BAB II
PERJANJIAN PADA UMUMNYA
A. Pengertian Perjanjian
Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari
kata “ovreenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa
Inggris.19 Istillah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris contract.
Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedang untuk
yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian perjanjian, yaitu:
“Persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua belah pihak
atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu”.20
Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula
terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian
sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan
di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan
perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam
19
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 179
20
KUHPerdata Buku III yang kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata
lain dinilai dengan uang.21
Terhadap definisi Pasal 1313 KUHPerdata ini Purwahid Patrik menyatakan
beberapa kelemahan, yaitu:22
a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat
disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja
yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak.
Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga
tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling
mengikatkan diri”;
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk
perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna
“perbuatan” itu luas dan saling menimbulkan akibat hukum;
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mempunyai ruang
lingkup di dalam harta kekayaan (vermogensrecht).
Atas dasar-dasar yang dikemukakan di atas maka ada beberapa sarjana
yang memberikan rumusan tentang definisi perjanjian, antara lain:
21
Mariam Darus Badrulzaman, et al, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65
22
Menurut R. Subekti bahwa definisi perjanjian, yaitu:
“Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal”.23
Menurut KRMT Tirtodiningrat dikutip oleh Mariam Darus, memberikan
definisi perjanjian, yaitu:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di
antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang
dapat dipaksakan oleh undang-undang”.24
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa definisi perjanjian, yaitu:
“Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian sebagai suatu
hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada suatu pihak yang memperoleh prestasi dan
sekaligus ada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.25
Menurut Abdul Kadir Muhammad bahwa definisi perjanjian, yaitu:
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”.26
23
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 36
24
Mariam Darus Badrulzaman, et al, Op.Cit., hal. 6 25
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal.6
26
Menurut Salim HS definisi perjanjian, yaitu:
“Perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek yang satu dengan
subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya”.27
Pengertian perjanjian dalam rumusan pendapat sarjana di atas memberikan
pengertian mengenai perjanjian merupakan konsekuensi dalam hukum bahwa
dalam suatu perjanjian terdapat dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melakukan suatu hal, di mana salah satu pihak adalah pihak yang wajib
melakukan suatu prestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak
atas suatu prestasi tersebut (kreditur).
B. Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas. Asas-asas yang
terpenting adalah:
1. Asas kepribadian (personalitas)
2. Asas kebebasan berkontrak
3. Asas konsensualisme
4. Asas daya pengikat kontrak (pacta sunt servanda)
5. Asas itikad baik
27
Ad. 1. Asas kepribadian (personalitas)
Asas ini diatur dan ditemukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata
yang berbunyi
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315
KUHPerdata menunjuk pada asas personalia, namun lebih jauh dari itu, ketentuan
Pasal 1315 KUHPerdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari
seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Secara spesifik ketentuan
Pasal 1315 KUHPerdata ini menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai
individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memilki
kewenangan bertindak untuk dan atas namanya sendiri.28 Namun, ketentuan itu
ada pengecualiannya, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata
dinyatakan bahwa:
“Dapat pula perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu”.
