JURNAL RISET MANAJEMEN DAN BISNIS
Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
ISSN : 1907-7343
Ketua Penyunting
Perminas Pangeran
Dewan Penyunting
Erni Ekawati (Universitas Kristen Duta Wacana)
Heru Kurnianto Tjahjono (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) I Putu Sugiartha Sanjaya (Universitas AtmaJaya)
Mahatma Kufepaksi (Universitas Lampung) Singgih Santoso (Universitas Kristen Duta Wacana)
Pembantu Pelaksana Tata Usaha
(Administrasi, Desain, Distribusi dan Pemasaran)
Elisonora Guruh Bramaji Lukas Surya Wijaya
Alamat Penyunting dan Tata Usaha
Fakultas Bisnis, Universitas Kristen Duta Wacana Jl. Dr. Wahidin S. No. 5-19, Yogyakarta 55224
Telp( 0274 ) 563929, Fax : ( 0274)513235
www.ukdw.ac.id/jrmb/
JURNAL RISET MANAJEMEN DAN BISNIS
Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
ISSN : 1907-7343
DAFTAR ISI
PENGARUH EARNING MANAGEMENT DAN MEKANISME GOOD
CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PADA EMITEN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA
Rowland Bismark Fernando Pasaribu, Dionysia Kowanda, Dian Kurniawan ... 97-121
PENGARUH KOMPENSASI DAN GAYA KEPEMIMPINANTERHADAP KINERJA KARYAWAN RUMAH SAKIT UTAMA HUSADA AMBULU JEMBER
Said Mardijanto ... 123-133
MEDIASI KEPUASAN KERJA PADA HUBUNGAN ANTARA KOMPENSASI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN
R Pandji Cepi Lesmana dan Susi Widjajani ... 135-146
PENGARUH PROMOSI DAN KINERJA PELAYANAN TERHADAP LOYALITAS NASABAH DENGAN KEPUASAN NASABAH SEBAGAI PEMODERASI: STUDI PADA BANK BUMN DI DIY
Ambar Kusuma Astuti dan Agustini Dyah Respati ... 147-158
KAPABILITAS PEMASARAN DINAMIS DAN PENGARUHNYA PADA KINERJA INDUSTRI KREATIF PASCABENCANA
Hadi Purnomo dan Edi Santosa. ... 159-173
PEMBUATAN KEPUTUSAN, DEMOGRAFIS, DAN KEPUASAN PASCA BELI PADA KELOMPOK LOYAL MEREK DAN TIDAK LOYAL MEREK
Rintar Agus Simatupang dan Marlis Ida ... . 175-199
KOMPARASI ANALISIS SWOT DAN SPACE DALAM MENETAPKAN STRATEGI BISNIS BERDASARKAN KONDISI LINGKUNGAN
PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN OUTSOURCING
PENGARUH EARNING MANAGEMENT DAN MEKANISME GOOD
CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PADA EMITEN
MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA
Rowland Bismark Fernando Pasaribu Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma E-mail: [email protected]
Dionysia Kowanda
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma E-mail: [email protected]
Dian Kurniawan
Jurusan Akuntansi FE Universitas Gunadarma
ABSTRACT
This study aims to investigate the relationship earnings management and mechanisms of good corporate governance (managerial ownership, institutional ownership, public ownership, the audit committee, board size, and proportion of independent board) on the disclosure of corporate social responsibility on companies listed in Indonesia Stock Exchange period 2009-2013. Analysis technique used is multiple linear regression. From the empirical result, the study found that in partial managerial ownership, board size, and proportion of independent board significant influence, while variable earnings management, public ownership, and the audit committee did not significantly affect the disclosure of corporate social responsibility.
Keywords: Corporate Social Responsibility, Earnings Management, Good Corporate Governance.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan meneliti hubungan earning management dan mekanisme good corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan publik, komite audit, ukuran dewan komisaris, dan proporsi dewan komisaris independen) terhadap pengungkapan corporate social responsibility pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013. Sampel dipilih menggunakan purposive sampling dan terdapat 24 perusahaan yang memenuhi kriteria.Teknik analisa yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian menemukan bahwa secara parsial variabel kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, dan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh secara signifikan, sedangkan variabel earning management, kepemilikan publik, dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility.
Kata Kunci: Tanggungjawab Sosial Perusahaan, Manajemen Laba, Tatakelola Perusahaan yang
Baik.
PENDAHULUAN
Setiap tahun perekonomian dalam suatu negara pasti mengalami perubahan dalam
pertumbuhan ekonominya, baik perubahan secara positif atau negatif. Untuk dapat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara dibutuhkan indikator
mian. Indikator ekonomi memberikan gambaran secara makro dan pemerataan perekonomian. Indikator perekonomian suatu negara antara lain Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah suatu negara dalam periode tertentu (biasanya per tahun). Angka PDB bisa dianggap sebagai ukuran perekonomian negara tersebut dan sampai seberapa jauh ekonomi negara tersebut telah tumbuh atau sedang menyusut. Dapat dikatakan jika PDB suatu negara meningkat maka perekonomian negara tersebut menguat. Sebaliknya jika
PDB menurun atau negatif maka perekonomian negara tersebut melemah. Biasanya PDB diukur per triwulan dan per tahun, yang diperbandingkan terhadap triwulan dan tahun sebelumnya. Misalnya jika PDB tahunan suatu negara meningkat 5% berarti ekonomi negara tersebut telah mengalami pertumbuhan sebesar 5% dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkandata yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia mempunyai pertumbuhan PDB yang relatif konstan dari tahun 2006 sampai 2013 dibanding sebagian negara ASEANlainnyaseperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam dan Vietnam.
Gambar 1
Perbandingan Pertumbuhan PDB Indonesia dengan PDB sebagian negara ASEAN 2006-2013 Sumber: World Bank (data diolah)
Pada tahun 2008 sampai 2009 terjadi krisis ekonomi yang berawal dari krisis kredit perumahan (Subprime Mortgage Crisis) yang membangkrutkan lembaga keuangan Amerika Serikat (AS) yang berdampak kepada perekonomian dunia. Krisis ini menyebabkan investor-investor asal Amerika Serikat banyak yang menarik investasinya yang sebelumnya diinvestasi-kan di luar negaranya. Hal ini mengakibat-kan efek domino dan cepat menyebar ke berbagai negara di penjuru dunia. Lem-baga keuangan yang berbasis di Eropa pun merasakan dampak dari krisis ekonomi
yang melanda AS. Tak terkecuali negara-negara Asia Tenggara atau biasa disebut ASEAN. Negara-negara ASEAN juga merasakan dampaknya, karena negara-negara ASEAN sendiri masih bergantung dengan aliran dana dari investor asing, terutama investor asal AS. Dapat dilihat dalam gambar 1.1 bahwa terjadi penurunan PDB negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Brunei Darus-salam sebagai imbas dari krisis ekonomi dunia. Penurunan PDB Malaysia dari tahun 2008 ke 2009 sebesar 4,83% ke -1,51% atau turun 6,34%. Lalu penurunan
98
-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
PDB Thailand dari 2,48% ke -2,33% atau turun 4,81%. Penurunan PDB Brunei Darussalam tahun 2007 ke 2008 dari 0,15% ke -1,94% atau turun 2,09%. Tetapi Indonesia dan Vietnam sedikit merasakan dampak karena PDB dua
negara ini hanya sedikit menurun. Penurunan PDB Indonesia tahun 2008 ke 2009 dari 6,01% ke 4,63% atau turun 1,38%. Lalu penurunan PDB Vietnam tahun 2008 ke 2009 dari 5,66% ke 5,4% atau turun 0,26%.
