• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Kode/Nama Rumpun Ilmu: 521 / Ilmu Linguistik

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DOSEN PEMULA

PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN

TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN ISTILAH BUDAYA

USING PADA PUBLIKASI PARIWISATA DWIBAHASA

KABUPATEN BANYUWANGI

Tim Peneliti

Wiwin Indiarti, S.S., M.Hum. / 0715087803 Wulan Wangi, M.Pd. / 0709078201

UNIVERSITAS PGRI BANYUWANGI

DIBIAYAI OLEH KOPERTIS WILAYAH VII

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PROGRAM PENELITIAN

(2)

Kode/Nama Rumpun Ilmu: 521 / Ilmu Linguistik

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DOSEN PEMULA

PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN

TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN ISTILAH BUDAYA

USING PADA PUBLIKASI PARIWISATA DWIBAHASA

KABUPATEN BANYUWANGI

Tim Peneliti

Wiwin Indiarti, S.S., M.Hum. / 0715087803 Wulan Wangi, M.Pd. / 0709078201

UNIVERSITAS PGRI BANYUWANGI

DIBIAYAI OLEH KOPERTIS WILAYAH VII

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PROGRAM PENELITIAN

(3)
(4)

RINGKASAN

PERAN IDEOLOGI DAN STRATEGI PENERJEMAHAN TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN ISTILAH BUDAYA USING PADA PUBLIKASI PARIWISATA DWIBAHASA KABUPATEN BANYUWANGI

Wiwin Indiarti dan Wulan Wangi

Semakin populer dan pesatnya perkembangan kajian budaya (cultural studies) pada saat ini telah menggeser definisi penerjemahan yang pada awalnya sekadar aktivitas antarbahasa (cross-linguistic activity) menjadi suatu bentuk komunikasi lintas budaya (cross-cultural communication) yang tentu saja sangat strategis artinya dalam menjalin kesepahaman antarbudaya (cross-cultural understanding). Dalam konteks publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi, penerjemahan istilah budaya asli Banyuwangi (budaya Using) ke dalam bahasa Inggris akan berhasil memperkenalkan keunikan suku dan budaya Using pada wisatawan manca. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran ideologi dan strategi penerjemahan dalam menghasilkan terjemahan istilah budaya Using yang berkualitas.

Penelitian yang berorientasi pada terjemahan ini bersifat deskriptif kualitatif dengan disain studi kasus terpancang. Data primernya yang berupa istilah budaya Using dan terjemahannya diambil dari tiga publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi. Data primer yang terkumpul diolah dengan pendekatan content analysis untuk mendapatkan data tentang kualitas terjemahan yang terkait dengan ideologi dan strategi penerjemahan. Sementara itu teknik kuesioner diterapkan untuk mendapatkan data tentang kualitas terjemahan yang terkait dengan tingkat keterbacaan terjemahan. Untuk memvalidasi tanggapan pembaca sasaran yang diberikan pada kuesioner dipakai teknik wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penerjemahan yang diterapkan berjumlah 12, yaitu peminjaman murni (34,02%), transposisi (23,19%), sinonim (17,78%), padanan deskriptif (6,70%), penghilangan (4,12%), penambahan-semantik (3,35%), penambahan-struktural (3,35%), penyusutan (2,8%), perluasan (2,57%), terjemahan resmi (1,3%), analisis komponensial (0,5%) dan padanan budaya (0,26%) dan dengan kecenderungan pemakaian ideologi domestikasi. Dari 381 data primer, 320 (83,99%) diterjemahkan secara akurat, 44 (11,55%) diterjemahkan secara kurang akurat, dan 17 (4,46%) diterjemahkan secara tidak akurat. Dari tingkat keberterimaannya, 261 (94,75%) berterima, 3 (0,79%) kurang berterima, dan 17 (4,46%) tidak berterima. Dari tingkat keterbacaan, 176 (46,19%) memiliki tingkat keterbacaan tinggi dan 205 (53,81%) memiliki tingkat keterbacaan sedang.

(5)

PRAKATA

Alhamdulillah. Berkat nikmat sehat dan jernih pikir dari Allah laporan akhir Penelitian Dosen Pemula ini berhasil diselesaikan sesuai dengan tenggat waktu yang disediakan.

Awal mulanya adalah ketertarikan pada bidang penerjemahan. Selanjutnya pengalaman dalam mengajar dan melakukan aktivitas penerjemahan itu sendiri. Ternyata semakin didekati semakin kompleks masalah yang ditawarkan oleh bidang ini. Namun demikian, kompleksitas tersebut membuat hidup lebih berwarna. Adrenalin terus terpicu deras untuk mencari jawaban atas permasalahan penerjemahan. Demikianlah, maka tawaran dari DIKTI untuk membuat penelitian skim Hibah Penelitian Dosen Pemula kami sambut dengan gempita.

Oleh karena memiliki guide book pariwisata yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka kami menetapkan untuk melakukan penelitian yang mengkaji penerjemahan istilah budaya pada publikasi pariwisata tersebut secara umum. Namun demikian, pada saat mengikuti Klinik Penelitian Dosen Pemula di Kopertis 7, Prof. Wurlina Meles menyarankan agar bahan kajian kami dipersempit menjadi penerjemahan istilah budaya Using. Alhamdulillah, ternyata saran tersebut membuat kami lebih fokus dan “warna lokal” sepertinya berhasil menarik minat reviewer pada proposal kami. Terima kasih, Prof!

Di sinilah kami sekarang; menjadi bagian dari para penerima hibah yang berbahagia. Meski jalan penelitian tidak selalu mulus, pada akhirnya adalah itikad baik dan semangat yang tinggi untuk terus berkarya di tengah keterbatasan. Berguru pada Emha Ainun Najib, “ruang luas adalah pelampiasan, ruang sempit adalah pengendalian,” maka tekad dibulatkan untuk merebut kesempatan karena dalam siasat perangnya Tsun Su pun berkata bahwa “OPPORTUNITIES MULTIPLY AS THEY ARE SEIZED.”

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul... i

Halaman Pengesahan...ii

Ringkasan... iii

Prakata...iv

Daftar Isi...v

Daftar Tabel... ix

Daftar Gambar...xii

Daftar Lampiran...xiii

BAB 1. PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang Penelitian...1

1.2. Rumusan Masalah...3

1.3. Batasan dan Keterbatasan Penelitian...3

1.4. Asumsi Penelitian...4

1.5. Klarifikas Istilah...4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1. Batasan Publikasi Pariwisata Dwibahasa...6

2.2. Pengertian Penerjemahan...7

2.3. Ideologi Penerjemahan...10

2.4. Strategi Penerjemahan...12

2.4.1. Strategi Struktural...13

2.4.2. Strategi Semantis...14

(7)

2.6. Budaya dan Penerjemahan...18

2.7. Penelitian Terdahulu...19

2.8. Kerangka Pikir Penelitian...20

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN... 21

3.1. Tujuan Penelitian...21

3.2. Manfaat Penelitian...21

BAB 4. METODE PENELITIAN...22

4.1. Arah Penelitian...22

4.2. Rancangan Penelitian...22

4.3. Teknik Sampling...23

4.4. Data dan Sumber Data...23

4.4.1. Data...23

4.4.2. Sumber Data...24

4.5. Teknik Pengumpulan Data...24

4.6. Metode Analisis Data...25

4.7. Prosedur Penelitian...27

BAB 5. HASIL YANG DICAPAI ...28

5.1. Paparan Data dan Temuan Penelitian...29

5.1.1. Istilah Budaya Using Berdasarkan Kategorinya...29

5.1.2. Strategi Penerjemahan...29

5.1.2.1. Strategi Tunggal...29

5.1.2.1.1. Strategi Peminjaman Murni...30

5.1.2.1.2. Strategi Transposisi...31

5.1.2.1.3. Strategi Sinonim...32

(8)

5.1.2.1.5. Strategi Penambahan (Semantis)...35

5.1.2.1.6. Strategi Penyusutan...36

5.1.2.1.7. Strategi Penghilangan...37

5.1.2.1.8. Strategi Perluasan...38

5.1.2.1.9. Strategi Penambahan (Struktural)...39

5.1.2.1.10. Strategi Terjemahan Resmi...40

5.1.2.1.11. Strategi Padanan Budaya...40

5.1.2.1.12. Strategi Analisis Komponensial...40

5.1.2.2. Strategi Penerjemahan Kuplet...41

5.1.2.2.1. Strategi Sinonim + Perluasan...41

5.1.2.2.2. Strategi Transposisi + Perluasan...42

5.1.2.2.3. Strategi Transposisi + Penambahan (Struktural)...42

5.1.3. Ideologi Penerjemahan...42

5.1.4. Peran Ideologi dan Strategi Penerjemahan terhadap Kualitas Terjemahan...45

5.1.4.1. Kualitas Terjemahan...46

5.1.4.1.1. Tingkat Keakuratan Pengalihan Pesan...46

5.1.4.1.1.1. Terjemahan Akurat...46

5.1.4.1.1.2. Terjemahan Kurang Akurat...48

5.1.4.1.1.3. Terjemahan Tidak Akurat...50

5.1.4.1.2. Tingkat Keberterimaan...51

5.1.4.1.2.1. Terjemahan Berterima...51

5.1.4.1.2.2. Terjemahan Kurang Berterima...53

5.1.4.1.2.3. Terjemahan Tidak Berterima...54

(9)

