• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN PADA UMUMNYA

A. Pengertian Perjanjian

Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

kata “ovreenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa

Inggris.19 Istillah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris contract.

Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedang untuk

yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu:

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian perjanjian, yaitu:

“Persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua belah pihak

atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut

dalam persetujuan itu”.20

Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula

terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian

sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan

di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan

perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam

19

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 179

20

(2)

KUHPerdata Buku III yang kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata

lain dinilai dengan uang.21

Terhadap definisi Pasal 1313 KUHPerdata ini Purwahid Patrik menyatakan

beberapa kelemahan, yaitu:22

a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat

disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja

yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak.

Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga

tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling

mengikatkan diri”;

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk

perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan

melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna

“perbuatan” itu luas dan saling menimbulkan akibat hukum;

c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mempunyai ruang

lingkup di dalam harta kekayaan (vermogensrecht).

Atas dasar-dasar yang dikemukakan di atas maka ada beberapa sarjana

yang memberikan rumusan tentang definisi perjanjian, antara lain:

21

Mariam Darus Badrulzaman, et al, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65

22

(3)

Menurut R. Subekti bahwa definisi perjanjian, yaitu:

“Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji

kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal”.23

Menurut KRMT Tirtodiningrat dikutip oleh Mariam Darus, memberikan

definisi perjanjian, yaitu:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di

antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang

dapat dipaksakan oleh undang-undang”.24

Menurut M. Yahya Harahap, bahwa definisi perjanjian, yaitu:

“Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian sebagai suatu

hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang

memberi kekuatan hak pada suatu pihak yang memperoleh prestasi dan

sekaligus ada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.25

Menurut Abdul Kadir Muhammad bahwa definisi perjanjian, yaitu:

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih

saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan

harta kekayaan”.26

23

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 36

24

Mariam Darus Badrulzaman, et al, Op.Cit., hal. 6 25

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal.6

26

(4)

Menurut Salim HS definisi perjanjian, yaitu:

“Perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek yang satu dengan

subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum

yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain

berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah

disepakatinya”.27

Pengertian perjanjian dalam rumusan pendapat sarjana di atas memberikan

pengertian mengenai perjanjian merupakan konsekuensi dalam hukum bahwa

dalam suatu perjanjian terdapat dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melakukan suatu hal, di mana salah satu pihak adalah pihak yang wajib

melakukan suatu prestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak

atas suatu prestasi tersebut (kreditur).

B. Asas-asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas. Asas-asas yang

terpenting adalah:

1. Asas kepribadian (personalitas)

2. Asas kebebasan berkontrak

3. Asas konsensualisme

4. Asas daya pengikat kontrak (pacta sunt servanda)

5. Asas itikad baik

27

(5)

Ad. 1. Asas kepribadian (personalitas)

Asas ini diatur dan ditemukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata

yang berbunyi

“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau

perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”

Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315

KUHPerdata menunjuk pada asas personalia, namun lebih jauh dari itu, ketentuan

Pasal 1315 KUHPerdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari

seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Secara spesifik ketentuan

Pasal 1315 KUHPerdata ini menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai

individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memilki

kewenangan bertindak untuk dan atas namanya sendiri.28 Namun, ketentuan itu

ada pengecualiannya, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata

dinyatakan bahwa:

“Dapat pula perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu

perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian orang lain,

mengandung suatu syarat semacam itu”.

Pasal ini mengontruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian

untuk kepentingan pihak ketiga, dengan syarat yang ditentukan.29

Sedangkan pada Pasal 1318 KUHPerdata tidak hanya mengatur untuk diri

sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang

memperoleh hak dari padanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam

28

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 15

29

(6)

Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga,

sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan diri sendiri, ahli

warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Dalam setiap

kontrak yang dibuat oleh para pihak pasti dicantumkan identitas dari subyek

hukum yang meliputi nama, umur, tempat domisili, dan kewarganegaraan. Pasal

1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318

KUHPerdata membahas ruang lingkup yang lebih jelas.30

Ad. 2. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral

di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan dalam aturan hukum

namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para

pihak.31Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata, yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk:

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun,

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 32

30Ibid

, hal. 13

31

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal 108

32

(7)

