• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sedangkan untuk menilai ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik tersebut, penulis menggunakan International Covenant on Civil and Political Rights

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sedangkan untuk menilai ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik tersebut, penulis menggunakan International Covenant on Civil and Political Rights"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

KESIMPULAN

Australia dan Selandia Baru merupakan negara yang berbagi beragam persamaan. Keduanya merupakan negara konstruksi Inggris di dunia baru dan melalui proses kolonialisasi hingga dapat berdiri sebagaimana adanya di era kontemporer. Dalam prosesnya kedua negara menghadapi kedua penduduk asli yaitu etnis Aborigin di Australia dan etnis Maori di Selandia Baru. Namun dalam menyikapi eksistensi kedua penduduk asli tersebut, kedua negara mengambil jalan kebijakan yang berbeda. Dimana etnis Aborigin di Australia cenderung untuk dieksklusikan, diasimilasi dan diintegrasikan. Dalam prosesnya etnis Aborigin menuai diskriminasi struktural yang mendorong tajamnya ketimpangan sosial. Sehingga dikala tahap asimilasi dan integrasi, ketimpangan tersebut menjadi penghalang utama bagi etnis Aborigin untuk dapat terlibat dalam politik. Ditambah ketiadaan preseden pemenuhan hak politik dari pemerintah Australia untuk menegaskan „kesetaraan‟. Sehingga tidak diperlukan aksi afairmatif di bidang politik. Sedangkan etnis Maori terlebih dahulu diinklusikan, diasimilasi, dan diintegrasikan. Dalam prosesnya, etnis Maori diinklusikan menggunakan Treaty of Waitangi yang diturunkan menjadi Maori electorates sebagai preseden pemenuhan hak politik. Namun keberadaan perjanjian dan preseden tersebut nyatanya selain bersifat sebagai peredam, hanya bersifat simbolis dan tidak efektif mewakili kepentingan etnis Maori di pemerintahan. Sehingga dapat ditarik garis besar bahwa terdapat pola respon yang sama dalam menyikapi eksistensi kedua penduduk asli. Dimana penegasan dominasi kulit putih,praktis menghambat pemenuhan hak politik bagi kedua penduduk asli.

Hak politik menjadi penting untuk dilihat mengingat kedua negara merupakan negara promotor dalam demokrasi Barat dan menjunjung supremasi sipil. Namun dengan kontrasnya, kedua negara sempat kompak menolak United Nations Declaration of The Righst of Indigenous People (UNDRIP) 2007 akibat klaim tumpang tindih dengan hukum nasionalnya. Tidak hanya itu, kedua negara hingga saat ini tidak meratifikasi International Labour Convention (ILO) 169 sebagai instrumen hukum yang menjamin hak-hak khusus penduduk asli dengan self determination ataupun self government sebagai tujuan akhirnya. Kontradiksi tersebut menunjukan bahwa kedua negara cenderung berhati-hati dalam memberikan hak politik bagi kedua penduduk asli. Mengingat hak politik merupakan hak fundamental yang menjamin keberlangsungan hak lainnya seperti HAM ataupun hak khusus penduduk asli.

(2)

Sedangkan untuk menilai ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik tersebut, penulis menggunakan International Covenant on Civil and Political Rights 1967 artikel 25 terkait hak politik sebagai basis penilaian dari fenomena tersebut. Australia maupun Selandia Baru sesuai dengan citra negara demokrasi yang disematkan kepadanya telah meratifikasi perjanjian tersebut. Sehingga terhitung sejak 1967, kedua negara praktis mengamalkan nilai-nilai perjanjian internasional tersebut dalam perlakukannya kepada kedua penduduk asli sebagai penduduk sipil terkait hak politik. Perjanjian tersebut mengidentifikasi tiga indikator hak politik penduduk sipil yaitu 1) untuk mengambil bagian dalam public affairs (eksekutif dan legislatif) secara langsung atau tidak langsung dengan representasi, 2) untuk dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum secara berkala dalam kerangka kesetaraan, dan 3) untuk memiliki akses terhadap pelayanan publik tanpa adanya diskriminasi. Dalam menilai ketidakmaksimalan, dipahami bahwa ketiga indikator tersebut telah dilakukan oleh kedua negara dalam mengajak kedua penduduk asli untuk berpartisipasi politik. Namun ketiga poin tersebut cenderung tidak maksimal akibat masih maraknya diskriminasi tidak langsung ataupun struktural yang menghambat pelaksanaan ketiga poin tersebut oleh kedua penduduk asli.

