• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN perdapita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN perdapita"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN

A. Permasalahan Pokok

B. Hubungan antara Pertumbungan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan

C. Hubungan Antara Pertumbungan Ekonomi dan Kemiskinan D. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan

E. Apakah Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Menurun? F. Pertanian Sumber Utama Kemiskinan

G. Kebijakan Anti-Kemiskinan

A. PERMASALAHAN POKOK

Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan (yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi) dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak NSB, tidak terkecuali di Indonesia. Dikatakan besar karena jika dua masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan social yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi mengahadapi kemiskinannya. Bahkan kejadian tragedy Mei 1998 menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga sekarang: andaikan tingkat kesejahteraan masyarat di Indonesia sama seperti misalnya di Swiss, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rezim Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998?

Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Pembangunan terpusat di Pulau Jawa, dengan harapan akibat dari pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indoneisa lainnya.

(2)

krisis ekonomi pada tahun 1997, Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi, tetapi tingkat kesenjangan dalam pembagian PN juga semakin besar dan jumlah orang miskin tetap banyak, bahkan meningkat tajam sejak krisis ekonomi.

Sejak pelita III strategi pembangunan mulai diubah, tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama daripada pembangunan. Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah lewat pembanguan industri-isndustri padat karya, pembanguan pedesaan, dan modernisasi sector pertanian. Sayangnya, krisis ekonomi tiba-tiba muncul yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah pada pertengahan kedua tahun 1997 dan sebagai salah satu akibat langsungnya, jumlah orang miskin dan gap dalam distribusi pendapatan di tanah air membesar, bahkan menjadi jauh lebih buruk dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis.

B. HUBUNGAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN.

Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak NSB, terutama Negara-negara yang proses pembangunan ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: smakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.

(3)

Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua fackor penyebab penting.

Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya didominasi oleh apa yang disebut hipotesis Kuznets. Dengan memakai data lintas Negara dan data deret waktu dari sejumlah survey/obsevasi di setiap Negara, Simon Kuznets menemukan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk U terbalik. Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi perdesaan ke suatu ekonomi perkotaan, atau dari ekonomi pertanian (tradisional) ke ekonomi industri-industri (modern): pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbansisasi dan industrialisasi, tetapi setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau “akhir” dari proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sector industri di perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar tenaga kerja yang datang dari perdesaan (sector pertanian), atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.

Sebagian besar studi-studi hipotesis Kuznets menunjukkan bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi PN pada periode jangka panjang hanya terbuktu nyata untuk kelompok NM.

C. HUBUNGAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN.

(4)

tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan antara lain: -Pertumbuhan pendapatan, -derajat pendidikan tenaga kerja, -dan struktur ekonomi.

Dasar persamaan untuk menggambarkan relasi antara pertumbuhan output agregat dan kemiskinan dapat diambil dari persamaan berikut:

Log Gkt = a + bLogWkt + ak + Skt (4.1)

Dalam persamaan tersebut, elastisitas dari ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan pendapatan adalah suatu komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan.

Apabila elastisitas neto dan bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan pendapatan dinyatakan masing-masing dengan g dan l, elastisitas dari ketimpangan terhadap pertumbuhan dengan b, dan elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan dengan d, maka di dapat persamaan sebagai berikut:

1 = g + bd (4.2)

Untuk mendapatkan elastisitaas bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan dan elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan (pertumbuhan sebagai variable yang dapat dikontrol) digunakan persamaan sebagai berikut:

Log Pkt = w + Log Wkt + LogGkt + wk + vkt (4.3)

Dimana Pkt = kemiskinan untuk wilayah k pada periode t; Wkt

dan Gk seperti di persamaan (4.1), wk = efek-efek yang tetap

atau acak; dan vkt = term kesalahan.

(5)

memang ada suatu korelasi yang kuat antara kedua variable ekonomi makro tersebut.

Akhir-akhir ini juga cukup banyak studi yang mencoba membuktikan adanya pengaruh dari pertumbuhan output sektoral terhadap pengurangan jumlah orang miskin. Dengan kata lain, kemiskinan tidak hanya berkorelasi dengan pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN, tetapi juga dengan pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi secara individu.

Studi dari Ravlon Datt (1996a,b) dengan memakai data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer, khususnya pertanian, jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan seckor-sektor sekunder. Sektor-sektor sekunder tidak punya efek yang berarti terhadap penurunan kemiskinan di perdesaan maupun di perkotaan.

Kakwani (2001) juga melaporkan hasil yang sama dari penelitiannya untuk kasus Filipina. Dikatakan di dalam studinya bahwa, sementara peningkatan 1% output di sektor pertanian mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sedikit di atas 1%, persentase pertumbuhan yang sama dari output di sector industri dan di sector jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan 1/4% hingga 1/3%.

Studi dari ADB (1997) mengenai Negara-negara industri baru di Asia Tenggara (NICs), seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, yang hasil studinya menunjukkan bahwa pertumbuhan output di sector industri manufaktur mempunyai dampak positif yang sangat besar terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan.

(6)

antara kemiskinan dan pertumbuhan sektoral, mereka mengestimasi persamaan berikut ini:

LnP = a + b1LnY1 + b2LnY2 + b3LnY3 + u + R (4.4)

Di mana P adalah kemiskinan yang didefinisikan sebagai suatu fraksi dari jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi di bawah suatu tingkat pengeluran minimum tertentu yang telah diterapkan sebelumnya atau garis kemiskinan; Y mewakili tingkat output per kapita di tiga sektor; pertanian, industri pengolahan, dan jasa; sedangkan u dan R adalah term kesalahan.

Hasan dan Quibria (2002) dengan modelnya memberi kesan bahwa ada korelasi negative antara tingkat pendapatan dan kemiskinan: Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita semakin rendah tingkat kemiskinan, dengan kata lain, Negara-negara dengan tingkat PN per kapita yang leblih tinggi cenderung mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan Negara-negara yang tingkat PN per kapitanya lebih rendah. Nilai dari koefisien korelasi tersebut menurut empat wilayah tersebut dijabarkan di table 4.1. Dapat dilihat bahwa elestisitas pertumbuhan pendapatan dari kemiskinan untuk Asia Timur adalah tertinggi, disusul kemudian oleh Amerika Latin, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara. Jadi, menurut hasil ini, 1% kenaikan PN per kapita akan mengurangi kemiskinan 1,6% di Asia Timur dan 0,7% di Afrika Sub-Sahara.