5.1.4.1.3.1. Tingkat Keterbacaan Tinggi...55

5.1.4.1.3.2. Tingkat Keterbacaan Sedang...57

5.2. Pembahasan Temuan Penelitian...59

5.2.1. Strategi Penerjemahan...59

5.2.2. Ideologi Penerjemahan...60

5.2.3. Peran Ideologi dan Strategi Penerjemahan terhadap Kualitas Terjemahan...61

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN...63

6.1. Kesimpulan...63

6.2. Saran...64

DAFTAR PUSTAKA...66

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Definisi Penerjemahan pada Tahun 1960an 1970an...8 Tabel 2. Jumlah Istilah Budaya Using pada 3 Sumber Data Berdasarkan

Kategorinya...29 Tabel 3. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Peminjaman

Murni...30 Tabel 4. Contoh Penerapan Strategi Peminjaman Murni...31 Tabel 5. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi

Transposisi...32 Tabel 6. Contoh Penerapan Strategi Transposisi...32 Tabel 7. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi

Sinonim...33 Tabel 8. Contoh Penerapan Strategi Sinonim...33 Tabel 9. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Padanan

Deskriptif ...35 Tabel 10. Contoh Penerapan Strategi Padanan Deskriptif ...35

Tabel 11. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Penambahan-Semantik...36

Tabel 12. Contoh Penerapan Strategi Penambahan-Semantik...36 Tabel 13. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi

Penyusutan...36 Tabel 14. Contoh Penerapan Strategi Penyusutan...37 Tabel 15. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi

Penghilangan...37 Tabel 16. Contoh Penerapan Strategi Penghilangan...38 Tabel 17. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi

(11)

Tabel 18. Contoh Penerapan Strategi Perluasan...39

Tabel 19. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Penambahan-Struktural...39

Tabel 20. Contoh Penerapan Strategi Penambahan Struktural...39

Tabel 21. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Terjemahan Resmi...40

Tabel 22. Contoh Penerapan Strategi Terjemahan Resmi... 40

Tabel 23. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Padanan Budaya...40

Tabel 24. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Analisis Komponensial...41

Tabel 25. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Sinonim + Perluasan...41

Tabel 26. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Transposisi + Perluasan...42

Tabel 27. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Transposisi + Penambahan-Struktural...42

Tabel 28. Strategi Tunggal yang dipakai untuk menerjemahkan Istilah Budaya Using...43

Tabel 29. Strategi Kuplet yang dipakai untuk menerjemahkan Istilah Budaya Using... 43

Tabel 30. Frekuensi Penerapan Strategi Penerjemahan...43

Tabel 31. Orientasi Strategi Penerjemahan...44

Tabel 32. Orientasi Ideologi Penerjemahan...45

Tabel 33. Istilah Budaya yang Diterjemahkan Secara Akurat...47

Tabel 34. Strategi Penerjemahan yang Dipakai untuk Menerjemahkan Kata dan Frasa Budaya Using secara Akurat...48

Tabel 35. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan secara Kurang Akurat...49

Tabel 36. Contoh Terjemahan yang Kurang Akurat...49

(12)

Tabel 38. Tingkat Keakuratan Terjemahan...50 Tabel 39. Istilah Budaya Using yang diterjemahkan secara Berterima...52 Tabel 40. Contoh Istilah Budaya yang diterjemahkan secara Berterima...53 Tabel 41. Contoh Istilah Budaya yang diterjemahkan secara Kurang

Berterima...53 Tabel 42. Istilah Budaya yang diterjemahkan secara Kurang Berterima...54 Tabel 43. Tingkat Keberterimaan Terjemahan ...54 Tabel 44. Terjemahan Istilah Budaya yang Memiliki Tingkat Keterbacaan

Tinggi...55 Tabel 45. Strategi Penerjemahan yang Dipakai untuk Menerjemahkan

Istilah Budaya dengan Tingkat Keterbacaan Tinggi...56 Tabel 46. Contoh Terjemahan Istilah Budaya dengan Tingkat Keterbacaan

Tinggi...56 Tabel 47. Istilah Budaya yang Memiliki Tingkat Keterbacaan

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Istilah Budaya Using pada Publikasi Pariwisata Dwibahasa Kabupaten Banyuwangi Menurut Kategorinya

(15)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Pesona alamnya yang indah terhampar dari wilayah utara hingga selatan, dari wilayah barat hingga timur. Selain pesona alam, Banyuwangi juga dikaruniai dengan pesona budaya; di antaranya adalah tarian khas (seblang, gandrung, dan kuntulan), makanan khas (rujak soto, pelasan, dan uyah asem lucu), serta ritual khas (petik laut, rebo wekasan, dan idher bumi). Keanekaragaman budaya tersebut muncul karena Banyuwangi merupakan tempat tinggal bagi tujuh kelompok etnis; yaitu suku Jawa, Using, Madura, Arab, Bugis, Bali, dan Cina.

Kekayaan alam dan budaya yang melimpah didukung oleh letak Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali menjadikan Banyuwangi sebagai tujuan wisata yang potensial dan strategis. Kondisi tersebut mendorong pemerintah daerah, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, terus berupaya untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke Banyuwangi, salah satunya dengan menerbitkan publikasi pariwisata dwibahasa. Selain untuk kepentingan promosi, meminjam kata-kata sambutan Bupati Abdullah Azwar Anas dalam Banyuwangi Calendar of Events 2013 (Kalender Wisata 2013 Kabupaten Banyuwangi), publikasi pariwisata dwibahasa ini juga membantu para wisatawan, agen perjalanan wisata, para peneliti budaya dan para pengusaha jasa pariwisata, dari dalam dan luar negeri, untuk merencanakan perjalanan wisata ke Banyuwangi.

(16)

Saat ini pemahaman tradisional mengenai penerjemahan telah bergeser seiring dengan semakin populer dan pesatnya perkembangan kajian budaya. Penerjemahan saat ini dipandang tidak hanya terkait bahasa, sebagai cross-linguistic activity, namun juga terkait budaya, merupakan suatu bentuk cross-cultural communication (Sun, 2011: 160) karena setiap bahasa lahir dari konteks budaya tertentu. Secara kronologis pengertian komunikasi lintasbudaya melalui penerjemahan dapat dipahami sebagai berikut: Penerjemahan pada dasarnya merupakan proses alihbahasa dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Oleh karena setiap bahasa memiliki caranya sendiri dalam menangkap realitas, yang kemudian mempengaruhi cara realitas tersebut diartikulasikan oleh komunitasnya (Culler, 1976: 21-22 dalam Ordudari, 2010), maka konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu bahasa mungkin saja sangat berbeda satu sama lain. Dengan demikian, menerjemahkan berarti menjembatani perbedaan budaya dengan mengkomunikasikan kembali konsep-konsep yang ada dalam budaya BSu melalui padanan yang tepat dalam BSa. Penerjemahan merupakan aktivitas yang sangat kompleks karena, “differences between cultures cause more severe complications for the translator than do differences in language structure” (Nida, 1964: 30 dalam Fernandez Guerra, 2005), atau, meminjam kata-kata Fernandez-Guerra, banyak kata atau frase yang merujuk pada objek, fakta, fenomena tertentu, dan lain-lain yang berakar kuat pada budaya sumber bound) dan sangat unik dalam budaya yang melahirkannya (culture-specific) sehingga sulit untuk dicarikan padanannya dalam BSa.

Kompleksnya masalah dan proses penerjemahan konsep-konsep yang berakar budaya serta kenyataan bahwa Banyuwangi merupakan kota yang kaya budaya menjadi titik tolak dipilihnya publikasi pariwisata dwibahasa yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi; yaitu 1) Visitor’s Guide Book: Visit Banyuwangi-The Real Tropical Country (2010), Banyuwangi Calendar of Events (2013), dan brosur Welcome to Banyuwangi: The Sunrise of Java (2013) sebagai sumber primer penelitian ini. Pada saat penelitian ini diusulkan, ketiganya merupakan publikasi terbaru yang mewakili jenisnya masing-masing.

(17)

perwujudan dari ideologi yang dianutnya. Ideologi yang dimaksud adalah sistem kepercayaan, cara pandang, budaya dan norma yang dimiliki penerjemah yang akan melandasi perilaku penerjemahannya (Silalahi, 2009: 4) termasuk penentuan strategi penerjemahan yang akan diterapkannya dalam menerjemahkan suatu teks.

Ideologi dan strategi penerjemahan merupakan dua komponen yang akan berdampak pada kualitas terjemahan, berdasarkan keakuratan isi (accuracy in content), keberterimaan (acceptability) dan keterbacaan (readibility). Penelitian ini difokuskan pada peran ideologi dan strategi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan istilah budaya Using yang terdapat pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Kategori istilah budaya Using apakah yang terdapat pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi?

