• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemenuhan Hak untuk Memeluk Kepercayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemenuhan Hak untuk Memeluk Kepercayaan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH PUBLIKASI

JUDUL :

PEMENUHAN HAK UNTUK MEMELUK KEPERCAYAAN BAGI PENGANUT KEPERCAYAAN KAHARINGAN

(Studi pada Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu, Kalimantan Selatan)

OLEH :

Bimantara Adjie Wardhana

Laksmi Amrita

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

2

ABSTRACT

COMPLYING ON EMBRACE TO BELIEF RIGHTS TOWARDS

COMMUNITY KAHARINGAN’S BELIEF

(Studies in Balai Kiyu, South Kalimantan)

By :

Bimantara Adjie Wardhana



Laksmi Amrita



This study used a normative and empirical approach. Conducted through a normative approach based on legislation, theories and concepts related to the writing of this study, while the empirical approach done by conducting field research, by looking at the facts that exist in practice and the implementation. The source of the data in this study using primary data and secondary data. The primary data obtained through field study, the secondary data obtained through literature. Data analysis was performed by means of qualitative analysis.

The purpose of this study to understand and know the description of the extent to which the process of the fulfillment of embrace to belief rights committed by the state towards the Kaharingan’s belief in Balai Kiyu, South Kalimantan and know the limiting factor of fulfillment of that rights.

The embrace to belief rights is one of the basic rights that must be fulfill by the State. It is already enshrined in the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 (Constitution NRI 1945) also in law (Act) that is derived from the Constitution of 1945 NRI. Fulfilling the embrace to belief rights in Balai Kiyu Indigenous Peoples as adherents Kaharingan which until now have not, caused a maximum of two (2) main factors that are inhibitors or the source of the biggest problems of realization of the right to hold that belief .

Keywords : Embrace to Belief Rights, Belief, Kaharingan.

(3)

3

INTISARI

PEMENUHAN HAK UNTUK MEMELUK KEPERCAYAAN BAGI

PENGANUT KEPERCAYAAN KAHARINGAN

(Studi di Balai Kiyu, Kalimantan Selatan)

Oleh:

Bimantara Adjie Wardhana



Laksmi Amrita



Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris. Penelitian normatif digunakan dengan melakukan pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan topik penelitian. Penelitian empiris dilakukan untuk melihat fakta-fakta yang terdapat di lapangan. Adapun sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana proses pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan yang dilakukan oleh negara terhadap kelompok pemeluk kepercayaan Kaharingan khususnya pada Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu, Kalimantan Selatan. Selain itu, faktor penghambat dari pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan Kaharingan juga dimuat. Penelitian ini juga memberikan saran/rekomendasi bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan topik penelitian.

Hak untuk memeluk kepercayaan merupakan salah satu hak dasar yang wajib dipenuhi oleh Negara. Hal tersebut sudah termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) juga pada undang-undang (UU) lain yang merupakan turunan dari UUD NRI 1945. Pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan bagi Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai penganut Kaharingan yang sampai saat ini belum maksimal, hal tersebut diakibatkan 2 (dua) faktor utama yang merupakan penghambat atau sumber masalah terbesar dari pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan tersebut.

Kata Kunci : Hak untuk Memeluk Kepercayaan, Kepercayaan, Kaharingan.

(4)

4

A.

LATAR BELAKANG

Hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu topik yang menyita perhatian masyarakat. Perdebatan terkait HAM di Indonesia sangat berkembang pasca reformasi. Salah satu produk perkembangan dari isu HAM itu adalah amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Salah satu pasal yang diamandemen adalah pasal 28 UUD NRI 1945 yang bertujuan untuk memenuhi HAM yang sebelumnya tidak diatur dalam UUD 1945.

Pembicaraan terkait isu HAM tidak terlepas dari upaya pemerintah Indonesia untuk hadir dalam melakukan penghormatan (to respect), pemenuhan (to fulfill) dan perlindungan (to protect) terhadap hak asasi warga negaranya. Aspek-aspek yang wajib diperhatikan adalah :1 a) negara wajib melindungi setiap hak, baik dengan hukum maupun kebijakannya; b) negara tidak diperkenankan mengganggu, membatasi, apalagi melarang kebebasan orang untuk melaksanakan kegiatan pribadi dan politiknya; c) negara melalui aparat kepolisian wajib mengambil tindakan semestinya yang ketika terjadi perbuatan kriminal; dan d) negara melalui aparat penegak hukum (pengadilan) wajib melaksanakan proses hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan kejahatan.

Salah satu isu HAM yang mencuat adalah isu tentang pemenuhan terhadap hak untuk memeluk kepercayaan. Hak untuk memeluk kepercayaan telah tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu negara menjamin kebebasan untuk beribadat sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan yang

dianut. Frasa “kepercayaannya” ditafsirkan sebagai aliran kepercayaan, kepercayaan

suku, kepercayaan adat atau agama-agama lokal, yang populasinya mencapai 40% (empat puluh persen) dari total jumlah penduduk Indonesia.2

Adanya Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut sebagai UU PNPS) yang dalam penjelasan Pasal 1 menjelaskan adanyanya agama mayoritas yang dipeluk oleh warga negara Indonesia. Namun Undang-Undang ini tidak membatasi pemeluk Agama lain atau kepercayaan lain diluar dari enam agama dan kepercayaan mayoritas tersebut.

Undang-undang ini masih mengakui ‘keberadaan’ agama-agama dan kepercayaan seperti Yahudi, Shinto, Tao, Zarasustrian. Agama dan kepercayaan tersebut juga mendapatkan jaminan penuh sebagaimana pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka 177 menyatakan bahwa penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.

Artinya, yang mengikat sebagai norma (dan dapat dijadikan suatu dasar hukum) adalah pasal-pasal dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan dan bukanlah penjelasannya.3 Tetapi, pengakuan de jure yang diberikan oleh UU PNPS tidak secara otomatis memberikan pengakuan secara de facto kepada penghayat kepercayaan.4 Karena

1 Markus Haluk, 2013, Hidup atau Mati:Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua, Penerbit Deiyai, Jayapura, hlm 17

2 IGM Nurdjana, 2009, Hukum dan Aliran Kepercayaan yang Menyimpang di Indonesia , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 7

3 hukumonline.com, 2012, Fungsi Penjelasan dan Lampiran Perundang-Undangan,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6386/fungsi-dan-peran-penjelasanlampiran-suatu-peraturan-perundangundangan diakses 25 September 2016

(5)

5

fakta di lapangan membuktikan bahwa banyak penganut kepercayaan di Indonesia yang belum dipenuhi haknya untuk memeluk suatu kepercayaan.5

Salah satu kepercayaan yang berkembang dan banyak dianut oleh masyarakat adalah kepercayaan Kaharingan. Kaharingan berkembang di 3 (tiga) wilayah Pulau Kalimantan yaitu Kalimantan Tengah, Benuaq (Kalimantan Timur),6 dan Kalimantan Selatan.7 Di Provinsi Kalimantan Selatan, penganut Kaharingan terdapat di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Salah satu wilayah yang memiliki jumlah penganut Kaharingan yang cukup banyak adalah Kecamatan Batang Alai Timur yang terletak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Tengah tahun 2015, penganut Kaharingan yang terdapat pada Kecamatan Batang Alai Timur berjumlah 2.898 jiwa yang tersebar di 2 (dua) desa yaitu Desa Hinas Kiri dan Desa Juhu.8 Penganut Kaharingan di Desa Hinas Kiri terdapat di Balai Kiyu.9

Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu merupakan bagian dari sub-etnik Dayak Meratus atau Dayak Bukit. Dayak Meratus atau Dayak Bukit merupakan pembagian Dayak yang didasarkan atas pembagian 5 (lima) kelompok Dayak yang didasarkan atas penggunaan bahasanya,10 disebut juga sebagai Dayak Meratus karena Masyarakat Dayak tersebut bertempat tinggal di kaki Pegunungan Meratus.11 Dalam hal ini Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sudah mendiami wilayah tersebut selama bertahun-tahun bahkan sebelum negara Indonesia merdeka.