Sementara itu perbandingan kedua negara menjadi penting sebagai evaluasi terhadap sistem atau instrumen yang tepat untuk memenuhi hak politik bagi kedua penduduk asli. Merujuk kepada perbedaan kebijakan yang diterapkan kedua negara, eksistensi preseden pemenuhan hak politik seringkali dianggap sebagai acuan atau idealisme dalam kasus pemenuhan hak politik bagi penduduk asli. Dimana seringkali etnis Maori dengan Treaty of Waitangi dan Maori electorates dianggap sebagai produk ideal dan bahkan diwacanakan untuk diterapkan dalam relasi pemerintah Australia dengan etnis Aborigin. Namun nyatanya perbandingan ini menemukan bahawa keberadaan prseden tersebut tidak menjadi jaminan dalam memenuhi hak politik. Dimana selama masih adanya persepsi yang sama dari kedua pemerintah tentang dominasi kulit putih serta ketidaksungguhan untuk mengentas ketimpangan sosial dan pro-pluralisme secara efektif (ekonomi, sosial dan buaya), maka ada dengan tidak adanya preseden tetap saja terjadi ketidakmaksimalan. Dimana etnis Aborigin akan berkutat terkait diskriminasi tidak langsung akibat ketiadaan preseden tersebut yang semakin mengurangi partisipasi politiknya, dengan etnis Maori yang akan berkutat melalui diskriminasi struktural akibat preseden tersebut yang berjalan tidak efektif dan hanya simbolis saja dan memecah etnis Maori kedalam mereka yang masih optimis dan pesimis terhadap preseden tersebut. Sehingga identifikasi hambatan bagi kedua penduduk asli

(3)

mampu memberikan gambaran spesifik terhadap kendala dari masing-masing kasus terkait pendekatan atau kebijakan yang berbeda yang diterapkan oleh kedua pemerintah.

Untuk membuktikannya, penulis menggunakan dua konsep yaitu “Partisipasi Politik Minoritas” dan “Co-constitution” sebagai cara pandang konstruktivisme. Konsep “Partisipasi Politik Minoritas” digunakan untuk megidentifikasi hambatan terkait menggunakan pendekatan faktor latar belakang kedua penduduk asli sebagai penyebab fenomena ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik. Indikator dari maisng-masing latar belakang tersebut adalah socioeconomic status, psycological resources, group connectedness, dan group identity or consciousness. Konsep tersebut menyatakan bahwa semakin rendah tingkat sosial ekonomi (dindikatorkan dengan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan), orientasi psikologi terhadap pemerintah (diindikatorkan dengan tingkat kepedulian dan kepercayaan terhadap pemerintah), keterkaitan terhadap lingkungan sosial (dibuktikan dengan tingkat kepemilikan tempat tinggal), maka akan semakin rendah pula partisipasi politiknya. Sedangkan preferensi terhadap identitas kelompok akan mempengarui partisipasi politiknya baik menurunkan ataupun menaikkan tergantung daripada relasi pemerintah dengan penduduk asli secara umum.

Sedangkan konsep “Co-constitution” menyediakan ruang untuk melihat fenomena ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik yang disebabkan oleh faktor latar belakang (dengan konsep partisipasi politik minoritas) kedua penduduk asli sebagai bentukan atau reproduksi dari kedua penduduk asli tersebut sebagai wujud responnya terhadap kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam keempat indikator tersebut. Dimana keadaan penduduk asli sebagai agen dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sebagai struktur medium yang menghasilkan fenomena ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik sebagai struktur outcome. Dimana terjadi hubungan yang dialektis atau co-constitute dalam relasi agen dan struktur tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadaan kedua penduduk asli yang tidak maksimal pemenuhan hak politiknya akibat latar belakangnya yang tidak mendukung, justru juga disebabkan oleh pengaruh dari kebijakan pemerintah.

Ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik bagi kedua penduduk asli kemudian benar terjadi. Berdasarkan pada ketiga poin International Covenant on Civil and Political Rights 1967 artikel 25, baik etnis Aborigin maupun Maori masih mengalami ketidakmaksimalan dalam mengamalkannya. Secara sederhana dipahami bahwa kedua negara menganut Wesminster System Parlianment. Sehingga kunci untuk berpartisipasi dalam ranah public affairs (eksekutif dan legislatif) bergantung pada partisipasinya pada politik elektoral legislatif (Poin I). Yaitu menggunakan haknya untuk dipilih dan memilih

(4)

pada pemilihan umum secara setara dan efektif untuk mewakili kepentingannya (Poin II). Sehingga dapat memastikan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik dan diterima oleh seluruh kalangan tanpa adanya diksriminasi (Poin III). Hal tersebut membuktikan adanya keterkaitan terhadap ketiga poin tersbut, sehingga ketidakmaksimalan pada salah satu poin saja dapat berdampak pada ketidakmaksimalan poin yang lainnya.