Pasal ini mengontruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian
untuk kepentingan pihak ketiga, dengan syarat yang ditentukan.29
Sedangkan pada Pasal 1318 KUHPerdata tidak hanya mengatur untuk diri
sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak dari padanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam
28
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 15
29
Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga,
sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan diri sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Dalam setiap
kontrak yang dibuat oleh para pihak pasti dicantumkan identitas dari subyek
hukum yang meliputi nama, umur, tempat domisili, dan kewarganegaraan. Pasal
1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318
KUHPerdata membahas ruang lingkup yang lebih jelas.30
Ad. 2. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral
di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan dalam aturan hukum
namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para
pihak.31Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 32
30Ibid
, hal. 13
31
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal 108
32
Apabila mengacu pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang dibingkai
oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak (vide Pasal 1320,
1335, 1337, 1338 ayat (3) serta 1339 KUHPerdata), maka penerapan asas
kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya,
Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memerhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak;
b. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa;
c. Tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang;
d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketertiban
umum;
e. Harus dilaksanakan dengan itikad baik. 33
Ad. 3. Asas konsensualitas
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata, yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu
adanya kesepakatan kedua belah pihak.34 Selanjutnya yang dimaksud dengan asas
konsensual dalam suatu perjanjian adalah bahwa suatu perjanjian sudah sah dan
mengikat ketika tercapainya kata sepakat, selama syarat-syarat sahnya perjanjian
sudah dipenuhi. Dalam hal ini, dengan tercapainya kata sepakat, maka pada
prinsipnya (dengan beberapa kekecualian), perjanjian tersebut sudah sah,
mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum yang penuh, meskipun perjanjian
33
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., Hal. 118
34
tersebut belum atau tidak ditulis. Konsekuensi yuridisnya adalah bahwa sejak saat
itu, sudah terbit hak dan kewajiban sebagaimana yang disebut dalam perjanjian
tersebut. Karena itu, suatu perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis. Jadi, pada
prinsipnya (dengan beberapa kekecualian), suatu perjanjian lisan pun sebenarnya
sudah sah secara hukum dan sudah mengikat secara penuh.35
Ad.. 4. Asas daya pengikat kontrak (pacta sunt servanda)
Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas
kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang
mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya. Menurut Eggens manusia
terhormat akan memelihara janjinya. Sedang Grotius mencari dasar konsensus
dalam ajaran Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat” (pacta sunt servanda),
karena “kita harus memenuhi janji kita” (Promissorum implendorum obligatio).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas
kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata
terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur
lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.36
Ad. 5. Asas itikad baik
Asas iktikad baik adalah salah satu asas yang terdapat dalam Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan bahwa: “Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik” artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam
hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai
35
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 182
36
anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan
kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu
perjanjian. Kedua belah pihak selalu memerhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh
menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.37
Asas iktikad baik merupakan salah satu hal penting dalam hukum
perjanjian, Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu iktikad baik nisbi
(relative-subjektif) dan mutlak (absolute-objektif). Pada iktikad baik yang nisbi
orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad
baik yang mutlak, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran
yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma objektif.38
C. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan
empat syarat, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (consensus);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity);
3. Suatu pokok persoalan tertentu (a certain subject matter);
4. Suatu sebab yang tidak terlarang (legal cause).
Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam:
37
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., Hal. 139
38
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan
perjanjian (unsur subyektif), dan
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian (unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup syarat pertama dan kedua yaitu adanya unsur
kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari
pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi
keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan
causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan
tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan
cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik
dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur
subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur
obyektif) dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut
tidak dapat dipaksa pelaksanaannya.39
Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (consensus)
Syarat sepakat adalah merupakan syarat subyektif, karena mengenai orang
atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah
sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak
39
masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan,
dan penipuan.40
Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini adalah
persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan
penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan
tertulis maupun secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena
perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi
bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang
tidak secara lisan.41
Pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian
dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan adanya suatu kekhilafan,
paksaan, maupun adanya penipuan. Diisyaratkannya kata sepakat dalam
mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak harus memiliki kebebasan
kehendak di mana para pihak tidak boleh mendapat tekanan atau paksaan yang
dapat mengakibatkan adanya cacat dalam perwujudan kehendak tersebut.
Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi:
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan”.
Maksudnya ialah kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti
tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Jika ada unsur paksaan atau
penipuan makna perjanjian menjadi batal. Sedangkan kekhilafan tidak
40
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dalam Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 205
41
mengakibatkan batalnya perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu mengenai hakikat
barang yang menjadi pokok perjanjian.42
Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity)
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hubungan hukum merupakan
syarat subyektif dalam perjanjian sah yang dibuat antara para pihak. Kecakapan
bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan
bertindak dalam hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap orang
berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk
hal itu.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian ada tiga golongan, yaitu:
a. Anak yang belum dewasa;
b. Orang yang berada di bawah pengampuan;
c. Perempuan bersuami. 43
Ad. a. Anak yang belum dewasa
Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu
persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah
pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap
orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu
perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330
KUHPerdata menyebutkan bahwa,
42
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 94
43
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.
Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas
mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:
1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
a. Telah berumur 21 tahun; atau
b. Telah menikah;
Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang
sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap
berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili
oleh:
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (artinya dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh
sebagai orang tua terhadap anak).
Ad. b. Orang yang berada di bawah pengampuan
Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit
otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuanpun jika ia
kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.”
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena
keborosannya, selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata berbunyi:
“Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada
Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang
dimintakan pengampuan, berdiam.”
Dengan ini berarti keadaan seseorang yang berada dalam pengampuan
harus dapat dibuktikan dengan Surat Penetapan Pengadilan Negeri, yang meliputi
tempat kediaman dari orang yang diletakkan di bawah pengampuan. Pengampuan
mulai berlaku terhitung sejak putusan atau penetapan pengadilan diucapkan.
Orang yang diletakkan di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama
seperti orang yang belum dewasa. Khusus seorang yang ditaruh di bawah
pengampuan karena keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan
atau perbuatan hukumnya dalam lapangan harta kekayaan, serta tindakan atau
perbuatan hukum dalam lapangan pribadi.44
Ad. c. Perempuan bersuami
Kitab Undang-Undang Hukum perdata juga memandang seseorang wanita
yang telah bersuami (mempunyai suami) tidak cakap untuk membuat sesuatu
persetujuan. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung
No, 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan
44
Pengadilan Tinggi di Seluruh Indonesia, yang menyatakan bahwa Pasal 108 dan
110 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku maka kedudukan wanita yang
bersuami disamakan dengan pria dewasa dalam melakukan perbuatan hukum dan
menghadap di persidangan, jadi tidak perlu lagi izin atau bantuan dari suaminya.
Sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, baik yang
sudah menikah maupun belum menikah, maka angka 3 dari Pasal 1330
KUHPerdata tidak berlaku lagi. 45
Ad. 3. Suatu pokok persoalan tertentu (a certain subject matter)
Persyaratan perihal tertentu adalah persyaratan tentang objek tertentu dari
suatu perjanjian. Jadi agar sahnya suatu perjanjian, perjanjian tersebut haruslah
menunjuk kepada objek tertentu yang diperjanjian oleh para pihak.46
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat
ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata
menentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat
menjadi obyek suatu perjanjian.47
Ad. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang (legal cause)
Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata menyebutkan causa/kausa yang
diperbolehkan (geoorloofde corzaak) sebagai salah satu syarat dari suatu
persetujuan, titik berat berada pada perkataan “oorzaak (causa)”. Maka pasal
45 Ibid
, hal. 129
46
Ibid, hal. 200
47
tersebut berarti, bahwa untuk sahnya suatu persetujuan causanya harus yang
diperbolehkan. Sebagai penjelasan dari Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatakan
bahwa causa adalah tidak diperbolehkan, apabila dilarang oleh undang-undang
atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. 48Jadi
dalam hal ini, sebab kenapa perjanjian tersebut dibuat haruslah tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Tujuannya ditetapkan oleh hukum syarat “kausa yang diperbolehkan”
bagi sahnya suatu perjanjian adalah agar orang tidak menyalahgunakan prinsip
kebebasan berkontrak. Karena dikhawatirkan akan ada orang yang
menyalahgunakan kebebasan tersebut, yakni dengan membuat
perjanjian-perjanjian yang bertentangan dengan moral, kesusilaan, kebiasaan, bahkan
bertentangan dengan hukum. Karena prinsip kebebasan berkontrak tersebut
diarahkan oleh hukum ke arah yang baik dan manusiawi, dengan jalan
mensyaratkan “kausa yang diperbolehkan” bagi suatu perjanjian.49
D. Akibat Hukum Adanya Suatu Perjanjian
Perjanjian yang dibuat secara sah, menurut Pasal 1338 KUHPerdata
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikan halnya
jika melanggar suatu perjanjian maka sama seperti melanggar suatu
undang-undang yang mempunyai suatu akibat hukum tertentu berupa sanksi-sanksi seperti
yang telah ditetapkan pada undang-undang.