Apabila mengacu pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang dibingkai

oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak (vide Pasal 1320,

1335, 1337, 1338 ayat (3) serta 1339 KUHPerdata), maka penerapan asas

kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya,

Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memerhatikan

hal-hal sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak;

b. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa;

c. Tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang;

d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketertiban

umum;

e. Harus dilaksanakan dengan itikad baik. 33

Ad. 3. Asas konsensualitas

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata, yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu

adanya kesepakatan kedua belah pihak.34 Selanjutnya yang dimaksud dengan asas

konsensual dalam suatu perjanjian adalah bahwa suatu perjanjian sudah sah dan

mengikat ketika tercapainya kata sepakat, selama syarat-syarat sahnya perjanjian

sudah dipenuhi. Dalam hal ini, dengan tercapainya kata sepakat, maka pada

prinsipnya (dengan beberapa kekecualian), perjanjian tersebut sudah sah,

mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum yang penuh, meskipun perjanjian

33

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., Hal. 118

34

(8)

tersebut belum atau tidak ditulis. Konsekuensi yuridisnya adalah bahwa sejak saat

itu, sudah terbit hak dan kewajiban sebagaimana yang disebut dalam perjanjian

tersebut. Karena itu, suatu perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis. Jadi, pada

prinsipnya (dengan beberapa kekecualian), suatu perjanjian lisan pun sebenarnya

sudah sah secara hukum dan sudah mengikat secara penuh.35

Ad.. 4. Asas daya pengikat kontrak (pacta sunt servanda)

Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas

kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang

mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya. Menurut Eggens manusia

terhormat akan memelihara janjinya. Sedang Grotius mencari dasar konsensus

dalam ajaran Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat” (pacta sunt servanda),

karena “kita harus memenuhi janji kita” (Promissorum implendorum obligatio).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas

kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata

terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur

lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.36

Ad. 5. Asas itikad baik

Asas iktikad baik adalah salah satu asas yang terdapat dalam Pasal 1338

KUHPerdata menyatakan bahwa: “Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad

baik” artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam

hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai

35

Munir Fuady, Op.Cit, hal. 182

36

(9)

anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan

kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu

perjanjian. Kedua belah pihak selalu memerhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh

menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.37

Asas iktikad baik merupakan salah satu hal penting dalam hukum

perjanjian, Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu iktikad baik nisbi

(relative-subjektif) dan mutlak (absolute-objektif). Pada iktikad baik yang nisbi

orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad

baik yang mutlak, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran

yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma objektif.38

C. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320

KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan

empat syarat, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (consensus);

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity);

3. Suatu pokok persoalan tertentu (a certain subject matter);

4. Suatu sebab yang tidak terlarang (legal cause).

Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang, digolongkan ke dalam:

37

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., Hal. 139

38

(10)

a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan

perjanjian (unsur subyektif), dan

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek

perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup syarat pertama dan kedua yaitu adanya unsur

kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari

pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi

keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan

causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan

cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik

dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur

subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur

obyektif) dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut

tidak dapat dipaksa pelaksanaannya.39

Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (consensus)

Syarat sepakat adalah merupakan syarat subyektif, karena mengenai orang

atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah

sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak

39

(11)

masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan,

dan penipuan.40

Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini adalah

persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan

penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan

tertulis maupun secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena

perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi

bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang

tidak secara lisan.41

Pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian

dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan adanya suatu kekhilafan,

paksaan, maupun adanya penipuan. Diisyaratkannya kata sepakat dalam

mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak harus memiliki kebebasan

kehendak di mana para pihak tidak boleh mendapat tekanan atau paksaan yang

dapat mengakibatkan adanya cacat dalam perwujudan kehendak tersebut.

Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,

atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan”.

Maksudnya ialah kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti

tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Jika ada unsur paksaan atau

penipuan makna perjanjian menjadi batal. Sedangkan kekhilafan tidak

40

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dalam Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal. 205

41

(12)

mengakibatkan batalnya perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu mengenai hakikat

barang yang menjadi pokok perjanjian.42

Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity)

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hubungan hukum merupakan

syarat subyektif dalam perjanjian sah yang dibuat antara para pihak. Kecakapan

bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan

bertindak dalam hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap orang

berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk

hal itu.

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, yang tidak cakap untuk membuat

perjanjian ada tiga golongan, yaitu:

a. Anak yang belum dewasa;

b. Orang yang berada di bawah pengampuan;

c. Perempuan bersuami. 43

Ad. a. Anak yang belum dewasa

Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu

persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah

pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap

orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu

perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330

KUHPerdata menyebutkan bahwa,

42

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 94

43

(13)

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua

puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas

mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:

1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia:

a. Telah berumur 21 tahun; atau

b. Telah menikah;

Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang

sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap

berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili

oleh:

a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan

orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan

orang tuanya (artinya dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh

sebagai orang tua terhadap anak).

