• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Kelola Masyarakat Majemuk dalam Bin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tata Kelola Masyarakat Majemuk dalam Bin"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

Tata Kelola Masyarakat Majemuk dalam Bingkai Keadilan:

Membaca Liberalisme Politik Rawls*

Abstrak

Tulisan ini berangkat dari gagasan Rawls mengenai konsepsi politik keadilan di dalam Political Liberalism. Gagasan Rawls mengenai konsepsi politik keadilan adalah jawaban atas pertanyaan dasar mengenai tata kelola masyarakat majemuk dalam bingkai keadilan. Melalui konsepsi politik keadilan, ia mengajukan beberapa prinsip agar kehidupan bersama dapat berlangsung secara langgeng. Beberapa prinsip dasar itu adalah kepastian mengenai adanya struktur dasar yang fair, tidak ada kolonisasi satu pandangan (doktrin komprehensif) atas pandangan yang lain di ranah publik dan adanya prinsip kewarasan publik (reasonableness) pada setiap doktrin komprehensif. Dari gagasan Rawls, penulis akan sedikit menguji kehidupan majemuk yang berlangsung di dalam masyarakat kita. Sejauh mana kehidupan majemuk kita dilihat dalam perspektif konsepsi politik keadilan dan sejauh mana konsepsi politik keadilan dapat diaplikasikan dalam masyarakat majemuk.

Kata-kata Kunci: konsepsi politik keadilan, masyarakat yang tertata baik, kewarasan publik, konsensus bersama, doktrin komprehensif.

Sunaryo**

Ekspansi kelompok agama garis keras yang merangsek ke kehidupan publik menjadi salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Pada bulan-bulan tertentu ereka elakuka s eepi g atas te pat-tempat hiburan dan restoran, dan di sepanjang waktu mereka merespon hal yang dianggap maksiat atau yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka yakini dengan cara kekerasan da ela a pri sip kepu lika . Benturan pandangan dan nilai di ranah publik adalah sesuatu yang niscaya. Fenomena ini tidak hanya ada pada relasi antar-kelompok yang dilatari oleh keyakinan agama tertentu, tetapi juga bisa terjadi karena perbedaan etnis, suku dan pandangan atau doktrin yang lain. Kenyataan ini menyiratkan dua hal penting terkait dengan demokrasi kita: yang pertama kolonisasi pandangan tertentu dalam kehidupan publik adalah masalah serius yang harus diatasi karena mengancam kelangsungan hidup bersama; dan yang kedua, karenanya kita perlu mencari model dan inspirasi mengenai tata kelola kemajemukan masyarakat secara adil.

Dalam realitas, hampir tidak ada komunitas politik di muka bumi ini yang luput dari fakta kemajemukan, baik yang didasarkan pada keyakinan agama, nilai etnik atau suku, pandangan politik dan lain-lain. Pandangan-pandangan ini, satu sama lain tidak selalu sejalan, kadang atau

*

Pernah dipublikasikan di Waskita, Jurnal Agama dan Masyarakat, Vol. 2, No. 1, April, 2014

**

(2)

2

malah sering, saling bertentangan. Upaya untuk menata kemajemukan secara adil bukanlah sesuatu yang mudah bagi masyarakat dan negara manapun.1 Dalam banyak pengalaman, perbedaan pandangan tidak jarang melahirkan konflik yang mematikan. Meski tentu saja, konflik itu tidak selalu dilatari oleh faktor perbedaan pandangan semata, ada kepentingan politik dan ekonomi yang kerap menyusup di dalamnya dan kemudian dibungkus argumen agama atau etnisitas. Pencarian model tata kelola yang adil menjadi sesuatu yang penting dan model yang dihasilkan tidak selalu bersifat final karena dalam kenyataannya masyarakat selalu mengalami perkembangan.

Lewat pemikiran Rawls, filsuf politik Amerika kontemporer, penulis akan mencoba menelaah bagaimana seharusnya kita menata masyarakat majemuk dengan dasar keadilan. Buku Political Liberalism, 1993 (PL) adalah salah satu karya penting Rawls yang mengeksplorasi persoalan ini. Dan tentu saja, betapapun komprehensifnya, karya ini tetap tidak luput dari kritik dan catatan yang diajukan oleh pemikir-pemikir lain. Melalui karya ini, Rawls berupaya mencari dasar dan model bagi tata kelola komunitas politik yang majemuk dengan cara yang ia anggap adil.2 Bentuk dari tata kelola yang ia anggap adil atau fair itu adalah dengan tidak menjadikan salah satu (atau beberapa) doktrin komprehensif yang ada dalam komunitas politik sebagai fondasi dalam menata hidup bersama. Dengan menjadikan salah satu prinsip dari doktrin komprehensif sebagai fondasi kehidupan publik berarti telah terjadi kolonisasi satu doktrin komprehensif atas doktrin komprehensif yang lain. Tidak berhenti di situ, Rawls juga menekankan prinsip reasonableness yang dapat saya terjemahkan sebagai nilai kewarasan. Melalui prinsip ini, hubungan antar-kelompok harus didasari pada nilai kepublikan yang mutualistik. Mereka yang memiliki nilai kewarasan macam ini tidak mungkin memaksakan pandangannya kepada orang lain, karena pada saat yang sama kita juga tidak menghendaki hal itu terjadi pada kita.

