TRASS, MASA DEPAN BAGI POZZOLAN ALAM
SEBAGAI AGREGAT ALTERNATIF UNTUK CAMPURAN BETON
Bambang Suryoatmono1, Rr. M.I. Retno Susilorini2
ABSTRAK
Pozzolan dikenal sebagai material alam ataupun buatan yang mengandung silika aktif. Aplikasi Pozzolan untuk bahan bangunan dikenal sejak jaman purba hingga era modern saat ini. Seiring perkembangan teknologi beton, pemakaian Pozzolan sebagai agregat alternatif untuk campuran beton bertujuan untuk meningkatkan kekuatan tekan, durabilitas, panas hidrasi, dan ketahanan kimiawi. Trass, yang merupakan salah satu jenis Pozzolan alam, telah menjadi pilihan bagi pengguna bahan bangunan untuk memperoleh kinerja struktur beton yang lebih baik. Tulisan ini akan mengupas beberapa hasil penelitian tentang pemakaian pozzolan alam jenis trass yang telah dilakukan di berbagai belahan bumi. Berbagai topik penelitian yang lebih mendalam dibutuhkan untuk menjamin perkembangan dan masa depan trass sebagai agregat alternatif. Trass adalah masa depan agregat alternatif untuk campuran beton.
Kata kunci: Trass, pozzolan alam,agregat, beton
1. Pendahuluan
Beberapa dekade terakhir, kota-kota besar di dunia telah dipenuhi oleh bangunan-bangunan beton dan infrastruktur yang memanfaatkan teknologi beton. Berkembang pesatnya teknologi
beton bagi pembangunan infrastruktur di era modern berarti juga meningkatnya manufaktur semen. Taylor, et. al. (2006) meyampaikan bahwa menurut catatan USGS tahun 2006, produksi
semen merajai negara-negara berkembang, khususnya Cina yaitu sebesar 47% dari seluruh produksi dunia, sedangkan India, Thailand, Brazil, Turki, Indonesia, Iran, Mesir, Vietnam, dan
Saudi Arabia memegang 17% dari seluruh produksi dunia. Produksi semen yang progresif ini menyumbangkan emisi gas CO2 secara signifikan. Meyer (2002) menegaskan bahwa industri
semen adalah produsen gas rumah kaca dan pengguna energi yang terbesar di dunia. John (2003) bahkan menyatakan bahwa akibat yang harus diderita oleh masyarakat global akibat
kehadiran industri semen adalah pemanasan global. Bahkan menurut Humphreys dan Mahasenan (2002), diperkirakan bahwa industri semen bertanggungjawab terhadap 3% dari emisi gas rumah kaca dunia dan 5% dari emisi gas CO2 dunia.
1
Dosen Tetap, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Sungguh merupakan suatu tantangan untuk menjadikan beton sebagai bahan bangunan yang
ramah lingkungan namun tetap mendukung sepenuhnya pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, oleh karena industri semen banyak melepas gas rumah kaca, maka setiap usaha untuk
mengurangi pemakaian semen di dalam beton adalah merupakan sebuah keuntungan (Meyer, 2002). Meyer menjelaskan bahwa upaya berkesinambungan untuk menjadikan beton makin
ramah lingkungan adalah dengan menerapkan sistem daur-ulang untuk agregat atau perkuatan serta membuat beton lebih awet atau dengan kata lain memiliki durabilitas lebih tinggi. Upaya
pengurangan pemakaian semen dapat pula dicapai dengan penggunaan material sementitis tambahan, SCM (supplementary sementitious materials) antara lain abu terbang (fly-ash),
silica-fume, pozzolan alam, slag, dan lain-lain (NRMCA, 2000; Naik, 2005).