Sebagai penganut Kaharingan, Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sempat merasakan perlakuan diskriminasi. Bentuk diskriminasi terlihat dengan adanya pemaksaan penggolongan kepercayaan Kaharingan yang dimasukkan sebagai agama Hindu oleh intansi pemerintahan Desa Hinas Kiri. Penggolongan ini dapat dikatakan sebagai bentuk pemaksaan yang menganggap bahwa kepercayaan Kaharingan merupakan

5 Bentuk-bentuk pemenuhan hak untuk memeluk kepercayan yang sampai saat ini belum terpenuhi sangat beragam. Dapat dilihat pada Uca News, Penganut Aliran Kepercayaan Meminta Pengakuan kepada Negara, dapat diakses pada laman http://indonesia.ucanews.com/2014/11/13/penganut-aliran-kepercayaan-minta-pengakuan/. Lihat juga Harian Tempo, Penganut Kepercayaan Menolak untuk Memilih Agama , dapat diakses pada laman https://m.tempo.co/read/news/2013/11/28/058533044/penganut-kepercayaan-tolak-pilih-agama.

6 Martin Baier, 2007, The Development of Kaharingan in Dayak Community at Central and East Kalimantan, Anthropos Vol. 102.

7 Anna Lowenhaupt Tsing, 1998, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (Terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia), Penerbit Obor, Jakarta, hlm. 400

8 Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 2015, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dalam Angka, Barabai, hlm. 48

9Istilah ‘balai’ diambil dari nama bangunan yang merupakan aset komunal yang digunakan oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai tempat ibadah (bagi penganut kepercayaan Kaharingan) dan upacara perkawinan. Balai juga kerap digunakan oleh warga setempat untuk tempat menginap bagi tamu dari luar persekutuan – Lihat Departemen Hukum Adat FH UGM & Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Identifikasi Kesiapan (Calon) Desa Adat untuk Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Studi di Kampung Adat Anak Rawa, Riau dan Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kalimantan Selatan), Tidak Dipublikasikan, Yogyakarta, hlm. 4

10 Paschalis Maria Laksono, 2006, Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut, Galang Press, Yogyakarta, hlm. 26

(6)

6

bagian dari agama Hindu. Hal ini disebabkan oleh anggapan yang menyatakan bahwa agama yang sah adalah hanya enam agama yang diakui oleh pemerintah (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Konghucu dan Buddha).

Dampak dari masyarakat penganut kepercayaan Kaharingan yang dipaksakan untuk menganut agama Hindu menyebabkan banyak masyarakat penganut kepercayaan Kaharingan tidak mengerti pendidikan terkait kepercayaan yang mereka anut. Sekolah umum justru memberikan pendidikan agama Hindu kepada murid-murid yang menganut Kaharingan. Dalam sudut pandang administratif pencatatan kependudukan tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut sehingga menyebabkan efek domino terhadap kehidupan masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai penganut Kaharingan. Hal ini menyebabkan masyarakat penganut Kaharingan merasa tidak dapat menjalankan kepercayaan Kaharingan secara bebas.

Berdasarkan paparan diatas maka perlu diteliti lebih lanjut mengenai peran dari negara untuk hadir dalam memberikan pemenuhan hak terhadap masyarakat penganut kepercayaan Kaharingan. permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan oleh negara terhadap kelompok penganut Kaharingan khususnya Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu, Kalimantan Selatan?

2.

Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat terhadap pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan bagi masyarakat penganut Kaharingan di Balai Kiyu, Kalimantan Selatan?

B.

METODE PENELITIAN

1.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penggabungan antara penelitian normatif dan empiris (lebih umum disebut normatif-empiris/yuridis-empiris). Penelitian normatif dilakukan dengan memfokuskan pada pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach).12

Pendekatan pertama dilakukan untuk mempelajari dan menganalisa indikator-indikator yang terdapat dalam hak untuk memeluk suatu kepercayaan dari bahan-bahan hukum primer, sedangkan pendekatan kedua digunakan untuk menggali lebih dalam terkait dengan konsep hak untuk memeluk kepercayaan yang didapatkan dari doktrin-doktrin ahli hukum. Kedua pendekatan tersebut digunakan untuk mengukur sejauh mana pemenuhan hak yang sudah dilakukan oleh negara terhadap para penganut kepercayaan Kaharingan.

Penelitian empiris digunakan untuk menilai bekerjanya norma atau aturan yang terdapat di lapangan.13 Oleh karena itu, penelitian empiris digunakan untuk melihat faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dari pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan yang terdapat di Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai penganut Kaharingan.

12 Penjelasan dua jenis pendekatan penelitian tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 133 – 180

(7)

7

2.

Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang dilakukan untuk menelaah peraturan perundang-undangan, literatur, karya-karya hukum, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian.14

Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari:

1) United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP); 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI

1945);

3) Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan Penodaan Agama (UU PNPS);

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; dan

6) Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberi petunjuk dan menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari :

1) Buku-buku mengenai hukum, kepercayaan dan hak asasi manusia, khususnya hak untuk memeluk kepercayaan;

2) Karya-karya ilmiah dan laporan-laporan penelitian bidang hukum terkait dengan topik penelitian; dan

3) Majalah, artikel, jurnal, surat kabar dan website.

c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

3.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang akan terdapat dalam penelitian ini adalah Responden. Responden memberikan respon terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Responden ditentukan dengan cara purposive sampling, hal ini disebabkan responden yang ditentukan memiliki unsur yang dapat digunakan sebagai sampel. Unsur disini merujuk kepada jabatan serta tugas pokok fungsi dari masing-masing responden dan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai penganut Kaharingan. Responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(8)

8 a. Ketua DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah;

b. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Batang Alai Timur;

c. Kepala Bagian Hukum dan Kerukunan Umat Beragama Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Hulu Sungai Tengah;

d. Ketua Keagaamaan dan Lintas Iman Pengurus Harian Hindu Dharma Indonesia; e. Sekretaris Desa Hinas Kiri;

f. Kepala Adat Balai Kiyu;

g. Pangirak (Pembantu Kepala Adat untuk Urusan Pemerintahan) Adat Balai Kiyu; h. Penghulu (Petugas Pelaksana Perkawinan Adat) Balai Kiyu; dan

i. Tokoh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu.

4.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data sekunder adalah dengan menggunakan bahan-bahan hukum baik primer, sekunder dan tersier yang digunakan untuk mengetahui indikator apa saja yang merupakan bagian dari hak untuk memeluk kepercayaan dari berbagai data sekunder (khususnya bahan hukum) yang ada.

Teknik pengumpulan untuk mendapatkan data primer adalah dengan melakukan wawancara tidak terstruktur dan diskusi yang berbentuk pertemuan dengan beberapa responden. Wawancara tersebut juga ditunjang dengan pengamatan tidak terlibat yang berlangsung selama 12 (dua belas) hari di lokasi penelitian yang berlangsung selama 4-15 Mei 2016. Teknik tersebut digunakan untuk mengetahui berbagai permasalahan terkait pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan sekaligus untuk mengetahui faktor-faktor penghambat yang menyebabkan munculnya permasalahan yang berkaitan dengan topik penelitian.

Alat pencari data yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data primer adalah pedoman wawancara dan alat penunjang lain. Alat penunjang lain yang dimaksud adalah beberapa catatan hasil diskusi dengan responden yang berguna untuk melengkapi pelaksanaan wawancara.

5.

Analisis Data

(9)

9

C.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.

Indikator-Indikator yang merupakan bagian dari Hak Memeluk

Kepercayaan

Hak untuk memeluk kepercayaan merupakan bagian dari hak sipil dan politik. Pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan memiliki beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan. Indikator dapat dilihat berdasarkan peraturan yang menjelaskan dan menerangkan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikapnya sesuai dengan hati nurani yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang terdapat di Indonesia yang mengatur mengenai hak untuk memeluk kepercayaan banyak yang tidak memiliki penjelasan. Dalam hal ini, peneliti berusaha melakukan penemuan hukum yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak pula lengkap.