48
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011)
hal. 38
49
Selanjutnya dikatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Serta harus dilaksanakan dengan
itikad baik.
Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya,
dan tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan antara para pihak atau
karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu
perjanjian juga haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw atau bona
fide atau good faith), demikian yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata. Undang-undang mensyaratkan “pelaksanaan” (bukan “pembuatan”) dari suatu perjanjian yang harus beritikad baik.
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.50
E. Akibat Wanprestasi dalam Suatu Perjanjian
Prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap
hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian oleh
kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu. Jadi, memenuhi prestasi
dalam perjanjian adalah ketika para pihak memenuhi janjinya.51
50
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal, 338
51
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, maka prestasi
dari suatu perjanjian terdiri dari:
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Prestasi merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh para pihak. Ketika
prestasi tidak dipenuhi, maka disebut terjadi wanprestasi. Menurut Kamus
Hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi
janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat
dipersalahkan kepadanya.52 Dengan demikan, wanprestasi adalah suatu keadaan di
mana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi
sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi (lalai/alpa)
dapat timbul karena:53
1. Kesenganjaan atau kelalaian debitur itu sendiri.
2. Adanya keadaan memaksa (overmacht)
Ada empat keadaan wanprestasi:54
1. Tidak memenuhi prestasi
2. Terlambat memenuhi prestasi
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan
telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada
kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu
52
Penerbit, Kamus Hukum, (Bandung: Citra Umbara, 2008), hal. 513
53
P.N.H. Simanjuntak, Op.Cit, hal, 339
54
di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Seorang debitur baru
dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru
sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru
sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa
persoalan itu ke pengadilan. Pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah
debitur wanprestasi atau tidak.55Kelalaian ini harus dinyatakan secara resmi, yaitu
dengan peringatan/sommatie oleh juru sita di pengadilan atau cukup dengan surat
tercatat atau kawat, supaya tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang sebagai
mana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata, dan peringatan tersebut harus
tertulis.56
Teguran secara tertulis melalui pengadilan ini sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1238 KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi, karena ketentuan ini
telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 3/1963. Oleh karena itu menurut Subekti, cukup ditegur saja secara
pribadi baik lisan atau secara tertulis.57
Ada berbagai kemungkinan tuntutan terhadap debitur yang lalai;
a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini
sudah terlambat.
b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang
dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan tetapi
sebagaimana mestinya.
55
Salim H. S, (buku II) Op.Cit., hal. 99
56
Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak Panduan Memahami Hukum Perikatan dan Penerapan Surat Perjanjian Kontrak, (Yogyakarta: Cakrawala, 2012), hal. 20
57
c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian
kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan
perjanjian.
d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian
satu pihak yang lain untuk meminta kepada hakim supaya perjanjian dapat
dibatalkan disertai dengan permintaan penggantian kerugian (Pasal 1266
KUHPerdata). 58
Berdasarkan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, maka penggantian
kerugian dapat dituntut menurut undang-undang, yaitu berupa:
1. Biaya-biaya yang sesungguhnya telah dikeluarkan (konsten) atau,
2. Kerugian yang sesungguhnya menimpa harta benda si berpiutang (schaden)
3. Kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat
seandainya si berpiutang tidak lalai.
F. Hapusnya Perjanjian
Suatu perjanjian merupakan salah satu sumber yang dapat menimbulkan
perikatan, namun hapusnya perjanjian harus benar-benar dibedakan dengan
hapusnya perikatan, karena perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang
merupakan sumbernya masih tetap ada. Walaupun pada umumnya jika perjanjian
hapus maka perikatanpun menjadi hapus, sebaliknya jika perikatannya hapus
maka perjanjiannya pun menjadi hapus. Suatu perjanjian dapat hapus, karena:
58
a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal
1066 ayat 3 KUHPerdata).
c. Salah satu pihak meninggal dunia.
d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan
prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan
perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan
perjanjian.
e. Karena putusan hakim.
f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek
perjanjian atau prestasi.
g. Dengan persetujuan para pihak. 59
59