Tabel 4.1

Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi menurut Wilayah: Estimasi Efek-Efek yang tetap

Asia

Timur AmerikaLatin AsiaSelatan AfrikaS-S

LNC -0,03 0,26* 0,31*** 0,17*

(-0,76) (1,79) (3,31) (1,72) LnY -1,60** -1,13** -0,82** -0,71**

(-9,36) (-6,11) (-10.12) (-4,53)

Adj R2 0,84 0,68 0,83 0,93

Observa

si 70 107 67 48

(7)

heteroskedastic, ada di dalam kurung *: berbeda nyata dari 0 pada 100% tingkat kepercayaan**: berada nyata dari 0 pada 1% tingkat kepercayaan.

Sumber Gambar I di Hasan dan Quibria (2002)

Penemuan-penemuan dari Ravallion dan Dautt (1996a.b) dan Kakwani (2001) memberi kesan bahwa ada suatu drajat yang besar dari variasi menurut negara dalam dampak terhadap kemiskinan dari pertumbuhan output sektoral.

Hasan dan Quiriba juga mencoba menganalisis fenomena tersebut dengan memakai data dari Negara-negara di dalam sampel mereka. Hasilnya dapat dilihat pada table 4.2.

Tabel 4.2

Kemiskinan dan Komposisi Sektoral dari Pertumbuhan: Estimasi Efek-Efek yang tetap

Asia

Timur AmerikaLatin AsiaSelatan AfrikaS-S

LNC 0,05 0,30* 0,36** 0,08

(0,66) (2,32) (3,95) (0,76) LnYpertan

ian 0,40 -0,33 -1,17** -0,32**

(0,75) (-1,47) (-4,29) (-3,05) LnY

industri -1,31** 0,28 -0,03 -0,03 (-4,28) (1,12) (-0,20) (-3,31) LnY jasa 0,02 -1,21** -0,22 -0,16

(0,08) (-4,88) (-1,30) (-1,55)

Adj R2 0.84 0,71 0,87 0,93

Observasi 70 107 67 48

(8)

kemiskinan, tetapi efeknya tidak signifikan. Pengaruh utama dari penurunan kemiskinan di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara adalah pertumbuhan output di sektor pertanian, sama seperti penemuan Ravallion dan Datt (1996a,b) untuk India.

Hasil penelitian dari World Bank (2005) dilakukan terhadap 14 NSB di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Tren-tren dasar dalam kemiskinan dan pertumbuhan PDB di 14 NSB

Burkina Faso 1994 2003 2,25 -1,80

El Salvador 1991 2000 2,54 -5,39

Gana 1992 1999 1,63 -3,85

Sampel median - - 2,36 -2,62

Keterangan: data kemiskinan di Negara-negara tersebut didasarkan pada survey-survei pengeluaran rumah tangga/konsumsi, terkecuali untuk Brazil, dan El Salvador, yang didasarkan pada survey-survei pendapatan rumah tangga.

Sumber: World Bank (2005)

(9)

pertumbuhan (perbedaan-perbedaan dalam log) dengan koefisien regresi -1,7. (lihat gambar di bawah). Ini artinya, secara rata-rata, untuk setiap kenaikan PDB per kapita 1%, kemiskinan berkurang 1,7% selama periode tersebut.

• Romania

• Zambia

Indonesia •

- 4 Bolivia •

Brazil • • Burkina Faso Ghana• • Senegal

Tunisia • • Bangladesh

Uganda • • El Salvador

Vietnam•

(10)

Dalam akhir 1990-an, term “pertumbuhan yang prokemiskinan” (disebut PPG) ini menjadi terkenal saat banyak ekonom mulai menganalisis paket-paket kebijakan yang dapat mencapai penurunan kemiskinan. PPG secara umum didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang membuat penurunan kemiskinan yang signifikan. Dalam usaha memberikan relevansi analisis dan operasional terhadap konsep tersebut, di dalam literature muncul dua pendekatan.

1. Pendekatan pertama memfokuskan pada keyakinan bahwa orang-orang miskin pasti mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi walaupun tidak proporsional. Artinya, pertumbuhan ekonomi memihak kepada orang miskin jika dibarengi dengan suatu pengurangan kesenjangan; atau dalam perkataan lain, pangsa pendapatan dari kelompok miskin meningkat bersamaan dengan peratumbuhan ekonomi. 2. Pendekatan kedua focus pada percepatan laju pertumbuhan

pendapatan dari kelompok miskin lewat perumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan dengan memperbesar kesempatan-kesempatan bagi orang-orang miskin untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan, yang hasilnya memperbesar laju penurunan kemiskinan. Mempercepat laju PPG (pertumbuhan yang pro kemiskinan) mengharuskan tidak hanya pertumbuhan yang lebih besar, tetapi juga upaya-upaya untuk memperbesar kemampuan-kemampuan dari orang-orang miskin untuk mendapatkan keuntungan dari kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi.

Dengan penekanan pada akselesari laju pengurangan kemiskinan, pendekatan ini konsisten dengan komitmen masyarakat dunia terhadap tujuan pertama dari Mellinium Development Goals (MDG), yakni pengurangan setengah dari proporsi dari masyarakat di dunia yang hidup kurang dari 1 dolar AS per hari (disebut kemiskinan ekstrem) antara tahun 1990 dan 2015.

(11)

D. BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

Ada dua kelompok cara mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yakni: Axiomatic dan Stochastic dominance

Klompok Axiomatic terdiri dari tiga alat ukur: a) The Generalized Entropy (GE)

b) Atkinson

c) Koefisien Gini.

Rumus GE dapat diuraikan sebagai berikut: n

GE (α) = (1/( α2- α)│(1/n) ∑ (y

i/Y)α – 1│

i=1

dimana n adalah jumlah individu (orang) di dalam sample, yi

adalah pendapatan dari individu (I = 1,2,….n) dan Y = (1/n ∑yi

adalah ukuran rata-rata pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 sampai x. Nilai GE 0 berarti distribusi pendapatan merata (pendaptan dari semua individu di dalam sample sama) dan 4 berarti kesenjangan yang sangat besar. Parameter α mengukur besarnya perbedaan-perbedaan antara pendapatan-pendapatan dari kelompok-kelompok yang berbeda di dalam distribusi tersebut, dan mempunyai nilai riil.

Dari rumus di atas, didapat cara mengukur ketimpangan dari Atkinson sebagai berikut:

A = 1 - Pertumbuhan

ekonomi (peningkatan output)

Peningkatan kesempatan kerja

Peningkatan upah/gaji riil

(12)

dimana ɛ adalah parameter ketimpangan, 0<ɛ<1: semakin tinggi nilai ɛ semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A mencakup dari 0 sampai 1, dengan nol berarti tidak ada kepincangan dalam distribusi pendapatan.

