SKRIPSI
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja
dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air
Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
Oleh: Fitria Dian Istianie 105120401111011
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
i
HALAMAN PERSETUJUAN
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air
SKRIPSI
Disusun Oleh: Fitria Dian Istianie NIM.105120401111011
Telah disetujui oleh dosen pembimbing :
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua
Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si NIP. 197908082014042001
Tanggal: 14 November 2014
Mengetahui,
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air
SKRIPSI Disusun Oleh: Fitria Dian Istianie NIM. 105120401111011
Telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam ujian Sarjana Pada tanggal: 19 Oktober 2014
Ketua Majelis Penguji Sekretaris Majelis Penguji
Aswin Ariyanto Azis, S.IP.,MdevSt Yustika Citra Mahendra, S.Sos.,MA
NIP. 197802202010121001 NIK. 840823 11 1 1 0335
Anggota Majelis Penguji I Anggota Majelis Penguji II
Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si
NIP. 197908082014042001
Malang,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
iii
SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI
Nama: Fitria Dian Istianie NIM: 10512040101111011
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skirpsi berjudul: Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut telah diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut tidak benar,
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut.
Malang, 8 Oktober 2014
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan Strata 1 Hubungan Internasional. Terselesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasi sebesar-besarnya kepada:
1.Mama Irma Khuswardani, Alm Papa Djajoeswadi, Abah Malik Ibrahim, Kakak Brigita Julita, Adek Agatha Valerie terkasih dan tersayang yang selalu
memberikan semangat serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan. Terimakasih semuanya. Keluarga terbaik yang paling berarti dalam hidup penulis.
2.Ibu Henny Rosalinda, S.IP, M.A selaku dosen pembimbing pertama yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan serta semangat bagi
penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.Ibu Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan banyak sekali masukan dan arahan bagi penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Aswin Ariyanto Azis, S.IP, M.DevSt selaku dosen penguji I dan Bapak
v
6. Andrea, Christine, dan Vrizza selaku sahabat penulis yang selalu mendukung dan senantiasa menghibur penulis
7. Yoki, Danny, dan Fahril selaku teman-teman jurusan Hubungan Internasional
lainnya yang membuat masa perkuliahan penulis semakin berkesan.
8. Reynaldi Angga Pratama selaku teman spesial penulis yang selalu mendengar
keluh kesah dan menghibur penulis.
9. Teman-teman @daisy_official yang selalu berbagi kisah lewat musik dan mewarnai hari-hari di masa penulisan skripsi dengan gigs yang seru.
10. Sevensoul selaku sahabat-sahabat nan jauh disana yang selalu mendukung dan menginspirasi penulis
11. Tanjung Indraswari, Galih Mehaga Ginting, Dimas Nugroho, Rama Dimas, Tommi Prastawa, Dhia Lestari dan gentyo-gentyo lainnya yang selalu menghibur dan menginspirasi penulis.
Demikianlah kata pengantar dari penulis, semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca. Akhir kata skripsi ini penulis persembahkan bagi keluarga dan yang tersayang. Terimakasih.
Work More Than Others, Think More Than Others, and Expect Less Than Others
William
Shakespeare,-Malang,19 November 2014
vi
ABSTRAK
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air”
Penelitian ini berupaya untuk menganalisis “bargaining power” antara
host dan MNC, yaitu Pemprov DKI Jakarta sebagai host dan PT Palyja sebagai
MNC. Adanya dampak-dampak dari privatisasi perusahaan air Jakarta seperti kenaikan tarif dan hutang PAM Jaya yang semakin menumpuk adalah hasil dari
negosiasi kontrak yang selama ini dijalankan oleh kedua belah pihak. Hasil dari negosiasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta tentunya tidak terlepas dari adanya
penentuan “bargaining power” antara ke-dua aktor. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan menganalisis dan menggambarkan mengenai “bargaining power” antara Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi
kontrak privatisasi perusahaan air.
Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,
vii
ABSTRACT
This research attempts to analyze Bargaining Power about two actors.
Pemprov DKI Jakarta as a host country and PT Palyja as a MNC. The effect
about privatization Jakarta such as the increases water price and the increases of
PAM Jaya debt are related with negotiation contract by two actors. The result
about negotiation, include the unequal distribution benefit about host and MNC
bring back to question about what determines the bargaining power of host
countries and Foreign Investor. Furthermore, this research will explain the
determinan of bargaining power of Pemprov DKI Jakarta as a host country and
PT Palyja as a MNC in contract negotiation water privatization Jakarta.
Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI... iii
KATA PENGANTAR... iv
1.4Manfaat Penelitian ... 12
BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulu... 13
2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Konsep Bargaining Power... 17
2.2.2 Operasionalisasi Konsep ... 22
3.3 Teknik Pengumpulan Data... 28
3.4 Sistematika Penulisan... 28
BAB IV. GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA 4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta... 31
ix
4.2.1 Prinsip dan Tanggung Jawab Kerjasama ... 38
4.2.2 Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya ... 40
4.2.3 Target Teknis dan Standart Pelayanan... 42
4.3 Aktor yang Terlibat dalam Kontrak Privatisasi Air Jakarta ... 44
4.3.1 PAM Jaya ... 44
4.3.2 Palyja... 47
BAB V. ANALISIS BARGAINING POWER PEMPROV DKI JAKARTA dan PT PALYJA DALAM NEGOSIASI KONTRAK PRIVATISASI AIR JAKARTA 5.1 Characteristic of Project 5.1.1 Tingkat Investasi Palyja... 52
5.1.2 Ongkos Biaya Palyja... 58
5.1.3 Tingkat Teknologi yang di gunakan PALYJA ... 62
5.1.4 Variasi produk pengganti dari air bersih... 65
5.2 Characteristic of Host 5.2.1 Kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam Bernegosiasi ...67
5.2.2 Jumlah Penduduk Jakarta yang menggunakan air Palyja.... 70
5.2.3 Tingkat mobilisasi masyarakat kota Jakarta... 73
5.2.4 Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih di Jakarta ... 77
5.3 Exogenous Factor 5.3.1 Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001... 82
5.3.2 Pesaing Suez Environment di level Global... 87
5.4 Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ... 93
BAB VI: PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 100
6.2 Saran 6.2.1 Saran Bagi Pembuat Kebijakan ... 102
6.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 102
x
DAFTAR BAGAN
GAMBAR HALAMAN
1. Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta... 35
2. Pembagian wilayah antara Palyja dan Thames Pam Jaya... 79
TABEL
1. Operasionalisasi Konsep... 24
2. Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya dalam kontrak
Privatisasi Air Jakarta... 41
3. Standart dan Teknis Pelayanandalam kontrak Privatisasi Air
Jakarta... 42
4. Investasi PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya
1998-2008... 53
5. Ongkos Biaya PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya
1998-2002... 60
6. Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun
1992-2009... 71
7. Daftar Perusahaan Multinasional sektor air bersih di seluruh
dunia... ... 88
8. Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam
Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air... 93
GRAFIK
1. Trend FDI di Indonesia tahun
xi
2. Pertumbuhan FDI di ASEAN tahun
1990-2008... 85
3. Data Penjualan Volume Air oleh Perusahaan Multinasional air bersih di
Dunia... 89
4. Joint Venture antara Perusahaan Multinasional di dunia ...91
xii
DAFTAR SINGKATAN
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
FDI : Foreign Direct Investment
GDF : Gaz De France
MNC : Multi National Corporation
MOU : Memorandum Of Understanding
NGO : Non-Govermental Organization
Palyja : Perusahaan Air Minum Lyonaaise Jaya
PAM Jaya : Perusahaan Air Minum Jakarta
PEMPROV DKI : Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
PMA : Perusahaan Multinasional Asing
SK : Surat Keputusan
1
BAB I PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Perusahaan Multinasional atau MNC adalah salah satu aktor baru dalam
kajian Hubungan Internasional pasca perang dingin. Kehadiran MNC juga disebut
sebagai pemain kunci (central players)1 karena peran dan pengaruhnya yang
semakin kuat dalam tatanan ekonomi global. Dalam perkembangannya, MNC
memiliki beberapa strategi untuk dapat masuk ke dalam sebuah negara. Diantaranya adalah dengan membentuk cabang perusahaan dengan menggunakan
modal sendiri, membeli saham perusahaan nasional di sebuah negara, dan berpartisipasi dalam pengelolaan perusahaan nasional melalui program privatisasi2
Privatisasi merupakan salah satu bentuk neo-liberalisme yang sempat mendominasi kebijakan pembangunan di awal tahun 1980-an. Indonesia sebagai negara berkembang, juga mengikuti trend privatisasi tersebut termasuk di sektor
air. Privatisasi perusahaan air di Indonesia dipelopori oleh munculnya The Dublin Statement on Water and Sustainable Development yang diselenggarakan di
Dublin, Irlandia tahun 1992. Dublin Statement on Water and Sustainable Development atau yang biasa disebut dengan Dublin Principles memuat 4 prinsip
1 Sorcha Macleod and Douglas Lewis, Transnasional Corporations: Power, Influence, and Responsibility (London:Global Social Policy ,vol.4,2004) hal 77. Melalui
http://www.uk.sagepub.com/suder/Chapter%2010%20-%20Macleod%20&%20Lewis.pdf (diakses 7 Februari 2014)
2 Thomas M. Leonard, Encyclopedia Of The Developing World (New york:Routledge, vol.1,2006)
2
terkait kebijakan dan pembangunan di sektor sumber daya air3. Salah satu isi dari
prinsip tersebut adalah air memiliki nilai ekonomi dan keberadaan air harus diakui
sebagai barang ekonomi.