Pertanyaan Dasar Liberalisme Politik

Persoalan yang hendak dijawab lewat Political Liberalism (PL) adalah seberapa mungkin kita dapat membangun masyarakat yang adil dan stabil dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan sementara warga yang hidup di dalamnya memiliki perbedaan agama, budaya dan

1

Masalah tata kelola kemajemukan bukan hanya masalah Indonesia, karena hampir setiap negara di dunia memiliki masalah yang sama. Dalam merespon masalah itu, setiap negara memiliki cara yang berbeda dalam mengelola perbedaan yang ada. Bahkan di antara sesama negara sekuler misalnya juga ada perbedaan dalam mengelola kamajemukan. Perancis misalnya adalah salah satu contoh di mana mereka melarang warganya untuk menggunakan simbol agama di ruang publik, seperti sekolah pemerintah dan kantor-kantor pemerintah. Sementara negara seperti Inggris dan Kanada yang juga sama-sama menganut sekularisme tidak menjadikan simbol agama sebagai persoalan, sebagaimana di Perancis. Lih. Kosmin dan Keysar dalam Secularism and Secularity (Hartford: International for the Study of Secularism in Society and Culture, Trinity College, 2007).

2

Dalam A Theory of Justice (1971, 1999) dan juga Justice as Fairness: A Restatement (2001) Rawls mengajukan dua prinsip dasar dalam teori keadilan. Prinsip pertama menegaskan bahwa setiap orang/warga memiliki klaim tak terbatalkan yang sama untuk sebuah skema yang betul-betul memadai dari kebebasan dasar yang setara, di mana skema itu juga kompatibel dengan skema kebebasan yang sama bagi semua; dalam prinsip kedua, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dapat dimungkinkan untuk memenuhi dua hal: yang pertama, peluang pekerjaan dan posisi tertentu harus terbuka bagi semua dalam kondisi kesetaraan yang fair, dan yang kedua memberikan manfaat paling besar bagi mereka yang paling tidak beruntung. Lih. Rawls, 2001, Justice as Fairness: A Restatement

(Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2001), hal. 42-43, bdk. Rawls, A Theory of Justice

(3)

3

sebagainya. Di dalam pengantar PL dia bertanya how is it possible that there may exist over time a stable and just society of free and equal citizens profoundly divided by reasonable though incompatible religious, philosophical, and moral doctrines? .3 Ada dua hal yang hendak ditegaskan Rawls dalam pertanyaan ini. Yang pertama adalah soal fakta keragaman dalam komunitas politik yang dapat bertolak belakang satu sama lain. Yang kedua adalah upaya mencari prinsip yang adil untuk mersepon realitas keragaman tersebut. Melalui ide liberalisme politik ia mencoba mencari struktur dan isi macam apakah yang dapat menjadi dasar bagi proyek besarnya itu.

Namun sebelum menemukan struktur dan isi yang menjadi dasar bagi proyeknya ini, harus ada kondisi yang sudah diandaikan di dalam masyarakat, yakni pengakuan akan demokrasi dan status kebebasan yang setara bagi semua warga. Dengan pengakuan ini, warga sudah tidak lagi mempersoalkan bahwa yang disebut legtimasi adalah kekuasaan yang berasal dari para warga yang memiliki kebebasan yang setara.4 Pengakuan akan pandangan ini menjadi landasan pokok yang harus diandaikan agar kita dapat bergerak lebih jauh membincangkan hal-hal lain yang terkait dengan tata kelola hidup bersama. Tanpa pengandaian ini, seluruh upaya untuk membangun tatanan masyarakat majemuk yang adil menjadi sesuatu yang sulit. Setelah ada ya pe ga daia i i, ke udia kita erta ya se erapa u gki asyarakat ya g sta il da adil yang semua warganya adalah bebas dan setara dapat hadir sepanjang masa sementara masyarakat itu sendiri terdiri dari doktrin moral, filsafat dan agama yang berbeda- eda? . Melalui pertanyaan ini, Rawls sebenarnya hendak mencari apa yang ia sebut sebagai konsepsi politik keadilan (political conception of justice) untuk masyarakat demokratis.

Konsepsi politik keadilan menjadi semacam konsep dasar yang akan menjadi landasan untuk menata kemajemukan pandangan dalam masyarakat. Kata Rawls, paling tidak ada tiga karakteristik konsepsi politik keadilan.5 Yang pertama ia adalah konsepsi yang menata institusi politik, sosial dan ekonomi atau yang disebut sebagai struktur dasar dalam masyarakat. Struktur dasar ini harus memiliki kesinambungan dengan sistem kerjasama sosial yang berlangsung dalam masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang dimaskud dengan adanya kesinambungan adalah bahwa struktur dasar itu dapat menata cara kerjasama sosial yang ada. Yang kedua, konsepsi politik ini harus lepas atau independen dari salah satu atau beberapa doktrin komprehensif yang ada dan diyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, konsepsi politik ini bukan derivasi dari doktrin komprehensif tertentu. Dan yang ketiga, isi dari

3

Pertanyaan ini sebenarnya terdiri dari dua pertanyaan dasar: yang pertama (1) konsepsi keadilan macam apakah yang paling tepat untuk memapankan kerjasama sosial yang fair di antara warga negara yang bebas dan setara, dan kerjasama tersebut dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Pertanyaan ini kemudian dikontraskan dengan pertanyaan kedua mengenai (2) toleransi macam apakah yang dapat ditegakkan di tengah keragaman pandangan hidup dan moral yang ada dalam masyarakat? Dari dua pertanyaan ini, maka kombinasi keduanya

menjadi pertanyaan ‘seberapa mungkin masyarakat yang stabil dan adil yang semua warganya adalah bebas dan

setara dapat hadir sepanjang masa sementara masyarakat itu sendiri terdiri dari doktrin moral, filsafat dan agama yang berbeda-beda?’ Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press) hal. 3-4.

4

Rawls mendefinisikan legitimasi sebagai kekuasaan yang diasalkan dari para warga. Kekuasaan itu didasarkan pada sebuah konstitusi yang menjamin seluruh warga negara sebagai warga yang bebas dan setara, dan setiap mereka memiliki kemampuan untuk berkontribusi di ranah publik dalam bingkai yang dapat diterima oleh nalar manusia secara umum. Ia menyebut legitimasi ini sebagai legitimasi yang sesuai dengan prinsip liberal. Rawls,

Political Liberalism, hal. 136-137.