Menjadikan beton sebagai material ramah lingkungan dapat dilakukan dengan membuat beton
lebih awet serta mengupayakan reduksi penggunaan semen dalam beton untuk mereduksi emisi gas CO2. Kedua upaya tersebut dapat terlaksana dengan memanfaatkan pozzolan sebagai bahan
campuran beton. Pozzolan dikenal sebagai material alam ataupun buatan yang mengandung silika aktif. Dalam hal ini, pozzolan alam dikategorikan sebagai material alam yang memiliki
atau dapat diproses hingga memiliki sifat pozzolanis (NRMCA, 2000). Manfaat utama dari penambahan pozzolan pada campuran beton adalah meningkatkan kekuatan dan durabilitas
beton (Dolen, 2001). Di Indonesia, trass yang merupakan salah satu jenis Pozzolan alam, telah menjadi pilihan bagi pengguna bahan bangunan untuk memperoleh kinerja struktur beton yang
lebih baik. Tulisan ini akan mengupas beberapa penelitian tentang pemanfaatan trass dan pozzolan telah dilakukan di berbagai belahan bumi dan menyampaikan suatu rekomendasi
tentang masa depan trass yang merupakan pozzolan alam sebagai agregat alternatif untuk campuran beton.
2. Pemanfaatan Trass Dan Pozzolan Alam Sebagai Bahan Bangunan Serta Campuran
Beton Dari Masa Ke Masa
Secara singkat dan sederhana, pozzolan didefinisikan sebagai material bubuk yang sangat halus, yang dapat dibubuhkan ke mortar kapur atau mortar semen Portland, untuk meningkatkan
durabilitas dan khususnya untuk mortar kapur dapat meningkatkan set yang positif (Gibbons, 2003). Definisi dalam versi yang lebih lengkap diberikan oleh ASTM C618, yaitu pozzolan
adalah material yang mengandung silika atau silika dan alumina, yang memiliki sedikit atau bahkan tidak sama sekali nilai sementitis, namun dalam bentuk halus pada saat lembab akan
akan dapat berlangsung dengan proses pengeringan dan karbonasi; sedangkan pada mortar
hidrolis, pengerasan akan terjadi akibat adanya reaksi kimiawi kalsium hidroksida dan silika serta alumina aktif dalam air. Jelasnya, akan terjadi perubahan karakteristik pada mortar kapur
hidrolis dan non hidrolis akibat penambahan pozzolan.
RockTron (2007) secara sederhana membagi jenis pozzolan menurut asalnya menjadi dua kategori yaitu pozzolan alam dan pozzolan artifisial. Yang termasuk ke dalam pozzolan alam
adalah debu vulkanis (volcanic ash), pumice, tufa (tuff), diatomaceous earth, dan opaline shale; sedangkan pozzolan artifisial adalah fly ash, dan produk abu terbang yang berasal dari
pembakaran batu bara pada pembangkit listrik, abu sekam padi (rice husk ash), debu bata (brick dust), kaolin berkapur (calcined kaolin), condensed silica fume, GGBS dan beberapa slag
metalurgis. NRMCA (2000) menjelaskan bahwa pozolan alam adalah material alam yang
memiliki atau dapat diproses hingga memiliki sifat pozzolanis. Ditambahkan pula bahwa pozzolan alam diperoleh dari gunung berapi sehingga material silikaisnya (silicaeous materials)
cenderung reaktif bila didinginkan secara cepat.