World Bank sendiri pada tahun 1993 mengeluarkan kebijakan “Water Resource Management Policy” yang berisi dukungan reformasi bagi
negara-negara peminjam dana untuk membantu dan mengupayakan sistem pengelolaan
sumber daya air di masing-masing negara4. Kebijakan tersebut mencakup
kerangka kerja berdasarkan prioritas yang paling dibutuhkan (perencanaan
holistik), sistem perundang-udangan yang menunjang terjadinya perubahan partisipasi dan desentralisasi, serta permasalahan keuangan dari air bersih dan kegunaannya dalam berkompetisi (air sebagai barang ekonomi). Semenjak
diberlakukannya kebijakan ini, tingkat pinjaman Bank Dunia di sektor air semakin meningkat. Total pinjaman bank dunia dalam bidang air adalah sebanyak
US$ 17 milyar5. Dari tahun 1993-2001 sekitar 17 persen anggaran Bank Dunia
adalah untuk proyek-proyek yang berhubungan dengan sumber daya air.
Dalam privatisasi air Jakarta sendiri, Lembaga Internasional turut
memberikan bantuan teknis dan pinjaman terkait proyek privatisasi air Jakarta. Seperti yang dilakukan world bank dalam kebijakan program Water Resource
Structural Adjustment Loan (WATSAL). Program ini berawal dari krisis
ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, dimana World Bank mengeluarkan
3
UN Documents: Gathering a Body of Global Agreements,
http://www.un-documents.net/h2o-dub.htm (diakses 8 Februari 2014) 4
Nadia Hadad, Privatisasi Air di Indonesia, (Indonesia, INFID Annual Lobby, 2003) hal 14
5
3
program pinjaman untuk merestrukturasi sektor sumber daya air di Indonesia. World Bank mengeluarkan pinjaman sebesar US$ 300 Juta dengan beberapa poin
yang harus dipenuhi. Salah satu poin tersebut diantaranya adalah menjadikan air
bersih sebagai barang ekonomi6. Poin ini kemudian membuka pintu bagi sektor
swasta untuk menjadi mitra pemerintah sesuai dengan konsep yang diinginkan
oleh world bank. Melalui program WATSAL, world bank mencoba untuk memperbesar peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia. WATSAL bahkan juga mempromosikan pengalihan kepemilikan perusahaan air
dari pemerintah ke tangan publik/swasta.
Dari berbagai faktor Internasional dan faktor pinjaman dari worldbank diatas, kemudian perusahaan air di wilayah Indonesia mulai di privatisasi
termasuk kota Jakarta. Di kota Jakarta sendiri, perjanjian privatisasi antara publik dan swasta diresmikan pada tahun 1997. Perusahaan Air Minum Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta (PAM Jaya) bekerjasama dengan dua Perusahaan Multinasional milik Inggris dan Perancis. Mitra dari Perancis mengelola bagian barat Jakarta melalui PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan mitra dari Inggris mengelola bagian
timur Jakarta melalui PT Thames PAM Jaya (TPJ). Namun, pada penelitian ini penulis mengambil aktor PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sebagai fokus kajian.
Dalam kerjasama berbentuk konsesi tahun 1997, Instruksi Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa setiap kegiatan PAM Jaya dengan Palyja diarahkan untuk peningkatan pelayanan yang mencangkup peningkatan kuantitas,
peningkatan kualitas, peningkatan kontinuitas, peningkatan efisiensi, dan
6
4
peningkatan kesejahteraan masyarakat7. Kerjasama dilaksanakan dalam bentuk
konsesi yang berlaku selama 25 tahun. Tim negosiasi dibentuk oleh pemerintah DKI Jakarta untuk melaksanakan kerjasama kemitraan antara PAM Jaya dan
swasta oleh Gubernur DKI.
Menurut perjanjian kerjasama, Palyja yang menjadi pihak kedua memiliki keahlian dalam bentuk dana maupun sumber daya lainnya yang berkaitan dengan
rancangan, konstruksi, pengelolaan, dan pengoperasian fasilitas-fasilitas produksi
serta distribusi dalam bidang air bersih8. Oleh karena itu, pembagian tugas antara
Palyja dan PAM Jaya yang diatur dalam kontrak cukup berbeda. Palyja bertanggung jawab atas seluruh pengelolaan perusahaan air Jakarta yang mencakup pencapaian target teknis dan standart pelayanan, pendanaan,
pelaksanaan, operasional, pemeliharaan, dan rencana investasi untuk 5 tahun ke depan. Sedangkan PAM Jaya bertanggung jawab atas monitoring pendanaan,
monitoring pelaksanaan, monitoring operasi, dan evaluasi target teknis dan
standart pelayanan9.
Kesepakatan yang terjadi pada tahun 1997 menunjukkan bahwa Palyja
memegang peranan besar dalam hal fasilitas dan infrastruktur sektor air di Jakarta Barat. Mulai dari pasokan air baku hingga tagihan kepada pelanggan. Kontrak
7 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA
Institute for Water Leteracy) hal 5. Melalui
http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses pada 20 Mei 2014)
8 Ibid, hal6
9
5
privatisasi air Jakarta juga memisahkan mekanisme antara pendapatan perusahaan yang diperoleh dari pelanggan layanan air (tarif air) dan pendapatan yang diterima perusahaan swasta dari PAM Jaya atas jasanya mengelola air di Jakarta (imbalan
air)10. Tarif air adalah harga yang di bayarkan oleh pelanggan, sedangkan imbalan
air adalah harga yang harus di bayar PAM Jaya kepada mitra swasta yaitu Palyja,
atas jasanya memproduksi dan mengelola sistem air di wilayah Jakarta.