Alat ukur ketiga dari pendekatan aksioma ini yang selalu digunakan di dalam setiap studi-studi empris mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah koefisien atau rasio Gini, yang formulanya sebagai berikut:

Gini =

Nilai koefisien Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0: kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu Negara menikmati semua pendapatan Negara tersebut.

Selain tiga alat ukur di atas, ada cara pengukuran lain yang umum digunakan oleh Bank Dunia yaitu jumlah penduduk dikelompokkan menjadi 3 group:

40% penduduk dengan pendapatan rendah, dari jumlah penduduk

40% penduduk dengan pendapatan menengah, dari jumlah penduduk

20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk.

(13)

Untuk mengukur kemiskinan, ada tiga indicator yang diperkenankan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan di dalam banyak studi empiris.

1. The incidence of provert: persentase populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya sering disebut rasio H.

2. The depth of proverty: yang menggambarkan dalamnya kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan indeks Jarak Kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan Poverty Gap Index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula berikut:

Pa = (1/n) ∑i[(z – y)/z]a untuk semua yi <z

Indeks Pa ini sensitive terhadap distribusi jika a> 1. Bagian

[(z – y)/z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok ke I keluarga miskin (y) dalam bentuk suatu persentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z – y)/z]a adalah persentase eksponen

dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.

3. The severity of poverty yang diukur dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut distributionally sensitive index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

(14)

rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin tambah besar gap pendapatan antarorang miskin dan kemiskinan akan bertambah besar.

Dari dasar pemikiran di atas, muncul Indeks Kemiskinan Sen, yang memasukkan dua factor tersebut, yakni koefisien Gini dan rasio H:

S = H [I + (1-I) Gini]

di mana I adalah jumlah rata-rata deficit pendapatan dari orang miskin sebagai suatu persentase dari garis kemiskinan, dan koefisien Gini yang mengukur ketimpangan antara orang miskin. Apabila salah satu dari factor tersebut naik, tingkat kemiskinan bertambah besar (yang diukur dengan S).

E. APAKAH KESENJANGAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA MENURUN?

Laporan tahun 2005 dari Bank Dunia menunjukkan bahwa menjelang akhir 1990-an ada sekitar 1,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di dunia. Sebagian besar dari jumlah orang miskin tersebut terdapat di Asia Selatan (43,5%) yang terkonsenterasi di India. Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, dan Pakistan. Afrika Sub-Sahara merupakan wilayah kedua di dunia yang padat orang misin (24,3%). Kemiskinan di wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian yang tidak henti-hentinya antarsuku, manajemen ekonomi makro yang buruk, dan pemerintahan yang boborok. Wilayah ketiga yang terdapat banyak orang miskin adalah di Asia Tenggara dan Pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di China, Lao PDR, Indonesia, Vietnam, Thailand dan Kamboja. Sisanya terdapat di Amerika Latin dan Negara-negara Caribbean (6,5%), Eropa dan Asia Tengah (2,0%) dan Timur Tengah dan Afrika Utara (0,5%).

(15)

Utara, walaupun di wilayah yang terakhir ini jumlah pengurangannya sangat kecil. Di Asia Tenggara dan Pasifik, jumlah orang miskin yang berkurang hampir mencapai 150 juta jiwa. Pengurangan dalam jumlah yang cukup besar ini dapat dilihat sebagai suatu konsekuensi logis dari proses pembangunan ekonomi yang pesat di AsiaTenggara selama 1980-an. Sedangkan di wilayah-wilayah kemiskinan lainnya tidak ada perbaikan. Di Afrika Sub-Sahara kemiskinan bahkan bertambah lebih dari 60 juta jiwa.

Berdasarkan data SUSENAS 2004 dan garis kemiskinan dari BPS, Indonesia tidak terlalu buruk dibandingkan banyak Negara lainnya itu. Namun, dengan memakai garis kemiskinan Bank Dunia, terutama pengeluaran di bawah 2 dolar AS per hari, diperkirakan sekitar 52,4% dari total populasi adalah miskin.

Tabel di bawah ini menyajikan data mengenai laju penurunan proporsi dari populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan (indeks HC di 14 negara). Vietnam memang sangat menarik untuk diperhatikan dan digunakan sebagai suatu patok duga (bencmarking) untuk mengkaji keberhasilan Indonesia dalam memerangi kemiskinan.

Tabel

Persentase kemiskinan (Indeks HC, awal 1990-an hingga awal 2000-an (%)

Negara Awal

1990-an Awal 2000-an Perubahanper tahun

Vietnam 58,1 28,9 -7,8

El Salvador 64,4 39,6 -5,4

Uganda 55,7 37,7 -3,9

Ghana 51,7 39,5 -3,8

India 36,0 28,6 -3,8

Tunisia 6,7 4,6 -3,8

Bangladesh 49,7 39,8 -2,8

Senegal 67,8 57,1 -2,5

Brasilia 61,6 51,4 -2,3

Burkina Faso 55,5 47,2 -1,8

Bolivia 76,9 67,2 -1.0

Indonesia 15,4 16,0 0,7

Zambia 68,9 75,4 1,3

Romania 20,1 28,9 6,1

(16)

Dapat dilihat, pada awal decade 90-an tingkat kemiskinan di Negara komunis ini yang pembangunan ekonominya masih relative terbelakang di dalam konteks ASEAN tercatat 58,1% dari jumlah populasinya, dan pada awal tahun 2000-an menurun dengan laju sekitar 50%, atau rata-rata 7,8% per tahun selama periode itu.

Sedangkan di Indonesia kemiskinan bertambah dengan laju 0,7% per tahun selama periode yang sama.

Di Indonesia pada awal decade 90-an sekitar 82,8% dari orang miskin terdapat di perdesaan dan pada awal 2000-an menurun sedikit ke 72,3%. Persentase ini masih lebih rendah dibandingkan misalnya Burkina Faso yang hampir mencapai 100%, Bangladesh, Vietnam, dan Uganda (liha tabel dibawah)

Tabel Pangsa Kemiskinan di Perdesaan, awal 1990-an dan awal 2000-an (%)

Negara Awal

1990-an Awal 2000-an Perubahanper tahun

Vietnam 90,7 93,6 0,4

El Salvador 53,1 58,1 1,0

Uganda 94,4 96.1 0,2

Ghana 79,0 77,0 -0,4

India 78,6 79,0 0,1

Tunisia 75,4 79,4 0,5

Bangladesh 86,0 84,5 -0,2

Senegal 59,2 59,9 0,2

Brasilia 31,0 26,9 -1,8

Burkina Faso 96,1 92,4 -0,4

Bolivia 52,6 47,3 -0,8

Indonesia 82,8 72,3 -2,3

Zambia 75,0 72,3 -0,5

Romania 65,8 66,6 0,2

Sumber: World Bank (2005)

(17)

SDM sangat menolong mengurangi kemiskinan sebesar 11% per tahun di Vietnam antara 1993 dan 2002.