5

(4)

4

konsepsi politik itu diekspresikan dalam pengertian ide fundamental yang secara implisit mengandung budaya politik publik dari masyarakat demokratis. Di dalam budaya politik publik kita menjaga prinsip kepantasan mutualistik yang dengannya sistem kerjasama sosial yang fair dapat dibangun secara langgeng. Yang dimaksud dengan prinsip kepantasan mutualistik adalah pengakuan kewarganegaraan yang bebas dan setara, serta ide masyarakat yang tertata baik (well-ordered society).

Dengan demikian, tiga karakteristik konsep politik keadilan itu terkonsentrasi pada struktur dasar masyarakat, kepastian bahwa tidak ada kolonisasi satu pandangan atas pandangan yang lain, dan yang terakhir di dalam konspesi politik keadilan itu terkandung nilai kewarasan (reasonableness) yang mutualistik. Ketiga karakteristik ini saling berpaut dan saling mengandaikan dalam upaya menata masyarakat majemuk secara adil.

Struktur Dasar Masyarakat

Menurut Rawls, subjek utama dari keadilan adalah struktur dasar yang ada dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur dasar adalah satu model di mana institusi sosial dan institusi politik bersinambung dengan sistem kerjasama sosial, dan sistem kerjasama ini kemudian menata pengaturan hak-kewajiban serta pembagian manfaat yang dihasilkan.6 Konsep keadilan Rawls memiliki perhatian besar pada cara bagaimana institusi sosial besar harus mendistribusikan hak dan kewajiban dasar, serta pembagian sumber daya di dalam suatu kerjasama sosial.7 Yang dimaksudkan dengan institusi besar misalnya adalah konstitusi politik, prinsip ekonomi dan aturan sosial. Konsep keadilan menata struktur dasar dalam kerjasama sosial, dan secara tidak langsung ia kemudian menata proses yang berjalan dalam organisasi masyarakat.8

Ide dasar yang menata kerjasama sosial memiliki tiga ciri berikut. Yang pertama, kerjasama sosial diatur oleh aturan yang dapat diterima oleh masyarakat bersangkutan. Aturan yang dijalankan bukanlah produk dari satu otoritas yang sama sekali tidak berangkat dari masyarakat (yang menjadi pelaku aturan) itu sendiri. Yang kedua, kerjasama sosial harus bertopang pada prinsip kerjasama yang fair. Tidak ada satu bagian dari pelaku kerjasama sosial yang merasa dipaksa karena dominasi yang lain. Itu artinya dalam kerjasama harus ada relasi mutualistis dan resiprokal yang setara. Dalam kerjasama sosial yang fair, kebebasan dan kesetaraan warganegara harus dijamin dan tidak dikorbankan untuk kepentingan apapun.9 Sementara yang ketiga, kerjasama harus bertujuan untuk mencapai tujuan atau manfaat/kebaikan bersama.10

Dalam Justice as Fairness: A Restatement (2001), Rawls menegaskan bahwa salah satu tujuan praktis dari konsep keadilan sebagai fairness adalah untuk memberikan dasar moral dan filosofis dari institusi demokrasi dan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kebebasan dan kesetaraan dipahami dalam kerangka itu.11 Untuk tujuan itu, maka kita perlu melihat hubungan antara kultur publik politis yang berlangsung dalam masyarakat dengan prasyarat-prasyarat

6

Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal. 10.

7

Rawls, A Theory of Justice, hal. 6.

8

Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal. 10.

9

Rawls, A Theory of Justice, hal. 3.

10

Bdk. Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal. 6.

11

(5)

5

yang diandaikan dalam ide keadilan politis. Dalam masyarakat demokratis diasumsikan bahwa mereka tidak asing dengan pandangan bahwa konstitusi dan hukum harus didasarkan pada prinsip kebebasan dan kesetaraan. Tanpa pengandaian pemahaman itu akan sangat sulit untuk membayangkan satu kerjasama sosial yang adil bagi semua yang terlibat di dalamnya.

Salah satu peran penting dari prinsip keadilan adalah untuk menspesifikkan terma fair dalam kerjasama sosial. Prinsip ini menjelaskan lebih lanjut masalah kewajiban dan hak dasar yang harus ditegakkan oleh satu institusi sosial dan politik tertentu. Prinsip ini juga mengatur pembagian manfaat yang dihasilkan dari kerjasama tersebut.12 Dalam masyarakat demokratis, warganegara dilihat secara politis sebagai orang-orang yang bebas dan setara. Dengan demikian konsepsi keadilan dalam demokrasi sebagaimana yang dipahami oleh Rawls terkait dengan pemahaman mengenai konsep kewarganegaraan yang bebas dan setara. Gagasan ini memiliki hubungan dengan apa yang ia sebut sebagai masyarakat yang tertata baik ( well-ordered society). Dua ide ini, yakni ide tentang kewarganegaraan yang bebas dan setara, serta masyarakat yang tertata baik menjadi ide sentral dalam memandu institusi demokrasi yang didasarkan pada konsep keadilan politis yang dibayangkan oleh Rawls.13