Kontrak konsesi yang telah disepakati bersama mitra swasta tahun 1997-2001 menempatkan proyeksi keuangan sebagai faktor paling menentukan dalam
menetapkan imbalan air. Proyeksi keuangan yang dimaksud berkaitan dengan kebutuhan finansial dari pihak swasta, termasuk Palyja. Penentuan imbalan air yang harus dibayar PAM Jaya kepada mitra swasta sama sekali tidak berdasarkan
performance-based atau kinerja perusahaan, melainkan ditetapkan berdasarkan
kebutuhan uang yang diminta oleh pihak swasta11. Hal ini menyebabkan
berapa-pun imbalan air/uang yang diminta oleh swasta, PAM Jaya harus mampu untuk memenuhinya. Kondisi tersebut nyatanya menyulitkan pemerintah Jakarta melalui PAM Jaya. Perusahaan milik pemerintah daerah ini harus mematuhi klausa
kontrak tersebut untuk membayar imbalan air yang semakin naik di tiap periodenya. Secara tidak langsung, klausa ini memberikan jaminan keuntungan
kepada Palyja selama kerja sama berlangsung.
10 Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession,
(Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 6. Melalui
http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro-poor%20Jakarta_0.pdf (diakses 15 Mei 2014)
11
6
Sebaliknya, imbalan air yang ditetapkan dalam kontrak menyebabkan PAM Jaya berhutang kepada pihak swasta. Diperkirakan, hutang PAM Jaya kepada pihak swasta di akhir kontrak pada tahun 2022 adalah sebesar Rp 18
triliun12. Pelunasan hutang ini, nantinya akan dibayarkan oleh Pemenrintah
Provinsi Daerah Jakarta yang diambil melalui dana APBD. Kerugian yang sangat
besar akan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari klausa kontrak yang membahas mengenai imbalan tarif tersebut.
Kontrak tersebut juga menjelaskan mengenai denda pembayaran atas
pembatalan dan pemutusan kontrak. Jika PAM Jaya ingin memutuskan kontrak kerjasama yang telah di sepakati oleh kedua mitra swasta, maka PAM Jaya harus membayar denda sebagai biaya ganti rugi kepada Thames Water dan Suez
Environment. Pembayaran tersebut meliputi biaya dari semua investasi yang
dibuat oleh perusahaan asing, biaya asuransi, dan penghasilan bruto yang
diharapkan selama setengah sisa kontrak13. Poin ini menunjukkan bahwa kontrak
konsesi bersifat mengikat dan sulit untuk melakukan pemutusan kontrak secara sepihak karena harga dari denda yang harus di bayar sangat besar, dan seluruh
dana kerugian ditanggung oleh Pemerintah DKI melalui perusahaan daerah PAM Jaya.
Selain itu, kontrak konsesi antara PAM Jaya dan pihak swasta juga menyebutkan bahwa tarif air akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali.
12 Tim Advokasi Hak Atas Air Gugat Privatisasi Air,
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/13/18260894/Tim.Advokasi.Hak.Atas.Air.Gugat.Pri vatisasi.Air (diakses 16 Mei 2014)
13 Privatisasi PDAM,
7
Kesepakatan tersebut disesuaikan atas dasar tingkat produksi dan pelayanan yang
diberikan mitra swasta kepada pelanggan14 . Tarif air yang meningkat, berkaitan
dengan pelanggan dari perusahaan air yang merupakan penduduk Jakarta.
Kesepakatan ini, nantinya akan berimbas kepada masyarakat Jakarta yang harus membayar harga air yang semakin lama semakin tinggi. Padahal air bersih
seharusnya merupakan hak yang diambil bebas melalui alam, dan tidak menjadi
sesuatu yang diperjual-belikan oleh pasar melalui perusahaan15. Apalagi
perusahaan yang mengelola adalah milik asing yang masuk melalui negara karena
adanya kebijakan-kebijakan kapitalisme. Kenaikan tarif yang diberlakukan dalam kontrak konsesi nantinya akan memberatkan penduduk kota Jakarta, terutama
penduduk Jakarta dengan tingkat penghasilan yang rendah. Masyarakat miskin
tidak dapat mengakses fasilitas yang diberikan Palyja16, karena harga air yang
diberlakukan semakin mahal.
Kontrak privatisasi air tahun 1997 juga membahas mengenai standart dan teknis pelayanan. Standart ini ditetapkan, agar kinerja dari pihak swasta dapat terus meningkat dan kebutuhan air masyarakat Jakarta dapat terpenuhi. Namun,
standart ini nyatanya justru dipagari dengan berbagai syarat yang tidak
mengikat17. Target dan standar teknis dapat diubah jika ada retribusi baru yang
dibebankan pemerintah, munculnya permasalahan terkait air baku, penyimpangan
14 Asri Fitrianti, Op.cit, hal 76 15
Jason Segers, Privatization of Water in Latin America: A Case Study in Bolivia, (California: San Luis Obispo, 2010) hal 24. Melalui
http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=socssp (diakses 16 Mei 2014)
16
Water Privatization Challanged After 16 Years,
http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/05/water-privatization-challenged-after-16-years.html (diakses 20 Mei 2014)
17
8
realisasi keuangan, dan proyeksi keuangan yang berbeda dengan PKS18. Dari sini
terbukti bahwa poin tersebut memberikan kelonggaran tersendiri bagi Palyja
karema kelonggaran standart teknis yang seharusnya dapat dipenuhi pihak swasta.
Kontrak konsesi privatisasi air Jakarta yang diresmikan pada tahun 1997, kemudian di renegosiasikan kembali di tahun 2001 karena adanya ketidakstabilan ekonomi akibat krisis Asia dan ketidak stabilan politik di Indonesia. Poin dalam
kontrak renegosiasi selanjutnya adalah mengenai pengaturan tarif yang harus dibayar pelanggan. Sesuai dengan kontrak tahun 1997, disebutkan bahwa tarif air
akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali. Tetapi dalam perkembangannya, tarif air tidak dapat dinaikkan setiap 6 bulan sekali semenjak tahun 1997 karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi
masyarakat Jakarta seperti krisis keuangan dan ketidak stabilan politik negara saat itu19.
Renegosiasi kemudian mulai membahas kembali mengenai tarif air yang harus dibayar pelanggan dengan kenaikan tarif setiap 6 bulannya. Kenaikan tarif air yang pertama adalah sebesar 35 persen pada bulan April 2001 hingga naik
kembali sebesar 40 persen pada tahun 2003. Harga tarif air kemudian semakin lama semakin meningkat hingga tahun 2007. Tercatat dari tahun 1998 harga tarif
air rata-rata yang tadinya sebesar Rp 1600 per meter kubik menjadi meningkat
drastis sebesar RP 7450 per meter kubik pada tahun 200720. Kenaikan tarif yang
18
Ibid
19 Asri Fitrianti, Op.Cit, hal 76
20 Fiona Zakaria, Assessing Pro-Poor Water Supply Programs in Jakarta (Royal Geographical
9
disepakati nyatanya tidak menguntungkan bagi Pemprov DKI. Karena hasil dana dari kenaikan tarif ini selanjutnya dibagi lagi kepada Departemen Keuangan, pemasukan PAM JAYA, mitra swasta, dan masih banyak lagi. Pendapatan PAM
JAYA dari sektor tarif air masih belum dapat menutupi imbalan air yang diminta swasta. Justru kenaikan tarif ini malah memberatkan pelanggan air, karena harga
yang di bayar semakin mahal dan meningkat drastis per semesternya.