Pembagian jenis pozzolan menurut asal dan sifatnya dikemukakan dengan lebih terperinci oleh Gibbons (2003) menjadi 6 kategori. Kategori pertama adalah material alam yang sangat reaktif
dan halus yang berasal dari gunung berapi; meliputi ‘puozzolana’ dari Puozzoli, Itali, volvic pozzolan dari Perancis tenggara, trass dari Rhinelands (termasuk juga ke dalam kategori ini
adalah trass dari pegunungan Muria, Kudus, Jawa Tengah) dan tufa dari Pulau Aegean, serta pumice-giling. Kategori kedua adalah produk tanah liat berkapur suhu rendah yang berasal dari
produk tanah liat yang digiling halus dan dibakar dengan suhu rendah. Kategori ketiga adalah produk tanah liat atau kaolin yang diproduksi sebagai pozzolan yang digunakan bersama-sama dengan semen Portland. Kategori keempat adalah terak mineral (mineral slag); termasuk di
antaranya adalah terak furnice yang merupakan produk samping dari peleburan yang masih memerlukan penggerusan agar menjadi reaktif. Terak furnice mengandung silika, alumina,
kapur dan mineral lain dengan komposisi yang bervariasi; digunakan sebagai bahan tambah dalam beton. Kategori kelima adalah abu organik; meliputi terak batubara, abu batubara, abu
tanaman (misal abu sekam padi), abu tulang, dan lain-lain. Kategori keenam adalah produk pasir alam dan batu pecah tertentu; termasuk di antaranya pasir berlempung (argillaceous) yang
Asal-usul pemanfaatan pozzolan dalam konstruksi bangunan selama ini diduga diaplikasikan
sejak jaman Romawi kuno, namun para arkeolog berhasil mengedepankan berbagai bukti bahwa pozzolan sudah digunakan dalam konstruksi sejak masa purba. RockTron, (2007) mencatat
bahwa perjalanan pemanfaatan pozzolan alam sudah diawali pada Jaman Batu, tahun 6500 SM oleh bangsa Syria yang menggunakan mortar kapur bakar sebagai lapisan kedap air pada tangki
penyimpanan air. Pada tahun 5600 SM, bangsa Yugoslavia sudah mengaplikasikan konstruksi lantai beton dengan kapur untuk pondok-pondok di sepanjang Sungai Danube. Di Cina, pada
tahun 3000 SM, ditemukan bukti pemakaian sejenis semen di Provinsi Gansu. Bangsa Mesir Kuno pada tahun 2500 SM telah mengaplikasikan mortar kapur dan semen gipsum bakar untuk
merekatkan batu-batu yang digunakan dalam pembangunan piramida-piramida yang megah. Tahun 700-300 SM bangsa Nabata di gurun Arab telah terbukti sebagai pengguna pertama semen hidrolis dengan diketemukannya aktivitas pembakaran kapur kuno di wilayah tersebut.
Pada masa yang kurang lebih sama, tahun 700-600 SM, bangsa Yunani kuno menggunakan campuran pozzolan-kapur untuk membangun tangki air (Azmar International, 2007). Teknologi
Yunani kuno ini dilanjutkan oleh bangsa Romawi pada tahun 200 SM sampai tahun 476 (RockTron, 2007; Azmar International, 2007) yang mengaplikasikan semen pozzolan dan
mortar dengan material pozzolan berasal dari debu vulkanis dari Puzzuoli, dekatNapoli, pada bangunan-bangunan megah yang tercatat dalam sejarah seperti Kuil Pantheon dan Kollosseum.
Suatu penggalian arkeologi telah menemukan pencampur beton (concrete mixer) buatan bangsa Saxon di Inggris pada tahun 700 (RockTron, 2007). Pada abad pertengahan, bangsa Normandia
membangun istana dan kastil dengan konstruksi beton, di antaranya yang dibangun Raja Edward I.
Era modern penggunaan semen kedap-air dengan campuran pozzolan telah diawali Thomas Smeaton (sekitar tahun 1756-9) namun belum mendapat hak paten (Gibbons, 2003). Thomas
Smeaton membangun Eddystone Lighthouse yang terkenal hingga saat ini, menggunakan mortar hidrolis yang tersusun atas campuran kapur dan tanah liat untuk merekatkan batu-batu
yang berasal dari Portland (Rocktron, 2007). Semen hidrolis kemudian dipatenkan oleh James Parker pada tahun 1796, disebut dengan nama Semen Romawi (Roman cement). Pada tahun
1824, merk Semen Portland dipatenkan oleh Joseph Aspdin dan diaplikasikan pertama kali pada pembangunan dan perbaikan terowongan Thames.
Sejumlah proyek besar pada sepuluh dekade terakhir di Amerika tercatat telah menggunakan
proyek sumber daya air di negara bagian California (1960-1970); di samping itu juga tercatat
(RockTron, 2007): konstruksi paving untuk East Midlands Airport (1999) di Inggris, konstruksi terowongan yang menghubungkan Inggris dan Perancis (1996), dan konstruksi Commerzbank
Tower, Frankfurt (1997).