Pada kasus Australia, terjadi penurunan partisipasi politik elektoral yang sangat signifikan. Dalam aspek penggunaan hak untuk memilih, etnis Aborigin seringkali meghadapi kendala teknis seperti iliterasi maupun ketidaktercantumannya dalam daftar pemilih akibat ketidakpastian alamat pada komunitas Aborigin ataupun tidak terkualifikasinya mereka dalam standarisasi pemilih Australia. Hal tersebut kemudian berbanding lurus dengan sedikitnya etnis Aborigin yang menggunakan hak suaranya bagi pemilihan umum. Dalam aspek penggunaan hak untuk dipilih, politis Aborigin sudah mulai lazim ditemukan. Namun keberadaannya yang berasal dari partai non-primordial membuatnya tidak memiliki mandat Aborigin sehingga tidak dapat bertindak untuk mewakili kepentingan etnis Aborigin. Bahkan beberapa politisi Aborigin menyatakan bahwa mereka lebih dahulu bertanggungjawab pada wilayah elektoral dan partainya. Partai primordial pun sangat sukar dibentuk akibat pemerintah yang bersikeras menerapkan aturan jumlah minimal anggota partai sebanyak 500 orang yang tidak dapat dipenuhi oleh etnis Aborigin. Hal tersebut praktis memperkecil keterlibatannya dalam ranah public affairs akibat menurunnya partisipasi politik elektoral maupun kandidat yang bertanggung jawab secara spesifik terhadai isu Aborigin. Walau ditemukan beberapa anggota parlemen dan senat Aborigin, hal tersebut tampak tidak mewakili kepentingan mereka. Mengingat ketiadaan mandat ataupun latar belakang mereka yang mapan—sesuatu yang minoritas diantara etnis Aborigin. Hal ini mempersulit peluang mereka untuk dapat memperbaiki pelayanan publik yang selama ini cenderung diskriminatif terhadap mereka. Diskriminasi rasial secara tidak langsung tersebut terjadi dalam bidang kesehatan, pendidikan, kepolisian, bahkan bantuan perumahan dan pekerjaan. Sehingga semakin mempersulit pengembangan kapasitas dan self determination dari etnis Aborigin.

Pada kasus etnis Maori, terjadi perpecahan suara diantara mereka yang optimis dengan preseden pemenuhan hak politik yaitu Maori electorates dengan mereka yang pesimis. Hal itu timbul akibat keberadaan preseden tersebut cenderung bersifat simbolis saja dan tidak efektif. Hal tersebut dibuktikan dengan diskriminasi struktural dari preseden tersebut. Seeti perwakilan yang tidak proporsional an hanya jumlah minimal representasi dari populasi, sempatnya ketiaadaan daftar pemilih, dan tidak adanya bukti tanggung jawab

(5)

dalam menjalankan mandatnya sebagai perwakilan etnis Maori. Keberadaannya yang simbolik juga berbading lurus dengan gerakan pemerintah yang sempat menggalakkan amalgamasi untuk menghapus identitas etnis Maori. Bahkan hingga di era kontemporer, tidak jarang parlemen yang mengandung perwakilan „efektif‟ etnis Maori tesebut tidak memihak etnis Maori dalam isu-isu hak etnis Maori. Seperti pengesahan perpindahan hak kepemilikan atas dasar laut pada tahun 2004 dari etnis Maori menjadi miliki pemerintah Selandia Baru. Kedewasaan usia Maori electorates justru berbanding lurus dengan Maori Grievances dan Waitangi Tribunal yang terus saja memperkuat gerakan agar etnis Maori memiliki kepastian hukum dan lepas dari diskriminasi struktural. Dinamika tersebut berbanding lurus dengan menurunnya tingkat partisipasi politik etnis Maori pada Maori electorates maupun general electorates, dan banyak yang beralih pada gerakan protes sebagai partisipasi politik non konvensional. Hal tersebut mempengaruhi kesempatan etnis Maori untuk berpartisipasi dalam ranah public affairs. Keberhasilan partisipasi di dalam sana pun menuai kritik akibat ketiadaan pertanggungjawaban yang jelas dengan konstituennya. Mandat yang bersifat simbolik menjadi halangan untuk dapat berpartisipasi mengingat sesungguhnya etnis Maori tidak menghadapi tantangan teknis yang berat seperti yang dialami etnis Aborigin dalam berpartisipasi politik elektoral. Hal tersebut praktis menghalangi mereka dalam proses pembenahan pelayanan publik yang kerap kali masih diksriminatif pada bidang lapangan pekerjaan, media, dan kepolisian. Sehingga semakin mempersulit keberadaan mereka yang bebas dari diskriminasi.