Masyarakat Yang Tertata Baik

Melalui konsep keadilan sebagai fairness, kerjasama masyarakat dimapankan oleh dua ide fundamental yang saling terkait: pertama ide tentang warga yang bebas dan setara, dan kedua ide masyarakat yang tertata baik (well-ordered society). Menurut Rawls, ada tiga hal yang terkandung di dalam ide masyarakat yang tertata. Yang pertama, setiap orang dari masyarakat tersebut menerima dan mengetahui bahwa orang lain juga menerima prinsip keadilan yang sama. Yang kedua, struktur dasar masyarakat dapat diketahui secara publik dan diyakini bahwa mereka mampu memenuhi tuntutan yang ada dalam struktur dasar tersebut. Dan yang ketiga setiap warga yang ada dalam masyarakat tersebut memiliki pengertian yang efektif mengenai keadilan sehingga mereka bisa mencapai pengertian yang sama dengan warga negara yang lain.14

Ide mengenai masyarakat yang tertata baik mengupayakan satu hubungan antar-kelo pok ya g e iliki ita rasa keadila . Ya g saya aksud de ga cita rasa keadilan adalah kemampuan untuk melampaui kepentingan kelompok atau doktrin komprehensif tertentu. Dengan kemampuan ini, maka kemungkinan terjadinya konflik kepentingan antar-kelompok dapat ditekan karena setiap kelompok memiliki nilai kewarasan publik (reasonable pluralism). Rawls menyebut bahwa pada dasarnya setiap warga memiliki dua daya moral dasar, daya kewarasan publik (reasonable) dan daya rasional. Daya kewarasan publik (reasonable) didefinisikan sebagai elemen sosial yang memungkinkan kerjasama berada dalam hubungan yang fair. Satu hubungan dapat dikatakan reasonable jika setiap pihak dapat menerimanya secara timbal balik. Dengan demikian sesuatu yang reasonable terkandung nilai imparsialitas dan saling menguntungkan. Seseorang dapat dikatakan bertindak reasonable jika ia mempertimbangkan sesuatu yang dapat diterima oleh pihak lain yang sama-sama memiliki kebebasan yang setara. Dalam prinsip reasonable, nilai timbal balik mendapatkan tekanan

12

Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal.7.

13

Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal.5.

14

(6)

6

cukup besar. Sebaliknya, seseorang dikatakan tidak memiliki daya reasonable jika tidak memperhatikan prinsip timbal-balik dengan pihak lain yang juga memiliki kebebasan yang setara.15

Sementara yang dimaksud dengan daya rasional adalah kemampuan untuk menilai dan kemampuan deliberasi yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam mencari tujuan akhir dan kepentingan mereka sendiri. Daya rasional akan menentukan tujuan dan juga kepentingan yang akan diambil serta sarana yang dianggap efektif untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang sudah diambil. Namun kata Rawls, meski kemampuan ini berkaitan dengan tujuan dan kepentingan serta sarana yang dapat dipilih oleh seseorang atau satu kelompok, tidak berarti bahwa kepentingan itu hanya kepentingan diri atau kelompoknya saja. Dalam menentukan tujuan dan kepentingannya, subjek rasional juga memiliki afeksi yang dapat mempertimbangkan komunitas dan tempat sehingga mereka dapat memilih tujuan dalam banyak cara. Menurut Rawls, hal yang dianggap kurang dari agen rasional adalah sensibilitas moral yang dapat menuntun proses pelibatan dalam cara yang fair. Karena alasan itulah maka daya reasonable menjadi sangat penting dalam teori keadilan.16 Dalam pandangan Rawls, dua daya ini berbeda satu sama lain namun saling mengandaikan. Karena pembedaan dua daya ini maka salah satu dari keduanya bukan derivasi dari yang lain. Hal yang paling membedakan keduanya adalah bahwa daya reasonable bersifat publik sementara daya rasional tidak memiliki hal tersebut.

Dengan demikian daya kewarasan publik (reasonable) memainkan peran yang teramat penting dalam membangun hubungan antar-kelompok yang adil. Rawls menegaskan bahwa ada dua aspek dasar dalam daya reasonable: yang pertama kehendak untuk mengajukan model kerjasama yang fair dan menjadikannya sebagai model yang berlaku untuk semua; yang kedua adalah kehendak untuk mengakui adanya tanggungjawab penilaian yang bersifat publik sehingga harus menerima pendayagunaan nalar publik dalam melegitimasi kekuasaan politik konstitusional.17 Tentang aspek dasar yang kedua, Rawls menjelaskan lebih lanjut dengan mengingatkan kembali bahwa di dalam komunitas politik terdapat fakta pluralitas pandangan dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda satu sama lain. Pertanyaannya, bagaimana ketidaksepakatan atau perbedaan yang waras itu mungkin? Untuk menjawab pertanyaan ini, Rawls kembali pada dua daya moral yang dimiliki setiap warga. Katakan saja bahwa setiap orang atau kelompok memiliki tujuan dan kepentingannya sendiri yang berbeda satu sama lain, namun dalam melegitimasi kerjasama yang fair dari warga yang memiliki kebebasan dan kesetaraan, tujuan dan kepentingannya harus dilihat secara imparsial dan mendayagunakan nalar publik.18

15

Rawls, Political Liberalism, hal. 49-50.

16

Rawls, Political Liberalism, hal. 50-51.

17

Tentang aspek kedua ini Rawls menyinggung sebuah konsep mengenai tanggung jawab penilaian publik (the burdens of judgment). Ia memahami konsep itu sebagai sumber atau penyebab dari ketidaksepakatan yang waras. Setiap orang atau kelompok bisa saja saling tidak sepakat dalam banyak hal, namun setiap mereka (yang memiliki kebebasan dan kesetaraan) dituntut untuk mempertimbangkan gagasannya dengan mendayagunakan nalar publik yang bersifat imparsial.