Dalam teori, liberalisasi perdagangan luar negeri atau penghapusan semua rintangan (baik tariff maupun nontarif/NTBs) terhadap ekspor dan impor akan meningkatkan perdagangan luar negeri, dan ekspor akan tambah naik dengan adanya insentif-insentif ekspor. Selanjutnya didukung oleh pembangunan infrastruktur dan SDM, laju pertumbuhan kegiatan ekonomi akan meningkat yang berarti juga peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan, dan semua ini pada akhirnya akan berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan. Reformasi ekonomi yang berorientasi pasar yang berarti menghilangkan semua distorsi pasar akan membuat realokasi semua sumber daya produksi ke kegiatan-kegiatan ekonomi produktif yang pada akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat.

Di Indonesia yang terjadi sebaliknya: dalam periode 1990-an kemiskin1990-an meningkat akibat krisis ekonomi 1997/98, d1990-an peningkatan tersebut lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Hal ini karena ekonomi yang didominasi oleh sektor-sektor nonpertanian yang sangat tergantung pada impor, modal asing, dan utang luar negeri lebih terpukul oleh krisis tersebut dibandingkan ekonomi perdesaan yang didominasi oleh sector pertanian yang lebih tergantung pada sumber-sumber daya produksi dalam negeri.

Selain angka kemiskinan (misalnya indeks HC), ada sejumlah indicator lainnya yang dapat digunakan sebagai proxy dari kondisi kemiskinan di suatu Negara. Salah satunya adalah tingkat kelaparan atau jumlah anak yang kurang gizi, seperti yang dapat dilihat pada table di bawah ini, Indonesia masih belum tuntas dalam memerangi anak kurang gizi, yang pada tahun 2003 tercatat 28% dari jumlah anak di bawah umur lima (5) tahun.

(18)
(19)

bantuan keuangan luar negeri membanjiri Indonesia. Dalam beberapa tahun saja inflasi yang sempat mencapai 650% menjelang jatuhnya pemerintahan Soeharto dapat ditekan hingga 1 digit dan pertumbuhan ekonomi meningkat, yang pada decade 1980-an hingga 1997 sesaat sebelum krisis terjadi, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun.

Pada tahun 1970 rata-rata per kapita PDB (dengan memakai nilai riil dalam dolar AS 1999) hanya 940 dan pada tahun 2000 sudah mendekati 3000 dolar AS (walupun pada saat krisis tahun 1998 sempat mengalami suatu penurunan hingga sekitar 450 dolar AS). Pertumbuhan PDB yang tinggi rata-rata per tahun dengan didukung oleh berbagai kebijakan dan program, terutama di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pembangunan ekonomi pedesaan, juga membuat indicator-indikator social, seperti jumlah bayi yang selamat dari 1000 bayi yang lahir, harapan hidup, jumlah penduduk yang bisa membaca dan menulis, dan jumlah anak yang sekolah, menunjukkan perbaikan yang sangat nyata selama periode orde baru.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan memberikan kontribusi yang besar terhadap pengurangan kemiskinan (yang diukur dari jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagai suatu persentase dari jumlah penduduk) yang terjadi setiap tahun selama periode orde baru. Seperti ditunjukkan oleh statistik dari BPS pada tabel di bawah tingkat kemiskinan menurun secara signifikan.

Tabel Keminskinan di Indonesia, 1976-2008*

Tahu n

Tingkat kemiskinan

(%) Jumlah orang miskin(juta orang) Kota Desa Nasio

nal Kota Desa Nasional 1976 38,8 40,4 40,1 10,0 44,2 54,2

1978 30,8 33,4 33,3 8,3 38,9 47,2

1980 29,0 28,4 28,6 9,5 32,8 42,3

1981 28,1 26,5 26,9 9,3 31,3 40,6

1984 23,1 21,2 21,6 9,3 25,7 35,0

1987 20,1 16,1 17,4 9,7 20,3 30,0

(20)

1993 13,4 13,8 13,7 8,7 17,2 25,9

1996 13,4 19,8 17,5 9,4 24,6 34,0

1998 21,9 25,7 24,2 17,6 31,9 49,5 1999 19,4 26,0 23,4 15,6 32,3 48,0 2000 14,6 22,4 19,1 12,3 26,4 38,7

2001 9,8 24,8 18,4 8,6 29,3 37,9

2002 14,5 21,1 18,2 13,3 25,1 38,4 2003 13,6 20,2 17,4 12,2 25,1 37,3 2004 12,1 20,1 16,7 11,4 24,8 36,1 2005 11,7 19,98 15,97 12,4 22,7 35,1 2006 13,5 21,8 17,8 14,5 24,8 39,3 2007 12,5 20,4 16,6 13,6 23,6 37,2 2008

** .... .... 15,4 .... .... 34,96 Keterangan: *)angka dibulatkan; **)perkiraan maret Sumber BPS

Selain tingkat kemiskinan di Indonesia, ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni kedalaman kemsikinan dan keparahan kemiskinan terhadap batas miskin (garis kemiskinan), sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan di negara tersebut. Data BPS (2005b) menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan (P1) di Indonesia

mengalami penurunan setelah krisis ekonomi 1997/98 hingga 2005, tetapi setelah itu cenderung meningkat kembali. Keadaan ini menandakan bahwa antara tahun 1999 dan tahun 2005 di Indonesia terus terjadi penurunan besarnya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Dalam kata lain, rata-rata pengeluaran kaum miskin di Indonesia cenderung meningkat atau mendekati garis kemiskinan (lihat tabel di bawah ini)

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Indonesia 1999-2007

Tahun Perkotaa

n Perdesaan Nasional

1999 3,52 4,84 4,33

(21)

2001 1,74 4,68 3,42

2002 2,59 3,34 3,01

2003 2,55 3,53 3,13

2004 2,18 3,43 2.89

2005 2,05 3,34 2,78

2006

(Maret) 2,61 4,22 3,43

2007

(Maret) 2,15 3,78 2,99

Keparahan kemiskinan (P2) di Indonesia juga menunjukkan tren

yang menurun. Artinya selama periode tersebut ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di Indonesia secara umum semakin berkurang atau kondisi ekonomi penduduk miskin semakin membaik. Karena indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, maka dengan sendirinya indeks keparahan kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan; bahkan lebih tinggi dibandingkan pada tingkat nasional. Ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketimpangan dalam distribusi pengeluaran penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan.