2. Strategi penerjemahan apakah yang diterapkan dalam menerjemahkan istilah budaya Using pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi? 3. Ideologi penerjemahan yang manakah yang dianut oleh penerjemah dalam

menerjemahkan istilah budaya Using pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi?

4. Bagaimanakah peran ideologi dan strategi penerjemahan tersebut terhadap kualitas terjemahan?

1.3. Batasan dan Keterbatasan Penelitian

(18)

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi; yaitu 1) Visitor’s Guide Book: Visit Banyuwangi-The Real Tropical Country (2010), Banyuwangi Calendar of Events (2013), dan brosur Welcome to Banyuwangi: The Sunrise of Java (2013). Oleh karena diorientasikan pada produk atau karya terjemahan, proses penerjemahan tidak dikaji dalam penelitian ini. Dengan demikian, pernyataan tentang strategi dan ideologi penerjemahan dan hal-hal yang menyangkut kualitas terjemahan disimpulkan berdasarkan kajian terhadap produk tanpa menghubungkannya secara langsung dengan penerjemah dan proses penerjemahan yang telah dilakukan oleh penerjemah.

1.4. Asumsi Penelitian

Data yang dikaji dalam penelitian ini bersumber pada 3 publikasi pariwisata dwibahasa yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Tidak adanya keterangan tertulis pada ketiga publikasi tersebut mengenai identitas penerjemah membuat peneliti tidak bisa membuat asumsi khusus mengenai kompetensi penerjemah kaitannya dengan tingkat keakuratan pesan, keberterimaan, dan keterbacaan terjemahan. Sementara itu, karena tujuan dari pembuatan publikasi pariwisata tersebut untuk mempromosikan Banyuwangi (mengenalkan kekayaan alam dan keunikan budaya Banyuwangi yang tidak bisa ditemui di tempat lain), maka dapat diasumsikan bahwa penerjemah cenderung menggunakan ideologi foreinisasi yang berpihak pada budaya BSu dan strategi penerjemahan yang menyokong ideologi tersebut.

1.5. Klarifikasi Istilah

Istilah di bidang studi penerjemahan yang digunakan dalam penelitian ini perlu diklarifikasi guna menghindarkan dari kerancuan pikir. Hal ini didasarkan pada kemunculan istilah yang berbeda untuk merujuk konsep yang sama dalam literatur teori terjemahan. Bahkan ada pula istilah yang digunakan secara tidak konsisten. Keseluruhan istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut.

(19)

berbahasa Melayu ke dalam bahasa Mandarin, bahasa Melayu merupakan BSu dan bahasa Mandarin menempati posisi sebagai BSa.

2. Strategi Penerjemahan adalah taktik penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata, atau mungkin kalimat penuh bila kalimat tersebut tidak bisa dipecah lagi menjadi unit yang lebih kecil untuk diterjemahkan. Dalam literatur tentang teori terjemahan, strategi penerjemahan disebut sebagai prosedur penerjemahan (translation procedures). Oleh karena kata prosedur dalam bahasa Indonesia berarti urutan yang formal, maka di sini istilah strategi yang dipilih (Suryawinata, 2003: 67).

(20)

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

Terdapat tiga istilah penting dalam bidang komunikasi antarbahasa (interlingual communication); yaitu penerjemahan (translation), menerjemahkan (translating) dan terjemahan (a translation). Istilah penerjemahan merujuk pada proses kognitif; suatu proses yang terjadi di dalam otak penerjemah. Menurut M.R. Nababan dalam Teori Menerjemah Bahasa Inggris (1999) proses ini dikenal dengan kotak hitam (black box) penerjemah karena tidak kasat mata. Sementara itu istilah menerjemahkan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang dapat diamati secara langsung dengan mata telanjang karena diperlihatkan oleh perilaku penerjemahan (translation behavior), antara lain seperti membuka kamus, membaca, dan menulis. Istilah terjemahan mengacu pada hasil dari suatu proses penerjemahan (Silalahi: 2009: 12).

Dalam aktivitas penerjemahan dan menerjemahkan, seorang penerjemah seringkali berurusan dengan dua bahasa yang secara linguistis dan budaya berbeda satu sama lain, sebagaimana dinyatakan oleh Wills (1983: 22 dalam Silalahi, 2009: 22) bahwa “any interlingual transfer is characterized by the fact that source language and target language are both linguistically and extralinguistically divergent; they differ-from language-pair to language-pair in a specific manner-structurally, semantically, and socio-culturally.” Untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas, seorang penerjemah harus mampu mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara memilih ideologi dan strategi penerjemahan yang tepat.

Bab 2 ini terbagi dalam 7 bagian, yaitu batasan publikasi pariwisata dwibahasa, pengertian penerjemahan, ideologi penerjemahan, strategi penerjemahan, strategi penilaian kualitas terjemahan, budaya dan penerjemahan, penelitian terdahulu.

2.1. Batasan Publikasi Pariwisata Dwibahasa

(21)

bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ketiga jenis terbitan ini sengaja dipublikasikan secara luas karena tujuannya untuk mempromosikan pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Publikasi pariwisata bukanlah teks ilmiah yang harus ditulis secara akademis; “memakai bahasa keilmuan yang lugas” (Hoed, 2007: 27) dan mematuhi kaidah efektif dan efisien (Silalahi, 2009: 14). Namun demikian, bukan berarti tingkat kesulitan dalam menerjemahkannya menjadi lebih mudah karena, berdasarkan fungsi informatifnya untuk mempromosikan objek atau destinasi wisata suatu daerah, terdapat lokalitas (culture-bound terms) yang seringkali menempatkan penerjemah ke dalam posisi sulit karena harus mencari padanan yang tepat.

Banyuwangi memiliki kekayaan alam yang beragam dan keragaman budaya yang unik sehingga dua hal itulah yang menonjol dalam setiap publikasi pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Keunikan budaya yang berupa adat tradisi menjadi lebih kompleks karena masing-masing memiliki istilah yang diungkapkan dengan bahasa Using-bahasa daerah masyarakat asli Banyuwangi. Sementara setiap bahasa memiliki ciri-ciri tersendiri “sui generis” yang berbeda dengan bahasa lain (Catford, 1965: 27 dalam Silalahi, 2009: 22). Hal ini menjadikan tantangan tersendiri bagi penerjemah dalam proses pengalihbahasaan karena adanya kemungkinan munculnya masalah ketakterjemahan linguistik (linguistic untranslatability) dan ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability).

2.2. Pengertian Penerjemahan

(22)

Nama

Penggantian Materi Tekstual Padanan Materi Tekstual

BSu-BSa

Savory (1968)

Penemuan Gagasan Padanan Gagasan Tidak disebutkan

Tabel 1. Definisi Penerjemahan pada Tahun 1960an-1970an

Dari tabel di atas nampak jelas bahwa pada penerjemahan yang diganti/direproduksi/dialihkan/ditransfer dari BSu ke BSa bukanlah bentuk bahasa (form/surface structure) yang berupa kata, frase, kalimat, paragraf, atau teks, melainkan makna (meaning/deep structure), pesan, ide, atau gaya dari bentuk bahasa. Selanjutnya secara lebih lengkap dapat disimpulkan bahwa penerjemahan berarti mengalihkan makna, pesan, ide atau gaya yang terdapat pada BSu ke dalam BSa dan mewujudkannya kembali di dalam BSa dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam BSa. Bentuk kewajaran yang dimaksud diterangkan oleh Finlay (dalam Simatupang, 2000: 3) sebagai berikut: “ideally, the translation should give the sense of the original in such a way that the reader is unaware that he is reading a translation.”

(23)

penerjemahan yang ditawarkan oleh Nida dan Taber (1964 dalam Suryawinata, 2003: 18), yaitu 1) tahap analisis teks Bsu, dalam rangka memahami pesannya, 2) tahap pengalihan pesan, dan 3) tahap restrukturisasi.

Selanjutnya Silalahi menyatakan bahwa gambaran yang lebih jelas mengenai tahapan yang lazim dilalui oleh penerjemah dalam menghasilkan sebuah terjemahan bisa didapatkan dari diagram proses penerjemahan yang dibuat oleh Roger T. Bell.

(24)

Secara ringkas model proses penerjemahan Bell dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, penerjemah melakukan analisis sintaksis untuk mengidentifikasikan bagian-bagian yang membentuk klausa. Selanjutnya disambung dengan analisis semantik dalam rangka menentukan makna yang terkandung pada bagian-bagian yang membentuk klausa tersebut. Penentuan makna tersebut harus kontekstual. Tahap ketiga adalah analisis pragmatik untuk memahami a) tujuan teks Bsu, b) struktur tematik teks BSu, dan c) gaya teks BSu. Pada tahap inilah penerjemah dihadapkan pada pilihan apakah akan mempertahankan atau mengubah tujuan, struktur tematik dan gaya BSu dalam terjemahannya (Bell, 1991: 59 dalam Silalahi, 2009: 17-18).