18

(7)

7

Dengan pendayagunaan nalar publik, perbedaan tujuan dan kepentingan yang ada di dalam doktrin komprehensif yang begitu beragam dapat di uat aras . Fakta ah a setiap kelompok memiliki perbedaan tujuan diakui, namun pada saat yang sama perbedaan itu juga harus mempertimbangkan tujuan kelompok atau doktrin komprehensif yang lain. Dengan demikian, ide masyarakat yang tertata baik (well-ordered society) hanya memberikan tempat kepada doktrin komprehensif yang memiliki daya kewarasan publik sehingga hanya dengan cara ini hubungan antar-doktrin komprehensif secara fair menjadi mungkin. Doktrin komprehensif yang memiliki kecenderungan untuk memaksakan tujuan dan kepentingannya kepada pihak lain akan disebut sebagai doktrin komprehensif yang tidak waras (unreasonable comprehensive doctrine). Doktrin komprehensif macam ini tidak memiliki kehendak untuk membangun kerjasama yang fair dan juga tidak memiliki kemampuan untuk mendayagunakan nalar publiknya. Dengan kata lain, doktrin komprehensif semacam ini adalah ancaman bagi kemungkinan untuk membangun masyarakat yang tertata baik (well-ordered society).

Nalar Publik dan Konsensus Bersama

Untuk menjawab pertanyaan dasar dalam Liberalisme Politik, di atas sudah dijelaskan konsep kunci yang hendak dituju, yakni strukur dasar masyarakat yang sesuai dengan prinsip keadilan dan yang kedua mengupayakan satu masyarakat yang tertata baik (well-ordered society) di mana relasi antar-doktrin komprehensif berlangsung secara waras. Namun menurut Rawls, dalam masyarakat yang tertata baik belum ada jaminan dapat melahirkan dasar kesatuan sosial (basis of social unity) dan juga belum memberikan isi dari nalar publik.19 Karena itu, agar hubungan antar-doktrin komprehensif yang waras dapat menciptakan dasar kesatuan sosial, kita perlu masuk pada satu ide yang disebut konsensus bersama atau overlapping consensus. Namun sebelum masuk pada uraian mengenai konsensus bersama, Rawls menjelaskan pengandaian penting yang membuat liberalisme politik menjadi mungkin.

Menurut Rawls ada dua ciri hubungan politis dalam rezim konstitusional. Yang pertama, hubungan setiap orang selalu sudah dalam kerangka struktur dasar yang kita memasukinya melalui kelahiran dan keluar lewat kematian, tidak ada pilihan yang lain. Kita tidak bisa mengatakan kepada komunitas politik semacam itu: saya bisa masuk atau keluar secara sukarela. Yang kedua, kekuasaan politik dari institusi itu bersifat memaksa dan ditopang oleh adanya sanksi bagi mereka yang tidak mematuhi hukum yang ada. Dalam rezim konstitusional, kekuasaan politik itu berasal dari publik di mana setiap warga memiliki kebebasan yang setara.20 Ciri ini menyiratkan kecenderungan Rawls pada peran sentral negara dalam bentuk jaminan keadilan, kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh warga sekaligus juga kemampuan negara untuk menghukum mereka yang melangkahi prinsip-prinsip tersebut.

Dalam komunitas politik semacam itu, setiap orang/warga atau kelompok dituntut untuk memiliki kemampuan bertindak waras (reasonable) dan rasional. Dengan cara ini, relasi antar-kelompok atau doktrin komprehensif didasari pada sensibiltas keadilan. Kepada mereka yang gagal untuk bertindak sesuai dengan prinsip keadilan, negara memiliki hak legal untuk memaksa atau menghukum. Rawls juga menegaskan bahwa kerjasama sosial yang dibangun adalah kerjasama sosial yang didasarkan pada prinsip keadilan: setiap orang memiliki

19

Rawls, Political Liberalism, hal. 133-134.

20

(8)

8

kebebasan yang setara; memiliki kesetaraan kesempatan yang fair; memiliki nilai timbal balik ekonomi dan memiliki rasa saling hormat di antara warga. Selain itu nilai yang juga penting untuk dibangun dalam masyarakat semacam ini adalah nilai nalar publik (public reason).21 Dengan nilai nalar publik, kita hendak menuntun setiap nilai partikular yang ada untuk menggunakan nalar yang dapat diterima secara publik.

Yang disebut dengan nalar publik bukanlah nalar agama atau nalar moral dari komunitas tertentu. Menurut Freeman, dalam komunitas politik yang mendasarkan pada demokrasi konstitusional, warga negara atau pegawai-pegawai resmi dari kantor pemerintahan biasanya memiliki kelayakan nalar yang pantas disampaikan dalam forum-forum tersebut. Salah satu kepantasannya adalah bahwa mereka tidak menggunakan bahasa yang berasal dari nalar kelompok doktrin komprehensif tertentu. Itu artinya, dalam forum-forum publik, argumen yang mendasarkan pada doktrin komprehensif tertentu akan dibatasi. Freeman mengambil salah satu contoh mengenai hal ini, yakni ketika Martin Luther King menyampaikan deklarasi hak-hak sipil dan politik yang diinspirasi oleh keyakinan agama. Meski hal itu diinspirasi dari keyakinan agamanya, ia menyampaikan dalam bahasa dan argumen yang dapat dicerna oleh kelompok yang lain.22

Ide mengenai nalar publik kadang disalahpahami sebagai nalar bersama yang disepakati. Misalnya dalam negara teokrasi yang mendasarkan konstitusinya pada kitab suci tertentu, menurut Freeman tidak bisa disebut sebagai nalar publik. Gagasan mengenai nalar publik terkait dengan masyarakat demokratis yang mengakui kesetaraan dan kebebasan semua warga negara tanpa melihat latar belakangnya.23 Dalam pandangan Rawls, tidak semua nalar dapat langsung disebut sebagai nalar publik. Ia menyebut nalar publik sebagai karakteristik masyarakat demokratis di mana semua warganya memiliki status kewarganegaraan yang setara.24Isi dari alar pu lik adalah alar ya g e iliki ilai kepu lika , atau persis ya adalah nalar yang mengandung konsepsi politik keadilan. Selain tidak memiliki ciri partikular, nalar publik juga memiliki tujuan untuk menjaga agar status kesetaraan tetap terjaga. Isinya bukan hanya sekadar merefleksikan kesepakatan tertentu tetapi lebih dari itu adalah nalar yang didasari pada prinsip kewarasan (reasonableness).