Ad. b. Orang yang berada di bawah pengampuan

Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal

(14)

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit

otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuanpun jika ia

kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.”

Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena

keborosannya, selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata berbunyi:

“Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada

Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang

dimintakan pengampuan, berdiam.”

Dengan ini berarti keadaan seseorang yang berada dalam pengampuan

harus dapat dibuktikan dengan Surat Penetapan Pengadilan Negeri, yang meliputi

tempat kediaman dari orang yang diletakkan di bawah pengampuan. Pengampuan

mulai berlaku terhitung sejak putusan atau penetapan pengadilan diucapkan.

Orang yang diletakkan di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama

seperti orang yang belum dewasa. Khusus seorang yang ditaruh di bawah

pengampuan karena keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan

atau perbuatan hukumnya dalam lapangan harta kekayaan, serta tindakan atau

perbuatan hukum dalam lapangan pribadi.44

Ad. c. Perempuan bersuami

Kitab Undang-Undang Hukum perdata juga memandang seseorang wanita

yang telah bersuami (mempunyai suami) tidak cakap untuk membuat sesuatu

persetujuan. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung

No, 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan

44

(15)

Pengadilan Tinggi di Seluruh Indonesia, yang menyatakan bahwa Pasal 108 dan

110 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku maka kedudukan wanita yang

bersuami disamakan dengan pria dewasa dalam melakukan perbuatan hukum dan

menghadap di persidangan, jadi tidak perlu lagi izin atau bantuan dari suaminya.

Sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, baik yang

sudah menikah maupun belum menikah, maka angka 3 dari Pasal 1330

KUHPerdata tidak berlaku lagi. 45

Ad. 3. Suatu pokok persoalan tertentu (a certain subject matter)

Persyaratan perihal tertentu adalah persyaratan tentang objek tertentu dari

suatu perjanjian. Jadi agar sahnya suatu perjanjian, perjanjian tersebut haruslah

menunjuk kepada objek tertentu yang diperjanjian oleh para pihak.46

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek

suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi obyek

suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat

ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata

menentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat

menjadi obyek suatu perjanjian.47

Ad. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang (legal cause)

Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata menyebutkan causa/kausa yang

diperbolehkan (geoorloofde corzaak) sebagai salah satu syarat dari suatu

persetujuan, titik berat berada pada perkataan “oorzaak (causa)”. Maka pasal

45 Ibid

, hal. 129

46

Ibid, hal. 200

47

(16)

tersebut berarti, bahwa untuk sahnya suatu persetujuan causanya harus yang

diperbolehkan. Sebagai penjelasan dari Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatakan

bahwa causa adalah tidak diperbolehkan, apabila dilarang oleh undang-undang

atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. 48Jadi

dalam hal ini, sebab kenapa perjanjian tersebut dibuat haruslah tidak boleh

bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Tujuannya ditetapkan oleh hukum syarat “kausa yang diperbolehkan”

bagi sahnya suatu perjanjian adalah agar orang tidak menyalahgunakan prinsip

kebebasan berkontrak. Karena dikhawatirkan akan ada orang yang

menyalahgunakan kebebasan tersebut, yakni dengan membuat

perjanjian-perjanjian yang bertentangan dengan moral, kesusilaan, kebiasaan, bahkan

bertentangan dengan hukum. Karena prinsip kebebasan berkontrak tersebut

diarahkan oleh hukum ke arah yang baik dan manusiawi, dengan jalan

mensyaratkan “kausa yang diperbolehkan” bagi suatu perjanjian.49

D. Akibat Hukum Adanya Suatu Perjanjian

Perjanjian yang dibuat secara sah, menurut Pasal 1338 KUHPerdata

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikan halnya

jika melanggar suatu perjanjian maka sama seperti melanggar suatu

undang-undang yang mempunyai suatu akibat hukum tertentu berupa sanksi-sanksi seperti

yang telah ditetapkan pada undang-undang.

48

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011)

hal. 38

49

(17)

Selanjutnya dikatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali

selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Serta harus dilaksanakan dengan

itikad baik.

Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya,

dan tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan antara para pihak atau

karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu

perjanjian juga haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw atau bona

fide atau good faith), demikian yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata. Undang-undang mensyaratkan “pelaksanaan” (bukan “pembuatan”) dari suatu perjanjian yang harus beritikad baik.