Pada saat yang bersamaan dengan ketika melakukan analisis sintaksis, semantik, dan pragmatik pada teks BSu, penerjemah juga melakukan sintesis sintaksis, semantik, dan pragmatik terhadap BSa. Jika proses tersebut berhasil, penerjemah dapat menghasilkan terjemahan. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka dia harus kembali ke tahap awal. Oleh karena itulah, proses penerjemahan bersifat siklus; dapat diulang-ulang sehingga penerjemah merasa puas dengan padanan teks BSu dalam BSa yang ditemukannya (Bell, 1991: 60 dalam Silalahi, 2009: 18).

2.3. Ideologi Penerjemahan

Ideologi penerjemahan, atau dalam Approaches to Translation (Newmark, 1988: 81 dalam Ordudari, 2007) lebih sering disebut sebagai metode penerjemahan, merujuk pada cara menerjemahkan seluruh teks. Lebih khusus, Newmark memperkenalkan Diagram V untuk menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan. Kutub yang pertama berpihak pada sistem dan budaya BSu sedangkan kutub yang kedua sangat menghargai sistem dan budaya BSa.

Source Language Emphasis Target Language Emphasis

Word-for-word translation Adaptation Literal Translation Free Translation Faithful Translation Idiomatic Translation Semantic Translation Communicative Translation

(25)

Secara tradisional, seperti tampak pada model proses penerjemahan yang ditawarkan oleh Newmark, pembicaraan mengenai ideologi atau metode penerjemahan selalu berkutat pada dua pilihan: penerjemahan secara harfiah atau secara bebas. Dikarenakan hakikat penerjemahan sebagai komunikasi lintasbahasa, maka perdebatan mengenai penerapan metode penerjemahan secara harfiah atau bebas bersumber pada perbedaan ekspresi linguistik.

Pada masa sekarang pilihan metode penerjemahan bukan lagi penerjemahan harfiah atau bebas, tetapi penerjemahan domestikasi (domestication) atau foreinisasi (foreignization) karena telah dipahami bersama bahwa penerjemahan tidak bisa tidak dipengaruhi oleh budaya BSu dan BSa sehingga cara menangani hal tersebut menjadi salah satu perhatian utama dalam penerjemahan. Seorang penerjemah harus menentukan prioritas-apakah berorientasi pada BSu dengan menerapkan metode foreinisasi atau pada Bsa dengan metode domestikasi. Dengan kata lain, ideologi dalam penerjemahan memberikan pandangan super makro dalam hubungannya dengan penerjemahan sebagai bagian dari kegiatan sosial budaya (kebudayaan suatu masyarakat (Hoed, 2003 dalam Silalahi, 2003: 68).

(26)

Di lain pihak, metode domestikasi berorientasi pada kaidah, norma, dan budaya BSa karena bagi para pendukung metode domestikasi, tujuan penerjemahan adalah menjadikan perbedaan budaya sesuatu yang familier/tidak asing: “Domestication refers to the target-culture-oriented translation in which unusual expression to the target culture are exploited and turned into some familiar ones so as to make the translated text intellingible and easy for target readers” (Zhao Ni dalam Silalahi, 2003: 70). Eugene Nida berada di garis depan yang sangat menganjurkan penerapan metode ini karena menurutnya tujuan dari penerjemahan/penerapan padanan dinamis adalah menghasilkan ekspresi yang wajar/natural dan menghubungkan pembaca dengan model perilaku yang relevan dengan konteks budayanya sendiri (Nida, 1964: 159 dalam Sun, 2011: 161). Dalam hal pemadanan, ideologi domestikasi sangat bergantung pada pemadanan dinamis (dynamic equivalence).

Adanya dua ideologi penerjemahan dengan orientasi yang sama sekali lain seolah menunjukkan bahwa penerjemahan terjebak pada dikotomi hitam-putih, namun pada kenyataannya, tidak ada penerjemah yang secara penuh menerapkan salah satu ideologi. Yang terjadi sebenarnya adalah kecenderungan untuk menerapkan salah satu dari dua ideologi tersebut (Silalahi, 2003: 70). Sementara itu, Hongmei Sun dalam On Cultural Differences and Translation Methods (2011: 163) berkesimpulan bahwa kedua ideologi penerjemahan tersebut saling melengkapi. Metode terbaik (golden mean) untuk menghasilkan terjemahan unsur-unsur budaya yang baik idealnya dilakukan dengan menerapkan kedua metode ekstrim tersebut secara padu atau seimbang.

2.4. Strategi Penerjemahan

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, istilah strategi, prosedur, maupun teknik penerjemahan seringkali digunakan secara bergantian untuk merujuk pada cara menerjemahkan kalimat dan unit-unit bahasa yang lebih kecil.

(27)

Suryawinata membagi strategi penerjemahan menjadi 2, yaitu strategi struktural dan semantik.

2.4.1. Strategi Struktural

Strategi struktural merupakan strategi penerjemahan yang diterapkan berdasarkan pertimbangan bentuk (form/surface structure). Sebagian besar strategi yang dipaparkan berikut ini bersifat wajib dipilih untuk mencapai efek kewajaran atau keberterimaan secara struktural di dalam BSa.

1. Strategi penambahan (addition); biasanya dilakukan dengan menambahkan kata-kata di dalam BSa karena struktur BSa memang menghendaki demikian. Misalnya, kalimat Saya peneliti diterjemahkan menjadi I am a researcher. 2. Strategi pengurangan (subtraction) dilakukan dengan mengurangi elemen

struktural di dalam BSa. Misalnya kalimat You should go back diterjemahkan menjadi Kamu mesti kembali.

3. Strategi transposisi (tra nsposition); biasanya diterapkan pada penerjemahan klausa atau kalimat dengan merubah kategori gramatikal atau mengganti satu kelas kata dengan kelas kata yang lain tanpa merubah makna pesan (Vinay dan Dalbernet, 1977: 50 dalam Fernandez-Guerra, 2012). Berbeda dengan 2 strategi struktural sebelumnya, transposisi bisa dipandang sebagai keharusan atau sebagai pilihan. Transposisi wajib dilakukan bila tanpanya makna BSu tidak tersampaikan, sementara transposisi menjadi pilihan karena alasan gaya bahasa (stilistika) saja. Yang paling sering terjadi adalah transposisi dilakukan karena alasan kedua.

(28)

misalnya kalimat I find it embarassing to express such things openly menjadi Menurutku mengungkapkan hal-hal semacam itu secara terbuka sungguh memalukan. Sementara itu, strategi transposisi yang dilakukan karena pertimbangan stilistika mencakup pemecahan satu kalimat BSu menjadi dua kalimat dalam BSa atau lebih dan juga sebaliknya (Newmark, 1988: 85 dalam Suryawinata, 2003: 69). Misalnya: Some species are very large indeed and the blue whale, which can exceed 30 m in length, is the largest animal to have lived on earth bisa diterjemahkan ke dalam dua gaya:

BSa-1: Beberapa spesies sangatlah besar dan paus biru, yang bisa mencapai panjang lebih dari 30 meter, adalah binatang terbesar yang pernah hidup di bumi.

Bsa-2: Beberapa spesies sangatlah besar. Ikan paus biru, yang bisa mencapai panjang lebih dari 30 meter, adalah binatang terbesar ya ng pernah hidup di bumi.

2.4.2. Strategi Semantis.

Strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang diterapkan berdasarkan pertimbangan makna (meaning/deep structure). Berikut ini strategi-strategi yang termasuk dalam strategi semantis.

(29)

flashdisk diterjemahkan menjadi flashdisk. Sementara itu naturalisasi diterapkan dengan melakukan adaptasi morfologis atau fonetis pada ejaan kata atau ungkapan, misalnya computer diterjemahkan menjadi komputer. Namun demikian, strategi ini terkadang menghasilkan terjemahan dengan makna yang berbeda antara BSu dan BSa, misalnya kata sentiment yang awalnya berarti ungkapan perasaan diterjemahkan menjadi sentimen yang artinya berubah menjadi benci.

2. Strategi padanan budaya (cultural equivalent); biasanya diterapkan dengan mengganti kata/istilah yang khas dalam BSu dengan kata/istilah yang khas dalam BSa. Strategi ini kemungkinan besar tidak bisa menjaga ketepatan makna karena budaya BSu seringkali berbeda dengan budaya BSa. Karena tujuan utamanya adalah domestikasi (Fernandez-Guerra, 2012), maka strategi ini bisa menghasilkan terjemahan yang mulus dan enak dibaca (Suryawinata, 2003: 72). Misalnya kalimat Minggu depan Jaksa Agung Andi Ghalib akan berkunjung ke Swiss diterjemahkan menjadi Next week the General Attorney Andi Ghalib will visit Switzerland.

3. Strategi padanan deskriptif (Descriptive Equivalent); biasanya dilakukan dengan mendiskripsikan makna atau fungsi dari istilah/ungkapan sehingga sejenis dengan parafrase, atau bahkan amplifikasi atau eksplanasi dari istilah BSu. Strategi ini diterapkan pada kata atau istilah BSu yang terkait erat dengan budaya, bilamana pemakaian teknik padanan budaya dirasa tidak bisa memberikan derajat ketepatan yang dikehendaki (Suryawinata, 2003: 73). Misalnya istilah samurai diterjemahkan dengan kaum bangsawan Jepang pada abad XI sampai XIX yang menjadi pegawai pemerintahan.