Dalam komunitas yang majemuk, hal terpenting yang perlu ditekankan adalah adanya hubungan antar-doktrin komperhensif yang waras (reasonable comprehensive doctrines). Hal ini menjadi salah satu dari dua poin yang diingatkan oleh Rawls ketika membahas ide mengenai konsensus bersama (overlapping consensus). Dua poin itu adalah, yang pertama tentang pencarian konsensus dari doktrin komprehensif yang waras, dan yang kedua dalam demokrasi konstitusional, konsepsi keadilan politik harus bebas dari doktrin tertentu di dalam

21

Rawls, Political Liberalism, hal. 139.

22

Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), hal. 382-383.

23

Freeman, Rawls, hal. 383

24

Rawls, Political Liberalism, hal. 213. Dalam pandangan Freeman, konsep mengenai nalar publik sebenarnya tidak sederhana. Di dalam Collected papers [CP] (hal. 575) Rawls menyebut bahwa tuntutan untuk mengaplikasikan nalar publik hanya ada pada forum politik yang bersifat publik, bukan di dalam budaya latar (background culture). Di tempat yang sama misalnya Rawls juga menekankan pentingnya kriteria resiprositas dalam nalar publik, yakni bahwa kita berpikir secara waras di mana pada saat yang sama pihak lain juga dapat menerimanya dengan cara yang waras, dan mereka semua akan sampai pada satu kesimpulan yang dapat diterima secara waras. Lih. Freeman,

(9)

9

masyarakat.25 Tanpa pengandaian adanya relasi yang waras, setiap doktrin komprehensif hanya akan memusatkan perhatiannya pada tujuan dan kepentingannya saja. Sulit untuk membayangkan tercapainya konsensus bersama jika setiap kelompok hanya memerhatikan tujuan dan kepentingannya. Karena itu kemampuan setiap kelompok untuk berrelasi secara waras (reasonable) menjadi sesuatu yang mutlak.

Urgensi sikap waras dari setiap kelompok didasari oleh pandangan bahwa konsensus yang hendak dicapai bukan semata kesepakatan yang bersifat sementara saja. Rawls memahami overlapping consensus bukan sekadar konsensus untuk menerima otoritas tertentu atau mematuhi kesepakatan institusional yang didasari pada titik temu di antara berbagai kelompok dan kepentingan. Konsensus bersama bukan semata kesepakatan yang muncul di antara berbagai kelompok. Konsensus semacam itu baru sebatas modus Vivendi, bukan

overlapping consensus. Rawls memahami modus Vivendi sebagai kesepakatan yang terjadi di antara dua pihak (atau lebih) di mana masing-masing pihak hanya memerhatikan tujuan dan kepentingannya. Dalam proses negosiasi, masing-masing pihak berupaya melindungi tujuan dan kepentingannya itu hingga sampai pada titik ekuilibrium. Hal yang ingin digarisbawahi oleh Rawls, dan ini menjadi pembeda dengan konsep konsensus bersama adalah bahwa di dalam modus Vivendi, kesatuan sosial (social unity) hanya ada di permukaan dan stabilitasnya bersifat kontingen. Padahal, tujuan penting dalam konsensus bersama adalah hadirnya stabilitas dalam waktu yang langgeng.26

Lantas bagaimana kita membangun sebuah konsensus bersama? Pertama-tama yang dimaksud dengan konsensus bersama adalah kesepakatan yang bersandar pada prinsip kebebasan dan muncul dari doktrin komprehensif yang reasonable (waras) di mana tujuannya adalah untuk melahirkan satu konsepsi keadilan yang paling pas untuk masyarakat demokratis.27Kesepakata di a tara keraga a itu diikat oleh huku ya g adil da aras da mendukung isi dari konsepsi politik keadilan. Kesepakatan itu bisa saja berangkat dari perspektif doktrin komprehensif masing-masing, dan kesepakatan itu sendiri tidak membuat ereka e jadi kura g relijius, kare a doktri ko prehe sif ya g isa sa pai pada konsensus bersama adalah mereka yang menempatkan prinsip kewarasan sebagai bagian integral.28 Dengan demikian, kesepakatan ini tidak hanya melahirkan stabilitas yang bersifat sementara tetapi juga langgeng. Tujuan pada hadirnya stabilitas yang langgeng menjadi perbedaan antara apa yang disebut dengan modus Vivendi dan konsensus bersama (overlapping consensus).

25

Rawls, Political Liberalism, hal. 144

26

Rawls, Political Liberalism, hal. 147

27

Freeman, Rawls, hal. 370

28

(10)

10

Tabel Konsepsi Politik Keadilan

Kemungkinan Aplikasi PL

Bertitik tolak dari gagasan yang ada di dalam liberalisme politik, kita akan mencoba melihat bagaimana bila gagasan itu diaplikasikan dalam masyarakat majemuk sebagaimana yang kita alami. Namun sebelum kita menguji beberapa kasus yang terjadi dalam masyarakat kita, pertanyaan dasar yang perlu kita jawab di awal adalah apakah sebagai sebuah komunitas politik kita sudah mengakui prinsip demokrasi sebagai proses mencari legitimasi dan menjamin kebebasan yang setara untuk semua warga. Kiranya, kita patut bersyukur bahwa jika kita merujuk pada konstitusi, dua hal ini sudah tertulis dengan jelas. Kekuasaan di negeri ini tidak didasarkan pada keturunan atau legitimasi yang bersifat ilahiah, melainkan melalui sistem kerakyatan, yakni bahwa kekuasaan berasal dari rakyat atau warga.29 Dan yang kedua, negeri ini juga menjamin bahwa setiap warga memiliki hak yang setara tanpa melihat latar belakang agama atau suku.30 Dengan pendasaran ini, cukuplah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa dua pengandaian dasar yang disyaratkan oleh Rawls sudah tersedia di negeri ini.