Tabel Indeks Keparahan Kemsikinan (P2) di Indonesia 1999-2007

Tahun Perkotaa

n Perdesaan Nasional

1999 0,98 1,39 1,23

2000 0,51 1,39 1,02

2001 0,45 1,36 0,97

2002 0,71 0,85 0,79

2003 0,74 0,93 0,85

2004 0,58 0,90 0,78

2005 0,60 0,89 0,76

2006

(Maret) 0,77 1,22 1,00

2007

(Maret) 0,57 1,09 0,84

(22)

perbedaan antarprovinsi dalam banyak hal, seperti laju pertumbuhan ekonomi dan sifatnya (apakah padat tenaga kerja atau modal), struktur ekonomi, kondisi infrastruktur, tingkat keparahan kritis yang dialami oleh ekonomi provinsi, dan juga implementasi di tingkat provinsi dari program-program anti kemiskinan, khususnya pada masa krisis, dari pemerintah pusat.

Tabel Kemiskinan menurut Provinsi, 1990-2006 (%)

Provinsi 199

0 1993 1996 1999 2002 2005 2006

Aceh 15,

9 13,5 10,8 14,8 29,8 28,7 28, Sumatera Utara 13,

5 12,3 10,9 16,7 15,8 14,7 15,01 Sumatera Barat 15,

0 13,5 8,8 13,2 11,6 10,9 12,5

Riau 13,

7 11,2 7,9 14,0 13,6 12,5 11,9

Jambi - 13,

4 9,1 26,6 13,2 11,9 11,4 Sumatera Selatan 16,

8 14,9 10,7 23,5 22,3 21,01 20,99

Bengkulu - 13,

1 9,4 19,8 22,7 22,2 23,0

Lampung 13,

1 11,7 10,7 29,1 24,1 21,4 22,8

Bangka Belitung - - - - 11,

6 9,7 10,9

Kepulauan Riau - - - 10,

97 12,2

Jakarta 7,8 5,7 2,5 4,0 3,4 3,6 4,6

Jawa Barat 13,

9 12,2 9,9 19,8 13,4 13,1 14,5

Jawa Tengah 17,

5 15,8 13,9 28,5 23,1 20,5 22,2

Yogyakarta 15,

5 11,8 10,4 26,1 20,1 18,95 19,2

Jawa Timur 14,

8 13,3 11,9 29,5 21,9 19,95 21,1

Banten - - - - 9,2 8,9 9,8

(23)

2

NTB 23,

2 19,5 17,6 33,0 27,8 25,9 27,2

NTT 24,

1 21,8 20,6 46,7 30,7 28,2 29,3 Kalimantan Barat 27,

6 25,1 22,0 26,2 15,5 14,2 15,2 Kalimantan Tengah - 20,

9 11,2 15,1 11,9 10,7 11,0 Kalimantan Selatan 21,

2 18,6 14,3 14,4 8,5 7,2 8,3 Kalimantan Timur - 13,

8 9,2 20,2 12,2 10,6 11,4 Sulawesi Utara 14,

9 11,8 10,6 18,2 11,2 9,3 11,5 Sulawesi Tengah - 10,

5 8,2 28,7 24,9 21,8 23,6 Sulawesi Selatan 10,

8 9,0 8,0 18,3 15,9 14,98 14,6 Sulawesi Tenggara - 10,

8 8,5 29,5 24,2 21,5 23,4

Gorontalo - - - - 32,

1 29,05 29,1

Sulawesi Barat - - - 20,7

Maluku - 23,

9 19,5 46,1 34,8 32,3 33,03

Maluku Utara - - - - 14,

0 13,2 12,7

Irian Jaya Barat - - - 41,3

Papua - 24,

2 21,2 54,8 41,8 40,8 41,5

Indonesia 15,

1 13,7 17,5 23,4 18,2 15,97 17,8

(24)

(khususnya pendidikan dasar) dan pelayanan kesehatan, peningkatan kesempatan kerja, dan pembangunan sektor pertanian serta ekonomi perdesaan.

Jumlah pengeluarlan konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengerluaran konsumsinya juga besar; karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak bahkan untuk liburan.

Dengan mengikut sertakan pola distribusi pendapatan sebagai suatu variabel yang juga harus diamati perkembangannya selama proses pembangunan berjalan, maka pembangunan ekonomi di Indonesia selama itu dapat dikatakan berhasil sepenuhnya apabila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil.

Secara teoriti, perubahan pada distribusi pendapatan di perdesaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:

1. Akibat arus penduduk/tenaga kerja dari perdesaan ke perkotaan yang selama orde baru berlangsung sangat pesat. Sesuai teori A.Lewis (1954), perpindahan orang dari perdesaan ke perkotaan memberi suatu dampak positif terhadap perekonomian di perdesaan: kesempatan kerja produktif, tingkat produktivitas dan pendapatan rata-rata masyarakat di perdesaan meningkat. Sedangkan, ekonomi perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak mampu menampung suplai tenaga kerja yang meningkat terus menerus, yang sebagian besar adalah pendatang dari perdesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di satu pihak, dan menurunnya laju pertumbuhan tingkat upah/gaji, dipihak lain.

(25)

dibandingkan sektor-sektor yang sama di perkotaan. Perbedaan ini ditambah dengan tingkat pendapatan per kapita di perdesaan yang lebih rendah daripada di perkotaan membuat struktur pasar di perdesaan jauh lebih sederhana daripada diperkotaan. Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi pasar juga relatif kecil (kesempatan berusaha bagi individu lebih besar) di perdesaan dibandingkan di perkotaan.

3. Dampak positif dari proses pembangunan nasional, dampat tersebut bisa dalam beragam bentuk, di antaranya sebagai berikut:

a. Semakin banyak kegiatan ekonomi di perdesaan di luar sektor pertanian, seperti industri manufaktur (kebanyakan dalam skala kecil, atau industri rumah tangga, perdagangan, perbengkelan dan jasa lainnya, dan bangunan). Diversifikasi ekonomi perdesaaan ini tentu menambah jumlah kesempatan kerja di perdesaan dan juga menambah pendapatan petani.

b. Tingkat produktivitas dan pendapatan riil tenaga kerja di sektor pertanian meningkat, bukan saja akibat arus menusia dari sektor tersebut ke sektor-sektor lainnya di perkotaan (seperti di dalam teori A.Lewis), tetapi juga akibat penerapan/pemakaian teknologi baru dan penggunaan input-input yang lebih baik, seperti misalnya pupuk hasil pabrik dan permintaan pasar domestik serta ekspor terhadap komoditas-komoditas pertanian meningkat.

c. Potensi SDA yang ada di perdesaan semakin baik, dimanfaatkan oleh penduduk desa (pemakaian semakin optimal)

d. Pengaruh pembangunan teknologi informasi.