(30)

5. Strategi penghapusan (omission/deletion) dilakukan dengan menyintesiskan atau mengimplisitkan informasi dalam BSu, terutama bila informasi tersebut dianggap tidak penting (Vázquez Ayora, 1977: 359 dalam Fernandez-Guerra, 2012). Strategi penerjemahan ini tidak biasa diterapkan untuk menerjemahkan istilah-istilah budaya karena biasanya istilah budaya tersebut tidak relevan fungsinya atau malah menyesatkan pembaca (Fernandez-Guerra, 2012). Misalnya kalimat “Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih diterjemahkan dengan “Just like her mother” she whispered. Istilah raden ayu tidak diterjemahkan karena dianggap tidak penting dan malah akan membingungkan pembaca.

6. Strategi modulasi (modulation); biasanya diterapkan dengan menggunakan frasa yang berbeda untuk mengungkapkan ide yang sama. Atau dengan kata lain terjadi perubahan fokus, sudut pandang, perspektif atau cara berpikir pada diri penerjemah (Newmark, 1988: 88 dalam Suryawinata, 2003: 75). Strategi ini mirip dengan transposisi dan terkadang perlu dipakai bila penerjemahan harfiah tidak menghasilkan terjemahan yang wajar atau luwes. Misalnya kalimat I cut my finger diterjemahkan menjadi Jariku terpotong.

7. Strategi terjemahan resmi; merupakan strategi penerjemahan yang telah dibakukan dalam P edoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. Strategi ini diterapkan untuk menerjemahkan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh mouse diterjemahkan menjadi tetikus, keyboard diterjemahkan menjadi papan ketik.

8. Strategi penyusutan dan perluasan. Strategi penyusutan dipakai bila penerjemah menghilangkan elemen kata dalam BSu; misalnya automobile diterjemahkan menjadi mobil. Sementara itu teknik perluasan dipakai bila penerjemah memperluas unsur kata Bsa; misalnya whale diterjemahkan menjadi ikan paus. 9. Strategi penambahan. Tidak sama dengan strategi penambahan yang telah

(31)

menerjemahkan kata-kata yang berhubungan dengan budaya, teknis, atau ilmu-ilmu yang lain. Misalnya:

BSu: The skin, which is hard and scaly, is greyish in color, thus helping to camouflage it from predators when underwater.

Bsa: Kulitnya, yang keras dan bersisik, berwarna abu-abu. Dengan demikian, kulit ini membantunya berkamuflase, menyesuaikan diri dengan keadaan

lingkungan untuk menyelamatkan diri dari predator, hewan pemangsa , jika berada di dalam air

10. Strategi sinonim. Penerjemah juga bisa menerapkan strategi ini apabila analisis komponensial dirasa bisa mengganggu alur kalimat BSa, yaitu dengan cara menggunakan kata BSa yang kurang lebih sama untuk kata-kata BSu yng bersifat umum (Newmark, 1988: 83-84 dalam Suryawinata, 2003: 73). Misalnya kalimat What a cute baby you’ve got! diterjemahkan menjadi Alangkah lucunya bayi Anda! Cute dan lucu hanya bersinonim saja, tidak merupakan padanan yang benar-benar tepat.

2.5. Strategi Penilaian Kualitas Terjemahan

Penilaian terhadap kualitas terjemahan harus berlandaskan norma-norma objektif. Berpedoman pada argumentasi Nida dan Taber (1969) serta Newmark (1988), maka suatu terjemahan dianggap “baik” bila berorientasi pada pembaca/pendengar BSa. Oleh karena itulah, maka penguasaan BSa menjadi sangat penting. Kemampuan menerjemahkan bertumpu pada kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retoris (Silalahi, 2003: 32).

(32)

tersebut tidak boleh bertentangan dengan kaidah, norma, dan budaya yang berlaku dalam masyarakat pembaca BSa. Dengan demikian, aspek keberterimaan tidak bisa dikesampingkan. Sudah bisa dipastikan bahwa unsur-unsur kebahasaan yang digunakan oleh penerjemah di dalam terjemahan harus mampu membantu pembaca BSa dalam memahami terjemahan tersebut dengan mudah. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan adalah tiga parameter dari terjemahan yang berkualitas (Silalahi, 2003: 34-35).

Penilaian terhadap kualitas terjemahan dalam penelitian ini mengadopsi strategi penilaian yang dirancang oleh Nababan (2004) dalam disertasinya yang berjudul Translation Processes, Products, and Products of Professional Indonesian Translators karena penilaian terhadap ketiga aspek yang menentukan kualitas terjemahan dilakukan secara terpisah. Pemisahan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa ketiganya merupakan konsep yang terpisah satu sama lain. Strategi penilaian kualitas terjemahan akan dijelaskan secara lebih rinci dalam bab 4.

2.7. Budaya dan Penerjemahan

Bahasa merupakan ekspresi budaya dan individualitas penuturnya. Dengan kata lain, budaya penutur bahasa selalu mempengaruhi bahasanya. Jadi, yang paling mendasari hubungan antara bahasa dan budaya adalah bahwa bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (Silalahi, 2003: 52). Penerjemahan menjembatani perbedaan antarbudaya (gap across cultures) sehingga memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan orang lain dari budaya yang berbeda.

Bertolak dari pemahaman mengenai relasi antara bahasa dan budaya tersebut, banyak ahli, diantaranya Kade, Kutz, Nord, Rabadán, and Venuti (dalam Fernandez-Guerra, 2012) melakukan kajian mendalam tentang istilah-istilah budaya dan masalah-masalah yang muncul terkait dengan penerjemahan istilah-istilah tersebut.

(33)

ditawarkan diantaranya oleh Baker, Katan, Mayoral, Molina, Newmark, dan Vlakhov y Florin (Fernandez-Guerra, 2012).

Peter Newmark (A Textbook of Translation, 1988: 21 dalam Fernandez-Guerra, 2012) mendefinisikan budaya sebagai cara hidup dan manifestasinya yang khas bagi sebuah komunitas yang menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana dari "ekspresi”, sehingga mengakui bahwa setiap kelompok bahasa memiliki fitur sendiri dari suatu budaya tertentu. Oleh karena itulah dia mengkategorikan kata-kata, istilah atau ungkapan budaya sebagai berikut: 1) Ekologi: Flora, fauna, bukit, angin, dataran, bukit, sawah, hutan tropis, 2) Material budaya: artefak, 3) Makanan, pakaian, bangunan, transportasi dan komunikasi, 4) Sosial Budaya (Kerja dan waktu luang), 5) Organisasi (Kelompok): Kemasyarakatan, Hukum, Agama, Seni (artistik). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istilah budaya dalam tulisan ini adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan cara hidup dan manifestasinya yang khas bagi sebuah komunitas yang menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana ekspresi dari ekologi, material budaya, sosial budaya, organisasi, konsep politik dan admisnistrasi, agama, artistik, dan bahasa tubuh (gestures) dan kebiasaan (Ahmad, 2011: 20).

2.8. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian mengenai terjemahan yang berkaitan dengan budaya telah dilakukan sebelumnya.

Dr. Syahron Lubis, M.A. (Penerjemahan Teks Mangupa dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris, 2009 dalam Ahmad, 2011: 15) mengkaji masalah-masalah penerjemahan dalam teks mangupa, sebuah teks budaya Mandailing, ke dalam bahasa Inggris. Penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dalam aspek struktur bahasa (tidak dikenalnya konsep kala dalam bahasa Mandailing) dan aspek kultural (banyaknya pemakaian kata arkais) menimbulkan masalah dalam penerjemahan frasa, kata majemuk dan kalimat.

(34)

keterbacaan mudah karena digunakannya ungkapan budaya yang tepat dan familier, sementara itu teknik transliterasi menghasilkan yang sebaliknya.

Yusnia Sakti Nurlaili dalam penelitiannya yang berjudul The Translation of Proper Names and Cultural Terms from Indonesia to English in Suluh Magazine (2010 dalam Ahmad, 2011: 18) menyimpulkan bahwa penggunaan teknik padanan deskriptif dan penerjemahan harfiah tepat untuk digunakan dalam menerjemahkan proper nouns dan cultural terms.

Sulaiman Ahmad dalam Analisis Terjemahan Istilah-Istilah Budaya pada Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara (2011) menyatakan bahwa teknik yang paling banyak dipakai dalam penerjemahan istilah-istilah budaya adalah teknik deskripsi dan pungutan, sementara pergeseran yang paling sering terjadi adalah pergeseran unit.

Temuan atau simpulan dari keempat penelitian tersebut merupakan landasan yang berharga bagi peneliti untuk melangsungkan penelitian tentang peran ideologi dan strategi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan istilah budaya Using pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi.