29

Para pendiri bangsa seperti Sukarno dan Hatta menyadari bahwa Indonesia merdeka dibentuk oleh satu semangat baru, yakni kekuasaan yang didasari pada kedaualatan rakyat, bukan kekuasaan berdasarkan keturunan. Lih. Sukarno, Lahirnya Panca Sila (pidato 1 Juni Bung karno) dan juga Hatta, Kedaulatan rakyat (Surabaya-CV Usaha Nasional, 1946).

30

Komitmen pada kesetaraan untuk semua warga negara dapat kita lihat dalam polemic mengenai tujuh kata dalam piagam Jakarta yang akan dimasukan ke dalam undang-undang dasar. Dalam sidang BPUPK, pada presentasi Sukarno mengenai piagam Jakarta yang sudah dibuat oleh panitia Sembilan, Latuharhary mengajukan keberatan atas

pencantuman tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di dalam hukum dasar. Polemik ini akhirnya berhasil dipecahkan setelah Bung Hatta melakukan pendekatan ke kelompok Islam dengan pertimbangan yang lebih besar, yakni persatuan nasional. Lih. perdebatan ini dalam Risalah BPUPK, hal. 238-241 dan Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2011) hal. 23-39.

 Penerimaan akan sistem demokrasi  Jaminan kebebasan

yang setara

Relasi antar-doktrin komprehensif yang waras Masyarakat yang tertata baik

konsensus bersama Tujuan Politik

Konsep Masyarakat

(11)

11

Masalahnya memang tidak cukup sampai di situ, karena kita harus menguji seberapa jauh pengandaian itu bersinambung dengan tata kelola kehidupan majemuk yang berlangsung di negeri ini. Terhadap fenomena yang penulis ajukan di muka, bagaimana fenomena itu dilihat dalam perspektif konsepsi politik keadilan (political conception of justice)? Pemaksaan pandangan satu kelompok di dalam kehidupan publik sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras mengabaikan tiga hal mendasar dalam konsepsi politik keadilan: pertama mereka melupakan asumsi dasar mengenai kebebasan yang setara yang dimiliki semua warga; kedua, terjadi upaya kolonisasi pandangan di dalam kehidupan publik; dan ketiga mereka tidak memiliki kewarasan publik (reasonableness). Tindak pemaksaan semacam s eepi g di te pat hi ura da ru ah aka di ula ‘a adha e ga aika pri sip dasar bahwa setiap warga memiliki kebebasan yang setara. Selama seorang warga tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, tidak ada ada kekuatan legal apapun yang berhak untuk memaksanya. Di dalam tindakan itu juga terdapat upaya kolonisasi pandangan partikular (doktrin komprehensif) terhadap pandangan kelompok lain, yak i e deri asi ko sep aksiat yang bersifat partikular ke dalam aturan yang bersifat publik. Dan yang terakhir tentu saja upaya pemaksaan di ranah publik dalam bentuk apapun mengabaikan prinsip kewarasan publik yang menjadi jantung dari konsepsi politik keadilan.

Kompleksitas tata kelola kehidupan publik tidak hanya ada pada kasus yang jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi politik keadilan. Ada banyak praktik budaya yang mengandung kerumitan hidup bersama seperti azan yang menggunakan pengeras suara dan tradisi membangunkan sahur yang menggunakan alat-alat bising. Tentu ada banyak contoh lain yang juga berasal dari agama lain. Dan kerumitan semacam itu bukan monopoli agama, tetapi juga ada pada kelompok-kelompok lain, seperti perilaku kelompok yang dilatari oleh etnisitas atau suku, dan kelompok politik. Perbedaan tradisi pada beberapa suku yang hidup bersama kadang menimbulkan gesekan-gesekan yang jika tidak direspon secara bijak bisa menciptakan konflik terbuka. Bahkan masalah tata kelola hidup bersama juga bukan khas Indonesia, tetapi juga dialami oleh negara-negara Eropa. Misalnya tradisi sembelih hewan dan juga khitan tradisional yang dilakukan oleh komunitas muslim di Jerman menjadi masalah karena tindakan itu dilihat sebagai tindakan yang melukai (harmful). Begitu juga pemakaian cadar di tempat publik seperti di pengadilan dan sekolah menjadi masalah karena mengganggu proses investigasi hukum dan proses mengajar.

(12)

12

kemajemukan dan dalam memahami konsep kepublikan. Habermas misalnya cenderung menawarkan dialog dalam menyikapi perbedaan.31 Dialog mengandaikan adanya kemauan dari masing-masing pihak dan kemampuan untuk membahasakan ulang bahasa partikularnya agar menjadi lebih publik. Hal yang sama juga diajukan oleh Sen32 dan Dostert.33 Keduanya menilai dialog sebagai sarana efektif untuk sampai pada kesepakatan bersama.