3. Beberapa Penelitian Tentang Kinerja Serta Pemanfaatan Trass Dan Pozzolan Alam
Trass didefinisikan sebagai batuan hasil letusan dari gunung berapi yang telah mengalami
pelapukan sampai tingkat tertentu, berwarna abu-abu putih, abu-abu kebiruan, abu-abu gelap kemerah-merahan, kekuning-kuningan, dan ada pula yang agak jingga (BPPI, 1983; BPPI,
1984). Pada kenyataannya, trass dijumpai sebagai lapisan endapan dengan ketebalan antara 2-8 m atau lebih.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji kinerja, potensi, dan peluang pemanfaatan
pozzolan alam, khususnya trass. Merujuk pada penggolongan pozzolan alam oleh Gibbons (2003), jenis pozzolan alam yang dikategorikan segolongan dengan trass (Gibbons, 2003) antara
lain tufa, pumice, debu vulkanis, diatomaceous earth, dan opaline shale. Pemanfaatan pozzolan alam telah menjadi salah satu perhatian di Iran. Allahverdi dan Ghorbani (2006) meneliti
tentang cara meningkatkan waktu pengikatan (time setting) bagi semen kapur-pozzolan alam (lime-natural pozzolan cement), dalam kasus ini digunakan pumice dari gunung Taftan, Iran.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penambahan senyawa-senyawa alkalin dan klinker semen dapat meningkatkan waktu pengikatan. Ditemukan bahwa akselerator kimiawi
yang paling efektif untuk semen kapur-pozzolan alam adalah sodium sulfat, sedangkan akselerator pengikatan yang paling efektif adalah sodium hidroksida.
Pozzolan alam jenis balsatic pumice yang berasal dari wilayah Cukurova dimanfaatkan dengan baik di Turki. Binici, et. al. (2006) meneliti tentang panas hirasi awal dari semen-campuran
(blended-cement) yang mengandung ground granulated-blast furnace slag (GGBF) dan ground balsatic pumice (GBP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan panas hidrasi dicapai
oleh spesimen dengan butir yang lebih kasar dengan volume bahan tambah sebesar 30% dengan nilai Blaine sebesar 2800 + 30 cm2/g. Panas hidrasi yang rendah ini maka beton dengan campuran ground granulated-blast furnace slag (GGBF) dan ground balsatic pumice (GBP) dapat digunakan untuk konstruksi beton massa.
Di Commonwealth of Northern Mariana Island, upaya pemanfaatan pozzolan alam untuk
dikategorikan sebagai scoria lapili (Wilson dan Ding, 2007a), pozzolan alam dari gunung Pagan
yang terletak di pulau Pagan, Commonwealth of Northern Mariana Island. Pozzolan alam sangat cocok digunakan dalam perawatan padang rumput di lapangan golf (Wilson dan Ding,
2007b), seperti yang direkomendasikan USGA (United States Golf Association). Dalam kasus ini, campuran pasir dan scoria lapili memiliki kemampuan konduktivitas hidrolis jenuh untuk
mengisi lubang aerasi inti. Dengan penambahan Pozzolan, kelembaban serta kapilaritas dapat ditingkatkan, kepadatan dapat dikurangi, dan ekspansi tanah ditiadakan.
Pemanfaatan pozzolan alam juga menjadi perhatian di negara-negara Asia Tenggara, termasuk
di antaranya Philipina dan Indonesia. Korelasi antara pengentasan kemiskinan di Philipina dan pendayagunaan pozzolan alam dikaji oleh Haris, et. al. (2005). Pemanfaatan pozzolan alam jenis debu vulkanis dan abu sekam padi dinilai dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan
tersebut dengan mendorong pabrik-pabrik semen di Philipina untuk memakai debu vulkanis dan abu sekam padi dalam pembuatan semen. Nilai ekonomis juga dapat dipetik dari
pendayagunaan industri semen berbasis debu vulkanis dan abu sekam padi dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Potensi trass sebagai pozzolan alam tidak asing lagi di Indonesia. Beberapa wilayah di
Indonesia memiliki potensi bahan galian trass, khususnya di Jawa Tengah, yaitu trass Muria Kudus. Pemakaian trass sebagai bahan bangunan selama ini ditujukan sebagai agregat alternatif.