2.9. Kerangka Pikir Penelitian

(35)

BAB 3.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji peran ideologi dan strategi penerjemahan dalam menghasilkan terjemahan istilah budaya Using yang berkualitas, sedangkan tujuan khususnya ditetapkan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi istilah budaya Using dan terjemahannya yang terdapat pada 3 publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi yang telah ditetapkan. 2. Mengidentifikasi ideologi dan strategi penerjemahan yang digunakan dalam

menerjemahkan istilah budaya Using pada ketiga publikasi pariwisata dwibahasa tersebut.

3. Menilai kualitas terjemahan istilah budaya Using pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi ditinjau dari ideologi dan strategi penerjemahan yang dipakai oleh penerjemah.

3.2. Manfaat Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini adalah penilaian (berupa deskripsi) mengenai kualitas terjemahan istilah budaya Using pada 3 publikasi pariwisata dwibahasa yang diteliti atau peran ideologi dan strategi penerjemahan dalam menghasilkan terjemahan istilah budaya Using yang berkualitas. Hasil tersebut diharapkan mampu 1. Memperkaya bahan ajar dalam bidang penerjemahan istilah-istilah budaya; 2. Menjadi acuan untuk menghasilkan terjemahan istilah budaya using yang lebih

baik;

3. Menjadi referensi bagi peneliti lain bila ingin melakukan penelitian dalam bidang serupa; dan

(36)

BAB 4.

METODE PENELITIAN

4.1. Arah Penelitian

Menurut sifatnya, penelitian dalam bidang penerjemahan dibagi menjadi 2 jenis; yaitu penelitian yang bersifat deskriptif dan penelitian yang bersifat teoretis. Jenis penelitian penerjemahan yang bersifat deskriptif untuk selanjutnya digolongkan menjadi tiga jenis (berdasarkan orientasinya); yaitu 1) penelitian yang berorientasi pada fungsi terjemahan, 2) penelitian yang berorientasi pada proses penerjemahan, dan 3) penelitian yang berorientasi pada produk atau terjemahan (Holmes dalam Sorvali, 1996: 21 dalam Silalahi, 2003: 85).

Penelitian ini, berdasarkan penggolongan di atas, termasuk ke dalam jenis penelitian penerjemahan yang berorientasi pada produk atau terjemahan. Sesuai namanya, yang menjadi fokus dalam penelitian jenis ini adalah produk atau karya terjemahan. Satuan terjemahan yang dikaji berada pada tataran kata dan frase (istilah) yang terkait budaya Using. Penetapan tersebut dimaksudkan agar kajian bisa dilakukan secara rinci, yang selanjutnya dipakai sebagai landasan untuk menetapkan kesimpulan kajian pada tataran makro, yaitu tataran teks.

4.2.Rancangan Penelitian

Guna mendapatkan validitas deskriptif atau penilaian akurat mengenai peran ideologi dan strategi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan istilah budaya Using pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi, peneliti menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan disain studi kasus terpancang (embedded case study research), artinya penelitian memperlakukan teori sebagai batasan atau fokus tertentu yang dijadikan sasaran dalam penelitian (Sutopo, 2006: 139 dalam Silalahi, 2009: 88).

(37)

disain penelitian ini merupakan penelitian kasus tunggal terpancang karena sumber data dan satuan terjemahan yang hendak dikaji telah ditetapkan sebelum penelitian dilakukan, dan kesimpulan yang ditarik terpancang atau berlaku terbatas pada data penelitian yang dianalisis. Oleh karenanya, hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan (Silalahi, 2009: 88).

4.3.Teknik Sampling

Sampel penelitian ini ditetapkan dengan purposive sampling. Sampel penelitian yang dipakai disesuaikan dengan tujuan penelitian. Objek penelitian ini terkait dengan ideologi penerjemahan, strategi penerjemahan, dan peran keduanya terhadap kualitas terjemahan. Peran yang dimaksudkan terkait dengan tingkat kesepadanan, tingkat keberterimaan dan tingkat keterbacaan terjemahan. Ketiga hal tersebut dikaji sepenuhnya oleh peneliti sebagai perwujudan dari konsepsi dasar bahwa peneliti adalah instrumen utama dalam penelitian kualitatif.

Data penelitian yang dikaji terkait dengan aspek objektif dan aspek afektif. Aspek objektif terkait dengan karya terjemahan itu sendiri yang dianalisis untuk mengetahui ideologi serta strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah. Aspek afektif merupakan tanggapan pembaca awam terhadap terjemahan. Tanggapan pembaca awam diarahkan untuk menentukan tingkat keterbacaan terjemahan bagi pembaca sasaran.

4.4. Data dan Sumber data 4.4.1.Data

(38)

4.4.2.Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

1) Tiga publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi yang mencakup Visitor’s Guide Book: Visit Banyuwangi-The Real Tropical Country (2010), Banyuwangi Calendar of Events (2013), dan brosur Welcome to Banyuwangi-The Sunrise of Java (2013). Ketiga-tiganya diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Publikasi yang pertama berupa buku panduan perjalanan yang terbagi dalam 6 bab dan terdiri dari 121 halaman. Publikasi kedua berupa kalender kegiatan yang terbagi dalam 43 bab dan terdiri dari 57 halaman. Pembagian bab berdasarkan pada jumlah kegiatan yang dipromosikan. Publikasi yang ketiga berupa brosur yang berisi peta kota Banyuwangi, peta wisata Banyuwangi dan informasi bergambar mengenai 26 destinasi wisata yang dipromosikan. Tidak ada keterangan tertulis yang menyebutkan nama penerjemah pada semua jenis publikasi tersebut. Dalam penelitian ini diambil semua istilah budaya Using yang terdapat pada ketiga publikasi.

2) Pembaca awam atau responden terdiri dari lima orang turis asing yang menjadi sasaran karya terjemahan. Pelibatan mereka dimaksudkan untuk menentukan tingkat keterbacaan teks terjemahan.

4.5.Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini dikumpulkan dengan menerapkan tiga jenis teknik pengumpulan data sebagai berikut.

1. Analisis Dokumen (content analysis). Teknik ini diterapkan untuk mengumpulkan data yang terkait ideologi dan strategi penerjemahan.

2. Kuesioner (questionnaire). Teknik ini diterapkan untuk mengumpulkann data tentang kualitas terjemahan, yang terkait dengan tingkat keterbacaan.

3. Wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara dilakukan terhadap responden untuk memvalidasi tanggapan-tanggapan atau pernyataan-pernyataan yang mereka berikan dalam kuesioner.

(39)

kecenderungan tanggapan tentang kualitas terjemahan. Cara demikian dianggap tepat karena persepsi para responden terhadap terjemahan yang mereka hadapi bisa dipastikan tidak akan sama sepenuhnya sehingga yang ditakar kemudian adalah kecenderungannya pada pilihan tertentu. Kuesioner tersebut didasarkan pada skala penilaian sebagaimana bisa dilihat pada bagian lampiran.

4.6.Metode Analisis Data

Komponen utama proses analisis dalam penelitian ini adalah 1) reduksi data, 2) sajian data, dan 3) penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 1994: 22-23 dalam Silalahi, 2009: 97). Model analisis yang digunakan adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis). Cara kerja dari model analisis interaktif adalah adanya interaksi antar komponen dengan proses pengumpulan data sebagai proses yang berbentuk siklus. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

INTERAKTIF

PENGUMPULAN DATA

PENCATATAN DATA

ANALISIS DATA

PENARIKAN SIMPULAN PEMBUATAN

LAPORAN SEMENTARA

RUMUSAN MASALAH

Gambar. 3. Model Proses Analisis Interaktif (Sutopo, 2002: 187 dalam Silalahi, 2009: 98)

(40)

Langkah selanjutnya setelah data terkumpul adalah peneliti hanya bergerak di antara tiga komponen analisis.

Reduksi dan sajian data disusun pada waktu peneliti telah berhasil mendapatkan unit data dari sejumlah unit data yang dibutuhkan. Apabila pengumpulan data dianggap telah cukup dan selesai, peneliti mulai membuat kesimpulan dan verifikasi berdasarkan hal-hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian data. Jika dalam membuat kesimpulan peneliti merasa ada kekurangan, peneliti melakukan pengumpulan data kembali untuk lebih memberikan dukungan dan menambah pemahaman serta pendalaman. Siklus interaktif ini dilaksanakan berulangkali hingga dianggap cukup mendalam.

Analisis data terbagi dalam dua tahap. Tahap awal dijalankan untuk menjawab masalah penelitian nomor 1 dan 2. Analisis pada tahap ini dilakukan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi istilah budaya Using yang terdapat pada publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi berdasarkan kategorinya.

2. Setelah seluruh istilah budaya Using dalam sumber data terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi ideologi dan strategi penerjemahan yang diterapkan untuk menerjemahkan istilah-istilah tersebut.

Tahap kedua dimaksudkan untuk menjawab masalah penelitian nomor 3, yaitu menilai peran ideologi dan strategi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan istilah budaya Using pada sumber data yang telah ditetapkan. Analisis pada tahap ini dilaksanakan sebagai berikut.