Gambar 2
PDB Indonesia dari triwulan ke-2 2012 sampai triwulan ke-1 2015
Sumber: www.trandingeconomics.com (data diolah)
Dari tahun ke tahun PDB Indonesia mengalami pertumbuhan yang setiap tahunnya mengalami fluktuasi. Namun pertumbuhan PDB Indonesia akhir-akhir ini sedikit menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini dapat dilihat dari grafik diatas bahwa dari triwulan keempat tahun 2012 pertumbuhan PDB Indonesia menu-run sampai triwulan keempat tahun 2014 walaupun sempat naik di triwulan pertama tahun 2014. Penurunan PDB Indonesia mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia juga ikut menurun. Menurunnya PDB juga mengindikasikan bahwa kontribusi dari berbagai sektor lapangan usaha seperti pertanian, pertambangan, industri pengolahan atau manufaktur, konstruksi dan lainnya juga ikut menurun. Untuk memperbaiki kemerosotan PDB, pemerintah Indonesia sendiri berusaha meningkatkan PDB, hal ini dapat dilihat pada triwulan pertama tahun 2015 yang naik 0,09% ke level 5,01%. Salah satu cara untuk meningkatkan PDB adalah meningkatkan kontribusi lapangan usaha
melalui peningkatan produksi. Lapangan usaha yang banyak berkontribusi dalam PDB ialah industri manufaktur. Hal ini dapat dilihat dalam grafik dibawah. Kontribusi perusahaan manufaktur dalam PDB Indonesia semenjak tahun 2008 mengalami penurunan. Walaupun kontri-busi manufaktur dalam PDB menurun dari tahun 2008 sampai tahun 2013, peranan manufaktur tetap diperhitungkan dalam PDB.
Perusahaan manufaktur merupakan industri yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Perusahaan manu-faktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah negara juga dapat digunakan untuk melihat perkembangan industri secara nasional di negara itu. Perkembangan ini dapat dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun kinerja industri secara keseluruhan. Dalam laporan keuangan disediakan informasi mengenai neraca perusahaan, laba perusahaan, arus
99 6,3 6,4
6,17 6,11 6,03
5,81
5,62 5,72
5,14 5,03
4,92 5,01
kas perusahaan, perubahan modal perusahaan dan informasi mengenai keuangan lainnya. Laba perusahaan meru-pakan gambaran dari kegiatan perusahaan itu sendiri, laba perusahaan dapat dilihat oleh investor di laporan keuangan perusahaan yang dipublikasikan oleh perusahaan. Dengan meningkatkan laba perusahaan, akan berpengaruh positif terhadap perusahaan itu sendiri. Para investor akan tertarik untuk menginvestasi-kan dananya, dan perusa-haan amenginvestasi-kan
memakai dana tersebut untuk kegiatan operasionalnya dan memperluas usahanya. Perusahaan manufaktur juga dianggap dapat memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan pereko-nomian. Tersedianya lapangan pekerjaan, menu-runnya tingkat pengangguran, dan meningkatnya pendapatan Produk Do-mestik Bruto atau PDB negara merupakan manfaat yang diperoleh dari adanya perusahaan manufaktur.
Gambar3
Kontribusi Manufaktur dalam PDB Indonesia tahun 2000-2013
Sumber: World Bank (data diolah)
Perusahaan manufaktur dalam menjalankan operasinya untuk mencapai laba mengakibatkan munculnya masalah sosial dan lingkungan. Masalah sosial dan lingkungan tersebut dapat semaikin besar dan sulit dikendalikan seiring perusahaan meningkatkan laba. Permasalahan seperti polusi, limbah, dan penyusutan sumber daya alam semakin dirasakan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat sebagai salah satu stakeholder perusa-haan menuntut perusaperusa-haan untuk lebih memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya. Hal ini akan memberikan manfaat bagi perusahaan dalam mencapai kepercayaan (trust buil-ding) antara masyarakat dan perusahaan, membentuk citra perusahaan yang lebih
baik, dan sarana kontribusi sosial, ekonomi, lingkungan bagi masyarakat sekitar. Tekanan dari berbagai pihak memaksa perusahaan untuk menerima tanggung jawab atas dampak aktivitas bisnisnya terhadap masyarakat melalui kegiatan-kegiatan tanggung jawab langusung kepada masyarakat. Atas tuntutan tersebut maka perusahaan manufaktur berusaha mengungkapkan bentuk pertanggungjawabannya terhadap sosial dalam bentuk laporan Corporate Social Responsibility (CSR). Gagasan tanggung jawab sosial pada dasarnya adalah bagaimana perusahaan memberi perhatian pada lingkungannya terhadap dampak yang terjadi akibat aktivitas operasional perusahaan. CSR merupakan praktik bisnis transparan yang
didasar-100
27,75 29,05
28,72
28,25 28,07
27,41 27,54 27,05
28,81
26,36 24,8
24,35 23,9723,7
22 23 24 25 26 27 28 29 30
kan pada nilai-nilai etika, dengan memberikan perhatian pada karyawan, masyarakat, dan lingkungan, serta diran-cang untuk melestarikan masyarakat secara umum dan juga para pemegang saham. Corporate social responsibility diartikan sebagai pertanggungjawaban sosial dan lingkungan atas dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan melalui transparansi dan didasarkan pada nilai-nilai etika dengan memberi perhatian pada pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kesejah-teraan sosial sesuai dengan harapan stakeholder.
Corporate social responsibility sebagai sebuah gagasan menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines yaitu juga memperhatikan masalah sosial dan lingkungan (Daniri, 2008 dalam Badjuri, 2011). Banyak perusahaan yang antusias mengungkap-kan laporan tanggung jawab sosialnya karena didorong beberapa faktor diantaranya adalah dapat meningkatkan citra perusahaan, dapat membawa keberuntungan bagi perusahaan, dapat menjamin keberlangsungan, dan sarana perusahaan dalam berkontribusi terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih baik bagi masyarakat di sekitar perusahaan untuk terlihat legitimate di kalangan stakeholdersnya. Corporate social responsibility dapat digunakan perusahaan untuk melegitimasi aktivitas perusahaan di kalangan stakeholder. Menurut Gray et.al.(1995) dalam Terzaghi (2012), pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders dan disarankan bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan merupakan jalan masuk dimana beberapa organisasi mengguna-kannya untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki legitimasi. Pemerintah Indonesia memberikan respon yang baik terhadap pelaksanaan CSR dengan meregulasi praktik tanggung jawab sosial sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan mewajib-kan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Undang-Undang tersebut (Pasal 66 ayat 2c) mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam Laporan Tahunan. Pelaporan tersebut merupakan pencerminan dari perlunya akuntabilitas perusahaan atas pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga para stakeholders dapat menilai pelaksa-naan kegiatan tersebut. Dalam Undang-Undang tersebut (Pasal 1 ayat 3), corporate social responsibility dikenal dengan istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diartikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kuali-tas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Praktik dan pengungkapan corporate social responsibility merupa-kan konsekuensi logis dari struktur Good Corporate Governance (GCG), yang prinsipnya antara lain menyatakan bahwa perusahaan perlu memperhatikan kepentingan stakeholdersnya, sesuai dengan aturan yang ada dan menjalin kerjasama yang aktif dengan stakehol-ders demi kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan (Utama, 2007 dalam Wahyu dan Apriweni, 2012). Pedoman umum GCG Indonesia menyatakan salah satu tujuan diterapkannya pedoman ini
adalah tanggung jawab sosial yaitu menjadi acuan bagi perusahaan untuk melaksanakan GCG dalam rangka men-dorong timbulnya kesadaran dan tang-gungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama sektor perusahaan (KNKG, 2006). Konsep GCG yang dilandasi oleh teori agensi, dilatarbelakangi adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Pemisahan ini akan menimbulkan masalah karena adanya perbedaan kepentingan antara pemegang saham (sebagai prinsipal) dengan pihak manajemen (sebagai agen) (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Djuitaningsih dan Marsyah, 2012). Dalam mekanisme good corporate governance dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan saham publik, dewan komisaris indepen-den, kepemilikan saham asing, kualitas audit dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini menitik beratkan pada kepemilikan perusahaan, komite audit dan ukuran dewan komisaris. Sehingga mekanisme good corporate governance yang dipilih adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan publik, komite audit, ukuran dewan komisaris, dan proporsi dewan komisaris independen.