Penemuan hukum dilakukan dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undanganganya dengan beberapa metode penemuan hukum.15 Metode yang digunakan dalam melakukan penemuan hukum terhadap beberapa peraturan perundang-undangan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode interpretasi/metode penafsiran.16 Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi indikator pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Indonesia sebagai negara hukum memiliki konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

1) Pasal 28 E ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Pasal 28 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

berbunyi : “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Makna dari Pasal tersebut secara yuridis dalam penjelesan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya

mengatakan “Cukup Jelas” dan tidak menjelaskan lebih lanjut makna dari “berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati

nuraninya”.

Penulis dalam hal ini menggunakan penafsiran secara gramatikal yang mendasarkan pada pengertian yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata

“kebebasan” berarti kemerdekaan atau keadaan bebas. Kebebasan berasal dari kata bebas

15 Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum:Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 56

(10)

10

yang berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu), lepas dari kewajiban, tuntutan dan perasaan takut, tidak terikat, merdeka.17 Sedangkan kata “menyatakan” berarti menerangkan; menjadikan nyata; menjelaskan atau mengatakan; mengemukakan; melahirkan.18 Dan kata “nurani” bermakna perasaan hati yang murni yang sedalam -dalamnya, lubuk hati yang paling dalam.19

Penafsiran dari Pasal 28 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah leluasa untuk bergerak, berbuat dan berbicara dalam meyakini kepercayaannya dari lubuk hati yang paling dalam dan memberitahukan kepada orang lain mengenai kepercayaan yang dianut tanpa ada rasa takut untuk memanifestasikan kepercayaan tersebut. Pasal 28 E ayat (2) memberikan acuan bahwa setiap orang di Indonesia berhak untuk secara bebas menyatakan kepercayaan baik dalam bentuk sikap dan perbuatan secara bebas dan bertanggung jawab.

Adapun penafsiran secara historis dilihat dari hal yang melatarbelakangi terbentuknya Pasal tersebut. Pasal 28 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2000. Pasal ini dimasukkan dalam bab X A yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia.

Perubahan didasarkan pada tuntutan reformasi untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Masuknya rumusan HAM kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kemajuan besar dalam proses perubahan Indonesia yang secara konstitusional hak asasi setiap warga negara telah dijamin.

Rapat Komisi A ke-4 memunculkan isu tentang hak untuk memeluk kepercayaan dan menjadi perdebatan pada saat itu. Kepercayaan yang dimaksud dalam Pasal 28 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 merupakan aliran kepercayaan sesuai dengan kutipan perdebatan dibawah ini:20

“Prof. Dr. Nazaruddin Umar dari Tim Ahli berupaya untuk memberikan penjelasan

bahwa dengan menghilangkan kata ‘kepercayaan’ pada Pasal 29 tidak berarti

mengeliminir eksistensi aliran kepercayaan. Lebih jauh ia mengatakan.Saya kira

begini, dihilangkannya kata “kepercayaan” itu bukan berarti mengeliminir

eksistensi aliran kepercayaan itu, tapi umbrella nya nanti kita bisa lihat secara eksplisit di dalam Pasal 28E Ayat (2), kemudian secara implisit itu bisa dilihat di dalam Pasal 28J Ayat (1) dan Pasal 28J Ayat (2).”

Pasal 28 E ayat (2) UUD NRI 1945 memberikan ukuran bahwa yang menjadi bagian dari hak untuk memeluk kepercayaan adalah bagaimana hak seseorang untuk secara leluasa bergerak, berbuat dan berbicara dalam meyakini kepercayaannya dari lubuk hati yang paling dalam dan memberitahukan kepada orang lain mengenai kepercayaan yang dianut tanpa rasa takut untuk memanifestasikannya. Pasal ini secara tidak langsung juga menjadi acuan bahwa seluruh warga Indonesia berhak secara bebas menyatakan kepercayaan

17 Depatemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm.90 18 Ibid, hlm. 620

19 Ibid, hlm. 619

(11)

11

dalam bentuk sikap dan perbuatan secara bebas dan bertanggung jawab.

2) Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang menyatakan bahwa “Negara berkewajiban untuk memenuhi dan menyediakan setiap orang untuk menganut agama dan melakukan ibadat berdasarkan ajaran agama maupun

kepercayaan.” Berdasarkan penafsiran secara gramatikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian kata “menjamin” adalah menanggung, berjanji akan memenuhi kewajiban, menyediakan kebutuhan hidup.21 Sedangkan kata “memeluk” berarti menganut ( mengikuti ajaran)22dan kata “beribadat” berarti menunaikan ibadat.23

Lain hal dengan penafsiran secara historis, penulis memuat perdebatan yang membicarakan mengenai klausul “kepercayaan” yang terdapat pada Buku VIII tentang Warga Negara, dan Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Kepercayaan. Perdebatan yang terjadi adalah:24

“Sebagai penutup terhadap kesepakatan yang telah dicapai, yaitu kesepakatan untuk tetap menggunakan rumusan Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945,Perkumpulan bangsa kita dalam ikhtiar meletakkan hubungan agama dan negara pada momentum Sidang Tahunan Majelis sekarang ini dapat disepakati dengan tetap pada rumusan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 29 Ayat (1) dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya, hanya itu pada Pasal 29 Ayat (2).”

“Rumusan yang merupakan kesepakatan luhur para pendiri negara pada tahun 1945 ini dipandang paling tepat untuk mengayomi semua aspirasi dan pemahaman keagamaan menurut masyarakat Indonesia, kami sangat menghargai seluruh fraksi MPR terutama fraksi pengusul tujuh kata Piagam Jakarta yang telah menunjukkan jiwa besar dalam memperjuangkan aspirasi konstituennya sehingga tercapai kesepahaman untuk tidak melakukan voting terhadap Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat

(2) ini.”

Perdebatan diatas menyesuaikan dengan gagasan pokok yang dicetuskan dalam Undang-Undang Dasar sebelum di amandemen. Latar belakang terbentuknya Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut:25

“Arti kepercayaan dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan usul dari Wongsonegoro sebagai salah seorang anggota panitia perancang UUD 45, beliau mengusulkan kebebasan beribadat yang seluas-luasnya, termasuk bagi kebatinan, kejiwaan dan kerohanian. Usul Wongsonegoro untuk mencantumkan pula kata kebatinan dalam Pasal 29 UUD 45 diterima. Tetapi kemudian dalam proses pembuatannya, untuk kata kebatinan itu

21 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm.348 22 Ibid, hlm.662

23 Ibid, hlm.318

(12)

12

dicari istilah lain yang netral dan digunakan kata kepercayaan seperti yang ada pada ayat (2) Pasal 29 UUD 45 hingga sekarang”.

Pasal ini memberikan rujukan indikator terpenuhinya hak untuk memeluk kepercayaan dengan kewajiban negara dalam menyediakan tempat ibadah baik sarana maupun prasarana.

Kedua pasal yang terdapat pada UUD NRI 1945 memberikan rujukan bahwa indikasi seseorang untuk dilindungi haknya dalam memeluk kepercayaannya memerlukan peran negara agar pemeluk kepercayaan secara merdeka dapat beribadat dan menunjukan sikap akan keyakinannya terhadap kepercayaan yang dianut. Berdasarkan analisis peneliti, seseorang dinyatakan terpenuhi haknya untuk memeluk kepercayaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika:

a) Penjaminan kebebasan untuk memilih keyakinan yang dianut;

b) Penjaminan dalam hal beribadah, dimana tiap pemeluk agama dan kepercayaan di berikan kebebasan dalam melakukan ibadah, baik dari segi tempat ibadah maupun tentang tata cara ibadah/ ritual ibadah. Contohnya: negara memperbolehkan adanya masjid untuk agama Islam dan memperbolehkan untuk mengajarkan kepada penganutnya tentang tata cara membaca Al-Quran dan memperbolehkan penganutnya untuk melakukan ibadah Shalat lima waktu; c) Adanya penyebaran ajaran kepercayaan tersebut untuk penganutnya; dan d) Kebebasan dari ketiga poin diatas dijamin secara penuh namun dengan batasan

sesuai dengan norma dan ketertiban umum.