Renegoisasi kontrak selanjutnya juga menjelaskan mengenai tingkat rebasing. Rebasing adalah ketentuan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak
berkaitan dengan imbalan air yang harus dibayarkan PAM JAYA kepada mitra
swasta21. Dalam renegosiasi kontrak tahun 2001, terlihat mitra swasta selalu
mengajukan kenaikan rebasing, dimana imbalan air yang diminta semakin lama
semakin mahal. Seperti kontrak 1997 yang sebelumnya, kenaikan rebasing tidak didasarkan berdasarkan performance based tetapi di titik beratkan pada kebutuhan
finansial pihak swasta. Terlihat dari imbalan air per meter kubik pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 4.257, tahun 2005 sebesar Rp 4.997, tahun 2006 sebesar Rp 5.624, tahun 2007 sebesar Rp 6.407, hingga tahun 2009 sebesar Rp 7.452 per
m322.
Kontrak konsesi tahun 1997 maupun renegosiasi kontrak tahun 2001 yang
seharusnya menguntungkan kedua belah pihak nyatanya malah cenderung banyak menguntungkan PT Palyja daripada Pemprov Jakarta secara keuangan. Pada tahun
21Betapa Rapuhnya Eksistensi Badan Regulator PAM,
http://www.indonesiawaters.com/2009/05/rapuhnya-eksistensi-badan-regulator-pam.html (Diakses 20 Mei 2014)
22 Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan
Dampaknya Bagi Pelanggan (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy, 2011) Hal 7. Melalui
10
2004, Palyja berhasil meraup laba bersih sebesar Rp 114 Milyar atau rata-rata sebesar Rp 125 Milyar per tahunnya. Sedangkan hutang PAM Jaya yang harus dibayarkan ke mitra swasta sampai dengan akhir 2003 adalah sebesar Rp 737,6
Milyar atau rata-rata sebesar Rp 123 Milyar per tahunnya. Artinya, hutang PAM Jaya terhadap kedua mitra swasta sebenarnya dapat ditutup hanya dengan
keuntungan dari Palyja23.
Penelitian ini menjadi urgen, karena berkaitan dengan kebutuhan utama manusia yaitu air bersih. Air bersih adalah barang pokok yang diperlukan manusia
dan keberadaannya tidak dapat digantikan dengan barang lain. Air bersih
merupakan Sumber Daya Alam yang bersifat common property24 sehingga setiap
individu seharusnya memiliki akses terhadap air bersih. Tetapi saat ini, terdapat
regulasi tertentu dari perusahaan air agar setiap individu dapat mendapatkan air bersih. Salah satunya adalah dengan penggunaan dan penetapan tarif air bersih
kepada pelanggan.
Negoisasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta selaku host dan PT Palyja
yang merupakan anak cabang dari Suez Environment selaku MNC ditentukan oleh
Bargaining Power dari masing-masing aktor. Adanya ketimpangan/ketidakseimbangan keuntungan dimana MNC selaku PT Palyja lebih
banyak mendapatkan keuntungan dari Pemprov DKI Jakarta selaku host antara seperti yang telah dijelaskan diatas, ditentukan oleh Bargaining Power dari
23
Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhianie, Op.cit, hal 8 24
11
masing-masing aktor25. Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka
penulis dapat menarik rumusan masalah, “Bagaimana analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi
Perusahaan Air ?”
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT
Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji lebih dalam mengenai analisis “bargaining power” Pemerintah Provinsi Jakarta dan PT Palyja terkait negosiasi kontrak
privatisasi perusahaan air Jakarta.
2. Memenuhi syarat skripsi untuk memenuhi gelar Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Brawijaya
25
12
1.4 Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna memberikan
informasi terkait dengan analisis “bargaining power” Pemprov Jakarta dan PT Palyja
b. Membantu program studi Hubungan Internasional dalam
memberikan informasi dan data yang terkait dengan
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi
peneliti lain yang ingin meneliti tentang analisis
“bargaining power” Jakarta dan PT Palyja dalam kasus privatisasi perusahaan air Jakarta.
b. Diharapkan dapat menjadi sebuah karya penelitian yang
digunakan sebagai referensi bahan pemecahan masalah
13
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, akan dicantumkan hasil
studi terdahulu yang telah dilakukan oleh penulis sebelumnya. Studi terdahulu yang pertama yaitu penelitian yang dilakukan oleh Trnik yang berjudul Local Goverments and Foreign Direct Investment. Examining the Relationship between
MNC’s and Local Goverments in Slovakia26. Dalam penelitian ini, Trnik
menjelaskan mengenai hubungan antara MNC dan host-countries/goverment yang
berfokus pada pemerintah lokal dalam lingkup sub-nasional.
Trnik juga menjelaskan mengenai bargaining power yang dimiliki oleh pemerintah lokal dengan MNC. Studi kasus yang dikaji dalam penelitian ini
adalah dua kota dari Slovakia yaitu Levice dan Vrable dimana dua kota tersebut membuktikan bargaining power-nya yang cukup kuat dalam menarik investasi asing secara otonom. Kedua kota tersebut secara aktif menarik Foreign Direct
Investment untuk masuk dan menjadi wilayah yang memiliki banyak MNC.
Secara tidak langsung, Levice dan Vrable dari negara Slovakia mencerminkan
bargaining position yang kuat melalui pemerintah local melalui banyaknya MNC
dan Foreign Direct Investment yang tumbuh dalam kota tersebut.
26
Michal Trnik, Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship
between MNC’s and Local Goverments in Slovakia (Budapest: Central European University,
14
Trnik menggunakan operasionalisasi bargaining power milik Theodore Moran dalam menentukan posisi pemerintah lokal dari kota Levice dan Vrable. Penelitiannya menjelaskan bahwa karakteristik project dapat berpengaruh
terhadap bargaining position pemerintah lokal. Seperti yang dicontohkan dalam penelitian, yaitu perusahaan Hancook milik Korea yang memiliki karakteristik
teknologi yang canggih dan tinggi dimana hal ini berpengaruh terhadap bargaining pemerintah-lokal dari kota Levice yang menjadi sedikit lemah.
Selanjutnya sumber daya dari host. Salah satu kelebihan yang ditawarkan kedua
kota tersebut adalah tersedianya daerah industri dan kualitas pendidikan angkatan kerja yang baik. Kompetisi MNC di kedua wilayah juga tinggi sehingga menarik
minat investor. Banyaknya MNC dan Foreign Direct Investment yang tumbuh di kota tersebut menyebabkan bargain yang lemah dari MNC ketika hendak
melakukan negoisasi dengan pemerintah kota Levice dan Vrable27.
Persamaan penelitian ini dengan penulis adalah operasionalisasi yang diambil dalam menjelaskan fenomena, yaitu bargaining power milik Theodore Moran. Trnik juga mengambil studi kasus host dari level kota yaitu Levice dan
Vrable yang sama dengan penulis yang juga mengambil kota Jakarta sebagai bagian dari penelitian. Sedangkan perbedaannya adalah fenomena dan aktor yang
diangkat. Trnik mengambil negara Slovakia dan keberhasilan kota Levice dan Vrable dalam menarik investasi asing, sedangkan penulis lebih fokus terhadap salah satu FDI dari Perancis yaitu Suez Environment yang berinvestasi melalui
27
15
PT Palyja dan kerugian host yang didapatkan dari kontrak yang telah disepakati kedua belah pihak.
Studi terdahulu kedua yang penulis ambil adalah milik Ardhianie yang
berjudul Jakarta Water Privatization: Seven Years Of Dirty Water28. Penelitian
dilakukan dalam bentuk tesis yang menjelaskan mengenai dampak yang ditimbulkan dari adanya privatisasi perusahaan air PAM JAYA di Jakarta dari
tahun 1998 hingga tahun 2003. Kerugian ini meliputi adanya kegagalan pemenuhan target dan naiknya harga yang merugikan konsumen terutama
konsumen di tingkat kelas bawah. Naiknya harga kemudian di tanggung oleh konsumen dan sisanya dibayar oleh PAM JAYA yang disebut Water Charge. Defisit yang harus di tanggung dari tahun 1998 hingga tahun 2004 adalah sebesar
900,10 miliar rupiah29.