Pemisahan fungsi antara kepemi-likan perusahaan oleh pemegang saham dan pengendalian oleh manajemen merupakan inti dari teori agensi. Dalam teori agensi (agency theory), dijelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Djuitaningsih dan Marsyah, 2012). Dengan adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian akan menimbulkan permasalahan yang disebut agency conflict. Hal ini
disebabkan pihak prinsipal dan agen mempunyai kepentingan yang saling bertentangan (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Djuitaningsih dan Marsyah, 2012). Kepentingan manajemen sebagai agen perusahaan menyebabkan terjadinya manipulasi laporan keuangan, misalnya praktik manajemen laba. Perusahaan yang melakukan praktik manajemen laba akan berdampak pada rendahnya kualitas laba perusahaan. Hal ini akan berdampak pada menurunnya penampilan perusahaan di kalangan stakeholder perusahaan. Pada kondisi ini, perusahaan perlu melakukan tindakan yang berguna untuk tetap menjaga hubungan dengan stakeholder perusahaan. Perusahaan yang melakukan manjemen laba lebih tertutup kepada stakeholder mengenai informasi perusahaan baik keuangan maunpun non keuangan. Sehingga perusahaan yang melakukan manajemen laba akan mengurangi informasi yang diungkap oleh perusahaan Salah satunya yaitu dengan mengungkapkan laporan corporate social responsibility.
Struktur governance di Indonesia memisahkan antara dewan komisaris dengan dewan direksi. Dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksana-kan GCG (KNKG, 2006 dalam Paramita dan Marsono, 2014). Dewan komisaris dalam urutan manajemen merupakan tingkatan tertinggi setelah pemegang saham. Dalam bertugas dewan komisaris bertanggung jawab terhadap RUPS. Pertanggung jawaban Dewan Komisaris kepada RUPS merupakan perwujudan akuntabilitas pengawasan atas pengelolaan perusahaan dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. Menurut Organiza-tion for Economic CooperaOrganiza-tion ad
Development (OECD) dalam Paramita dan Marsono (2014), pengelolaan perusahaan yang sesuai dengan GCG adalah pengelolaan yang menerapkan prinsip-prinsip GCG, yaitu kewajaran (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),pertanggungjawaban (responsibility). Akhtaruddin et al. (2009) dalam Paramita dan Marsono (2014) berpendapat bahwa jika semakin besar ukuran dewan komisaris, maka pengalaman dan kompetensi kolektif dewan komisaris akan bertambah, sehingga informasi yang diungkapkan oleh manajemen akan lebih luas. Dengan wewenang yang dimiliki, dewan komisaris dapat memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajemen agar pengungkapkan informasi CSR lebih transparan. Didalam keaggotaan dewan komisaris terdapat komisaris independen dalam suatu perusahaan. Komisaris independen dalam dewan komisaris bertindak sebagai kekuatan penyeimbang dalam pengambilan keputusan dari dewan komisaris.
Dewan komisaris independen merupakan salah satu hal penentu keberhasilan implementasi good corporate governance. Dalam ketentuan BAPEPAM dan Peraturan Bursa Efek Indonesia No. 1-A tanggal 14 Juli tahun 2004, diatur tentang keberadaan komisaris independen. Berdasarkan aturan tersebut, jumlah dewan komisaris independen minimal adalah 30%. Peraturan Bapepam IX.I.5 dalam Untoro dan Zulaikha (2013), menjelaskan dewan komisaris independen sebagai komisaris yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik, tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung dengan emiten atau perusahaan publik, tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, dan tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik. Komisaris independen dipandang sebagai alat untuk
memonitor perilaku manajemen yang nantinya dapat menghasilkan lebih banyak informasi pengungkapan sukarela perusa-haan. Dengan kata lain bahwa komisaris independen memberikan tekanan kepada manajemen pada hal ini dewan komisaris untuk lebih transparansi mengenai keadaan perusahaan. Komposisi dewan komisaris independen yang semakin besar dapat mendorongdewan komisaris untuk bertindak objektif dan mampu melindungi seluruh stakeholders perusahaan sehingga hal ini dapat mendorong pengungkapan CSR lebih luas. Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen dalam suatu perusahaan. Manajemen akan lebih termotivasi dalam melakukan pengelolaan perusahaan, apabila hasil dari aktivitasnya tersebut akan mendapatkan keuntungan bagi pihak manjemen itu sendiri. Dalam konsep kepemilikan manajerial ini, manajemenmerupakan pihak yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan perusahaan sekaligus sebagai pihak yang membutuhkan informasi tentang tata kelola perusahaan itu atau pihak investor. Investor adalah pihak yang ingin mendapatkan pengembalian yang besar dan cepat dari perusahaan. Sehingga hal tersebut menuntut manjemen untuk melakukan pengelolaan yang lebih baik terhadap perusahaan agar dapat memak-simalkan laba dan meningkatkan nilai perusahaan untuk kepentingan investor, dimana pihak manajemen itu adalah si investor itu sendiri. Jadi kepemilikan investor mengindikasikan bahwa semakin besar kepemilikan manjerial maka akan semakin efektif pengelolaan perusahaan sehingga informasi mengenai peruahaan akan lebih terbuka.
Komite audit merupakan komite yang membantu komisaris atau dewan pengawas dalam memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan efekti-fitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan internal (Alijoyo, 2003 dalam Priantana dan Yustian,2011). Berdasarkan
strukturnya, komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari tiga anggota. Salah satunya dari anggota tersebut merupakan komisaris independen yang sekaligus merangkap sebagai ketua, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak eksternal yang independen (SE Ketua Bapepa NomorSE-03/PM/2000). Komite audit mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam hal memeli-hara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai. Kepemilikan institusional merupakankepemilikan saham oleh investor institusional yang dapat diliat dari proporsi saham yang dimiliki institusi dalam perusahaan. Institusi merupakan lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Berdasarkan teori agensi, disebutkan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengendalian suatu perusahaan dapat menyebabkan terjadinya asimetri informa-si dan konflik keagenan (antara agent dan principal) sehingga dapat memicu agency cost (Martua dan Nasir, 2013). Penyebab dari adanya agency cost adalah adanya kepemilikan saham perusahaan oleh publik, dalam hal ini adalah investor institusional. Investor institusional disini didefinisikan sebagai suatu instansi atau lembaga yang bergerak dalam bidang asuransi, bank, perusahaan investasi, maupun dana pensiun. Investor institu-sional ini memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja perusahaan yang dimana mereka memilki saham di perusahaan tersebut. Hal tersebut dikarenakan mereka memilki sumber daya, kemampuan, pengalaman, dan kesem-patan untuk mengawasi kinerja perusahaan untuk lebih memprioritaskan pada nilai perusahaan jangka panjang. Kepemilikan institusional yang besar akan sangat berpengaruh dan berdampak pada keputusan manajemen yang akan
diambil (Laksamitaningrum dan Purwanto, 2013). Semakin besar kepemilikan institusional maka akan semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga perusahaan dapat bertindak sebagai pencegah terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Djuitaningsih dan Marsyah, 2012).