b. Undang-Undang Republik Indonesia

Undang-Undang merupakan dasar hukum kedua setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang merupakan pengaturan lebih lanjut setelah tertuang dalam Undang-Undang Dasar. Bagian ini memberikan penjelasan mengenai undang-undang apa yang mengatur mengenai pemenuhan kebebasan untuk memeluk kepercayaan yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang bebas untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Penjelasan Pasal 22 ayat (2) menjelaskan bahwa seluruh agama dan kepercayaan yang berkembang di Indonesia seluruhnya wajib difasilitasi oleh negara, pasal ini merupakan turunan dari Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Makna dari “hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah

hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh Undang-Undang dan terdapat dalam teks Undang-Undang-Undang-Undang dan bukan dalam Tambahan Lembara Negara.26 Namun interpretasi otentik tidak termasuk dalam ajaran interpretasi.27 Sehingga peneliti juga melihat dari interpretasi gramatikal yang dimaksud dari “kepercayaannya”

(13)

13

dari Pasal 22 ayat (1), (2) bermakna sebutan bagi sistem religi di Indonesia yang tidak termasuk salah satu dari keenam agama resmi.28

Selain itu, Pasal 55 UU HAM juga mengatur mengenai hak setiap anak untuk beribadat menurut ajaran agama atau kepercayaannya didalam asuhan orang tua atau bimbingan pihak lain. Pasal ini secara tidak langsung memberikan tugas bagi orangtua untuk memberikan fasilitas bagi anak-anak mereka dalam menjalankan ibadat menurut agama atau kepercayaannya. Sehingga peran negara dalam hal ini adalah memastikan bahwa pelaksanaan dari hak tersebut telah sesuai dengan aturan yang ada.

2) Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan tidak hanya mendasarkan kepada kebebasan memilih dan beribadah, melainkan juga melalui pencatatan administrasi. Oleh karena itu muncul Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang saat ini telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk menyatakan bahwa Orang yang menganut kepercayaan dimana bukan merupakan agama yang diakui sebagai agama resmi di Indonesia maka tidak diisi dalam KTP namun tetapi tetap dicatat dan dilayani dalam database kependudukan.”

Berdasarkan penafsiran yang dilakukan oleh penulis, UU Adminduk memberikan rujukan indikator terpenuhinya hak untuk memeluk kepercayaan adalah setiap orang diberikan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan. Namun di pasal berikutnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai penjaminan negara untuk pemeluk kepercayaan beribadah sesuai dengan ajarannya dan adanya pencatatan pemeluk kepercayaan.

2.

Pelaksanaan Pemenuhan Hak untuk Memeluk Kepercayaan bagi

Penganut Kaharingan

a. Pemenuhan Hak untuk Memeluk Kepercayaan dalam hal Kebebasan untuk

Meyakini Kepercayaan

Sebagai suatu kepercayaan, Kaharingan merupakan keyakinan yang memiliki ajaran dan pemahaman yang memuat aturan kehidupan. Nilai dan isinya bukan sekadar kungkungan adat-istiadat yang dirahasiakan dan sekedar untuk dilaksanakan. Kaharingan merupakan ajaran yang menjadi pedoman hidup berperilaku yang disampaikan secara lisan secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang dan dimengerti secara menyeluruh oleh para penganutnya.

Kaharingan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan adikodrati yang mereka sebut dengan Ning Bhatara Langit. Selain Ning Bhatara Langit, ajaran Kaharingan juga mengakui keberadaan dari Pasarupa (Ruh Leluhur Nenek Moyang) yang dianggap sebagai makhluk kasat mata yang hidup di sekitar mereka. Pasarupa memiliki tugas sebagai perantara antara manusia dengan Ning Bhatara Langit sekaligus sebagai pengawas manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis beranggapan bahwa hal ini merupakan gambaran adanya konsep Particperend Cosmich yang dimaksudkan oleh Bushar Muhammad. Participerend

(14)

14

Cosmich memiliki pengertian bahwa pikiran, perasaan dan tindakan masyarakat hukum adat didorong oleh kesadaran bahwa setiap hal di dunia (kosmos) memiliki kekuatan yang saling menjaga. (Dalam arti lain, masyarakat hukum adat memiliki hak dan kewajiban tidak sebatas pada sesama manusia, akan tetapi juga terhadap roh leluhur mereka).29 Ajaran Kaharingan dalam hal ini tidak hanya mengatur masalah hubungan antara Ning Bhatara Langit (Yang Maha Kuasa) dengan manusia, akan tetapi mengatur mengenai hubungan antara Ning Bhatara Langit, Pasarupa dan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Kaharingan merupakan suatu kepercayaan dan bukan agama.

Beberapa sumber dan literatur banyak menyebut bahwa Kaharingan merupakan bagian dari Agama Hindu.30 Hal tersebut disebabkan oleh adanya anggapan Kaharingan

merupakan keyakinan yang mempercayai “banyak Dewa”. Seperti dewa yang menguasai

tanah, dewa penguasa sungai, penguasa pohon, penguasa batu, dan dewa-dewa yang berkuasa di tempat atau kejadian lainnya. Akan tetapi, banyak yang tidak tahu kalau Kaharingan tidak mengenal istilah Tuhan.

Maribut, seorang Balian (Pemuka Agama dalam kepercayaan Kaharingan) menyebutkan bahwa penganut Kaharingan tidak mengenal istilah dan terminologi Tuhan. Mereka hanya percaya kepada Ning Bhatara Langit (Yang Maha Kuasa) yang mereka anggap sebagai kekuatan adikodrati pemilik dan penguasa seluruh alam. Dewa-dewa yang ada dalam Kaharingan juga tidak sama dengan dewa-dewa yang terdapat pada Agama Hindu.31

Anggapan Kaharingan sama dengan Agama Hindu yang sudah berakar dalam persepsi masyarakat di sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan yang akhirnya menyebabkan bahwa para penganut Kaharingan dinyatakan sebagai bagian dari penganut Agama Hindu. Hal tersebut didukung dengan sikap Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang menyebut bahwa munculnya istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. PHDI menganggap bahwa kemunculan ini disebabkan pelaksanaan ajaran Hindu yang berbeda-beda dan menyesuaikan dengan daerah, zaman dan lingkungannya.32

Ditambahkan pula, dalam penyebutan Tuhan pada masing-masing daerah mempunyai ciri khas masing-masing dan mempergunakan bahasanya sendiri. Contohnya: Ning Bhatara Langit (Kaharingan) atau Hyang Widhi (Bali dan Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini, mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hatinya dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda (Brahman).33

Agama Hindu memiliki kitab suci yaitu Weda. Kitab Weda memuat ajaran-ajaran yang digunakan sebagai pedoman hidup dari umat Hindu. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Kepercayaan Kaharingan, Kaharingan menganggap bahwa ajaran-ajaran tentang kehidupan yang diturunkan dari nenek moyang mereka merupakan pedoman dan batasan hidup mereka. Penganut Kaharingan menganggap bahwa kitab suci telah berbaur

29 Bushar Muhammad, 1961, op.cit, hlm. 45

30 I Nyoman Sidi Astawa, 2007, Politik Identitas :: Studi Kasus Masyarakat Hindu Kaharingan di Palangka Raya Kalimantan Tengah, Tesis: S2 Ilmu Perbandingan Agama UGM, Yogyakarta, hlm. 78

31 Hasil wawancara dengan Bapak Maribut (Balian/Pemuka Agama dalam Kepercayaan Kaharingan) pada 7 Mei 2016.

32 Hasil wawancara dengan Bapak I Ketut Wiana (Ketua Keagaamaan dan Lintas Iman Pengurus Harian Hindu Dharma Indonesia), pada 6 Agustus 2016.