Kerugian lainnya yang harus ditanggung pihak Indonesia adalah berkaitan
dengan dampak pekerja dari perusahaan air tersebut. Privatisasi membuat hak-hak pekerja menjadi dihapuskan. Pekerja harus menunggu 4 tahun untuk mendapatkan seragam setelah melewati training dan birokrasi yang rumit.
Pekerja yang telah pensiun dan mengabdi lebih dari 10 tahun juga hanya mendapatkan dana tunjangan pensiun sebesar 150.000 rupiah perbulan. Fakta ini
tidak setara dengan pekerja asing yang bekerja di dua perusahaan yang sama dan mendapat gaji sebesar 150 juta hingga 200 juta perbulan. Terbukti bahwa jumlah
28
Nila Ardhianie, Jakarta Water Privatization: Seven Years Of “Dirty” Water, (Washington: Transnasional International) melalui
http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/books/waterindonesia.pdf (diakses 28 Februari 2014)
29
16
pensiun yang didapat pekerja Indonesia hanya 0,001% dari pendapatan pekerja
asing30. Ardhianie juga berpendapat bahwa sebagian besar privatisasi yang
dijalankan di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil dan malah menimbulkan
hutang yang besar karena adanya desakan dari lembaga-lembaga Internasional.
Penelitian Ardhianie menjelaskan tentang kerugian yang ditanggung Indonesia dari adanya kasus privatisasi perusahaan air PAM JAYA Jakarta. Hal
ini berbeda dengan fokus penelitian yang akan dijelaskan penulis, yaitu mengenai Bargaining Power antara Jakarta sebagai host dan Palyja sebagai
MNC. Penelitian yang dilakukan penulis cenderung menjawab permasalahan mengenai penyebab adanya kerugian dari kontrak privatisasi perusahaan air Jakarta melalui bargaining power. Sedangkan persamaan antara penelitian
Ardhianie dan penelitian yang akan penulis kaji adalah aktornya yaitu PAM Jaya yang melibatkan PT Palyja sebagai perusahaan yang turut melakukan privatisasi.
Studi terdahulu yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Wambua Sammy tahun 2004 yang dikeluarkan oleh e Heinrich Böll Foundation
dengan judul “water privatization in Kenya”31. Penelitian ini membahas analisa
kebijakan privatisasi air di Kenya. Penyedian air pada awalnya dipegang oleh negara yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tetapi semenjak
dilaksanakannya reformasi ekonomi di akhir tahun 1980-an, IMF dan Worldbank mulai melakukan penekanan yang lebih besar terhadap Kenya. Sektor air sendiri merupakan salah satu bidang yang ditargetkan Worldbank sebagai privatisasi.
30 Nila Ardhianie,Loc. Cit, hal 231
31
Wambua Sammy, Water Privatization in Kenya,
17
Lampiran kebijakan privatisasi di sektor air diterbitkan pada tahun 1992 yang diperbaharui tahun 1994 dan 1996.
Semenjak dilakukannya kebijakan privatisasi, jumlah partisipasi
perusahaan swasta di Kenya semakin meningkat. Peningkatan peran swasta dalam penyediaan air di Kenya juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi pemerintah. Adanya tindak korupsi dan kerangka yang tidak jelas membuat
privatisasi air yang di jalankan Kenya kurang maksimal. Selain itu, privatisasi melahirkan komersialisasi yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Hal ini
berpengaruh terhadap kemampuan membeli konsumen miskin dalam mendapatkan air bersih.
Persamaan antara penelitian yang dijelaskan diatas dan penelitian ini
adalah sama sama meneliti mengenai kebijakan privatisasi di sektor air beserta permasalahan yang ditimbulkan terkait privatisasi. Sedangkan perbedaannya
adalah fokus negara yang diambil, jika peneliti sebelumnya berfokus pada negara Kenya, penulis lebih berfokus pada negara Indonesia tepatnya di kota Jakarta.
2.2 Kerangka Konseptual
2.2.1 Konsep Bargaining Power
Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau
18
memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut32. Ketika aktor
memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor
tersebut. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih
menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih kuat dari aktor tersebut. Sedangkan Bargaining Power yang ditawarkan pada
penelitian ini, berangkat dari preposisi dependensia yang menyatakan:
The benefits of foreign investments are “poorly” (or “unfair” or “unequally”) distributed between the multinational annd the host, or the country pays “too high” a price for what it gets, or the company siphons off an economic “surplus” that could otherwise be used to finance internal development33
Preposisi diatas menyebutkan bahwa keuntungan dari masuknya investasi
asing tidak terdistribusi secara merata dimana host membayar harga terlalu tinggi kepada FDI dari surplus ekonomi yang seharusnya dapat digunakan untuk
pengembangan dan pembiayaan internal dari host itu sendiri34. Foregn Direct
Investment terjadi karena perusahaan memiliki investasi berupa tehnik dan
keahlian khusus dimana hal ini tidak dimiliki oleh pengusaha lokal. Tehnik dan
keahlian khusus tersebut menjadi halangan bagi host-goverment sehingga secara
tidak langsung host harus melakukan kerjasama dengan MNC35. Untuk
menghindari adanya eksploitasi, Moran menyarankan agar host-country harus
32
Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and
Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3 33 Ibid. hal 80
34 Ibid, hal 80 35
19
mampu untuk menjaga harga dari pelayanan tersebut dengan cara mengatur jumlah pembayaran yang diberikan kepada perusahaan asing.
Adanya ketimpangan distribusi keuntungan juga berkaitan dengan
bargaining power yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Bargaining power
berfungsi untuk mengukur dan menentukan distribusi keuntungan dari kedua aktor. Adanya ketimpangan keuntungan dari kedua belah pihak di sebabkan
karena kekuatan/bargaining power yang berbeda dari masing-masing pihak. Theodore Moran sendiri menyebutkan terdapat tiga variabel yang dapat mengukur
dan memperkirakan posisi tawar.
Pertama adalah karakteristik dari project. Karakteristik dari project meliputi ukuran dari investasi project, biaya ongkos, tingkat kestabilan
tekhnologi, dan diferensiasi produk dari MNC36. Project yang memerlukan
investasi rendah, ongkos biaya tetap rendah, teknologi yang berkembang, dan
memiliki tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan mendapatkan daya tawar yang tinggi bagi MNC ketika hendak melakukan negoisasi dengan host. Hal ini berbanding terbalik dengan project yang memerlukan investasi tinggi, ongkos
biaya tinggi dan perkembangan teknologi yang lambat sehingga rentan terhadap tuntutan-tuntutan yang diminta oleh negara-host. Seperti contohnya project
investasi di bidang minyak, pertanian, atau golongan produksi sumber daya alam
lainnya37. Investasi dalam bidang ini sangat rentan terhadap tuntutan dan
permintaan dari negara-host. Project di bidang pertambangan memerlukan biaya
36Brainslav L. Slantchev, Loc. Cit, hal 82
20
investasi dan ongkos tetap yang tinggi. Hal ini melemahkan bargain MNC, dan ketika project tersebut mulai terlihat menguntungkan, maka pemerintah
negara-host biasanya akan mengajukan tuntutan nasionalisasi atau renegosiasi investasi.