Kepemilikanpublik menggambar-kan bahwa perusahaan telah siap dimonitori baik dari segi keuangan maupun non keuangan oleh masyarakat. Semakin banyak pihak yang membutuhkan informasi perusahaan maka semakin banyak hal sekecil apapun yang dituntut untuk dibuka yang pada akhirnya perusahaan melakukan pengungkapan yang semakin luas. Khan et al. (2012) dalam Paramita dan Marsono (2014) menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan mulai go public, secara langsung akuntabilitasnya terhadap publik yang merupakan pemegang saham akan sangat diperlukan. Ada penekanan terhadap akuntabilitas akan menyebabkan perusahaan mengungkapkan informasi-informasi tambahan yang berkaitan dengan visibilitas dan akuntabilitas perusahaan terhadap sejumlah besar stakeholder. Semakin besar volume kepemilikan publik, semakin besar pula tekanan dari publik terhadap transparansi informasi dari pihak perusahaan. sejalan dengan hal tersebut seharusnya perusahaan akan semakin luas dalam mengungkapkan kondisi perusahaan dan salah satunya tanggung jawabnya terhadap lingkungan sosial karena publik tidak hanya membutuhkan data finansial semata namun publik pun berhak dalam mengetahui apa saja yang sudah dilakukan oleh perusahaan dan dampak sosialnya serta penanggu-langan akibat dampak sosial tersebut. Untuk itu ukuran kepemillikan publik akan mendorong pengungkapan perusahaan kepada publik mengenai kondisi perusahaan dan keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial. Perusahaan yang sahamnya banyak dimiliki publik
menunjukkan perusahaan tersebut memi-liki kredibilitas yang tinggi dimata masyarakat dalam memberikan imbalan (deviden) yang layak dan dianggap mampu beroperasi terus menerus (going concern) sehingga cenderung akan melakukan pengungkapan informasi sosial lebih luas (Badjuri, 2011).
Penelitian terdahulu yang terkait dengan pengungkapan CSR menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa penelitian tersebut diantaranya adalah penelitian Badjuri (2011) yang menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility, kepemilikan institusional dan ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility, kepemilikan publik dan komite audit juga tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility. Sedangkan proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility. Yawenas, Tan dan Sutanto (2013) menyimpulkan bahwa komisaris Indepen-den tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsi-bility, kepemilikan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility begitupun dengan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Pada penelitian lainnya Oktariani dan Mimba (2014) meneliti pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap pengungkapan corporate social responsibility yang menghasilkan kesimpulan dewan komi-saris independen tidak berpangaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Penelitian yang dilakukan oleh Laksmitaningrum dan Purwanto (2013) memberikan kesimpulan bahwa ukuran dewan komisaris berpe-ngaruh signifikan terhadap corporate social responsibility namun kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social
responsibility, kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility.
Paramita dan Marsono (2014) pada penelitian ini menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh terha-dapcorporate social responsibility. Ukuran dewan komisaris tidak berpenga-ruh signifikan terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial, lalu komisaris independen dan kepemilikan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap pengung-kapan corporate social responsibility. Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Untoro dan Zulaikha (2013) pada penelitian ini menggunakan variabel ukuran dewan komisaris dan komisaris independen terhadap pengungkapan corporate social responsi-bility, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsi-bility, proporsi dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terha-dap pengungkapan corporate social responsibility. Penelitian Martua dan Nasir (2013) menyimpulkan bahwa kepemilikan intitusional dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility. Penelitian selan-jutnya yaitu penelitian Nurkhin (2010) menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility. Sedangkan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Djuitaningsih dan Marsyah (2012) penelitian tersebut menyimpulkan bahwa manajemen laba memiliki pengaruh negatif terhadap pengungkapan corporate social responsi-bility, kemudian ukuran komisaris dan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social responsibility.
Di sisi lain, Terzaghi (2012) menyimpulkan bahwa earning mana-gement tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsibility, begitupun dengan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan corporate social responsi-bility, kemudian kesimpulan selanjutnya ukuran dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan tang-gung-jawab sosial, dan terakhir dalam penelitian tersebut dikatakan tidak ada pengaruh yang signifikan antara komisaris independen terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Nur dan Priantinah (2012) menyimpulkan ukuran dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility. Lalu komite audit tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility. Selanjutnya penelitian Priantana dan Yustian (2011) menemukan bahwa kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, dan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility. Sedangkan kepemilikan institusional dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility. Saraswati dan Hadiprajitno (2013) menyimpulkan bahwa kepemilikan institu-sional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate social responsibility. Penelitian Tumewu dan Rudiawarni (2014) menyimpulkan bahwa earning mana-gement¸ kepemilikan intitusional, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen dan kepemilikan publik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap corporate social responsibility. Selanjutnya penelitian Utami dan Rahmawati (2010) menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpe-ngaruh secara signifikan terhadap corporate social responsibility. Sedangkan ukuran dewan komisaris berpengaruh
secara signifikan terhadap corporate social responsibility.
Berdasarkan evaluasi dan peneli-tian-penelitian terdahulu yang telah diungkapkan di atas, pengungkapan corporate social responsibility masih menunjukan hasil yang beragam dan tidak konsisten. Dari fakta tersebut, penelitian ini terdorong untuk menganalisis dan menguji secara empiris kembali mengenai
faktor-faktoryang mempengaruhi pengungkapan corporate social
responsi-bility.
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menguji secara empiris: pengaruh earning mana-gement,kepemilikan manajerial, kepemi-likan institusional, kepemikepemi-likan publik, komite audit, ukuran dewan komisaris, dan proporsi dewan komisaris independen terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility.
KAJIAN LITERATUR
Pengaruh Earning Management terhadap Pengungkapan CSR
Earning management atau manajemen laba dilakukan oleh pihak manajemen untuk memanipulasi laporan keuangan perusa-haan. Manajemen melakukan praktik tersebut untuk memaksimalkan keun-tungan perusahaan sehingga berdampak pada kompensasi tinggi yang akan diperoleh. Menurut Prior et. al., (2008) dalam Djuitaningsih dan Marsyah (2012), metode untuk membuat para manajer melindungi posisi dan menjaga kepen-tingan mereka yaitu dengan melibatkan diri ke dalam aktivitas yang ditujukan untuk membangun hubungan dengan stakeholder perusahaan dan aktivis lingkungan yang diketahui sebagai CSR. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan yang negatif antara manajemen laba dan pengungkapan informasi oleh perusahaan,
di mana perusahaan yang mengurangi praktik manajemen laba akan mengung-kapkan lebih banyak informasi mengenai aktivitas perusahaan dan perusahaan yang melakukan berbagai bentuk mana-jemen laba baik untuk keuntungan priba-di maupun keuntungan perusahaan akan cenderung untuk melakukan pengu-rangan pengungkapan informasi. Peneli-tian yang dilakukan Terzhagi (2012) dan Tumewu dan Rudiawarni (2014) menemukan bahwa manajemen laba tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan CSR. Nanum hal ini tidak sejalan dengan penelitian Djuitaningsih dan Marsyah (2012) bahwa manajemen laba berpenga-ruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Atas uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H1: Manajemen Laba berpengaruh signi-fikan terhadap pengungkapan CSR
Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Pengungkapan CSR
Menurut Ross et al. (2004) dalam Paramita dan Marsono (2014) semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung lebih giat untuk kepentingan pemegang saham, yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Pengungkapan corporate social responsibility merupakan salah satu cara untuk meningkatkan citra perusahaan, semakin bagus citra perusahaan maka harapannya adalah semakin besar laba yang diperoleh perusahaan, dan return yang diperoleh pemegang saham yang juga sebagai manajemen akan semakin besar. Dalam penelitian Paramita dan Marsono (2014) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terha-dap pengungkapan CSR. Penelitian yang dilakukan oleh Priantana dan Yustian (2011) menunjukkan hasil yang sama. Namun hasil dari penelitian Badjuri (2011), Laksamitanigrum dan Purwanto (2013), Saraswati dan Hadiprajitno (2013), dan Terzaghi (2012) menemukan bahwa
kepemilikan manajerial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap CSR. Dari uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H2: Kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR.
Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Pengungkapan CSR
Berdasarkan agency theory, disebutkan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengendalian suatu perusahaan dapat menyebabkan terjadinya asimetri infor-masi dan konflik keagenan (antara agent dan principal) sehingga dapat memicu agency cost. Penyebab dari adanya agency cost adalah adanya kepemilikan saham perusahaan oleh publik, dalam hal ini adalah investor institusional. Investor institusional disini didefinisikan sebagai suatu instansi atau lembaga yang bergerak dalam bidang asuransi, bank, perusahaan investasi, maupun dana pensiun. Inves-tor institusional ini memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja perusahaan yang dimana mereka memilki saham di perusahaan tersebut. Hal tersebut dikarenakan mereka memilki sumber daya, kemampuan, pengalaman, dan kesempatan untuk mengawasi kinerja perusahaan untuk lebih memprioritaskan pada nilai perusahaan jangka panjang. Namun penelitian yang dilakukan oleh Badjuri (2011), Djuitaningsih dan Marsyah (2012), Laksmitaningrum dan Purwanto (2013), Martua dan Nasir (2013), Nurkhin (2010),Priantana dan Yustian (2011), dan Utami dan Rahmawati (2010) menemukan bahwa kepemilikan instrusional tidak ber-pengaruh secara signifikan terhadap CSR. Dari uraian diatas maka hipotesis yang diajukan adalah:
H3: Kepemilikan Institusional berpenga-ruh signifikan terhadap pengungkap-an CSR
Pengaruh Kepemilikan Publik terhadap Pengungkapan CSR
Perusahaan yang sahamnya banyak dimiliki publik menunjukkan perusahaan tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi dimata masyarakat dalam memberikan imbalan (deviden) yang layak dan dianggap mampu beroperasi terus menerus (going concern) sehingga cenderung akan melakukan pengungkapan informasi sosial lebih luas. Perusahaan dengan porsi kepemilikan publik lebih luas akan cenderung melakukan lebih banyak peng-ungkapan sosial karena dinilai memiliki tanggung jawab secara moral kepada masyarakat (Badjuri, 2011). Perusahaan go public dan telah terdaftar dalam BEI adalah perusahaan-perusahaan yang me-miliki proporsi kepemilikan saham oleh publik, yang artinya bahwa semua aktivi-tas dan keadaan perusahaan harus dila-porkan dan diketahui oleh publik sebagai salah satu bagian pemegang saham.
Penelitian yang dilakukan oleh Badjuri (2011), Nur dan Priantinah (2012), dan Paramita dan Marsono (2014) menemukan bahwa kepemilikan publik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap CSR.Tumewu dan Rudiawarni dan Yawenas et. al., (2011) menemukan hasil yang sama yaitu kepemilikan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap CSR. Dari uraian diatas maka hipotesis yang diajukan adalah:
H4: Kepemilikan Publik berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
Pengaruh Komite Audit terhadap Pengungkapan CSR
Berdasarkan Pedoman Good Corporate Governance Indonesia, komite audit mempunyai tugas sebagai fasilitator bagi dewan komisaris. Tugas tersebut adalah untuk memastikan bahwa struktur pengendalian internal bank telah cukup untuk menjaga agar manajemen siap
menjalankan praktek perbankan yang sehat sesuai dengan prinsip kehati-hatian, pelaksanaan audit baik internal maupun eksternal telah dilaksanakan sesuai dengan standar auditing yang berlaku, tindak lanjut temuan hasil audit telah dilaksanakan oleh manajemen dengan baik (Untoro dan Zulaikha, 2013). Berdasarkan tugas tersebut keberadaan komite audit dapat dirasakan sebagai indikasi pengawasan atau monitoring kualitas tinggi dan berpengaruh signifikan dalam menyediakan informasi yang lebih kepada pemakai laporan keuangan. Dengan demikian, semakin banyak ukuran komite diharapkan proses pengawasan akan dilakukan semakin baik dan kualitas pengungkapan tanggung jawab sosial akan semakin luas.
Penelitian Badjuri (2011), Djuitaningsih dan Marsyah (2012), Paramita dan Marsono (2014), Priantana dan Yustian (2011) menemukan bahwa komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Hal ini serupa dengan penelitian Saraswati dan Hadiprajitno (2013), Terzaghi (2012), dan Untoro dan Zulaikha (2013) yang menemukan bahwa komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan CSR. Dari uraian diatas maka hipotesis yang diajukan adalah:
H5: Komite Audit berpengaruh
signify-kan terhadap pengungkapan CSR.
Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Pengungkapan CSR
Dewan komisaris memiliki tugas sebagai pengawas terlaksananya konsep Good Corporate Governance yang dilakukan oleh perusahaan. Dewan komisaris dapat dikatakan pula sebgai wakil dari para investor atau pemilik perusahaan untuk mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manjemen. Dengan hak yang dimiliki dewan komisaris maka akan memberikan pengaruh dalam menekan manajemen dalam mengungkapkan
masi-informasi perusahaan salah satunya informasi mengenai tanggung jawab sosial atau CSR.
Penelitian Priantana dan Yustian (2011) menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadappengungkapanCSR.
Laksmitaningrum dan Purwanto (2013) juga memberikan hasil yang sama yaitu ukuran dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Untoro dan Zulaikha (2013), Nur dan Priantinah (2012),Terzaghi (2012), dan Utami dan Rahmawati (2010) juga menyimpulkan bahwa ukuran dewan ko-misaris berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Namun penelitian yang dilakukan Paramita dan Marsono (2014), Badjuri (2011), Djuitaningsih dan Marsyah (2012) menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap luas pengungkapan CSR. Penelitian yang dilalukan Tumewu dan Rudiawarni (2014) juga memberikan hasil yang sama yaitu ukuran dewan ko-misaris tidak berpengaruh terhadap peng-ungkapan CSR. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diajukan adalah:
H6: Ukuran Dewan Komisaris
berpenga-ruh signifikan terhadap pengungkap-an CSR.
Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap Pengungkapan CSR
Ketentuan Bapepam dan Peraturan Bursa Efek Indonesia No. 1-A tanggal 14 Juli tahun 2004 yang memberikan pengaruh terhadap pengendalian dan pengawasan terhadap manajemen dalam operasi perusahaannya, diantaranya adalah pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Badjuri, 2011). Dewan komisaris independen merupakan
komi-saris yang berasal dari luar perusahaan sehingga tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan yang diharap-kan mampu menitikberatdiharap-kan pada kepen-tingan para pemegang saham. Proporsi dewan komisarisindependen yang sema-kin besar dapat mendorongdewan komisa-ris untuk bertindak objektif dan mampu melindungi seluruh stake-holders perusa-haan sehingga hal ini dapat mendorong pengungkapan CSR lebih luas. Dengan demikian, tujuan perusahaan untuk men-dapatkan legitimasi dari stakeholders dengan mengungkapkan tang-gungjawab sosial akan dapat diperoleh karena keberadaan dewan komisaris independen akan memberikan pengendalian dan pengawasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurkhin (2010) menyimpulkan bahwa proporsi dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap pengung-kapan CSR. Penelitian Badjuri (2011) dan Priantana dan Yustian (2011) juga menyimpulkan hasil yang sama yaitu proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Duitaningsih dan Marsyah (2012)yang menyimpulkan bahwa Proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Hasil penelitian Oktarani dan Mimba (2014), Paramita dan Marsono (2014), Yamenas et. al, (2013) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu variabel proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR.Dari uraian diatas maka hipotesis yang diajukan adalah:
H7: Proporsi Dewan Komisaris
Indepen-den berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
Kerangka Pemikiran dan Penjelasan Model
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan suatu rangkaian susunan pemikiran tentang apa yang seharusnya ada atau terjadi sehingga timbul adanya hipotesis. Penelitian ini menganalisis pengaruh Earning Management dan Good Corporate Governance (GCG) yang diproksikan dengan Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Publik, Komite Audit, Ukuran Dewan Komisaris dan Proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap Pengungkapan Corporate Social Respon-sibility (CSR). Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dijelaskan bahwa masing-masing variabel Earning Management, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Publik, Komite Audit, Ukuran Dewan Komisaris, dan Proporsi Dewan Komisaris Independen secara parsial berpengaruh terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility.