(15)

15

menjadi satu dengan jiwa mereka, sehingga mereka menganggap bahwa Weda yang merupakan kitab suci Agama Hindu tidak menganut ajaran-ajaran Kaharingan.34

Selain penyebutan terminologi Tuhan dan keberadaan Kitab Suci, tempat ibadah merupakan bagian selanjutnya yang menunjukkan perbedaan antara Agama Hindu dengan Kepercayaan Kaharingan. Penganut Kaharingan menganggap bahwa pura (tempat ibadah bagi umat Hindu) bukan merupakan tempat ibadah. Kepala Adat Balai Kiyu menyebut bahwa umat Kaharingan memiliki balai (rumah adat) yang juga berfungsi untuk menyelenggarakan ibadah. Sehingga balai dianggap pula sebagai sarana ibadah untuk memuja Ning Bhatara Langit. 35

Ketiga poin diatas oleh penulis digolongkan sebagai pembeda antara Agama Hindu dengan Kepercayaan Kaharingan. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan lingkup dari bagian meyakini kepercayaan secara bebas. Anggapan bahwa Hindu dan Kaharingan adalah sama, mengartikan bahwa memaksakan kehendak salah satu pihak untuk meyakini agama/kepercayaan yang tidak diyakini.

Dalam arti lain, pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan bagi penganut Kaharingan dalam hal kebebasan meyakini kepercayaannya belum maksimal dilakukan oleh Negara. Karena terdapat ketiga pembeda yang dapat memberikan batasan jelas antara Agama Hindu dengan Kepercayaan Kaharingan, sehingga negara dalam hal ini pemerintah perlu mengakomodir kebebasan untuk meyakini kepercayaan bagi penganut Kaharingan yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan tersebut.

b. Pemenuhan Hak untuk Memeluk Kepercayaan dalam hal Manifestasi dari

Memeluk dan Meyakini suatu Kepercayaan

Pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan tidak hanya sebatas pada kebebasan untuk menganut kepercayaan tersebut. Sama halnya dengan agama, Kaharingan juga memiliki aspek-aspek yang merupakan bagian dari manifestasi dari memeluk dan meyakini Kaharingan. Manifestasi tersebut oleh penulis dibagi kedalam 3 (tiga) topik permasalahan yaitu manifestasi dalam beribadah, pencatatan administrasi (kependudukan dan pernikahan) serta hak untuk mendapatkan pendidikan terkait kepercayaan Kaharingan.

Ibadah merupakan hal utama yang merupakan bagian dari manifestasi hak untuk memeluk kepercayaan. Ibadah dalam Kaharingan merupakan bagian dari menghormati adanya Ning Bhatara Langit dan Pasarupa, sekaligus mengaskan adanya hubungan diantara ketiga elemen. Penganut Kaharingan melaksanakan ibadah di Balai. Ibadah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Ibadah Biasa dan Ibadah Besar (Ganal).36

Ibadah biasa dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang disepakati oleh para pemangku adat dan Balian-balian. Kesepakatan tersebut nantinya mencakup juga seserahan yang akan disampaikan kepada Ning Bhatara Langit dan Pasarupa.37 Umunya ibadah biasa bertujuan untuk mendapatkan rahmat dan berkah, contoh: hujan. Lain hal dengan ibadah biasa, ibadah besar (Ganal) merupakan ibadah yang wajib dilakukan pada saat masa panen. Semua penganut Kaharingan diwajibkan untuk memberikan seserahan

34 Hasil diskusi dengan Bapak Makurban (Kepala Adat) dan Bapak Suhaderi (Penghulu/Gurujaya) Balai Kiyu.

35 Hasil wawancara dengan Bapak Makurban (Kepala Adat Balai Kiyu), pada tanggal 6 Mei 2016. 36 Hasil wawancara dengan Bapak Suhaderi (Gurujaya Balai Kiyu), pada 9 Mei 2016.

(16)

16

ke Balai untuk persembahan kepada Ning Bhatara Langit dan Pasarupa. Ibadah Ganal tersebut dipimpin oleh Gurujaya (Pemimpin para Balian).

Pelaksanaan ibadah di Balai hingga saat ini masih menggunakan Balai yang pertama kali didirikan oleh para nenek moyang mereka. Bapak Zakarsi selaku Kepala Balai yang bertugas untuk merawat Balai yang digunakan untuk melaksanakan ibadah menuturkan bahwa terakhir kali renovasi terhadap Balai dilakukan pada saat Bapak Zakarsi belum lahir. Kondisi Balai sendiri hingga saat ini hanya ditambal-sulam oleh masyarakat sekitar yang dipimpin oleh Bapak Zakarsi. Bapak Zakarsi menuturkan bahwa dirinya bersama para pemangku adat Balai Kiyu sudah mengajukan permohonan bantuan untuk merenovasi Balai Kiyu kepada Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan hingga saat ini belum mendapatkan respon atau perhatian.38

Ketua Dewan Perwakilan Provinsi Daerah (DPRD) Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Bapak Saban Effendi menjelaskan bahwa terdapat prioritas-prioritas utama dalam hal pembangunan sarana dan prasarana yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, salah satu bidang tersebut adalah pembangunan sarana dan prasarana keagamaan. Dalam hal ini dirinya menyebutkan bahwa pengajuan terhadap perbaikan sarana dan prasarana dapat diajukan kepada Dinas Pekerjaan Umum yang membidangi terkait sarana dan prasarana.39

Sama halnya dengan Ketua DPRD, Kepala Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Bapak Saifudin menyebut bahwa dalam hal pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan keagamaan merupakan tugas dari Dinas Pekerjaan Umum. Kantor Wilayah Kementerian Agama dalam hal ini hanya bertugas menjadi fasilitator dari pembangunan atau pengembangan sarana dan prasarana keagamaan.40

Selain itu, Saifudin juga menyatakan bahwa dalam hal pembangunan Balai sebenarnya merupakan sesuatu yang agak sulit diupayakan. Hal ini disebabkan bahwa status Kaharingan yang diketahui oleh seluruh pejabat Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah adalah bagian dari Agama Hindu. Pada umumnya komunitas Pemeluk Agama Hindu Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang mengajukan permohonan. Dalam hal ini pengajuan permohonan tersebut adalah untuk pembangunan atau pengembangan Pura (Tempat Ibadah Penganut Agama Hindu), bukanlah Balai (Tempat Ibadah Penganut Kaharingan).

Dalam lingkup manifestasi untuk melakukan ibadah adalah membentuk suatu perkumpulan/komunitas dari para penganut kepercayaan tersebut. Dalam hal ini, penganut Kaharingan dapat membentuk suatu komunitas untuk mewadahi para penganut tersebut, akan tetapi hal tersebut belum terlaksana hingga saat ini. Ketua FKUB Kabupaten Hulu Sungai Tengah menyatakan bahwa terdapat kekhawatiran akan memunculkan banyaknya kepercayaan-kepercayaan yang juga akan meminta untuk membentuk suatu komunitas.

Pendapat tersebut didasarkan pada sejarah kepercayaan Kaharingan yang ditempatkan oleh para pejabat-pejabat negara di era sebelumnya. Mengutip pendapat Marko Mahin dalam disertasinya yang menjelaskan bahwa sejak Indonesia merdeka, Kaharingan tidak diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Pemerintah

38 Hasil wawancara dengan Bapak Rusmin (Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu), pada 9 Mei 2016.

39 Hasil wawancara dengan Bapak Saban Effendi (Ketua DPRD Kab. Hulu Sungai Tengah), pada 6 Mei 2016.

(17)

17

Indonesia melihat Kaharingan hanya sebagai “agama suku” atau “aliran kepercayaan” atau salah satu aspek dari “adat” atau “kebudayaan”. Karena itu, Kaharingan ditempatkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan bukan dibawah Departemen Agama.41

Sehingga apabila kembali kepada pendapat dari Ketua FKUB Kabupaten Hulu Sungai Tengah, maka ditarik suatu titik temu yang menyatakan bahwa karena Kaharingan bukan dianggap sebagai agama. Maka, FKUB Kabupaten Hulu Sungai Tengah belum dapat memutuskan apakah Kaharingan dapat membentuk suatu perkumpulan komunitas agama atau tidak. Karena secara yuridis, hal ini dikhawatirkan bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penodaan Agama (UU PNPS).42

Permasalahan terkait dengan manifestasi hak untuk memeluk kepercayaan bagi penganut Kaharingan selanjutnya adalah berkaitan dengan prosedur pencatatan administrasi kependudukan, serta perkawinan yang dilaksanakan oleh penganut Kaharingan. Pencatatan administrasi kependudukan dalam KTP Elektronik (E-KTP) yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Hulu Sungai Tengah memasukkan Agama Hindu ke dalam kolom agama para penganut Kaharingan.