F. PERTANIAN SUMBER UTAMA KEMISKINAN?

(26)

sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja di Indonesia masih terdapat di perdesaan (lihat tabel dibawah), dan dari jumlah itu sebagian besar bekerja di pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (lihat tabel). Sedangkan yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena memang sebagian besar industri di Indonesia, terutama yang sifatnya footlose, seperti elektronik, mesin, dan tekstil, serta pakian jadi, berada di daerah perkotaan atau pinggir kota-kota besar, seperti Jabotabek, Medan, Semarang, dan Makassar. Industri-industri seperti ini lebih tergantung pada pasar output daripada lokasi sumber daya alam dan untuk kebutuhan tenaga kerja mereka bisa dengan mudah didapat di daerah perkotaan. Sektor terbesar menyerap tenaga kerja di Indonesia ini adalah pertanian.

Tabel Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah di Indonesia,

1990-2003 (%)

Wilayah 1990 1995 2000 2003

Perdesaan 75 67 62 60

Perkotaan 25 33 38 40

Sumber BPS

Tabel Kesempatan Kerja di Perdesaan menurut Sektor di Indonesia,

1990-2003

Sektor 1990 1995 2000 2003

Pertanian 70 60 66 68

Industri 9 11 10 9

Jasa 21 29 34 23

Sumber BPS

Masih dominannya sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja juga masih terlihat jelas pada tingkat nasional (lihat tabel di bawah), walaupun cenderung menurun terus. Penurunan daya serap pertanian terhadap pertumbuhan tenaga kerja relatif dibandingkan sektor-sektor lain juga terjadi dibanyak negara lainnya, yang merupakan salah satu ciri dari proses transformasi ekonomi yang terjadi seiring dengan proses pembangunan ekonomi jangka panjang.

(27)

1 0 3 Pertanian 67,0

4 56,3 54,66 55,87 43,98 45,28 46,26 Industri 6,92 9,14 9,24 10,14 12,64 12,9

6 12,04

Konsisten dengan fakta di atas, posisi pertanian masih sangat krusial sebagai sumber pendapatan di Indonesia. Di perdesaan, pada pertengahan 1995 tercatat sebanyak 46,3% dari RT di perdesaan tergantung pada pertanian sebagai sumber pendapatan satu-satunya, dan pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar bagi sekitar 13,2% RT di perdesaan yang bergabung pada lebih dari satu sumber pendapatan. Bahkan di perkotaan ada sekitar 6% dan 2,6% dari jumlah RT yang sumber pendapatannya, masing-masing, hanya dan sebagian besar dari pertanian (lihat tabel)

Tabel Pendapatan Keluarga menurut Sumber di Indonesia, 1995 (%)

Sumber Nasional Perdesaan Perkotaa

(28)

pertanian, baik sebagai petani (dengan lahan atau tanpa lahan sendiri) maupun buruh (lepas atau kontrak), dan pada tahun 2002 porsinya sekitar 67%.

Tabel Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan Utama/Sumber Pendapatan, 1996 – 2002 (%)

Sektor 199

6 1998 1999 2000 2001 2002 Pertanian 68,5 56,7 58,4 51,7 63,0 67,4

Industri 6,7 7,4 8,7 13,8 11,9 10,3

Jasa 24,7 35,9 32,9 34,5 25,1 22,3

Sumber BPS

Bahkan, suatu hal yang menarik seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut di bawah ini, adalah bahwa kegiatan pertanian mempunyai suatu peran yang dominan sebagai sumber pendapatan bagi banyak keluarga miskin di daerah perkotaan. Bisa di lihat di pinggiran kota Jakarta, Bekasi, dan Tangerang, banyak keluarga miskin menaman berbagai jenis komoditas pertanian di lahan yang sempit di pinggir sungai dan menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang merupakan sumber pendapatan mereka satu-satunya.

Sektor Perkot

aan Perdesaan

Pertanian 31,11 69,09

Kehutanan 0,23 1,34

Perikanan 1,48 2,23

Pertambangan 1,25 0,49

Industri 12,17 4,98

Listrik 0,10 0,02

Konstruksi 9,67 3,63

Pedagangan 14,06 5,00 Transportasi 8,94 2,73

Keuangan 0,69 0,08

Jasa-jasa 8,14 2,40

Lainnya 0,04 0,06

(29)

usaha di dalam masing-masing sektor tersebut. Sekarang pertanyaannya adalah: kenapa lebih banyak kemiskinan di pertanian daripada di sektor-sektor lainnya? Tidak sulit untuk mendapatkan jawabannya, di antaranya adalah karena distribusi lahan yang timpang, pendidikan petani dan pekerja yang rendah, sulitnya mendapatkan modal, dan nilai tukar petani yang terus menurun.

Tabel Orang Miskin di Indonesia Dari setiap 100 orang

Indonesia Dari setiap 100 orang miskin * 57 tinggal di perdesaan * 69 tinggal di perdesaan

* 44 tidak mempunyai akses

ke air bersih * 52 tidak mempunyai akses keair bersih * 49 tidak punya akses ke

sanitasi yang baik * 73 tidak punya akses ke sanitasi yang baik * 28 punya rumah tangga

dengan lebih dari 5 anggota

* 48 punya rumah tangga dengan lebih dari 5 anggota

* 43 punya pendidikan lebih rendah dari pendi-dikan dasar

* 55 punya pendidikan lebih rendah dari pendidikan dasar

* 11 tidak bisa membaca dan

menulis * 16 tidak bisa membaca dan menulis * 44 kerja di pertanian * 64 kerja di pertanian

* 60 kerja di sektor informal * 75 kerja di sektor informal *16 kerja sebagai pekerja

keluarga tidak dibayar * 22 kerja sebagai pekerjakeluarga tidak dibayar * 42 tingal di desa-desa yang

tidak punya SMP dan SMA * 50 tingal di desa-desa yangtidak punya SMP dan SMA * 36 tinggal di desa-desa

tanpa akses ke telepon * 49 tinggal di desa-desa tanpaakses ke telepon * Dari mereka yang umurnya

di bawah 5 tahun, 25 kurang gizi dan 32 dilahirkan tanpa bidan berpendidikan

* Dari mereka yang umurnya di bawah 5 tahun, 25 kurang gizi dan 32 dilahirkan tanpa bidan berpendidikan

Beberapa penyebab petani Indonesia selalu miskin adalah: 1. Transformasi struktural yang massive yang dialami oleh

(30)

kontribusi output dari sektor ini terhadap pembentukan PDB semakin lemah. Sementara itu porses perubahan struktural di pasar tenaga kerja berjalan lebih lambah akibat terbatasnya kemampuan dari sektor-sektor nonpertanian dalam menciptkan kesempatan kerja baru relatif terhadap laju pertumbuhan rata-rata dalam menciptakan tenaga kerja baru atau laju peralihan dari pertanian.