METODA PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2009-2013. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan purposive sampling yaitu metode pemilihan sampel dengan kriateria tertentu. Dalam penelitian ini, perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel adalah perusahaan yang memiliki kriteria-kriteria berikut:
1. Perusahaanmanufaktur yang mener-bitkan laporan tahunan (annual report) lengkap selama periode 2009-2013.
2. Perusahaan manufaktur yang menya-jikan ikhtisar keuangan dalam mata uang rupiah.
3. Perusahaan manufaktur tidak meng-alami kerugian dalam periode 2009-2013.
4. Perusahaan manufaktur yang mene-rapkan dan mengungkapkan laporan mengenai tanggung jawab sosial Corporate Social Responsibility (CSR) dalam annual report tahun 2009-2013.
Earning Management
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Publik
Komite Audit
Ukuran Dewan Komisaris
Proporsi Dewan Komisaris Independen
Pengungkapan Corporate Social
Responsibility (CSR)
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
Y
Tabel 1
Prosedur Pemilihan Sampel
Kriteria Sampel Emiten
Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berturut-turut dari tahun 2009-2013
124
Perusahaan yang tidak menerbitkan laporan tahunan lengkap dan berturut-turut selama tahun 2009-2013
-100
Perusahaan yang tidak menerapkan dan mengungkapkan laporan mengenai tanggung jawab sosial (CSR) di annual report tahun 2009-2013
-
Perusahaan yang tidak menyajikan ikhtisar keuangan dalam mata uang rupiah
-
Jumlah perusahaan yang memenuhi kriteria sampel 24 Total sampel (annual report) yang digunakan dalam penelitian (24 x 5 ) 120
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu annual report perusahaan dan Indonesian Capital Market Directory (ICMD) dalam periode 2009-2013. Data sekunder diperoleh dari website Bursa Efek Indonesia dan website masing-masing perusahaan.
Definisi Operasional Variabel
Variabel Dependen (Y) dalam penelitian ini adalah Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR). Dan variabel Independen (X) yang digunakan adalah earning management, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan publik, komite audit, ukuran dewan komisaris, dan proporsi dewan komisaris independen.
Pengungkapan Corporate Social
Responsibility (CSRD)
Pengungkapan Corporate Social Responsi-bility (CSRD) diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Hackston dan Milne (1996) yang semula indikatornya berjumlah 90 item, namun dilakukan penyesuaian berdasarkan peraturan Bapepam No. VIII.G.2 sehingga dua belas item dihapuskan karena kurang sesuai
dengan kondisi di Indonesia (Sembiring, 2005). Pengungkapan dengan jumlah 78 pengungkapan yang dikelompokan menjadi 7 kelompok diantaranya adalah lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan kerja, lain-lain tentang tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat dan umum. Pada setiap kategori tersebut terdiri dari beberapa item sehingga totalnya menjadi 78 item. Masing-masing item pada tiap kategori pengungkapan diberi skor 1 sehingga jika perusahaan mengungkapkan 1 item saja akan diberi skor 1 dan jika dalam perusahaan tidak mengungkapkan akan diberi skor 0. Kemudian, skor dari setiap item dijumlahkan untuk memperoleh keseluruhan skor dalam setiap perusahaan. Rumus perhitungan CSRDI adalah sebagai berikut:
�������= ���� �� Keterangan:
CSRDIij: Corporate Social Responsibility
Disclosure Index perusahaan i tahun j
Xij dummy variable: Jumlah item yang diungkapkan oleh perusahaan i tahun j;
1 = jika item i diungkapkan; 0 = jika item i tidak diungkapkan
Tabel 2
Pengungkapan Corporate Social Responsbility
Tema Detail Penjelasan
Lingkungan Butir 1 - 13 Berisi tentang pengendalian lingkungan dan
upaya perbaikan kerusakan lingkungan
Energi Butir 1 - 7 Berisi tentang pemanfaatan dan efisiensi
energi
Kesehatan dan
keselamatan tenaga kerja Butir 1 - 8
Berisi tentang tingkat kesehatan dan keselamatan tenaga kerja
Lain-lain tenaga kerja Butir 1 - 29 Berisi tentang tingkat dan fasilitas tenaga kerja
serta kondisi kerja secara umum
Produk Butir 1 - 10 Berisi tentang pengembangan, keselamatan
dan mutu produk
Keterlibatan masyarakat Butir 1 - 9 Berisi tentang sumbangan dan pelayanan serta
konstribusi kepada masyarakat
Umum Butir 1 dan 2 Berisi tentang keseluruhan informasi yang
berhubungan dengan tanggung jawab sosial
Earning Management (EM). Earning management atau manajemen laba dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian Djuitaningsih et al. (2012) dan Tumewu et al. (2014). Manajemen laba diproksikan dengan discretionary accrual (DA) yang merupakan nilai dari manajemen laba perusahaan. Total akrual terdiri dari komponen discretionary dan nondiscretionary. Total akrual diperoleh dari selisih antara laba dan arus kas operasi. Berikut ini cara perhitungan total akrual dari Modified Jones Model:
1) Menghitung total akrual
Menghitung total akrual dengan menggunakan pendekatan aliran kas (cash flow approach), yaitu: TACit =Niit -CFOit
2) Menentukan koefisien dari regresi total akrual.
Akrual diskresioner merupakan perbedaan antara total akrual (TAC) dengan nondiscretionary accrual (NDA). Langkah awal untuk menentukan nondiscretionary accrual yaitu dengan melakukan regresi sebagai berikut:
TACit/TAit-1 = β1(1/TAit-1 ) +
β2((ΔREVit-ΔRECit)/TAit-1 ) + β3(PPEit/TAit-1) + e
3) Menentukan Non-Discretionary Accrual. Regresi yang dilakukan di langkah 2 menghasilkan koefisien β1, β2, dan β3. Koefisien β1, β2, dan β3 tersebut kemudian digunakan untuk mempre-diksi nondiscretionary accrual melalui persamaan berikut:
NDAit = β1(1/TAit-1) + β2((ΔREVit -ΔRECit)/TAit-1) + β3(PPEit/TAit-1)
4) Menentukan discretionary accrual. Setelah didapatkan nondiscretionary accrual, kemudian discretionary accrual bisa dihitung dengan mengurangkan total akrual (hasil perhitungan di langkah 2) dengan nondiscretionary accrual (hasil perhitungan di langkah 3).
DAit = (TACit/TAit-1) – NDAit
Keterangan:
TACit = Total akrual perusahaan i pada periode t
NIit = Laba bersih perusahaan i pada
periode t
CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode t
TAit-1 = Total aset perusahaan i pada akhir tahun t-1
ΔREVit = Perubahan laba perusahaan i pada
periode t
ΔRECit = Perubahan piutang bersih perusahaan
i pada periode t
PPEit = Property, Plant and Equipment
perusahaan atau aset tetap perusahaan i pada periode t
NDAit =Nondiscretionary accrual perusahaan i pada periode t
DAit = Discretionary accrual perusahaan i pada
periode t
Kepemilikan Manajerial (KM).
Kepemilikan manajerial diukur dengan menggunakan persentase jumlah saham yang dimiliki manajemen dari seluruh modal saham yang beredar (Terzaghi, 2012). KM = Saham yang dimiliki manajemen / Jumlah saham yang beredar
Kepemilikan Institusional (KI).
Kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki oleh institusi dari seluruh modal saham yang beredar (Nurkhin, 2010). KI = Saham yang dimiliki institusi/Jumlah saham yang beredar
Kepemilikan Publik (KP).