Rusmin (Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu) menyatakan bahwa dirinya merupakan penganut Kaharingan sejak dia lahir, begitu juga orangtua dan saudara-saudaranya. Hingga saat ini, mereka selalu dianggap sebagai penganut agama Hindu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan keyakinan yang terdapat di dalam hatinya yaitu kepercayaan Kaharingan.43

Apabila mengacu pada Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa orang yang menganut kepercayaan dimana bukan

merupakan agama yang diakui sebagai agama resmi di Indonesia maka tidak diisi dalam KTP namun tetapi tetap dicatat dan dilayani dalam database kependudukan. Seharusnya kepercayaan Kaharingan tidak digolongkan sebagai Agama

Hindu, melainkan dikosongkan namun tetap tercatat dalam database kependudukan yaitu berupa kepercayaan Kaharingan. Sehingga tidak ada pertentangan nurani dengan kepercayaan yang dianutnya.

Selanjutnya adalah pencatatan perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang harus dicatatkan dan dilaporkan. Karena hal tersebut berkaitan dengan administrasi kependudukan warga negara. Pencatatan perkawinan yang berlaku bagi masyarakat penganut Kaharingan sampai saat ini mengalami kemunduran. Berdasarkan pernyataan dari Ketua Adat Balai Kiyu, Makurban menyebut bahwa pada zaman saat dirinya melakukan perkawinan yang dilaksanakan dengan menggunakan hukum perkawinan adat dan hukum perkawinan yang terdapat dalam aturan/ajaran Kaharingan mendapatkan akses yang cukup baik untuk dicatatkan. Hal tersebut ditunjukkan dengan gambar Surat Keterangan untuk Kawin yang ada pada saat zaman tersebut sudah dapat dibuat dengan mencantumkan bahwa terdapat pernikahan yang telah dilaksanakan dengan kepercayaan Balian.44

41 Marko Mahin, op.cit, hlm.184

42 Hasil wawancara dengan Bapak Saifudin (Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Hulu Sungai Tengah), pada 6 Mei 2016.

43 Hasil wawancara dengan Bapak Rusmin (Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu), pada 9 Mei 2016.

(18)

18

Surat Keterangan untuk Kawin yang terdapat pada tahun 1980 menunjukkan bahwa keberadaan dari Kepercayaan Kaharingan atau yang disebut juga Balian menjadi bagian perkawinan yang dicatatkan oleh pihak Kecamatan Batang Alai Selatan. Makurban menambahkan bahwa sejak Kecamatan Batang Alai Selatan mengalami proses pemekaran wilayah menjadi Kecamatan Batang Alai Timur, pelaksanaan pencatatan perkawinan yang menjadi terkesan membingungkan.45

Membingungkan yang dimaksudkan adalah dalam hal pengurusan tersebut mereka tetap disertakan dan dianggap sebagai penganut agama Hindu. Karena di dalam database tersebut, masyarakat penganut Kaharingan dianggap sebagai penganut agama Hindu. Sehingga dalam hal ini, implikasi dari digolongkannya dan dimasukkannya pemeluk Kaharingan sebagai pemeluk agama Hindu sangat berdampak besar.

Pihak Kecamatan Batang Alai Timur yang diwakili oleh Bapak Camat, menyebut bahwa pelaksanaan dan prosedur pencatatan perkawinan tersebut sampai saat ini belum terlaksana dengan baik. Karena pencatatan untuk perkawinan diluar agama Islam harus dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil, hal tersebut yang membuat Kecamatan Batang Alai Timur belum dapat membantu secara lebih terpadu dan komprehensif, karena akses dari Kecamatan Batang Alai Timur ke Kota Barabai cukup jauh.

Selain itu, keberadaan dari beberapa peraturan yang membatasi pemeluk kepercayaan dalam hal pencatatan perkawinan. Dapat dilihat dalam Laporan Penelitian Departemen Hukum Adat dan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi halaman 24 yang menyebutkan 2 (dua) peraturan, yaitu:46

“Peraturan Menteri Dalam Negeri No 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil dalam Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan yang menyatakan bahwa “setiap peristiwa perkawinan yang telah dilangsungkan oleh Pemuka Agama selain agama Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak peristiwa perkawinan”. Frasa

“agama” tersebut lebih dipahami secara tekstual oleh pelaksana kebijakan di

daerah, sehingga menutup peluang bagi penghayat kepercayaan untuk dicatat perkawinannya.”

“Pasal 64 Ayat (5) UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan “elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”, ketentuan ini hanya berlaku bagi data penduduk yang berupa KTP elektronik, dan tidak termasuk akta perkawinan”.

Dalam hal ini penulis dan Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai penganut Kaharingan menilai hal tersebut sebagai sebuah kemunduran terhadap pemberian akses pencatatan administrasi dalam hal peristiwa perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat penganut Kaharingan. Peraturan-peraturan yang disebutkan diatas juga hanya mencakup pada administrasi kependudukan secara umum, tidak spesifik kepada pencatatan perkawinan.

45 Ibid

(19)

19

Penyebaran ajaran Kaharingan dalam hal pendidikan di tingkat sekolah formal merupakan permasalahan terakhir dari manifestasi dalam hal pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan. Situasi di lapangan yang terlihat sangat mengejutkan. Penyebaran pendidikan ajaran Kaharingan masih dipandang sebelah mata oleh beberapa pihak, sehingga hal ini yang penulis rasa sangat perlu untuk dibahas.

Jayudin, siswa Kelas 9 SMP 2 Terpadu Batang Alai Timur menjelaskan bahwa selama dirinya bersekolah di SMP 2 Terpadu Batang Alai Timur. Ia dan teman-temannya tidak pernah mendapatkan akses untuk mendapatkan pendidikan tentang kepercayaan Kaharingan. Oleh guru di SMP 2 Terpadu Batang Alai Timur, Jay dan teman-temannya diberikan pendidikan Agama Islam. Hal ini disebabkan karena mayoritas agama yang dipeluk oleh siswa-siswi yang terdapat di SMP 2 Terpadu Batang Alai Timur merupakan Agama Islam.47

Hal ini juga dibenarkan oleh salah seorang guru di SMP 2 Terpadu Batang Alai Timur, Ibu Mufida sebagai guru pendidikan agama Islam sebenarnya juga agak khawatir terhadap para penganut Kaharingan yang tidak dapat mendapatkan pendidikan terkait kepercayaan yang dianutnya. Akan tetapi, karena kekosongan pengajar dan tidak adanya mata pelajaran Kaharingan yang menyebabkan banyak siswa-siswi yang bukan agama Islam akhirnya dipaksakan untuk mengikuti ujian pendidikan agama Islam untuk memperoleh nilai pada rapor. Sehingga dalam hal ini yang membuat para siswa-siswi tersebut terkesan dipaksakan untuk belajar mengenai Agama Islam.48

Lain hal dengan pengalaman Bang Baderi, pada saat kuliah di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Bang Baderi juga tidak dapat mendapatkan akses untuk mempelajari kepercayaan Kaharingan. Hal ini disebabkan untuk mata kuliah agama yang terdapat di Universitas tidak terdapat mata kuliah Kepercayaan Kaharingan. Bang Baderi akhirnya menyampaikan surat permohonan kepada Rektor yang saat itu sedang menjabat. Dirinya merasa kesulitan apabila harus mempelajari agama Islam atau agama lainnya yang tidak pernah dianut olehnya, di lain sisi mata kuliah agama merupakan mata kuliah prasyarat yang harus diambil untuk menuntaskan masa pendidikan di Universitas.