Meski ada banyak kritik dan catatan atas PL, namun jantung dari konsepsi politik keadilan tentang pentingnya prinsip kewarasan publik dalam kehidupan bersama sebenarnya secara implisit diakui nilai pentingnya oleh banyak pihak. Kemampuan untuk menilai apakah sesuatu tertentu layak diletakan di ruang publik dan kelayakan itu harus dapat dilihat posisi sebaliknya. Artinya penilaian layak atau tidaknya juga sudah mempertimbangkan jika kita berada pada posisi pihak lain. Kemampuan ini tentu saja sangat penting dalam merawat harmoni kehidupan bersama yang di dalamnya ada begitu banyak perbedaan. Setiap masyarakat, sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Rawls, pada dasarnya memiliki untuk bertindak waras. Hanya saja yang berbeda adalah soal batasan kepantasan yang berlaku di setiap komunitas politik. Latar budaya bersama turut menentukan perbedaan batas kepantasan publik. Dalam kultur masyarakat yang cukup cair, batasan kepantasan publiknya menjadi berbeda dengan masyarakat yang agak kaku.34 Dan dalam soal ini, batasan yang diajukan oleh Rawls cenderung kaku atau rigid.

Daftar Pustaka

Dostert, Troy 2006, Beyond Political Liberalism: Toward a Post-Secular Ethics of Public Life, Notre Dame, Indiana, University of Notre Dame Press

31

Habermas menyinggung soal hubungan antara kelompok agama dan kelompok sekuler. Menurutnya sikap kelompok sekuler yang tidak mau berdialog dengan kelompok agama adalah sikap yang kurang tepat. Meski di masa lalu agama banyak banyak menorehkan sejarah kelam, tetapi kemampuan mereka untuk bertahan hingga kini menandai bahwa peran agama tidak bisa diabaikan bagi kehidupan masyarakat. Karenanya ia menyerukan untuk membangun dialog antara mereka yang disebut sekuler dan kelompok agama. Lih. Habermas, Between Naturalism and Religion (Cambridge: Polity, 2008), hal. 4-5. Juga bisa dilihat dalam Paul Kleden dan Adrianus Sunarko, 2010,

Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan (Penerbit Lamalera dan Penerbit Ledalero, 2010).

32

Dalam The Idea of Justice Amartya Sen juga kerap menyinggung soal peran diskusi publik yang terbuka. Dalam diskusi publik, setiap pihak berhak untuk mengajukan pandangannya sambil mencari kemungkinan untuk sampai pada pandangan yang lebih baik. Lih. Sen, The Idea of Justice (Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2009).

33

Secara khusus Dostert menulis buku (disertasi) untuk merespon Political Liberalism dengan judul Beyond Political Liberalism. Menurutnya model PL, cenderung mengeksklusi pandangan yang dianggap kurang waras (unreasonable). Alih-alih mengajukan model semacam itu, Dostert menawarkan model dialog yang lebih merangkul (politics of engagement). Lih. Dostert, Beyond Political Liberalism (Indiana: University of Notre Bame Press, 2006)

dan Sunaryo “Etika Pasca Sekularisme: Kritik Dostert atas Liberalisme Politis Rawls” dalam Jurnal Titi-Temu, Volume 4, Nomor 2, Januari-Juni 2012.

34

(13)

13 Freeman, Samuel 2007, Rawls, New York, Routledge

Habermas, Juergen 2008, Between Naturalism and Religion: Philosophical Essays, diterjemahkan oleh Ciaran Cronin, Cambridge, Polity

Hatta, Mohammad 1946, Kedaulatan Rakyat, Konperensi Pamong Praja, Solo, 7 Pebruari 1946,

dalam terbitan ulang Kementrian Penerangan Republik Indonesia 1950, Surabaya-CV Usaha Nasional (Maret 1950)

Kleden, Paul Budi dan Adrianus Sunarko 2010, Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan, Penerbit Lamalera dan Penerbit Ledalero

Kosmin, Barry A. dan Ariela Keysar (eds.) 2007, Secularism and Secularity: Contemporary International Perspectives, Hartford-International for the Study of Secularism in Society and Culture, Trinity College

Latif, Yudi 2011, Negara Pripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Rawls, John [1971], 1999, A Theory of Justice (edisi revisi), Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge

Rawls, John 2001, Justice as Fairness: A Restatement, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge

Rawls, John, 1993, Political Liberalism, New York, Columbia University Press

Sekretariat Negara Republik Indonesia 1998, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Sen, Amartya 2009, The Idea of Justice, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge

“ukar o 19 , Lahir ya Pa a “ila Pidato 1 Ju i 19 , dala Tjamkan Pantja Sila, diterbitkan oleh Panitia Nasional Peringatan Lahirnya Pancasila, (ed) H. Amin Arjono, SH. “u aryo Etika Pas a “ekularis e: Kritik Dostert atas Li eralis e Politis ‘a ls dala Jur al

Gambar

Tabel Konsepsi Politik Keadilan

Referensi

Dokumen terkait

Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR, Pasal 310 Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg), dan Pasal 1915 KUH Perdata yang berbunyi sebagai

Hasil penelitian berdasarkan regresi linier berganda menunjukkan minat dan perilaku belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar pelajaran akuntansi produktif program

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sumber daya manusia dalam hal ini aparatur dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat di Kantor Pelayanan Terpadu

Hidup psikis kita ibarat gunung es yang terapung-apung di laut, terlihat hanya puncaknya. Hidup psikis manusia bahkan untuk sebagian besar manusia hidup psikis tidak tampak atau

Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan evaluasi ketepatan waktu tempuh dengan tujuan untuk mengetahui waktu tempuh yang optimal, mengetahui faktor-faktor yang

Dengan demikian, kedudukan Public Relations dalam suatu lembaga atau perusahaan adalah sebagai suatu organisasi yang berfungsi sebagai metode untuk membangun kepercayaan

Guru sebagai perancang pembelajaran dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan PBM dengan memperhatikan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran seperti :

Penelitian ini merupakan penelitian mengenai Pemanfaatan Tumbuhan yang digunakan dalam berbagai ritual adat serta keperluan sehari-hari dan digunakan pula sebagai