Sebagai agregat alternatif, trass berfungsi sebagai agregat halus yang dapat diaplikasikan pada campuran pasta semen, pembuatan batako, campuran pembuatan beton, campuran plester dan
tanah urug (Susilorini, 2003).
Hasil penelitian (Susilorini, 2003; Susilorini, et. al, 2002; Pramono dan Wibowo, 2002;
Setiawan dan Purnomo, 2002) menunjukkan bahwa trass Muria Kudus dapat dimanfaatkan sebagai agregat alternatif untuk menggantikan agregat halus pasir Muntilan dalam campuran
beton dengan komposisi tertentu. Uji laboratorium menunjukkan bahwa kandungan SiO2 pada trass Muria Kudus yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah sebesar 42,02%, sedangkan
kandungan Al2O3 adalah sebesar 28,08%. Perbandingan volume (1:2:3) untuk (semen:trass Muria Kudus:split) adalah perbandingan campuran beton yang optimal untuk kinerja kuat tekan,
kuat tarik-belah, maupun modulus elastisitas. Secara keseluruhan, beton dengan agregat halus trass Muria Kudus menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan beton normal, terutama
2002; Susilorini, 2003) menunjukkan bahwa kuat tekan optimal dicapai beton dengan campuran
Trass Muria Kudus sebesar 29,802 MPa yang melebihi syarat kuat rencana (19 MPa). Di samping itu, modulus elastisitas beton dengan campuran Trass Muria Kudus memiliki nilai yang
lebih tinggi dibandingkan beton normal (Setiawan dan Purnomo, 2002; Susilorini, et. al., 2002; Susilorini, 2003).
4. Masa Depan Trass, Pozzolan Alam Untuk Beton Ramah Lingkungan Dan
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan isu penting yang dihadapi
oleh negara-negara maju dan berkembang di dunia dengan tujuan kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Upaya mencapai tujuan tersebut didukung oleh pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan berbagai sumber daya alam. Eksplorasi sumber daya alam dan
pemanfaatan lahan yang tak terkendali yang sering dilakukan dalam upaya pembangunan infrastruktur dapat menjadi bumerang bagi keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Beberapa
faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan berkelanjutan dirumuskan oleh Meyer (2002) sebagai berikut: (1) Memperbaiki kesalahan di masa lalu dengan membersihkan
air dan tanah yang terkontaminasi, (2) Menghindari pencemaran udara, air dan tanah, termasuk pelepasan gas-gas rumah kaca ke atmosfir yang memberi sumbangan berarti pada pemanasan
global, (3) memanfaatkan sumber daya alam, material dan energi, sejauh yang bisa diperbaharui, dan (4) Menemukan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan
pemeliharaan lingkungan dengan cara meningkatkan standar dan kualitas hidup tanpa merusak lingkungan.
Salah satu tiang pembangunan infrastruktur adalah industri konstruksi yang melibatkan produksi semen dan konstruksi beton. Industri semen dipahami sebagai polutan utama dan
penyumbang emisi gas CO2 terbesar. Untuk itu, industri semen dan beton perlu memberikan sumbangan dan imbal balik untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan. Pada saatnya,
sumber daya alam tidak akan lagi mampu memenuhi permintaan industri semen dan beton. Untuk itu, pembangunan berkelanjutan memerlukan beton yang berkelanjutan pula. Menurut
Naik dan Moriconi (2007) keberlanjutan (sustainaibility) lebih ditekankan pada siklus-hidup (life-cycle) bangunan dibandingkan umur bangunan (life-time). Dijelaskan pula oleh Naik dan
Moriconi bahwa struktur beton yang berkelanjutan adalah struktur beton yang dikonstruksikan sedemikian sehingga akibat-akibat sosial yang ditimbulkan selama siklus-hidupnya dan
pertumbuhan ekonomi, serta perlindungan terhadap lingkungan. John (2003) menegaskan
bahwa beton ramah lingkungan pada era modern ini dapat dicapai dengan campuran beton yang mengkombinasikan beberapa kualitas agregat disertai bahan tambah.