Akhirnya setelah mengajukan surat permohonan kepada rektor, berdasarkan penyampaiannya terdapat satu orang guru besar di Universitas Lambung Mangkurat yang pada saat itu juga merupakan penganut dari Kaharingan. Sehingga pada saat itu, Bang Baderi dibantu dan diberikan akses untuk belajar sekaligus mengikuti ujian dari soal yang dibuatkan oleh Guru Besar tersebut.49

Dari kedua cerita diatas, memperlihatkan bahwa terdapat kesulitan untuk mengakses terkait pendidikan Kaharingan. Hal ini pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai belum mampunya pemerintah untuk mengakomodir para pemeluk Kaharingan untuk secara bebas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Kaharingan. Apabila melihat Pasal 30 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana diperbolehkannya adanya penyebaran namun pembatasan hal ini merupakan Pasal satu dan dua Undang-Undang Pnps Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

3.

Faktor-faktor Penghambat dari Pemenuhan Hak untuk Memeluk

Kepercayaan Kaharingan

47 Hasil wawancara dengan Jayudin (Siswa SMP 2 Batang Alai Timur/Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu), pada 6 Mei 2016.

48 Hasil wawancara dengan Ibu Mufida (Guru Pendidikan Agama Islam SMP 2 Batang Alai Timur), pada 13 Mei 2016.

(20)

20

a. Aturan yang menyatakan bahwa Kepercayaan Kaharingan adalah bagian

dari Agama Hindu

Pemerintahan Orde Baru menetapkan bahwa lima agama besar yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu Dharma, dan Budha. Hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak Meratus (Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu) yang menganut kepercayaan Kaharingan.

Di satu pihak mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, sementara di pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Sebagian dari para penganut kepercayaan Kaharingan akhirnya memilih agama Hindu sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar antara keduanya, yaitu dengan praktek dan kepercayaan terhadap beberapa Dewa yang hampir dirasa sama dengan para pemeluk Agama Hindu di Bali.50

Para penganut Kaharingan tersebut semakin dikukuhkan sebagai bagian dari penganut Hindu Dharma setelah diterbitkannya SK Dirjen Binmas Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia No. H/37/ SK/ 1980 pada tanggal 19 April 1980. Hal tersebut sebagaimana dikutip dalam tulisan Marko Mahin yang menyatakan bahwa

“Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan dikukuhkan sebagai badan keagamaan yang

bertugas untuk mengelola sebaik-baiknya Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan untuk

kepentingan umat Kaharingan”.51

Setelah bergabung dengan agama Hindu, maka secara tidak resmi muncul istilah Hindu Kaharingan, yang berguna untuk menyebut orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Hindu. Konsekuensi logis dari bergabungnya mereka ke dalam agama Hindu adalah dengan dilakukannya pembinaan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama Hindu di Indonesia.

Dalam hal ini, pembinaan yang dilakukan oleh PHDI kepada Masyarakat Hindu Kaharingan juga masih belum menyeluruh. Konfirmasi yang didapatkan dari Bapak I Ketut Wiana, sebagai Pengurus dari PHDI menyebut bahwa Kaharingan sendiri hingga saat ini belum banyak terdata secara jelas di dalam PHDI, hal ini disebabkan bahwa banyaknya masyarakat yang masih menganggap dirinya merupakan Kaharingan.52 Sehingga apabila terdapat pertanyaan berapa jumlah penganut Hindu Kaharingan, dirinya mewakili pengurus PHDI juga belum mampu menjawab secara jelas, karena kesulitan tersebut.

Hal ini yang sebenarnya menjadi sebuah kebingungan bagi para penganut Kaharingan juga dengan pengurus PHDI, karena keberadaan dari SK Dirjen Binmas Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia No. H/37/ SK/ 1980 hingga saat ini masih berlaku dan belum dicabut keberadaannya. Sehingga menciptakan persinggungan.

Persinggungan yang pertama, secara normatif dengan adanya SK tersebut para penganut Kaharingan digolongkan sebagai pemeluk Agama Hindu. Padahal di lapangan, para penganut Kaharingan tidak ingin dianggap sebagai pemeluk Agama Hindu. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Maribut, bahwa mereka memiliki kepercayaan yang berbeda dan

50 Hasil wawancara dengan Bapak Saifudin (Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Hulu Sungai Tengah), pada 6 Mei 2016.

51 Marko Mahin, op.cit, hlm.186

(21)

21

tidak memuja dewa-dewa sebagaimana yang terdapat dalam Agama Hindu.53 Persinggungan yang kedua, dengan tidak jelasnya status dari pemeluk Hindu Kaharingan maupun Kepercayaan Kaharingan menyebabkan pengurus PHDI juga tidak dapat berbuat banyak. Karena mereka juga tidak dapat memaksakan kehendak para penganut Kaharingan untuk menjadi bagian dari Hindu Kaharingan.

Dua persinggungan tersebut secara tidak langsung menyebabkan kebingungan dan faktor utama dari munculnya dua persinggungan tersebut adalah dengan diklaimnya kepercayaan Kaharingan tersebut menjadi bagian dari Hindu Kaharingan melalui Surat Keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Agama pada saat itu.

b. Kurangnya Perhatian dan Peran Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD)

Kabupaten Hulu Sungai Tengah terhadap Penganut Kaharingan

Isu terkait penganut Kaharingan mungkin bukan merupakan hal yang sangat penting untuk ditangani dan dikawal oleh Satuan Perangkat Kerja Dinas (SKPD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pertama, hal tersebut tampak dari keengganan para anggota dewan dalam mengawal aspirasi dari para penganut Kaharingan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua DPRD, beliau menyebut bahwa dirinya sudah pernah melayangkan surat yang menanyakan status dari para pemeluk Kaharingan.

Ketua DPRD mengajukan pertanyaan tersebut kepada Kementerian Agama dan PHDI sebagai wadah yang menaungi masyarakat Kaharingan selama ini. Ketua DPRD mengakui bahwa selama ini memang Kaharingan selalu dianggap sebagai bagian dari Agama Hindu dan hingga saat ini dalam hal pembangunan rumah ibadah bagi penganut Kaharingan yaitu dalam pembangunan Balai, anggota dewan juga belum mampu mengupayakan dikarenakan tidak adanya alokasi anggaran yang ditujukan untuk melakukan pembangunan rumah ibadah tersebut.54 Pernyataan Ketua DPRD tersebut secara tidak langsung menujukkan sikap mengabaikan pentingnya pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan. Karena dalam hal ini tugas, pokok dan fungsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki fungsi budgeting.

Sama halnya dengan peran dan perhatian dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil serta Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dalam hal pencatatan perkawinan maupun dalam hal pemberian akses pendidikan terhadap masyarakat penganut Kaharingan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sendiri merupakan pihak yang belum mampu menjalankan fungsi administrasi catatan sipil. Hal ini ditunjukkan dengan belum tersedianya akses maupun jalan keluar yang disediakan bagi para penganut Kaharingan yang perkawinannya ingin dicatatkan.

Pasal 81 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan di luar Agama Islam menyatakan bahwa “perkawinan penghayat kepercayaan yang dilakukan dihadapan pemuka peghayat kepercayaan wajib dilaporkan dan dicatatkan oleh pejabat instansi pelaksana yang merupakan tugas dari Disdukcapil masing-masing Kota/Kabupaten.”

Pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menjadikan akses yang sangat jauh dari Kota Barabai menuju ke Kecamatan Batang Alai Timur sebagai alasan pembenaran

53 Hasil wawancara dengan Bapak Maribut (Balian/Pemuka Agama dalam Kepercayaan Kaharingan) pada 7 Mei 2016.

(22)

22

tidak dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut.55 Hal ini seharusnya bukan merupakan alasan yang mudah diterima oleh Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu. Karena pada dasarnya tugas dari pegawai negeri sipil (PNS) adalah sebagai pelayan masyarakat dalam hal ini sebagai pelayan pencatatan perkawinan dan administrasi kependudukan.

Sama halnya dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah sampai saat ini tidak memiliki Sumber Daya Manusia yang memiliki kompetensi dalam hal pengajaran ajaran Kaharingan.56 Hal tersebut merupakan salah satu alasan kuat mengapa Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah belum mampu memenuhi hak para penganut Kaharingan untuk mempelajari dan mendalami Kaharingan pada pendidikan formal.