Dalam investasi di industri manufatkur dimana dibutuhkan dimana tingkat diferensiasi produk tinggi, perusahaan asing lebih santai dalam menghadapi
tuntutan negara host38. Tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan menguatkan
bargain dari MNC. Untuk melawan tuntutan yang diberikan negara-host,
perusahaan biasanya melakukan diversifikasi produk, menambahkan teknologi
baru, atau bahkan mengancam untuk menarik seluruh investasinya dari negara-host. Hal tersebut cukup berbeda dengan kelompok perusahaan di bidang
pengetahuan dan teknologi seperti komputer dan alat elektronik. Kelompok
perusahaan di bidang high-technology, memiliki bargain power yang kuat sehingga terbilang relatif aman dari tuntuntan dan permintaan negara-host.
Industri yang baru-baru ini berkembang di negara dunia ketiga tersebut memiliki pengetahuan yang lebih di bidang komputer dan elektronik. Bidang ini merupakan bidang yang dikuasai oleh MNC, dimana kapabilitas dan jangkauan pemerintah
negara-host di negara dunia ketiga masih belum mampu menjangkaunya39.
Kedua adalah karakteristik dari country. Karakteristik dari
host-country meliputi keadaan dari host itu sendiri. Hal ini meliputi ukuran dari jumlah
pasar/konsumen, keadaan mobilisasi kelas menengah dari penduduk host, kemampuan dan keahlian birokrasi lokal, dan besarnya kesempatan/alternatif host
38 Shah M. Tarzi, Loc. Cit, hal 159 39
21
untuk memilih FDI lain40. Host dengan jumlah tawaran pasar/pelanggan yang
tinggi, adanya peningkatan mobilisasi kelas menengah, keahlian birokrasi host yang baik, dan banyaknya pesaing FDI yang tumbuh dalam host akan
meningkatkan bargain dari host-country itu sendiri. Bangkitnya mobilisasi dari kelas sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Populasi
yang menuntut pekerjaan dan program sosial (sebagian pembiayaan yang diperoleh didapatkan dari pendapatan investor asing) akan menekan politisi lokal untuk mendapaatkan manfaat yang lebih besar dari kehadiran MNC. Kemampuan
birokrasi yang berpengalaman akan mengurangi kecenderungan penipuan harga dalam pembiayaan MNC, perjanjian bisnis yang membatasi, dan manipulasi MNC
lainnya. Kehadiran industri domestik yang kuat juga akan meningkatkan kredibilitas lokal dalam hal nasionalisasi (jika ada tuntutan nasionalisasi) dan
menurunkan kesempatan dalam kerugian pembiayaan host.
Ketiga adalah berkaitan dengan faktor eksternal yang meliputi tingkat
ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi perusahaan asing41. Tingkat
ketidakpastian investasi yang tinggi akan melemahkan bargaining power dari
host-goverment dan tingkat ketidakpastian investasi yang lemah akan memperkuat
bargaining power dari host-goverment. Terkait dengan tingkat kompetensi MNC,
jika jumlah MNC dalam bidang yang sama sedikit, maka bargaining power yang dimiliki host-country akan melemah. Sebaliknya, jika jumlah persaingan MNC
meningkat, maka bargaining power dari host-country akan meningkat.
40 Theodore H. Moran, Op.Cit. hal 83 41
22
Tiga faktor diatas dapat digunakan untuk mengukur bargain power dari berbagai bentuk dan macam investasi. Mulai dari investasi di level mikro hingga level makro, bahkan untuk menganalisa bentuk hubungan ekonomi antara center
dan periferi. Dalam hal ini, penulis juga akan menggunakan konsep bargaining power milik Moran untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan.
2.2.2 Operasionalisasi Konsep
Berdasarkan konsep yang telah dijabarkan diatas, maka penulis dapat membagi konsep berdasarkan 3 variabel, yaitu characteristic of project,
characteristic of host, dan exogenous factor42. Characteristic of Project dalam mengukur bargain power menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan project yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, penulis ingin mengukur ukuran investasi
Palyja, ongkos biaya dari Palyja, tingkat tekhnologi yang digunakan Palyja, dan tingkat diferensiasi produk dari air bersih.
Sedangkan characteristics of Host-Country dalam melihat bargain power
mencakup hal-hal yang berkaitan dengan host43. Dalam kasus privatisasi
perusahaan air Jakarta, karakteristik host dapat dioperasionalisasikan melalui keahlian/kemampuan birokrasi lokal Pemprov DKI Jakarta. Penulis hendak meneliti lebih jauh mengenai kemampuan dari birokrasi lokal yang melakukan
negosiasi langsung dengan Palyja. Operasionalisasi selanjutnya adalah jumlah pasar/konsumen yang ditawarkan Jakarta sebagai host kepada Palyja. Jumlah
konsumen yang tinggi akan menguatkan bargain dari host. Jumlah konsumen
42
Theodore H. Moran, Loc. Cit, hal 82-83 43
23
sama saja dengan menawarkan pasar untuk MNC. Sedangkan Jakarta sendiri merupakan ibukota dari Indonesia yang memiliki penduduk sebanyak 9.809.857
jiwa pada tahun 201144 dimana penduduk tersebut pasti memerlukan air bersih
sebagai kebutuhan sehari-hari.
Indikator selanjutnya adalah tingkat mobilisasi kekuatan sosial yang tinggi akan menguatkan bargain host. Menurut Moran, bangkitnya mobilisasi dari kelas
sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Dalam hal ini penulis hendak melihat tingkat mobilisasi kelas menengah dari masyarakat kota
Jakarta. Selain itu, adanya pesaing dari Palyja yang juga mengurusi sektor perairan di Jakarta mempengaruhi bargain dari host maupun MNC. Adanya pesaing MNC lain yang menguasai air bersih di Jakarta, maka bargain host
semakin kuat. Di Jakarta sendiri, terdapat beberapa investasi asing di sektor air yang berjalan, yaitu Suez Environment dari lini usaha GDF Suez asal Perancis
yang beroperasi sejak tahun 199845, Thames Water Overseas Limited asal Inggris
sejak tahun 1998 hingga 2007, dan Acuatico Pte Ltd dalam Acuatico Group asal
Singapura yang beroperasi sejak tahun 200746.
Exogenous factors yaitu faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
bargain dari aktor seperti tingkat ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi
perusahaan asing47. Dalam hal ini penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai
tingkat ketidakpastian dalam investasi di Jakarta dan pertumbuhan perusahaan
44Provinsi DKI Jakarta,
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta (diakses 22 April 2014)
45
Profil Perusahaan, http://id.palyja.co.id/profil/ (diakses 22 April 2014)
46 Profil Perusahaan, http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/profilPerusahaan/page?id=sekilas (diakses 22 April 2014)
47
24
asing di sektor air. Banyaknya MNC maupun investasi asing yang berada dalam kelompok jasa air bersih akan memperkuat posisi tawar dari negara-host. Sebaiknya, semakin sedikit MNC yang bergerak dalam kelompok air bersih,
maka bargain host semakin lemah dan bargain MNC semakin kuat.
25
2.4 Argumen Utama
Berdasarkan paparan fenomena dan kajian konseptual diatas, penulis dapat menarik argumen utama bahwa analisis Bargaining Power Pemerintah Provinsi
Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan air Jakarta dapat dilihat melalui karakteristik project, karakteristik host, dan faktor exogenous/ faktor-faktor eksternal. Karakteristik project meliputi tingkat
investasi dari privatisasi air yang ditanam Palyja, ongkos biaya Palyja, tingkat teknologi Palyja, dan produk pengganti dari air bersih. Karakteristik host meliputi
kemampuan Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi, keadaan penduduk kota Jakarta, jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air PAM, dan perusahaan selain Palyja yang mengelola sekor air bersih di Jakarta Barat. Sedangkan
exogenous/ faktor-faktor eksternal adalah keadaan investasi asing di Jakarta tahun
26
• Jumlah investasi dari project Privatisasi perusahaan air Jakarta
• Ongkos biaya yang diperlukan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta • Tingkat perkembangan teknologi yang
dibutuhkan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta
• Tingkat variasi produk pengganti dalam privatisasi perusahaan air Jakarta
• Dinamika investasi asing di sektor air Jakarta
• Jumlah MNC dalam bidang penyedia air bersih di level global
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif karena hanya terdapat satu variabel. Penelitian deskriptif dipilih penulis karena penulis bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu keadaan dan gejala dalam sebuah
fenomena. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengambarkan Bargaining Power Indonesia dengan PT Palyja (Perancis) dalam privatisasi perusahaan air
Jakarta.