1. Membandingkan makna kata atau frasa Using dengan terjemahannya untuk menentukan tingkat kesepadanan atau keakuratan pesan terjemahan (accuracy in content);

2. Menganalisis tingkat keberterimaan terjemahan berdasarkan instrumen pengukur tingkat keberterimaan terjemahan.

3. Menetapkan tingkat keterbacaan terjemahan, yang didasarkan pada tanggapan pembaca sasaran mengenai seberapa mudah atau sulit mereka memahami terjemahan yang dimaksud.

(41)

5. Tahap paling akhir adalah menganalisis peran ideologi dan strategi penerjemahan terhadap kualitas terjemahan.

4.7.Prosedur Penelitian

Secara umum, prosedur penelitian yang berlokasi di Banyuwangi ini secara lengkap bisa disajikan sebagai berikut:

1. Menetapkan sumber data, data, dan satuan terjemahan yang hendak dikaji. 2. Merumuskan masalah dan tujuan penelitian. Pada tahap ini peneliti menyatakan

secara jelas masalah-masalah penelitian yang akan membimbing peneliti dalam mengumpulkan data dan mengarahkan peneliti dalam menyusun teori.

3. Mengidentifikasi kategori istilah budaya Using yang terdapat pada sumber data. 4. Membandingkan istilah budaya Using pada teks BSu dan teks BSa untuk

mengidentifikasi ideologi dan strategi penerjemahan yang diterapkan. 5. Mengkaji tingkat kesepadanan dan tingkat keberterimaan terjemahan

6. Mengkaji tanggapan responden untuk mengetahui tingkat keterbacaan terjemahan

7. Memadukan tingkat kesepadanan dan tingkat keberterimaan serta tingkat keterbacaan terjemahan untuk mengungkapkan kualitas menyeluruh terjemahan 8. Mengkaji peran ideologi dan strategi penerjemahan terhadap kualitas

(42)

BAB. 5

HASIL YANG DICAPAI

Bab 5 ini terbagi menjadi 2 bagian utama. Bagian pertama merupakan paparan data dan temuan penelitian sedangkan bagian kedua menyajikan pembahasan temuan penelitian.Pemaparan mengenai jumlah istilah budaya Using pada tiga sumber data berdasarkan kategorinya dilakukan paling awal. Alasan yang mendasarinya dalah bahwa data tersebut penting sebagai bahan kajian primer.Selanjutnya, disajikan strategi penerjemahan sebelum pengidentifikasian ideologi terjemahan yang diterapkan karena sebagaimana diterangkan pada bab tinjauan pustaka, maka ideologi penerjemahan yang berada pada tataran super makro akan dapat diketahui hanya kalau strategi-strategi penerjemahan yang berada pada tataran mikro sudah diidentifikasi terlebih dahulu.

Penerapan ideologi dan strategi penerjemahan pada dasarnya dimaksudkan untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Oleh karena itulah, pilihan tentang kedua hal tersebut sangat berperan dalam menentukan kualitas terjemahan. Terjemahan yang berkualitas menuntut pentransferan pesan secara akurat, pengungkapan terjemahan yan sesuai dengan kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam budaya BSa dan penggunaan aspek-aspek kebahasaan yang mudah dipahami oleh pembaca. Tingkat kesulitan dalam memahami suatu terjemahan tidak ditentukan pada kadar kesulitan suatu bidang ilmu, namun terkait erat dengan penggunaan aspek kebahasaan, seperti pilihan kata dan frasa (istilah).

Data penelitian yang bersumber pada tiga publikasi pariwisata dwibahasa Kabupaten Banyuwangi terdiri atas data bahasa Indonesia yang memuat istilah Using sebagai data sumber dan data bahasa Inggris sebagai data sasaran. Data sumber yang teridentifikasi berwujud istilah (kata atau frasa) budaya Using.

(43)

5.1. Paparan Data dan Temuan Penelitian

5.1.1. Istilah Budaya Using Berdasarkan Kategorinya

Dari 381 data yang dianalisis, teridentifikasi sejumlah 14 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori makanan, 9 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori material budaya, 112 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori kesenian, 84 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori sosial budaya, 1 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori transportasi, 19 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori pakaian, 4 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori kemasyarakatan, 1 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori bangunan, dan 137 data termasuk ke dalam istilah budaya berkategori ekologi.

Makan- an

Material Budaya

Kese- nian

Sosial Budaya

Trans- portasi

Pakai- an

Kemasya- rakatan

Bangun- an

Ekologi

14 9 112 84 1 19 4 1 137

Tabel 2. Jumlah Istilah Budaya Using pada 3 Sumber Data Berdasarkan Kategori.

5.1.2. Strategi Penerjemahan

Di dalam penelitian ini diidentifikasi data yang diterjemahkan dengan menerapkan satu strategi penerjemahan. Di samping itu ditemukan pula data yang diterjemahkan dengan menerapkan dua strategi penerjemahan sekaligus (kuplet). Dari 381 data sumber yang dianalisis, teridentifikasi sebanyak 368 data diterjemahkan dengan menerapkan strategi penerjemahan tunggal dan sebanyak 13 data diterjemahkan dengan menerapkan strategi penerjemahan kuplet.

5.1.2.1. Strategi Tunggal

(44)

resmi (established equivalent), padanan budaya (cultural equivalent) dan penghilangan (omission/deletion).

Dari keduabelas strategi tunggal tersebut, strategi peminjaman murni paling sering diterapkan (132 kali), diikuti oleh strategi transposisi (84 kali), strategi sinonim (62 kali), strategi padanan deskriptif (26 kali), strategi penambahan-semantis (23 kali), strategi penyusutan (11 kali), strategi perluasan (9 kali), strategi penambahan-struktural (8 kali), strategi penghilangan (5 kali), strategi terjemahan resmi (5 kali) strategi analisis komponensial (2 kali), dan strategi padanan budaya (1 kali). Penerapan dari masing-masing strategi tunggal tersebut diuraikan sebagai berikut.

5.1.2.1.1. Strategi Peminjaman Murni

Peminjaman murni merujuk pada peminjaman kata atau ungkapan BSu secara utuh tanpa disertai dengan penyesuaian pelafalan. Di dalam penelitian ini, teridentifikasi beberapa data yang diterjemahkan dengan menerapkan strategi peminjaman murni, yaitu data nomor:

Makan-

Tabel 3. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Peminjaman Murni

(45)

Dari tabel 3 tersebut nampak bahwa strategi peminjaman murni paling sering diterapkan untuk menerjemahkan istilah bahasa Using berkategori kesenian (57 kali) dan ekologi (38 kali). Strategi peminjaman murni tersebut diterapkan untuk menerjemahkan kata maupun frasa seperti yang ditunjukkan oleh contoh-contoh berikut:

Data Nomor

Kategori BSu BSa

1 Makanan Lontong Lontong

14 Kesenian Seblang Olehsari Seblang Olehsari 27a Sosial Budaya Rebo Wekasan Rebo Wekasan

3 Pakaian Udheng Tongkosan Udeng Tongkosan

1b Kemasyarakatan Using Using

12a Ekologi Boom Banyuwangi Boom Banyuwangi

Tabel 4. Contoh Penerapan Strategi Peminjaman Murni

Dari contoh-contoh yang diberikan nampak jelas bahwa penerjemah memungut kembali isilah asli BSu tanpa ada perubahan pelafalan.

Strategi peminjaman murni biasanya digunakan untuk menerjemahkan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama jurnal, gelar, nama lembaga, dan istilah-istilah pengetahuan yang belum ada padanannya dalam BSa. Strategi ini dipilih apabila penerjemah ingin menunjukkan penghargaannya terhadap kata-kata atau frasa dalam BSu atau penerjemah tidak menemukan padanan kata-kata atau frasa BSu di dalam BSa. Mempertahankan kata-kata atau frasa BSu merupakan salah satu upaya yang bisa ditempuh untuk mempertahankan tingkat keakuratan terjemahan, tetapi resiko yang ditimbulkannya adalah bahwa terjemahan seringkali terasa tidak alamiah bagi para penutur bahasa Inggris.