Sebenarnya, terdapat peluang untuk diangkatnya guru maupun tenaga pengajar honorer yang dapat diberikan tugas bantuan pada sekolah-sekolah tertentu yang memiliki siswa/siswi penganut Kaharingan. Akan tetapi, lagi-lagi permasalahan alokasi anggaran juga merupakan salah satu penghambat yang menjadikan tidak terpenuhinya hak-hak para penganut Kaharingan tersebut.

Sehingga dalam hal ini penulis menyebut bahwa peran dan perhatian dari SKPD-SKPD serta DPRD yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah belum maksimal. Hal tersebut tampak pada sub-bagian ini yang menyebut bahwa alokasi anggaran yang dapat ditujukan kepada para penganut Kaharingan tidak diakomodir (dalam hal ini terkesan diabaikan).

D.

PENUTUP

1.

Kesimpulan

Hak untuk Memeluk Kepercayaan merupakan salah satu hak dasar yang wajib dipenuhi oleh Negara. Hal tersebut sudah termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) juga pada undang-undang (UU) lain yang merupakan turunan dari UUD NRI 1945 tersebut. Dalam perjalannnya, pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan tidak serta merta mudah untuk mendapatkan akses. Indikator-indikator yang terdapat dalam UUD NRI 1945 ataupun UU sampai saat ini belum banyak yang dapat dipenuhi oleh Negara.

Salah satu contohnya adalah Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu yang sebagian besarnya merupakan penganut kepercayaan Kaharingan. Sebagai penganut Kaharingan, Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu belum dapat menikmati kebebasan dalam mempelajari ataupun memperdalam ajaran kepercayaan Kaharingan, serta dalam hal pencatatan administrasi kependudukan maupun perkawinan yang hingga saat ini belum mendapatkan aksesnya.

Pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan bagi Masyarakat Hukum Adat Balai Kiyu sebagai penganut Kaharingan yang sampai saat ini belum maksimal diakibatkan 2 (dua) faktor utama yang merupakan penghambat atau sumber masalah terbesar dari pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan tersebut. Faktor pertama adalah karena diklaimnya Kaharingan sebagai bagian dari Agama Hindu dan faktor kedua adalah

55 Hasil wawancara dengan Bapak Adi Suwanto (Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Hulu Sungai Tengah), pada 6 Mei 2016.

(23)

23

kurangnya perhatian dan peran dari Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

2.

Saran/Rekomendasi

Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Satuan Perangkat Kerja Dinas (SKPD) sebagai fasilitator dari pemenuhan hak untuk memeluk kepercayaan, seharusnya memfasilitasi keperluan dalam hal hak untuk memeluk kepercayaan. (Dalam hal ini pembangunan rumah ibadah penganut Kaharingan/Balai, Penyediaan Guru/Tenaga Pengajar untuk membantu akses dari pendidikan para penganut Kaharingan dan Pegawai Kantor Catatan Sipil yang seharusnya bergerak lebih masif ke Kecamatan Batang Alai Timur untuk memenuhi hak para penganut Kaharingan untuk dicatatkan perkawinannya). Selain itu, Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini seharusnya memberikan akses pada pengisian kolom agama pada KTP Elektronik (E-KTP) bagi para penganut Kaharingan/penganut kepercayaan lainnya. Karena hal ini merupakan poin penting yang menjadi catatan untuk pemberian akses kepada para penganut Kaharingan.

Pencabutan SK Dirjen Binmas Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia No. H/37/ SK/ 1980 merupakan solusi yang sangat tepat, karena hal ini dapat memberikan jalan keluar dari permasalahan terkait persinggungan-persinggungan yang terjadi. Karena dengan tidak diakuinya lagi Kaharingan sebagai bagian dari Agama Hindu, tentunya akan sangat mempermudah akses bagi penganut Kaharingan untuk keluar dari bayang-bayang Agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan keagamaan, dan tidak ada peraturan yang bertentangan serta memberikan Juknis yang lebih lengkap terhadap suatu pengaturan yang berada diatasnya. Dalam hal ini, inventarisasi peraturan perundang-undangan guna menunjang keselarasan dan harmonisasi juga diperlukan guna mengakomodir akses para penganut kepercayaan juga dapat dijadikan salah satu agenda penting yang dapat dilakukan oleh Kementerian-Kementerian terkait seperti Kementerian-Kementerian Agama dan Kementerian-Kementerian Dalam Negeri.

E.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aidcom & The Asia Foundation. Penerjemah: Hendriati Trianita. 1999. The Universal Declaration of Human Rights, A Guide for Journalists (Deklarasi Univer sal HAM, Panduan Bagi Para Jurnalis). Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan).

Alting, Husein. 2010. Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fajar, Mukti dan Yulianto Ahmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum, Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hafidy, Alshad El. 1977. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Ghalia.

Haluk, Markus. 2013. Hidup atau Mati: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua. Jayapura: Penerbit Deiyai.

(24)

24

Juliet, Boyle, Kevin & Sheen (ed.,). 1997. Freedom of Religion and Belief, a World Report. New York : Routledge.

Khanif, Al. 2010. Hukum & Kebebasan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: LaksBang Mediatama

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2008. Lembar Fakta HAM Edisi III. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Kruyt, A.C. 1976. Keluar dari Agama Suku masuk ke Agama Kristen. Jakarta: Gunung Mulia.

Kusuma, RM. A.B. 2009. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI.

Laksono, Paschalis Maria. 2006. Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut. Yogyakarta: Galang Press.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2011. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Marzuki, Peter Mahmud. 2014. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta: Prenada Media Group.

Mertokusumo,Soedikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Muhtaj, Majda El. 2009. Dimensi-Dimensi HAM : Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.

Nurdjana, IGM. 2009. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pritchard, Sarah dkk. 2012. Advokasi Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Satunama. R, Ratih. 2012. HAM dalam Tinjauan Politik. Bandung: Universitas Pendidikan

Indonesia.

Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Nuansa Aulia.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 1995. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo.

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, Soejono. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Tsing, Anna Lowenhaupt. 1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (Terjemahan oleh Yayasan Obor Indonesia). Jakarta: Penerbit Obor.

Zain, Moh. 1980. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Jakarta: Grafica.

Artikel/Jurnal

Basrah Gising. Sistem Kepercayaan Orang Kajang dalam Pandangan Anthropologi Agama. Jurnal Al Qalam: Volume No.17, Juni 2011.

Lindhol, Tore, W. Cole Durham, Jr.Bahia G. Tahzib-Lie (ed). Facilitating Freedom of Religion or Belief : A Deskbook. Netherland: Martinus Nijhoff Publishers, Vol. . xxxvii-xxxix , 2004.

Referensi

Dokumen terkait

3 Mahasiswa akan dapat menghitung nilai waktu dari uang, pendapatan dan pengeluaran pribadi, dan financial check up dengan tingkat ketepatan 90% (CLO1).. Ketepatan

Kegiatan penyediaan ruang terbuka hijau itu sendiri yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan pembuatan taman kota atau hutan kota baru di Kota Tegal..

Pergerakan tipping. Tekanan diaplikasikan pada titik tunggal mahkota gigi yang menyebabkan resorpsi tulang dan aposisi, membuat gigi bergerak tipping. Tekanan pada jaringan

BIL NEGERI DAERAH PPD KOD SEKOLAH NAMA SEKOLAH ALAMAT LOKASI BANDAR POSKOD LOKASI NO... BIL NEGERI DAERAH PPD KOD SEKOLAH NAMA SEKOLAH ALAMAT LOKASI BANDAR POSKOD

Kita harus mengamati-amati (menjaga) agar anak bertumbuh menurut kodratnya. Tugas orang tua dan guru adalah menjadi fasilitator dalam tumbuh kembang anak

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan pengelolaan dan publikasi jurnal ilmiah yaitu

Hal tersebut sesuai dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa minat belajar Aqidah Akhlak di MTs Pondok Pesantren DDI Manahilil Ulum Kaballangan Kabupaten Pinrang telah

Hasil kajian Hopkinson (2018) menggambarkan bahwa rendahnya kualitas dan produktivitas perguruan tinggi salah satunya disebabkan karena banyaknya permasalahan studi