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Sebuah penelitian tentu memiliki ruang lingkup penelitian untuk membatasi lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dimaksudkan agar
penelitian yang dilakukan lebih terarah dan juga memiliki batasan yang jelas. Berdasarkan tujuan penelitian dan rumusan masalah, penulis menentukan batasan
materi yaitu pada dua aktor yaitu bargaining power Jakarta sebagai host dan bargaining power Palyja selaku MNC dari Suez Environment. Sedangkan periode
waktu yang penulis ambil adalah tahun 1997 hingga tahun 2001. Tahun 1997
28
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik
sekunder. Metode pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur untuk mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen serta materi-materi tertulis. Dokumen yang dimaksud dalam hal ini mengacu pada
teks apapun baik yang tertulis, tampak secara visual ataupun diucapkan melalui media komunikasi yang berkaitan dengan bargaining power Pemprov DKI
Jakarta dan Palyja dalam privatisasi air Jakarta
3.4 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan yang berisi mengenai kontrak dan analisis bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan PT
Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta. Selain itu bab ini juga berisi tentang rumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian ini.
BAB II Kerangka Pemikiran
Bab ini menjelaskan konsep yang digunakan oleh penulis untuk menganalisa fenomena yang diangkat yaitu dengan mengunakan konsep
Bargaining Power milik Moran. Bab II ini juga menjelaskan indikator yang ada
dalam konsep untuk digunakan kemudian mengoperasionalkanya kedalam
29
BAB III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang metode yang dipilih oleh penulis untuk
melakukan penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Ruang lingkup penelitian ini terbatas hanya pada Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam privatisasi
perusahaan air Jakarta tahun 1997 hingga 2001. Teknik pengumpulan data dilakukan oleh penulis melalui teknik sekunder melalui studi literatur untuk
mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen serta materi-materi tertulis.
BAB IV Gambaran Umum Privatisasi Air Jakarta
Bab ini berisikan uraian data temuan yang diperoleh oleh penulis dengan mengunakan menggunakan metode serta prosedur yang diuraikan di bab III.
Dalam bab ini, penulis juga menjelaskan secara lebih rinci mengenai data dari project privatisasi air Jakarta. Mulai dari sejarah privatisasi air Jakarta, kontrak
privatisasi air Jakarta, hingga aktor yang terlibat dalam kontrak privatisasi air
Jakarta.
BAB V Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja
30
Penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor yang
menggambarkan bargaining power Pemprov DKI dan PT Palyja.
BAB VI Penutup
Bab terakhir dalam penelitian ini akan berisi mengenai kesimpulan akhir
mengenai latar belakang serta hasil dari rumusan masalah. Dalam bab ini peneliti juga berkontribusi dalam memberikan rekomendasi serta saran bagi peneliti
31
BAB IV
GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA
Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau
kemampuan seorang aktor untuk dapat mempengaruhi lawannya dengan cara
memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut48. Ketika aktor
memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor
tersebut49. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu
aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih
kuat dari aktor tersebut. Pada sub-bab ini penulis akan menjelaskan mengenai kontrak privatisasi Jakarta dan aktor yang berkaitan dalam kontrak tersebut. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai detail dari project privatisasi
air Jakarta seperti sejarah privatisasi air Jakarta dan aktor yang terlibat dalam kontrak.
4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta
Sejarah penyediaan air bersih di Jakarta dimulai semenjak tahun 1985.
Awalnya, tugas penyediaan air bersih diurus oleh Departemen Pekerjaan Umum
48
Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and
Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3. Melalui
http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/04-bargaining-dynamic-commitment.pdf (diakses 20 Juli 2014)
49
32
Pemerintah Provinsi Jakarta. Kemudian pada tahun 1977, PDAM Jakarta di
dirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah No.3 tahun 199750. Nama
PDAM Jakarta kemudian dirubah menjadi PAM Jaya dengan harapan kinerja
perusahaan air dapat lebih baik. Pemerintah terus melakukan perbaikan pada PAM Jaya, demi meningkatkan penyediaan dan kualitas air di Jakarta.
Banyaknya jumlah penduduk karena arus urbanisasi yang semakin meningkat, membuat air bersih menjadi problem yang harus dihadapi penduduk
Jakarta51. Berbagai masalah terkait pemenuhan ketersediaan air bersih mulai
bermunculan. Seperti hilangnya akses air bersih terhadap sebagian masyarakat, fasilitas infrastruktur yang tidak memadai, kendala keuangan, adanya eksploitasi
air tanah oleh bisnis komersial maupun industri, dan lain-lain. Berbagai permasalahan air bersih yang muncul membuktikan bahwa PAM Jaya sebagai satu-satunya unit yang menangani persediaan air bersih tidak mampu mengatasai
permasalahan air bersih tersebut. Sejauh ini, PAM Jaya hanya mampu melayani sekitar 42 persen populasi yang meliputi 340.000 sambungan rumah. Sedangkan
sisanya sekitar 58 persen dari sekitar 8 juta warga Jakarta masih menggunakan air
tanah sebagai sumber dari penggunaan air bersih52. Hal ini tentunya menunjukkan
kinerja PAM Jaya yang masih belum bisa untuk memenuhi kebutuhan air bersih
penduduk Jakarta.
50 Hamong Santono, Current Situation of Jakarta Water Privatization, (Jakarta:KruHa Koalisi
Rakyat Untuk Hak atas Air, 2011), hal 1
51
Ibid 52
Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable
Process?, (Indonesia: Jakarta) hal 23. Melalui
33
Menurut Pemerintah Indonesia, permasalahan air bersih ini dapat
mengganggu upaya peningkatan pendapatan per-kapita rakyat53 sebagaimana
tercantum dalam rencana pengembangan ekonomi pembangunan jangka panjang.
Hal tersebut kemudian mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan yang melibatkan sektor swasta dalam menyediakan air bersih, agar
permasalahan air bersih tersebut dapat terselesaikan.
Privatisasi air bersih yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jakarta juga dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh Lembaga Internasional
world bank. Pada tahun 1990, world bank mengeluarkan konsep yang menjadikan
air sebagai barang ekonomi54. Di Indonesia sendiri, world bank mengeluarkan
Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF) yang berisi
beberapa poin terkait himbauan privatisasi di sektor air. Menurut Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF), untuk mencapai keberhasilan
di sektor air harus ada pemisahan antara pemilik dan pengelola air55. Sektor
swasta dianggap memiliki kapasitas infrastruktur yang memadai, teknologi yang canggih, dan pengalaman yang lebih baik dalam menghadapi problematika air
bersih. Lahirnya prinsip-prinsip tersebut akhirnya semakin mendorong Pemerintah Jakarta untuk melaksanakan privatisasi pada sektor air bersih.