Kepemilikan publik diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham uang dimiliki oleh publik dari seluruh modal saham yang beredar (Paramita dan Marsono, 2014). KP = Saham yang dimiliki public/Jumlah saham yang beredar
Komite Audit (KOMA). Komite
audit merupakan anggota komite audit yang berada pada suatu perusahaan. Komite audit diukur dengan jumlah total anggota komite audit dalam suatu perusahaan yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan (Untoro dan Zulaikha, 2013). KOMA = Jumlah anggota komite audit
Ukuran Dewan Komisaris (UDK).
Ukuran dewan komisaris merupakan total dari jumlah komisaris yang ada di dalam
perusahaan. Ukuran dewan komisaris diukur dengan jumlah dari komisaris yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan (Tumewu dan Rudiawarni, 2014). UDK = Jumlah anggota dewan komisaris
Proporsi Dewan Komisaris Independen (PDKI). Proporsi dewan
komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah anggota komisaris independen dari jumlah anggota dewan komisaris pada suatu perusahaan (Saraswati dan Hadiprajitno, 2013). PDKI = Jumlah anggota komisaris independen / Jumlah anggota dewan komisaris
Teknik Analisis Data. Berdasarkan
permasalahan dan hipotesis yang telah disajikan, maka teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
CSRD = a + �1EM + �2KM + �3KI +
�4KP+�5KA+�6DK+ �7DKI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskriptif Statistik
Deskriptif statistik menunjukkan jumlah data yang digunakan dalam penelitian dan juga menunjukkan nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi dari masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pengungkapan Corporate Social Responsi-bility (CSRD), Earning Management (EM) Kepemilikan Manajerial (KM), Kepemilikan Institu-sional (KI), Kepemilikan Publik (KP), Komite Audit (KOMA), Ukuran Dewan Komisaris (UDK), dan Proporsi Dewan Komisaris Independen (PDKI). Hasil uji Deskriptif diperoleh dari hasil olahan SPSS 22 adalah sebagai berikut :
Tabel 3
Hasil Uji Deskriptif Statistik
Variabel Min Max Mean
CSRD ,2692 ,7051 ,493376
EM -,2166 ,5480 ,100727
KM ,0000 ,2308 ,052466
KI ,4144 ,9818 ,691216
KP ,0182 ,5856 ,276306
KOMA 30,000 50,000 3,300,000 UDK 20,000 120,000 4,958,333 PDKI ,2500 10,000 ,435140
Sumber : Hasil Olah Data
Pengungkapan CSR (CSRD) sebagai variabel dependen memiliki nilai minimum sebesar 0,2692 dan nilai maksimum sebesar 0,7051. Nilai minimum dimiliki oleh GGRM dari tahun 2009 sampai 2013, sementara nilai maksimum dimiliki oleh KLBF pada tahun 2012 dan 2013. Nilai rata-rata pengungkapan CSR adalah 0,493376.
Variabel independen pertama yaitu Earning Management (EM) atau manajemen laba memiliki nilai minimum sebesar -0,2216 dan nilai maksimum sebesar 0,5427. Nilai minimum dimiliki oleh FASW pada tahun 2011, sementara nilai maksimum dimiliki oleh IMAS pada tahun 2012. Nilai rata-rata manajemen laba adalah 0,100727.
Kepemilikan manajerial (KM) memiliki nilai minimum sebesar 0,000005 dan nilai maksimum sebesar 0,2308. Nilai minimum dimiliki oleh SRSN dari tahun 2009 sampai 2011, sementara nilai maksimum dimiliki oleh PYFA dari tahun 2009 sampai 2013. Nilai rata-rata kepemilikan manajerial adalah 0,052466.
Kepemilikan institusional (KI) memiliki nilai minimum sebesar 0,4144 dan nilai maksimum sebesar 0,9818. Nilai minimum dimiliki oleh SIPD dari tahun 2009 sampai 2013, sementara nilai maksimum dimiliki oleh HMSP dari tahun 2009 sampai 2013. Nilai rata-rata kepemilikan institusional adalah 0,691216.
Kepemilikan publik (KP) memiliki nilai minimum sebesar 0,0182 dan nilai maksimum sebesar 0,5856. Nilai minimum dimiliki oleh HMSP dari tahun 2009 sampai 2013, sementara nilai maksimum dimiliki oleh SIPD dari tahun 2009 sampai 2013. Nilai rata-rata kepemilikan publik adalah 0,276306.
Komite audit (KOMA) memiliki nilai minimum sebesar 3,0000 dan nilai maksimum sebesar 5,0000. Nilai minimum dimiliki oleh banyak perusahaan pada tahun yang berbeda-bebeda, sementara nilai maksimum dimiliki oleh SRSN pada tahun 2009, SMGR pada tahun 2009 dan CPIN dari tahun 2010 sampai 2013. Nilai rata-rata komite audit adalah 3,3000.
Ukuran dewan komisaris (UDK) memiliki nilai minimum sebesar 2,0000 dan nilai maksimum sebesar 12,0000. Nilai minimum dimiliki oleh ARNA pada tahun 2009 dan JPRS dari tahun 2009 sampai 2013, sementara nilai maksimum dimiliki oleh ASII pada tahun 2012. Nilai rata-rata ukuran dewan komisaris adalah 4,958333.
Proporsi dewan komisaris indepen-den (PDKI) memiliki nilai minimum sebesar 0,2500 dan nilai maksimum sebesar 1,0000. Nilai minimum dimiliki oleh ETWA dari tahun 2011 sampai 2013, sementara nilai maksimum dimiliki oleh ARNA dari tahun 2009 sampai 2012. Nilai rata-rata proporsi dewan komisaris independen adalah 0,435140.
Hasil Uji Asumsi Klasik
Dasar pengambilan keputusan uji statistik dengan Kolmogorov-Smirnov (1-Sample K-S) adalah dengan melihat nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada tabel. Jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) kurang dari 0,05, maka H0 ditolak. Hal ini menunjukkan
data residual terdistribusi tidak normal. Sebaliknya jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih dari 0,05, maka H0 diterima. Hal ini
menunjukkan data residual terdistribusi
normal. Uji normalitas data juga dapat dilihat dengan memperlihatkan penyebaran titik pada grafik Normal P-Plot of Regresion Standardized Residual variabel independen. Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa nilai signifikansi Kolmogorov-Smirnov dari residual adalah sebesar 0,200. Nilai tersebut tidak signifikan pada 0,05 (0,056>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian terdistribusi normal. Kesimpulan ini juga didukung oleh grafik terlihat bahwa titik-titik menyebar disekitar garis diagonal, dan penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dapat disimpulkan bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas.
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen. Gejala multikolinearitas dapat dilihat di tabel Coefficient pada kolom collineary statistic. Jika nilai VIF suatu variabel diatas 10 (VIF>10) dan tolerance dibawah 0,1 (tolerance<0,1), maka terdapat korelasi antar variabel independen dalam model regresi. Sebaliknya jika nilai VIF suatu variabel dibahwah 10 (VIF<10)dan tolerance diatas 0,1 (tolerance>0,1), maka tidak terdapat korelasi antar variabel independen dalam model regresi. Dalam hasil uji multikolinearitas pada tabel 4.3 terlihat bahwa variabel KM, KI dan KP mempunyai nilai VIF diatas 10 dan tolerance dibawah 0,1. Untuk dapat melanjutkan penelitian, variabel yang mempunyai nilai VIF paling besar dan nilai tolerance paling kecil harus dikeluarkan dari uji multikolinearitas (Sary dan Latra, 2013). Setelah variabel KI yang memiliki nilai VIF terbesar dikeluarkan dari pengujian, didapatkan nilai VIF masing-masing variabel independen dibawah 10 dan tolerance diatas 0,1. Dapat disimpulkan bahwa variabel KI tidak dapat digunakan lagi dalam penelitian karena dapat mengganggu korelasi antar variabel
independen lain. Masing-masing variabel mempunyai nilai VIF dibawah 10 dan tolerance diatas 0,1. Nilai tersebut memenuhi kriteria untuk bebas dari gejala multikolinearitas, maka pengujian dapat dilajutkan kembali ke tahap Uji Autokorelasi. Hasil uji DW menunjukkan nilai D-W sebesar 0,577. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, Nilai D-W hitung 0,577 masuk kedalam kriteria diantara -2 sampai +2, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi dan berarti uji autokorelasi terpenuhi.