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk

hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan

undang-undang. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.50

E. Akibat Wanprestasi dalam Suatu Perjanjian

Prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap

hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian oleh

kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu. Jadi, memenuhi prestasi

dalam perjanjian adalah ketika para pihak memenuhi janjinya.51

50

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal, 338

51

(18)

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, maka prestasi

dari suatu perjanjian terdiri dari:

1. Memberikan sesuatu;

2. Berbuat sesuatu;

3. Tidak berbuat sesuatu.

Prestasi merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh para pihak. Ketika

prestasi tidak dipenuhi, maka disebut terjadi wanprestasi. Menurut Kamus

Hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi

janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat

dipersalahkan kepadanya.52 Dengan demikan, wanprestasi adalah suatu keadaan di

mana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi

sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi (lalai/alpa)

dapat timbul karena:53

1. Kesenganjaan atau kelalaian debitur itu sendiri.

2. Adanya keadaan memaksa (overmacht)

Ada empat keadaan wanprestasi:54

1. Tidak memenuhi prestasi

2. Terlambat memenuhi prestasi

3. Memenuhi prestasi secara tidak baik

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan

telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada

kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu

52

Penerbit, Kamus Hukum, (Bandung: Citra Umbara, 2008), hal. 513

53

P.N.H. Simanjuntak, Op.Cit, hal, 339

54

(19)

di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Seorang debitur baru

dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru

sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru

sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa

persoalan itu ke pengadilan. Pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah

debitur wanprestasi atau tidak.55Kelalaian ini harus dinyatakan secara resmi, yaitu

dengan peringatan/sommatie oleh juru sita di pengadilan atau cukup dengan surat

tercatat atau kawat, supaya tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang sebagai

mana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata, dan peringatan tersebut harus

tertulis.56

Teguran secara tertulis melalui pengadilan ini sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 1238 KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi, karena ketentuan ini

telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 3/1963. Oleh karena itu menurut Subekti, cukup ditegur saja secara

pribadi baik lisan atau secara tertulis.57

Ada berbagai kemungkinan tuntutan terhadap debitur yang lalai;

a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini

sudah terlambat.

b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang

dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan tetapi

sebagaimana mestinya.

55

Salim H. S, (buku II) Op.Cit., hal. 99

56

Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak Panduan Memahami Hukum Perikatan dan Penerapan Surat Perjanjian Kontrak, (Yogyakarta: Cakrawala, 2012), hal. 20

57

(20)

c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian

kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan

perjanjian.

d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian

satu pihak yang lain untuk meminta kepada hakim supaya perjanjian dapat

dibatalkan disertai dengan permintaan penggantian kerugian (Pasal 1266

KUHPerdata). 58

Berdasarkan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, maka penggantian

kerugian dapat dituntut menurut undang-undang, yaitu berupa:

1. Biaya-biaya yang sesungguhnya telah dikeluarkan (konsten) atau,

2. Kerugian yang sesungguhnya menimpa harta benda si berpiutang (schaden)

3. Kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat

seandainya si berpiutang tidak lalai.

F. Hapusnya Perjanjian

Suatu perjanjian merupakan salah satu sumber yang dapat menimbulkan

perikatan, namun hapusnya perjanjian harus benar-benar dibedakan dengan

hapusnya perikatan, karena perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang

merupakan sumbernya masih tetap ada. Walaupun pada umumnya jika perjanjian

hapus maka perikatanpun menjadi hapus, sebaliknya jika perikatannya hapus

maka perjanjiannya pun menjadi hapus. Suatu perjanjian dapat hapus, karena:

58

(21)

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu.

b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal

1066 ayat 3 KUHPerdata).

c. Salah satu pihak meninggal dunia.

d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan

prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan

perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan

perjanjian.

e. Karena putusan hakim.

f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek

perjanjian atau prestasi.

g. Dengan persetujuan para pihak. 59

59

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan Prinsip iktikad baik pada Asuransi BringinLife dan Asuransi Prudential ini telah sesuai pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPer bahwa kontrak harus dilaksanakan

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu

Suatu perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut

Suatu perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut

Menurut Subekti 68 , pengertian Itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subjektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal

Risiko Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame (Studi Kasus Di Kantor Walikota Medan” dengan rumusan masalah, yaitu:. Bagaimana penerapan Peraturan Daerah

Hukum perjanjian juga menganut asas itikad baik seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang–Undang Hukum Perdata yang menyatakan, “Perjanjian harus

Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik sedangkan Arrest Hoge Raad di Belanda memberikan peranan