53 Hamong Santono, Op. Cit, hal 1
54
Heni kurniasih, Water Not For All: The Consequance of Water Privatisation In Jakarta,
Indonesia (Melbourne:Australia,2008) hal 5. Melalui
http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014) 55
Alain Locussol, Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (Indonesia discussion paper series: no.10,1997). Melalui
34
Upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Jakarta sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1992. Tetapi, kerangka hukum yang mengatur adanya partisipasi swasta di sektor air belum memadai. Peraturan
perundang-undangan terkait air bersih yang ada pada saat itu hanyalah UU penanaman modal asing dalam pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967.
Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya melibatkan hajat hidup banyak orang tidak diperkenankan dikelola
dengan modal lain termasuk modal asing56. Kemudian dilanjutkan dengan
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam
Perusahaan yang didirikan melalui penanaman modal asing57
Sedangkan di Jakarta sendiri, terdapat 3 perusahaan swasta yang awalnya
tertarik untuk bekerja sama dengan PAM Jaya dalam rangka project privatisasi air
bersih58. Tetapi upaya tersebut gagal karena tidak ada kesepakatan yang dapat
dicapai antara Pemerintah Provinsi Jakarta dengan ketiga perusahaan tersebut. Kegagalan kesepakatan terjadi karena tidak adanya kecocokan kompensasi yang di berikan pemerintah kepada sektor swasta terkait penjualan volume air dan
masalah kenaikan tarif air59. Selanjutnya, pada tahun 1995 pemerintah Jakarta
sepakat untuk membagi wilayah Jakarta menjadi dua dengan menggunakan
Sungai Ciliwung sebagai garis pemisah. Satu wilayah di sisi Barat sungai Ciliwung dan satu wilayah lainnya ada di sisi timur sungai Ciliwung.
56 Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Layanan Air Bersih di Indonesia,
http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/109/Privatisasi_Air/Sejarah_Keterlibatan_Swasta_ dalam_Peyediaan_Layanan_Air_Bersih_di_Indonesia.html (diakses 21 Juli 2014)
57 Ibid
58 Hamong Santono, Op.Cit, hal 1 59
35
Selanjutnya, dua perusahaan asing swasta dipilih sebagai mitra dalam privatisasi tanpa melakukan proses tender. Konsorsium yang ditunjuk adalah Thames Water Overseas asal Inggris untuk wilayah Jakarta bagian timur dan Suez
Environment asal Perancis untuk wilayah bagian barat. PAM Jaya dan
masing-masing konsorsium menandatangani Memorandum of Understanding (MOU)
pada tanggal 6 Oktober 199560. MOU tersebut mengharuskan dua perusahaan
swasta untuk mengadakan studi kelayakan yang harus diselesaikan dalam waktu 4 bulan sejak tanggal MOU diresmikan. Kesepakatan akhir kemudian
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 6 Juni 1997.
Gambar 1: Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta61
Sumber: Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequences of Water Privatisastion
in Jakarta, Indonesia, h.5
60 Hamong Santono,Loc. Cit, hal 2
61
36
Gambar diatas menunjukkan bahwa Palyja memegang wilayah di zona 1, zona 4, dan zona 5. Sedangkan TPJ memegang wilayah di zona 2, zona 3, dan zona 6. Penjelasan mengenai zona yang dikelola oleh dua perusahaan swasta
tersebut adalah sebagai berikut:
Zona 1 : Zona wilayah I terdiri dari dari daerah Gajah Mada,
Gambir, Slipi, Bendungan Hilir, Taman Sari, Pekojan, Pluit, Tebet,
Jelambar, Setiabudi, Palmerah, dan Gelora Senayan62. Dilayani
oleh instalasi pengelolaan air pejompongan I (2.0001/dt) dan
Pejompongan II (3.600 l/dt).
Zona 2 : Zona wilayah II terdiri dari daerah Kramat, Menteng,
Cempaka Putih, Pulo Gadung, Penggilingan, dan Jatinegara63.
Instalasi yang digunakan adalah Instalasi Pengelolaan Air Pulo Gadung (4.000 1/dt).
Zona 3 : Zona wilayah III terdiri dari daerah Kemayoran,
Kebun Bawang, Cilincing, Tanjung Priok, Tugu, Kelapa Gading,
Sunter, dan Semper. Dengan Instalasi Pengelolaan Air Buaran II (3.000 l/dt)64.
Zona 4 & 5 : Zona wilayah IV & V terdiri dari daerah Kapuk Muara,
Kedawung, Kali Angke, Kebon Jeruk, Sukabumi Udik/Ilir,
62
Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009) hal 56. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE 805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014)
63 Ibid 64
37
Kebayoran Lama, Melawai, Mampang Prapratan, Grogol Selatan65.
Dengan Pusat Distribusi terletak di wilayah Lebak Bulus dan Kebon Jeruk, dimana airnya berasal dari Instalasi Cisadane milik
PDAM Tanggerang yang berkapasitas 3.000 l/dt dan disalurkan ke
Jakarta sebesar 2.800 l/dt66.
Zona 6 : Zona wilayah VI terdiri dari daerah Klender, Cipinang,
Pondok Bambu, Duren Sawit, Malaka Sari, Malaka Jaya, Pondok Kopi, Pondok Kelapa, Kebon Pala, Halim Perdana Kusuma,
Cipinang Melayu, Cililitan, dan Condet. Dengan Instalasi
pengelolaan Air Buaran I (2.000 l/dt)67.
4.2 Kontrak Privatisasi Air Jakarta
Kontrak Privatisasi air Jakarta pertama resmi di tanda tangani pada tanggal
6 Juni tahun 1997. Kontrak tersebut kemudian mulai efektif pada tahun 199868.
Latar belakang terjadinya kerjasama antara PAM Jaya dengan mitra asing adalah dikarena-kan kota Jakarta dirasa perlu menambahkan public investment dalam
rangka mengelola dan membangun infrastruktur air bersih69. Kerjasama ini juga
bertujuan untuk meningkatkan kinerja PAM Jaya agar akses dan kualitas air
bersih di Jakarta dapat terpenuhi. Peningkatan kualitas tersebut dapat diperoleh
65 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 57 66
Ibid
67 Ibid, hal 58
68
Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28
69
38
melalui sektor swasta. Sektor swasta disini memiliki kemampuan pengelolaan dan keuangan dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di bidang air. Dengan hadirnya pihak swasta, di harapkan pelayanan air bersih di Jakarta yang didapat
akan menjadi lebih baik dan tarif yang dibayarkan oleh masyarakat dapat lebih murah. Berikut penulis akan menjabarkan mengenai kontrak Privatisasi air Jakarta
secara detail.
4.2.1 Bentuk, Prinsip, dan Ruang Lingkup Kerja Sama
Bentuk kerjasama yang dijalankan oleh PAM Jaya dan mitra swasta adalah
kerja sama berbentuk konsesi. Kontrak konsesi ini berlaku selama 25 tahun, dari tahun 1997 hingga tahun 2022. Kerjasama yang dilakukan PAM Jaya dan mitra swasta diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak agar semua
kepentingan dari pihak terkait dapat terpenuhi. Seperti tercapainya seluruh kebutuhan air bersih masyarakat Jakarta, kemakmuran pekerja di masing-masing
perusahaan air, adanya transfer pengetahuan dan tekhnologi, dan keuntungan
wajar yang didapatkan mitra swasta70. Selama periode 25 tahun, PAM Jaya akan
mengambil alih tanggung jawab operasi, pemeliharaan, sistem distribusi air kota
Jakarta, pengembangan instalasi air, jaringan pipa, dan layanan pelanggan kepada PT Palyja dan TPJ. Mitra swasta akan memperkejakan seluruh pekerja dari PAM
Jaya yang berjumlah 2.803 orang71. Seluruh aset yang dimiliki PAM Jaya, akan
dikelola oleh mitra swasta hingga akhir periode masa kontrak.
70 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28 71