2. Ketimpangan dalam distribusi lahan.

3. Tingkat pendidikan petani yang pada umumnya rendah 4. Kurang modal

5. Tata Niaga yang merugikan petani

6. Kurangnya perhatian serius terhadap kesejahteraan petani. 7. Pradoks produktivitas, sistem agrobisnis di Indonesia

menempatkan posisi petani terjepit di antara dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada faktor produksi, petani menghadapi kekuatan monopolistis. Di sisi lain, saat menjual hasil produksinya, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. (pada usaha tani,nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil struktur nonusaha tani yang bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen dengan cepat dan sempurna ditransmisi kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna. Selain itu, informasi pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani. Terjadilah apa yang disebut paradoks produktivitas.... Porsi terbesar nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang di luar usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor nonushatani.)

8. Petani Indonesia tidak terorganisir dengan baik dan tidak punya inforamsi yang lengkap atau database mengenai perkembangan produksi padi dan pergerakan harganya. Petani padi India, Thailand dan Vietnam memiliki kedua hal tersebut, meski harga pupuk di ketiga negara tersebut sedang naik, mereka tetap bisa mengekspor beras ke Indonesia sebab mereka selalu surplus.

(31)

suatu barang dengan barang lain, jadi suatu rasio harga (nominal atau indeks) dari dua barang yang berdeda. NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dan indeks harga yang dibayar petani (IB) untuk input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa traktor; dan lainnya. Berdasarkan rasio ini, maka jelas bahwa kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya (IT) dan biaya produksinya (IB) bertambah besar, atau nilai tambah (NT)-nya meningkat. Jadi besar kecilnya NT petani ditentukan oleh besar kecilnya NTP

10. Harga pupuk yang bagi banyak petani padi terlalu mahal. (terjadi akibat distorsi di dalam pendistribusiannya) 11. Naiknya bahan bakar minyak (BBM)

Satu-satunya cara yang bisa mendorong NTP naik atau paling tidak mengurangi kecepatan merosotnya adalah pemerintah lewat kebijakan perberasannya.

G KEBIJAKAN ANTI-KEMISKINAN

Kebijakan memengaruhi kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, lewat sejumlah faktor yang menengahi. Dibawah ini digambarkan suatu hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.

Gambar Hubungan antara Kelembagaan, Kebijakan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Penurunan Kemiskinan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan ”Tujuan Pembangunan Abad Milenium” (Millennium Development

Kebijakan

Kelembagaan

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Perekonimian

Pertumbuhan propemerataann

(32)

Goals; MDGs) yang harus dicapai 191 negara anggotanya pada tahun 2015. Ada delapan (8) target yang harus dicapai yang salah satunya fokus langsung terhadap permasalahan kemiskinan. Kedelapan target tersebut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrem.

-> Mengurangi hingga setengah jumlah orang yang hidup dengan biaya kurang dari satu (1) dolar AS pe hari.

-> Mengurangi hingga setengah proporsi penduduk dunia yang menderita kelaparan.

2. Mencapai pendidikan dasar secara universal.

-> Memastikan bahwa semua anak lelaki dan perempuan menyelesaikan pendidikan dasar.

3. Meningkatkan kesetaraan jender dan memberdayakan wanita.

-> Menghilangkan kesenjangan jender di tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama, kalau bisa pada 2005, dan paling lambat 2015.

4. Mengurangi tingkat kematian anak.

-> Mengurangi hingga dua pertiga (2/3) tingkat kematian bagi anak-anak di bawah usia lima (5) tahun.

5. Memperbaiki kesehatan ibu.

-> Mengurangi hingga tiga perempat(3/4) tingkat kematian ibu.

6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya.

-> Menghentikan dan mulai mencegah penyebaran HIV/AIDS.

-> Menghentikan dan mulai mencegah wabah malaria dan penyakit utama lainnya.

7. Menjamin kelestarian lingkungan hidup.

-> Mengintegrasikan prinsip pembangunan berkesinambungan lewat kebijakan-kebijakan dan penyusunan program-program, mencegah kerusakan sumber daya alam (SDA)

-> Mengurangi hingga setengah (1/2) proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih untuk diminum.

(33)

8. Membentuk sebuah kerja sama global untuk pembangunan. -> Menciptakan lebih jauh sistem perdagagan dan keuangan

lewat sebuah peraturan internasional, menciptakan aturan yang tidak diskriminatif dan bisa diterapkan di semua negara. Di dalam hal ini, tidak termasuk adanya sebuah komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang baik, program pembangunan, dan program pengurangan kemiskinan (di tingkat nasional maupun internasional)

-> Menyusun daftar-daftar kebutuhan khusus yang paling diperlukan oleh negara-negara paling terbelakang. Di dalam konteks ini, di antaranya termasuk pembebasan tarif atau kuota atas ekspor negara terbelakang; meningkatkan porsi utang yang dihapuskan, penghapusan utang pemerintah secara bilateral; dan memberikan bantuan pemerintahan yang sifatnya lebih berupa kemurahan hati pada negara terbelakang dalam rangka pengurangan kemsikinan.

-> Menyususun daftar kebutuhan bagi daerah terpencil dan negara-negara berkembang yang sangat kecil ukurannya dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah.

-> Mengupayakan secara komprehensif utang-utang negara berkembang lelwat perangkat nasional dan internasional agar utang tidak lagi menjadi beban.

-> Meningkatkan keja sama dengan perusahaan farmasi agar tersedia akses bagi warga termiskin di negara berkembang untuk mendapatakn obat-obatan.

-> Kerja sama dengan sektor swasta dalam rangka penyebaran teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, bagi semua negara yang paling membutuhkan.

Intervensi pemerintah dalam jangka pendek yang dapat dilakukan dalam memerangi kemiskinan adalah:

(34)

keterkaitan produksi ke belakang maupun ke depan dengan sektor pertanian pada khususnya dan perkekonomian perdesaan pada umumnya.

2. Manajemen lingkungan dan SDA.

3. Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan, peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan, dan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial).

Intervensi pemerintah dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk memerangi kemiskinan adalah: 1. Pembangunan/penguatan sektor swasta.

Peranan aktif sektor ini sebagai motor utama penggerak ekonomi/sumber pertumbuhan dan penemu daya saing perekonomian nasional harus ditingkatkan.

2. Kerja sama regional.

Hal ini menjadi sangat penting dalam kasus Indonesia sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Kerja sama yang baik dalam segala hal, baik di bidang ekonomi, industri dan perdaganan, maupun nonekonomi, seperti pembangunan sosial, bisa memperkecil kemungkinan meningkatnya gap antara provinsi-provinsi yang kaya dan provinsi-provinsi yang tidak punya (miskin) SDA.

3. Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi.

Perbaikan manajemen pengeluaran pemerintah untu kebutuhan publik, termasuk juga sistem administrasinya, sangat membantu usaha untuk meningkatkan efektivitas biaya dari pengeluaran

pemerintah untuk membiayai

penyediaan/pembangunan/penyempurnaan fasilitas-fasilitas umum, seperti pendidikan, kesehatan, olah raga, dan lain-lain.

4. Desesntralisasi

(35)

sendiri strategi atau pola pembangunan ekonomi dan sosial di daerah sesuai faktor-faktor keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki masing-masing daerah.

5. Pendidikan dan kesehatan.

Tidak diragukan lagi, pendidikan dan kesehatan yang baik bagi semua anggota masyarakat di suatu negara merupakan prakondisi bagi keberhasilan dari kebijakan anti-kemiskinan dari pemerintah negara tersebut. Oleh karena itu, penyediaan pendidikan, terutama dasar, dan pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab mutlak dari pemerintah, di manapun juga, baik di negara-negara maju maupun NSB. Pihak swasta bisa membantu dalam penyediaan tersebut, tetapi tidak mengambil alih peranan pemerintah tersebut. 6. Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan.

Sama seperti penyediaan pendidikan dasar dan kesehatan, penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan terutama pembangunan fasilitas-fasilitas umum/utama, seperti pemukiman/perumahan bagi kelompok masyarakat miskin, fasilitas sanitasi dan transportasi, sekolah, komplek olah raga, dan infrastruktur fisik, seperti jalan raya, waduk, listrik dan sebagainya, merupakan intervensi yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan, terutama di perkotaan.

7. Pembangian tanah yang merata.

Pembagian tanah yang merata atau yang dikenal dengan land reform terutama sangat krusial di NSB karena sebagai suatu sumber penting bagi kehidupan di perdesaan. Lagi pula, banyak studi telah membuktikan bahwa pemilik-pemilik kecil lebih efisien dalam menggunakan tanah dibandingkan pemilik-pemilik besar, dan sistem bagi hasil, seperti yang dipraktikkan secara luas di Indonesia, kurang efisien dibandingkan pengolahan oleh pemilik sendiri.

(36)

Tabel Pengeluaran Pemerintah untuk Pemberantasan Kemiskinan, sebagai Suatu Persentase dari Pengeluaran Total dari Pemerintah Pusat 1994/95-2000

(37)

3 8 9 9 3 5

Pengeluarlan pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan adalah yang terpenting. Karena kedua fakktor ini sangat memengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif dan penyebab utama kemiskinan di Indonesia adalah karena banyak anggota masyarakat yang berpendidikan rendah dan dengan kondisi kesehatan yang buruk.

Tabel Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan di ASEAN

(% dari PDB) Negara 9

0 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 Brunei

Darussala m

4,

0 4,6 4,6 4,5 5,6 5,0 4,2 4,0 4,7 6,0 3,0 3,7 … ….

Kamboja 0,

8 0,9 0,9 0,9 0,9 1,2 1,3 1,3 1,7 1,6 1,5 1,4 1,5 1,4 Indonesia 1,

0 0,7 1,4 1,4 1,3 1,3 0,9 0,8 0,9 1,1 …. … … …

Laos PDR … … … …

Malasya 5,

5 4,8 4,9 4,6 4,7 5,1 5,6 7,0 7,7 7,0 5,4 5,1 5,4 5,7

Myammar … … …

. … … …. … … …. … … …. … …. Filipina 3,

1 3,2 3,4 3,9 4,0 3,7 3,5 3,2 3,2 3,0 2,6 2,4 2,4 … Singapura 4,

2 3,0 3,1 3,1 3,6 3,7 4,0 4,3 4,4 4,1 3,6 3,3 3,1 … Thailand …

. 3,5 3,8 4,2 4,8 4,7 4,5 4,3 4,1 4,1 4,0 … … …

Vietman … … … …

Sumber: ADB

(38)

Negara 9

0 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 Brunei

Darussala m

1,

6 2,3 2,3 2,3 2,9 2,5 2,1 2,0 2,0 2,5 1,3 1,7 … …

Kamboja 1,

5 0,3 0,5 0,4 0,4 0,6 0,9 0,8 1,0 0,9 0,9 0,9 0,9 1,0 Indonesia 0,

3 0,6 0,4 0,5 0,6 0,6 0,3 0,2 0,2 0,4 … … … …

Laos PDR … … … …

Malasya 1,

5 1,2 1,4 1,3 1,4 1,5 1,5 1,8 1,7 2,1 2,0 1,7 1,7 1,8

Myammar … … … …

Filipina 0,

7 0,4 0,5 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 … Singapura 1,

0 1,2 1,2 1,1 1,4 1,3 1,0 1,2 1,1 1,5 1,0 0,9 0,9 … Thailand … 1,

2 1,3 1,5 1,5 1,4 1,3 1,7 1,3 1,3 1,4 … … …

Vietman … … … …

Gambar

Tabel 4.1Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi menurut Wilayah:
Tabel di bawah ini menyajikan data mengenai laju penurunanproporsi dari populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan(indeks HC di 14 negara)
Tabel Pangsa Kemiskinan di Perdesaan, awal 1990-an dan awal 2000-an (%)
Tabel Tingkat Kelaparan di Negara-negara ASEAN*
+6

Referensi

Dokumen terkait

perdesaan dan perkotaan relatif tidak berbeda. b) Tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga miskin di wilayah perdesaan relatif lebih kecil dibandingkan yang tinggal di wilayah

Skripsi yang berjudul Distribusi Pendapatan serta Perbedaan Karakteristik Kemiskinan di Perkotaan dan Pedesaan di Kabupaten Klaten Tahun 2005 (Studi Kasus Kecamatan

ANALISIS EFEKTIVITAS PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN

Hasil analisis Efektivitas pencapaian target penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan pada dinas Pendapatan Daerah kota Palembang Keefektifitasnya

Sumber: Disusun oleh penulis, berdasarkan ECLAC (2013), Panorama Sosial Amerika Latin 2012; Distribusi Pendapatan OECD dan database Kemiskinan; Indikator Pembangunan Dunia

g) Timmer (1997) menyimpulkan bahwa elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 8% artinya kurang dari proporsional keuntungan

Penetapan target dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Kuantan Singingi adalah proses yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Kabupaten

permasalahan ke dalam suatu laporan dengan judul “ Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Perdesaan Dan Perkotaan (PBB-P2) Di Badan