Interpretasi Persamaan Multiregresi
Setelah dilakukan uji asumsi klasik, dapat diketahui bahwa variabel independenKI tidak dapat digunakan untuk penelitian karena dapat mengakibatkan multikoli-nearitas terhadap variabel independen lain,sehingga model regresi tidak terdapat gejala multikolinearitas dan autokorelasi. Maka dari itu hasil olah data memenuhi syarat untuk dapat diinterpretasikan dalam model persamaan multiregresi. Untuk dapat membuat persamaan multiregresi dapat dilihat berdasarkan tabel coefficient SPSS pada kolom B dari kolom Unstandardized Coefficient.
Berdasarkan tabel 4 diatas, maka model persamaan multiregresi dapat dibentuk sebagai berikut:
CSRD =0,621 - 0,260EM - 0,341KM + 0,064KP - 0,026KOMA + 0,024UDK - 0,354PDKI.
Tabel 4
Implikasi dan Signifikansi
KOMA -,026 ,458
UDK ,024 ,000
PDKI -,354 ,000 Sig.F 0.000
Adj.R2 0.532
Sumber : Hasil Olah Data
Berdasarkan tabel 4 diperoleh hasil bahwa: a) Secara parsial hanya KM, UDK, dan PDKI yang berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Secara simultan, seluruh variabel berpengaruh signifikan terhadap indeks CSR.
Berdasarkan tabel 4 hasil uji koefisien determinasi yang dilihat bersadarkan Adj. R2dalam penelitian ini adalah 0,532. Nilai ini menunjukkan bahwa besarnya kemampuan variabel independen yaitu earning management, kepemilikan manajerial, kepemilikan publik, komite audit, ukuran dewan komisaris, dan proporsi dewan komisaris independen dalam menjelaskan variabel dependen yaitu pengungkapan CSR dalam model regresi ini sebesar 53,2%, sedangkan sisanya yaitu 46,8% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi.
PEMBAHASAN
Pengaruh Earning Management terhadap Pengungkapan CSR
Hipotesis pertama yaitu earning management tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR, hasil penelitian ini menyimpulkan pengaruh yang dihasilkan oleh earning management mempunyai arah negatif sebesar -0,260. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Terzaghi (2012) dan penelitian Tumewu dan Rudiawarni (2014). Sedangkan hasil penelitian ini tidak sejalan dengan peneli-tian Djuitaningsih dan Marsyah (2012). Earning management atau manajemen laba
muncul karena adanya konflik kepentingan yang terjadi antara manajemen dan pemilik perusahaan. Pihak manajemen dan pemilik perusahaan masing-masing ingin mempe-roleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Pemilik perusahaan ingin mendapatkan pengembalian yang besar dan cepat, dan manajemen menginginkan bonus yang sebesar-besarnya. Namun hal ini tidak berpengaruh signifikan terhadap CSR.
Menurut Sukarmi (2008) dalam Terzaghi (2012) kegiatan CSR masih baru dikalangan pelaku usaha nasional dimana baru dimulai beberapa tahun belakangan. Dalam perkembangannya terdapat pro dan kontra atau pandangan yang beragam terhadap kegiatan CSR terutama sejak keluarnya peraturan mengenai CSR yang mendorong pengungkapan CSR. Menurut CSR Indonesia (2008) dalam Terzhagi (2012) pengungkapan CSR di Indonesia bersifat pengiklanan diri dan adanya penghargaan-penghargaan yang berkaitan dengan CSR dapat meningkatkan peng-ungkapan CSR perusahaan. Sehingga yang melatarbelakangi pengungkapan CSR belum berdasarkan strategi perta-hanan manajerial dalam kaitannya dengan earning management, oleh karena itu hipotesis yang pertama tidak dapat diterima.
Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Pengungkapan CSR
Hipotesis kedua yaitu kepemilikan mana-jerial berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR, hasil penelitian ini menyimpulkan pengaruh yang dihasilkan oleh kepemilikan manajerial mempunyai arah negatif sebesar -0,341. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peramita dan Marsono (2014) dan penelitian Priantana dan Yustian (2011). Sedangkan hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Badjuri (2011), Djuitaningsih
dan Marsyah (2012), Laksamitaningrum dan Purwanto (2013), Martua dan Nasir (2013), Nur dan Priantinah (2012), Saraswati dan Hadiprajitno (2013), Terzaghi (2012) dan Yawenas et. al. (2013). Kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR dapat terjadi karena semakin besar kepemili-kan manajerial dalam perusahaan maka semakin produktif dalam memaksimal-kan nilai perusahaan, dan kemudian manajer perusahaan akan mengung-kapkan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan nilai perusahaan meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut.
Pengaruh Kepemilikan Publik terhadap Pengungkapan CSR
Hipotesis ketiga yaitu kepemilikan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR, hasil penelitian ini menyimpulkan pengaruh yang dihasilkan oleh kepemilikan publiik mempunyai arah positif sebesar 0,064. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badjuri (2011), Nur dan Priantinah (2012), Paramita dan Marsono (2014), Tumewu dan Rudiawarni (2014) dan Yawenas et. al. (2013). Kepemilikan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR, berarti besar kecilnya proporsi kepemilikan oleh publik tidak akan mempengaruhi luas pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan. Hal ini diduga karena kepemilikan saham publik merupakan gabungan dari seluruh saham-saham yang dimiliki masyarakat secara luas diluar institusional, manajerial, pemerin-tah, maupun asing, dan hanya memiliki hak minoritas sebagai stakeholder dida-lam suatu entitas, sehingga tidak memiliki pengaruh apapun ataupun memberikan tekanan kepada manajemen perusahaan untuk mengungkapkan
informasi tanggung jawab sosial perusa-haan pada laporan tahunan perusaperusa-haan.
Pengaruh Komite Audit terhadap Pengungkapan CSR
Hipotesis keempat yaitu komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR, hasil penelitian ini menyimpulkan pengaruh yang dihasilkan oleh komite audit mempunyai arah negatif sebesar -0,026. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badjuri (2011), Djuitaningsih dan Marsyah (2012), Paramita dan Marsono (2014), Priantana dan Yustian (2011), Saraswati dan Hadiprajitno (2013), Terzaghi (2012), dan Untoro dan Zulaikha (2013). Komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Hal ini dapat dikarenakan pada umumnya, perusahaan di Indonesia mempunyai jumlah komite audit sebanyak 3 orang, hal ini sesuai dengan peraturan Bapepam No. IX.I.5 tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit. Dapat disimpulkan bahwa perusahaan di Indonesia membentuk komite audit hanyalah sebagai formalitas untuk memenuhi peraturan saja, tanpa memper-timbangkan efektivitas dan kompleksitas perusahaan.
Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Pengungkapan CSR
Hipotesis kelima yaitu ukuran dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR, hasil penelitian ini menyimpulkan pengaruh yang dihasilkan oleh ukuran dewan komisaris mempunyai arah positif sebesar 0,024. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laksamitaningrum dan Purwanto (2013), Nur dan Priantinah (2012), Priantana dan Yustian (2011), Terzaghi (2012), Untoro dan Zulaikha (2012) dan Utami dan Rahmawati (2010). Sedangkan hasil penelitian ini tidak