5.1.2.1.2. Strategi Transposisi

(46)

Makanan Kesenian Sosial Budaya

Ekologi

6 13, 19b, 20, 22, 23a, 23c, 38, 45, 50, 51, 52, 53, 65, 66, 72, 76,

29&47 1, 2, 4a, 4b, 4c, 5a, 6b, 6c, 7a, 8, 9b, 9c, 13, 14a, 14b, 15, 16, 17, 18a, 18b, 29, 30, 32, 35a, 36, 37, 38, 40, 42, 44, 46a, 46b, 47, 49, 51a, 51b, 52, 53, 56, 58, 60, 64, 65, 66, 68, 69, 70, 72, 81, 82, 83, 87, 88, 89, 91, 95, 96a, 96c, 98a, 98c, 100, 101, 102, 103, 105

Tabel 5. Istilah Budaya Using yang diterjemahkan dengan strategi transposisi

Istilah budaya Using yang paling banyak diterjemahkan dengan menggunakan strategi transposisi dalam penelitian ini adalah yang berkategori ekologi (65 data). Cuplikan berikut menunjukkan contoh penerapan strategi transposisi:

Data Nomor

Kategori BSu BSa

13 Material Budaya Penari Gandrung Gandrung Dancer 47 Sosial budaya Perang Puputan Bayu Puputan Bayu War 83 Ekologi Air Terjun Lider Lider Waterfal

Tabel 6. Contoh Penerapan Strategi Transposisi

Nampak jelas dari tabel tersebut bahwa strategi ini diterapkan dengan cara mengubah posisi kata sifat. Pemadanan kata-kata yang membentuk frasa sangat terikat dengan BSunya, tapi susunannya telah disesuaikan dengan susunan kata dalam frasa bahasa Inggris. Dengan kata lain, frasa nomina dalam bahasa Indonesia yang berkonstruksi Head + Modifier diubah menjadi frasa nomina dalam bahasa Inggris yang berkonstruksi Head + Modifier atau Modifier + Head atau Modifier + Head + Modifier. Cara ini ditempuh untuk menghindarkan diri dari distorsi makna dan untuk mencapai keberterimaan terjemahan.

5.1.2.1.3. Strategi Sinonim

(47)

beberapa data yang diterjemahkan dengan menerapkan strategi sinonim, yaitu data

Tabel 7. Istilah budaya using yang diterjemahkan dengan strategi sinonim

Dari tabel tersebut nampak jelas bahwa strategi sinonim paling sering diterapkan pada penerjemahan istilah budaya Using yang berkategori sosial budaya (34 kali). Berikut ini dikutip beberapa contoh penerjemahan dengan strategi

Tabel 8. Contoh Penerapan Strategi Sinonim

Strategi sinonim dapat diterapkan apabila strategi analisis komponensial dirasa bisa mengganggu alur kalimat BSa. Namun demikian, berdasarkan contoh yang dikutip di atas, terjadi pendangkalan makna. Ternyata strategi ini tidak bisa secara utuh mewakili ide atau pesan yang dibawa oleh kata atau frasa BSu.

(48)

Jadi dalam hal ini, penerjemah gagal memberikan gambaran kepada pembaca sasaran mengenai keeksotikan masakan khas yang dinamai pecel pitik ini.

Kata oncor diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi torches. Penerjemahan ini tidak terlalu tepat karena oncor tidak sekedar obor karena yang khusus dari oncor adalah bahan yang dipakai, yaitu bambu. Kesan agraris yang ditimbulkan oleh kata oncor tidak muncul pada kata torches.

Istilah tirakatan diterjemahkan menjadi stay awake all night. Terjemahan ini juga tidak berhasil menggambarkan makna yang dikandung oleh istilah BSu secara utuh. Laku stay awake all night atau terjaga sepanjang malam yang dikenal oleh para turis asing berbeda dengan tirakatan yang lazim dilakukan oleh orang-orang Using/Jawa. Jadi nilai-nilai yang terkandung dalam istilah tirakatan tidak tersampaikan melalui ungkapan stay awake all night.

Terbukti keengganan penerjemah untuk menerapkan strategi analisis komponensial untuk menerjemahkan istilah budaya Using berimbas pada tidak akuratnya terjemahan. Pada penerjemahan istilah sinden ke dalam bahasa Inggris menjadi singer terjadi reduksi makna. Pemilik budaya ini paham bahwa sinden itu bukan sekedar penyanyi, tapi penyanyi yang khusus menyenandungkan lagu-lagu tradisional. Namun demikian, tingkat keterbacaan terjemahan dengan strategi ini lebih tinggi karena terjemahan terasa lebih alamiah dan berpihak pada pembaca sasaran.

5.1.2.1.4. Strategi Padanan Deskriptif

Padanan deskriptif merujuk pada strategi penerjemahan yang mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata atau istilah BSu. Di dalam penelitian ini, teridentifikasi beberapa data yang diterjemahkan dengan menerapkan strategi padanan deskriptif, yaitu data nomor:

Makanan Material Budaya

Kesenian Sosial Budaya

Pakaian Kemasya-rakatan

Ekologi

2, 3, 4 2a, 3, 4, 5

12b, 23d, 39, 40, 48c, 73

6a, 6f, 8b, 11, 16, 18, 26, 50

2 & 14 1a 23a &28

(49)

Beberapa contoh data sumber berikut sekiranya dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai penerjemahan istilah budaya Using dengan strategi padanan deskriptif.

Data Nomor

Kategori BSu BSa

3 Makanan Lepet Sticky rice wrapped in coconut leaf

4 Makanan Tumpeng Srakat Rice cones completed with some vegetables

39 Kesenian Paglak A simple hut which is built

in the rice field or near a settlement

48c Kesenian Buto A big giant head with the tusk out of his mouth

16 Sosbud Sembur Othik-Othik Throwing some coins and yellow rice along the road and kampung

Tabel 10. Contoh Penerapan Strategi Padanan Deskriptif

Dengan menerapkan strategi padanan deskriptif dalam menerjemahkan istilah budaya Using, pembaca sasaran mendapatkan impresi memori yang lebih lengkap mengenai istilah yang diterjemahkan karena landasan awal dari diciptakannya strategi ini adalah pengakuan bahwa penerjemahan istilah yang berakar budaya dengan padanan budaya tidak mungkin memberikan derajat ketepatan yang dikehendaki.

5.1.2.1.5. Strategi Penambahan (Semantis)

(50)

Makanan Kesenian Sosial Budaya Kemasyarakatan Ekologi 5a 18b, 41b, 49,

71

4c, 4d, 6d, 6e, 8c, 40a, 40b, 40c, 40d, 40f

1d 12b, 43, 54, 61, 71, 73, 77

Tabel 11. Istilah Budaya Using yang Diterjemahkan dengan Strategi Penambahan

Berikut ini dicuplik beberapa contoh penerapan strategi penambahan-semantis:

Data Nomor

Kategori BSu BSa

5a Makanan Pecel Pitik Pecel Pitik (grilled chicken mixed with coconut)

8b Kesenian Gandrung Gandrung, a welcoming dance for distinguished guests

41b Kesenian Leang-leong Leang-leong (dragon dance) 4c Sosbud Kyai Kyai (a moslem preacher) 40d Sosbud Suro Suro (Javanese calendar)

Tabel 12. Contoh Penerapan Strategi Penambahan

Analisis data menunjukkan bahwa penerapan strategi penerjemahan ini menghasilkan terjemahan yang akurat dan berterima karena membantu pembaca sasaran untuk memahami istilah-istilah budaya. Keakuratan terbentuk karena istilah aslinya disebutkan kembali, jadi tidak ada makna atau pesan yang tereduksi, sementara itu keberterimaan meningkat karena adanya penambahan informasi mengenai istilah budaya BSu yang diterjemahkan sesuai kaidah BSa.

5.1.2.1.6. Strategi Penyusutan

Sebagaimana telah disampaikan pada tinjauan pustaka, strategi peyusutan diterapkan bila penerjemah menghilangkan elemen kata dalam BSu. Di dalam penelitian ini, teridentifikasi beberapa data yang diterjemahkan dengan menerapkan strategi penghilangan, yaitu data nomor:

Kesenian Sosial Budaya Ekologi

64 33 7b, 19, 21, 23c, 31b, 33, 75, 86, 96b

Gambar

Tabel 1. Definisi Penerjemahan pada Tahun 1960an-1970an
Gambar 1. Model Penerjemahan (Bell, 1999: 45)
Gambar. 3. Model Proses Analisis Interaktif (Sutopo, 2002: 187
Tabel 2. Jumlah Istilah Budaya Using pada 3 Sumber Data Berdasarkan Kategori.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara dengan pihak pengelola BDC, dibutuhkan riset terkait dengan identitas visual beserta implementasinya pada media promosi agar dapat lebih

Berdasarkan hasil skrining fitokimia, senyawa- senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada biji buah alpukat A segar dan kering, serta biji buah alpukat B segar

Rasio lancar (current ratio) merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan dalam menganilisis tingkat likuiditas suatu perusahaan.. Elemen-elemen yang digunakan

Pendapat ini diperkuat oleh Iman (2002) yang menyatakan bahwa olahraga memecahkan timbunan trigliserida dan melepaskan asam lemak dan gliserol ke dalam aliran darah.. Asam

emboronganbangunantersebutdalambentuktesis yang berjudul: “ Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pabrik Kelapa Sawit Antara PT.Bima Dwi

Adapun alur produksi dimulai dari pengumpulan tulang basah, perebusan, pengeringan, pengumpulan tulang kering sampai penepungan; (2) manfaat pengembangan ekonomi

 Ketikkan pilih salah satu pada pilihan menu pull down atau ketikkan pada penilaian 1,2,3, dan seterunya pada kolom yang tersedia (Tidak boleh kosong).  Klik pada

Merujuk pada interprestasi skala Likert, rata-rata Y4.1 (pujian dari pimpinan) berada antara kategori cukup kuat dan kuat tetapi lebih mendekati kategori kuat,