Kemudian menggunakan elaborasi kedua konsep yang ada ditemukan apa yang menjadi hambatan dalam pemenuhan hak poliitik bagi etnis Aborigin di Australia dan etnis Maori di Selandia Baru. (Penulis melampirkan tabel penjelasan pada Bab III). Konsep partisipasi politik minoritas menyatakan bahwa etnis Aborigin mengalami tingkat sosial ekonomi yang rendah, orientasi psikologi yang buruk terhadap pemerintah, keterkaitan terhadap masyarakat Australia yang rendah dengan identifikasi identitas sebagai etnis Aborigin yang cenderung percaya dengan pemerintah. Hal tersebut ditemukan dari adanya tingkat edukasi dan pendapatan yang rendah. Dimana problematika tersebut dapat terjadi juga dengan campur tangan pemerintah yang tidak mengakomodasi hak kultural serta praktik diskriminasi sistematis dalam kedua bidang tersebut. Kemudian berdasarkan orientasi psikologis, ditemukan bahwa etnis Aborigin tidak peduli dan tidak percaya dengan pemerintah Australia. Hal tersebut disebabkan dari ketiadaan representasi dengan mandat Aborigin serta keengganan pemerintah dalam mengafirmasi ketimpangan akses politik dari pemerintah yang cenderung membiarkan permasalahan tersebut. Kemudian berdasarkan

(6)

keterkaitan terhadap masyarakat Australia, serangkaian kebijakan bantuan sosial perumahan yang tidak tepat sasaran serta pembiaran praktik diskriminasi di lapangan meminimalisir kapabilitas etnis Aborigin dalam memiliki tempat tinggal. Ketiadaan input dari etnis Aborigin secara mandat (berkaitan dengan dampak dari adanya ketimpangan akses politik yang efektif) menyebabkan kemubaziran program bantuan sosial perumahan lazim terjadi. Sedangkan berdasarkan preferensi identifikasi sebagai etnis Aborigin membuatnya untuk cenderung bersikap apatis akibat pandangan umum perilaku pemerintah Australia yang selama ini tidak mengakomodasi kepentingan mereka. Hambatan yang bekisar pada adanya perilaku diskriminasi tidak langsung terjadi akibat ketiadaan preseden pemenuhan hak politik yang membentuk ketidakefektifan pengentasan ketimpangan sosial serta meningkatkan sikap apatisme terhadap pemerintah Australia. Menurut konsep co-constitution, hal tersebut disebabkan dari kebijakan pemerintah sebagai struktur medium yang membentuk penduduk asli sebagai agen yang memiliki ketimpangan sosial dalam keempat pendekatan partisipasi politik minoritas. Dan praktis menciptakan hambatan pemenuhan hak politik yang direproduksi sebagai citra dari etnis Aborigin. Sehingga etnis Aborigin sebagai agen mendorong penciptaan struktur outcome adanya fenomena ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik bagi diri mereka sendiri.

Sedangkan pada kasus etnis Maori, menurut konsep partisipasi politik minoritas mereka memiliki latar belakang sosial ekonomi, orientasi psikologi, dan preferensi identitas sebagai etnis Maori yang cenderung terbagi dua diantara mereka yang optimis dan pesimis terhadap preseden pemenuhan hak politik. Dengan lemahnya keterkaitan terhadap masyarakat Selandia Baru. Pengaruh co-constitution terlihat jelas dengan penerapan Treaty of Waitangi dan Maori electorates sebagai faktor struktur medium yang membentuk latar belakang agen menurut pendekatan partisipasi politik minoritas yang cenderung terhambat dan menyebabkan fenomena ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik sebagai struktur outcome. Tingkat pendidikan yang baik disebabkan diakomodasinya hak kultural oleh Trearty of Waitangi, sedangkan tingkat pendapatan rendah disebabkan tidak adanya obligasi khusus pemerintah untuk menangani hal tersebut. Orientasi psikologis juga terbagi dengan tingkat kepedulian terhadap pemerintah yang terbagi separuh optimis dan separuh lainnya pesimis dengan pemerintahan akibat keberdaan Maori electorates sebagai preseden namun tidak efektif. Walau dengan ketidakpercayaan yang hampir mutlak akibat perilaku pemerintah yang enggan dalam mengentas ketimpangan sosial secara menyeluruh. Keterkaitan dengan masyarakat Selandia Baru cenderung lemah dan berbanding terbalik dengan preferensi identitas diri sebagai etnis Maori yang cencerung tinggi yang mendorong