Salah satu upaya mencapai beton ramah lingkungan adalah mengupayakan pengurangan
pemakaian semen dengan memakai pozzolan, memproduksi semen campuran (blended cement), mengaplikasikan jenis-jenis agregat alternatif, serta mengimplementasikan material daur ulang
sebagai bahan campuran beton. Penggunaan trass yang merupakan pozzolan alam sebagai agregat alternatif memberikan banyak keuntungan, antara lain meningkatkan waktu pengikatan
dan menambah kinerja kekuatan, durabilitas yang tinggi terhadap lingkungan agresif dan air laut, serta memberikan nilai ekonomis dengan memberdayakan penduduk setempat untuk berpartisipasi dalam produksi dan pemanfaatan trass. Sebagai catatan, eksplorasi trass juga
harus memperhatikan prinsip dan hakekat pembangunan yang berkelanjutan yaitu meningkatkan standar dan kualitas hidup tanpa merusak lingkungan. Trass adalah masa depan agregat
alternatif untuk campuran beton.
5. Kesimpulan
Kajian dalam tulisan ini memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Trass dan pozzolan alam telah dimanfaatkan di berbagai negara di dunia sejak jaman purba
hingga era modern saat ini
2. Penggunaan trass yang merupakan pozzolan alam sebagai agregat alternatif memberikan
banyak keuntungan, antara lain meningkatkan waktu pengikatan dan menambah kinerja
kekuatan, durabilitas yang tinggi terhadap lingkungan agresif dan air laut, serta memberikan nilai ekonomis dengan memberdayakan penduduk setempat untuk berpartisipasi dalam produksi dan pemanfaatan trass
3. Eksplorasi trass juga harus memperhatikan prinsip dan hakekat pembangunan yang
Daftar Pustaka
Allahverdi, A. dan Ghorbani, J. 2006. “Chemical Activation and Set Acceleration of Lime-Natural Pozzolan Cement’, Journal of Ceramics-Silikáty, Vol. 4, No. 50, pp. 193-199.
Azmar International, Inc. 2007. “Pure Natural Pozzolan Cement”,
www.chamorro.com/community/pagan/Azmar_Natural_Pozzolan.pdf, (didownload
pada tanggal 29 Oktober 2007).
Balai Penelitian dan Pengembangan (BPPI). 1983. Penelitian Mutu Bahan Bangunan Alam
dalam Rangka Pengembangan Industri, Laporan Penelitian, Departemen Perindustrian,
Semarang.
Balai Penelitian dan Pengembangan (BPPI). 1984. Penelitian dan Pengujian Mutu Trass di Jawa Tengah dalam Rangka Peningkatan Mutu Produk Batako untuk Membantu
Pengembangan Industri Bahan Bangunan, Laporan Penelitian, Departemen
Perindustrian, Semarang.
Binici, H., Cagatay, I., Tokyay, M. dan Kose, MM. 2006. “The Early Heat of Hydration of
Blended Cement Incorporating GGBSF and Ground Balsatic Pumice”, International Journal of Physical Sciences, Vol. 1, No. 3, November, pp. 112-120.
Dolen, TP. 2001. “Historical Development of Durable Concrete for the Bureau of Reclamation”, www.usbr.gov/history/Symposium_June2002/Reclamation%20(D)/PDF'S/Dolen,%20
Timothy%20P.pdf, (didownload pada tanggal 29 Oktober 2007).
Gibbons, P. 2003. “Pozzolans for Lime Mortars”, www.buildingconservation.com
/articles/pozzo/pozzo.htm, (didownload pada tanggal 20 Oktober 2007).
