemudian mulai efektif pada tahun 199868.

Latar belakang terjadinya kerjasama antara PAM Jaya dengan mitra asing adalah dikarena-kan kota Jakarta dirasa perlu menambahkan public investment dalam

rangka mengelola dan membangun infrastruktur air bersih69. Kerjasama ini juga

bertujuan untuk meningkatkan kinerja PAM Jaya agar akses dan kualitas air

bersih di Jakarta dapat terpenuhi. Peningkatan kualitas tersebut dapat diperoleh

65 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 57 66

Ibid

67 Ibid, hal 58

68

Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28

69

(51)

38

melalui sektor swasta. Sektor swasta disini memiliki kemampuan pengelolaan dan keuangan dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di bidang air. Dengan hadirnya pihak swasta, di harapkan pelayanan air bersih di Jakarta yang didapat

akan menjadi lebih baik dan tarif yang dibayarkan oleh masyarakat dapat lebih murah. Berikut penulis akan menjabarkan mengenai kontrak Privatisasi air Jakarta

secara detail.

4.2.1 Bentuk, Prinsip, dan Ruang Lingkup Kerja Sama

Bentuk kerjasama yang dijalankan oleh PAM Jaya dan mitra swasta adalah

kerja sama berbentuk konsesi. Kontrak konsesi ini berlaku selama 25 tahun, dari tahun 1997 hingga tahun 2022. Kerjasama yang dilakukan PAM Jaya dan mitra swasta diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak agar semua

kepentingan dari pihak terkait dapat terpenuhi. Seperti tercapainya seluruh kebutuhan air bersih masyarakat Jakarta, kemakmuran pekerja di masing-masing

perusahaan air, adanya transfer pengetahuan dan tekhnologi, dan keuntungan

wajar yang didapatkan mitra swasta70. Selama periode 25 tahun, PAM Jaya akan

mengambil alih tanggung jawab operasi, pemeliharaan, sistem distribusi air kota

Jakarta, pengembangan instalasi air, jaringan pipa, dan layanan pelanggan kepada PT Palyja dan TPJ. Mitra swasta akan memperkejakan seluruh pekerja dari PAM

Jaya yang berjumlah 2.803 orang71. Seluruh aset yang dimiliki PAM Jaya, akan

dikelola oleh mitra swasta hingga akhir periode masa kontrak.

70 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28 71

Gambar

Tabel 1: Operasionalisasi Konsep
Gambar 1: Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta61
Tabel 2: Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya dalam kontrak Privatisasi Air Jakarta 78
Tabel 3: Standart dan Teknis Pelayanan dalam kontrak Privatisasi Air Jakarta 80
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti tentang pemahaman perawat tentang penerapanRJPdipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur, pendidikan,

Saya pernah menggunakan jasa doorsmeer ditempat lain.,menurut saya perbedaannya dengan doorsmeer lain terletak diruang tunggu Sabena yang luas dan juga

• Guru memulai pelajaran dengan mengajak siswa mengamati gambar pada buku tema 6 Subtema 4 Pembelajaran 2, atau kalau guru, mempunyai tayangan video tentang sikap pemborosan

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahamat dan hidyah-Nya yang senantiasa dilimpahakan kepada penulis, sehingga bisa menyelasaikan skripsi

Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf jika saya

Setelah sumber-sumber dan akar penyebab masalah cacat shuttlecock yaitu terdapatnya keseimbangan laju shuttlecock goyah diketahui, maka perlu dilakukan suatu

[r]

The third prior research has similarities and differences with this research. The similarity between the third prior research and this research is the language skills