(7)

mereka untuk menyatu dalam kesamaan pandangan secara „nasional‟ sebagai bahan prefrensi politik yang serupa sebagai sumber mereka untuk bergerak dalam ranah partisipasi politik konvensional ataupun non-konvensional seperti gerakan protes. Pemerintah Selandia Baru yang hanya mengakomodasi hal-hal yang berada di dalam Treaty of Waitangi namun juga tidak maksimal dalam penerapannya, menciptakan etnis Maori yang belum dapat menentukan posisinya secara seratus persen untuk menggunakan hak politiknya ataupun tidak menggunakan hak politiknya. Sehingga parktis menjadi hambatan pemenuhan hak politik dan menciptakan ketidakmaksimalan tersebut bagi etnis Maori di Selandia Baru.

Penemuan penelitian tersebut direfleksikan sebagai bahan evaluasi mengenai dinamika pemenuhan hak politik bagi penduduk asli. Dimana ketiadaan preseden pemenuhan hak politik bagi penduduk asli seperti dalam kasus etnis Aborigin menciptakan kepastian bahwa secara latar belakang, mereka akan semakin terhambat baik secara materil maupun non materil (sikap apatisme). Sedangkan keberadaan preseden pemenuhan hak politik yang tidak dibarengi dengan efektifitas dan cenderung bersifat simbolis menciptakan hambatan yang sifatnya laten. Dimana dalam kasus etnis Maori, preseden tersebut kerap kali digunakan sebaga faktor peredam dan menunjukan citra kepedulian pemerintah dengan etnis Maori. Sedangkan dalam pelaksanaannya justru cenderung mendiskriminasi hak khusus penduduk asli mereka dibandingkan dengan Australia. Dan hal tersebut menciptakan latar belakang etnis Maori yang terbagi dua diatara mereka yang optimis dan pesimis terhadap preseden tersebut dan mengkonstruksi ketidakyakinan terhadap pemerintah hingga mencegah pemaksimalan hak politik mereka.

Penelitian ini juga menunjukan bahwa fenomena yang disebabkan oleh adanya ketimpangan latar belakang sosial tidak dapat secara mutlak diklasifikan sebagai faktor penyebab. Namun faktor penyebab tersebut juga merupakan konstruksi dari faktor lain yang menerapakan struktur medium terhadapnya hingga agen tersebut mendorong terwujudnya struktur outcome. Sehingga dalam menilai adanya hubungan mayoritas dan minoritas, pemerintah dan atau masyarakat tidak boleh hanya menitikberaktakan faktor latar belakang sebagai faktor utama yang menyusun dinamika relasi keduanya. Namun faktor latar belakang tersebut harus dipandang sebagai wujud konstruksi sosial sehingga memberikan ruang analisa yang lebih luas dalam memetakan apa yang menjadi akar penyebab suatu fenomena. Dan mampu mengidentifikasi sipakah yang sesungguhnya berwenang dan berkapabilitas untuk mengentas fenoemena tersebut. Dimana dalam kasus ini, pemerintah Australia dan Selandia Baru berperan besar dalam menciptakan ataupun mengentas fenomena ketidakmaksimalan pemenuhan hak politik ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tanaman jagung dalam pertumbuhan dan daya hasil tumpang sari jagung dan kacang tanah terhadap waktu dan posisi pemangkasan jagung menunjukkan bahwa

Daya ricih pada setiap keratan rasuk ialah jumlah algebra (daya normal kepada paksi memanjang) daya-daya pugak yang bertindak di sebelah kiri dan kanan rasuk.

Sedangkan untuk ineraksi antara perlakuan analisis sidik ragam juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata, yang berarti terjadi interaksi antara perlakuan berbagai jenis tanah

Avicenia marina (Forsk). Berikut dibawah ini adalah taksonomi dari A. marina) memiliki akar napas (peneumatofora) yang merupakan akar percabangan yang tumbuh dengan jarak

Dari berbagai pengertian tentang Good Governance dapat disimpulkan bahwa suatu konsep tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan penggunaan otoritas politik

Berdasarkan grafik pertumbuhan spat tiram pedaging mengalami penambahan setiap minggunya pada setiap perlakuan untuk parameter panjang mutlak dan lebar mutlak, yang mana

Berdasarkan fenomena yang terjadi dan penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan menganalisa lebih lanjut mengenai pengaruh rasio keuangan terhadap pertumbuhan laba dan

Perlindungan hukum dan kepentingan hak-hak anak dapat dilihat dalam Pasal 3, Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4) CRC, serta di dalam International Covenant on Civil and