Harris, RA., Eatmon, TD., dan Seifert, CWA. 2005. “Natural Pozzolans for Sustainable
Development: Mapping Poverty in Philippines”, gis.esri.com/library/userconf/proc05/papers/pap1690.pdf, (didownload pada tanggal 29
Oktober 2007).
Humphreys, K., dan Mahasenan, M. (2002). “Climate Change”, Towards a Sustainable Cement Industry, Battelle-World Council for Sustainable Development.
John, VM. 2003. “On the Sustainability of the Concrete”, Journal – UNEP Industry and Environment, April-September, pp. 62-63.
Masateru, N., Masahiro, K., Takao, T., Kenji, N., dan Yoshikata, I. 2007. “Pozzolanic Reaction Between Natural and Artificial Aggregate and the Concrete Matrix”, 2007 World of
Meyer, C. 2002. “Concrete and Sustainable Development”, Special Publication ACI 206,
Concrete Materials to Application – A Tribute to Surendra P. Shah, American Concrete
Institute, Farmington Hills, MI.
Naik, TR. 2005. “Sustainability of Concrete and Cement Industries”, CBU-2004-15;REP-562, January, Center for By-Products Utilizatons, Department of Civil Engineering and
Mechanics, College of Engineering and Applied Science, The University of Wisconsin, Milwaukee, USA.
Naik, TR., dan Moriconi, G. “Environmental-friendly Durable Concrete Made with Recycled Materials for Sustainable Concrete Construction”,
www.uwm.edu/Dept/CBU/Papers/2005%20CBU%20Reports/CBU-2005-08.pdf,
(didownload pada tanggal 29 Oktober 2007).
NRMCA. 2000. “Concrete in Practise: what, Why, and How”, CIP30-Supplementary
Cementitious Materials, Silver Spring, MD.
Pramono, Tjahjo S dan Wibowo, Santoso E. 2002. “Penelitian Kuat Tekan dan Kuat
Tarik-Belah Beton dengan Menggunakan Variasi Bahan Campuran Kapur dan Trass Muria Kudus”, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata,
Semarang.
RockTron. 2007. “A Brief History of Pozzolans, PFA, and Cement”,
www.rocktronplc.com/PDFs/A%20Brief%20History%20of%20Pozzolans,%20PFA %20&%20Cement.pdf, (didownload pada tanggal 9 Oktober 2007).
Setiawan, H dan Purnomo, Y. 2002. “Pengaruh Kapur dan Trass Muria Kudus Terhadap Modulus Elatisitas Beton”, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik
Soegijapranata. Semarang.
Susilorini R, Pramono, Tjahjo S, Wibowo, Santoso E, Setiawan, H dan Purnomo, Y. 2002. “Pemanfaatan Trass Muria Kudus Sebagai Bahan Campuran Beton”, Laporan
Penelitian, Jurusan Teknik Sipil-Unika Soegijapranata, Semarang.
Susilorini, R. 2003. “Trass Muria Kudus, Menggali Potensi Alam Sebagai Bahan Bangunan
Rakyat”, Proceeding Seminar Nasional Lingkungan Hidup, Unika Soegijapranata, Semarang,15–16 September 2003, pp. A.1.1-A.1.7.
Taylor, M., Tam, C., dan Gielen, D. 2006. “Energy Efficiency and CO2 Emissions from the Global Cement Industry”, Draft Version, IEA-WBCSD Workshop on Energy Efficiency
CO2 Emission Reduction Potentials and Policies in the Cement Industry, Paris, 4-5
Wilson, JW., dan Ding, YC. 2007a. “A Report on the Estimated Reserves and Quality of the
Pozzolan Deposits on North Pagan Island, Commonwealth of Nothern Mariana Islands”, Final-Phase 1 Report, Department of Public Lands, Commonwealth of
Nothern Mariana Islands.
Wilson, JW., dan Ding, YC. 2007b. “A Comprehensive Report on Pozzolanic Admixture, the
Cement Industry, and Market and Economic Trends and Major Companies Operating in the Far East With Reference to Pagan Island”, Final-Phase 2 Report, Department of
Public Lands, Commonwealth of Nothern Mariana Islands.